Anda di halaman 1dari 10

B.

Metode Istinbath Hukum : Al-Bayani/Lughawi, ta’lili, dan Istishlahi


a. Pengertian Metode Penemuan Hukum Islam

Dalam istilah ilmu Ushul Fiqh metode penemuan hukum dipakai dengan
istilah ”istinbath”, yaitu mengeluarkan hukum dari dalil, jalan istinbath ini
memberikan kaidah-kaidah yang bertalian dengan pengeluaran hukum dari
dalil. Imam Al-Ghazali dalam kitabnya”Al-Mustashfa, memasukan dalam bab III
dengan judul ”Thuruqul Istitsmar”. Jika dilihat tujuan mempelajari Ushul
Fiqh maka password yang paling penting dalam mempelajari ilmu tersebut adalah
agar dapat mengetahui dan mempraktekkan kaidah-kaidah cara mengeluarkan
hukum dari dalilnya.
Dengan demikian metode penemuan hukum merupakan thuruq al-
istinbath yaitu cara-cara yang ditempuh seorang mujtahid dalam mengeluarkan
hukum dari dalilnya, baik dengan menggunakan kaidah-kaidah bahasa maupun
dengan menggunakan kaidah-kaidah Ushuliyah lainnya. Ahli Ushul Fiqh
menetapkan ketentuan bahwa untuk mengeluarkan hukum dari dalilnya harus
terlebih dahulu mengetahui kaidah syar’iyyah dan kaidah lughawiyah.

1. Kaidah syar‟iyyah.
Kaidah syar’iyyah ialah ketentuan umum yang ditempuh syara’ dalam
menetapkan hukum dan tujuan penetapan hukum bagi subjek hukum
(mukallaf). Selanjutnya perlu juga diketahui tentang penetapan dalil yang
dipergunakan dalam penetapan hukum, urut-urutan dalil, tujuan penetapan
hukum dan sebagainya.
2. Kaidah lughawiyah.
Dengan kaidah lughawiyah, makna dari suatu lafaz, baik dari dalalah-nya
maupun uslub-nya dapat diketahui, selanjunya dapat dijadikan pedoman dalam
menetapkan hukum. Kaidah ini berasal dari ketentuan-ketentuan ahli lughat
(bahasa) yang dijadikan sandaran oleh ahli ushul dalam memahami arti lafaz
menurut petunjuk lafaz dan susunannya.
Dengan demikian istinbath adalah cara bagaimana memperoleh ketentuan
Hukum Islam dari dalil-dalilnya sebagaimana dibahas dalam ilmu Ushul Fiqh.
Usaha memperoleh ketentuan hukum dari dalilnya itulah yang disebut
istinbath. Beristinbath hukum dari dalil-dalilnya dapat dilakukan dengan jalan
pembahasan bahasa yang dipergunakan dalam dalil Al-Quran atau Sunnah
Rasul, dan dapat pula dilakukan dengan jalan memahami jiwa hukum yang
terkandung dalam dalilnya, baik yang menyangkut latar belakang yang menjadi
landasan ketentuan hukum ataupun yang menjadi tujuan ketentuan hukum.
Syarat untuk dapat beristinbath dengan jalan pembahasan bahasa adalah harus
memahami bahasa dalil Al-Quran dan Sunnah Rasul, yaitu bahasa Arab. Tanpa
memiliki pengetahuan bahasa Arab, beristinbath melalui pembahasan bahasa
tidak dapat dilakukan. Dari sinilah dapat diketahui bahwa pengetahuan tentang
bahasa Arab merupakan hal yang mutlak wajib dipelajari oleh setiap orang
yang ingin berijtihad.

