Anda di halaman 1dari 17

OBJEK DAN RUANG LINGKUP KAIDAH FIQHIYYAH

Makalah disusun untuk melengkapi tugas mata kuliah Qawaid Fiqhiyyah

Dosen Mata Kuliah :

Ahmad Napis Qurtubi, SHI., MA

Disusun Oleh :

1. Abdullah Rasyid M (193106700099)


2. Nurlaila (193106700069)
3. Siti Jamilah (193106700081)

Program Studi Pendidikan Agama Islam

Fakultas Agama Islam

Universitas Ibnu Chaldun Jakarta

Tahun 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat-
Nya sehingga Penulis bisa menyelesaikan makalah yang berjudul

“Objek dan Ruang Lingkup Qawaid Fiqhiyyah”.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Dosen pengampu mata


kuliah Qawaid Fiqhiyyah yang telah memberikan berbagai ilmu pengetahuan.

Mungkin saat menulis, Penulis banyak menyusun kata-kata yang kurang tepat
sehingga sulit untuk dipahami oleh para Pembaca. Penulis juga menyadari bahwa
makalah ini jauh dari kesempurnaan, karena kesempurnaan hanyalah milik Allah
SWT dan kekurangan hanyalah milik kita sebagai hamba-Nya.

Oleh karena itu kritik dan saran dari Pembaca sangat diharapkan oleh Penulis
demi memperbaiki makalah selanjutnya

Jakarta, Oktober 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

BAB II PEMBAHASAN

10

10

11

11

BAB III KESIMPULAN

13

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Kaidah Fiqhiyyah sebagai salah satu disiplin ilmu, tidak berdiri sendiri dalam
tema dan kajiannya. Sebagai derivasi dari fikih atau hukum Islam, kaidah fiqhiyyah
merupakan simpul-simpul umum dari beberapa permasalahan hukum Islam yang
dapat digunakan oleh kalangan awam maupun fuqahâ dalam mencari solusi
permasalahan hukum yang muncul di tengah masyarakat dalam berbagai tema baik
ibadah, muamalah, maupun isu-isu hukum Islam kontemporer.
Permasalahan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari beragam macamnya.
Tentunya ini mengharuskan kita agar mencari jalan keluar untuk penyelesaiannya,
maka disusunlah kaidah secara umum yang dikuti cabang-cabang secara lebih
mendetail terkait permasalahan yang sesuai dengan kaidah tersebut. Adanya kaidah
ini tentunya sangat membantu dan memudahkan terhadap penyelesaian masalah-
masalah yang mucul ditengah-tengah kehidupan ini.
Maka, hendaklah mahasiswa memahami secara baik tentang konsep disiplin
ilmu ini karenanya merupakan asas dalam pembentukan hukum Islam. Masih jarang
diantara kaum muslim yang memahami secara baik tentang pedoman penyelesaian
hukum Islam. Menjadi kewajiban sebagai seorang muslim untuk lebih memahami dan
meyikapi persoalan hukum dalam Islam karena proses kehidupan tidak terlepas dari
kegiatan hukum.
2. Rumusan Masalah
a) Apa saja objek dan ruang lingkup kaidah fiqhiyyah?
b) Apa kegunaan dan faedah kaidah fiqhiyyah?
c) Apa dasar-dasar pengambilan kaidah fiqhiyyah?
d) Bagaimana proses pembukuan kaidah fiqhiyyah?
e) Apa fungsi qawaid fiqhiyyah dalam fikih?
f) Apa peranan qawaid fiqhiyyah dalam hukum Islam dan pembaharuan hukum
Islam?
g) Apa isi kaidah fiqhiyyah dalam empat madzhab?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Objek Kaidah Fiqhiyyah


