Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sebagai Umat Islam dalam kehidupan sehari-hari ada
aturan yang mengatur segala aktivitas kita. Semua ada batasanbatasan tertentu serta aturan aturan dalam menjalankannya.
Dan semua aturan serta batasan hukum yang mengatur Umat
Islam didasarkan pada Al-Quran dan Sunnah.
Banyak peristiwa atau kejadian yang

belum

jelas

hukumnya, Karena di dalam Al-quran dan Sunnah tidak dijumpai


atau

ditetapkan

secara

jelas

hukumnya.

Oleh

sebab

itu

diperlukanlah sebuah cara atau metode yang dapat menyingkap


dan memperjelas bahkan menentukan suatu Hukum.
Dulu ketika masa Rasulullah semua permasalahan yang
timbul mudah diatasi karena dapat langsung ditanyakan kepada
Rasulullah, tetapi dimasa sekarang jikalau ada permasalahan
yang timbul bahkan banyak sekali permasalahan yang timbul
yang tidak kita temukan dalam Alquran maupun Sunnah. Di sini
para Ulama melakukan pendekatan yang sah yaitu dengan
Ijtihad dan salah satu ijtihad itu adalah dengan Qiyas.
Qiyas merupakan suatu cara penggunaan pendapat untuk
menetapkan

suatu

hukum

terhadap

suatu

peristiwa

atau

kejadian yang belum jelas atau yang tidak dijelaskan secara jelas
dalam Al-quran dan Sunnah.
Dasar pemikiran Qiyas itu adalah adanya kaitan yang erat antara
hukum dengan sebab. Hampir setiap Hukum di luar bidang
ibadah dapat diketahui alasan rasional ditetapkannya hukum itu
oleh Allah. Illat adalah patokan utama dalam menetapkan
hukum atau permasalahan, Objek masalah adalah sesuatu yang
tidak memiliki Nash. Atas dasar Keyakinan tersebut bahwa tidak
ada yang luput dari Hukum Allah, Maka setiap Muslim meyakini
setiap peristiwa atau kasus yang terjadi pasti ada hukumnya.
Dari paparan latar belakang di atas, Serta mengingat banyak
mahasiswa yang masih belum memahami sepenuhnya mengenai
Sumber Hukum Qiyas, Maka dari itu kami akan membahas
tentang Qiyas sekaligus memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian qiyas ?
2. Apa saja rukun dan syarat-syarat qiyas ?
3. Bagaimana kehujjahan qiyas ?
4. Apa saja macam-macam qiyas ?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk memahami apa pengertian qiyas
2. Untuk mengetahui dan memahami rukun dan syaratsyarat qiyas
3. Mengetahui dan memahami bagaimana kehujjahan
qiyas
4. Mengetahui pembagian macam-macam qiyas

BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa arab (

) artinya ukuran atau

persamaan, seperti seseorang mengukur atau mempersamakan


sesuatu dengan yang lainnya. Oleh karena itulah hingga
timbangan dinamakan mikyaas karena di pakai untuk alat
pengukur. 1
Pengertian qiyas secara terminologiterdapat beberapa
defenisi yang di kemukakan Ulama Ushul Fiqih, sekalipun
redaksinya berbeda, tetapi mengandung pengertian yang sama.
Diantaranya, pengertian qiyas yang di kemukakan oleh Sadr AlSyariah (w. 747 H/1346 M tokoh Ushul Fiqih Hanaafi ) 2
menurutnya qiyas adalah :
Memberlakukan hukum

asal

kepada

hukum

furu

disebabkan kesatuan illat yang tidak dapat dicapat melalui


pendekatan bahasa saja
Maksudnya, illat yang ada pada suatu nash sama dengan
illat yang ada pada kasus yang sedang di hadapi oleh seorang
mujtahid. Karena kesatuan illat ini, maka hukum dari kasus yang
sedang di hadapi di samakan dengan hukum yang di tentukan
oleh nash tersebut.

1 A. Basiq djalil, ilmu ushul fiqih, hal. 154


2 Sadr Al-syariah, jilid II, Hal. 52

Mayoritas

Ulama

As-Syafiiyah

mendefinisikan

qiyas

dengan3 :
Membawa (hukum) yang (belum) kepada (hukum) yang di
ketahui dalam rangka menetapkan menetapkan hukum
bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya, di
sebabkan

sesuatu

yang

menyatukan

keduanya,

baik

hukum maupun sifat.


