Anda di halaman 1dari 15

BAB II

PEMBAHASAN
ISTIHSAN
A. Pengertian Istihsan
Secara etimologis istihsan berarti memperhatikan sesuatu lebih baik,
atau adanya sesuatu itu lebih baik, atau mengikuti sesuatu yang lebih baik,
atau mencari yang lebih baik untuk diikuti, karena memang disuruh untuk
itu.1
Dari arti lughawi diatas tergambar adanya seseorang yang menghadapi
dua hal yang keduanya baik. Namun ada hal yang mendorangnya untuk
meninggalkan satu diantaranya dan menetapkan untuk mengambil yang
satunya lagi, karena itulah yang dianggapnya lebih baik untuk diamalkan.
Adapun pengertian istihsan secara istilahi, ada beberapa definisi yang
dirumuskan ulama ushul. Diantara definisi itu ada yang berbeda, akibat adanya
perbeadaan titik pandang. Ada juga definisi yang disepakati semua pihak,
namun diantaranya ada yang diperselisihkan dalam pengamalannya.2
1. Ibnu Subki mengajukan dua rumusan definisi, yaitu:
a.
Artinya: beralih dari penggunaan suatu qiyas kepada qiyas lain yang
lebih kuat daripadanya (qiyas pertama)).
b.
Artinya: beralih dari penggunaan sebuah dalil kepada adat
kebiasaan karena suatu kemaslahatan.
Ibnu Subki menjelaskan bahwa definisi yang pertama tidak
diperdebatkan karena yang terkuat diantara dua qiyas harus didahulukan.
Alasannya, bila dapat dipastikan bahwa adatistiadat itu baik karena berlaku
seperti itu pada masa Nabi atau sesudahnya, dan tanpa ada penolakan dari
Nabi atau dari yang lainnya, tentu ada dalil pendukungnya, baik dalam
bentuk nash atau ijma. Dalam bentuk seperti ini adat itu harus diamalkan

1 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jild II, (Jakarta: kencana, 2009), 324-325.

2 Ibid., 325.

1
secara pasti. Namun bila tidak terbukti kebenarannya, maka cara tersebut
tertolak secara pasti.
2. Istilah istihsan dikalangan ulama Malikiyah diantaranya adalah
sebagaimana yang dikemukakan al-Syatibi (salah seorang pakar
Malikiyah):

Istihsan dalam madzhab Maliki adalah menggunakan kemaslahatan
yang bersifat juzi sebagai pengganti dalil yang bersifat kulli.
Definisi diatas mengandung arti bahwa seorang mujtahid
semestinya menetapkan hukum dengan berpedoman kepada dalil yang ada
yang bersifat umum. Namun karena dalam keadaan tertentu mujtahid
tersebut melihat adanya kemaslahatan yang bersifat khusus, maka ia dalam
menetapkan hukum tidak berpedoman pada dalil umum yang ada, tetapi
menggunakan kemaslahatan atau kepentingan yang bersifat khusus itu.

3. Dikalangan ulama Hanabilah terdapat 3 definisi sebagaimana


dikemukakan Ibnu Qudamah:
a.
Beralihnya mujtahid dalam menetapkan hukum terhadap suatu
masalah dari yang sebanding dengan itu karena adanya dalil khusus
dalam al-Quran atau sunah.
b.
Istihsan itu ialah apa-apa yang dianggap lebih baik oleh seorang
mujtahid berdasarkan pemikiran akalnya.
c.
Dalil yang muncul dalam diri mujtahid yang ia tidak mampu
menjelaskannya.
Dari definisi istihsan pertama yang berlaku dikalangan ulama Hanbali
tersebut dapat disimpulkan bahwa seorang mujtahid tidak menetapkan
hukum sebagaimana yang ditetapkan pada kasus yang sejenis dengan
kasus itu adalah karena ia mengikuti dalil lain dari al-Quran dan sunah.
Terhadap definisi kedua mungkin timbul keberatan dari ulama lain karena

2
apa yang dianggap mujtahid baik menurut akalnya itu belum tentu lebih
baik menurut kenyataannya.
Terhadap definisi ketiga juga mungkin timbul sanggahan,
sebagaimana dikemukakan Ibnu Subki yang mengatakan bahwa jika dalil
yang muncul dalam diri mujtahid itu nyata adanya, maka cara tersebut
dapat diterima dan tidak ada kesukaran dalam menjelaskan dalil itu tetapi
bila dalil tersebut tidak betul, maka cara istihsan seperti itu tertolak.
4. Dikalangan ulama Hanafiyah istihsan itu ada dua macam yang
dikemukakan dalam dua rumusan seperti dikutip oleh al-Sarkhi:
a.
Beramal dengan ijtihad dan umum pendapat dalam menentukan
sesuatu yang syara menyerahkannya pada pendapat kita.
b.


