Anda di halaman 1dari 22

FIKIH SIYASAH

KELOMPOK 8

DISUSUN OLEH : Muhammad Farhan Gurning 0202

Ahmad Fauzi Arifin 0202183061

Agung Kurniawan 0202

MATA KULIAH : Fiqih Siyasah

DOSEN PEMBIMBING: Saidurrahman, Prof., Dr., M. Ag.

PROGRAM STUDI S1 PERBANDINGAN MAZHAB

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-
Nya sampai saat ini, sehingga kami dapat menyusun makalah ini dan dapat
terselesaikan tepat pada waktunya. Kami mengucapkan banyak terima kasih
kepada bapak Saidurrahman, Prof., Dr., M. Ag. yang telah memberikan tugas
yang sangat bermanfaat kepada mahasiswa Jurusan Perbandingan Mazhab.

Kami sadar bahwa penulisan makalah ini masih terdapat banyak


kekurangan dan, jauh dari sempurna. Oleh karena itu kami berharap adanya
kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Adapun tugas
makalah ini dapat kami selesaikan karena adanya bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak. Untuk itu kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu hingga terselesaikannya laporan tugas makalah ini.

Semoga segala bantuan yang diberikan kepada kami dalam menyusun


laporan tugas makalah ini dapat bermanfaat dan mendapat balasan yang
setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa. Akhir kata kami berharap agar laporan
makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Medan, 3 Januari 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................ 1
1.1 Latar Belakang ................................................................. 3
1.2 Rumusan Masalah............................................................. 4
1.3 Tujuan ............................................................................. 4
BAB II PEMBAHASAN ............................................................ 5
BAB III PENUTUP .................................................................. 18
3.1 Kesimpulan ....................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA ................................................................. 20

ii2
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kajian fiqih siyasah terus berkembang seiring perkembangan dunia politik yang
semakin pesat dengan munculnya isu-isu politik mutakhir, seperti demokrasi, civil society,
dan hak asasi manusia. Ditambah lagi dengan isu-isu pemikiran seperti sekularisme,
liberalisme dan sosialisme yang mesti mendapat respon dari Islam. Perkembangan tersebut
tentunya menghadirkan banyak pemahaman-pemahaman baru yang dikembangkan oleh para
tokoh fiqih siyasah yang menciptakan sejumlah perbedaan pemikirinan tentang konsep fiqih
siyasah dimaksud.

Di kalangan umat islam ada yang berpendapat bahwa Islam adalah agama yang
komprehensif. Di dalamnya terdapat sistem politik dan ketatanegaraan, sistem ekonomi,
sistem sosial dan sebagainya. Misalnya Rasyid Ridha, Hasan Al-Banna dan Al-Maududi
meyakini bahwa ”Islam adalah agama yang serba lengkap”. Di dalam ajarannya antara lain
terdapat sistem ketatanegaraan atau politik. Oleh karenanya dalam bernegara umat Islam
hendaknya kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam, dan tidak perlu atau bahkan jangan
meniru sistem ketatanegaraan barat. Sistem ketatanegaraan atau politik Islami yang harus
diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Besar Muhammad SAW dan
oleh empat Khulafa al-Rasyidin.

Untuk melakukan kajian tentang fiqih Siyasah secara luas dan mendalam dalam
hubungannya sebagai ilmu untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang muncul seiring
perkembangan zaman, tentunya harus memahami secara benar tentang konsep dasar fiqih
siyasah dari berbagai sudut pandang. Oleh karena itu, penulis merasa penting mengangkat
masalah kajian Fiqih Siyasah dalam sebuah makalah yang berjudul “fiqih syiasah ( politik
dalam islam)”

3
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan beberapa


masalah yang menjadi masalah dalam bahasan makalah ini, diantaranya:

A. Pengertian Fikih Siyasah dan Siyasah Syar’iyah?


B. Metode dan Sketsa Historis : metode/pendekatan kajian fikih siyasah dan
Perkembangan kajiannya?
C. Kedudukan Fikih Siyasah dalam Sistematika hukum islam?
1.3 Tujuan Pembahasan

Adapun yang menjadi tujuan penulis dalam pembahasan makalah ini adalah sebagai
berikut :

1.4.1 Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan fiqih syiasah ( politik islam ).
1.4.2 Untuk mengetahui apa saja kaidah-kadiah fiqih.
1.4.3 Untuk mengetahui bagaimana kedudukan fiqih siyasah dalam sistematika hukum islam.
1.4.4 Untuk mengetahui apa saja bagian-bagian fiqih siyasah.
1.4.5 Untuk mengetahui hubungan antara fiqih syiasah dengan islam.
1.4.6 Untuk mengetahui manfaat mempelajari fiqih syiasah.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A.PENGERTIAN FIKIH SIYASAH DAN SIYASAH SYARIAH

1. PENGERTIAN FIQH SIYASAH

Istilah Fiqh Siyasah merupakan tarqib idhafi atau kalimat majemuk yang terdiri dari dua
kata, yakni fiqh dan siayasah. Secara etimologis, Fiqh merupakan bentuk mashdar(gerund)
dari tashrifan kata fiqha-yafqahu-fiqhan yang berarti pemahaman yang mendalam dan akurat
sehingga dapat memahami tujuan ucapan dan atau tindakan tertentu.

Sedangkan secara terminologis, fiqh lebih popular di definisikan sebagai berikut: Ilmu
tentang hokum-hukum syara’ yang bersifat perbuatan yang dipahami dari dalil-dalilnya yang
rinci.

Sementara mengenai asal kata siyasah terdapat dua pendapat. Pertama, sebagaimana di anut
AL-Maqrizy menyatakan, siyasah berasal dari bahasa mongol, yakni dari kata yasah yang
mendapat imbuhan huruf sin berbaris kasrah di awalnya sehingga di baca siyasah. Pendapat
tersebut di dasarkan kepada sebuah kitab undang-undang milik jengish khan yang berjudul
ilyasa yang berisi panduan pengelolaan Negara dengan berbagai bentuk hukuman berat bagi
pelaku tindak pidana tertentu.

Kedua, sebagaimana di anut Ibn Taghri Birdi, siyasah berasal dari campuran tiga bahasa,
yakni bahasa Persia,turki dan mongol.

Ketiga, semisal dianut Ibnu manzhur menyatakan, siyasah berasal dari bahasa arab, yakni
bentuk mashdar dari tashrifan kata sasa-yasusu-siyasatun, [3] yang semula berarti mengatur,
memelihara, atau melatih binatang, khususnya kuda. Sejalan dengan makna yang disebut
terakhir ini, seseorang yang profesinya sebagai pemelihara kuda.