1) Objek Material
Syafi’i Karim mengemukakan, dengan mengetahui ilmu fiqih seorang
mukallaf akan dapat mengetahui mana yang diperintahkan untuk dikerjakan dan
mana pula yang dilarang untuk mengerjakannya. Dan mana yang haram mana
yang halal, mana yang sah mana yang batal, dan mana pula yang fasid.
Adapun hasil pembahasan tersebut atau mahmul-nya adalah salah satu dari
hukum lima, seperti “perbuatan ini wajib”. Kelima hukum tersebut yang
dimaksud adalah hukum taklifi berikut; Ijab (wajib), nadb (sunah), tahrim
(haram), karahah (makruh), dan ibahah (mubah). Pernyataan yang diungkapkan
oleh Syafi’i Karim tersebut mengisyaratkan bahwa obyek dari pembahasan ilmu
fiqih adalah semua ajaran-ajaran yang terdapat dalam agama Islam. Hal ini
sebagaimana pernyataan Fuad Ihsan, bahwa obyek material adalah obyek yang
dijadikan sasaran penyelidikan oleh suatu ilmu atau obyek yang dipelajari oleh
suatu ilmu.
Untuk lebih jelasnya dalam mengetahui obyek material ilmu fiqih adalah
dengan memahami hakekat ilmu fiqih sebagaimana telah dikemukakan oleh tokoh
ilmu fiqih di atas, bawa ilmu fiqih adalah ilmu yang menerangkan tentang aturan-
aturan agama yang berhubungan dengan segala perbuatan mukallaf. Maka, dari
sini dapat dipahami bahwa obyek material atau ‫ ي‬dari ilmu fiqih adalah ajaran-
ajaran Islam itu sendiri, yakni penjelasan-penjelasan syara’ itulah yang menjadi
sasaran pembahasan dari ilmu fiqih.
Dengan demikian, yang menjadi sasaran atau obyek dari ilmu fiqih adalah
semua ajaran-ajaran Islam yang juga dibahas atau menjadi obyek bahasan selain
ilmu fiqih. Karena obyek formal adalah obyek kajian dari disiplin ilmu tertentu
yang belum bisa dijadikan sebagai pembeda antara satu bidang atau disiplin ilmu
dengan ilmu yang lain. Misalnya seperti obyek material berupa “ajaran agama”.
Ajaran agama di samping menjadi obyek material dari ilmu fiqih ajaran agama
juga menjadi obyek kajian dari ilmu yang lain, misalnya ilmu tasawwuf dan ilmu
kalam. Adapun yang dapat membedakan antara satu disiplin ilmu dengan yang

2
lain adalah obyek formal dari masing-masing disiplin ilmu tersebut, karena obyek
formal dari tiap-tiap ilmu pasti tidak akan sama.
2) Objek Formal
Objek formal adalah sudut pandang dari mana subyek menelaah obyek
materialnya. Setiap ilmu pasti memiliki obyek formal supaya dapat dibedakan
antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu yang lain. Setelah diketahui obyek
material dari ilmu fiqih adalah ajaran Islam, maka ajaran Islam dari aspek apanya
yang dikupas atau dibahas oleh ilmu fiqih itulah yang menjadi obyek formalnya.
Mengenai hal ini, Imam Syafi’i sebagaimana dikutip oleh Asywadie Syukur
mengemukakan, Dengan melihat penjelasan mengenai pengertian ilmu fiqih yang
dikemukakan oleh imam Syafi’i tersebut dapat dipahami bahwa ilmu fiqih
merupakan ilmu yang membahas tentang ajaran-ajaran agama yang berkaitan
dengan perbuatan mukallaf.
Dengan demikian obyek formal ilmu fiqih yang merupakan aspek dari obyek
formal yang dikaji oleh subyek adalah ajaran-ajaran Islam yang berhubungan
dengan perbuatan mukallaf. Jadi, ajaran Islam yang tidak berkaitan dengan
perbuatan mukallaf tidak menjadi bahasan dari ilmu fiqih. Ajaran agama yang ada
hubungannya dengan perbuatan mukallaf inilah yang membedakan antara ilmu
fiqih dengan ilmu lainnya.
Melalui pembahasan mengenai fiqih dalam sudut pandang filsafat ilmu ini
tampak jelas bahwa fiqih adalah satu disiplin ilmu yang memiliki kebenaran
sebagaimana ilmu pengetahuan yang lain. Hal ini juga memberikan pembuktian
bahwa fiqih bukan hanya produk pemikiran semata, namun fiqih merupakan
tatanan kehidupan sekaligus ilmu pengetahuan yang dapat dibuktikan
kebenarannya