b. Metode Penemuan Hukum Bayani, Ta’lili, Istislahi


a) Metode Bayani
Dalam perspektif penemuan hukum Islam dikenal juga dengan istilah metode
penemuan hukum al-bayan mencakup pengertian al-tabayun dan al-tabyin : yakni
proses mencari kejelasan (azh-zhuhr) dan pemberian penjelasan (al-izhar) ; upaya
memahami (alfahm) dan komunikasi pemahaman (al-ifham) ; perolehan makna (al-
talaqqi) dan penyampaian makna (al-tablig). Dalam perkembangan hukum bayani
atau setidak-tidaknya mendekati sebuah metode yang dikenal juga dengan istilah
hermaneutika yang bermakna “mengartikan‟, “menafsirkan‟ atau “menerjemah‟
dan juga bertindak sebagai penafsir. Dalam pengertian ini dapat dipahami sebagai
proses mengubah suatu dari situasi ketidaktahuan menjadi mengerti, atau usaha
mengalihkan diri dari bahasa asing yang maknanya masih gelap ke dalam bahasa
kita sendiri yang maknanya lebih jelas, atau suatu proses transformasi pemikiran
dari yang kurang jelas atau ambigu menuju ke yang lebih jelas/konkret; bentuk
transformasi makna semacam ini, merupakan hal yang esensial dari pekerjaan
seorang penafsir/muffasir.
Dalam tradisi Hukum Islam sesungguhnya terminologi hermeneutika telah
lama dikenal dalam keilmuan Islam yang sering disebut dengan istilah “ilmu tafsir”
(ilm ta’wil dan ilm al bayan). Bahkan dalam perkembangan dewasa ini ilmu tafsir
mengalami kemajuan pesat dalam wacana keislaman, dalam perspektif yang lebih
spesifik, penggunaan istilah “ilmu tafisr‟ ditujukan pada terminologi
“hermeneutika Al Quran” sebagaimana padanan kata dari hermeneutika pada
umumnya. Trem yang digunakan dalam kegiatan interprestasi dalam wacana ilmu
keislaman adalah “tafsir”. Kata tafsir berasal dari bahasa Arab; fassara atau safara
yang artinya digunakan secara teknis dalam pengertian eksegesisi (penafsiran teks)
di kalangan orang Islam sejak abad ke-5 hingga sekarang.
Secara epistemologi kata tafsir (al-tafsir) dan ta’wil (al-ta’wil) sering kali
disinonimkan pengertiannya ke dalam “penafsiran‟ atau “penjelasan‟. Al-Tafisr
berkaitan dengan interprestasi eksternal, sedangkan al-ta’wil lebih merupakan
interprestasi dalaman yang berkaitan dengan makna batin teks dan penafsiran
metaforis terhadap Al Quran. Dengan kata lain al-tafsir suatu upaya untuk
menyingkap sesuatu yang samar-samar dan tersembunyi melalui mediator,
sedangkan ta’wil kembali ke sumber atau sampai pada tujuan, jika kembali kepada
sumber menunjukan tindakan yang mengupayakan gerak reflektif, maka makna
sampai ke tujuan adalah gerak dinamis.
Hermeneutika yang dalam bahasa hukum Islam merupakan ilmu atau seni
menginprestasikan “teks‟ atau memahami sesuatu dalam pengertian memahami
teks hukum atau peraturan perundang-undangan dan kapasitasnya menjadi objek
yang ditafsirkan. Kata sesuatu/teks di sini bisa berupa: teks hukum, peristiwa
hukum, fakta hukum, dokumen resmi negara, naskah-naskah kuno, ayat-ayat ahkam
dan kitab suci atapun berupa pendapat dan hasil ijtihad para ahli hukum (doktrin).
Metode dan teknik menafsirkannya dilakukan secara holistik dalam bingkai
keterkaitan antara teks, konteks dan kontekstualisasi.
Secara filosofis metode bayani mempunyai tugas ontologis yaitu
menggambarkan hubungan yang tidak dapat dihindari antara teks dan pembaca,
masa lalu dan sekarang yang memungkinkan untuk memahami kejadian yang
pertama kali. Urgensi kajian ini dimaksudkan tidak hanya akan membebaskan
kajian-kajian hukum dari otoritarianisme para yuris positif yang elitis, tetapi juga
dari kajian-kajian hukum kaum strukturalis atau behavioralis yang terlalu emperik
sifatnya. Sehingga diharapkan kajian tidak semata-mata berkutat demi kepentingan
profesi yang eksklusif semata-mata menggunakan paradigma positivisme dan
metode logis formal, namun lebih dari itu agar para pengkaji hukum supaya
menggali dan meneliti makna-makna hukum dari perspektif para pengguna
dan/atau para pencari keadilan.
Relevansi dari kajian penemuan hukum bayani mempunyai dua makna
sekaligus: Pertama, metode bayani dapat dipahami sebagai metode interprestasi
atas teks-teks hukum atau metode memahami terhadap suatu naskah normatif, di
mana berhubungan dengan isi (kaidah hukumnya), baik yang tersurat maupun yang
tersirat, atau antara bunyi hukum dan semangat hukum. Kedua, metode bayani juga
mempunyai pengaruh besar atau relevansi dengan teori penemuan hukum. Hal
mana ditampilkan dalam kerangka pemahaman lingkaran spiral hermenuetika yaitu
berupa proses timbal-balik antara kaidah-kaidah dan fakta-fakta.