Sedangkan secara terminologis banyak definisi siyasah yang di kemukakan oleh para yuridis
islam. Menurut Abu al-Wafa Ibn ‘Aqil, siyasah adalah sebagai berikut:

“Siyasah berarti suatu tindakan yang dapat mengantar rakyat lebih dekat kepada
kemaslahatan dan lebih jauh dari kerusakan , kendati pun Rasulullah tidak menetapkannya
dan Allah juga tidak menurunkan wahyu untuk mengaturnya”

Dalam redaksi yang berbeda Husain Fauzy al-Najjar mendefinisikan siyasah sebagai berikut:

“siyasah berarti pengaturan kepentingan dan pemeliharaan kemaslahatan rakyat serta


pengambilan kebijakan (yang tepat) demi menjamin terciptanya kebaikan bagi mereka.

Dan definisi yang paling ringkas dari Ibn Manzhur tentang siyasah adalah “ mengatur sesuatu
dengan cara yang membawa kepada kemaslahatan.”

5
Setelah di uraikan definisi fiqh dan siyasah, baik secara etimologis maupun terminologis,
perlu juga kiranya di kemukakan definisi fiqh siyasah. Penting dicatat, di kalanagn teoritisi
politik islam, ilmu fiqh siyasah itu sering juga di sinonimkan denganilmu siyasah syar’iyyah.
Sebagaimana dijelaskan di atas dapat di tarik kesimpulan, fiqh siyasah adalah ilmu tata
Negara Islam yang secara spesifik membahas tentang seluk beluk pengaturan kepentingan
ummat manusia pada umumnya dan Negara pada khususnya, berupa penetapan hokum,
peraturan, dan kebijakan oleh pemegang kekuasaan yang bernafaskan atau sejalan dengan
ajaran islam, guna mewujudkan kemaslahatan bagi manusia dan menghadirkannya dari
berbagai kemudaratan yang mungkin timbul dalam kejidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara yang dijalaninya.

1. CAKUPAN FIQH SIYASAH

Para ulama berbeda pendapat dalam menentukn ruang lingkup kajian fiqh
siyasah.diantaranya ada yang menetapkan lima bidang. Namun ada pula yang menetapkan
kepada empat atau tiga bidang pembahasan. Bahkan ada sebagian ulama yang membagi
ruang lingkup kajian fiqh siyasah menjadi delapan bidang.

Menurul al mawardi, ruang lingkup kajian fiqh siyasah mencakup:

1. Kebijaksanaan pemerintah tentang peraturan perundang-undangan (siyasah


dusturiyah).
2. Ekonomi dan militer (siyasah maliyah)
3. Peradilan (siyasah qadha’iyah)
4. Hukum perang (siyasah harbiah).
5. Administrasi negara (siyasah idariyah).[4]

Sedangkn ibn taimiyah meringkasnya menjadi empat bidang kajian yaitu:

1. Peradilan.
2. Administrasi negara.
3. Moneter
4. Serta hubungan internasional[5]

Sementara Abdul wahhab khallaf lebih mempersempitnya menjadi tiga bidang kajian saja
yaitu:

1. Peradilan.
2. Hubungan internasional
3. Dan keuangan negara

Berbeda dengan tiga pemikirandi atas, T.M. Hasbi malah membagi ruang lingkup fiqh
siyasah menjadi delapan bidang yaitu:

1. Politik pembuatan perundang-undangan.


2. Politik hukum.
3. Politik peradilan.
4. Politik moneter/ekonomi.
5. Politik administrasi.
6. Politik hubungan internasional.

6
7. Politik pelaksanaan perundang-undangan.
8. Politik peperangan.[6]

Berdasaran perbedaan pendapat di atas, pembagian fiqh siyasah dapat di sederhanakan


menjadi tiga bagian pokok.

Pertama politik perundang-undangan(al-siyasah al-dusturiyah). Bagian ini meliputi


pengkajian tentang penetapan hukum (tasyri’iyah) oleh lembaga legislatif, peradilan
(qadha’iyah) oleh lembaga yudikatif, dan administrasi pemerintahan (idariyah) oleh birokrasi
atauaksekutif.

Kedua, politik luar negeri (al-siyasah al-kharijiah). Bagian ini mencakup hubungan
keperdataan antara warga muslim dengan warga negara non-muslim (al-siyasah al-duali al-
‘am) atau disebut juga dengan hubungan internasional.

Ketiga, politik keuangan dan moneter (al-siyasah al-maliyah). Permasalahan yang termasuk
dalam siyasah maliyah ini adalah negara, perdagangan internasional, kepentingan/hak-hak
publik, pajak dan perbankan.

2. DEFINISI SIYASAH SYAR’IYAH

Secara sederhana siyasah syar’iyah diartikan sebagai ketentuan kebijaksanaan pengurusan


masalah kenegaraan yang berdasarkan syariat.

Khallaf merumuskan siyasah syar’iyah dengan:

Pengelolaan masalah-masalah umum bagi pemerintah islam yang menjamin terciptanya


kemaslahatan dan terhindarnya kemudharatan dari masyarakat islam,dengan tidak
bertentangan dengan ketentuan syariat islam dan prinsip-prinsip umumnya, meskipun tidak
sejalan dengen pendapat para ulama mujtahid.[1]

Definisi ini lebih dipertegas oleh Abdurrahman taj yang merumuskan siyasah syariyah
sebagai hukum-hukum yang mengatur kepentingan Negara, mengorganisasi permasalahan
umat sesuai dengan jiwa (semangat) syariat dan dasar-dasarnya yang universal demi
terciptanya tujuan-tujuan kemasyarakatan, walaupun pengaturan tersebut tidak ditegaskan
baik oleh Al-Qur’an maupun al-sunah.[2]

Bahansi merumuskan bahwa siyasah syar’iyah adalah pengaturan kemaslahatan umat


manusia sesuai dengan tuntutan syara. Sementara para fuqaha, sebagaimana di kutip khallaf,
mendefinisikan siysah syariyah sebagai kewenangan penguasa/pemerintah untuk melakukan
kebijakan-kebijakan politik yang mengacu kepada kemaslahatan melalui peraturan yang tidak
bertentangan dengan dasar-dasar agama, walaupun tidak terdapat dalil yang khusus untuk hal
itu.