B. Ruang Lingkup Kaidah Fiqhiyyah


Menurut M. Az-Zuhayliy dalam kitabnya al-Qawaid al-Fiqhiyyah berdasarkan
cakupannya yang luas terhadap cabang dan permasalahan fiqh, serta berdasarkan
disepakati atau diperselisihkannya qawaid fiqhiyyah tersebut oleh madzhab-madzhab
atau satu madzhab tertentu, terbagi pada 4 bagian, yaitu :
1) Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Asasiyyah al- Kubra : yaitu qaidah-qaidah fiqh yang
bersifat dasar dan mencakup berbagai bab dan permasalahan fiqh. Qaidah-qaidah
ini disepakati oleh seluruh madzhab. Yang termasuk kategori ini adalah :
3
a. Al-Umuru bi maqashidiha,
b. Al-Yaqinu la Yuzalu bi asy-Syakk,
c. Al-Masyaqqatu Tajlibu at- Taysir,
d. Adh-Dhararu Yuzal,
e. Al- ’Adatu Muhakkamah
2) Al-Qawa’id al-Kulliyyah : yaitu qawa’id yang menyeluruh yang diterima oleh
madzhab-madzhab, tetapi cabang-cabang dan cakupannya lebih sedikit dari pada
qawa’id yang lalu. Seperti kaidah: al-Kharaju bi adh-dhaman/Hak mendapatkan
hasil disebabkan oleh keharusan menanggung kerugian, dan kaidah: adh-Dharar
al- Asyaddu yudfa’ bi adh-Dharar al-Akhaf Bahaya yang lebih besar dihadapi
dengan bahaya yang lebih ringan. Banyak kaidah- kaidah ini masuk pada kaidah
yang 5, atau masuk di bawah kaidah yg lebih umum.
3) Al-Qawa’id al-Madzhabiyyah (Kaidah Madzhab), yaitu kaidah-kaidah yang
menyeluruh pada sebagian madzhab, tidak pada madzhab yang lain. Kaidah ini
terbagi pada 2 bagian :
a. Kaidah yang ditetapkan dan disepakati pada satu madzhab.
b. Kaidah yang diperselisihkan pada satu madzhab.

Contoh, kaidah: ar-Rukhash la Tunathu bi al- Ma’ashiy (Dispensasi tidak


didapatkan karena maksiat). Kaidah ini masyhur di kalangan madzhab Syafi’i dan
Hanbali, tidak di kalangan mazhab Hanafi, dan dirinci di kalangan madzhab
Maliki

4) Al-Qawa’id al-Mukhtalaf fiha fi al-Madzhab al-Wahid, yaitu kaidah yang


diperselisihkan dalam satu madzhab. Kaidah-kaidah itu diaplikasikan dalam satu
furu’ (cabang) fiqh tidak pada furu’ yg lain, dan diperselisihkan dalam furu’ satu
madzhab.
Contoh, kaidah : Hal al-’Ibroh bi al-Hal aw bi al-Maal?(Apakah hukum yang
dianggap itu pada waktu sekarang atau waktu nanti?) Kaidah ini diperselisihkan
pada madzhab Syafi’i.

C. Kegunaan dan Faedah Mempelajari Kaidah Fiqhiyyah


1) Dapat menerapkan kaidah islam secara benar.

