Anda di halaman 1dari 336

BUKU DARAS

HADIS AHKAM

Oleh

PROF. DR. H. BASO MIDONG, M.Ag.


DR. DARSUL S. PUYU, M.Ag.

KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
UIN ALAUDDIN
2011

3
BUKU DARAS
HADIS AHKAM
Penulis : Prof. Dr. H. Baso Midong, M.Ag
Dr. Darsul S. Puyu, M.Ag.

Editor : Mishbahuddin, S.Ag, M.Ag.


Desain : Yudhi Purwarum
Lay-Out : Andi Jumardi
Percetakan : CV. Berkah Utami
Penerbit : Alauddin University Press
Jl. Sultan Alauddin No. 63 Makassar
90221
Telp. (0411) 864924 – fax. (0411) 864923
Hak Cipta @2011, pada Alauddin University Press
All rights reserved
ISBN : 978-602-9001-49-5

SAMBUTAN REKTOR
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
Prof. Dr. H.A. Qadir Gassing HT., MS.

Salah satu langkah yang dilakukan oleh UIN Alauddin Makassar pasca
diresmikannya pada tanggal 4 Desember 2005 adalah melakukan aktivitas
konkret dan nyata untuk mewujudkan obsesi UIN Alauddin sebagai pusat
peradaban Islam di Indonesia Bagian Timur. Upaya yang dilakukan untuk
mencapai cita-cita ini adalah dengan mengaktifkan sinerjitas antara ilmu
pengetahuan umum dan agama agar supaya tidak terjadi dikotomi antara
keduanya.
Langkah konkret yang dilakukan untuk tujuan di atas dimulai dengan
menggagas system pengajaran pendampingan. Pendampingan dilakukan dengan
cara mempertemukan silabi umum dan agama, memadukan dan mensenyawakan
literature umum dan agama, serta pendampingan dan persenyawaan yang
dilakukan dalam diskusi-diskusi langsung di ruang kelas yang dihadiri oleh
pengajar dan dosen bidang umum dan agama.

Buku ini adalah salah satu bentuk nyata dari realisasi dan
pengejawantahan ide sinejitas ilmu. Buku ini diharapkan untuk memberii
kontribusi penting yang dapat melahirkan inspirasi-inspirasi serta kesadaran
baru dalam rangka pengembangan keberilmuan kita sebagai bagian dari civitas
akademika UIN Alauddin yang muaranya diharapkan untuk pencapaian cita-cita
UIN Alauddin seperti yang disebutkan di atas. Hal ini sesuai dengan apa yang

5
dikehendaki oleh para tokoh pendidikan muslim pasca Konferensi Pendidikan
Mekkah dan konferensi-konferensi pendidikan setelahnya di beberapa Negara.
Semoga buku ini yang juga merupakan buku daras di UIN Alauddin dapat
memperoleh ridha Allah. Yang tak kalah pentingnya, buku ini juga dapat menjadi
rujukan mahasiswa untuk memandu mereka memperoleh gambaran konkret dari
ide sinerjitas pengetahuan agama dan umum yang marak diperbincangkan
dewasa ini.
Amin Ya Rabb al-Alamin.
Makassar, Maret 2011

KATA PENGANTAR
‫ وعلي آله وصحبه‬,‫ والصالة والسالم علي المجتبي من أنبيائه‬,‫الحمد لله علي نعمائه‬
‫وأوليائه‬.
Alhamdulillah, gayung bersambut antara keinginan yang sudah lama
terpendam untuk membuat buku pegangan dosen hadis ahkam dengan Surat
Keputusan Rektor NO. 12 tahun 2011 tentang tim Penyusun Buku Daras UIN
Alauddin Tahun 2011, yang juga mempunyai maksud yang sama.
Penyusuinan buku ini diimaksudkan memenuhi kebutuhan mahasiswa
Fakultas Syari’ah dan Hukum dengan tetap mengacu pada kurikulum baru,
2008. Topik-topik inti dalam kurikulum tersebut meliputiah masalah nikah,
kewarisan, wakaf, peradilan, jihad dan peperangan
Hadis-hadis tersebut dianalisis dengan menggunakan metode tahlili
(menganalisis semua aspek hadis; mulai dari mufradat (kosa kata),potongan
kalimat dalam hadis, syarah hadis secara utuh, asbabul wurud- kalau ada-,
pandangan ulama, sampai istinabat hukum yang dapat ditarik dari hadis
tersebut). Bahkan juga disajikan takhrijul-hadit-nya, agar mahasiswa dapat
mengetahui bahwa hadis yang sedang dibahas itu diriwayatkan oleh beberapa
mukharrij lain, disamping itu, mereka juga dapat membandingkan teks hadis
masing-masing mukharrij tersebut, kalau mereka membutuhkan. Juga yang tak
kalah pentingnya adalah pemaparan biografi singkat sahabat Nabi, sebagai
penerima pertama hadis dari Nabi saw. Kumpulan biografi tersebut sangat
bermamfaat untuk memperkaya pengenalan mahasiswa terhadap sahabat-
sahabat Nabi saw yang sangat berjasa dalam bidang hadis.
Bagi mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum, materi-materi kuliah ini
sangat penting karena berkaitan langsung dan menjadi landasan sebagian tugas
pokok Peradilan Agama di Indonesia, tempat di mana nantinya sebagian alumni
Syari’ah bisa berkiprah.
Buku ini hanya sebagai pengantar dan pegangan bagi dosan dan mahasiswa
untuk selanjutnya dapat dikembangkan dalam kegiatan belajar mengajar untuk
mata kuliah hadis ahkam muqaranah untuk jurusan Perbandingan Mazhab dan
Hukum, serta jurusan Peradilan, pada fakultas Syari’ah dan Hukum UIN
Alauddin Makassar. Oleh karena itu, sebagai penyusun kami mereka masih
banyak hal-hal yang perlu disempurnakan dan dikembangkan oleh dosen
pengajar atau mahasiswa.
Akhirnya, kami sangat mengharapkan sumbang saran dari berbagai pihak
demi penyempurnaan buku ini. Untuk itu, kami tidak lupa menghaturkan terima
kasih. Semoga bermanfaat adanya, dan semoga Allah swt. senantiasa
mengkarunia ilmu yang bermanafaat kepada kita sekalian. Amin ya rabbal
‘alamin.

Makassar, 22 Maret 2011


Penyusun,

Prof. Dr. H. Baso Midong, M.Ag


Drs. Darsul S. Puyu. M.Ag.

TUJUAN MATA KULIAH


Deskripsi Mata Kuliah
Hadis Ahkam Muqaranah dan Hadis Ahkam al-Qadha adalah mata kuliah
yang masuk dalam kelompok mata kuliah keahlian berkarya. Kedua mata kuliah

7
ini masing-masing diajarkan kepada mahasiswa jurusan Perbandingan Mazhab
dan Hukum (PMH) dan jurusan Peradilan (PA) pada fakuktas Syari’ah UIN
Alaudddin Makassar. Kedua mata kuliah ini merupakan sekumpulan hadis yang
membahas masalah nikah, kewarisan, wakaf, peradilan, jihad dan peperangan.
Hadis-hadis tersebut dianalisis dengan menggunakan metode tahlili
(menganalisis semua aspek hadis; mulai dari mufradat, kalimat utuh dalam
hadis, asbabul wurud- kalau ada-, pandangan ulama, sampai istinbath hukum
dari hadis tersebut)
Standar Kompetensi:
Mahasiswa dapat menganalisis petunjuk-petunjuk Nabi saw. yang terkait
dengan masalah nikah, kewarisan, wakaf, peradilan, jihad dan peperangan.
Mahasiswa juga dapat mengetahui dan membandingkan pendapat para ulama,
baik ulama hadis maupun ulama fikih.
Kompetensi Dasar:
Mahasiswa dapat mendiskripsikan dan menjelaskan hadis-hadis tentang
nikah, kewarisan, wakaf, peradilan, jihad dan peperangan serta keragaman
pendapat ulama tentang topik-topik tersebut.
Indikator:
Mahasiswa dapat menulis, menjelaskan dan dapat memahami kandungan
hukum hadis serta berbagai pendapat ulama dalam topik-topik yang dibahas
tersebut.
Topik Inti:
Topik inti kedua mata kuliah ini dapat dilihat dalam daftar isi pembahasan
buku ini, dengan catatan, ada topik inti yang khusus menjadi topik inti mata
kuliah hadis ahkan yang diajarkan di jurusan PMH, dan ada juga yang diajarkan
di jurusan PA. Penekanan khusus kepada jurusan PMH, tentunya terletak pada
perbandingan keragaman pendapat para ulama hadis atau ulama fiqh dalam
memahami suatu hadis.
DAFTAR ISI
LEMBARAN JUDUL ………………...…….................................................................
….............. i
KATA
PENGANTAR ............................................................................................................
............ ii
TUJUAN MATA
KULIAH...................................................................................................................
iii
DAFTAR
ISI..............................................................................................................................
............. iv
BAGIAN I :
PERNIKAHAN ...........................................................................................………....
1
1. Memilih calon
Istri .........................................................................................................
1
2. Nikah Mut’ah …………………………………………………………………….
12
3. Mahram Karena Sesusuan. ……………………………………………………….
4. Larangan Meminang Wanita Yang Telah Dilamar Orang
Lain…………………….
5. Mahar (Mas Kawin)……………………………………………………………….
Latihan ……………….………………………………………………………………..
Rangkuman …………………………………………………………………………….
9
Tes Formatif……………………………………………………………………………
Kunci Jawaban Tes Formatif…………………………………………………………..

BAGIAN II : KEWARISAN DAN WASIAT ...................................


1. Harta Warisan Milik Ahli Waris.....................................
2. Waris yang Berhutang..................................................
3. Jumlah Harta Wasiat ……………………………………………………………..
Latihan ……………….………………………………………………………………..
Rangkuman …………………………………………………………………………….
Tes Formatif……………………………………………………………………………
Kunci Jawaban Tes Formatif…………………………………………………………..

BAGIAN III : HIBAH DAN WAKAF.............................................. 70


1. Berhibah kepada Anak.................................................. 70
2. Wakaf Hasil Panen Tanah Milik.................................... 76
Latihan ……………….………………………………………………………………..
Rangkuman …………………………………………………………………………….
Tes Formatif……………………………………………………………………………
Kunci Jawaban Tes Formatif…………………………………………………………..

BAGIAN IV : HAKIM DAN PERADILAN ..................................... 84


1. Tanggung jawab hakim................................................. 85
2. Ijtihad Hakim …………………………………………………….
3. Tata Cara Mengadili Perkara …………………………………….....
4. Upaya Mendamaikan Pihak-Pihak Yang Berperkara………………..
5. Pihak Yang Harus Dimenangkan Dalam Perkara…………………..
6. Keputusan Hakim Berdasarkan Keterangan Saksi……………………….
7. Sumpah bagi tergugat atau terdakwah…………………………………….
8. Keputusan hakim tanpa alat bukti
Latihan ……………….………………………………………………………………..
Rangkuman …………………………………………………………………………….
Tes Formatif……………………………………………………………………………
Kunci Jawaban Tes Formatif…………………………………………………………..

BAGIAN V : SAKSI ..................................................................... 128


1. Saksi Yang Baik dan Buruk........................................... 128
2. Orang yang Ditolak Kesaksiannya................................. 131
Latihan ……………….………………………………………………………………..
Rangkuman …………………………………………………………………………….
Tes Formatif……………………………………………………………………………
Kunci Jawaban Tes Formatif…………………………………………………………..

BAGIAN VI : PELAKSANAAN HUKUMAN DAN KONSEKUENSINYA


DI AKHIRAT...................................................... 134
1. Supremasi Hukum Mengatasi Kebebasan Individu
Atau kelompok.............................................................. 135
2. Hukuman di Akhirat bagi yang Tetap Menjalani Hukuman
di Dunia ……………………………………………………………. 141
Latihan ……………….………………………………………………………………..
Rangkuman ………………………………
Tes Formatif……………………………………………………………………………
Kunci Jawaban Tes Formatif…………………………………………………………..

BAGIAN VII : MOTIVASI DAN BALASAN JIHAD........................ 1


1. Motifasi Jihad................................................................. 148
2. Balasan Jihad................................................................. 149
Latihan ……………….………………………………………………………………..
Rangkuman …………………………………………………………………………….
Tes Formatif……………………………………………………………………………
Kunci Jawaban Tes Formatif…………………………………………………………..

BAGIAN VIII: AMAL YANG SETINGKAT DENGAN JIHAD........ 159


11
1. Berbakti kepada Orang Tua......................................... 160
2. Menyantuni Janda dan Orang Miskin............................ 164
Latihan ……………….………………………………………………………………..
Rangkuman …………………………………………………………………………….
Tes Formatif……………………………………………………………………………
Kunci Jawaban Tes Formatif…………………………………………………………..

BAGIAN IX : PEPERANGAN ...................................................... 171


1. Tipu Muslihat dalam Peperangan …………………………………….
172
2. Membunuh Wanita dan Anak-Anak dalam Peperangan………………
3. Ghanimah (Rampasan Perang)………………………….............................
Latihan ……………….………………………………………………………………..
Rangkuman …………………………………………………………………………….
Tes Formatif……………………………………………………………………………
Kunci Jawaban Tes Formatif…………………………………………………………..

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………..
190

BAGIAN I
PERNIKAHAN

A. Gambaran Singkat Mengenai Materi Kuliah

Materi kuliah ini membahas mengenai beberapa topik hadis yang


berkenaan dengan pernikahan, yaitu hadis tentang memilih calon istri, nikah
mut’ah, dan mahram karena sesusuan, larangan meminang wanita yang telah
dilamar orang lain, dan mahar (mas kawin). Pengajian materi dimulai dengan
menampilkan teks matn hadis disertai arti hadis bersama dengan periwayat
pertama dan mukharrijnya.

Pemaparan takhrij al-hadits dan biografi singkat sahabat Nabi periwayat


hadis menjadi materi yang diberikan untuk memperoleh gambaran mengenai
data para mukharrij yang menghimpun hadis ini, juga untuk mengetahui
kapabilitas sahabat Nabi yang meriwayatkan hadis ini.

Penjelasan mengenai pengertian menurut bahasa suatu lafal atau kalimat


dalam hadis menjadi pembahasan dimaksudkan untuk memperoleh makna
kosakata lafadz tertentu sebelum akhirnya hadis-hadis yang tercakup dalam
bagian pernikahan ini dijelaskan syarahannya, dan di analisa hal-hal yang terkait
dengan temanya. Akhirnya akan disimpulkan kandungan pokok hukum setiap
hadis yang di bahas.

B. Pedoman Mempelajari Materi

Baca dengan baik materi teks hadis dengan artinya. Perhatikan dan
sebutkan lafadz-lafadz yang dapat dipakai dalam menelesuri takhrij al-hadits.
Perhatikan ketekunan setiap sahabat yang ditampilkan biografinya. Buat
kesimpulan dari segi keadilan mereka. Buat intisari setiap hadis yang dibahas,
pendapat-pendapat ulama yang terkait dengan materi hadis. Pahami dengan baik
isi hadis tersebut dan berilah kandungan pokok hukum yang dibahas.

C. Tujuan Pembelajaran

1. Mahasiswa dapat menulis, membaca, menghafalkan dan mengartikan


materi hadis.

13
2. Mahasiwa dapat membuat uraian mengenai alternative-alternatif memilih
calon istri, serta pendapat-pendapat ulama terkait dengan hadis.
3. Mahasiswa Dapat memahami dan menguraikan mengenai nikah mut’ah
yang dilarang dalam hadis, di samping mampu mendalami alasan ulama
atau golongan yang masih membolehkan nikah mut’ah.
4. Mahasiswa juga dapat membuat uraian mengenai frekuensi susuan,
kualitas susuan dan usia susuan yang menjadikan dibolehkan dan yang
dilarang dalam hadis.
5. Mahasiswa dapat menguraikan alasan syar’iy larangan meminang wanita
yang telah dilamar orang lain.
6. Mahasiswa dapat menyebutkan batas minimal, dan barang atau jasa yang
dapat dijadikan mahar.
7. Mahasiswa mengetahui kandungan pokok hukum hadis tentang memilih
calon istri, hadis tentang nikah mut’ah ,dan hadis tentang mahram karena
sesusuan, larangan meminang wanita yang telah dilamar orang lain dan
mahar (mas kawin).