Dengan menganalisis definisi-definisi yang di kemukakan para ahli di atas dapat ditemukan
hakikat siyasah syar’iyah, yaitu:

7
1. Bahwa siyasah syar’iyah berhubungan dengan pengurusan dan pengaturan kehidupan
manusia.
2. Bahwa pengurusan dan pengaturan ini dilakukan oleh pemegang kekuasaan(ulu ai-
amr)
3. Tujuan pengaturan tersebut adalah untuk menciptakan kemaslahatan dan menolak
kemudharatan.
4. Pengaturan tersebut tidak boleh bertentangan ddengan syariat islam.

Berdasarkan hakikat siyasah syar’iyah ini dapat disimpulkan bahwa sumber-sumber pokok
siyasah syar’iyah adalah al quran dan ai sunnah. Kedua sumber inilah yang menjadi acuan
bagi pemegang pemerintahan untuk menciptakan peraturan-peraturan perundang-undangan
dan mengatur kehidupan bernegara.

B. Metode dan kajian serta perkembangan fiqh siyasah


1. Metode dan pendekatan kajian siyasah
Penerapan fiqh siyasah tidak boleh bertentetangan dengan dalil yang bersiafat kully,
memiliki nilai universal, sekalipun ia terkait dengan masa dan tempat tertentu. Oleh sabab itu
dibutuhkan sebuah metode yang dapat menaggapi masalah-masalah yang bersifat kondisional
dan situasional, sekaligus tidak menafikan daya ikat dalil-dalil yang bersifat kully.
Metode yang digunakan untuk mempelajari fiqh siyasah tidak jauh berbeda dengan
metode yang dipakai dalam mempelajari fiqh yang lain. Dalam kaitan ini, digunakan ilmu
ushul al-fiqh dan qawaid al-fiqh. Fiqih siyasah dirasa lebih penting untuk dikaji karena tidak
diatur secara terperinci dalam syari’at al-qur’an dan al-hadis.
Secara umum dalam fiqh siyasah digunakan metode-metode seperti: (1) ijma’;(2)
qiyas;(3) al-maslahah al-mursalah (4)saad al-dzariah dan fath al-dzariah (5) al ‘adah (6) al-
istihsan dan kaidah kaidah fiqhiyyah.[1]
a. Ijma’
Ijma’ tidak dapat dilakukan hanya diruang diskusi semata, karena ijma’
berkembang melihat realitas yang terjadi dimasyarakat dan melihat opini-opini public. Hal ini
kemudian sangat memberikan pengaruh dalam memutuskan ijma’ itu sendiri.[2]
b. Al-qiyas,
Qiyas dalam fiqih siyasah digunakan untuk mencari umum alma’na ;mencari illat
hukum. Dengan menggunakan al-qiyas hukum dari sesuatu masalah dapat diterapkan dalam
masalah yang lain pada masa dan tempat yang berbeda. Jika masalah-masalah yang
disebutkan terakhir mamiliki ‘illat hukum yang sama dengan masalah yang disebutkan
pertama.
Berkenaan dengan al-qiyas berlaku kaidah:

‫الحكم يدور على علته وجودا وعدما‬


8
“hukum berputar bersama ‘illatnya, ada dan tidaknya hukum tergantunga ada dan tidaknya
‘illat hukum tersebut”
Sebagai analogi yang bersifat analogi induktif, qiyas merupakan pengembangan yang
berangkat dari sebuah peristiwa. Kemudian menyimpulkan bahwa, kebenaran pada satu kasus
tertentu, bisa jadi benar dalam kasus yang lain. Sebagai contoh, penegakan demokrasi yang
dilakukan oleh rasulullah ketika Rasulullah memilih komandan perang dan menunjuk
langsung Hamzah sebagai panglima. Hal ini juga dapat dilakukan oleh pemimpin pada masa
sekarang.[3]
c. Al-maslahah al-mursalah, pada umum nya metode ini digunakan dalam mengatur dan
mengendalikan persoalan-persoalan yang tidak diatur oleh syari’at al-qur’an da al-sunnah,
oleh karena itu penerapan almaslahah al-mursalah harus didasarkan pada hasil penelitian
yang cermat dan akurat yang dalam putaka fiqih sering disebut dengan istiqra’, tanpa
penalitian seperti itu metode ini akan menimbulkan kemafsadatan,[4] sehubungan dengan itu
para ulama semisal Abu Zahrah , beliau menetpkan tiga syarat yaitu:
1) Keharusan adanya persesuaian antara “kemaslahatan” dengan maqoshid al-syari’ah. Artinya,
pemahaman dan pelaksanaan “kemaslahatan” (yang ditetapkan sesuatu masyarakat, dan
terutama penguasanya) tidak boleh bertentangan dengan pokok-pokok ajaran islam dan
apalagi bertolak belakang dengan dalil yang qath’i, kemaslahatan tersebut harus sesuai
dengan kemaslahatan yang dikehendaki oleh syara’.
2) Kemaslahatan tersebut harus bersifat ma’qul.artnya, masyarakat terutama para pemegang
otoritas di bidang keilmuan akan menerimanya sebagai sesuatu yang masuk akal (rasional).
3) Pelaksanaan maslahat tersebut tidak boleh menimbulkan kesulitan, tetapi mendatangkan
kemudahan.[5]
Persyarat lain yang diajukan oleh Abd Wahab al-Khalaf, yang meliputi:
1) Kemaslahatan tersebut harus kemaslahatan yang yang meyakinkan (hakiki) bukan
kemaslahatan yang meragukan. Oeh karena itu harus berdasrkan kepada hasil penelitian yang
mendalam.
2) Kemaslahatan tersebut harus bersifat umum bukan bersifat khusus. Artinya, lebih banya
mamaslahatkan masyarakat secara keseluruhan dari pada sekelompok orang atau seseorang
tertentu.
3) Kemaslahatan tersebut tidak boleh bertentangan dengan dengan syari’at baik yang ditetapkan
nash maupun ijma’. [6]
Persyaratan yang dikeluarkan oleh kedua ulama tersebut memilik persamaan dan
perbedaan tertentu.[7] Syarat pertma dan kedua dari Abu zahrah sama dengan syarat pertama

