Anda di halaman 1dari 9

KELOMPOK XVII :

1. ARSYAD TRI SUNUR (4191111011)

2. FIKRI SYAHPUTRA (4192411032)

3. HIDAYAH TIA AZRIANI NASUTION (4192411004)

4. LATHIFAH MAWAR KHOLBI SIREGAR (4191111020)

5. ZULAIFATUL HUSNA BR SIREGAR (4191111062)

DOSEN PENGAMPU:

Dr. HAPNI LAILA SIREGAR,S.Ag.,M.A

MATA KULIAH :

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

POST TEST

1. Apakah sumber – sumber Hukum Islam?

Jawab :

Sumber – sumber Hukum Islam ada 4 yaitu :

a. Alquran

Alquran ialah kitab suci dari Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAWdengan perantaraan malaikat Jibril AS.Ia dituliskan di dalam mushaf, dimulai
dari surat Al – Fatihah dan diakhiri dengan surat An - Nas serta berpahala
rnembacanya.

Alquran diterima dengan riwayat mutawatir (diriwayatkan orang banyak), baik


melalui lisan atau tulisan. Riwayat yang demikian keadaannya menimbulkan
keyakinan atas kebenaran periwayatan Alquran. Oleh karena itu, nasnya
(redaksinya) disebut “qath 'i al-wurud”, artinya secara pasti dan meyakinkan bahwa
ia benar - benar diterima dari Rasul SAW, persis seperti yang diterimanya dari
Allah.
Sumber hukum Islam yang disepakati oleh jumhur ahli fikih ada dua, yaitu Alquran
dan Sunnah (hadis).Sementara itu hukum yang tidak diperselisihkan ada empat,
yaitu Alquran, Sunnah, ijma’, dan qiyas. Hukum - hukum yang diambil dari sumber
- sumber hukum tersebut mesti diikutii sesuai dengan tunjukannya.Jika tunjukan
dalil itu mengindikasikan wajib, maka ia wajib dilaksanakan, Jika tunjukannya
mengindikasikan haram, maka ia haram dilaksanakan, dan begilulah seterusnya.

Kedudukan hukum-hukum Alquran dapat dibagi menjadı dua bagian. Pertama,


hukum-hukum untuk menegakkan agama, yang meliputi soal-soal kepercayaan
(akidah) dan ibadat. Kedua, hukum-hukum untuk mengatur negara dan masyarakat,
serta hubungan perseorangan dengan lainnya.Hini meliputi hukum - hukum
keluarga, perdata, pidana, kenegaraan, internasional, dan sebagainya.

Hukum-hukum Alquran dengan segala macamnya itu diturunkan dengan maksud


untuk menimbulkan kebahagiaan dan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.
Oleh karena itu, tiap - tiap perbuatan di dunia mempunyai segi keakhiratan.
Perbuatan ibadah, peristiwa pidana, dan sebagainya menimbulkan akibat dalam
kehidupan di dunia ini, seperti tidak menunaikan zakat dapat diperangİ oleh
penguasa, melakukan pembunuhan dikenakan tindak pidana qishash, mencuri
dikenakan hudud, dan sebagaınya. Dalam pada itu, apabila hukuman ini diterapkan
maka orang yang mematuhinya akan mendapat basalan di akhirat. Oleh sebab itu,
dapat dikatakan bahwa di samping akibat-akibat duniawi tersebut, penerapan hükum
syariat akan menimbulkan akibat-akibat di akhirat.

b. Sunnah Rasul SAW

Sunnah ialah setiap yang diriwayatkan dari Rasulullah saw berupa kata-kata,
perbuatan, atau pengakuan. Dari pengertian ini kita dapat mengetahui bahwa Sunnah
Rasul dibagi menjadı tiga, yaitu Sunnah qauliyah, Sunnah fi’liyah dan Sunnah
taqririyah.

Sunnah merupakan sumber kedua bagi hukum-hukum Islam Hukum - hukum yang
dibawa oleh Sunnah dapat berbentuk:

1) Sebagai penguat hukum yang dimuat dalam Alquran.


2) Sebagai penjelas (keterangan terhadap hukum-hukurn) yang dibawa
Alquran, dengan macam - rnacam penjelasannya,seperti pernbatasan arti yang
umum, merinci persoalan-persoalan dan sebagainya.
3) Sebagai pembawa hukum baru yang disinggung oleh Alquran secara
tersendiri.