Syaifuddin Al-Amidi, mendefinisikan Qiyas dengan4 :
mempersamakan illat yang ada pada furu dengan illat
yang ada pada asal yang diistimbatkan dari hukum asal.
Setelah menganalisis beberapa definisi qiyas yang di
kemukakan oleh para ulama ushul fiqih klasik diatas, Wahbah AzZuhaili mendefinisikan qiyas dengan:
Menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash
dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan
kesatuan illat hukum antara keduanya.
Sekalipun terdapat perbedaan redaksi dalam beberapa definisi yang di
kemukaan oleh ulama ushul fiqih klasik dan kontemprer, tetapi mereka sepakat
menyatakan bahwa proses penetapan hukum melalui metode qiyas bukanlah
menetapkan hukum dari awal (itsbat al-hukum wa insyauhum), melaikan hanya
menyingkapkan dan menjelaskan hukum( al-kasyif wa wa al-izhhar li-alhukm)
yang ada pada suatu kasus yang belum jelas hukumnya.

3 Abu hamid al ghazali, al-mushtshfa fi ilm al ushul, beirut :daar al kutub al-ilmiyyah,
jilid II, hal. 54
4 Syaifuddin Al-Amidi, al-ihkan fi ushul al-ahkam, jilid II, hal. 170

Penyingkapan dan penjelasan ini dilakukan melalui penbahasa mendalam


dan teliti terhadap illat hukum dari suatu kasus yang sedang di hadapi. Apabila
illatnya sama dengan illat hukum yang di sebuatkan dalam nash, maka hukum
terhadap kasus yang di hadapi itu adalah hukum yang telah ditentukan nash
tersebut.
Misalnya, seoang mujtahid ingin mengetahui hukum minuman bir dan
wisky, dari hasil pebahasan dan penelitiannya secara cermat, kedua minuman tsb
mengandung zat yang memabukkan sepert zat yang ada di khamar. Zat yang
memabukkan inilah yag menjadi penyebab di haramkannya khamar. Hal ini sesuai
dengan firman Allah dalam surat Al-maidah ayat 90-91
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan.
Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan
dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan
menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah
kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).
Dengan demikian, mujtahid tsb telah menemukan hukum untuk bir dan
wisky, yaitu sama dengan hukum khamar, karena illat ketuanya adalah sama,
yakni sama-sama memabukkan. Kesamaan illat antara kasus yang tidak ada
nashnya dengan hukum yang ada nash-nya dalam al-quran atau hadits,
menyebabkan adanya kesatuan hukum.
Inilah yang dimaksudkan para ulama ushul fiqih bahwa penentuan hukum
melalui metode qiyas bukan berarti menentukan hukum sejak semula, tetapi
menyimngkapkan dan menjelaskan hukum untuk kasus yang sedang di hadapi dan

mempersamakannya dengan hukum yang ada pada nash, disebabkan kesamaan


illat antara keduanya.5

B. Rukun Dan Syarat-Syarat Qiyas


1. Rukun Qiyas
Qiyas, barulah dianggap sah bilamana lenkap rukun-rukunnya. Para ulama
ushul fiqih sepakat bahwa yang menjadi rukun qiyas ada empat, yaitu :
a. Ashl (pokok tempat mengqiyaskan sesuatu), yaitu masalah yang telah
ditetepkan hukumnya baik dalam al-quran atau dalam sunnah rasulullah.
Ashal disebut juga al-maqis alaih(tempat mengqiyaskan sesuatu). Seperti
khamar yang ditegaskan di dalam al-quran.
b. Hukum ashl, yaitu hukum syara yang terdapat pada ashl yang hendak di
tetapkan pada faru (cabang) dengan jalan qiyas. seperti hukum haram
khamar yang di tegas kan dalam Al-quran.
c. Cabang (faru) yaitu sesuatu yang tidak ada ketegaan hukumnya dalam
al-quran, sunnah, atau ijma yang hendak di temukan hukumnya melalui
qiyas, seperti minuman keras wisky.
d. illat, yaitu sifat yang menjadi motif dalam menentukan hukum, seperti
dalam kasus khamar, illatnya adalah memabukkan. karena bedasarkan
illat itulah hukum-hukum yang terdapat dalam al-quran dan sunnah
rasulullah dapat di kembangkan

2. Syarat-Syarat Qiyas
Para ulama ushul fiqih mengemukakan bahwa setiap rukun qiyas
yang telah di paparkan di atas harus memenuhi syarat-syarat tertentu,