9
dan ketiga dari Abd.al-wahab al-khalaf, sedangkan syarat ketiga dari Abu Zahrah berbeda
dengan syarat kedua dari Abd,al-wahab al-khalaf.
Jika persyaratan yang dikemukakan oleh kedua ulama tersebut diatas digabungkan,
maka persyaratan al-mashalah al-mursalah meliputi:
1) Keharusan menetap “kemaslahatan” yang sesuai dengan maqashid al-syariah, semangat
ajaran, dalil kully, dan dalil qath’i (wurud dan dalalahnya)
2) Keharusan menetapkan “kemaslahatan” yang meyakinkan. Artinya, “kemaslahatan” tersebut
didasarkan kepada penelitian ilmiah yang cermat dan akurat, sehingga tidak meragukan
bahwa ia benar-benar mendatangkan kemanfaatan, dan menghindarkan kemudharatan.
3) Keharusan menetapkan “kemaslahatan” yang dapat memberi manfaat kepada sebagian besar,
bukan sebagian kecil, masyarakat.
4) Keharusan menetapkan “kemaslahatan” yang memberikan kemudahan, bukan mendatangkan
kesulitan, dalaam art dapat dilaksanakan.
Dalam hidup keseharian, contoh pengadilan dan prekayasaan masyarakat yang
didasarkan pada metode sadd al-dzari’ah dan fath adz-dzari’ah sangat banyak. Pelaksanaan
peraturan perundangan tentang lalu lintas, pengawasan terhadap obat dan makanan,
pembagian eksekutif, legislatif, dan yudikatif, dan hal-hal lain.[8]
d. Sadd aldzari’ah dan fath al dzari’ah
Dalam fiqh siyasah sadd aldzariah digunakan sebagai upaya pengadilan
masyarakat untuk menghihndari kemafsadatan. Sebaliknya, fath al-dzari’ah digunakan
sebagai upaya perekayasaan masyarakat unruk mencapai kemaslahatan. Sadd al-dzari’ah dan
fath al-dzari’ah merupakan “alat” bukan “tujuan”. Contoh sadd al-dzari’ah didalam fiqh
siyasah, antara lain: pemberlakuan jam malam oleh ulul al-amr p-ada masa-masa genting,
larangan membawa senajata ketika terjadi kekacauan. Pembauatan peraturan tentang sistem
pendidikan dalam rangka membentuk manusia-manusia yang bertaqwa kepada Allah swt.
Merupakan salah satu contoh fath al-dzari’ah. Pengadilan dan perekayasaan berdasar sadd al-
dzari’ah dan fath al-dzari’ah dapat diubah atau dikuatkan sesuai dengan kondisi dan situasi
yang berlaku.
Sehubungan dengan sadd al-dzari’ah dan fath al-dzari’ah ini, berlaku kaidah fiqh:

‫للوسائل حكم المقاصد‬


Artinaya, jika tujuam suatu pengadilan dan perekayasaan sosial itu hukumnya wajib, maka
cara untuk mencapai hal tersebut juga wajib. Demikian pula sebaliknya. Apabila tujuan yang

10
akan dicapai itu hukumnya haram, maka cara yang menuju kepada pencapaian yang
tersebutpu haram.
Dengan sadd al-dzari’ah dan fath al-dzari’ah aksekutif , legislatif dan yudikatif ,
sera membuat pengadilan dan atau perekayasaan soaial lain yang dapat mengundang
kemaslahatan,sekaligus dapat menolak kemafsadatan.
e. Al ‘adah.
Metode ketiga yang banyak digunakan dalam fiqh siyasah adalah al-‘adah. ‘adah
ini ada dua macam, yaitu: al-‘adah ash-shahihah dan al-‘adah al-fasidah. Al-‘adah ash-
shahihah yaitu ‘adah yang tidak menyalahi syari’at, sedangkan al-‘adah al-fasidah yaitu ‘adah
yang bertentangan dengan syari’at.
Al-‘adah dan al-maslahah al-mursalah berhubungan erat bahkan al’adah ash-
shahihah pada umumnya berfungsi untuk memelihara dan menjaga kelangsungan
kemaslahatan.
Perbadaan pokok antara al-’adah dan al-mashlahah al-mursalah, antara lain, bahwa
didalam peringatan al-‘adah terdapat unsur waktu. ‘adah itu dilakukan secara berulang-ulang,
sehingga menjadi kebiasaan masyarakat. Sebaliknya dalam al-maslahah al-mursalah, unsur
waktu seperti itu tidak merupakan persyaratan mutlak. Kemaslahatan dapat merupakan
sesuatu yang telah, sedang dan akan timbul. [9]
Penedekatan al-‘adah dalam mempelajari fikih siyasah sangat diperlukan, karena
perkembangan politik berakar dari kehidupan masyarakat adat. Hal ini akan mempermudah
dalam mengambil keputusan politik. Seperti pemilihan kepala suku, kepala desa, dan para
pemimpin lainnya.[10]

f. Al-istihsan
Ihtisan adalah cara untuk memilih dalil yang lebih kuat yang bertujuan memelihara
kemeslahatan serta menghilangkan kemudharatan yang sesuai denga syariat. Cara yang
dilakukan adalah dengan mendahulukan dalil yang bersifat umum daripada dalil yang bersifat
khusus, dan mendahulukan dalil yang bersifat ‘am daripada dalil yang kully.[11]
Sementara menurut ‘Ibn ‘Araby bahwa istihsan adalah melaksanakan dalil yang
kuat diantara dua dalil.
Mungkin timbul pertanyaan, “mengapa seorang mujrtahid mengubah dalil yang
dipakainya?” jawabannya, perubahan tersebut diperlukan oleh seorang mujtahid, agar hukum
yang ditetapkannya sesuai dengan semangat ajaran islam atau ruh al-hukm. Berpedoman ruh

11
al-hukm, ditentukan dalil mana yang lebih tepat untuk bisa meraih sebanyak mungkin
semangat ajaran islam adalah seni tersendiri.
Sedangkan Muhammad Ma’ruf ad-dawaliby menjelaskan perbedaaan antara qiyas
dan istihsan disatu pihak dengan dengan al-maslahah ar-l-mursalah dipihak yang lain.[12]
Menurutnya:
Di dalam al-qiyas dan al-istihsan ada perbandinagan. Misalnya, di dalam al-qiyas
, ada perbandingan antara ‘cabang’ (al furu’) dengan ‘pokok’ (al ashl) di dalam al-istihsan,
terdapat perbandingan antara dalil yang satu dengan dalil yang lain. Sebaliknya. Di dalam
al mashlahah al-mursalah, perbandingan seperti itu tidak ada, karena hanya melihat kepada
kemaslahatan ummat.
g. Kaidah-kaidah kullyah fiqhiyah
kaidah-kaidah fiqhiyah kulliyah sebagai teori ulama banyak digunakan untuk
melihat ketepatan pelaksanaan fiqh siyasah. Kaidah-kaidah itu bersifat umum. Oleh karena
itu, dalam penggunaannya, perlu memerhatikan kekecualian-kekecualian dan syarat-syarat
tertentu. Sebagai contoh, kaidah al’adah muhakamah tidak selalu dapat diterapkan pada
pelbagai macam kebiasaan. Ia hanya berlaku dalam adat yang dikatagorikan sebagai al’adah
al shohihah. Dalam pada itu, al’adah al shohihah tersebut harus memenuhi persyaratan-
persyaratan tertentu, yang banyak di ulas dalam kitab-kitab ushul al-fiqh.
Kaidah- kaidah yang sering digunakan dalam fiqh siyasah, antara lain:

‫الحكم يدور على علته وجودا وعدما‬


“Hukum itu berputar bersama ‘illat hukum. Ada dan tidaknya hukum bergantung atas ada
dan tidak adanya ‘illat hukum”

‫تغيير االحكام بتغييراالزمنة واالمكنة واالحوال والعواعد والنيات‬


“hukum itu berjalan sejalan dengan perubahan zaman,tempat, keadaan, kebiasaan, dan
niat”.