b) Metode Ta’lili
Metode ta’lili yaitu metode yang bercorak pada upaya penggalian hukum yang
bertumpu pada penentuan ‘illah-illah’ hukum (suatu yang menetapkan adanya
hukum) yang terdapat dalam suatu nash.
Berkembangnya corak penalaran ta’lili ini karena didukung oleh suatu
kenyataan bahwa nash Al-Quran atau hadis dalam penuturannya tentang suatu
masalah hukum sebagian di iringi dengan penyebutan ‘illah-illah’ hukumnya. Atas
dasar ‘illah yang terkandung di dalam suatu nash permasalahan-permasalahan
hukum yang muncul diupayakan oleh mujtahid pemecahannya melalui penalaran
terhadap ‘illah yang ada dalam nash tersebut. Dalam perkembangan pemikiran
ushul fiqh, yang termasuk dalam corak penalaran ta’lili ini adalah metode qiyas dan
istihsan, dimana uraian dari kedua hal tesebut yaitu:

 Qiyas
Secara etimologi kata qiyas berarti qadara, artinya mengukur membandingkan
sesuatu dengan sesuatu yang lainnya. Sedangkan arti qiyas menurut
terminologi terdapat beberapa definisi yang berbeda-beda, diantaranya:
Pertama: AL-Ghazali dalam al-Mustafa memberikan definisi qiyas yaitu
menanggungkan sesuatu yang di kehendaki kepada sesuatu yang di ketahui adalah
hal penetapan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum pada keduanya
disebabkan ada hal yang sama antara keduanya, dalam penetapan hukum/sifat atau
peniadaan hukum/sifat.
Kedua: Muhammad abu zahrah mendefinisikan menghubungkan sesuatu
perkara yang tidak ada nash tentang hukum nya kepada perkara lain yang ada nash
hukum nya karena keduanya berserikan dalam ‘illah hukumnya.
Ketiga: Ibn as-Subki dalam kitabnya jam’u al-Jawami memberikan definisi
qiyas adalah menghubungkan sesuatu yang di ketahui kepada sesuatu yang
diketahui karena kesamaan dalam ‘illah hukumnya menurut pihak yang
menghubungkan (mujtahid).
Dari penafsiran di atas dapat di definisikan qiyas adalah mempersamakan
peristiwa hukum yang tidak di tentukan hukum nya oleh nash, dengan peristiwa
hukum yang telah ditentukan oleh nash bahwa ketentuan hukum nya sama dengan
hukum yang ditentukan nash.
Jumhur kaum muslimin sepakat bahwa semua hukum syara’ yang dibawa oleh
nash itu, disyariatkan untuk mewujudkan kemaslahatan kepentingan manusia,
bukan tanpa tujuan. Apabila hukum-hukum itu termasuk kategori yang tak terdapat
jalan bagi akal mencari kemaslahatan yang detail yang perlu diwujudkan oleh
penetapannya seperti hukum ibadah, maka hukum ini disebut dengan ta’abbudi
yang diharuskan pelaksanaan-pelaksanaannya menurut ketentuan yang dibawa oleh
nash. Tetapi apabila hukum-hukum yang dibawa nash termasuk kategori terdapat
peluang akal mencari kemaslahatan yang menjadi tujuan dan ‘illah yang
melandasinya, maka subjek hukum (mukallaf) melaksanakannya atau
memperlakukannya pada semua peristiwa hukum yang dicakup oleh nash itu dan