5 Nasrun Haroen, ushul fiqih, hal 64

sehingga qiyas dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum. Syaratsyarat tsb adalah sebagai berikut :6
a. Ashl
Patokan dalam penetapan hukum, adakalanya nash adakalanya ijma,
oleh sebab itu, menurut umhur ulama ushul fiqih apabila hukum yang
di tetapkan berdasarkan nash bisa di qiyaskan. Menurut Imam AlGhazali (450505 H / 805-1111 M) dan Saifuddin Al Amidi (keduanya
ahli ushul fiqih as-syafiiyah) syarat-syarat ashl itu adalah :
1) Hukum ashl itu adalah hukum yang telah tetap dan tidak
mengandung kemungkinan di naskh-kan (di batalkan ).
2) Hukum itu di tetapkan berdasarkan syara
3) Ashl itu bukan merupakan faru dari ashl lainnya.
4) Dalil yang menetapkan illat pada ashl itu adalah dalil khusus,
tidak bersifat umum.
5) Ashl itu tidak berubah setelah di lakukan qiyas, dan
6) Hukum ashl iu tidak kelar dari kaidah-kaidah qiyas.
b. Hukum al-ashl
Menurut para ulama ushul fiqih mengatakan bahwa syarat-syarat
hukum al-ashl adalah :
1) Tidak bersifat khusus, dalam artian tidak bisa di kembangkan
kepada faru. Misalnya, dalam sebuah riwayat di katakan :
kesaksian khuzaimah sendirian sudah cukup ( H.R. Abu Daud
Ahmad Ibn Hambal, Al-Hakim, Tirmidzi Dan Nasai ).
Ayat al-quran menentukan bahwa sekurang-kurangnya saksi adalah
dua orang laki-laki atau satu orang laki-laki bersama dua orang
wanita (QS. Al-Baqarah : 282 ). Tetapi Rasulullah menyatakan
bahwa apabila Khuzaimah yang menjadi saksi, maka cukupalh ia
endirian, hukum kesaksian khusus ini tidak bisa di kembangkan
dan di terapkan kepada faru, karena hukum ini hanya berlaku
6 Abu hamid al-ghazali, al-mankhul min taliqat al-ushul, hal 87

untuk pribadi khuzaimah. Demikian juga hukum-huku yang di


khususkan untuk Rasulullah SAW, seperti kawin lebih dari 4 orang
tanpa mahar.
2) Hukum al-ashl itu tidak keluar dari ketentuan ketentuan qiyas.
Maksudnya, suatu hukum yang di tetapkan berbeda dengan kaidah
qiyas, maka hukum lain tidak boleh di qiyaskan kepadaa hukum
itu. hal ini menurut Wahbah Al-Zuhaili7, bisa terjadi dalam dua hal,
yaitu :
a) Hukum yang di tetapkan itu tidak bisa di nalar (ghir maqul
al-mana), seperti kasus kesaksian khuzaimah diatas.
b) Hukum itu merupakan hukum pengecualian yang di syariatkan
sejak semula, seperti adanya rukhshah (keringanan hukum)
bagi musafir dalam menjama / mengqashar shalat, atau
berbuka puasa untuk menghilangka kesulitan atau seperti
menentukan pembayaran diyat pembunuhan bagi Al-Aqilah
(keluarga terdekat pembunuh).
3) Tidak ada nash yan menjelaskan hukum faru yang akan di
tentukan hukumnya. Apabila hukm al-ashl mencangkup hukum
ashl pada satu pihak dan hukum faru pada pihak lain, maka dalil
yang mengandung hukm al-ashl juga merupakan dalil bagi hukum
faru tsb, dalam kasus seperti ini tidak di perlukan qiyas.
4) Hukum al-ashl itu lebih dahulu di syariatkan dari faru. Kaitannya
dalam hal ini, tidak boleh meng-qiyaskan wudhu pada tayamum,
sekalipun illatnya sama, karena syariat whudhu lebih dahulu
turunnya dari syriat tayamum.
7 Wahabah al-zuhaili, al-ushul al-fiqh al-islami, hal 638