‫دفع المفاسد مقدّم علي جلب المصالح‬


“menolak mafsadat, dan meraih kemaslahatan”
Dengan demikian, fiqh siyasah harus diorientasikan pada penolakan kemafsadatan
sebanyak mungkin, dan pada saat yang sama pencapaian kemaslahatan sebanyak
mungkin.[13]
‫اذا تعارض المفسدتان روعى اعظمهما ضررا بارتكاب اخفهما‬
“Apabila dihadapkan kepada dua kemafsadatan yang saling bertentangan, maka
yang perlu diperhatikan adalah menolak salah satu kemafsadatan yang kadar madharatnya
lebih besar, dan pada saat yang sama menerima salah satu kemafsadatanyang kadar
kemadharatanya lebih kecil”.

12
Tidak jarang ulul amri dihadapkan kepada beberapa hal yang madharat bagi
umatnya. Dalam keadaan demikian ulul amri harus mampu memilih sesuatu yang memiliki
tingkat kemadharatan paling kecil, dan pilihan itulah yang harus dilaksanakannya. Hal itu
berdasarkan pada kaidah yang berbunyi:
‫االخذ باخف الضررين‬
“mengambil yang madharatnya lebih sedikit”
Dalam keadaan yang sulit menentukan keputusan mana yang didahulukanantara
manfaat dan madharatnya,dengan kadar yang sama,digunakan kaidah[14]
‫دفع المفاسد مقدّم علي جلب المصالح‬
“menolak kemafsadatan didahulukan dari pada meraih kemaslahatan”
apabiila ada kemaslahatan namun, sasaran utama tidak merata maka dipakai
kaidah:
‫المصلحة العامة مقدم على مصلحة الخاصة‬
Kemaslahatan umum didahulukan dri pada kemaslahatan khusus”
Mendapatkan sesuatu yang baik, namun tidak memenuhi syarat yang ada, sering
terjadi. Misalnya, dalam pemilihan seorang peimimpin untuk mengusi jabatan tertentu, sulit
menemukan figur yang sempurna. Akan tetapi jika tidak ada pemimpin sama sekali, dapat
menimbulkan kekacauan, digunakan kaidah:
‫ماال يدرك كله ماال يترك كله‬
“Jika tidak dapat melaksanakan seluruhnya secara sempurna, maka tidak harus ditinggalkan
seluruhnya”
Barangkali kaidah ini mirip dengan ungkapan “kalau tidak ada rotan, akarpun
jadi”. Meskipun demikian, tidak harus menghentikan usaha dalam mencapai tujuanyang
diharapkan, upaya penolakan atas kemaadharata atau kemafsadatan di dalam kehidupan
bersama tidak boleh dilakaukan dengan cara yang memadharatkan dan memafsadatkan.
Imperatif seterti itu terkandung dalam kaidah:
‫الضرر ال يزال بالضرر مثله‬
“kemadharatan yang satu tidak dapat dihilangkan dengan kemadharatan yang lain
yang sama kualitasnya”.
Apabila telah timbul keyakinan mengenai kebaikan sesuatu keputusan yang akan
diambil, dalam arti keputusan tersebut baermanfaat bagi umat, maka keputusan ini harus
dilaksanakan, kecuali ada alasan-alasan lain yang lebih meyakinkan bahwa keputusan di atas
tidak bermanfaat bagi umat.
kaidah-kaidah kulliyah tersebut merupakan kaidah-kadah yang sering digunakan
dalam kajian fiqh suyasah tentu saja masih banyak kaidah yang lain yang dikaji secara jhas
di dalam kitab kaidah al-fiqhiyah.[15]
2. Perkembangan kajian dalam fiqh siyasah
Di dalam makalah kami tentang perkembangan kajian fiqh siyasah dibagi menjadi
tiga periode yangmana pembagian ini berdasarkan bukunya muhammad Iqbal yang berjudul
fiqh siyasah, yaitu,: periode klasik, periode pertengahan dan periode modern
a. Periode Klasik
Ciri yang menandai perkembangan kajian fiqh siyasah pada periode klasik adalah
kemapanan yang terjadi di dunia Islam. Secara politik, Islam memegang kekuasaan dan
pengaruhnya di pentas inetrnasional. Pada periode ini terdapat dua dinasti, yaitu Bani
Umaiyah (661-750 M) dan Bani Abbas (750-1258 M).[16]
Pada masa kekuasaan Bani Umaiyah, kajian fiqh siyasah masih belum muncul. Bani
Umaiyah lebih mengarahkan kebijaksanaan politiknya pada pengembangan wilayah
kekuasaan. Memang ada kelompok oposisi, seperti Khawarij dan Syi’ah pada masa ini, tetapi