Dalil yang menyalahi qiyas yang dzahir yang didahului prasangka
sebelum diadakan pendalaman terhadap dalil itu, namun setelah
diadakan penelitian yang mendalam terhadap dalil itu dalam hukum
yang berlaku dan dasar-dasar yang sama dengan itu ternyata bahwa
dalil yang menyalahi qiyas itu lebih kuat dan oleh karenanya wajib
diamalkan.3

B. Dasar Istihsan
Para ulama yang menerima istihsan sebagai dalil, mengembalikan dasar
istihsan kepada al-Quran antara lain:

Maka gembirakanlah hamba-hamba-Ku yang mendengar perkataan lalu
mengikutinya dengan yang lebih baik (al-Zumar: 17-18).
Dan dari al-Sunah yakni:

Apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin maka baik juga disisi Allah.4
C. Macam-Macam Istihsan
3 Ibid., 327.

4 Djazuli dan Nurol Aen, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2000), 161-162.

3
Ditinjau dari segi berpindahnya suatu hukum, Ada berbagai macam
istihsan. Menurut ulama Hanafiyah, antara lain:
1. Berpindahnya suatu hukum dari qiyas dzahir kepada suatu qiyas khafi.
Contohnya: berdasarkan qiyas yang dzahir hak pengairan tanah pertanian
dan hak lalu litas di dalam harta wakaf tanah pertanian tidak termasuk harta
wakaf jika apabila tidak disebut dengan tegas waktu mewakafkan. Karena
wakafdiqiyaskan kepada jual beli karena sama-sama berakibat hilangnya
(mengeluarkan) hak milik dari seseorang yang mempunyainya. Dalam ghak
jual beli, hak pengairan Dan hak lalu lintas tidak termasuk, maka demikian
pula di dalam harta wakaf. Akan tetapi, menurut istihsan (qiyas khafi),
wakaf tersebut dipersamakan dengan ijarah (sewa menyewa) karena
tujuannya sama, yaitu mengambil manfaat barang yang bukan miliknya
sendiri. Di dalam sewa menyewa, hak tanah pengairan dan lalu lintas
termasuk yang disewa meskipun tidak tidak disebut dengan tegas, dasar
peninggalannya (sanadnya) adalah pengambilan manfaat dari barangyang
diwakafkan (maslahah).
2. Berpindahnya suatu hukum yang ditetapkan oleh nash yang umum kepada
yang khusus. Contoh: kasus pencurian pada musim kelaparan. Berdasarkan
nash yang umum, dalam surat al-Maidah 38, disebutkan:

Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan hendaklah dipotong tangannya.
Bahwa setiap pencuri, baik pria maupun wanita, harus dipotong tangannya.
Kemudian, Umar tidak memotong tangan pencuri pada masa kelaparan.5
3. Berpindahnya suatu hukum yang kulli kepada hukum yang merupakan
pengecualian. Contoh: orang yang dititipi barang harus bertanggung jawab
atas barang yang dititipan kepadanya. Apabila yang menitipkan meninggal,
maka yang di titipi harus mengganti barang tadi apabila ia melalaikan
pemeliharaannya. Dalam kasus tersebut, berdasarkan istihsan, seseorang

5 Ibid., 163.

4
ayah tidak diwajibkan menggantinya karena ia dapat menggunakan harta
anaknya untuk mengongkosi hidupnya.
Ditinjau dari sanadnya, terdapat empat macam istihsan, yaitu:
1. Istihsan yang sanadnya qiyas, yang menjadi dasar di sini adalah kemudahan
dan menghilangkan kesempitan sesuai dengan firman Allah sebagai berikut:

Allah hendak (membuat) keringanan bagimu dan tidak (membuat)
keberatan bagimu(QS. Al-Baqarah: 185).
Dan sesuai dengan hadits Nabi:

Sebaik-baik agamamu adalah kemudahan
Misalnya, seperti contoh di dalam qiyas khafi.
2. Istihsan yang sanadnya urf yang shahih, seperti halnya jual beli anak kecil
dalam hal menurut urf sudah biasa anak kecil melakukannya, juga
membayar bus kota atau angkutan kota tanpa ijab dan qabul, dan dalam
menjahitkan pakaian yang dibayar sebalum pakaiannya jadi.
3. Istihsan yang sanadnya nash, seperti larangan Rasulullah di dalam jual beli
yang barangnya madum dan memperjanjikan sesuatu yang tidak ada.
Diadakannya istihsan itu pada, akad salam, ijarah, muzaraah. Bagitupula
memandang sah puasanya orang karena lupa makan atau minum.6
4. Istihsan yang sanadnya dharurat, seperti membersihkan sumur yang karena
najis dengan menuangkan air kedalam sumur supaya bersih, maka sumur
tersebut tidak mungkin bersih karena airnya walaupun sedikit akan kena
najis lagi. Berdasarkan istihsan dengan telah dibersihkannya sumur tadi
maka dia tidak najis lagi walaupun tidak sempurna karena tidak ada jalan
lain untuk membersihkannya.7

6 Abdul wahab khalaf, ilmu ushul fikih, terj. Halimuddin, (Jakarta: PT


Rineka Cipta, 2005), 95.

7 Ibid., 164-165.

5
Selain empat hal di atas, adapula yang mengatakan bahwa istihsan
ditinjau dari sanadnya terdapat enam macam dengan tambahan sebagai
berikut:8
1. Istihsan dengan ijma yaitu meninggalkan qiyas atau kaidah umum dalam
kasus tertentu dengan berdasar ijma atas selain ketentuan yang
dikehendakinya. Contoh, akad istishna. Menurut ketentuan qiyas akad ini
tidak sah karena barang yang dipesan tidak (al-Mashnu) pada waktu akad
tidak ada, tetapi menurut kesepakatan ulama (ijma) akad ini sah di
karenakan telah dilakukan oleh orang pada tiap masa, dan untuk memenuhi
kebutuhan manusia.
2. Istihsan dengan maslahah yaitu istihsan yang disebabkan adanyasuatu
kemaslahatan yang menghendaki suatu kasus dikecualikan dari dalil umum
atau kaidah kulliyahnya. Contohnya, wasiatnya orang yang dilarang
bertransaksi karena idiot (al-mahjur alayh li al-safah) dijalan kebaikan.
Menurut ketentuan qiyas atau kaidah kulliyah adalah tidak sah, tetapi
menurut ketentuan mashlahah hal itu diperbolehkan.
Menurut Syatibi, di kalangan madzhab Maliki dikenal pula istihsan
yang dalam praktiknya dinamai istihlah. Mereka membagi istihsan itu
kepada tiga macam:
1. Meninggalkan dalil yang biasa digunakan untuk beramal dengan urf
(kebiasaan). Umpamanya ucapan yang berlaku dalam sumpah. Bila
seseorang dalam sumpahnya menyebutkan tidak akan makan daging,
tetapiternyata ia makan ikan, maka ia dinyatakan tidak melanggar sumpah
meskipun ikan itu dalam bahasa al-Quran termasuk daging. Alasannya
karena dalam urf yang berlaku dalam ucapan sehari-hari, ikan itu bukan
termasuk daging.
2. Meninggalkan dalil yang biasa digunakan, dan untuk selanjutnya beramal
dengan cara lain karena didorong oleh pertimbangan kemaslahatan manusia.

8 Abdul Munim Saleh dan Miftaqurrohman, Istihsan dalam Madzhab


Syafii, (Ponorogo: STAIN PO Press, 2012), 28-30.