c. Faru
Para ulama shul fiqih mengemukakan empat syarat yang harus
di penuhi oleh al-faru, yaitu :
1) illatnya sama dengan illat yang ada pada ashl, baik pada zatnya
maupun pada jenisnya.
Contoh illat yang sama zatnya adalah meng-qiyaskan wisky pada
khamar, karena keduanya sama-sama memabukkan dan yang
memabukkan itu sedikit atau banyak, apabila diminum hukumnya
haram (H.R. Muslim, Ahmad Ibn Hambal, Abu Daud, At-Tirmdzi,
Ibn Majah, dan Nasai). illat yang ada pada wisky sama zatnya/
materinya dengan illat yang ada pada kamar.
Contoh illat yang jenisnya sama adalah meng-qiyaskan wajib
qishash atas perbuatan sewenang-wenang terhadap anggota badan
kepadaa qishash dalam pembunuhan, karena keduanya sama-sama
perbuatan pidana.
Apabila antara illat yang ada pada faru tidak sama dengan illat
yang ada pada ashl maka qiyas seperti ni menurut para ulama ushul
fiqh, di sebut al-qiyas maa al-fariq (qiyas yang bersifat paradok).8
2) Hukum ashl tidak berubah setelah di lakukan qiyas misalnya,
tidak boleh meng-qiyaskan hukum menzhihar wanita dzimmi
kepada menzhihar wanita muslimah dalam mengharamkan
melakukan hubungan suami istri. karena keharaman hubungan
suami istri dalam menzhihar istri yang muslimah bersifat
sementara,

yaitu

sampai

membayar

kafarat.

Sedangkan

keharaman melakukan hubungan suami istri dengan istri yang


8 Nasrun haroen, ushull fiqiih, hal 75

berstatus dzimmi bersifat selamanya, karena orang kafir tidak di


bebani membayar kafarat, dan kafarat merupakan ibadah,
sedangkan meraka tidak di tuntut untuk beribadah.
Apabila qiyas ini di tetapkan, maka menurut Ulama Hanafiyah,
hukum ashl itu bisa berubah, dan ini tidak boleh. Oleh sebab itu,
men-zhihar istri yang berstatu dzimmi, menurut Ulama Hanafiyah
tidak sah. Akan tetapi, menurut Ulama Syafiiyah, hukumnya sah
karena orang dzimmi boleh di kenakan kafarat.
3) Hukum faru tidak mendahului hukum ashl. Artinya, hukum faru
itu harus datang kemudian dari hukum ashl. Contohnya adalah
dalam masalah whudhu dan tayamum sepeti yang sudah di
jelaskan sebelumnya.
4) Tidak ada nash atau ijma yang menjelaskan hukum faru itu.
Artinya, tidak ada nash atau ijma yang menjelaskan hukum faru
dan hukum itu bertentangan dengan qiyas, jika demikian, maka
status qiyas ketika itu bisa bertantangan dengan nash atau ijma
maka qiyas ini di sebuat oleh ulama ushul fiqh sebagai qiyas
fasid, yaitu qiyas yang rusak. Seperti mengqiyaskan hukum
meninggalkan shalat dalam perjalanan kepada hukum bolehnya
musafir tidak berpuasa, karena qiyas seperti ini bertentangan
dengan nash dan ijma.
d. illat
1) Pengertian illat
Pembahasan mengenai syarat-syarat yang terkait dengan illat
akan dibahas lebih khusus dan terperinci, sebab rukun yang satu ini
merupakan inti bagi praktik qiyas.

10

Secara etimologi illat berarti nama bagi sesuatu yang


menyebabkan berubahnya keadaan sesuatu yang lain dengan
keberadaannya. Secara terminologi, terdapat beberapa definisi yang
di kemukakan ulamu ahli ushul fiqih. Mayoritas ilama hanafiyyah,
sebagian ulama hanbillah dan iamam abidhawi (tokoh ushul fiqih assyafiiyyah) merumuskan definisi illat sebagai :
suatu sifat (yang berfungsi) sebagai pengenal bag suatu
hukum.
Maksudnya, apabila terdapat suatu illat pada sesuatu, maka
hukum pun ada, karena keberadaan illat itulah hukum itu di kenal.
Yaitu sebagai tanda atau indikasi keberadaan suatu hukum. Seperti
khamar yang di haramkan karena ada sifat memabukkan yang terdapat
dalam khamar.
Imam Al Ghazali mengemukakan definisi illat sebagai : sifat
yang berpengaruh terhadap hukum, bukan karena zatnya, melainkan
atas perbuatan syari. Saifuddin Al-Amidi mengemukakan definisi
illat itu adalah

al-batsu alaih yaitu motif terhadap hukum.