13
tidak mempunyai pengaruh yang kuat. Pemikiran-pemikiran dan gerakan mereka pun
cenderung radikal dan ekstrem dalam menentang kekuasaan Bani Umaiyah. Pada masa daulat
Bani Abbas barulah kajian fiqh siyasah ini mulai dikembangkan. Namun demikian, kuatnya
pengaruh negara membuat kajian yang dikembangkan oleh para ulama ketika itu cenderung
mendukung kekuasaan. Inilah yang terjadi di kalangan ulama Sunni pada umumnya.
b. Periode Pertengahan
Periode pertengahan ditandai dengan hancurnya kerajaan Abbasiyah pada 1258 M di
tangan tentara Mongol. Pada masa ini kekuatan politik islam mengalami kemunduran.
Karena itu, kecenderungan pemikiran Islam mengalami kemunduran. Tokoh yang mengalami
langsung tragedi penyerangan tentara Mongol ke Baghdad adalah Ibn Taimiyah (1263-1328
M). Ibn Taimiyah mempunyai pemikiran siyasah yang sedikit berbeda dengan pemikir Sunni
abad klasik. Berbeda dengan Sunni pemikir sebelumnya, Ibn Taimiyah tidak memandang
institusi imamah sebagai kewajiban Syar’I, tetapi hanya kebutuhan praktis saja. Ibn Taimiyah
pun tidak mengungkapkan secara tegas syarat Quraisy sebagai kepala negara. Ia hanya
menegaskan dua syarat untuk menjadi kepala negara, yaitu kejujuran (al-amanah) dan
kewajiban atau kekuatan (al-quwwah). Kedua hal ini merupakan syarat mutlak yang harus
dipenuhi. Dengan kedua syarat ini akan tercipta keadilan dalam masyarakat yang merupakan
cita-cita dan tujuan utama syari’at islam.
Pemikir Sunni lainnya yang juga membahas siyasah adalah Ibn Khaldun (1332-1406
M). Pandangan politiknya antara lain tertuang dalam karyanayy Muqaddimah. Di antara
tesisnya yang berbeda dengan pemikir Sunni lainnya adalah interprestasinya yang kontekstual
terhadap hadis Nabi yang mensyaratkan suku Quraisy sebagai kepala negara. Ia menganggap
hadis ini bersifat kondisional. Karenanya, suku mana saja memegang posisi puncak
pemerintahan islam, selama ia mempunyai kemampuan dan kecakapan. Jadi syarat suku
Quraisy bagi Ibn Khaldun bukanlah “harga mati”.[17]
Pemikir islam lainnya yaitu Syah Waliyullah al-Dahlawi (1702-1762 M). syah
Waliyullah membenarkan pembakangan rakyat terhadap kepala negara yang tiran dan zalim.
c. Periode Modern
Periode modern ditandai dengan oleh semakin lemahnya dunia Islam di bawah
penjajahan bangsa-bangsa Barat. Hampir seluruh negeri muslim berada di bawah
imperialisme dan kolonialisme Barat. Dalam lapangan politik, sikap pertama melahirkan
aliran yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang serba lengkap mengatur segala
aspek kehidupan manusia, termasuk politik dan kenegaraan. Sikap kedua melahirkan aliran
yang berpandangan bahwa Islam hanya memberikan seperangkat tata nilai dalam kehidupan
politik kenegaraan umat Islam. Sedangkan sikap ketiga melahirkan aliran sekularisme yang
memisahkan kehidupan politik dari agama. Pemikiran inilah yang selanjutnya berkembang
hingga masa kontemporer.
Menurut pemikir tokoh-tokoh aliran pertama mereka memandang Islam sebagai
suprmarket yang menyediakan segala kebutuhan hidup manusia dan manusia tinggal hanya
melaksanakan saja ketentuan-ketentuan tersebut. secara umum pemikir-pemikir kelompok
pertama ini juga masih mendambakan adanya negara universal yang menyatukan seluruh
dunia Islam. Selain itu mereka memandang Barat sebagai musuh Islam. Oleh sebab itu,
segala yang datang dari barat ahrus ditolak, karena tidak sesuai dengan kepribadian Islam.
Pemikir kelompok kedua yaitu Ali ‘Abd al-raziq memandang bahwa Islam tidak mempunyai
tata aturan tentang politik. Nabi Muhammad SAW diutus tidak lain hanyalah untuk menjadi
rasul dan tidak berpretensi utnuk membentuk negara dan kekuatan politik. Menurut Thaha
Husein, supaya Mesir dan umat Islam umunya dapat meraih kemajuan, makam jalan satu-
satunya adalah dengan meniru dan mengadopsi peradaban barat. Sedangkan menurut pemikir
ketiga yaitu Abduh berpendapat bahwa kepala negara adalah penguasa sipil yang diangkat
dan diberhentikan oleh manusia. Abduh menambakan, Islam juga mengatur hukum-hukum

14
tentang masalah-masalah hubungan antar manusia. Agar hukum tersebut berjalan secara
efektif, maka diperlukan pemimpin atau kepala negara yang akan melaksanakan dan
megawasi pelaksanaannya. Namun deikian, kepala negara tersebut bukanlah wakil Tuhan,
melainkan hanya pemimpin politik. Karenanya, ia tidak memiliki kekuasaan keagamaan
seperti dalam agama Kristen.[18]

C. Kedudukan Fiqh Siyasah dalam Sistematika Hukum Islam


1. Fiqh Ibadah
Diatur setelah manusia mengenal dan meyakini Allah yang diformulasikan dalam
pengakuan dua kalimat syahadat adalah tata cara bagaimana manusia harus berhubungan dan
menyembah kepada-Nya, Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul-Nya menyampaikan kepada
manusia tentang dan tata cara mereka menghadap kepada-Nya. Tata cara tersebut merupakan
ibadah manusia kepada Allah antara lain yang diatur dalam hal ini adalah masalah shalat,
puasa, zakat dan haji.
2. Fiqh Al-Muamalah
Sebagai makhluk sosial, manusia pasti ingin berhubungan dengan sesamanya. Hal ini
dilandasi oleh kenyataan bahwa ada manusia yang bisa memenuhi kebutuhannya tanpa
bantuan orang lain. Hubungan ini bisa berkaitan dengan harta benda, kerja sama atau hal-hal
yang bersifat keperdataan lainnya. Para ulama menggali aspek ini dari wahyu Al-Qur’an dan
Sunnah Nabi. Yang termasuk dalam kajian adalah masalah jual beli, utang piutang,
pengaturan hak milik, sewa menyewa, perjanjian dan perseroan.
3. Fiqh Al-Jinayah
Dalam hubungan keperdataan in tidak jarang terjadi perselisihan dan pertengkaran.
Didasari oleh sifat manusia yang ingin menang sendiri, tidak pernah merasa puas dan
pengaruh hawa nafsu lainnya, bisa saja ia mengambil milik orang lain. Maka terjadilah tindak
kriminal seperti pencurian, perampokan bahkan pembunuhan terhadap jiwa orang lain. Untuk
itulah Allah mengatur batas-batas yang dilarang yang mendapat sanksi hukuman had atau
ta’zir bagi pelakunya. Dalam kajian ini, para ulama bicara panjang lebar tentang berbagai
tindak pidana seperti hudud, qishash-diyat dan ta’zir serta hukuman-hukuman terhadap
pelakunya.