6
Umpamanya tanggung jawab mitra dari tukang yang membantu
memperbaiki suatu barang bila barang yang diperbaikinya itu rusak
ditangannya. Berdasarkan pendekatan qiyas, ia tidak perlu mengganti,
karena kerusakan barang itu terjadi waktu ia membantu bekerja. Namun
berdasarkan pendekatan istihsan cara seperti ini dtinggalkan dan ia harus
mengganti barang tersebut demi terwujudnya kemaslahatan, yaitu
memelihara dan menjamin orang lain.
3. Meninggalkan dalil yang biasa digunakan untuk menghindarkan kesulitan
dan memberikan kemudahan kepada umat (raf al-kharaj). Umpamanya
adanya sedikit kelebihan dalam menakar sesuatu dalam ukuran yang
banyak. Tindakan ini dibenarkan meskipun menurut ketentuan yang berlaku,
kalau menakar itu harus tepat sasuai standar takaran yang berlaku.9
Dari perbandingan ulama Hanafiyah dengan ulama Malikiyah, maka
jelas bahwa mereka sepakat dalam dua hal, yaitu:
a. Istihsan yang sanadnya urf
b. Istihsan yang sanadnya maslahah karena maslahah meliputi pula pada
apa yang disebut oleh Hanafiyah dharurat yang disebut Malikiyah
sebagai raf al-kharaj atau dari suatukeumuman atau dari kully untuk
memelihara kemaslahatan atau menolak kemadharatan atau
menghilangkan kesempitan, itulah istihsan menurut madzhab-madzhab
tersebut.10
Akan tetapi, Imam Abu Hanifah berbeda dengan Imam Malik tentang
istihsan yang sanadnya qiyas khafi yang lebih dikuatkan daripada qiyas
jalliy dan juga isatihsan yang sanadnya nash. Sesungguhnya kalau diteliti,
macam pertama yang ditetapkan dengan qiyas adalah qiyas juga, hanya
mentarjihkan suatu qiyas atas qiyas yang lain, dan qiyas adalah salah satu
dalil yang diakui dan karenanya hukum tersebut didasarkan pada qiyas.

9 Amir syarifuddin, Ushul Fiqh, jild II, 333-334.

10 Djazuli dan Nurol Aen, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, 165.

7
Demikian pula dalam hal yang kedua yaitu istihsan yang sanadnya
nash. Hukum tersebut sesungguhnya telah ditetapkan oleh nash sejak
semula, dan nash yang menjadi dasar ini merupakan suatu pengecualian.
Oleh karena itu, dasarnya yang pertama adalah qiyas, sedangkan yang kedua
adalah nash. Keduanya bukan istihsan karena pada hakikatnya tidak
berpindah dari suatu hukum kepada hukum yang lain.
Kesimpulannya, sesungguhnya hanya ada dua macam istihsan:
a. Istihsan yang sandarannya kemaslahatan;
b. Istihsan yang sandarannya urf yang shahih.
Dari keterangan tersebut, jelas bahwa yang penting di dalam istihsan
adalah ruh al-hukm.11
D. Pendapat Ulama Tentang Istihsan
Ada beberapa pendapat mengenai boleh atau tidaknya istihsan dijadikan
hujjah yaitu sebagai berikut:
1. Ulama yang membolehkan istihsan
Ada beberapa ulama yang membolehkan bahwa istihsan dapat dijadikan hujjah
atau dalil syara yaitu dari golongan Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah,
mereka beralasan sebagai berikut:
a. Istihsan yang ditetapkan berdasarkan penelitian terhadap kasus-kasus
dan hukum-hukum yang ternyata bahwa penggunaan qiyas, menerapkan
yang umum atau dalil kulliy, kadang-kadang di dalam beberapa kasus
menyebabkan hilangnya kemaslahatan manusia karena kasus-kasus ini
mempunyai kekhususan-kekhususan tersendiri, merupakan suatu
keadilan dan rahmat bagi manusia, apabila dibuka jalan bagi seorang
mujtahid di dalam memecahkan kasus ini mentarjih dalil agar tercapai
kemaslahatan dan tertolak kemadharatan dengan kata lain:

Menolak kemafsadatan dan meraih kemaslahatan.
Jadi, istihsan digunakan untuk mendapatkan kemanfaatan dan menolak
kemadharatan atau menemukan maslahat yang lebih kuat atau madharat
yang lebih sedikit.