4
Perlu diingat, dasar dan hukum fiqih bersumber dari Qur’an, hadist, ijma’ ataupun
qiyas. Apabila kalian mempelajarinya. Selain ilmu yang bertambah, kalian juga
dapat menerapkan kaidah-kaidah Islam secara benar.
2) Memperluas Wawasan Tentang Islam.
Ini hal penting bisa kamu dapat ketika mempelajari ushul fiqh. Apalagi ketika
menghadapi hal-hal yang berkenaan dengan hukum-hukum syariat. Dengan
begitu, ketika menangani hal tersebut, kalian bisa menentukannya dengan mencari
dalil-dalil yang tentu benar dan sudah sesuai dengan syariat Islam.
3) Memperkuat Ketaqwaan.
Mengetahui segala dalil-dalil, mana yang benar maupun yang salah. Membuat kita
akan mengetahui mana yang harus dilakukan dan mana yang harus kita jauhi.
Karena dengan mendalalmi ilmu tersebut akan muncul rasa takut apabila durhaka
kepada sang maha pencipta. Secara tidak langsung dapat meningkatkan ketaqwaan
manusia.
4) Membantu Menyelesaikan perkara Secara Islami.
Di era zaman yang sudah maju sekarang, pastinya kita akan menjumpai berbagai
macam pendapat, baik yang baik maupun yang bertentangan. Ketika
permasalahan tersebut harus dipecahkan, kita dapat mengaplikasikan ilmu agama
yang kita pelajari. Dengan begitu, masalah-masalah tersebut dapat diselesaikan
dengan berprinsipkan pada ajaran agama.
5) Mengaplikasi hukum sesuai syariat agama.
Apapun ilmu yang berlandaskan dengan agama, Insha Allah tersebut tidak akan
menyesatkan. Namun akan mengarahkan segala sesuatu ke arah yang lebih baik.
Karena ketika hukum tersebut diterapkan sesuai dengan syariat agama, Insha
Allah segala keputusannya dapat dipertanggung jawabkan secara agama.
6) Meningkatkan keimanan.
Salah satu yang di dapat dari mempelajari ushul fiqh tentunya selain tidak hanya
mengembangkan ilmu pengetahuan, namun juga dapat meningkatkan tingkat
keimanan. Tentunya harus diimbangi dengan menjalankan perintah-perintahnya
dan menjauhi larangannya. Dengan mendalami hal tersebut, iman secara langsung
akan terbentuk dan semakin kuat.
7) Melindungi diri dari perbuatan dosa.
Pemahaman Qur’an dan sunnah secara mendalam dapat meningkatkan iman dan
taqwa seseorang. Dengan begitu, kamu dapat meminimalisir perbuatan dosa yang
5
telah kita buat selama hidup dunia. Insha Allah kita akan selalu dekat dengan sang
maha pencipta.
D. Dasar-dasar Pengambilan Kaidah Fiqhiyyah
Yang dimaksud sumber pengambilan kaidah ini ialah dasar perumusan kaidah
fiqih atau al-qawaid al-fiqhiyyah, yang meliputi dasar formal dan materialnya. Dasar
formal maksudnya apakah yang dijadikan dasar ulama merumuskan kaidah itu, seperti
nash-nash yang menjadi sumber motivasi penyusun kaidah. Lalu adakah ayat al-
Quran atau hadis Nabi atau bahkan keduanya yang mengandung ketentuan sebagai
dasar dirumuskannya kaidah fikih itu. Adapun dasar material maksudnya dari mana
materi kaidah fikih itu dirumuskan. Apakah semata-mata hasil pemikiran ulama atau
mengambil dari ayat atau sunnah kemudian disimpulkan atau diformulasikan dengan
kata-kata yang sedikit berbeda.
Berikut ini beberapa sumber dan landasan perumusan atas 5 kaidah diatas,
yaitu :
1) Kaidah Pertama, ‫دها‬999‫ور بمقاص‬99 ‫ األم‬, artinya semua perkara bergantung pada
tujuannya (niatnya).

Dasar kaidah ini berdasarkan hadist Nabi ‫ال بالنية‬QQ‫ا األعم‬QQ‫إنم‬ Hadist yang
diriwayatkan sahabat Umar bin Khattab ini berstatus sahih dan masyhur
sebagaimana dikeluarkan oleh enam imam hadis (kutub al-sittah). Kaidah ini
adalah kaidah fikih yang paling penting dan umum.
Sebagaimana dikutip dari Imam al-Qirafi, seorang ulama mazhab Malikiyah,
dalam kitab al-Furuq menyatakan, amal-amal itu sesuai dengan tujuannya, berarti
setiap amal itu bisa dikroscek melalui tujuan/niatnya, sehingga hukum amal itu
seperti hukum tujuannya.
Maksud dari kaidah ini adalah tujuan dari niat yang dimulai yakni untuk
membedakan antara ibadah dan 'adat (adat/budaya), membedakan urutan bagian-
bagian ibadah, seperti wudlu, mandi, dan juga untuk membedakan keraguan-
keraguan antara mandi, mendinginkan diri dan ibadah. Lalu membedakan
menahan dari sesuatu yang membatalkan, bisa jadi karena diet, pengobatan, atau
tanpa tujuan jelas. Membedakan juga duduk-duduk di dalam masjid, bisa saja
istirahat, taqarrub. Membedakan juga pada waktu berpuasa, apakah itu puasa
fardhu, nadzar, atau puasa sunnah, dan seterusnya.