1. Memilih Calon Istri (BM. 997)

a. Materi Hadis

‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم قَ َال ُتْن َك ُح الْ َم ْرأَةُ أِل َْربَ ٍع لِ َماهِلَا َوحِلَ َس بِ َها َومَجَاهِلَا‬ ِ
َ ِّ ‫َع ْن أَيِب ُهَر ْي َر َة َرض َي اللَّهُ َعْن هُ َع ْن النَّيِب‬
ِ ِ ِِ
)‫ت يَ َد َاك (رواه البخاري و مسلم وغريمها‬ ْ َ‫َولدين َها فَاظْ َف ْر بِ َذات الدِّي ِن تَ ِرب‬
Artinya :
(Hadis riwayat) dari Abu Hurairah, dari Nabi saw., beliau bersabda:
Wanita itu dinikahi karena empat faktor ; karena hartanya, karena
keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya.Maka pilihlah
wanita (untuk diperistri) karena faktor agamanya, niscaya kamu selamat.
(H.R. Al-Buhariy, Muslim dan selainnya)

b. Takhrij al-Hadits
1. Al-Bukhariy, kitab al-nikah, bab li akfa’ fi al-din, hadis no. 4700.
2. Muslim, kitab al-radha’, bab istahabba nakaha dzata al-din, hadis no. 2661
3. Abu Dawud, kitab al-nikah, bab ma yu’maru bihi man tazawwaj dzata al-
din, hadis no. 1751
4. Al-Nasaiy, kitab al-nikah, bab karahiyah tazwij li zinah, hadis no. 3178.
5. Ibn Majah, kitab al-nikah, bab tazwij dzaut al-din, hadis no. 1848
6. Al-Darimiy, kitab al-nikah, bab tunkihu li al-mar’ah ‘ala arba’, hadis no.
2076.
7. Ahmad bin Hanbal, kitab musnad al-muktsirin, bab al-baqi al-musnad al-
sabiq,hadis no. 9156.1

c. Biografi singkat Sahabat Nabi Periwayat Hadis

(ABU HURAIRAH)

Nama lengkap Abu Hurairah ialah’ Abd al-Rahman bin Shakhr al-
Dausi al-Yamani. Nama ‘Abd al-Rahman adalah nama pemberian Rasulullah
saw. Namanya sebelum memeluk Islam, ada yang menyatakan ‘Abd al-
Syams dan ada yang menyebut nama lain. Setelah memeluk Islam, dia
lebih dikenal dengan sapaan (kuniyah-nya) Abu Hurairah (arti harfiahnya
bapak seekor anak kucing). Menurut suatu riwayat, sebutan itu
diperolehnya dari Nabi. Dia di sapa begitu karena dia sering terlihat
membawa seekor anak kucing betina. Nabi pernah melihat anak kucing itu
berada di lengan baju Abu Hurairah. Bila malam hari, anak kucing tersebut
ditaruhnya di sebatang pohon.

1
Ditakhrij melalui CD Hadis al-Mausu’ah al-Hadits al-Syarif, Kutub al-Tis’ah.
15
Abu Hurairah masuk Islam menurut suatu sumber sekitar tahun 7
Hijriyah, bertepatan dengan saat perang Khaibar. Sejak saat itu dia
berusaha untuk selalu berada di sisi Nabi saw. Sampai Nabi wafat. Dengan
demikian, Abu Hurairah bersama-sama dengan Nabi sekitar tiga sampai
empat tahun. Selama bergaul dengan Nabi, Abu Hurairah berusaha
keras untuk menimbah ilmu pengetahuan secara langsung dari Nabi. Dia
tinggal di samping masjid bersama sekitar 70 orang. Mereka ini kemudian
dikenal dengan sebutan ahlu al-shuffah.

Dari segi ekonomi, Abu Hurairah hidup dalam keadaan sangat


miskin. Tidak jarang dia harus mengganjal perutnya dengan batu karena
menahan lapar. Menurut pengakuan Abu Hurairah sendiri, pernah suatu
ketika dia dikira sedang hilang ingatan oleh orang-orang disekitar, padahal
sesungguhnya waktu itu dia sedang mengalami rasa lapar yang luar biasa.

Karena dorongan iman dan keadaan ekonominya, maka tidaklah


mengherankan Abu Hurairah lalu sering melakukan ibadah puasa. Bila
suatu hari ketika berpuasa dia hanya memiliki 15 biji kurma, maka yang
lima biji digunakan untuk berbuka, yang lima biji lagi untuk sahur, dan
yang lima biji sisanya untuk berbuka besoknya.

Walaupun buta huruf, Abu Hurairah tidak mengalami kesulitan untuk


menimbah pengetahuan dari Rasulullah. Pada permulaan masuk Islam,
hafalan Abu Hurairah lemah. Akan tetapi setelah Nabi mendoakannya
kepada Allah agar hafalannya menjadi kuat. Atas permintaannya, maka dia
didoakan oleh Rasulullah agar memiliki hafalan yang baik. Ternyata doa
Nabi terkabul, sehingga Abu urairah termasuk sahabat yang kuat
hafalannya. Al-Bukhariy, Muslim, dan al-Turmudziy mentakhrijkan sebuah
hadis yang berasal dari Abu Hurairah. Dia pernah berkata: “Saya pernah
mengadukan kelemahan hafalanku kepada Nabi.” Nabi bersabda
kepadaku, “Bentangkan selendangmu,” saya pun membentangkanya.Lalu
Nabi menceritakan kepadaku banyak hadis, dan saya tidak pernah lupa apa
yang beliau ceritakan. Menurut pengakuan Abu Hurairah, waktunya sehari-
hari dibagi menjadi tiga bagian; sepertiga bagian untuk salat malam,
sepertiga bagian lagi untuk menghafal hadis, dan sepertiga bagian yang
sisa untuk istirahat.

Di bidang periwayatan hadis Nabi, Abu Hurairah menduduki


peringkat pertama dalam kelompok para sahabat Nabi yang digelari al-
Muktsiruna fi al-hadits (Bendaharawan hadis), yakni para sahabat yang
telah meriwayatkan hadis sebanyak lebih dari seribu buah.

Menurut hitungan Baqi bin Makhlad (201-276 H), jumlah hadis yang
telah diriwayatkan oleh Abu Hurairahj sebanyak 5374 buah (menurut al-
Kirmani : 5364). Dari jumlah tersebut, yang periwayatannya disepakati
oleh al-Bukhari dan Muslim (muttafaq ‘alaih) sebanyak 325 buah hadis;
yang diriwayatkan oleh al-Bukhari sendiri sebanyak 93 buah, dan yang
diriwayatkan oleh Muslim saja sebanyak 189 buah hadis.

Para sahabat Nabi pernah menegur Abu Hurairah karena dia begitu
banyak meriwayatkan hadis Nabi sedangkan dia bergaul dengan Nabi
relatif tidak lama (sekitar 3 tahun). Abu Hurairah menjawab: “Ketika
orang-orang muhajirin sibuk dengan barang-barang perniagaan di pasar
dan orang-orang Anshar sibuk dengan urusan kebun-kebun mereka, maka
saya menyibukkan diri pada kegiatan belajar menghafal hadis Nabi.

Abu Hurairah selain menerima hadis langsung dari Nabi saw.


meriwayatkan juga melalui Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan lain-lain.
Sedangkan yang meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah ada sekitar 800
orang yang terdiri dari sahabat dan tabiin. Di antara mereka dari kalangan
sahabat, yaitu ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Umar, Anas bin Malik,
17
dan Jabir bin ‘Abdullah. Adapun dari kalangan tabiin, adalah Sa’id bin al-
Musayyab, Ibn Sirrin, ‘Ikrimah, dan lain-lain.2

Sanad hadis yang paling sahih yang berpangkal dari Abu Hurairah,
yaitu al-Zuhriy dari Sa’id bin al-Musayyab dari Abu Hurairah. Adapun
sanad hadis yang paling lemah adalah al-Sari bin Sulaiman bi Abi Dawud
bin Yazid al-Awdi dari bapaknya (Yazid al-Awdi) dari Abu Hurairah. Jadi,
kekuatan hadis yang berasal dari Abu Hurairah, disamping dari ketekunan
Abu Hurairah sendiri, juga karena didukung oleh kekuatan para periwayat
yang menersukan hadis dari Abu Hurairah.

Abu Hurairah mendapat penilaian para periwayat hadis dengan


penilaian yang sangat baik, antara lain :
1) Thalhah bin Ubaidillah: Tidak diragukan lagi Abu Hurairah mendengar
hadis dari Rasulullah apa yang kami tidak mendengarnya.
2) ‘Abdullah bin ‘Umar : Abu Hurairah lebih baik dariku dan lebih
mengetahui.3
3) Imam Al-Syafi’i : Abu Hurairah penghafal riwayat hadis pada zamannya.
4) Tergolong sahabat Nabi yang berada pada tingkat keadilan yang kuat.4
Dengan demikian, kapasitas Abu Hurairah sebagai periwayat dari
tingkat sahabat yang adil tidak diragukan lagi.
Ketika ‘Umar bin al-Khaththab menjadi khalifah, Abu Hurairah
diangkat menjadi pejabat di Bahrain, tetapi kemudian dicopot. Pada zaman
Mu’awiyah menjadi khalifah Bani Umayyah, Abu Hurairah diangkat
menjadi Gubernur Madinah.

2
Lihat al-Hafidz Abi al-Fadhl Ahmad bin ‘Ali bin Hajr Syihab al-Din al-Syafi’iy al-Asqalaniy,
Tahdzib al-Tahdzib, juz VII, (([t.tp : Muassah al-Risalah, [tth], h. 524.
3
Lihat Ibrahim Dasuqi al-Sahawi, Mushthalah al-Hadits, (Al-Azhar : Syirkat al-Funiyah al-
Muttahidah, [tth] ) h. 180-181.
4
Lihat Ibn Hajr al-Asqalani , op.cit., h. 523-527, Ibn Hajr al-Asqalaniy, Al-Ishabah fi
Tamyis al-Shahabah, jilid IV, (Kairo : Mushthafa Muhammad, 1385/1939 M), h. 202; ‚Izz al-Din
bin Atsir, Usud al-Ghabah fi Ma’rifah al-Shahabah, Jilid IV, (Beirut : Dar al-Kutb al-Ilmiyah, 1415
H/1993 M), h. 321;.
Tahun meninggalnya tidak disepakati oleh ahli sejarah. Sebagian ahli
mengatakan tahun 57 H, sebagian mengatakan 58 H, dan sebagian lagi
mengatakan 59 H. Kalangan sahabat Nabi lain yang hadir pada saat
wafatnya antara lain Abdullah bin Umar dan Abu Sa’id al-Khudriy.5

d. Arti Kosakata dan Syarahan Hadits

Adapun arti beberapa kosakata hadis ini, dapat dikemukakan, antara


lain:
1. Kata ‫ حسب‬berarti ‫( شرف‬kemuliaan), atau ‫( شريف‬bangsawan). Asal mula
arti ‫ الحسب‬adalah ‫( الش رف باالب اء واألق اريب‬kemuliaan para nenek moyang dan
kerabat). Kata ‫ الحسب‬adakalanya disamakan dengan ‫( الحسا ب‬perhitungan),
karena bila seseorang sedang membanggakan dirinya, maka dia
menghitung-hitung berbagai sifat dan keutamaan nenek moyang dan
kaumnya, di banding dengan yang dimiliki oleh orang lain. Ada yang
mengatakan bahwa arti kata ‫ الحسب‬adalah berbagai perbuatan yang baik.
2. ‫ اظفر‬-‫ يظف ر‬-‫ ظف ر‬yakni mendapatkan, mencapai. ‫ ف اظفر ب ذات ال دين‬berarti
dapatkanlah (pilihlah) karena pertimbangan agamanya.
3. ‫ ت ربت ي داك‬, pada mulanya kata-kata tersebut bermakna ‫التطقت ب التراب من الفقر‬
(tertempelnya debu kemiskinan). Dalam hadis di atas, kata-kata itu
berkedudukan sebagai sindiran (kinayah) yang bermakna: “Engkau akan
rugi dan menjadi miskin bila engkau tidak mengikutinya”. Maksudnya:
jika engkau mengawini wanita yang tidak beragama atau tidak baik
pengamalan agamanya, maka engkau akan menjadi miskin kebahagiaan
(tidak sakinah).

Tujuan Perkawinan:

5
Lihat Ibn Hajr al-Asqalaniy, Tahdzib al-Tahdzib, op.cit, VII, h.525. Khalid Muhammad
Khalid, Rijal Hawla al-Rasul, (Beirut : Dar al-Fikr, [tth.]), h. 425.

19
Pada hakikatnya, makna nikah adalah ‫( الوطء‬persetubuhan). Kemudian
secara majazi diartikan akad, karena berkaitan dengan sebab akibat.
Karena adanya akad dalam perkawinan maka menjadi halal melakukan
persetubuhan.
Perkawinan merupakan salah satu hajat hidup manusia. Allah
menjadikan perkawinan sebagai salah satu fitrah bagi makhluk hidup
termasuk manusia. Tujuan perkawinan bukanlah sekedar untuk
melanjutkan keturunan ataupun sekedar pelambagaan jalan penyaluran
hasrat seksual belaka, melainkan juga sebagai upaya memperoleh
ketenteraman hidup (al-sakinah) dan kasih sayang (mawaddah wa rahmah).
Firman Allah dalam QS. Al-Rum: 21 menyatakan:
         
           
Terjemahnya:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

Pada kenyataannya, sejak zaman dahulu sampai sekarang banyak


orang yang dalam memilih jodoh secara tidak langsung justeru
mengesampingkan tujuan utama perkawinan. Hal itu terjadi biasanya
karena seseorang yang bermaksud akan menikah, pertimbangan yang
dikedepankan adalah pertimbangan yang bersifat fisik, misalnya:
kecantikan dan harta kekayaan, tanpa mempertimbangkan aspek
agamanya.
Allah swt. Sebagai pembuat syariat yang bijaksana telah
memerintahkan nikah, sebagai lembaga suci, karena nikah mendatangkan
banyak faidah dan menjauhkan kerusakan yang besar. Firman Allah seperti
dalam QS. Al-Nur : 32 merupakan perintah Allah agar kaum muslimin
melakukan nikah. Berbagai nash yang semakna masih banyak lagi. Semua
ini mendatangkan manfaat yang besar bagi suami-istri, anak-anak,
masyarakat dan agama berupa berbagai kemaslahatan. Di antara manfaat
pernikahan:

1. Menjaga kemaluan suami-istri dan membatasi pandangan masing-


masing di antara keduanya dengan perjanjian ini hanya kepada
pasangannya, tidak mengarahkan pandangan kepada laki-laki atau
wanita lain.
2. Memperbanyak umat lewat keturunan, untuk memperbanyak hamba-
hamba Allah dan orang-orang yang mengikuti Nabi-Nya, sehingga
menjadi kebanggaan dan saling tolong menolong dalam berbagai
aktifitas kehidupan.
3. Menjaga garis nasab yang jelas. Sekiranya tidak ada akad nikah dan
upaya menjaga kemaluan dengan pernikahan maka banyak nasab yang
tidak teridentifikasi dan kehidupan ini menjadi kacau, tidak ada waris,
tidak ada hak, tidak ada asal-usul dan keturunan yang jelas.
4. Dengan pernikahan dapat ditumbuhkan rasa cinta dan kasih saying di
antara suami istri
5. Dalam pernikahan terdapat rahasia ilahi yang sangat besar, yang
terwujud secara sempurna ketika akad pernikahan dilaksanakan. Jika
Allah menetapkan kebersamaan, maka di antara suami istri akan
muncul makna-makna cinta dan kasih saying, yang tidak akan dirasakan
di antara keduanya kecuali setelah bergaul sekian lama.
6. Berbagai urusan rumah tangga dan keluarga dapat tertangani dan
terurus karena bersatunya suami-istri, yang sekaligus menjadi benih
tegaknya masyarakat. Seorang suami bekerja dan mencari penghidupan
lalu member nafkah dan menenuhi kebutuhan. Sementara istri menata
rumah, mengurus kebutuhan hidup, mendidik anak-anak dan menangani
urusan mereka. Dengan begitu keadaan dan urusan menjadi tertata
dengan baik.
21
Pernikahan yang sebagian faidahnya sudah disebutkan ini disusul
dengan terciptanya kebahagiaan, merupakan pernikahan yang sesuai
dengan ketentuan syariat Islam, yang menjamin kemaslahatan manusia,
kemakmuran alam dan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Jika apa
yang dituntut itu tidak terwujud berarti terjadi pengabdian terhadap
aturan-aturan Ilahi seperti yang telah diperintahkan-Nya. Dengan begitu
dapat diketahui bahwa pilihan dan pertimbangan agama menjadi lebih
utama untuk memperoleh tujuan pernikahan yang sesungguhnya.
Pertimbangan dalam Mencari Jodoh
Rasulullah melalui hadis tersebut memberikan beberapa gambaran
tentang sikap masyarakat dalam mencari jodoh (suami ataupun istri). Apa
yang dinyatakan Rasulullah itu tetap relevan sampai saat sekarang ini. Tiga
pertimbangan yang disebutkan pertama (yakni: harta, keturunan, dan
kecantikan) memanglah tidak menjadi halangan. Rasulullah sama sekali
tidak melarang adanya pertimbangan tersebut.
Dalam pada itu, Rasulullah memberikan penekanan pertimbangan
tentang pentingnya faktor agama. Memang sangat ideal bila seseorang
berhasil memperoleh jodoh yang berharta, berketurunan terhormat,
berpenampilan menarik, dan patuh menjalankan perintah agama (Islam).
Dalam kehidupan nyata, terpenuhinya keempat faktor itu jarang terwujud
pada diri seseorang. Karenanya, diperlukan skala prioritas pertimbangan.
Menurut petunjuk Nabi, skala prioritas pertimbangan utama dalam
memilih jodoh adalah agama.
Mengapa mesti agama ?
Wanita yang cantik dan menarik, tetapi tanpa diiringi perilaku yang
baik menurut agama, maka kecantikannya itu mungkin justru akan
menjadikan rumah tangganya tidak bahagia. Begitu juga kebangsawanan
dan kekayaan, bila tidak diiringi perilaku yang baik menurut agama, maka
kebangsawanan dan kekayaan tersebut akan menjadikan orang yang
memilihnya bernasib ibarat budak yang selalu dihinakan oleh tuannya.
Menurut Al-Qurtubi (w.671 H) bahwa empat faktor tersebut (harta,
keturunan, kecantikan, dan agama) tidaklah berhubungan dengan kafa’ah
(persamaan status, misalnya status social antara calon suami dan istri),
tetapi hanya sekedar kelaziman pertimbangan.
Agama disebut sebagai faktor yang harus diutamakan dalam memilih
jodoh, paling tidak aka nada jaminan keamanan iman dari perbuatan
musyrik. Hal ini sebagaimana disinyalir dalam QS. Al-Baqarah : 221
          
          
           
        
  
Terjemahnya:
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari
wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih
baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka
mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan
dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-
perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.