Dari segi banyak sedikitnya orang yang meriwayatkan, (Sunnah) dibagi menjadi
tiga, yaitu:

a) Hadis mutawatir, yaitu yang diriwayatkan oleh orang sejak Rasul saw
sampai masa ia dibukukan. Karena banyak orang yang meriwayatkannya, maka
tidak kemungkinan ia dibuat-buat oleh orang-orang tertentu. Contoh hadis
mutawatir ialah hadis yang berisi tentang cara – cara melakukan salat, haji,dan
sebagainya.
b) Hadis masyhur, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh banyai orang, pada
permulaan tingkatan tetapi tidak sebanyak yang meriwayatkan hadis mutawatir,
namun terkadang ia menyamai tingkatan mutawatir pada masa-masa sesudahnya.Di
antara hadis masyhur ialah hadis-hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Umar ra dan
Ibnu Mas'ud ra.
c) Hadis ahad, yaitu hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah saw oleh
perseorangan sampai kepada masa kemudian. Kebanyakan hadis termasuk tingkatan
ahad, yaitu yang diriwayatkan bawah tiga orang periwayat.

Pembagian hadis di atas memiliki pengaruh terhadap kepastian atau dugaan


datangnya hadis dari Rasul.Hadis mutawatir sudah pasti datang dari Rasul saw.
Karena banyak orang yang meriwayatkannya maka ia menirnbulkan keyakinan
(qath).Oleh sebab itu, maka secara otomatis ia menjadi hujah dan dalil yang kuat.
Hadis masyhur jika sanadnya sahih maka sudah pasti datang dari sahabat yang
meriwayatkannya dari Rasul Sementara hadis ahad, Jika ia sahih, maka ia diduga
kuat datang dan berasal dan Rasul saw. Oleh sebab itu, baik hadis masyhur maupun
hedis ahad jika ia sahih rnaka ia menjadi hujah dan dalil hukum,baik masalah
akidah, ibadah, maupun mu'amalah, dan jinayah.

Jadi Sunnah merupakan sumber hukum yang wajib dilaksanakan berdasarkan dalil
dan ketentuan Alquran. Pelaksanaan hukum-hukum tersebut ditaati oleh sahabat-
sahabat Nabi saw,baik sewaktu beliau masih hidup atau sesudah meninggal. Ini
merupakan prinsif dasar yang harus diterima kaum Muslim dan telah menjadi ijma '

c. Ijma’

Dimaksud dengan ijma’ adalah kebulatan pendapat semua ulama mujtahid dari
urnmat Islarn atas suatu pendapat (hukum yang disepakati oleh mereka,baik dalarn
suatu penemuan atau berpisah-pisah, maka hukum tersebut mengikat, ditaati, dan
dalam hal ini ijma’ merupakan dalil qath’I (pasti). Namun, ketika hukum tersebut
hanya pendapat kebanyakan mujtahid, maka hanya dianggap sebagai dalil zhanni
(dugaan kuat).

Ijma’ harus mempunyai dasar, yaitu Alquran dan Sunnah Rasul saw. Sebab, ijma’
tidak boleh didasarkan atas kemauan atau hawa nafsu melainkan harus ditegakkan
berdasarkan aturan-aturan Syara’ dan ruhnya. la diterapkan ketika tidak terdapat nas
dari Alquran dan Sunnah secara tegas yang menjelaskannya. Kebulatan pendapat
para mujtahid atas suatu hukum tertentu menunjukkan dengan pasti bahwa hukum
itu sesuai dengan prinsip dan jiwa Syara’ itu.

Kesatuan pendapat, meskipun dari bermacam-macam negeri dan berbagai aliran


atau mazhab, maka hal itu menunjukkan bahwa mereka telah mencapai kebenaran.
Sebab umat Nabi Muhammad saw tidak pernah akan menyepakati suatu kebatilan
kecuali Allah menakdirkan lain.

d. Qiyas

Dimaksud dengan Qiyas adalah mempersamakan hukum dari peristiwa yang belum
ada ketentuannya dengan hukum pada peristiwa yang sudah ada ketentuannya.Sebab
antara kedua peristiwa tersebut terdapat segi - segi persamaan (‘illat).

Rukun qiyas ada empat yaitu empat, yaitu ashl, furu’, ‘illah, dan hukum. Ashl
adalah sesuatu yang telah ditetapkan hukumnya oleh nash.Furu’ adalahsesuatu yang
hukumnya tidak dijelaskan nash, namun mujtahid ingin menyamakan hukumnya
dengan hukum Ashl.Hukum yaitu ketetapan atau hukum syra’ yang ditetapkan nash
pada ashl. ‘Illat adalah suatu sifat yang ditemukan pada ashl (hukum yang memiliki
nash) yang dibangun di atas sifat itu hukum syara’ ditegakkan.Lalu,dipahamilah
dengan sifat itu adanya hukum pada furu’ (sesuatu yang tidak memiliki nash) karena
furu’ ternyata juga memiliki sifat tersebut.
Ketentuan Syari’ terhadap mukallaf (orang yang telah dibebani hukum) ada tiga
bentuk, yaitu tuntutan pilihan,dan wadh’i.Ketentuan yang dinyatakan dalam bentuk
tuntutan disebut hukum taklifi,yang dalam bentuk pilihan disebut takhyiri, sedang
yang mempengaruhi perbuatan taklifi disebut hukum wadh’i.