6
Kemudian berkaitan juga soal niat, terdapat waktu niat yakni pada awal ibadah,
kecuali pada puasa boleh mendahulukan niat karena sulitnya membarengkan
waktu awal puasa. Khusus untuk puasa sunah justru malah boleh mengakhirkan
niat puasanya, sedangkan tempat niat adalah hati. Adapun syarat-syarat niat
adalah Islam, mumayyiz, berilmu atas apa yang diniati, dan tidak terkena sesuatu
yang merusak ibadah, seperti murtad di tengah-tengah sholat.
2) Kaidah Kedua, ‫زال بالسك‬99‫ اليقين ال ي‬, artinya keyakinan tidak bisa dihilangkan
dengan keraguan.
Hukum tidak bisa dihilangkan dengan keraguan, baik itu sama-sama meragukan
atau sama-sama unggul. Kaidah yang kedua ini masuk di semua bab-bab fikih,
kalau dipersentasikan bisa mencapai lebih dari 3/4 dari ilmu fikih. Selanjutnya,
kaidah yang kedua ini menurunkan beberapa kaidah cabang, diantaranya :

‫االص ُل بقا ُء ماكان على ماكان‬


(Kaidah asal pada sesuatu adalah sesuatu itu tetap pada kondisinya semula).
Contohnya, ada kasus orang yang meyakini dirinya masih suci dari hadast lalu ia
ragu-ragu suci atau tidak, maka hukum asalnya dia tetap suci, dan begitu pula
sebaliknya.
ْ ‫ك هل فعل شيئا أوْ ال فاألصل أنّه لم‬
‫يفعله‬ ّ ‫من ش‬
(Barangsiapa ragu apakah sudah melakukan sesuatu atau tidak, maka hukum
asalnya dia tidak melakukan sesuatu tersebut).
3) Kaidah Ketiga, ‫ المشقة تجلب التيسير‬, artinya kesukaran memunculkan kemudahan
Kaidah ini berkaitan dengan situasi dan kondisi kesukaran yang terkadang
dihadapi oleh seseorang. Melalui kaidah ini syariat hendak menegaskan bahwa
hukum Islam tidaklah kaku dan sulit. Namun, tidak semuanya dipermudah begitu
saja.
Ada sebab-sebab tertentu yang bisa mendatangkan keringanan atau
kemudahan tatkala menghadapi kesukaran. Sebab-sebab keringanan di dalam
syariat: 1) Bepergian (safar) yang tidak melanggar syariah, makanya boleh qashar
shalat, membatalkan puasa, dan lain-lain. 2) Keadaan sakit (maradh), makanya
boleh bertayamum ketika dirasa ketika menggunakan air. 3) Lupa (nisyan). 4)
Keadaan terpaksa (ikrah). 5) Ketidaktahuan (jahl).
4) Kaidah Keempat, ‫ الضرر يزال‬, artinya Kemudaratan harus dihilangkan.
perumusan kaidah ini berdasarkan nash al-Qur’an dan Sunnah :

7
ّ
‫ لتعتدوا‬Q‫تمسكوهن ضرا ًرا‬ ‫وال‬
“… Janganlah kamu merujuk mereka untuk memberi kemudaratan karena
dengan demikian kamu menganiaya mereka…”