Dengan pertimbangan agama dalamm memilih jodoh, maka minimal


diharapkan:

a. Hubungan suami istri didasarkan atas keinginan bersama untuk


memperoleh keridaan Allah.
b. Hubungan suami istri akan tetap harmonis karena masing-masing pihak
akan berusaha memenuhi tugas dan kewajibannya menurut ketentuan
yang telah digariskan agama.

23
c. Suami istri akan berusaha bersikap sabar dan tegar dalam menghadapi
cobaan hidup pada umumnya dan cobaan dalam rumah tangga
khususnya.
d. Anak-anak yang lahir akan memperoleh perhatian yang lebih baik dari
orang tua mereka menurut yang dituntunkan oleh ajaran agama.
e. Hubungan orang tua dan anak akan tetap harmonis sebab agama telah
mengatur hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak.

Ulama hadis berpendapat bahwa dengan hadis tersebut Rasulullah


telah memerintahkan umatnya untuk menempatkan faktor agama (Islam)
sebagai faktor utama dalam memilih jodoh.
Wanita yang Baik untuk Dikawini
Nabi telah member bimbingan praktis tentang tanda-tanda umum
wanita yang baik untuk dikawini. Nabi menyatakan dalam sebuah riwayat:

َ #‫رُّ هُ إِ َذا َن َظ‬#‫ا َل الَّتِي َت ُس‬##‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم أَيُّ ال ِّن َسا ِء َخ ْي ٌر َق‬
‫ ُه إِ َذا‬#‫ر َو ُتطِ ي ُع‬# ِ ‫َعنْ أَ ِبي ه َُري َْر َة َقا َل قِي َل ل َِرس‬
َ ِ ‫ُول هَّللا‬
6
ُ‫أَ َم َر َواَل ُت َخالِفُ ُه فِي َن ْفسِ َها َو َمالِ َها ِب َما َي ْك َره‬
Artinya :
(Hadis riwayat) dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah saw. Ditanya
(seseorang): wanita yang bagaimanakah yang lebih baik (untuk
diperistri)?. Beliau menjawab, “Yaitu wanita yang menyenangkan bila
dilihat, patuh bila disuruh, dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan
tercela, baik berkenaan dengan dirinya maupun hartanya.(HR. al-
Nasaiy).

Bimbingan Nabi itu tidak menyebutkan faktor agama secara jelas.


Sesungguhnya tanda-tanda yang disebutkan oleh Nabi tersebut tidak
terlepas dari apa yang dikehendaki oleh ajaran agama (Islam). Tanda-tanda
yang disebutkan oleh Nabi itu merupakan gejala yang dapat diamati dan
ditangkap oleh indera tentang wanita yang baik agamanya. Bagi wanita

6
Al-Nasaiy, Sunan al-Nasaiy, kityab al-nikah, bab ayyu al-nisa’ khairun, hadis no. 3179.
yang tidak baik agamanya tidak akan muncul tanda-tanda itu secara
lengkap.7
Berdasarkan petunjuk hadis yang menjadi pokok pembahasan, maka
Prof. Dr. Hamka menyatakan bahwa wanita yang baik untuk dijadikan istri
adalah wanita yang berharga 1000, minimal berharga satu. Maksudnya,
angka satu yang berada di depan lambing tiga nol itu adalah agama,
sedang ketiga nol itu melambangkan harta, keturunan, dan kecantikan.
Kalau wanita itu kurang cantik, maka berarti hilang satu nolnya maka
harganya tinggal 100; kalau yang tidak dimiliki oleh wanita itu adalah
kekayaan dan keturunan, maka harganya tinggal 10; kalau yang tidak
dimilikinya adalah kecantikan, kekayaan, dan keturunan, maka harganya
tinggal satu. Namun, bila yang tidak dimiliki oleh wanita itu adalah
agamanya, maka harga wanita itu menjadi 000, atau tidak berharga sama
sekali.

e. Pokok-pokok Kandungan Hukum Hadis

Berangkat dari penjelasan yang dikemukakan terhadap hadis ini,


dapat ditarik poko-pokok kandungan hukum hadis ini, yaitu :

1. Harta, keturunan, kecantikan, dan agama dapat dijadikan sebagai faktor


pertimbangan dalam memilih calon istri atau calon suami.
2. Dari keempat faktor tersebut, maka faktor agama harus lebih
diprioritaskan.

2. Nikah Mut’ah (LM.888, 889)

7
Lihat M. Syuhudi Ismail, Diktat Hadis Ahkam II, Bagian Pertama, (Ujungpandang: IAIN
Alauddin, 1995), h. 58-64.
25
a. Materi Hadis

ِ ‫ول اللَّ ِه صلَّى اللَّه علَي ِه وسلَّم َنهى عن متع ِة النِّس ِاء يوم خيب ر وعن أَ ْك ِل حُل‬
‫وم‬ ٍ ِ‫َع ْن َعلِ ِّي بْ ِن أَيِب طَال‬
َّ ‫ب أ‬
َ ‫َن َر ُس‬
ُ ْ َ َ َ َْ َ َ ْ َ َ َ ْ ُ ْ َ َ َ َ َ ْ َ ُ َ
)‫احْلُ ُم ِر اإْلِ نْ ِسيَّ ِة (رواه البخاري و مسلم وغريمها‬
Artinya:
(Hadis diriwayatkan) dari ‘Ali bin Abi Thalib , bahwasanya Rasulullah
saw. telah melarang mengawini wanita dengan cara mut’ah (nikah
dengan batas waktu tertentu) pada saat perang Khaibar dan melarang
makan daging keledai jinak (peliharaan). (H.R. al-Bukhariy, Muslim dan
selainnya).

b. Takhrij al-Hadits

1. Al-Bukhariy, kitab al-maghaziy, bab ghazwat al-khaibar, hadis no. 3894,


kitab al-nikah, bab naha al-Rasulullah ‘an nikah al-mut’ah akhar, hadis
no. 4723, kitab al-dzabaih, bab luhum al-himar al-insiyah, hadis no.
5098, kitab al-hail, bab al-hailah fi al-nikah, hadis no. 6446.
2. Muslim, kitab al-nikah, bab nikah al-mut’ah wa bayyin annahu abihu
tsumma nasiya, hadis no. 2510, 2511, 2512, 2513, kitab al-shaid, bab
tahrim aklu lahma al-khimar al-insiyah, hadis no. 3581.
3. Al-Turmudziy, kitab al-nikah, bab ma ja’a fi tahrim al-nikah al-mut’ah,
hadis no. 1040, kitab al-ath’imah, bab ma ja’a fi luhum al-khimar al-
ahliyah, hadis no. 1716.
4. Al-Nasaiy, kitab al-nikah, bab ihlalu al-farj, hadis no. 3312, 3313, kitab
al-shaidu, bab tahrim aklu lahma al-khimar al-ahliyah, hadis no. 4260.
5. Ibn Majah, kitab al-nikah, bab nahy ‘an nikah al-mut’ah, hadis no. 1951.
6. Malik, kitab al-nikah, bab nikah al-mut’ah, hadis no. 994.
7. Al-Darimiy, kitab al-adhha, bab fi luhum al-khimar al-ahliyah, hadis no.
1906.
8. Ahmad bin Hanbal, kitab musnad al-‘asyarah al-mubasysyirin bi al-
jannah, bab wa min musnad ‘Ali bin Abi Thalib, hadis no. 558, 771.
c. Biografi Singkat Sahabat Nabi Periwayat hadis

(‘ALI BIN ABI THALIB)

‘Ali bin Abi Thalib bin ‘Abd al-Muthalib bin Hisyam bin ‘Abd al-Manaf
al-Hasyimi adalah saudara sepupu dan menantu Nabi Muhammad saw.
Ibunya bernama Fathimah binti Asad bin Hasyim, sempat masuk Islam, dan
meninggal pada waktu Rasulullah saw. masih hidup. Pada masa mudanya,
‘Ali dikenal sebagai pemuda yang gagah berani. Dia aktif membela panji
Islam dalam seluruh peperangan pada zaman Nabi, kecuali dalam perang
Tabuk. Saat perang Tabuk, ‘Ali diberi tugas oleh Nabi untuk berada di kota
Madinah.

‘Ali bin Abi Thalib adalah remaja pertama yang memeluk Islam. Pada
waktu akan memeluk Islam, ‘Ali sempat berfikir untuk meminta
pertimbangan kepada ayahnya. Namun akhirnya, dia sadar bahwa memilih
kebenaran tidak sepatutnya terlebih dahulu meminta pertimbangan kepada
orang lain, bahkan kepada orang tua sekalipun. Dia langsung menghadap
sendiri kepada Nabi, yang waktu itu belum lama beliau dibangkit sebagai
Rasulullah, untuk menyatakan diri sebagai muslim.

Ketika Nabi berangkat hijrah ke Madinah bersama Abu Bakar, ‘Ali


diberi amanat untuk tidur di kamar Nabi, agar dengan demikian orang-
orang musyrik tetap beranggapan bahwa Nabi masih tetap berada di
rumah. Tugas kamuflase mengecoh orang-orang musyrik itu berhasil
dengan sukses.

Keutamaan yang menonjol pada diri ‘Ali bin Abi Thalib cukup banyak.
Selain beliau dikenal sebagai tokoh sahabat yang jujur, tawadhu’ dan gagah
27
berani di medan pertempuran, dia juga dikenal sebagai ulama yang ahli di
bidang fikih, dan sastera Arab, yang pidatonya sangat memikat hadirin. ‘Ali
salah seorang penulis wahyu Alquran.

‘Ali menerima riwayat hadis langsung dari Nabi saw., selain itu ia
juga mengambil riwayat hadis dari Abu Bakr, ‘Umar, Miqdad bin al-Aswad
dan istrinya Fathimah binti Rasulullah saw. Selanjutnya, riwayat hadis
darinya diterima oleh banyak periwayat, antara lain: dari kalangan
keluarganya, yakni anak-anaknya al-Hasan, al-Husain, Muhammad al-Akbar
yang terkenal dengan nama Ibn al-Hanafiyah, ‘Umar, Fathimah, cucunya
bernama Muhammad bin ‘Umar bin ‘Ali, ‘Ali bin al-Hasan bin ‘Ali secara
mursal, Ummu Musa, keponakannya bernama ‘Abdullah bin Ja’far bin Abi
Thalib, dan Ja’dah bin Habirah al-Makhzumiy, serta sekertarisnya ‘Abdullah
bin Abi Rafi’.
Di kalangan sahabat yang menerima riwayat ‘Ali, antara lain :
‘Abdullah bin Mas’ud, al-Barra’ bin ‘Azib, Abu Hurairah, Abu a’id al-
Khudriy, Basyr bin Sahim al-Ghifariy, Zaid bin Arqam, Safinah maula
Rasulullah saw., Shuhaib al-Rumiy, Ibn ‘Abbas, Ibn ‘Umar, Ibn al-Zubair,
‘Amr bin Huraits, al-Nazal bin Sabrah al-Hilaliy, Jabir bin Samrah, Jabir bin
‘Abdullah, Abu Juhaifah, Abu Umamah, Abu Lailiy al-Anshariy, Abu Musa,
Mas’ud bin al-Hakm al-Zuraqiy, Abu Thufail ‘Amir bin Watsilah, dan lain-
lain.
Dari kalangan tabiin yang menerima riwayat dari ‘Ali, antara lain:
Zar bin Habisy, Zaid bin Wahab, bu Aswad al-Dailiy, al-Harits bin Suwaid al-
Taimiy, al-Harits bin ‘Abdullah al-A’war, Harmalah maula Usamah bin Zaid,
Abu Sasan Hadhin bin al-Mundzir al-Raqasyiy, Hujaibah bin ‘Abdullah al-
Kindiy, Rabi’iy bin Harrasy, Syuraih bin Haniy’, Syuraih bin al-Nu’man al-
Sha’idiy, Abu Wa’il Syaqiq bin Salamah, Syabib bin Rabi’iy, Suwaid bin
Ghaflah, ‘Ashim bin Dhamrah al-Sululiy, ‘Amir bin Syarahil al-Sya’biy,
‘Abdullah bin Salamah al-Muradiy, ‘Abdullah bin Syidad bin al-Had,
‘Abdullah bin Syaqiq, ‘Abdullah bin Mu’aqqil bin Maqran, ‘Abd Khair bin
Yazid al-Hamdaniy, ‘Abd al-Rahman bin Abi Lailiy, ‘Ubaidah al-Salmaniy,
‘Alaqamah bin Qais al-Nukha’iy, ‘Umair bin Sa’id al-Nukha’iy, Qais bin ‘Ibad
al-Bashriy, Malik bin Aus bin al-Hadtsan, Marwan bin al-Hakm, Mathraf bin
‘Abdullah bin Syakhir, Nafi’ bin Jubair bin Math’am, Haniy’ bin Haniy’,
Yazid bin Syarik, Abu Burdah bin Abu Musa al-Asy’ariy, Abu Hayyah al-
Wada’iy, Abu Khalil al-Hadhramiy, Abu Shalih al-Hadhramiy, Abu Shalih al-
Hanafiy, Abu ‘Abd al-Rahman al-Salmiy, Abu ‘Ubaid maula Ibn Azhar, Abu
al-Hayyaj al-Asadiy, dan lain-lain.

‘Ali bin Abi Thalib telah meriwayatkan 586 buah hadis yang
diriwayatkan menurut kesepakatan (muttafaq ‘alaih) al-Bukhariy dan
Muslim sebanyak 20 buah hadis; yang diriwayatkan oleh al-Bukhariy
sendiri ada 9 buah, sedang yang diriwayatkan oleh Muslim sendiri
sebanyak 15 buah.

‘Ali bin Abi Thalib dibaiat sebagai khalifah menggantikan Khalifah


‘Utsman bin ‘Affan. Pada masa pemerintahan ‘Ali, peperangan antara
pendukung ‘Ali dan pendukung Mu’awiyah telah terjadi. Peristiwa tahkim
telah menjadikan pendukung ‘Ali mengalami kekalahan diplomasi.
Sebagaimana Khalifah ‘Utsman, Khalifah ‘Ali juga mati dibunuh oleh ‘Abd
al-Rahman bin Muljan seorang pengiktu Khawarij, pada tahun 40 H. waktu
itu ‘Ali berusia sekitar 61 tahun.

Para pendukung ‘Ali dalam sejarah dikenal dengan sebutan syi’ah.


Kalau pada awalnya dukungan itu berlatar belakang politik, maka pada
perkembangan selanjutnya latar belakang dukungan itu berubah kepada
pandangan teologi. Dalam sejarah, golongan syi’ah telah mengalami
perpecahan. Kelompok-kelompok syi’ah itu ada yang dikenal berpaham
ekstrim, misalnya Syi’ah Ghulat, dan ada yang dikenal moderat, yaitu Syi’ah

29
Zaidiyah. Salah satu kelompok syi’ah yang saat ini memimpin Negara
adalah Syi’ah Itsna ‘Asyariyah (Syi’ah Dua Belas) di Iran.8

d. Arti Kosakata dan Syarahan Hadits

Adapun arti beberapa kosakata hadis ini, dapat


dikemukakan,sebagai berikut :
1. Kata ‫ نَهَى‬, melarang, artinya tidak dibolehkan.
َ ِّ‫ ُم ْت َع ِة الن‬,. berarti kawin dengan wanita dengan tenggang waktu
2. Kata ‫س ا ِء‬
tertentu.
َ ‫يَوْ َم‬, pada masa perang Khaibar.
3. Lafadz ‫خ ْيبَ َر‬
ِ ‫أَ ْك ِل لُح‬, dilarang juga memakan daging keledai.
4. Lafadz ‫ُوم‬
ِ ‫ ْال ُح ُم ِر اإْل ِ ْن‬,yakni keledai jinak, karena dipelihara dan menuruti
5. Lafadz ‫سيَّ ِة‬
tuannya, sebagai kendaraan atau untuk mengangkut barang.

Adapun syarahan (penjelasan) hadis tersebut, sebagaimna akan


dijelaskan dalam penggalan hadis berikut ini:
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم نَهَى ع َْن ُم ْت َع ِة النِّ َسا ِء يَوْ َم خَ ْيبَ َر‬ َ ‫أَ َّن َرس‬
َ ِ ‫ُول هَّللا‬
(bahwasanya Rasulullah saw. telah melarang mengawini wanita dengan
cara mut’ah (nikah dengan batas waktu tertentu) pada saat perang
Khaibar).