Maksudnya, illat itu mengandung hikmah yang layak menjadi tujuan


syari dalam menetapkan suatu hukum.
2) Macam-macam illat
Para ulama ushul fiqih mengemukakan pembagian illat itu dari
berbagai segi, diantaranya :
1. Dari segi cara mendapatkannya, illat terbagi menjadi 2
macam, yaitu :
a) al-illah al-manshuhah, yaitu illat yang di kandung
langsung oleh nash.

11

b) Al-illah al-mustanbathah, yaitu illat yang di gali oleh


mujtahid dari nash sesuai dengan kaidah-kaidah yang di
tentukan dan sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa arab.
Kedua illat ini menurut ulama dapat di jadikan sebagai
sifat dalam menentukan hukum syara.
2. dari segi cangkupan (bisa atau tidaknya illat itu di
terapkannya pada kasus hukum lainnya), illat ituterbagi
menjadi 2 macam, yaitu :
a) al-illah al-mutaaddiyah,

yaitu

illat

yang

di

tetapkansuatu nash dan bisa di terapkan pada kasus


hukum lainnya dan para ulama sepakat bahwa illat ini
dapat di jadikan sifat dalam menetapkan suatu hukum.
b) Al-illah al-qashirah, yaitu illat yang terbataspada suatu
nash saja tidak terdapat dalam kasus lain, baik illat itu
manshusashah maupun mustanbathah dan illat ini
masih di perselisihkan untuk di jadikan sifat dalam
menetapkan suatu hukum.
3) Syarat-syarat illat
Para ulama ushul fiqih mengemukakan sejumlah syarat illat
yang dapat dijadikan sebagai sifat yang menentukan suatu hukum.
Diantaranya adalah9 :
1. illat itu mengandung motivasi hukum, bukan sekedar tanatanda atau indikasi hukum.
2. illat itu dapat di ukur dan berlakuuntuk semua orang.
Maksudnya, illat itu memiliki hakikat tertentu dan terbatas,
berlaku untuk setiap orang dan keadaan.
9 Saifuddin al-amidi, ak-ihkam fi ushul al-ahkam, jilid III, hal 11

12

3. illat itu jelas, nyata, dan bisa di tangkap indra manusia,


karena illat merupakan pertanda adanya hukum.
4. illat itu merupakan sifat yang sesuai dengan hukum, artinya,
illatnya di tentukan berdasrkan analisis mujtahid sesuai
dengan hukum itu.
5. illat itu tidak bertentangan dengan nash ata ijma.
6. illat itu bersifat utuh dan berlakusecara timbal balik.
Maksudnya, apabila ada illat, maka hukumnya ada, dan
sebaliknya apabila illatnya hilang, maka hukumnya pun
hulang.
7. illat itu tidak datang belakangan dari hukum ashl.
8. Hukum yang mengandung ilat itu tidak mencangkup hukum
faru (yang akan di carikan hukumnya melalui qiyas )
9. illat itu terdapat dalam hukum syara
10. illat itu tudak bertentangan dengan illat lain yang posisinya
lebih kuat.
11. Apabila illat itu diistimbatkandari nash, maka ia tidak
menambah nash itu sendiri.
12. illat itu bisa di tetapkan dan di terapkan pada kasus hukum
lain.
4) Cara cara mengetahui illat
Para ulama ushul fiqih menetapkan bahwa illat suatu hukum
dapat di ketahui dengan cara berikut10 :
1. Melalui nash, baik dari Al-Quran maupun Sunnah
2. Melalui ijma.
3. Melalui al-ima wa al-tanbih, yaitu penyertaan sifat dengan
hukum dan di sebutkan dalam lafal.
4. Melalui al-shibr wa al-taqsiim,
5. Melalui munaasabah, yaitu sifat nyata yang terdapat pada
suatu hukum dapat diukur dan dapat di nalar, merupakan
10 Saifuddin al-amidi, ak-ihkam fi ushul al-ahkam, hal 59

13

tujuan yang dikandung, yaitu berupa pencapaian terhadap


suatu kemaslahatan atau penolakan terhadap kemudharatan.
6. Melalui tanqiih al-manaath, yaitu upaya seorang mujtahid
dalam menentukan illat dari berbagai sifat yan dijadikan illat
oleh syari dalam berbagai hukum.
7. Melalui al-thard, yaitu penyertaan hukum dengan sifat
tanpaadanya keserasian antara keduanya.
8. Melalui al-syaabah, yaitu sifat yang mempunyai keserupaan.
9. Melalui dauraan, yaitu suatu keadaan dimana ditemukan
hukum apabila bertemu sifat dan tidak terdapat hukum ketika
sifat tidak di temukan.