Q‫الضرروالضرار‬
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang
lain”.
Ada beberapa kaidah turunan yang masuk dalam kaidah ini, diantaranya :
a. Keadaan darurat membolehkan suatu yang terlarang seperti boleh makan
bangkai saat kelaparan, saat tersedak dan tidak ada air putih dan hanya ada
arak saja maka melancarkan dengan arak.
b. Apa yang dibolehkan karena alasan darurat harus diperkirakan berdasarkan
kadar kedaruratannya. Maksud kaidah adalah hal-hal yang sebetulnya haram
lalu diperbolehkan atas alasan darurat harus diperkirakan sesuai dengan
tingkat kedaruratannya, tidak boleh berlebihan. Misalnya, saat kelaparan tidak
makanan selain bangkai, maka hanya boleh makan sekedarnya saja.
c. Keadaan bahaya tidak boleh dihilangkan dengan keadaan bahaya pula. Seperti
orang yang sangat kelaparan tidak boleh merampas makanan orang lain yang
juga sama-sama laparnya, atau orang tidak boleh mengobati penyakitnya
dengan barang-barang beracun yang dapat membahayakan nyawanya.
5) Kaidah Kelima, ‫ العادة محكمة‬, artinya adat bisa dijadikan hukum.
Di antara masalah hukum yang berkaitan dengan kaidah yakni tentang usia haid,
usia baligh, durasi haidh, nifas maupun sucinya perempuan, minimal najis yang
dimaafkan, lama dan pendeknya waktu di dalam berturut-turutnya membasuh
wajah ketika wudlu, dan lain-lainnya. Dalam pembahasan relasi adat dan syariat,
tidak jarang terjadi kontradiksi (ta’arudh) antara keduanya. Ada dua jenis di
dalam pembahasan apabila ada pertentangan antara adat dengan syara’.
a. Apabila syara' tidak berhubungan dengan hukum, maka yang didahulukan
adalah adat keseharian. Contohnya, apabila ada orang yang bersumpah tidak
akan makan daging, maka ketika dia memakan ikan, dia tidak terbilang orang
yang melanggar sumpah, meskipun Allah di dalam al-Qur'an menyebut ikan
tergolong daging. Namun, secara adat ikan tidak termasuk kategori daging,
sebab daging identik dengan hewan seperti ayam, sapi, kerbau, unta, kambing,

8
dan kawan-kawan. Dalam kasus ini, bahasa keseharian didahulukan daripada
nash yang tidak berimplikasi pada pembebanan hukum.
b. Apabila syara' berhubungan dengan hukum, maka yang didahulukan adalah
syara' daripada adat keseharian. Contohnya, jika ada orang yang bersumpah
tidak akan menikah, maka ia disebut melanggar sumpah ketika melakukan
akad, bukan ketika ia melakukan hubungan badan.

Rumusan lima kaidah utama di atas tentu saja bukanlah hal yang mutlak. Redaksi
dan substansi kaidah tersebut hari ini memang dikatakan masih relevan, namun
bisa saja pada situasi dan kondisi tertentu di kemudian hari ini terjadi perubahan-
perubahan yang berdampak pula pada perumusan kaidah-kaidah fikih.

E. Pembukuan Kaidah Fiqhiyyah


Sulit diketahui siapa pembentuk pertama kaidah fiqih yang jelas dengan
meneliti kitab-kitab kaidah fiqih dan masa pembentukannya secara bertahap dalam
proses sejarah hukum Islam. Walaupun demikian, dikalangan ulama di bidang fiqih
menyebutkan bahwa Abu Thahir ulama dari mazhab Hanafi yan g hidup diakhir abad
ke-3 dan awal abad ke-4 H telah mengumpukan Kaidah fiqih mazhab Hanafi
sebanyak 17 kaidah.
Kemudian Abu Saad Al-Harawi, seorang ulama mazhab Syafi'i mengunjungi
Abu Thahir dan mencatat kaidah fiqih yang dihafalkan oleh Abu Thahir. Setelah
kurang lebih seratus tahun kemudian, datang Ulama besar Imam Abu Hasan al-Karkhi
yang kemudian menambah kaidah fiqih dari Abu Thahir menjadi 37 kaidah.
Keterangan diatas menerangkan bahwa kaidah-kaidah fiqih muncul pada akhir abad
ke-3 Hijriah. Ketika itu, tantangan dan masalah-masalah yang harus dicarkn solusinya
bertambah beriringan meluasnya wilayah kekuasaan kaum muslim. Maka para Ulama
membutuhkan metode yang mudah untuk menyelesaikan masalah kemudian
muncullah kaidah-kaidah fiqih. Dalam buku kaidah-kaidah fiqih karangan A. Djazuli
digambarkan bahwa skema pembentukan kaidah fiqih adalah sebagai berikut :