para mujtahid berkewajiban mengetahui maslahat yang menjadi tujuan syara’
menetapkannya serta mengetahui ‘illah hubungan itulah terwujudnya maslahat.
Sehingga apabila dihadapkan kepada mereka suatu peristiwa hukum yang lain dari
peristiwa yang disebutkan nash dan mereka mendapatkan kejelasan bahwa
didalamnya terwujud ‘illah itu. Maka mereka akan menetapkan hukumnya oleh
nash karena maslahat yang terjadi tujuan syara’ itu sudah terwujud.
Adapun cara mengetahui ‘illah ada beberapa macam diantaranya dengan nash
itu sendiri yaitu apabila nash–nash Alquran atau hadis telah menunjukan bahwa
‘illah hukum nya adalah sifat yang disebut nash–nash itu sendiri, maka sifat yang
disebut itulah yang menjadi ‘illah hukum nya dan disebut manshushah’alaihi.
Mengqiyaskan hukum suatu dengan hukum yang ‘illah hukum nya telah disebutkan
oleh nash itu sendiri, pada hakikatnya adalah menetapkan hukum sesuatu pada
nash. Dallalah nash (penunjukan nash) bahwa sifat yang disebutkan oleh nash
adalah ‘illah hukum nya itu, kadang-kadang sharihah (jelas sekali) atau secara Ima
(Isyarat). Syarihah ialah dalalah lafadz nash kepada ‘illah hukum dengan
penunjukan secara jelas sekali disebutkan: ‘illah-nya adalah demikian atau
sebabnya demikian. Contoh hadis yang mengqiyaskan perbuatan hukum: “si
pembunuh tidak mewarisi orang yang di bunuhnya”
Hadis ini menunjukan (hukum) terhalangnya kewarisan pada peristiwa hukum
(waris yang membunuh pewarisnya). Maka apabila dengan Ijtihadnya seorang
mujtahid sampai kepada kesimpulan bahwa kemaslahatan yang dimaksudkan oleh
syara’ menetapkan hukum “tidak mendapat hak waris seseorang yang
mempercepat sesuatu sebelum waktu dan terhalangnya seorang pelaku pidana
kejahatan mendapatkan hasil (akibat hukum) dari kejahatannya, serta sampai pula
kepada kesimpulan ‘illah yang jelas dijadikan syara’ sebagai hubungan hukum
berupa pembunuhan karena didalamnya menghubungkan halangan warisan
dengan sebab pembunuhan itulah terwujudnya kemaslahatan tersebut. Sedangkan
asas qiyas adalah menta’lilkan hukum nash, Ta’lil hukum nash maksudnya ialah
menyatakan asas yang dijadikan landasan oleh syara’ menetapkan hukum nya pada
nash. Jumhur kaum muslimin sepakat bahwa Syari’ah tidaklah menetapkan sesuatu
hukum secara kebetulan tanpa sebab yang menuntutnya dan tanpa maslahat yang
menjadi sasarannya.
Dari uraian diatas, dapat dikatakan bahwa qiyas sebagai istinbath ta’lili
merupakan upaya nalar yang memiliki kedekatan hubungan dengan nash. Qiyas
sebagai penalaran ta’lili harus senantiasa dipertajam dengan pertimbangan
maqashid asy-syari’ah baik yang berkaitan dengan kemasyarakatan, ekonomi,
politik dan moral. Pertimbangan maqashid asy-syariah menjadikan metode qiyas
lebih dinamis sebagai solusi permasalahan-permasalahan hukum.