11 Ibid., 165-166.

8
b. Istihsan ditetapkan berdasarkan penelitian terhadap nash-nash syara
yang menunjukkan bahwa Allah Yang Maha Bijaksana, berpindah dari
sebagian kasus-kasus yang bisa digunakan qiyas atau umumnya nash
kepada hukum lain yang memberikan kemaslahatan dan menolak
kemafsadatan, misalnya Allah mengharamkan bangkai, darah, daging
babi dan apa yang disembelih li ghairillah, selanjutnya Allah
berfirman:

Barang siapa terpaksa, sedangkan ia tidak menginginkannya dan
tidak melebihi batas maka tidaklah dosa atasnya. (al-Baqarah: 173).
Rasulullah SAW melarang bay al-Madum dan memberi keringanan di
dalam bay al-salam, seluruhnya itu merupakan rukhsah, yang
merupakan pengecualian hukum azimah. Karena pentingnya istihsan
ini di dalam mencapai kemaslahatan, ulama Hanafiyah dan Malikiyah
mengatakan:12

Istihsan adalah sembilan persepuluh ilmu.
2. Ulama yang menolak istihsan
Diantara ulama yang membatalkan istihsan sebagai dalil adalah Imam
Syafii dan Dzahiriyah, kalangan Dzahiriyah menolak penggunaan qiyas
secara prinsip, demikian pula ulama Syiah dan sebagian ulama kalam
Mutzilah. Karena mereka tidak menerima qiyas, maka dengan sendirinya
mereka pun menolak istihsan karena kedudukan istihsan dalam posisinya
sebagai dalil hukum lebih rendah dari qiyas. Adapun alasan Imam syafii
menolak istihsan adalah sebagi berikut:
a. Syariat itu berupa nash atau mengembalikan kepada nash dengan qiyas,
maka dimanakah letaknya istihsan, dan isihsan bertentangan dengan
firman Allah berikut:

Adakah manusia menyangka bahwa ia akan dibiarkan percuma (QS.
Al-Qiyamah: 36).

12 Ibid., 166-167.

9
b. Banyak ayat ayat al-Quran yang memerintahkan agar taat kepada Allah
dan Rasul-Nya, melarang mengikuti hawa nafsu, dan memerintahkan
kepada kita ketika terjadi pertentangan agar kembali kepada kitabullah.
Sebagaimana firman Allah:13

Artinya: Kemudian jika kamu berlainan tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. (QS. al-
Nisa: 59).
Sementara istihsan tidak termasuk kitab (al-Quran) atau sunah, tidak
pula merujuk kepada kitab dan sunah, akan tetapi berada diluar itu.
c. Nabi Muhammad tidak pernah memberi fatwa istihsan, dengan apa
yang dianggap beliau baik, karena beliau tidak pernah membari fatwa
sesuai hawa nafsunya.
d. Nabi memungkiri, menolak sahabat-sahabat yang berfatwa dengan
dengan istihsan atau apa yang dianggap baik, tidak menyetujui sahabat-
sahabat yang membakar orang musyrik, atas dasar fatwa itulah yang
mereka anggap baik.
e. Istihsan tidak ada dlabitnya, tidak ada ukuran-ukuran untuk
mengqiyaskannya, sehingga apabila dihadapkan kepada seorang
mujtahid suatu kasus, dia akan menetapkan hukum sesuai dengan apa
yang dianggap baik sesuai dengan seleranya.
f. Apabila istihsan dibolehkan dalam berijtihad, dan tidak berdasarkan
nash, maka istihsan boleh dilakukan oleh siapa saja, meskipun tidak
mengetahui al-Quran. Atas alasan ini, asy-Syafii berkesimpulan:

Barangsiapa menetapkan hukum dengan istihsan berarti dia membuat
syariat sendiri.14

13 Muhammad Abu Zahrah, ushul fiqih, terj. Saefullah masum dkk,


(Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994), 413.