2. Apa saja pembagian Hukum Taklifi (Pengertian dan Contoh masing – masing
3)?

Jawab :

a. Wajib

Dimaksud dengan wajib dalam pengertian hukum Islam adalah ketentuan yang
menuntut para mukallaf untuk melakukannya dengan tuntutan yang mengikat, seita
diberi pahala bagi yang melaksanakannya dan ancaman dosa bagi yang
meninggalkannya.

Ketentuan Syar’I terhadap mukallaf (orang yang telah dibebani hukun) ada tiga
bentuk,yaitu tuntutan, pilihan, dan wadh’i. Ketentuan yang dinyatakan dalam
bentuk tuntutan disebut hukum taklifi,yang dalam bentuk pilihan disebut
takhyiri,sedang yang mempengaruhi perbuatan taklifi disebut hukum wadh’i.

Contoh : Shalat wajib 5 waktu,berzakat,dan berpuasa di bulan Ramadhan.

b. Mandub

Dimaksud dengan mandub adalah ketentuan-ketetuan Syari’ tentang berbagai


amaliah yang harus dikerjakan mukallaf dengan tuntutan yang tidak
mengikat.Pelakunya diberi imbalan pahala tanpa ancaman dosa bagi yang
meninggalkannya.Ketentuan - ketentuan tersebut pada umumnya dinyatakan
dengan shighat thalab, namun disertai karinah yang menunjukkan bahwa tuntutan
tersebut tidak mengikat.

Mandub terbagi tiga, yaitu sunnah mu’akkadah,za’idah,dan fadhilah. Sunnah


mu’akkadah adalah ketentuan syara’ yang tidak mengikat tetapi sangat
penting,karena Rasulullah SAW melakukannya, dan hampir tidak pernah
meninggalkanya.Seperti azan sebelum salat, dua salat ‘id, dan lainnya.
Sunnah za’idah adalah ketentuan syara’ yang tidak mengikat dan tidak sepenting
Sunnah muakkadah, karena Rasulullah biasa melakukannya dan juga pernah
meninggalkannya.Seperti puasa pada hari Senin dan Kamis,serta bersedekah fakir
miskin.Sedang Sunnah fadhilah adalah mengikııti Rasulullah saw dari segi
kebiasaan - kebiasaan kulturalnya.Seperti cara beliau makan, minum, tidur, dan
sebagainya.

Contoh : Shalat rawatib,puasa Senin – Kamis dan menjaga dzikir dan wirid.

c. Haram

Dimaksud dengan haram adalah tuntutan Syar’i kepada mukallaf untuk


meninggalkannya sebagai tuntııtan yang mengikat beserta imbalan pahala bagi
yang menaatinya, dan balasan dosa bagi yang melanggarnya. Tuntutan tersebııt
biasanya dinyatakan dalam bentuk kalimat larangan (an - nahyi).

Haram ada dua, yaitu haram zati dan haram ‘aradhi. Haram zati adalah perbuatan-
perbuatan yang telah diharamkan oleh Syari’ semenjak perbuatan itu
lahir.Misalnya,zina, pencurian, pernikahan antara mahram, salat tanpa bersuci, jual
beli bangkai, dan sebagainya. Sedang yang dimaksud dengan haram ‘aradhi adalah
perbuatan - perbuatan yang pada awalnya tidak haram, namun menjadi
haram.Misalnya, jual beli dengan cara menipu, melakukan pernikahan dengan
maksud menyakiti,cerai bid’ah, dan sebagainya.

Contoh : Berjudi,minum – minuman keras,dan berzina.

d. Makruh

Makruh menurut jumhur fuqaha’ adalah ketentuan - ketentuan syara’ yang


menuntut mukallaf untuk meninggalkannya,dengan tuntutan yang tidak
mengikat.Meninggalkan perbuatan makruh memperoleh imbalan pahala, ementara
pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan tersebut tidak menimbulkan konsekuensi
ancaman dosa.

Ketentuan makruh biasanya dinyatakan dengan shighat (nahyi) namun disertai


dengan karinah yang menyebabkan tuntutan tersebut tidak mengikat.
Jumhur ulama berpendapat bahwa makruh itu hanya satu yaitu sebatas perbuatan
yang dilarang dengan larangan yang tidak mengikat.Akan tetapi, Abu Hanifah
membaginya pada dua bagian, yaitu makruh tahrim dan makruh tanzih.Makruh
tahrim menurutnya adalah ketentuan syara’ yang dituntut untuk meninggalkan
secara mengikat,namun dengan dalil yang zani (dugaan kuat).Misalnya memakai
pakaian sutera dan cincin emas atau perak bagi kaum laki – laki.Sedang makruh
tanzih sama seperti makna makruh yang dikemukakan para ulama lainnya.