Rasulullah saw. mensunnahkan pernikahan dengan tujuan


kebersamaan, kelanggenan, kasih-sayang dan membangun rumah tangga.
Karena itulah perkara halal yang dibenci Allah adalah talak, karena talah
bisa meruntuhkan bangunan rumah tangga yang mulia itu.

Menurut Ali Bassam setiap tujuan atau syarat yang berseberangan


dengan hikmah pernikahan ini, maka menjadi batil. Berangkat dari sinilah
8
Lihat Ibn Hajr al-Asqalaniy, Tahdzib, op.cit., IV, h. 610-613, M. Syuhudi Ismail, Diktat
Hadis Ahkam, op.cit., h. 26-28.
maka nikah mut’ah diharamkan. Yang dimaksud dengan nikah mut’ah
ialah seorang lelaki menikah dengan wanita hingga waktu tertentu, yang
diperbolehkan pada permulaan Islam karena kebutuhan yang mendesak.
Tapi dalam kenyataannya, dalam nikah mut’ah terkandunng banyak
kerusakan, seperti percampuradukan keturunan, komersialisasi kemaluan,
bertentangan dengan perasaan dan tabi’at yang lurus dan menjadi wahana
untuk mengumbar syahwat.9

Arti Nikah Mut’ah

Nikah mut’ah adalah ikatan pernikahan antara seorang laki-laki dan


wanita dengan maskawin yang disepakati bersama, yang dalam akad
disebutkan batas waktu berlakunya pernikahan. Apabila batas waktu yang
telah ditentukan itu tiba, maka dengan sendirinya berakhirlah ikatan
pernikahan itu tanpa terlebih dahulu melalui proses perceraian.

Dengan demikian, maka nikah mut’a itu merupakan nikah kontrak,


misalnya untuk tiga hari, satu bulan atau untuk selama masa dalam studi di
S1, S2, atau S3. Karena nikah mut’ah terikat oleh waktu tertentu, maka
nikah yang tidak terikat oleh waktu tertentu biasa disebut dengan n ikah
da’im (nikah permanen).

Nikah mut’ah tidak mengakibatkan hubungan waris antara suami


dan istri, serta antara ayah dan anak. Hubungan waris hanya terjadi
antara ibu dengan anak. Pada dasarnya, setelah pernikahan berakhir
menurut waktu yang telah ditentukan, maka anak hanya berada dalam
tanggungan istri (ibunya).

9
Lihat Ali Bassam, op.cit., h. 757-758.
31
Menurut kalangan Syi’ah Imamiyah, apabila dalam akad hanya
disebutkan nikah mut’ah tanpa diumumkan batas waktunya, maka
pernikahan nikah mut’ah tersebut hanya berlaku sampai 45 hari saja.
Sesudah waktu itu, maka otomatis terjadi perceraian.10

Hadis yang Membolehkan Nikah Mut’ah

Hadis yang telah dikutip sebelumnya member petunjuk bahwa nikah


mut’ah dilarang oleh Nabi. Namun dalam sejarah, Nabi pernah
membolehkan nikah mut’ah. Sebagian dari hadis nabi yang membolehkan
nikah mut’ah berbunyi sbb.:

‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم‬ ِ ِ


َ ‫ول َر ُس ول اللَّه‬ ٍ ‫َع ْن َجابِ ِر بْ ِن َعْب ِد اللَّ ِه َو َس لَ َمةَ بْ ِن اأْل َ ْك َو ِع قَااَل ُكنَّا يِف َجْي‬
ُ ‫ش فَأَتَانَا َر ُس‬
) ‫استَ ْمتِعُوا(رواه البخاري و مسلم‬ ِ ِ
ْ َ‫َف َق َال إِنَّهُ قَ ْد أُذ َن لَ ُك ْم أَ ْن تَ ْستَ ْمتعُوا ف‬
11

Artinya:
(Hadis diriwayatkan) dari Jabir bin ‘Abdullah dan Salamah bin al-
Akhwa, mereka berdua menyatakan: kami dalam rombongan pasukan
perang, maka datanglah utusan Rasulullah kepada kami dan berkata:
“Sesungguhnya beliau (Rasulullah) telah mengizinkan kamu sekalian
untuk melakukan nikah mut’ah, maka lakukanlah nikah mut’ah
tersebut.” )H.R. al-Bukhariy dan Muslim).

‫س لَنَ ا نِ َس اءٌ َف ُق ْلنَ ا أَاَل‬ َّ ِ َّ َّ َ ‫ول اللَّ ِه‬


َ ‫صلى اللهُ َعلَْيه َو َسل َم لَْي‬
ِ ‫س قَ َال مَسِ عت َعب َد اللَّ ِه ي ُقواُل ُكنَّا َن ْغزو مع رس‬
ُ َ ََ ُ َ ْ ُ ْ ٍ ‫ َع ْن َقْي‬.
ِ َّ ِ ِ ِ ‫لِك مُثَّ ر َّخص لَنَ ا أَ ْن َنْن ِكح الْم رأَةَ بِالثَّو‬ ِ
َ ‫َج ٍل مُثَّ َق َرأَ َعْب ُد اللَّه يَ ا أَيُّ َه ا الذ‬
‫ين‬ َ ‫ب إىَل أ‬ ْ َْ َ َ َ َ َ‫نَ ْستَ ْخص ي َفَن َهانَ ا َع ْن ذ‬
) ‫ين (رواه البخاري و مسلم‬ ِ ُّ ِ‫َح َّل اللَّهُ لَ ُك ْم َواَل َت ْعتَ ُدوا إِ َّن اللَّهَ اَل حُي‬ ِ
َ ‫ب الْ ُم ْعتَد‬ َ ‫َآمنُوا اَل حُتَِّر ُموا طَيِّبَات َما أ‬
Artinya:

10
Lihat M. Syuhudi Ismail, Diktat Hadis Ahkam, op.cit., h. 29.
11
Al-Bukhariy, kitab al-nikah, bab naha al-Rasulullah ‘an nikah al-mut’ah akhar, hadis no.
4725.
(Hadis diriwayatkan) Qais berkata, aku mendengar dari ‘Abdullah bin
Mas’ud, dia berkata: “ kami pergi berperang bersama Rasulullah saw.
kami tidak membawa istri, maka kami berkata, ‘apakah kami boleh
mengebiri? Ternyata kami dilarang (oleh Nabi) melakukan yang
demikian itu. Kemudian Nabi member keringanan (rukhshah) kepada
kami untuk mengawini wanita dengan batas waktu tertentu dengan
maskawin baju. Kamudian Ibn Mas’ud membaca ayat Alquran (surah al-
Maidah: 87 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu sekalian mengharamkan berbagai kebaikan yang Allah halalkan
bagimu dan janganlah kamu melampaui batas karena sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang melampui batas.” (H.R. al-
Bukhariy dan Muslim).

Kedua hadis di atas member petunjuk bahwa kebolehan nikah mut’ah


berhubungan dengan suasana masa perang. Hadis yang dikutip terakhir
secara jelas menyatakan bahwa para sahabat yang ikut berperang tidak
membawa istri. Agar mereka terhindar dari perbuatan yang terlarang
(zina), maka mereka minta izin untuk melakukan pengebirian. Ternyata
Rasulullah melarang pengebirian dan membolehkan nikah mut’ah.

Pendapat Ulama

Sebagian ulama memahami bahwa Rasulullah membolehkan nikah


mut’ah karena keadaan darurat. Itu berarti, di luar masa darurat, nikah
mut’ah dilarang. Masalahnya, apakah setelah Nabi wafat masih
dimungkinkan terjadinya keadaan darurat yang membolehkan nikah
mut’ah? Mereka menyatakan bahwa sesudah Nabi wafat hukum nikah
mut’ah tetap haram. Mereka beralasan antara lain dengan hadis yang
disampaikan oleh ‘Ali bin Abi Thalib di atas dan riwayat Muslim serta
Ahmad bin Hanbal dari al-Rabi’u Sabrah al-Juhani yang menyatakan bahwa
Rasulullah telah bersabda:

33
َّ ِ َّ َّ َ ‫ول اللَّ ِه‬ ِ ‫َن أَب اه ح َّدثَه أَنَّه َك ا َن م ع رس‬
ُ ُ َ ُ َ َّ ‫يع بْ ُن َس ْبَر َة اجْلُ َهيِن ُّ أ‬ ُ ِ‫الرب‬
ُ ‫ص لى اللهُ َعلَْي ه َو َس ل َم َف َق َال يَا أَيُّ َه ا الن‬
‫َّاس‬ ُ َ ََ َّ ‫عن‬
ِ ِ ِ ِ ‫اع ِمن الن‬ ِ ‫يِف اِل‬ ِ ‫إِيِّن قَ ْد ُكْن‬
ُ‫لِك إِىَل َي ْوم الْقيَ َام ِة فَ َم ْن َك ا َن عْن َده‬
َ ‫ِّس اء َوإِ َّن اللَّهَ قَ ْد َح َّر َم َذ‬
َ ْ ِ َ‫ت لَ ُك ْم ا ْس ت ْمت‬ ُ ْ‫ت أَذن‬ ُ
‫مِم‬ ِ
)‫ (رواه مسلم وأحمد‬12 ‫شْيئًا‬ ُ ‫مْن ُه َّن َش ْيءٌ َف ْليُ َخ ِّل َسبِيلَهُ َواَل تَأْ ُخ ُذوا َّا آَتْيتُ ُم‬
َ ‫وه َّن‬
Artinya:
(Hadis diriwayatkan )dari al-Rabi’ bin Basrah al-Juhniy, sesungguhnya
ayahandanya memberitakan bahwa Nabi saw. bersabda : “Hai manusia,
sesungguhnya saya pernah mengizinkan kamu sekalian untuk
mengawini wanita secara mut’ah. Dan sesungguhnya Allah telah
mengharamkan hal itu (nikah mut’ah) sampai hari kiamat. Barangsiapa
yang (saat ini) ada dari kalangan para istrinya yang dinikahi secara
mut’ah, maka hendaklah dibatalkan akadnya. Jangan kalian mengambil
kembali apa yang telah kamu berikan kepada mereka (para istri yang
telah kamu nikahi secara mut’ah) itu.” (H.R. Muslim dan Ahmad).

Sebagian ulama berpendapat bahwa pengharaman nikah mut’ah


pada saat perang Khaibar, berdasarkan hadis di atas, kemudian
dimubahkan lalu diharamkan lagi Fath Makkah. Sebagian yang lain
berpendapat, nikah mut’ah tidak diharamkan melainkan saat Fath Makkah
saja, yang sebelumnya mubah. Mereka berpendapat, “Sesungguhnnya ‘Ali
bin Abi Thalib tidak menyebutkan bahwa pengharaman nikah mut’ah
bersamaan dengan pengharaman daging keledai jinak di dalam hadis ini
pada saat Perang Khaibar. Tapi dia memasangkan keduanya sebagai
bantahan terhadap Ibn ‘Abbas yang memperbolehkan nikah mut’ah karena
kebutuhan yang mendesak dan memperbolehkan daging keledai jinak.
Imam al-Syafi’iy (w.204 H/820 M) menyatakan bahwa nikah mut’ah
pernah dibolehkan kemudian dilarang. Ketetapan yang membolehkan
terjadi dua kali dan larangannya juga dua kali. Setelah itu, nikah mut’ah
dilarang untuk selamanya.

Muslim, Shahih Muslim, kitab al-nikah, bab nikah al-mut’ah wa bayyin annahu abihu
12

tsumma nasiya, hadis no. 2502


Imam al-Nawawiy menyatakan bahwa seluruh hadis yang
membolehkan nikah mut’ah telah di mansukh (dihapus) oleh hadis yang
melarangnya. Larangan itu berlaku sampai hari kiamat. Menurutnya,
pengharaman dan pembolehannya terjadi dua kali. Tadinya nikah mut’ah
diperbolehkan sebelum Perang Khaibar, lalu diharamkan pada saat Perang
Khaibar. Kemudian diperbolehkan lagi pada tahun terjadinya Fath Makkah,
karena tahun itu banyak terjadi peperangan. Kemudian nikah mut’ah
diharamkan dengan pengharaman yang berlaku selama-lamanya. Ibn Hajr
al-Asqalaniy menyatakan bahwa pada mulanya nikah mut’ah diizinkanNabi,
tetapi kemudian pada saat tidak lama menjelang wafanya Nabi, nikah
mut’ah dilarang (haram) dan tidak pernah dicabut larangan itu.
Al-Hazimi menyatakan bahwa kebolehan nikah mut’ah pada zaman
Rasulullah dikaitkan dengan keadaan dalam perjalanan, khususnya
peperangan, dan tidak dalam keadaan sedang mukim. Kebolehan itu
dinyatakan berulangkali, demikian pula larangannya; dan akhirnya
menjelang nabi wafat, nikah mut’ah diharamkan untuk selamanya. Semua
ulama, kecuali dari kalangan Syi’ah sependapat tentang keharaman nikah
mut’ah tersebut.
Kalangan Syi’ah, misalnya Syi’ah Itsna ‘Asyariah membolehkan nikah
mut’ah dengan alasan utama ayat Alquran Surah al-Nisa’: 24 yang
berbunyi :
            
          
           
            
Terjemahnya:
dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali
budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu)
sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain
yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk
dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu

35
nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka
maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah
mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling
merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Menurut mereka, ayat tersebut merupakan dasar disyariatkannya


nikah mut’ah dan tidak pernah terhapus kebolehannya hingga sekarang.
Mereka menyatakan bahwa hadis-hadis yang melarang nikah mut’ah tidak
dapat dipakai sebagai dalil karena hadis tidak dapat menghapus hukum
Alquran. Menurut mereka lagi, cukup banyak sahabat Nabi yang
membolehkan nikah mut’ah.
Ulama Sunni dan kalangan Syi’ah Zaidiyah menyatakan bahwa ayat
di atas memang memberi
petunjuk tentang nikah mut’ah, tetapi hukum kebolehannya telah tidak
berlaku lagi karena adanya penjelasan dari ayat-ayat yang lain, di samping
penjelasan dari hadis Nabi. Ayat-ayat yang member petunjuk tentang telah
dicabutnya kebolehan nikah mu’ah itu antara lain ayat tentang kewarisan
dan ayat tentang larangan zina. Mereka memandang bahwa setelah adanya
larangan, maka nikah mut’ah berkedudukan sama dengan perbuatan zina.
Selain itu, cukup banyak hadis Nabi yang kualitasnya shahih yang
melarang nikah mut’ah. Dalam sejarah, nikah mut’ah dibolehkan karena
alasan darurat. Itu pun hanya berlaku pada zaman Nabi dan tidak untuk
zaman sesudah Nabi wafat.
Dari kalangan Syi’ah ada yang menyatakan bahwa Ibn ‘Abbas
sebagai salah seorang yang terkenal ahli di bidang tafsir Alquran telah
menyatakan bahwa ayat yang membolehkan nikah mut’ah tetap berlaku,
tidak dicabut. Menurut ulama Sunni, pendapat Ibn ‘Abbas itu telah
dikoreksi oleh ‘Ali bin Abi Thalib. Dalam riwayat al-Bukhariy dan Muslim
dinyatakan bahwa ‘Ali telah mendengar pendapat Ibn ‘Abbas yang
membolehkan nikah mut’ah. ‘Ali lalu berkata kepada Ibn ‘Abbas, “Hati-
hatilah, karena nikah mut’ah telah dilarang oleh Rasulullah sejak perang
Khaibar, bersamaan dengan larangan memakan daging keledai kampung.
Pada umumnya ulama Syi’ah, kecuali Syi’ah Zaidiyah, telah menolak
hadis-hadis yang melarang nikah mut’ah walaupun hadis itu diriwayatkan
oleh ‘Ali bin Abi Thalib, sahabat Nabi yang mereka pandang sebagai
penghulu utama. Mereka hanya berpegang pada hadis-hadis yang
menghalalkan nikah mut’ah dan tidak bersedia menerima pendapat bahwa
hadis-hadis yang bersangkutan berstatus mansukh (dihapus atau
dibatalkan berlakunya).13
Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah pernah ditanya tentang seorang laki-
laki yang mengembara di dalam suatu negeri, sementara dia khawatir
akan terjerumus kepada kenistaan, bolehkah dia menikah selama menetap
di suatu wilayah, dan jika hendak melanjutkan perjalanannya, dia dapat
menceraikan wanita yang dinikahinya? Ibn Taimiyah menjawab bahwa dia
boleh menikah, tapi dengan nikah yang tidak dibatasi waktu (nikah
permanen), sehingga memungkinkan baginya untuk tetap
mempertahankan atau pun menceraikannya menurut kehendaknya. Jika
sejak awal dia berniat nikah untuk menceraikannya jika dia meninggalkan
wilayah tersebut, maka hal itu dimakruhkan. Adapun tentang keabsahan
nikah tersebut diperselisihkan ulama.
Kemudian Ibn Taimiyah menjelaskan pendapatnya tentang nikah
mut’ah bahwa, “Jika seorang lelaki bermaksud mencampuri wanita yang
dinikahnya hingga waktu tertentu kemudian dia menceraikannya, seperti
yang dilakukan seorang musafir yang menetap di suatu negeri selama
jangka waktu tertentu, kemudian dia menceraikannya ketika dia kembali
ke negerinya sendiri, padahal nikah adalah suatu akad yang tidak terbatas,
maka ada tiga pendapat yang berkembang di kalangan madzhab Ahmad:

13
Lihat M. Syuhudi Ismail, Diktat Hadis Ahkam, op.cit., h. 29-34.
37
1. Ada yang berpendapat, nikah itu diperbolehkan. Ini merupaka pendapat
al-Muwaffiq dan jumhur.
2. Ada yang berpendapat, itu merupakan nikah tahlil yang tidak
diperbolehkan. Pendapat ini diperpegangi oleh al-Auza’iy yang didukung
oleh al-Qadhiy dan rekan-rekannya.
3. Ada yang berpendapat, nikah itu makruh dan tidak haram.