4. Fiqh Murafa’ah (Hukum Acara)


Agar dapat mengajukan gugatan atau perkara secara benar, baik yang menyangkut
masalah muamalah maupun pidana, Syar’i pun mengatur tata caranya. Sebagai aplikasinya
dibentuklah institusi peradilan (al-qaha’) yang bertugas menyelesaikan dan memutuskan
perkara di antara manusia dengan benar. Di samping itu, institusi ini juga dimaksudkan untuk
mempertahankan materi-materi hukum yang dilanggar. Dalam kajian ini dibicarakan antara
lain permasalahan etika persidangan, tata cara beracara dan etika hakim.
5. Fiqh Munakahat
Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendiri. Disamping mengadakan
kerja sama dengan orang lain, ia juga ingin berhubungan dengan lain jenisnya. Ini merupakan
kebutuhan biologis manusia yang harus tersalurkan dengan baik dan benar. Karena itu agar
hubungan dengan lawan jenisnya menjadi lebih mulia, maka Allah mengatur tata cara
perkawinan.
6. Fiqh Mawaris
Sebagai makhluk yang memiliki keterbatasan dan jatah hidup, manusia bila telah
sampai ajalnya tentu akan menghadap Penciptanya. Ia akan meninggal dunia dan
meninggalkan anak, istri serta harta benda. Islam mengajarkan bahwa harta benda harus
mempunyai fungsi yang tepat dan efisien. Dalam hal ini, agar anak-istri yang ditinggalkan

15
tidak menderita atau terlantar, maka peralihan harta benda tersebut dari orang yang
meninggal kepada yang masih hidup di atur sedemikian rupa.
7. Fiqh Al-Siyasah
Seperti diketahui, keluarga adalah institusi terkecil dalam pembentukan masyarakat.
Rumah tangga merupakan cikal bakal bagi tegaknya suatu masyarakat dan menjadi tonggak
bagi terciptanya sebuah negara. Berkaitan dengan negara, hukum Islam pun mengatur
bagaimana sebuah negara harus dikeloladengan baik. Dalam kajian ini dibicarakan antara lain
masalah perundang-undangan, keuangan negara, hubungan pemerintah dengan rakyat dan
hubungan dengan negara lain.

Dari sistematika ini dapat ditarik benang merah bahwa :


1. Fiqh siyasah memegang peranan dan kedudukan penting dalam penerapan dan aktulisasi
hukum Islam secara keseluruhan. Dalam fiqh siyasah lah diatur bagaimana sebuah ketentuan
hukum Islam bisa berlaku secara efektif dalam masyarakat islam. Tanpa keberadaan negara
dan pemerintahan, ketentuan-ketentuan hukum Islam akan sulit sekali terjamin
keberlakuannya. Barangkali untuk masalah ibadah tidak terlalu banyak campur tangan
siyasah. Tapi urusan kemasyarakatan yang kompeks, umat islam membutuhkan fiqh
siyasah.[1]
2. Fiqh siyasah menetapkan kebijakan-kebijakan politik praktis yang berguna bagi
kemaslahatan masyarakat muslim khususnya, dan warga lain umumnya, pemerintah jelas
memerlukan fiqh siysah. Tanpa kebijakan politik pemerintah, sangat boleh jadi umat islam
akan sulit mengembangkan potensi yang mereka miliki. Fiqh siyasah juga dapat menjamin
umat islam dari hal-hal yang bisa merugikan dirinya. Fiqh siyasah diibaratkan sebagai akar
sebuah pohon yang menopang batang, ranting, dahan, dan daun sehingga menghasilkan buah
yang dapat dinikmati umat islam.[2]

B. Fiqh Siyasah Pemerintah


Dalam fiqh siyasah pemerintah bisa menetapkan suatu hukum yang seacara tegas
tidak diatur oleh nash, tetapi berdasarkan kemaslahatan yang dibutuhkan oleh manusia.
Untuk kasus Indonesia misalnya :
1. Keluarnya UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, UU No.2/1989 tentang sistem Pendidikan
Nasional dan UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama dapat dikatakan sebagai bagian dari
siyasah syar’iyah pemerintah Indonesia.
Dengan undang-undang tersebut, umat islam diberikan fasilitas dan kesempatan untuk
mengembangkan institusi keagamaan mereka dalam rangka pelaksanaan dan penerapan
hukum Islam itu sendiri. Di samping itu kebijakan pemerintah di bidang ekonomi dengan
berdirinya Bank Mu’amalat Indonesia juga merupakan bagian dari praktik fiqh siyasah
(siyasah maliyah) yang bertjuan mengangkat taraf kehidupan umat islam menjadi lebih
baik.[3]
Contoh lain sebagai bukti penting nya fiqh siyasah di dalam pemerntahan adalah
adanya fiqh siyasah itu lebih mementingkan kemaslahatan untuk rakyat umum, serta berusaha

16
menolak segaa jenis kerusakan. Ini juga didasari oleh salah satu akar fiqh siyasah, yaitu
kaidah Fiqhiyyah. Kaidah yang terkenal adalah “‫”دفع المفاسد وجلب المصالح‬. Selanjutnya, batasan
kemaslahatan tentunya dibatasi dengan kaidah “‫”المصلحة العامة مقدمة على المصلحة الخاصة‬, yang
dapat membatasi pemerintah daripada hanya mementingkan kursi kekuasaan. Walau
bagaimanapun, kebijakan pemerintah yang jelas-jelas untuk kemaslahatan rakyat, harus
ditaati. Maka dari itu terdapat kaedah “‫”تصرف اإلمام على الرعية منوط بالمصلحة‬.
Secara aplikasinya, kalau pengadilan tidak dapat menemukan wali bagi orang yang
dibunuh (‫)والي القاتل‬, maka pemerintah (jaksa) dapat menjadi wakil bagi mangsa sebagai
penuntut. Malah bagi jaksa boleh menuntut untuk diqishash kalau perlu, atau
mengambil diyyat kalau dianggap lebih maslahat. Akan tetapi, jaksa tidak boleh memberi
ampunan dari pemberlakuan qishâsh seperti yang dimiliki wali yang asli.[4]

BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
fiqh siyâsah memainkan peranan penting di dalam hukum Islam. Ini dikarenakan, fiqh
siyâsah-lah sebuah disiplin ilmu yang akan mengatur pemerintah dalam menjalankan hukum

17
Islam itu sendiri bagi masyarakatnya. Tanpa keberadaan pemerintah yang Islami (dalam hal
ini pemerintah yang menjalankan konsep fiqh siyâsah), maka sangat sulit terjamin
keberlakuan hukum Islam itu sendiri bagi masyarakat muslimnya.Imam al-Ghazâlî juga
secara tegas menjelaskan ini di dalam kitabnya yang berjudul al-`Iqtishâd fî al-`I’tiqâd.
Buktinya, tanpa pemerintah yang minimal peduli dengan fiqh siyâsah, tidak mungkin
akan mengeluarkan salah satu produk hukum Islam sebagai hukum positif untuk rakyatnya
yang muslim. Indonesia misalnya, pada tahun 1974 telah berhasil melahirkan undang-undang
No. 1, tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur bahwa semua penduduk asli Indonesia
yang beragama Islam untuk mematuhi peraturan pernikahan tersebut yang terbentuk dari
dasar-dasar Islami. Tanpa ini, tentu konsep fiqh munâkahah tidak dapat diaplikasikan secara
positif di Indonesia.
Setelah membahas secara mendalam, maka kesimpulan yang didapatkan adalah

sebagai berikut:

1. Fiqh siyâsah adalah sebuah disiplin ilmu yang isinya adalah membahas hukum-hukum

pemerintahan dan konsep menjalankan pemerintahan yang berlandaskan syariat Islam dengan

tujuan memberi kemaslahatan bagi rakyatnya.