14 Djazuli dan Nurol Aen, Ushul fiqh, 169.

10
Walaupun sangat keras dalam menolak istihsan, tetapi dalam beberapa
kasus Imam al-Syafii ternyata juga melakukan ijtihad dengan
meninggalkan qiyas dan menggunakan istihsan. Diantaranya:
a. Menetapkan kadar mutah demi menolong, memuliakan dan
menghilangkan rasa takutistri akibat perceraian.beliau beristihsan
dan memberikan batasan tigapuluh dirham. Beliau mengatakan:
saya tidak mengetahui kadar tertentu dalam pemberian mutah,
akan tetapi saya memandang baik jika kadarnya tigapuluh dirham,
berdasarkan riwayat Ibn Umar.15
b. Memperpanjang waktu syufah selama tiga hari. Beliau mengatakan:
sesungguhnya ini hanyalah istihsan dari saya, dan bukan sesuatu
yang bersifat mendasar.
c. Bersumpah menggunakan mushaf.16
Keberadaan kasus-kasus tersebut dikarenakan di dalam madzhab Syafii
sendiri terdapat dua macam istihsan, yaitu:
a. Istihsan yang diperselisihkan (mukhtalaf fih), yaitu istihsan yang
tidak berdasarkan pada dalil. Istihsan inilah yang dikecam oleh al-
Syafii dengan komentarnya man istahsan faqad syarra dan
semisalnya.
b. Istihsan yang diperhitungkan (mutabar fiih), yaitu istihsan yang
berdasarkan pada dalil yang nyata. Dan semua istihsan yang
dilakukan oleh al-Syafii adalah masuk dalam kategori ini.
Bila kedua hal di atas berupa pengingkaran dan penggunaan Imam al-
Syafii terhadap istihsan dicermati, maka semakin menegaskan bahwa
istihsan yang diingkari al-Syafii adalah istihsan yang hanya berlandaskan
hawa nafsu saja dan tidak didasarkan pada dalil syari.17
E. Relevansi Istihsan di Masa kini dan Mendatang

15 Abdul Munim Saleh dan Miftaqurrohman, Istihsan dalam Madzhab


Syafii, 25.

16 Ibid., 26.

17 Ibid., 26-27.

11
Seperti telah dijelaskan bahwa istihsan itu digunakan oleh sekelompok
ulama karena dalam menghadapi suatu kasus pada keadaan tertentu kurang
puas jika menggunakan pendekatan yang berlaku konvensional, seperti dengan
menggunakan qiyas jali atau dalil umum menurut cara-cara biasa dilakukan.
Dengan cara konvensional itu, ketentuan hukum yang dihasilkan kurang (tidak)
mendatangkan kemaslahatan yang diharapkan dari penetapan hukum. Dalam
keadaan demikian, si mujtahid menggunakan dalil atau pendekatan lain sebagai
alternatif (pengganti) dari pendekatan yang konvensional tersebut. Pendekatan
yang mereka lakukan adalah dalam bentuk ijtihad yang disebut istihsan.
Dewasa ini dan lebih-lebih pada masa yang akan datang permasalahan
kehidupan manusia akan semakin berkembang dan semakin kompleks.
Permasalahan itu harus dihadapi umat Islam yang menuntut adanya jawaban
penyelesaiannya dari segi hukum Islam. Kalau hanya semata mengandalkan
pendekatan dengan cara atau metode lama yang digunakan ulama terdahulu
untuk menghadapinya, mungkin tidak akan mampu menyelesaikan semua
permasalahan tersebut dengan baik. Oleh karena itu, kecenderungan untuk
menggunakan istihsan akan semakin kuat karena kuatnya dorongan dari
tantangan persoalan hukum yang berkembang dalam kehidupan manusia yang
semakin secepat berkembang dan semakin kompleks. Sebagai contohnya yaitu,
masalah zakat,dalil syara yang dikemukakan dalam kitab-kitab fiqih yang ada
kebanyakan berbicara dalam sektor pertanian dan sedikit sekali yang berkaitan
dengan sektor jasa dan produksi. Padahal yang berkembang pesat saat ini
adalah hal tersebut, hal ini kalau hanya menggunakan pendekatan konvensional
yang selama ini digunakan, masalahnya tetap tidak akan terselesaikan. Karena
itu diperlukan upaya untuk mencari alternatif pendekatan lain untuk
menyelesaikannya. Umpamanya berdalil dengan umumnya lafadz ma

12
kasabtum yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 264. Dalam ayat tersebut
sektor jasa dan profesi secara jelas terkandung di dalamnya.18