C. Kehujjahan Qiyas
Jumhur ulama berpendapat boleh berhujjah dengan qiyas, yakni wajib
mengamalkan hukum yang di dapat dengan jalan qiyas. Adapun yang tidak
menerima pendapat yang demikian antara lain adalah golongan imamiyah.
Adapun alasan yang menunjukkan boleh berhujjah dengan qiyas, adalah:
1. Banyak imam-imam masa sahabat yang mengamalkan qiyas bila tidak
terdaat keterangan di dalam al-quran atau sunnah, sedangkan sahabat lain
tidak membantanya. Sebagai contoh misalnya : kalifah Abu Bakar Ra.
Meng-qiyas hukum orang yang enggan membayar zakat dengan hukum
orang yang meninggalkan shalat, sehimgga membolehkan memeragi bani
hanifah yang tidak mau membayar zakat. Dan hal ini di setujui oleh para
sahabat yang lain.
2. Firman Allah yang berbunyi : maka ambillah itibar ( pelajaran) wahai
orang-orang yan menpunyaipemandangan( al-hasyr : 2). Dilalah yang
terkandung dalam ayat ini tentang yang di namakan qiyas adalah
mempersamakan hukum yang ada pada asal terhadap hukum faru, sedang

14

mempersamakan itu adalah itibar, karena pengambilan itibar adalah hal


yang di perintahkan seperti yang tersebut pada ayat di atas, maka qiyas
dengan sendirinya termasuk hal yang di perintahkan pula.
3. Alasan jumhur ulama dari hadits Rasulullah, diantaranya adalah riwayat dari
Muaz Ibn Jabal yang amat populer. Ketika itu, Rasulullah mengutusnya ke
yaman untuk menjadi qadhi( hakim). Rasulullah melakukan dialog singkat
dengan Muaz, seraya bersabda :
bagaiman cara kamu memutuskan suatu perkara yang di ajukan kepada
engkau? lalu muaz ibn jabal menjawab : saya akan cari hukumnya dalam
kitabbullah

(Al-Quran).

Kemudian

Rasulullah

melanjutkan

pertanyaannya, jika tidak kamu temukan jawabannya dala kitabullah ?,


jawab muaz. saya akan mencari dalam sunnah Rasulullah. Selanjutnya
rasulullah bertanya, jika dalam sunnah rasulullah juga tiak engkau
temukan hukumnya ?, jawab muaz saya akan berijtihad sesuai dengan
pendapat saya. Lalu Rasulullah menguapdada muaz, seraya berkata,
alhamdulillah tindakan utusan Rasulullah telah sesuai dengan kehendak
Rasulullah. (H.R. Ahmad Ibn Hambal, Abu Daud, Al-Tirmidzi, At-Tabrani,
Al-Dariimi, dan Al-Baihaqi).
Dalam hadits ini, menurut jumhur ulama ushul fiqih, Rasulullah
mengakui ijtihad berdasarkan pendapat akal, dan qiyas termasuk ijtihad
melalui akal, dan menujukkan bahwa qiyas dapat dijadikan sebagai hujjah
dalam menetapkan suatu hukum11.
4. Ayat lain yang di jadikan alasan qiyas adalah seluruh ayat yang mengandung
illat sebagai penyebab munculnya hukum tersebut. Seperti :
11 Basiq djalil, ilmu ushul fiqih, hal 157

15

a. Surat al-baqarah ayat 179, yang artinya ..dan dalam qishash itu ada
(jaminan kelangsungan) hidup bagimu...
b. Surat al-baqarah ayat 222, yang artinya : mereka bertanya kepadamu
(mhammad) tentang haid. Katakanlah, haid itu adalah kotran. Oleh
sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita yang sedang
haid.
c. Dalam mengharamkan khamar, allah berfirman dalam surat al-maidah
ayat 91 : Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan
permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum)
khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah
dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan
itu).
d. Dan firman Allah dalam surat Al-maidah ayat 6, yang artinya : ..Allah
tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu,
dan menyempurnakannikmat-Nya bagimu..
Seluruh ayat diatas, menurut jumhur ulama secara nyata menyebutkan illat
yang menjadi penyebab munculnya hukum. Inilah makna qiyas.
Para ulama membolehkan qiyas sebagai hujjah dalam menetapkan hukum
syara, bukan berarti membuat hukum baru yang di tetapkan berdasarkan qiyas
tsb, tetapi menyingkap illat yang ada pada suatu kasus dan menyamakannya
dengan illat yang terdapat dalam nash. Atas dasar kesamaan illat inilah hukum
dari kasus ang di hadapi tersebut di samakan dengan hukum yang telah di
tentukan nash.12
D. PEMBAGIAN QIYAS
12 Nasrun haroen, ushul fiqih, hal 70