Yang benar, ini bukan nikah mut’ah dan tidak diharamkan, karena
lelaki tersebut memaksudkan untuk pernikahan dan menghendakiny. Lain
halnya dengan pernikahan muhallil, yang tidak menghendaki kelanggenan
keberadaan wanita itu bersamanya bukan merupakan kewajiban, tetapi
lelaki tersebut bisa menceraikannya. Kalau dia bermaksud menceraiaknnya
setelah jangka waktu tertentu, berarti dia memaksudkan sesuatu yang
diperbolehkan. Berbeda dengan nikah mut’ah yang lebih mirip dengan
perjanjian sewa-menyewa, yang bisa berakhir jika jangka waktu yang
disepakati sudah habis. Adapun pernikahan permanen yang dilakukan oleh
seorang pengembara tadi tetap memberikan hak kepemilikan yang tetap
dan tidak terbatas, yang niatnya tidak berubah, sehingga dia bisa berpikir
untuk mempertahankannya. Yang demikian itu dibolehkan, seperti halnya
jika dia menikah dengan niat untuk mempertahankanya, yang pada saat
tertentu dia bisa menceraikannya. Hal ini berarti diperbolehkan. 14
Waktu Pencanangan Larangan Nikah Mut’ah
Cukup banyak riwayat hadis Nabi yang menjelaskan waktu
pencanangan mulai berlakunya larangan nikah mut’ah. Ulama berbeda
pendapat dalam hal ini.
Sebagian ulama berpegang pada hadis riwayat ‘Ali bin Abi Thalib,
yakni pada saat perang Khaibar. Sebagian ulama lagi menyatakan.
Larangan yang terakhir kalinya terjadi pada saat Fath Makkah.
Sebagian ulama lagi menyatakan bahwa pernyataan larangan telah
beberapa kali terjadi. Dalam hal ini, ada ulama yang menyatakan bahwa
14
Lihat Ali Bassam, op.cit., h. 758-759.
Nabi melarang nikah mut’ah sampai dua kali, sebagian ulama menyatakan
enam kali, yakni pada saat:
1) Perang Khaibar
2) ‘Umrat al-Qadha’ (yakni ‘Umrah karena pada tahun lalu Nabi terhalang
berumrah karena terjadinya perdamaian Hudaibiyah.
3) Fath Makkah
4) Perang Authas
5) Perang Tabuk, dan
6) Haji Wada’. 15

Konon sebagian sahabat telah melakukan nikah mut’ah pada zaman


Nabi dan zaman kekhalifahan Abu Bakar. Pada zaman khalifah ‘Umar bin
al-Khaththab, nikah mut’ah dilarang oleh khalifah. Peristiwa tersebut tidak
dapat dijadikan dasar tentang kebolehan nikah mut’ah pada zaman
sesudah Nabi wafat, sebab mungkin nikah mut’ah dilakukan sebelum
adanya larangan dan di luar pengetahuan Abu Bakar. Menurut Ibn Hajr,
‘Umar melarang nikah mut’ah bukan atas dasar ijtihad, melainkan atas
dasar petunjuk Nabi. Itu berarti, para sahabat yang masih melakukan
nikah mut’ah setelah Nabi wafat adalah mereka yang belum sempat
mendengar larangan untuk selamanya yang telah dikemukakan oleh Nabi
saw.
Berdasarkan petunjuk dari berbagai hadis Nabi tentang nikah
mut’ah tersebut dapatlah dipahami bahwa pada dasarnya, secara universal
nikah mut’ah itu dilarang. Dalam pada itu, secara temporal nikah mut’ah
pernah dibolehkan, yang kemudian diikuti larangan; dan larangan itu
berlaku untuk selama-lamanya.16

15
Lihat Ibn Hajr Al-Asqalaniy, Fath al-Bariy, Juz IX, h. 168-170
16
Lihat M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, Telaah Ma’ani al-
Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal, (Jakarta : Bulan Bintang,
1994), h. 84-86.
39
Dari kutipan beberapa hadis yang tampak kontradiktif tersebut,
dapatlah dipahami bahwa sesungguhnya secara kontekstual, pertentangan
petunjuk dalam hadis tidak terjadi.
‫ُوم ْال ُح ُم ِر اإْل ِ ْن ِسيَّ ِة‬
ِ ‫َوع َْن أَ ْك ِل لُح‬
(dan melarang makan daging keledai jinak – peliharaan)
Kalimat ‫ الحم ر االنس ية‬dalam riwayat yang lain dipakai lafal ‫الحم ر األهلية‬
(keledai kampung). Dari kalangan ulama ada yang menyatakan
bahwa petunjuk hadis tersebut merupakan salah satu contoh bahwa
Rasulullah saw. memiliki kewenangan menetapkan hukum, yang dalam
Alquran hukum itu tidak diatur.17
Ulama berselisih paham mengenai kandungan hukum hadis ini;
sebagian menyatakan haram memakan daging keledai kampung dan
sebagian lagi menyatakan makruh.18 Selanjutnya ulama mendiskusikan,
apakah keharaman keledai jinak atau keledai kampung itu bersifat tetap
karena berkaitan dengan zatnya. Jadi, seperti keharaman daging babi,
ataukah hanya bersifat temporal karena pertimbangan tertentu. Ulama
yang berpegang pada teks hadis secara harfiah (tekstual) berpendapat
bahwa keharaman itu bersifat tetap.
Para sahabat Nabi saw. pada umumnya dan jumhur ulama sesudah
zaman sahabat memahami petunjuk hadis tersebut secara tekstual. Ibn
‘Abbas, salah seorang sahabat Nabi yang pakar tafsir Alquran dan banyak
meriwayatkan hadis Nabi, menyalahi pendapat umum itu. Dia berpendapat
bahwa daging keledai kampung halal dimakan berdasarkan dalil dalam QS.
Al-An’am: 145

17
Dalam ilmu hadis, hal yang demikian disebut sebagai bayan tasyri’. Fungsi-fungsi hadis
yang lain terhadap Alquran ialah bayan ta’kid (penjelasan memperkuat petunjuk Alquran), bayan
tafsir atau bayan tafshil (penjelasan yang menerangkan maksud Alquran), bayan taqyid
(penjelasan yang membatasi kemutlakan petunjuk Alquran), dan bayan takhshish (penjelasan
yang membatasi keumuman petunjuk Alquran).
18
Lihat misalnya Muhammad bin Ismail al-Shan’aniy, Subul al-Salam, Syarh Bulgh al-
Maram, (Mesir : Mushthafa al-babi al-Halabiy wa Auladuhu, 1379 H/1960 M.), juz IV, h. 73-75.
              
              
         
Terjemahnya:
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang
mengalir atau daging babi - karena Sesungguhnya semua itu kotor -
atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa
yang dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya
dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
Selanjutnya Ibn ‘Abbas menyatakan bahwa dirinya tidak mengerti
tentang latar belakang keharaman daging keledai kampung tersebut, yakni
apakah larangan tersebut bertujuan untuk memelihara populasi keledai
kampung, ataukah larangan itu hanya berlaku khusus dalam peperangan
Khaibar saja. 19
Bagi ulama yang memandang bahwa pernyataan Nabi tentang
keharaman keledai jinak itu berkaitan erat dengan kebijaksanaan Nabi
sebagai pemimpin masyarakat, maka keharaman tersebut mereka nilai
sebagai bersifat temporal. Mereka menyatakan bahwa mungkin keharaman
itu berlatar belakang untuk memelihara populasi keledai kampung yang
saat itu keledai kampung merupakan alat transportasi masyarakat yang
sangat penting. Menurut mereka, bila populasi keledai kampung melebihi
kebutuhan masyarakat, maka daging keledai kampung halal dimakan.
Dalam berbagai sumber telah didiskusikan latar belakang keharaman
daging keledai kampung tersebut. Pendapat-pendapat itu menyatakan
bahwa keharaman ditetapkan oleh Nabi:
a. Dalam rangka memelihara populasi keledai kampung,
19
Lihat Ibn Hajr al-Asqalaniy, Fath al-Bariy, Juz IX, h. 654-657; Muhammad bin ‘Ali bin
Muhammad al-Syaukaniy, Nail al-Authar Syarh Muntaqa al-Akhbar, juz VIII, (Beirut: Dar al-Jil,
1973), h. 281-285.
41
b. Karena binatang tersebut termasuk rijs (kotor),
c. Karena binatang itu merupakan binatang piaraan di rumah,
d. Karena Nabi telah melarangnya.

Pendapat yang disebutkan terakhir merupakan pendapat jumhur


ulama. Perbedaan pendapat para sahabat Nabi dan para ulama tersebut
menurut M. Syuhudi Ismail, antara lain menunjukkan adanya perbendaan
pandangan tentang fungsi Nabi tatkala beliau menyatakan hadis tersebut.
Sebagian golongan berpandangan bahwa saat itu Nabi berfungsi sebagai
Rasulullah, dan sebagian lagi berpendapat bahwa pada saat itu Nabi
berfungsi sebagai kepala Negara atau pemimpin masyarakat. Bagi
golongan yang disebutkan pertama, larangan itu bersifat universal, sedang
bagi golongan yang disebutkan terakhir, larangan tersebut bersifat
temporal dan atau local.20

e. Pokok-pokok Kandungan Hukum Hadis

Berdasarkan uraian yang dipaparkan dapat ditarik beberapa


kandungan pokok hukum hadis ini, yaitu sebagai berikut:

1. Pengharaman nikah mut’ah dan kebatilannya. Ini merupakan ijma’


ulama. Menurut Ibn Daqiq al-‘Iyd, semua fuqaha melarang nikah mut’ah
dan mayoritas ulama membatasi pengharaman itu atas dasar akad
temporal.
2. Nikah mut’ah dimubahkan (boleh) pada permulaan Islam karena semata
kebutuhan mendesak. Kemudian disebutkan pengharamannya secara
tegas meskipun ada kebutuhan yang mendesak.
3. Nikah mut’ah pernah dibolehkan dalam sejarah, namun pada akhirnya
dilarang (haram) untuk selama-lamanya. Terjadinya hukum halal karena
pertimbangan darurat.
20
Lihat M. Syuhudi ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, op.cit., h. 43.
4. Daging keledai kampung (peliharaan) haram dimakan. Latar belakang
keharamannya menurut sebagian ulama bersifat tetap, sedang sebagian
ulama yang lain memandang status kehamaramannya bersifat temporal,
yang karenanya dalam kondisi tertentu daging keledai tersebut halal
dimakan.

3. Mahram karena Sesusuan (LM. 916)

a. Materi Hadis

‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم‬ ِ َ ‫َن رس‬


َ ‫ول اللَّه‬
ِ
ْ ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم أ‬
ُ َ َّ ‫َخَبَر ْت َه ا أ‬
ِ ِ
َ ِّ ‫َع ْن َعائ َش ةَ َرض َي اللَّهُ َعْن َه ا َز ْو َج النَّيِب‬
‫ول اللَّ ِه َه َذا َر ُج ٌل‬ َ ‫ت يَا َر ُس‬ ِ
ُ ‫ت َعائ َش ةُ َف ُق ْل‬ْ َ‫صةَ قَال‬َ ‫ت َح ْف‬ ِ ‫ت َر ُج ٍل يَ ْستَأْ ِذ ُن يِف َبْي‬ َ ‫ص ْو‬َ ‫ت‬
ِ ِ
ْ ‫َكا َن عْن َد َها َوأَن ََّها مَس َع‬
‫ت‬ ِ ‫الرض‬ ِ ‫ول اللَّ ِه ص لَّى اللَّه علَي ِه وس لَّم أُراه فُاَل نً ا لِع ِّم ح ْف‬ ِ
َ ‫يَ ْس تَأْذ ُن يِف َبْيت‬
ْ َ‫اعة َف َق ال‬ َ َ َّ ‫ص ةَ م ْن‬ َ َ َ ُ َ َ َ َ َْ ُ َ ُ ‫ت َف َق َال َر ُس‬ ْ َ‫ِك قَ ال‬
‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم َن َع ْم إِ َّن‬ ِ ُ ‫الرض اع ِة دخ ل علَي َف َق َال رس‬ ِ ِ ِ
َ ‫ول اللَّه‬ َُ َّ َ َ َ َ َ َ َّ ‫َعائ َش ةُ لَ ْو َك ا َن فُاَل ٌن َحيًّا ل َع ِّم َه ا م ْن‬
)‫اعةَ حُتَِّر ُم َما حَيْ ُر ُم ِم ْن الْ ِواَل َد ِة (رواه البخاري و مسلم وغريمها‬ َ‫ض‬ َ ‫الر‬
َّ
Artinya:
(Hadis diriwayatkan ) dari ‘Aisyah ra. Istri Nabi saw. mengabarkan
bahwa sesungguhnya Rasulullah saw. sedang bersamanya ketika
‘Aisyah mendengar suara seorang laki-laki yang meminta izin untuk
masuk ke rumah Hafshah. ‘Aisyah berkata, “Wahai Rasulullah, laki-laki
ini meminta izin masuk ke rumahmu, ‘Aisyah berkata, lalu Rasulullah
saw. bersabda, ‘Aku melihat paman Hafshah dari penyusuan,’ ‘Aisyah
berkata, “Seandainya si fulan masih hidup, yaitu pamanya dari
sepenyusuan, bolehkah masuk kepadaku.” Rasulullah saw. menjawab,

43
“Ya, karena penyusuan itu mengharamkan seperti haramnya karena
kelahiran.” (.H.R. Al-Bukhariy, Muslim dan selainnya)

b. Takhrij al-Hadits

1. Al-Bukhariy, kitab al-syahadat, bab al-syahadat ‘ala al-ansab wa al-


radha’ah ‘ala al-mustafaidhu wa al-maut al-qadim, hadis no. 2452,
kitab furudh al-khamzah, bab ma ja’a fi buyut zauj al-Nabiy, hadis no.
2874, kitab al-nikah, bab wa ummahatukum al-latiy ardha’nakum wa
yuharrim min al-radha’ah, hadis no. 4709.
2. Muslim, kitab al-radha’ah, bab yahrumu min al-radha’ah ma yahrumu
min al-wiladah, hadis no. 2615, 2616.
3. Abu Dawud, kitab al-nikah, bab yahrumu mina al-radha’ah ma yahrumu
min al-nasb, hadis no. 1759.
4. Al-Turmudziy, kitab al-radha’ah, bab ma ja’a yahrumu min al-radha’ah
yahrumu min al-nasb, hadis no. 1066.
5. Al-Nasaiy, kitab al-nikah, bab ma yahrumu min al-radha’ah, hadis no.
3248, 3249, 3250, 3251.
6. Ibn Majah, kitab al-nikah, bab yahrumu min al-radha’ah ma yahrumu
min al-nasb, hadis no. 1927.
7. Malik, kitab al-radha’ah, bab radha’at al-shaghir, hadis no. 1101, 1102,
1103.
8. Al-Darimiy, kitab al-nikah, bab ma yahrumu min al-radha’ah, hadis no.
2148, 2149.
9. Ahmad bin Hanbal, kitab baqi musnad al-Anshariy, bab hadits sayyidah
‘Aisyah, hadis no. 23041, 23109, 23235, 23294, 23570, bab baqi
musnad al-sabiq, 24281.

c. Biografi Singkat Sahabat Nabi Periwayat hadis


(‘AISYAH ISTRI RASULULLAH SAW.)

‘Aisyah binti Abu Bakar al-Shiddiq bin Abi Quhafah adalah salah
seorang istri Nabi Muhammad saw. Garis keturunannya bertemu dengan
garis keturunan Rasulullah dari jalur kakeknya yang keenam yaitu Murrah
bin Ka’ab. Ayahnya Abu Bakar sebenarnya bernama ‘Abdullah bin ‘Utsman
bin ‘Amr bin ‘Amr bin Ka’ab bin Sa’id bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin
Luay bin Ghalib al-Qurasy al-Taimiy. Ayahnya itu dijuluki dengan julukan
Abu Bakar, al-‘Athiq, al-Shiddiq, al-Shahib, al-Atqa, dan al-Awwah. Semua
julukan itu menunjukkan ketinggian derajat, kedudukan, dan
kemuliaannya. Kakeknya dari jalur ayah ini dijuluki Abu Quhafah yang
memeluk Islam pada saat Fath Makkah. Nenek dari ayahnya bernama
Salma binti Shakhr bin ‘Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim. Dia dijuluki
dengan Ummul Khair. Neneknya masuk Islam sejak pertama kali Islam
datang.
Ibunya bernama Ummu Ruman binti ‘Amir bin ‘Uwaimir. Ia berasal
dari Bani Kinanah Khuzaimah dan sudah sejak lama ia memeluk Islam dan
berbaiat kepada Rasulullah. Ummu Ruman ikut hijrah ke Madinah dan
meninggal di Madinah ketika Rasulullah masih hidup.21

‘Aisyah diperistri oleh Nabi pada usia sekitar enam atau tujuh tahun.
Ketika itu, Khadijah telah wafat dan Nabi telah memperistri Saudah,
seorang janda yang telah lanjut usia. Pernikahan Nabi dan ‘Aisyah terjadi
sebelum Nabi hijrah ke Madinah. Karena usia ‘Aisyah masih sangat muda,
maka sesudah akad nikah, ‘Aisyah masih dipelihara oleh ibunya Ummu
Rumman. Sesudah Nabi hijrah ke Madinah, barulah ‘Aisyah tinggal satu

21
Lihat ‘Imarah Muhammad ‘Imarah, 100 Mauqif Buthuli al-Nisa’, diterjemahkan oleh
Nashirul Haq, Lc, dan Fatkhurrozi, Lc., dengan judul Ketika Wanita lebih Utama dari Pria, 100
Kisah Wanita Mengesankan, (Jakarta : Maghfirah Pustaka, 2005), h. 43-44.
45
rumah dengan Nabi. Ketika itu, ‘Asiayh telah berusia sekitar Sembilan
tahun.