 Istihsan
Istihsan merupakan salah satu metode ijtihad yang di perselisihkan oleh para
alim ulama, meskipun dalam kenyataanya, semua ulama menggunakannya, para
ulama menggunakannya secara praktis. Pada dasarnya para ulama menggunakan
istihsan dalam arti bahasa yaitu berbuat sesuatu yang lebih baik atau mengikuti
suatu yang lebih baik.
Sedangkan secara istilah menurut ahli ushul dari kalangan Hanafiah, Malikiah
dan Hanabilah dalam mendefinisikan istihsan adalah berpindah dari suatu ketentuan
terhadap beberapa peristiwa hukum kepada ketentuan hukum lain, mendahulukan
suatu ketentuan hukum dari ketentuan yang lain, menyisihkan hukum dari
ketentuan hukum umum yang mencakupnya ataupun mentakhsiskan sebagian
satuan hukum dari hukum umum. Sedangkan dari ulama ushul yaitu perpindahan
dari suatu ketentuan hukum yang menjadi konsekuensi dari suatu dalil syara’
terhadap suatu peristiwa hukum, kepada ketentuan hukum lain terhadapnya, karena
disebut sebagai sanad istihsan, maka sebenarnya istihsan itu adalah mentarjihkan
/mengumpulkan suatu dalil dari dalil yang menentangnya disebabkan adanya
murajjih/faktor yang mengunggulkannya yang diakui (mu’tabar-respectable).
Setelah menganalisis beberapa definisi istihsan di atas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa hakikat dari istihsan, yaitu seorang mujtahid dalam melakukan
ijtihad untuk menemukan dan menetapkan suatu hukum tidak jadi menggunakan
suatu dalil, baik dalil itu menggunakan qiyas, dalam bentuk hukum kulli atau dalam
kaidah umum, sebagai gantinya ia menggunakan dalil lain dalam bentuk qiyas lain
yang dinilai lebih kuat. Atau nash yang ditemukannya atau urf yang berlaku, atau
keadaan darurat atau hukum pengecualian. Alasannya adalah karena dengan cara
itulah seorang mujtahid menganggapnya sebagai cara terbaik yang lebih banyak
mendatangkan kemaslahatan dan lebih menjauhkan kesulitan bagi umat.
c) Metode Istislahi
Corak penalaran istislahi adalah upaya penggalian hukum yang bertumpu pada
prinsip-prinsip kemaslahatan yang di simpulkan dari Alquran dan hadis. Artinya
kemaslahatan yang dimaksudkan disini adalah kemaslahatan yang secara umum
ditunjuk oleh kedua sumber hukum tersebut. Maksudnya kemaslahatan itu tidak
dapat dikembalikan kepada suatu ayat atau hadis secara langsung baik melalui
penalaran bayani atau ta’lili melainkan dikembalikan pada prinsip umum
kemaslahatan yang dikandung oleh nash.
Dalam perkembangan pemikiran ushul fiqh, corak penalaran istihlahi ini
tampak dalam beberapa metode ijtihad, antara lain dalam metode al-mashlahah al-
mursalah dan saddudz-dzari’ah. Untuk melihat bagaimana corak penalaran istihlahi
dengan kedua metode tersebut.