Contoh : Wanita ikut mengantar jenazah, makan sambil berdiri dan menghembus
nafas ke  makanan yang panas.

e. Mubah (Al-Ibahah)

Mubah yaitu perbuatan yang tidak ada pahala atau dosa bagi yang mengerjakannya
atau tidak mengerjakannya.

Contoh: minum susu, tidur di kasur, dan bepergian untuk rekreasi

3. Apa perbedaan antara Hukum Islam dengan Hukum Buatan Manusia?

Jawab :

Hukum konvensional bersumber dari hasil pemikiran manusia yang ditetapkan


untuk memenuhi segala kebutuhan mereka yang bersifat temporal. Hukum ini juga
dibuat dengan kemampuan akal manusia yang memiliki keterbatasan dan
kekurangan untuk memahami perkara gaib dan menghukumi perkara yang belum
terjadi.

Sedangkan hukum Islam bersumber dari Allah SWT. Sejak diturunkan, hukum
Islam mempunyai teori hukum yang terbaru yang baru dicapai oleh hukum
konvensional akhir-akhir ini, padahal hukum konvensional lebih tua dari hukum
Islam. Lebih dari itu, hukum Islam lebih banyak mencapai sesuatu yang tidak dapat
dicapai oleh hukum konvensional.

Sebagai hukum hasil ciptaan manusia, hukum konvensional merepresentasikan


kekurangan, kelemahan, dan ketidakmampuan manusia serta sedikitnya kecerdasan
mereka.  Hukum konvensional tentunya sarat dengan perubahan dan pergantian atau
yang dinamakan dengan perkembangan (evolusi) seiring dengan perkembangan
masyarakat, tingkatan, kedudukan, dan situasi mereka.

Adapun hukum Islam yang merupakan ciptaan Allah SWT merepresentasikan sifat
kekuasaan, kesempurnaan, keagungan, dan pengetahuan-Nya yang mengetahui hal-
hal yang telah terjadi dan akan terjadi di masa mendatang. Karena itu,  menurut
Audah, Allah telah menciptakan hukum Islam yang meliputi segala sesuatu untuk
masa sekarang dan masa mendatang karena ilmu-Nya meliputi segala sesuatu.

4. Apa penyebab Hukum Islam belum bisa sepenuhnya ditegakkan di Indonesia


dan cara agar dapat mewujudkannya?
Jawab :

Sebagai negara dengan jumlah penduduk beragama Islam yang cukup besar, wacana
pertentangan antara Hukum Islam dengan hukum nasional seringkali mengemuka di
Indonesia berujung pada Perdebatan dua opsi yakni apakah Hukum Islam harus
diterapkan secara murni di Indonesia atau cukup dengan ‘menyisipkan’ dalam
hukum nasional yang berlaku.

Opsi pertama jelas sangat sulit dilakukan karena biasanya akan muncul tudingan
agenda pendirian negara Islam jika Hukum Islam diterapkan secara murni. Namun,
opsi kedua ternyata juga tidak otomatis mudah.

Adapun hambatannya:

1) Hambatan secara pemikiran, yang muncul karena saat ini orang yang
memahami Jinayat atau hukum pidana Islam, jumlahnya sedikit. Kondisinya
semakin buruk karena perguruan tinggi yang menyajikan mata kuliah Hukum
Pidana Islam juga sedikit.
2) Hambatan budaya. yakni terkait dengan upaya-upaya kaum liberal menggerus
nilai-nilai keislaman, khususnya pada diri generasi muda. Caranya, lanjut dia,
kaum liberal itu melakukan propaganda media.
3) Hambatan terkait dengan kaum liberal, yakni menghendaki adanya kebebasan
dan kesamaan hak kemerdekaan individu di segala bidang, baik dalam bidang
politik, ekonomi maupun agama.
Sementara, terkait penerapan hukum pidana Islam dalam peraturan perundang-
undangan nasional Indonesia memang tidak bisa dilakukan secara langsung. Cara
memasukkan hukum pidana Islam di Indonesia harus pelan-pelan sama seperti cara
hukum perbankan syariah masuk ke dalam peraturan perundang-undangan nasional
Indonesia bisa ditiru.
Dalam perjalanannya, perkembangan perbankan syariah jumlah kantornya secara
nasional di Indonesia melonjak dari tahun ke tahun. Aset perbankan syariah juga
menunjukkan peningkatan, meskipun kontribusinya terhadap total aset perbankan
nasional masih relatif kecil. Merespon perkembangan perbankan syariah yang
positif, lalu lahirlah UU No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Anda mungkin juga menyukai