9
F. Fungsi Qawaid Fiqhiyyah dalam Hukum Fikih Islam
Di antara manfaat mempelajari al-qawaid al-fiqhiyyah yakni untuk menjadi
alat bantu bagi mujtahid, hakim, imam, dan mufti. Akan tetapi secara khusus dalam
perumusan hukum Islam, berfungsi untuk:
1) Kaidah fikih terdapat posisi yang bagus di dalam dasar-dasar syariat, karena di
situ terhimpun cabang-cabang yang hukumnya bisa dikecualikan. Selain itu,
sasalah-masalah terkadang bisa bertentangan, namun di bawah satu tautan dapat
memudahkan untuk kembali pada kaidah dan membuatnya supaya lebih
terjangkau.
2) Memudahkan ulama selain ahli bidang fikih untuk membaca fikih Islam dan
sejauh mana ketentuan dan kepatuhan terhadap hak dan kewajiban.
Dalam konteks penetapan hukum, kaidah fikih berperan penting sebagai ‘pisau
analisis’ mengingat permasalahan hukum di era kontemporer semakin berkembang
dan kompleks. Tentu saja, kaidah fikih tidak sendirian, dibutuhkan juga perangkat
ilmu lain untuk menghasilkan hukum yang komprehensif.
Lebih jauh, apabila hendak memunculkan kaidah-kaidah baru di dalam fikih,
maka harus ditelusuri dahulu hukum-hukum fikihnya, baru diukur akurasi kaidah
tersebut dengan ayat dan hadist. Selanjutnya, didiskusikan dan diuji oleh para ulama
yang punya kapasitas ilmu, barulah muncul kaidah yang mapan. Kaidah yang sudah
dinilai mapan ini bisa menjadi metode di dalam menjawab problem-problem di
masyarakat dan memunculkan fikif-fikih baru.
Oleh karena itu, seseorang tidak dengan mudah mengeluarkan kaidah-kaidah
fikih, apalagi melangkah jauh seperti berfatwa melalui ijtihad tentang suatu hukum
tanpa menggunakan sederet perangkat ilmu yang tidak sedikit.
G. Peranan Qawaid Fiqhiyyah Dalam Hukum Islam
1) Kaidah yang secara formal dan materil diambil dari nash Ulama sepakat bahwa al-
Qawa’id al-Fiqhiyah yang secara formil dan materil berdasarkan pada al-Qur’an
atau hadis dapat dijadikan sebagai dalil atau sumber hukum (mashdar al-hakam).
2) Kaidah yang secara formal ditimba dari nash. Sedangkan al-Qawa’id al-Fiqhiyah
yang hanya secara formal didasarkan pada al-Qur’an atau hadist. Menurut Dr.
Abdul Aziz Muhammad Azzam, dapat dijadikan sebagai dalil syar’i yang

10
kehujjahan kaidah tersebut merupakan konsekuensi dari kehujjahan nash syar’i
yang menjadi dasar sebuah kaidah.
3) Kaidah yang juga berstatus sebagai al-Qawa’id al-Ushuliyyah Al-Qawa’id al-
Fiqhiyah yang juga berstatus sebagai al-Qawa’id al-Ushuliyyah, menurut Ali
Ahmad al Nadawi dapat dijadikan dalil metodologis dalam kapasitas ia sebagai al-
Qawa’id al-Ushuliyyah bukan sebagai al-Qawa’id al-Fiqhiyah.
4) Kaidah yang tidak termasuk salah satu tipe diatas penggalian hukum dari kaidah
adalah metode yang tidak legal
H. Pembaharuan Hukum Islam
Dalam konteks Kompilasi Hukum Islam, pembaharuan hukum Islam
dipandang sebagai amanah konstitusi negara untuk menggantikan produk-produk
hukum kolonial Belanda yang masih berlaku dan untuk menggantikan beberapa
produk hukum yang dipandang tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Hukum Islam
dalam konteks keindonesiaan terkhusus dalam pembaharuan hukum keluarga meliputi
empat kategori, yaitu: fikih, fatwa, yurisprudensi, dan Undang-Undang. Kompilasi
Hukum Islam merupakan rumusan fikih ala Indonesia yang dijadikan sebagai
pedoman dan rujukan umat Islam Indonesia. Kompilasi hukum Islam sebagai
rumusan fikih, meniscayakan untuk ditafsir sesuai dengan konteksnya. Hal tersebut
dapat dilihat dalam beberapa ketentuan hukum yang ada dalam kompilasi hukum
Islam.
I. Kaidah Fiqhiyyah Dalam Empat Madzhab.
Penetapan Qawaid Fiqhiyyah biasanya menggunakan metode induktif, dimana
beberapa contoh cabang hukum fiqih dikumpulkan lalu ditetapkan kesamaannya
untuk dibuat sebuah kaidah.
Secara umum, Qawaid Fiqhiyyah tiap madzhab memang sama. Tetapi ada
beberapa cabang kaidah yang berbeda antar madzhab, karena memang ada perbedaan
dalam hukum masing-masing madzhab. Sebagai contoh:

‫األصل في األشياء اإلباحة حتى يدل الدليل على التحريم‬


Kaidah: Asal dari segala sesuatu adalah boleh, kecuali ada dalil yang
menunjukkan keharamannya. Ini adalah kaidah Jumhur ulama’ dari Maliki, Syafi’i 
dan Hanbali. Sedangkan menurut sebagian Hanafiyyah, asal sesuatu adalah haram,
kecuali ada dalil yang menyatakan halal. Contoh lagi, kaidah:
Q‫ال ُزخص ال تُنَاط بالمعاصي‬
11
Rukhsah atau keringanan dalam syariat itu tidak bisa diperoleh karena suatu maksiat
Kaidah ini banyak dipakai dalam Madzhab Syafi’i dan Hanbali, tetapi tidak
dalam Madzhab Hanafi. Contoh nyatanya, qashar shalat boleh dilakukan oleh seorang
musafir asal bukan bepergian untuk maksiat. Sedangkan menurut Hanafiyyah, jenis
safar tidak mempengaruhi boleh tidaknya suatu rukhsah atau keringanan ibadah.
Tentu ini menjadi tantangan tersendiri dalam menuliskan Kaidah-Kaidah Fiqih lintas
madzhab.

12
BAB III

KESIMPULAN

Kaidah Fiqhiyyah sebagai salah satu disiplin ilmu, tidak berdiri sendiri dalam
tema dan kajiannya. Sebagai derivasi dari fikih atau hukum Islam, kaidah fiqhiyyah
merupakan simpul-simpul umum dari beberapa permasalahan hukum Islam yang
dapat digunakan oleh kalangan awam maupun fuqahâ dalam mencari solusi
permasalahan hukum yang muncul di tengah masyarakat dalam berbagai tema baik
ibadah, muamalah, maupun isu-isu hukum Islam kontemporer. Ajaran agama itu di
samping menjadi obyek material dari ilmu fiqih, ajaran agama juga menjadi obyek
kajian dari ilmu yang lain, misalnya ilmu tasawwuf dan ilmu kalam. Adapun manfaat
mempelajari al-qawaid al-fiqhiyyah yakni untuk menjadi alat bantu bagi mujtahid,
hakim, imam, dan mufti.

13
DAFTAR PUSTAKA

Muiz, Abdul. 2020. Landasan dan Fungsi Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah Dalam Problematika
Hukum Islam. Jurnal al-Afkar. Volume 3 Nomor 1. Cirebon: Universitas
Muhammadiyah Cirebon.

Saragih, Sokon. 2020. Masa Perkembangan Dan Pembukuan Qawaid Fiqhiyyah. Jurnal
Tazkiya. Volume 9 Nomor 1. Medan: Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan.

Intan, Cahyani. 2016. Pembaharuan Hukum Dalam Kompilasi Hukum Islam. Jurnal
Pembaharuan Hukum Islam UIN Alauddin. Volume 5 Nomor 2. Makassar: UIN Alauddin
Makassar.
https://www.rumahfiqih.com/fikrah-79-tantangan-qawaid-fiqhiyyah.html

iii

Anda mungkin juga menyukai