 Al-mashlahah al-mursalah
Secara etimologi mashlahah barasal dari kata shaluha di gunakan untuk
menunjukan jika sesuatu atau seorang menjadi baik, tidak korupsi, benar, adil,
shalih, jujur atau secara alternatif untuk menunjukan keadaan yang mengandung
kebajikan-kebajikan tersebut. Ketika dipergunakan dengan bersama preposisi Li,
shaliha akan memberikan pengertian keserasian, dalam pengertian rasionalnya
maslhahah berarti sebab, cara atau suatu yang bertujuan baik. Ia juga berarti sesuatu
permasalahan atau bagian dari urusan yang menghasilkan kebaikan yang dalam
bahasa arab berarti perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan
manusia.
Dalam pengertian secara definitif terdapat perbedaan rumusan dikalangan
ulama yang ketika di analisis hakikatnya sama yakni:
Al-Ghazali menjelaskan bahwa menurut asalnya mashlahah itu berarti sesuatu
yang mendatangkan manfaat dan menjauhkan madharat, namun hakikat dari
mashlahah adalah memelihara tujuan syara’. Sedangkan tujuan syara’ dalam
penetapan hukum itu ada lima yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan
harta.
Sedang menurut Asy-syatibi mengartikan mashlahah dari dua pandangan yaitu
dari terjadinya mashlahah dalam kenyataan dan dari segi tergantungnya tuntutan
syara’ kepada mashlahah. Dari segi terjadinya mashlahah dalam kenyataannya
berarti “sesuatu yang kembali kepada tegaknya kehidupan manusia, sempurna
hidupnya, tercapai apa yang dikehendaki oleh sifat syahwati dan akliyah secara
mutlak”. Sedangkan dari tergantungnya tuntutan syara’ kepada mashlahah, yaitu
kemaslahatan yang merupakan tujuan dari penetapan hukum syara’ untuk
menghasilkannya Allah menuntut manusia untuk berbuat.
Adapun mashlahah mursalah terdiri dari dua kata yang hubungan keduanya
dalam bentuk sifat maushuf, atau dalam bentuk khusus yang menunjukan bahwa ia
merupakan bagian dari al-mashlahah. Tentang arti mashlahah telah dijelaskan di
atas secara etimologi maupun secara terminologi. Al-mursalah adalah isim maf’ul
(objek) dari fi’il madhi (kata dasar) dalam bentuk kata dasar ketiga, yaitu dengan
penambahan huruf “alif” di pangkalnya sehingga menjadi yang secara bahasa
berarti terlepas, jika di hubungkan dengan kata mashlahah maksudnya adalah
terlepas dari boleh atau tidaknya dilakukan. Sedang menurut istilah yaitu apa yang
dipandang baik oleh akal, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum,
namun tidak ada petunjuk syara’ yang memperhitungkan dan tidak ada pula
petunjuk syara’ yang menolaknya.

 Saddudz-dzara’i (dzari’ah)

Secara harfiah Saddudz-dzara’i terdiri atas dua kata yakni sad yang berarti
penghalang atau sumbat dan dzariah yang artinya jalan. Oleh karenanya Saddudz-
dzara’i dimaksudkan sebagai menghambat atau menyumbat semua jalan yang
menuju kepada kerusakan atau maksiat. Tujuan penetapan melalui metode ini
adalah untuk memudahkan tercapainya kemaslahatan dan jauh kemungkinan
memudahkan terjadinya kerusakan. Metode ini disebut sebagai metode preventif
mencegah sesuatu sebelum terjadinya suatu yang tidak diinginkan. Keberadaan
dzariah ini dilandaskan pada Alquran misalnya pada firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada
Muhammad): “Raa`ina”, tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah” (QS al-
baqarah: 104)
Larangan ini di turunkan disebabkan ucapan “Raa`ina”, oleh kaum yahudi
digunakan untuk mencaci Nabi. Maka kaum muslimin dilarang mengucapkannya
untuk menghindarkan timbulnya dzari’ah. Metode ini tidak hanya bersifat
menghindarkan kerusakan namun dzari’ah juga untuk menarik kemanfaatan,
kemanfaatan dan kerusakan inilah yang menjadi parameter prinsip digunakannya
dzari’ah. Jika kerusakan lebih besar dari manfaatnya maka hukum terhadap hal itu
melalui dzari’ah akan menjadi dilarang.

Anda mungkin juga menyukai