Sebagai istri yang dimadu, ‘Aisyah menduduki tempat yang istimewa


di hati suaminya. Pada suatu saat, sebagai seorang suami yang memiliki
banyak istri, Nabi mengadu kepada Allah bahwa beliau tidak mampu
menyamakan rasa cinta beliau kepada seluruh istri beliau. Rasa cinta
beliau kepada ‘Aisyah selalu lebih besar daripada rasa cinta beliau kepada
para istri yang lainnya.

Ketika Rasulullah wafat di kediaman ‘Aisyah, usia ‘Aisyah sekitar 18


tahun. Rasulullah dikebumikan di tempat wafat beliau, yakni di kediaman
‘Aisyah tersebut. Saat sekarang ini, kuburan Rasulullah telah berada
dalam bagian Masjid Nabawi di al-Madinah al-Munawwarah.

‘Aisyah memang memiliki banyak keutamaan. Dialah satu-satunya


wanita yang ketika diperistri oleh nabi masih dalam keadaan gadis. Dia
dikenal sebagai wanita yang cerdas dan memiliki pengetahuan Islam yang
luas. Dari kalangan sahabat nabi, ‘Aisyah termasuk sahabat yang dikenal
banyak menyampaikan fatwa agama.

Dalam periwayatan hadis Nabi, ‘Aisyah menduduki peringkat


keempat dalam kelompok al-Muktsiruna fil-hadis (“bendaharawan hadis”).
Jumlah hadis yang diriwayatkan menurut sebagian sumber ada 1210 buah.
Yang disepakati periwayatannya oleh al-Bukhari dan Muslim ada 174 buah
hadis; yang diriwayatkan oleh al-Bukhari sendiri (tanpa Muslim) sebanyak
54 buah; dan yang diriwayatkan oleh Muslim sendiri sebanyak 69 buah.

‘Aisyah wafat pada bulan Ramadhan tahun 58 H (ada yang


menyatakan 57 H) dalam usia sekitar 67 tahun dan tidak dikaruniai
keturunan. Jenazahnya dikebumikan di pekuburan Baqi’ , di al-Madinah al-
Munawwarah.

Banyak sekali mutiara patritisme yang ditunjukkan oleh ‘Aisyah, di


antaranya, keelokan budi dalam mengarungi bahtera rumah tangga
bersama Rasulullah. Dalam posisinya sebagai perempuan ia selalu terlibat
dalam jihad fi sabilillah, seperti meladeni perbekalan dan merawat para
pasukan yang terluka di perang Uhud. Ikut juga dalam perang Ahzab.
‘Aisyah juga tegar dalam menghadapi ujian ifki (berita bohong yang
menuduh dirinya telah berselinghkuh dengan seorang sahabat yang saat
itu justru sedang menolong ‘Aisyah). Lebih memilih hidup sederhana
bersama Rasulullah dari pada materialism dan hedonism. Sepenuh hati
kala berinfak di jalan Allah. Pandai berhias untuk menyenangkan suami.
Tidak mudah terhasut, ketika terjadi fitnah terbunuhnya ‘Utsman bin
‘Affan.

d. Arti Kosakata dan Syarahan Hadits

Adapun arti beberapa kosakata hadis ini, dapat dikemukakan, antara


lain:
1. Kalimat ً‫ أُ َراهُ فُاَل ن‬Kata ُ‫ أُ َراه‬sana dengan ‫ أطنه‬yang berarti: saya menduga
atau saya menyangkanya.
2. Kalimat ‫ لِ َع ِّمهَا‬dan َ‫صة‬ َ ‫لِ َع ِّم َح ْف‬, Huruf ‫االم‬ dalam kata- kata tersebut
berarti: ‫ عن‬. Dengan demikian, maksud dari ‫ لِ َع ِّمهَا‬adalah ‫ عن عمه‬dan
َ ‫ لِ َع ِّم َح ْف‬adalah ‫ عن عم حفصة‬yakni pamannya Hafshah.
maksud ‫صة‬

3. Kalimat ‫ي‬ َّ َ‫ َدخَ َل َعل‬, Maksud kata-kata tersebut adalah ‫هل يجوز أن يدخل علي‬
(Apakah dia boleh masuk ke rumah saya untuk menemui saya).
4.Kalimat ‫ يَحْ ُر ُم ِم ْن ْال ِواَل َد ِة‬Maksudnya ialah: ‫( مثل ما يَحْ ُر ُم ِم ْن ْال ِواَل َد ِة‬Seperti apa
yang haram karena kelahiran atau keturunan).
47
Sebab disabdakannya hadis (sabab wurud al-hadits), dalam hadis
tersebut, Rasulullah saw. bersabda:

‫ضا َعةَ تُ َح ِّر ُم َما يَحْ ُر ُم ِم ْن ْال ِواَل َد ِة‬


َ ‫إِ َّن ال َّر‬
(Sesungguhnya susuan itu mengharamkan apa yang menjadi haram
karena kelahiran).

Hadis tersebut disabdakan oleh Rasulullah untuk memberi


penjelasan kepada ‘Aisyah r.a. (dan umat Islam lainnya) yang belum
mengetahui bagaimana kedudukan paman karena susuan.
Waktu itu ada seorang laki-laki yang datang ke rumah Hafshah (istri
Rasulullah ). ‘Aisyah menduga bahwa laki-laki yang datang itu adalah
paman Hafshah karena susuan. Sekiranya yang datang itu paman karena
nasab (hubungan darah) tentulah ‘Aisyah tidak mempersoalkannya sebab
‘Aisyah sudah mengetahui tentang ke-mahram-an paman.
Berhubung yang datang itu adalah paman karena susuan, maka
‘Aisyah bertanya kepada Rasulullah tentang hukumnya.
Sesungguhnya Rasulullah telah member isyarat mengenai
kebolehannya itu, yakni dengan mengatakan:
َ ‫أُ َراهُ فُاَل نًا لِ َع ِّم َح ْف‬
َ ‫صةَ ِم ْن الر‬
‫َّضا َع ِة‬
(Rupanya dia itu si fulan (paman Hafshah karena susuan).

Akan tetapi ‘Aisyah belum mantap atas jawaban tersebut. Karenanya


dia pun menanyakan, bagaimana sekiranya yang datang itu adalah paman
‘Aisyah karena susuan; apakah dia boleh juga masuk kerumah ‘Aisyah
untuk menemui dirinya.
Atas pertanyaan ‘Aisyah itu, maka Rasulullah mempertegas
penjelasan beliau tentang akibat susuan dalam ke-mahram-an:
‫َّضا َعةَ تُ َح ِّر ُم َما يَحْ ُر ُم ِم ْن ْال ِواَل َد ِة‬
َ ‫إِ َّن الر‬
(Sesungguhnya susuan itu mengharamkan apa yang menjadi haram
karena kelahiran (keturunan).

Pengertian Susuan (‫ع ِة‬


َ ‫َّضا‬
َ ‫)الر‬

Tentang pengertian susuan dilihat dari frekuensi, kualitas, dan masa


(umur) susuan yang mengakibatkan status mahram, para ulama berbeda
pendapat.
1. Frekuensi Susuan
a. Dawud al-Zhahiri, Zaid bin Tsabit, Abu Tsaur dan Ibn Mundzir
berpendapat bahwa frekuensi susuan yang mengakibatkan status
mahram adalah yang dilakukan sebanyak tiga kali atau lebih. Apabila
hanya satu kali atau dua kali saja, maka susuan itu tidak
mengakibatkan mahram.
Dalil yang mereka gunakan adalah pemahaman (mafhum) terhadap
hadis Nabi saw. yang berbunyi:
22
‫َان‬
ِ ‫صت‬َّ ‫صةُ َو ْال َم‬
َّ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل اَل تُ َح ِّر ُم ْال َم‬ َّ ِ‫ال إِ َّن النَّب‬
َ ‫ي‬ ْ َ‫ع َْن عَائِ َشةَ قَال‬
َ َ‫ت ق‬
Artinya:
(Hadis diriwayatkan) dari ‘Aisyah, dia berkata, telah bersabda
Nabi saw.: “Tidaklah menjadi mahram (karena) isapan satu kali
dan dua kali.” (H.R. Muslim)

ْ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل اَل تُ َحرِّ ُم الرَّضْ َعةُ أَو‬
َ ِ ‫ي هَّللا‬ ْ َ‫ث أَ َّن أُ َّم ْالفَضْ ِل َح َّدث‬
َّ ِ‫ت أَ َّن نَب‬ ِ ‫ع َْن َع ْب ِد هَّللا ِ ْب ِن ْال َح‬
ِ ‫ار‬
23
َّ ‫صةُ أَوْ ْال َم‬
‫صتَا ِن‬ َّ ‫الرَّضْ َعتَا ِن أَوْ ْال َم‬
Artinya:
(Hadis diriwayatkan) dari ‘Abdullah bin al-Harits, bahwasanya
Ummi al-Fadhl menceritakan bahwa Nabi saw. bersabda: “Susuan

22
Muslim, kitab al-radha’, bab fi al-mashshat wa al-mashshatan, hadis no. 2628
23
Ibid. hadis no. 2629
49
satu dan dua kali, serta isapan satu kali dan dua kali tidaklah
mengakibatkan mahram. (H.R. Muslim dan Ahmad).

Mereka memahami bahwa karena isapan satu dan dua kali


belum menyebabkan status mahram, maka yang lebih dari itu (yakni
tiga kali isapan atau lebih) telah berstatus mahram. Hal ini
dipertegas pula dalam riwayat Ummi al-Fadhl yang lain bahwa
susuan yang hanya sekali tidak menyebabkan status mahram,
24
. ‫ال اَل‬ ِ ‫ي هَّللا ِ هَلْ تُ َحرِّ ُم الرَّضْ َعةُ ْال َو‬
َ َ‫اح َدةُ ق‬ َّ ِ‫ْص َعةَ قَا َل يَا نَب‬ َ ‫ع َْن أُ ِّم ْالفَضْ ِل أَ َّن َر ُجاًل ِم ْن بَنِي عَا ِم ِر ْب ِن‬
َ ‫صع‬
Artinya:
(Hadis diriwayatkan) dari Ummi al-Fadhl, bahwa seorang laki-laki
dari Bani ‘Amir bin Sha’sha’ah bertanya kepada Nabi: “Apakah
menyebabkan mahram (kalau hanya) sekali susuan?,” Jawab Nabi :
“Tidak.” (H.R. Muslim).

b. ‘Ali bin Abi Thalib, Ibn ‘Abbas, al-Hadawiyah, Hanafiyah, dan Malik
bin Anas berpendapat bahwa sedikit atau banyak susuan itu, asal
sudah masuk ke rongga perut, maka telah mengakibatkan status
mahram. Alasannya ialah dalam Alquran, mahram susuan itu tidak
dirinci tentang frekuensi dan jumlah isapan. Apabila kegiatan telah
disebut menyusu, maka status susuan telah terwujud.Hal ini sesuai
dengan kaidah yang menyatakan:
‫( فحيث وجد اس مه وجد حكمه‬Maka bila telah terwujud namanya, terwujud
pula hukumnya)

Ayat Alquran yang mereka maksudkan itu termuat dalam QS.


Al-Nisa’: 23, yaitu :
      ….  …
Terjemahnya:
…Dan ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan
sepersusuan; ….

24
Ibid., hadis no. 2630.
c. Ibn Mas’ud, Zubair, al-Syafi’iy dan Ahmad bin Hanbal berpendapat
bahwa susuan yang mengakibatkan status mahram adalah susuan
yang dilakukan sebanyak lima kali. Dalil yang mereka perpegangi
adalah hadis Nabi saw. yang menyatakan:
ِ ِ ِ َ ‫َن رس‬ ِ
‫س‬
َ ْ‫ت َس ال ًما مَخ‬ َ ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم أ ََم َر ْام َرأََة أَيِب ُح َذ ْي َف ةَ فَأ َْر‬
ْ ‫ض َع‬ َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ َّ ‫َع ْن َعائ َش ةَ أ‬
25 ِ ٍ ‫رضع‬
‫اعة‬َ‫ض‬ َ ‫الر‬
َّ ‫ك‬ َ ‫ات فَ َكا َن يَ ْد ُخ ُل َعلَْي َها بِتِْل‬ ََ َ
Artinya:
(Hadis diriwayatkan) dari ‘Aisyah, bahwasanya Rasulullah saw.
telah memerintahkan istri Abu Hudzaifah untuk menyusui Salim.
Maka dia (istri Hudzaifah) menyusui Salim sebanyak lima kali
susuan. Maka dia (Salim) masuk (menjadi mahram) istri Hudzaifah
karena sebab susuan tersebut. (H.R. Ahmad)

Hadis di atas timbul sebagai jawaban atas masalah yang dihadapi


oleh Abu Hudzaifah beserta istrinya yang bernama Sahlah binti Suhail.
Sahlah datang kepada Nabi dan menyatakan bahwa Abu Hudzaifah
mempunyai pembantu (maula) bernama Salim yang tinggal satu rumah
bersama mereka. Padahal Salim tidak termasuk mahram-nya Sahlah.
Maka Nabi lalu menyuruh Sahlah untuk menyusui Salim sebanyak lima
kali. Setelah disusui, maka Salim menjadi anak susuan Sahlah dan
menjadi mahram Sahlah karena susuan.

Dengan dalil tersebut, maka Ibn Mas’ud dan lain-lainnya


mengatakan bahwa frekuensi susuan yang menjadi status mahram
haruslah lima kali.

25
Ahmad bin Hanbal, kitab baqi musnad al-Anshariy, bab baqi musnad al-sabiq, hadis no.
24983
51
Analisis terhadap Ketiga Pendapat tersebut

Kalau dilihat dari argument ketiga pendapat tersebut di atas, maka


tampaknya pendapat ketiga yang lebih kuat. Alasannya ialah:

a. Argumen dari pendapat yang pertama menyatakan bahwa frekuensi


susuan adalah tiga kali atau lebih dan karenanya, susuan yang hanya
satu kali dan dua kali belum memenuhi syarat sesusuan. Argumen
tersebut didasarkan pada pemahaman (mafhum). Dalam pada itu,
argument pendapat yang ketiga bukan sekdar pemahaman, melainkan
berdasarkan manthuq (yang dituju oleh lafal dalil naqli). Kaidah
mengatakan:

‫فان الحكم من المنطوق وهو أقوى من المفهوم فهو مقدم عليه‬


(Sesungguhnya hukum yang berdasarkan manthuq adalah lebih kuat
daripada yang berdasarkan kepada mafhum-nya). 26

b. Argumen dari pendapat yang kedua menempatkan masalah susuan


sebagai dalil yang mujmal (global). Padahal hadis Nabi saw. yang
berfungsi juga sebagai penjelas terhadap ayat yang umum telah
memberikan keterangan tentang masalah susuan itu. Yakni rincian
frekuensi susuan yang berakibat mahram bagi wanita.27

2. Kuantitas Susuan

Tentang berapa banyak (kuantitas) air susu yang dapat


mengakibatkan status mahram, para ulama berbeda pandangan.

Lihat Al-Shan’aniy, Subul al-Salam, op.cit., Juz III, h. 213.


26

Lihat al-Syaukaniy, Nail al-Authar, op.cit., Juz VI, h. 351.


27
a. ‘Ali bin Abi Thalib, Ibn ‘Abbas, al-Hadawiyah, al-Hanaiyah, dan Malik
bin Anas berpendapat bahwa sedikit atau banyak jumlah air susu
yang diminum, asalkan telah masuk ke rongga perut, maka susuan
tersebut mengakibatkan status mahram.

Al-Laits bin Sa’ad menyatakan, sedikit ataupun banyak susuan itu


mengakibatkan seseorang menjadi mahram sebagaimana halnya
minum dan makan yang membatalkan puasa. Maksudnya, minum
atau makan banyak atau sedikit yang dilakukan oleh orang yang
sedang berpuasa sama saja, yakni sama-sama membatalkan puasa.28

b. Jumhur ulama berpendapat bahwa jumlah susuan yang


mengakibatkan mahram ialah susuan yang mengenyangkan, baik hal
itu ditempuh dengan jalan meminum, melalui lubang yang dibuat,
lewat hidung, maupun dengan jalan menyemprotkannya. Semuanya
dinilai sebagai susuan. Alasannya ialah hadis Nabi saw.