2. Ruang lingkup fiqh siyâsah secara keseluruhan dan secara umum, dapat dikelompokan

kepada empat (4) kelompok: 1. Siyâsah dustûriyyah; 2. Siyâsah khârijiyyah;

3. Siyâsah mâliyyah; 4. Siyasah Harbiyah

3. Kedudukan fiqh siyâsah di dalam sistematika hukum Islam adalah berada di bawah fiqh

mu’âmalat yang diartikan secara luas, sedangkan peranannya jelasnya adalah sangat penting

bagi masyarakat muslim, karena ia adalah kunci dapat dijalankannya hukum Islam di dalam

sebuah negara yang mayoritas rakyatnya adalah beragama muslim, selain di satu sisi fiqh

siyâsah sendiri sangat mementingkan kemaslahatan untuk rakyat dan berusaha

menghilangkan kemudaratan.

18
DAFTAR PUSTAKA

Iqbal, Muhammad. Fiqh Siyasah, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta : Gaya
Media Pratama, 2007

Syarif, Mujar Ibnu. Fiqh Siyasah, Doktrin dan Pemikiran politik islam,Jakarta : Erlangga,
2008.

19
[1] Abdul Wahab Khalaf, op. cit, hal. 15.

[2] Abdurrahman taj, Al-siyasah al-Syar’iyah wa al-Fiqh al-Islami,(mesir:mathba’ah Dar al-


Ta’lif,1993, hal. 10.

[3] Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab Jilid 6 (bierut : Dar al-Shadir, 1986), hal. 108.

[4] Pembagian ini diuraikan dalam kitabnya al-ahkam al-sulthaniah

[5] Ibn Taimiyah, al-siyasah al syar’iyah fi ishalah al-ra’i wa al-ra’iyah

[6] T.M. Hasbi ash-Shiddiqy, pengantar siyasah syari’iyah, (Yogyakarta:Madah,t.tp.),8.

Abdullah Muhammad al-Qodi. 1989. Assiyasah Asyariyah Masdar Li Taqnin Baina Nadhiriah
Wattatbiq. (Tanta: Daar al_kutub al-Jamiiyahal-Hadis)
Al-Khalaf,Abd al wahab.1977 ,Al-Siyasah Wa Al –Syari;Ah (Kairo:Darl Anshar,)

Beni Ahmadi Saebani. 2007. Fiqih Siyasah.( Bandung: CV Pustaka Setia)


Djazuli,Ahmad.2003.Fiqh Siyasah,(Bandung:Pernada Media)

Iqbal, Muhammad.2001 Fiqh Siyasah: Kontektualisasi Doktrin Politik Islam (Jakarta: Gaya Media
Pratama,)
Zahrah,Muhammad abu Al-Alaqah Al-Dawlah Fi Al –Islam (Jakarta:Bulan Bintang,1973)

[1] A.Djazuli,Fiqh Siyasah,(Bandung:Pernada Media,2003) hlm.32


[2] Ahmadi Saebani beni, Fiqih Siyasah ( Bandung: CV Pustaka Setia,2007 ) hlm.
67
[3] Abdullah Muhammad al-Qodi, Assiyasah Asyariyah Masdar Li Taqnin Baina Nadhiriah
Wattatbiq. (Tonto: Daar al-kutub al-Jamiiyah al-Hadis,1989) hlm. 7
[4] A.Djazuli,Fiqh Siyasah,(Bandung:Pernada Media,2003) hlm.32
[5] Muhammad abu zahrah,Al-Alaqah Al-Dawlah Fi Al –Islam (Jakarta:Bulan
Bintang,1973)
[6]Abd al wahab Al-Khalaf,Al-Siyasah Wa Al –Syari;Ah (Kairo:Darl Anshar,1977) hlm.15
[7] A.Djazuli,fiqh siyasah,(Bandung:Pernada Media,2003). hlm.52
[8] Ibid, hlm.53

[9] Ibid, hlm. 55


[10] Beni Ahmadi Saebani, Fiqih Siyasah ( Bandung: CV Pustaka Setia,2007 ) hlm. 280.
[11] Abdullah Muhammad al-Qodi, Assiyasah Asyariyah Masdar Li Taqnin Baina
Nadhiriah Wattatbiq. (Tonto: Daar al-kutub al-Jamiiyah al-Hadis,1989) hlm. 226

20
[12] ‘Ibn taymiyah,Al-Siyasah Al-Syar’iyah Fi Ashlah Al-Ra’y Wa Ra’iy (Dar al-
Kitab al-‘Arabi,Mesir,1956) hal. 296
[13] A.Djazuli,fiqh siyasah,(Bandung:Pernada Media,2003) hlm.57

[14]Ibid, hal.58
[15] Ibid,hal. 61
[16]Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontektualisasi Doktrin Politik Islam (Jakarta: Gaya Media
Pratama,2001)

[17] Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontektualisasi Doktrin Politik Islam (Jakarta: Gaya Media
Pratama,2001)
[18] Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontektualisasi Doktrin Politik Islam (Jakarta: Gaya Media
Pratama,2001)
Iqbal, Muhammad, Fiqh Siyasah Kontektualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta : Gaya Media
Pratama, 2001.

http://akitiano.blogspot.com/2011/10/fiqh-siyasah-pengertian-ruang-lingkup.html

[1] Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam (Jakarta :
Gaya Media Pratama, 2001) hlm. 9-11.
[2] http://akitiano.blogspot.com/2011/10/fiqh-siyasah-pengertian-ruang-lingkup.html
[3] Muhammad Iqbal, Op. Cit., hlm. 12.
[4] http://akitiano.blogspot.com/2011/10/fiqh-siyasah-pengertian-ruang-lingkup.html

21

Anda mungkin juga menyukai