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara etimologis istihsan berarti memperhatikan sesuatu lebih baik,
atau adanya sesuatu itu lebih baik, atau mengikuti sesuatu yang lebih baik,
atau mencari yang lebih baik untuk diikuti, karena memang disuruh untuk itu
Istihsan dapat dijadikan sebagai dalil, para ulama mengembalikannya
berdasarkan al-Quran dan sunah yaitu:

Maka gembirakanlah hamba-hamba-Ku yang mendengar perkataan lalu
mengikutinya dengan yang lebih baik (al-Zumar: 17-18).
Dan dari al-Sunah yakni:

Apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin maka baik juga disisi
Allah.
Ditinjau dari segi berpindahnya suatu hukum, menurut ulama
Hanafiyah ada tiga macam istihsan antara lain:
1. Berpindahnya suatu hukum dari qiyas dzahir kepada suatu qiyas khafi
2. Berpindahnya suatu hukum yang ditetapkan oleh nash yang umum kepada
yang khusus
3. Berpindahnya suatu hukum yang kulli kepada hukum yang merupakan
pengecualian.
Ditinjau dari sanadnya, terdapat empat macam istihsan, yaitu:

18 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, jld II, 340-342.

13
1. Istihsan yang sanadnya qiyas
2. Istihsan yang sanadnya urf yang shahih
3. Istihsan yang sanadnya nash
4. Istihsan yang sanadnya dharurat
Selain empat bentuk di atas adapula yang menambahi dengan dua bentuk
lain yaitu:
1. Istihsan yan sanadnya ijma
2. Istihsan yang sanadnya mashlahah.
Menurut Syatibi, dikalangan madzhab Maliki dikenal pula istihsan
yang dalam praktiknya dinamai istihlah. Mereka membagi istihsan itu kepada
tiga macam:
1. Meninggalkan dalil yang biasa digunakan untuk beramal dengan urf
(kebiasaan).
2. Meninggalkan dalil yang biasa digunakan, dan untuk selanjutnya beramal
dengan cara lain karena didorong oleh pertimbangan kemaslahatan manusia.
3. Meninggalkan dalil yang biasa digunakan untuk menghindarkan kesulitan
dan memberikan kemudahan kepada umat (raf al-kharaj).
Sedangkan kehujahan istihsan ada beberapa ulama yang membolehkan
bahwa istihsan dapat dijadikan hujjah atau dalil syara yaitu dari golongan
Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah,
Ada pula ulama yang menolak istihsan sebagai hujjah diantara ulama yang
membatalkan istihsan sebagai dalil adalah Imam Syafii dan Dzahiriyah,
kalangan Dzahiriyah menolak penggunaan qiyas secara prinsip, demikian pula
ulama Syiah dan sebagian ulama kalam Mutzilah. Karena mereka tidak
menerima qiyas, maka dengan sendirinya mereka pun menolak istihsan.
Istihsan itu digunakan oleh sekelompok ulama karena dalam
menghadapi suatu kasus pada keadaan tertentu kurang puas jika menggunakan
pendekatan yang berlaku konvensional, seperti dengan menggunakan qiyas jali
atau dalil umum menurut cara-cara biasa dilakukan. Dengan cara konvensional
itu, ketentuan hukum yang dihasilkan kurang (tidak) mendatangkan
kemaslahatan yang diharapkan dari penetapan hukum. Dalam keadaan
demikian, si mujtahid menggunakan dalil atau pendekatan lain sebagai
alternatif (pengganti) dari pendekatan yang konvensional tersebut. Pendekatan
yang mereka lakukan adalah dalam bentuk ijtihad yang disebut istihsan.
Dari istihsan tersebut diharapkan dapat menyelesaikan masalah-
masalah yang terjadi pada masa mendatang yang tidak ditemukanhukumnya
dalam nash.

14
B. Saran
Mungkin dalam penulisan makalah ini banyak terjadi kesalahan dan
jauh dari kesempurnaan, untuk itu adanya kritik dan saran yang membangun
dari pembaca sangat kami harapkan. Dan semoga Allah selalu membalas
kebaikan yang kita lakukan. Amin.

15

Anda mungkin juga menyukai