ُ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َو ِعْن ِدي َر ُج ٌل قَ َال يَا َعائِ َش ة‬


َ ُّ ‫ت َد َخ َل َعلَ َّي النَّيِب‬
ِ ِ
ْ َ‫َع ْن َعائ َشةَ َرض َي اللَّهُ َعْن َها قَال‬
‫اع ِة‬ ِ ‫الرض‬ ِ
َ َ َّ ‫اعة قَ َال يَ ا َعائ َش ةُ انْظُ ْر َن َم ْن إِ ْخ َوانُ ُك َّن فَِإمَّنَ ا‬
َ ‫اعةُ م ْن الْ َم َج‬
ِ ‫الرض‬ ِ ِ ‫من ه َذا ُق ْل‬
َ َ َّ ‫ت أَخي م ْن‬ ُ َ َْ
29
)‫(متفق عليه‬

Artinya:
(Hadis diriwayatkan) dari ‘Aisyah ra. Berkata, Nabi saw.
mendatangiku sementara (di rumahku) ada seorang laki-laki, lalu
Lihat al-Syaukaniy, Nail al-Authar, ibid..
28

Al-Bukhariy, kitab al-syahadat, bab al-syahadat ‘ala al-ansab wa al-radha’ah, hadis no.
29

2453, Muslim, kitab al-radha’ah, hadi

53
Nabi bertanya, siapa ini ya ‘Aisyah, jawab ‘Aisyah, saudaraku
sesusuan. Nabi saw. bersabda; “Ya ‘Aisyah perhatikanlah saudara-
saudara (sesusuan)mu itu. Sesungguhnya yang dikatakan sebagai
susuan adalah yang menyusu karena lapar.” (H.R. Al-Bukhariy-
Muslim).

Hadis tersebut disabdakan Nabi ketika beliau datang ke rumah


‘Aisyah, dan di rumah itu ada seorang laki-laki. Nabi bertanya kepada
‘Aisyah, siapakah laki-laki itu. ‘Aisyah menjawab, laki-laki itu adalah
saudara sesusuannya. Atas jawaban ‘Aisyah itu, Rasulullah memberi
penjelasan sebagaimana hadis di atas.

َ ‫َّضا َعةُ ِم ْن ْال َم َجا‬


Jadi, pernyataan hadis ‫ع ِة‬ َ ‫ فَإِنَّ َما الر‬itu memberi petunjuk
bahwa syarat susuan dari segi kuantitasnya adalah susuan yang
dilakukan pada waktu lapar, sedang makanan utama yang
bersangkutan (bayi) itu adalah air susu ibu dengan cara menetek.
Hal tersebut tidak termasuk mereka yang bermakanan pokok selain
air susu ibu. Ulama yang berpendapat demikian antara lain Abu
‘Ubaid. Alasannya, ialah hadis Nabi saw.:

30 ْ ‫ضا َع إِاَّل َما َش َّد ْال َع‬


‫ظ َم َوأَ ْنبَتَ اللَّحْ َم‬ َ َ‫ع َْن اب ٍْن لِ َع ْب ِد هَّللا ِ ب ِْن َم ْسعُو ٍد ع َْن ا ْب ِن َم ْسعُو ٍد ق‬
َ ‫ال اَل ِر‬ )1(

Artinya:
(Hadis diriwayatkan) dari Ibn Mas’ud ra., dia berkata, Rasulullah
saw. bersabda: “Tidak ada susuan, kecuali yang dapat
mengeraskan tulang dan menumbuhkan daging.”(H.R. Abu
Dawud).

Abu Dawud, kitab al-nikah, bab fi radha’ah al-kabir, hadis no. 1763.
30
Menurut para periwayat Abu Dawud melalui pemberitaan
Muhammad bin Sulaiman al-Anbariy bahwa pengertian ‫ش َّد‬ َ dalam
ْ ْ َ
hadis ini bermakna ‫( أ ْنشَزَ ال َعظ َم‬menguatkan tulang.)

َ‫ت ْال ُم ْن ِذ ِر ع َْن أُ ِّم َس لَ َمة‬ ِ َ‫َح َّدثَنَا قُتَ ْيبَةُ َح َّدثَنَا أَبُو ع ََوانَةَ ع َْن ِه َش ِام ب ِْن ُع رْ َوةَ ع َْن أَبِي ِه ع َْن ف‬
ِ ‫اط َم ةَ بِ ْن‬ )2(
‫ي َو َك انَ قَ ْب َل‬ ِ ‫ق اأْل َ ْم َع ا َء فِي الثَّ ْد‬ َ ِّ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم اَل ي َُحرِّ ُم ِم ْن الر‬
َ َ‫ضا َع ِة إِاَّل َما فَت‬ َ ِ ‫ت قَا َل َرسُو ُل هَّللا‬ ْ َ‫قَال‬
31 َ ْ
‫الفِط ِام‬

Artinya:
(Hadis diriwayatkan) dari Ummu Salamah rah., dia berkata,
Rasulullah saw. telah bersabda: “Tidaklah menjadikan mahram
karena susuan, kecuali susuan yang membelahkan usus sebelum
disapih (dilepas).” (H.R. al-Turmudziy).

Menurut Abu ‘Isa (al-Turmudziy) hadis ini berkualitas hasan


shahih, dan banyak diamalkan oleh ahli ilmu di kalangan sahabat.
Menurut mereka bahwa susuan yang dikategorikan mahram yakni
yang dilakukan sebelum berusia dua tahun. Apabila dilakukan setelah
berusia dua tahun tidak termasuk lagi dalam kategori susuan yang
berstatus mahram.
Mazhab al-Hadawiyah dan al-Hanafiyah sebenarnya sependapat
dengan jumhur ulama di atas. Perbedaannya adalah, kedua golongan
itu tidak memasukkan penyemprotan sebagai salah satu cara
penyusuan yang sah.

3. Masa (Usia) Susuan

31
Al-Turmudziy, kitab al-radha’ah, bab ma ja’a dzikr anna al-radha’ah la yahrumu illa fi
shaghir, hadis no. 1072.
55
Ulama hadis dan fikih berbeda pendapat tentang mas (usia) menyusu
yang mengakibatkan mahram.

a. Dawud al-Zhahiriy dan beberapa ulama lainnya berpendapat bahwa


susuan dianggap sah walaupun usia yang menyusu itu sudah balig
dan berakal. Alasannya ialah:
1) Nabi telah menyuruh istri Abu Hudzaifah untuk menyusui Salim,
sedang Salim pada waktu itu telah balig.
2) Alquran surah al-Nisa’ : 23 yang telah dikutip adalah ayat yang
mengandung petunjuk tentang susuan secara mutlak, tidak
dikaitkan dengan masalah waktu (usia).

b. Kalangan jumhur sahabat, tabi’in dan fuqaha berpendapat bahwa


susuan yang berakibat mahram adalah susuan yang dilaksanakan
pada masa kanak-kanak. Yang mereka perselisihkan dalam hal ini
adalah pengertian masa kanak-kanak. Dalam hal ini, ada yang
menyatakan:
1) Masa kanak-kanak itu sampai usia dua tahun, dengan alasan
bahwa ayat Alquran surah al-Baqarah: 233 menyebut usia susuan
itu selama dua tahun penuh.

          


  .... 
Terjemahnya:
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.

2) Masa kanak-kanak sampai usia sapihan (pisah netek), dengan


alasan hadis riwayat Ummu Salamah di atas.
3) Masa kanak-kanak hanya sampai usia satu tahun. Pendapat ini
tampaknya membatasi masa bayi sampai masa mumayyiz.
Jumhur sahabat, tabi’in, dan fuqaha’ tersebut membatasi usia
susuan pada anak-anak berdasarkan alasan:

a. Hadis yang berbunyi:

. ‫َّضا َعةُ ِم ْن ْال َم َجا َع ِة‬


َ ‫فَإِنَّ َما الر‬
( Sesungguhnya yang dikatakan sebagai susuan adalah yang
menyusu karena lapar).

Lapar yang dimaksudkan di sini adalah lapar terhadap makanan


pokok berupa susu, bukan pada makanan yang lain. Yang makanan
pokoknya susu pada lazimnya adalah anak-anak pada usia menyusui.

b. Salim yang diberi airi susu oleh Sahlah binti Suhail (istri Abu
Hudzaifah) terjadi pada masa Salim telah balig. Hadis ini berlaku
khusus untuk kasus Salim dan tidak berlaku untuk kasus lain.
Jumhur ulama tersebut sejalan dengan jawaban ‘Aisyah terhadap
pertanyaan Ummu Salamah tentang kasus Salim tersebut. ‘Aisyah
menyatakan:

‫( ال نرى هذا اال خاصا بسالم‬Kami tidak melihat (adanya kasus) ini kecuali
khusus bagi Salim).

c. Ibn Taimiyah berpendapat bahwa susuan yang berakibat mahram adalah


susuan pada masa anak-anak, terkecuali bila memang ada keperluan
khusus dengan maksud agar diizinkan untuk masuk ke rumah wanita
bukan mahram karena nasab dan terlepas dari ketentuan hijab (tabir)
seperti kasus Salim dengan Sahlah binti Suhail tersebut. Kasus salim
terjadi karena ada hajat, yakni agar Salim dapat bebas masuk ke rumah
Sahlah tanpa ada hijab. Jadi, kasus Salim tidak hanya berlaku khusus
57
untuk Salim saja, tetapi merupakan dalil dalam menghadapi masalah
yang bersifat khusus seperti kasus Salim itu.

e. Pokok-pokok Kandungan Hukum Hadis

Berangkat dari penjelasan hadis di atas dapat simpulkan kandungan


pokok hadis ini, yaitu sebagai berikut:

1. Ke-mahram-an selain disebabkan oleh faktor keturunan (nasab) dan


mushaharah (karena pernikahan), juga dapat disebabkan oleh faktor
susuan.
2. Ketentuan hukum yang berlaku pada mahram karena keturunan
(nasab) berlaku juga bagi mahram karena susuan.
3. Ulama berbeda pendapat tentang frekuensi, kuantitas dan usia
penyusuan yang mengakibatkan ke-mahram-an.

4. Larangan Meminang Wanita yang telah Dilamar Orang Lain (BM.


1004)

a. Materi Hadis

ِ ُ ‫َن ابْ َن عُ َمَر َر ِض َي اللَّهُ َعْن ُه َما َكا َن َي ُق‬


ٍ ‫ض ُك ْم َعلَى َبْي ِع َب ْع‬
‫ض‬ َ ِ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْيه َو َس لَّ َم أَ ْن يَب‬
ُ ‫يع َب ْع‬ َ ُّ ‫ول نَ َهى النَّيِب‬ َّ ‫أ‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ
‫ب (متف ق علي ه وللف ظ‬ ُ ‫ب َقْبلَ هُ أ َْو يَ أْ َذ َن لَ هُ اخْلَ اط‬ ُ ‫الر ُج ُل َعلَى خطْبَ ة أَخي ه َحىَّت َيْت ُر َك اخْلَ اط‬ َّ ‫ب‬ َ ُ‫َواَل خَي ْط‬
)‫للبخارى‬

Artinya:
(Hadis diriwayatkan) dari Ibn ‘Umar ra., dia berkata: Nabi saw. telah
melarang di antara kamu sekalian menjaul barang yang (sedang) dijual
kepada orang lain, juga melarang melamar (wanita) yang (sedang)
dalam lamaran saudaranya (sesama muslim), sehingga (pelamar
terdahulu) meninggalkan (membatalkan lamarannya) atau pelamar
tersebut mengizinkannya. (H.R. al-Bukhariy, Muslim, dengan lafadz dari
al-Bukhariy).

b. Takhrij al-Hadits

1. Al-Bukhariy, kitab al-nikah, bab la yakhthuba ‘ala khithbah akhihi hatta


yankiha aw yada’a, hadis no. 4746.
2. Muslim, kitab al-nikah, bab tahrim al-khithbah ‘ala khithbah akhihi
hatta ya’dzana aw yatruka, hadis no. 2530, 2531, kitab al-buyu’, bab
tahrim bay’ ‘ala bay’ akhihi, hadis no. 2787.
3. Abu Dawud, kitab al-nikah, bab fi karhiyyah an yakhthuba al-rajul ‘ala
khithbati akhihi, hadis no. 1782.
4. Al-Tumurziy, kitab al-buyu’, bab ma ja’a fi al-nahyi ‘an al-bay’ ‘ala bay’
akhihi, hadis no. 1213.
5. Al-Nasaiy, kitab al-nikah, bab khithbah al-rajul idza taraka aw adzana
lahu, hadis no. 3191.
6. Malik, kitab al-nikah, bab ma ja’a fi al-khithbah, hadis no. 965.
7. Al-Darimiy, kitab al-nikah, bab al-nahyu ‘ala khithbati al-rajul ‘ala
khithbati akhihi, hadis no. 2081.
8. Ahmad bin Hanbal, kitab musnad al-muktsirin min al-shahabah, bab
musnad ‘Abdullah bin ‘Umar bin al-Khaththab, hadis no. 4492.

c. Biografi Singkat Sahabat Nabi Periwayat hadis

(‘ABDULLAH BIN ‘UMAR)

59
Nama lengkap Ibn ‘Umar sebagai periwayat pertama hadis di atas
adalah Abu ‘Abd al-Rahman ‘Abdullah bin ‘Umar bin al-Khaththab al-
Qurasyi al-Adawiy al-Makkiy. Pada saat masih usia belia, dia bersama
ayahnya ‘Umar bin al-Khaththab memeluk Islam. Juga bersama ayahnya.
Dia hijrah ke Madinah.

Ketika terjadi Perang Badar, ‘Abdullah bin ‘Umar berhasrat untuk


ikut serta dalam peperangan itu. Namun karena dia waktu itu masih anak-
anak, maka Nabi saw. melarangnya. Dia mulai ikut serta dan menyaksikan
langsung jalannya peperangan bersama Nabi tatkala terjadi Perang
Khandaq. Ketika peperangan antar umat Islam terjadi sesudah Nabi saw.
wafat, Ibn ‘Umar berusaha keras untuk tidak terlibat.

Pada waktu ‘Umar bin al-Khaththab membentuk tim (Dewan)


pemilihan khalifah pengganti ‘Umar, ‘Abdullah ikut diangkat sebagai salah
satu anggota tim. Dalam tim itu, ‘Abdullah hanya diizinkan oleh ‘Umar
untuk memilih dan tidak diizinkan untuk dipilih sebagai khalifah.

‘Abdullah bin ‘Umar dikenal sebagai salah seorang sahabat Nabi


yang sangat patuh dalam menjalankan sunnah Nabi. Ibn ‘Umar pernah
berjalan memakai tongkat, padahal dia tidak berhalangan untuk berjalan
tanpa memakai tongkat. Kemudian berteduh di sebuah pohon. Ketika
orang melihat dan bertanya, mengapa dia berlaku demikian, Ibn ‘Umar
menjawab bahwa dia lakukan itu karena Rasulullah saw. ketika masih
hidup pernah berjalan dengan tongkat dan berteduh di tempat tersebut.

Ibn ‘Umar dikenal sebagai salah seorang sahabat Nabi yang sangat
dermawan. Pada suatu saat, Ibn ‘Umar bersedekah uang sebanyak 30.000
dirham sekaligus, suatu jumlah yang tidak sedikit untuk ukuran saat itu.
Di bidang periwayatan hadis ‘Abdullah Ibn ‘Umar termasuk salah
seorang sahabat dari kelompok al-Muktsirun fi al-Hadits. Ibn ‘Umar
menduduki peringkat kedua setelah Abu Hurairah dalam periwayatan
hadis. Hadis yang diriwayatkan Ibn ‘Umar berjumlah 2630 buah hadis.
Yang diriwayatkan oleh al-Bukhariy dan Muslim sejumlah 2630. Yang
diriwayatkan oleh al-Bukhariy sendiri berjumlah 80 buah hadis, dan yang
diriwayatkan oleh Muslim sendiri sebanyak 31 buah hadis.