16

Para ulama ushul fiqih mengemukakan bahwa qiyas dapat di bagi / di


golongkan dari beberapa segi, yaitu13 :
1. Dilihat dari segi kekuatan illat yang terdapat pada furu di bandingkan
dengan yang tedapat pada ashl, dari segi ini, qiyas dibagi kepada 3 bentuk,
yaitu :
a. Qiyas al-ulaawiy, yaitu qiyas yang hukumnya pada furulebih kuat dari
pada hukum ashl, karena illatnya yang terdapat pada furu lebi kuat dari
yang ada pada ashl. Misalnya, meng-qiyaskan memukul pada ucapan
ah ( QS. Al-isra ayat 23). Para ulama mengatakan bahwa illat
larangan ini adalah menyakii orang tua. Keharaman memukul orang tua
lebih kuat dari pada sekedar mengatakan ah saja, karena sifat
menyakiti melalui pukulan lebih kuat dari pada ucapan ah
b. Qiyas al-musaawiy, yaitu hukum pada furu sama kualitasnya dengan
hukum yang ada pada ashl, karena kualitas illat pada keduanya juga
sama. Misalnya, Allah berfirman dalam surat an-nisa ayat 2 :
dan berikanlah kepada anak-anak yatim( yang sudah baligh)harta
mereka, janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan
jangan kamu memakan hara mereka dengan hartamu...
Ayat ini mengandung larangan memakan hart anak yatimsecara tidak
wajar. Para ulama meng-qiyaskan membakar harta anak yatim kepada
memakan harta anak yatim secara tidak wajar, sebab, kedua sebab itu
sama-sama menghabiskan harta anak yatim dengan cara zalim.
c. Qiyas al-adnaa, yaitu illat yang ada pada furu lebih lemah dari illat
yang ada pada ashl. Artinya, ikatan illat yang ada pada furu sangat
lemahdi banding dengan ikatan illat yang ada pada ashl. Seperti
13 Saifuddin al-amidi, ak-ihkam fi ushul al-ahkam, hal 63

17

mengqiyaskan apel pada gandum dalam hal berlakunya riba fadhl, karena
keduanya mengandung illat yang sama, yaitu sama-sama makanan.
Dalam sebuah hadits Rasulullah dikatakan bahwa benda apabila di
pertukarkan dalam benda kuantitas, maka perbedaan itu menjadi riba
fadhl. Dalam hadits tsb diantaranya disebutkan gandum. (H.R. Bukhari
dan Muslim). Imam Syafii mengatakan bahwaa berlakunya hukum riba
pada apel lebih lemah di banding dengan berlakunya pada gandum,
karena llat riba fadhl pada gandum lebih kuat.
2. Dari segi kejelasan illat yang terdapat pada hukum, qiyas dibagi menjadi 2
macam :
a. Qiyas al-jaly, yaitu qiyas yang illatnya ditetapka oleh nash bersamaan
dengan hukum ashl. Atau nash tidak menetapkan illatnya, tetapi
dipastikan bahwa tidak ada pengaruh perbedaan antara ashl dan furu.
Seperti dalam kasus kebolehan meng-qashar shalat bagi musafir laki-laki
dan perempuan. Sekalipun antara keduanya sekalipun anara keduanya
terdapat perbedaan kelamin, tetapi perbedaan ni tudak berpengaruh atas
kebolehan wanita meng-qashar shalat. Qiyas al-jaliy ini mencangkup
qiyas al-aulawiy dan qiyas al-musawiy14.
b. Qiyas al-khfiy. Yaitu qiyas yang illatnya tidak tersebutkan dalam nash.
Seperti meng-qiyaskan pembunuhan dengan benda berat kepada
pembunhan dengan benda tajam dalam memberlakukan hukuman qishash.
Karena illatnya sama-sama pembunuhan dengan sengaja. Qiyas al-adnaa
yang di kemukakan pada baian pertama termasuk kedalam qiyas al-khafiy
ini.
14 Lihat syarh al-mahalli ala jami al-jawami. Jilid II, hal 204

18

3. Dilihat dari keserasian illat dengan hukum, qiyas terbagi atas 2 bentuk,
yaiu :
a. Qiyas al-muatstsir, yaitu qiyas yang menjadi penghubung antara ashl
dengan furu di tetapka melalui nash sharih atau ijma atau qiyas yang
ain sifat yang menghubungkan ashl dengan furu berpengaruh pada
hukum itu sendiri.
b. Qiyas al-mulaim, yaitu qiyas yang illat hkum ashlnya mempunyai
hubungan serasi.
4. Dilihat dari segi di jelaskan atau tdaknya illat pada qiyas tersebut, qiyas
dapat dibagi menjadi 3 bentuk, yaitu :
a. Qiyas al-mana yaitu qiyas yang didalamnya tidak di jelaskan illatnya,
tetapi antara ashl dengan furutidak dapat di bedakan, sehingga furu
seakan-akan ashl.
b. Qiyas al-illat, yaitu qiyas yang dijelaskan illatnya dan illat itu sendiri
merupakan mitivasi bagi hukum ashl.
c. Qiyas al-dalaalah, yaitu qiyas yang illatnya bukan pendorong bagi
penetapan hukum itu sendiri, tetapi illat itu merupakan keharusan yang
memberi petnjuk adanya illat.
5. Dilihat dari segi metode (masaalik) dalam menemukan illat, qiyas dapat di
bagi kepada :
a. Qiyas al-ikhaalah, yaitu illatnya sitetapkan melalui munaasabah dan
ikhaalah.
b. Qiyas al-syaabah yaitu qiyas yang illatnya ditetapkan melalui metode
sayaabah.
c. Qiyas al-sibru, yaitu qiyas yang illatnya ditetapkan mealui metode alsibr wa al-taqsiim.
d. Qiyas al-thard, yaitu qiyas yang illatnya ditetapkan melalui metode
thard, contoh-contoh dari qiyas ini telah di kemukakan di atas.

19

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Yang dimaksud dengan Qiyas yaitu Menyatukan sesuatu yang tidak
disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya
oleh nash, disebabkan kesatuan illat hukum antara keduanya.
Ada beberapa rukun qiyas yang telah di sepakati para ulama ahli ushul fiqih,
dan setiap rukun memiliki syarat-syarat khusus, rukun-rukan tersebut yaitu :
a.
b.
c.
d.

Ashl
Hukum ashl
Cabang (faru)
illat
Kehujjahan qiyas sebagai salah satu metode ijtihad berdasarkan pendapat

akal, dan menujukkan bahwa qiyas dapat dijadikan sebagai hujjah dalam
menetapkan suatu hukum dapat dilihat dari ayat-ayat al-quran dan hadits yang
menganjurkan untuk meng-qiyaskan sesuatu sesuai dengan illatnya.
Ulama ahli ushul fiqih membagi qiyas ditinjau dari beberapa segi,
diantaranya :
a. Dilihat dari segi kekuatan illat yang terdapat pada furu di bandingkan
b.
c.
d.
e.

dengan yang tedapat pada ashl.


Dari segi kejelasan illat yang terdapat pada hukum,
Dilihat dari keserasian illat dengan hukum,
Dilihat dari segi di jelaskan atau tidaknya illat pada qiyas tersebut,
Dilihat dari segi metode (masaalik) dalam menemukan illat.

20

DAFTAR PUSTAKA

Al-Amidi, Saifuddin. 1983. Al-ihkam fi ushul al-ahkam. Beirut :


Daar Al-Kutub Al-Ilmiyyah.

21

Al-Ghazali, Abu Hamid. 1980. Al-mankhul min taliqat al-ushul.


Beirut : Daar Al-Fikr.
Al-Syariah, Ubaidillah Ibn Masud Al-Bukhari Shadr. Tanqiih alushul. Makkah Al-Mukarramah : Maktabah Al-Baz.
Asmawi. 2011. Perbandingan ushul fiqih. Jakarta : Amzah.
Az-Zuhaili, Wahbah. 1969. Al-wasit fi ushul al-fiqih. Damaskus: AlMatbaah Al-Islamiyah.
Basiq, A. Djalil. 1982. Ilmu ushul fiqih. Semarang: Toha Putra.
Effendi, Satria M.Zein. 2005. Ushul fiqih. Jakarta : Kencana.
Haroen, Nasrun. 1997. Ushul fiqih jilid 1. Jakarta : Logos Wacana
Ilmu.

22

Anda mungkin juga menyukai