Selain Ibn ‘Umar meriwayatkan hadis langsung dari Nabi saw., dia
juga menerima hadis dari para sahabat lainnya, terutama dari para
Khulafa’ al-Rasyidin, Hafshah (saudaranya), Abu Hurairah, dan dari
‘Aisyah. Sedangkan para periwayat yang menerima dan meriwayatkan
hadis dari Ibn ‘Umar antara lain, selain dari tabi’in seperti anaknya, dan
pelayannya, Nafi’ bin al-Faqih, Sa’id bin al-Musayyab, Abu Salamah, Salim,
Mus’ab bin Sa’ad, dan lain-lain. Ada juga dari kalangan sahabat, seperti
Ibn ‘Abbas, dan Jabir.32

Sebagai periwayat pada tingkat sahabat, Ibn ‘Umar telah diberi


tanggapan terhadap pribadinya antara lain, yaitu :
1) Hafshah (saudara perempuan ‘Abdullah bin ‘Umar) : Saya mendengar
Rasulullah saw. bersabda : “’Abdullah adalah seorang yang saleh”.
2) ‘Abdullah bin Mas’ud : Sesungguhnya pemuda Quraisy yang paling
mampu mengendalikan diri dari dunia adalah ‘Abdullah.
3) Al-Zuhriy : Tidak ada satupun orang yang menyamai kecerdasan
‘Abdullah bin ‘Umar.
4) Malik dan al-Zuhriy : Ibn ‘Umar adalah orang yang tidak pernah lalai dari
perintah Rasul dan sahabatnya.33

32
Lihat Ibn Hajr al-Asqalaniy, al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah, Juz II, h. 343, Jamal al-Din
Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mizziy, Tahdzib al-Kamal fi Asma’ al-Rijal, Juz X, (Bairut : Dar al-Fikr, 1994
M), h. 356-361.
33
Lihat ibid, Ibn Hajr al-Asqalani, III, h. 579-581; Ibn Hajr al-Asqalani, al-Ishabah,
op.cit., h. Ibn Atsir, op.cit., III, h. 341; Al-Mizzi, Tahzib al-Kamal, ibid., XV,h.339; Khalid
61
Pada masa hidupnya, orang Islam yang bernama ‘Abdullah berjumlah
lebih dari seratus orang. Sebagian dari mereka dikenal sebagai orang
yang banyak meriwayatkan hadis dan berpengetahuan mendalam di
bidang agama slam. Untuk itu, ulama lalu membuat julukan Abadillah
untuk ‘para ‘Abdullah tertentu. Mereka itu adalah:

1. ‘Abdullah bin ‘Umar bin al-Khaththab


2. ‘Abdullah bin ‘Abbas bin ‘Abd al-Muthallib
3. ‘Abdullah bin Zubair bin ‘Awwam
4. ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash.

‘Abdullah bin Mas’ud dalam hal ini tidak termasuk dalam kelompok
Abadillah tersebut. ‘Abdullah bin ‘Umar wafat di Makkah pada tahun 73
H. dalam usia sekitar 80 tahun.

d. Arti Kosakata dan Syarahan Hadits

Adapun arti beberapa kosakata hadis ini, dapat dikemukakan, antara


lain:
1. Lafazd ‫نَهَى‬, Nabi melarang, tidak dibolehkan.
2. Kalimat ‫ض ُك ْم‬
ُ ‫يَبِي َع بَ ْع‬, jual beli yang dimaksudkan adalah menjual barang
jualan kepada orang lain.
ٍ ‫بَ ْي ِع بَع‬, sedang barang itu sudah ditawar oleh pembeli
3. Kalimat ‫ْض‬
sebelumnya.

Penjelasan hadis ini lebih rinci dapat dilihat dari analisa menurut
potongan hadis berikut ini:
‫ْض‬ ُ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم أَ ْن يَبِي َع بَ ْع‬
ٍ ‫ض ُك ْم َعلَى بَي ِْع بَع‬ َ ‫نَهَى النَّبِ ُّي‬
(Nabi saw. telah melarang di antara kamu sekalian menjual barang
yang (sedang) dijual kepada orang lain).

Muh}ammad Khalid, op.cit., h. 95-99; Ibrahim Dasuqi al-Sahawi, op.cit., h. 186.


Islam Mengutamakan Etika dalam Berbisnis

Islam adalah agama yang sangat menekankan pentingnya akhlak.


Nabi Muhammad sendiri mengaku bahwa beliau dibangkit di muka bumi
sebagai Rasulullah adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.

Akhlak yang dibina oleh Islam meliputi hubungan antara manusia


dengan Allah, dengan sesame muslim, dengan sesame manusia, dengan
sesame makhluk ciptaan Allah, dan dengan lingkungan alam sekitarnya.

Salah satu bentuk akhlak yang diajarkan Islam berkenaan dengan


hubungan antara sesama manusia, khususnya sesama muslim adalah,
menumbuhkan sikap solider, tenggang rasa, dan saling menghargai.
Sikap yang demikian itu berakar pada salah satu keyakinan yang
diajarkan oleh Islam bahwa manusia itu berasal dari satu rahim, yakni
rahim Ibu Hawa. Khusus hubungan antara sesama muslim, landasannya
tidak hanya karena kesamaan asal usul keturunan saja, tetapi juga
dilandasi oleh salah satu ajaran dasar Islam yang dinyatakan dalam
Alquran. Ajaran dasar yang dimaksud antara lain adalah prinsip
persaudaraan universal, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Hujurat :
13,

        


           
 
Terjemahnya:
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa -
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
63
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

Atau prinsip persaudaraan atas dasar iman, dinyatakan dalam QS. Al-
Hujurat : 10

         


 
Terjemahnya:
Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu
damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu
dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.

Juga hadis Nabi saw. yang berbunyi:


ِ ِ ِ َ ‫َن رس‬ ِ ِ
‫َخ و‬ ُ ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم قَ َال الْ ُم ْس ل ُم أ‬ َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ َّ ‫َخَب َرهُ أ‬ْ ‫َن َعْب َد اللَّه بْ َن ُع َم َر َرض َي اللَّهُ َعْن ُه َم ا أ‬
َّ ‫أ‬
ً‫تِه َو َم ْن َف َّر َج َع ْن ُم ْس لِ ٍم ُكْربَ ة‬ ِ ‫َخي ِه َك ا َن اللَّه يِف حاج‬
َ َ ُ
ِ ‫الْمس لِ ِم اَل يظْلِم ه واَل يس لِمه ومن َك ا َن يِف حاج ِة أ‬
َ َ ْ ََ ُُ ْ ُ َ ُ ُ َ ُْ
34
‫ات َي ْوِم الْ ِقيَ َام ِة َو َم ْن َسَتَر ُم ْسلِ ًما َسَتَرهُ اللَّهُ َي ْو َم الْ ِقيَ َام ِة‬
ِ ‫َفَّرج اللَّه عْنه ُكربةً ِمن ُكرب‬
َُ ْ َْ ُ َ ُ َ
Artinya:
(Hadis diriwayatkan) dari ‘Abdullah bin ‘Umar ra. Memberitakan,
bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: “Orang muslim (yang satu)
adalah saudara Muslim (yang lain) tidak boleh saling menganiaya,
dan tidak boleh ia membiarkannya (kepada yang membahayakan).
Dan barangsiapa menolong (memenuhi) keperluan saudaranya, maka
Allah akan menolong (memenuhi) kebutuhannya, barangsiapa yang
memberi kemudahan (jalan keluar) dari kesulitan suadaranya, maka
Allah akan memudahkan dari kesulitannya di hari kiamat.Dan
34
Al-Bukhariy, kitab al-madzalim wa al-ghashab, bab la yadzlam al-muslim al-muslim wa la
yuslimu, hadis no. 2262.
barangsiapa yang menutupi (aib) suadranya Muslim, maka Allah akan
menutupi aibnya di hari kiamat.

Yang dimaksud dengan persaudaraan sesama muslim ialah hubungan


yang kuat di anatara sesama muslim, sebagaimana kuatnya hubungan
nasab yang menimbulkan cinta kasih saying; sedia membantu dan
menolong, memberi kebaikan-kebaikan kepada saudaranya dan
menghalangi bahaya yang akan menimpa saudaranya. Termasuk dalam
rangkaian persaudaraan ialah, ia tidak akan menganiaya dan tidak sampai
hati menyerahkan suadaranya kepada yang membahayakan.35

Berangkat dari ajaran persaudaraan tersebut, maka dalam kegiatan


muamalah, misalnya jual beli, Nabi Muhammad menekankan pentingnya
pemeliharaan sikap tenggang rasa dan saling menghargai. Karenanya,
Nabi saw. menyatakan larangan menjual barang kepada orang lain yang
barang itu telah laku dijual kepada seseorang. Begitu juga dalam hal
menawarkan barang, seorang penjual tidak boleh menawarkan barang
dagangannya kepada orang lain (pihak ketiga) selama barang tersebut
masih dalam (sedang) ditawar oleh seseorang yang terdahulu (pihak
kedua).

Kegiatan jual beli dan kegiatan bisnis lainnya dalam Islam harus
tetap memelihara hubungan persaudaraan antara sesame manusia,
terlebih lagi sesame muslim. Dalam Islam, nilai persaudaraan lebih
berharga dari pada keuntungan materi.

ْ ‫ب ال َّر ُج ُل َعلَى ِخ‬


‫طبَ ِة أَ ِخي ِه‬ َ ُ‫َواَل يَ ْخط‬

Lihat Muhammad ‘Abd al-Aziz al-Khuliy, al-Adab al-Nabawiy, (Semarang : CV.


35

Wicaksana, [t.th.], h. 94
65
(Nabi saw.) juga melarang orang melamar (wanita) yang telah dalam
laraman saudaranya (sesama muslim).

Kata )‫ خطب – يخطب – خطبا (خطبة‬berarti melamar (meminang)


Kata )‫ خطب – يخطب – خطبا (خطبة‬berarti berkhuthbah.
Kata ‫ خاطب – يخاطب – مخاطبة‬berarti bercakap-cakap (berbicara)
Kata ‫ خاطب‬berarti orang yang meminang
Kata ‫ خطيب‬adalah khathib (penceramah)
Kata ‫ خطيبة‬adalah wanita yang dipinang.
Hubungan Jual beli dan Lamaran
Hadis yang sedang dibahas ini menghubungkan antara kegiatan jual
beli dengan melamar wanita. Dalam kegiatan jual beli terdapat tawar
menawar, sebagai ungkapan keinginan untuk terjadinya perpindahan
kepemilikan barang yang didasari oleh saling rela (taradhin minkum). Hal
yang sama juga terdapat dalam kegiatan melamar sebagai proses awal
secara resmi menuju kepada peralihan kepemilikan (tanggungjawab)
wanita dalam bentuk perkawinan.

Kalau dalam jual beli barang saja, ajaran Islam sangat menekankan
pentingnya memelihara sikap tenggang rasa dan saling menghargai, maka
apalagi dalam hal pelamaran terhadap wanita yang akan dinikahi. Untuk
kegiatan pelamaran, hubungan persaudaraan akan mudah terancam
retak, kalau pihak-pihak yang terlibat dalam proses pelamaran itu tidak
saling berusaha menjaga perasaan.
Akibat Hukum Lamaran terhadap Wanita yang telah Dilamar
Orang Lain
Ulama berbeda pendapat terhadap status dan akibat hukum dari
larangan Nabi yang melarang melamar wanita yang telah dilamar orang
lain. Perbedaan pendapat itu antara lain, sebagai berikut:
1. Al-Khaththabiy (w.388 H) menyatakan bahwa larangan dalam hadis
tersebut tidak menunjukkan hukum haram, tetapi sekedar sebagai
akhlak yang harus dijunjung tinggi. Jadi, pelanggaran terhadap etika ini
dinilai sebagai telah melakukan sesuatu yang makruh (tercela).
2. Sebagian fuqaha’ berpendapat bahwa pelanggaran terhadap larangan
itu tidak sekedar berakibat dosa saja, akan tetapi juga berakibat
pernikahan itu tidak sah (batal).
3. Menurut mayoritas ulama, larangan Nabi itu menunjukkan status
hukum haram. Namun sekiranya larangan itu dilanggar, lalu
dilangsungkan pernikahan, maka pernikahannya tetap sah.
Pelanggaran terhadap larangan ini, sama halnya dengan melanggar
perbuatan yang haram, yakni diancam dengan siksaan.36

Kalimat ْ ‫( َعلَى ِخ‬yang telah dalam lamaran saudaranya


‫طبَ ِة أَ ِخي ِه‬
(muslim)), oleh sebagian ulama, misalnya al-Auzaiy dan sebagian
penganut mazhab al-Syafi’iy dipahami bahwa yang dilarang ialah kalau
yang melamar lebih dahulu itu adalah orang muslim. Bila yang lebih

36
Lihat M. Syuhudi Ismail, op.cit., h. 70-71.
67
dahulu melamar itu adalah orang kafir (non muslim) ataupun orang fasiq
(orang yang banyak berbuat dosa, maka larangan tersebut tidak berlaku.
Mereka beralasan bahwa orang muslim tidak bersaudara dengan orang

kafir atau fasiq.


Sebagian ulama berpendapat bahwa larangan itu bersifat umum.

Ungkapan ‫( أَ ِخي ِه‬saudaranya) dalam hadis tersebut memberi pengertian


‘pada khususnya’.

ِ ‫َاطبُ قَ ْبلَهُ أَوْ يَأْ َذنَ لَهُ ْال‬


ُ‫خَاطب‬ ِ ‫ك ْالخ‬
َ ‫َحتَّى يَ ْت ُر‬
(Sehingga pelamar terdahulu telah membatalkan lamaran itu atau
pelamar tersebut telah mengizinkannya).

Larangan itu berakhir pada waktu orang yang melamar terdahulu


telah:
a. membatalkan lamarannya, atau
b. mengizinkan orang lain untuk melakukan lamaran juga.

Kedua hal itu terjadi mungkin karena pihak yang melamar memang
tidak berhasrat lagi untuk melanjutkan lamarannya, atau mungkin karena
pihak wanita telah mengemukakan penolakannya.
Dari petunjuk Nabi tersebut dapat dipahami bahwa sesungguhnya
latar belakang larangan bukan tertuju pada substansi perbuatan
melamarnya itu, melainkan tertuju pada kewajiban menjaga harmonisasi
persaudaraan antara sesame anggota masyarakat, khususnya antara
sesama muslim. Sekiranya substansi larangan terletak pada lamaran itu
sendiri, niscaya keizinan pihak yang melamar terlebih dahulu tidak akan
dapat mengakhiri larangan tersebut.

e. Pokok-pokok Kandungan Hukum Hadis


Hadis ini mengandung petunjuk tentang etika jual beli dan etika
melamar wanita yang akan dinikahi. Oleh karena itu, maka kandungan
hukum yang dapat ditarik dari hadis ini adalah sebagai berikut:

1. Membeli atau menjual barang dagangan yang sedang ditawar oleh


orang lain hukumnya haram.
2. Melamar wanita yang masih dalam lamaran orang lain, hukumnya juga
haram.
3. Apabila pihak yang melamar terdahulu telah membatalkan lamarannya,
atau member izin kepada pihak lain untuk melamar wanita tersebut,
maka melamar wanita yang dimaksud hukumnya boleh.
4. Memelihara hubungan yang baik sesame manusia, khususnya sesame
muslim menjadi substansi hadis ini dibandingkan dengan nilai barang
yang sedang ditawarkan atau wanita yang sedang dicarikan jodohnya.

5. Mahar (Mas Kawin) (LM. 898)

a. Materi Hadis

‫ول اللَّ ِه‬


َ ‫ت يَا َر ُس‬ ِ
ْ َ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم َف َق ال‬
ِ ِ
َ ‫ت ْام َرأَةٌ إِىَل َر ُس ول اللَّه‬ ْ َ‫ي قَ َال َجاء‬ِّ ‫اع ِد‬ َّ ‫َع ْن َس ْه ِل بْ ِن َس ْع ٍد‬
ِ ‫الس‬
ِ ِ ِ ُ ‫ك َن ْف ِس ي َفنَظَ ر إِلَيه ا رس‬ ِ
َ‫ص َّوبَهُ مُثَّ طَأْطَ أ‬
َ ‫ص َّع َد النَّظَ َر ف َيه ا َو‬ َ َ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم ف‬
َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ َْ َ َ َ‫ب ل‬ ُ ‫ت أ ََه‬
ُ ‫جْئ‬
‫ت َف َق َام َر ُج ٌل ِم ْن‬ ِ ِ ‫ول اللَّ ِه ص لَّى اللَّه علَي ِه وس لَّم رأْس ه َفلَ َّما رأَت الْم رأَةُ أَنَّه مَل ي ْق‬
ْ ‫ض ف َيه ا َش ْيئًا َجلَ َس‬ َْ ُ َْ ْ َ َُ َ َ َ َ َْ ُ َ ُ ‫َر ُس‬
‫اجةٌ َفَز ِّو ْجنِ َيها َف َق َال َف َه ْل ِعْن َد َك ِم ْن َش ْي ٍء َف َق َال اَل َواللَّ ِه‬ َ ‫ك َا َح‬
‫ول اللَّ ِه إِ ْن مَل ي ُكن لَ َ هِب‬
ْ َْ َ ‫َص َحابِِه َف َق َال يَا َر ُس‬
ْ‫أ‬
ِ َ ‫ب إِىَل أ َْهل‬ ِ َ ‫ي ا رس‬
‫ت َش ْيئًا‬ُ ‫ب مُثَّ َر َج َع َف َق َال اَل َواللَّه َم ا َو َج ْد‬ َ ‫ِد َش ْيئًا فَ َذ َه‬
ُ ‫ِك فَانْظُْر َه ْل جَت‬ ْ ‫ول اللَّه َف َق َال ا ْذ َه‬ َُ َ
69
َ ‫ب مُثَّ َر َج َع َف َق َال اَل َواللَّ ِه يَا َر ُس‬ ٍ ِ ِ ‫مِت‬ ِ ِ ُ ‫َف َق َال رس‬
‫ول‬ َ ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْيه َو َس لَّ َم انْظُ ْر َولَ ْو َخا ًا م ْن َحديد فَ َذ َه‬
َ ‫ول اللَّه‬ َُ
ِ ُ ‫يد ولَ ِكن ه َذا إِزا ِري قَ َال س هل م ا لَ ه ِرداء َفلَه ا نِص ُفه َف َق َال رس‬ ٍ ِ ِ ‫مِت‬ ِ
ُ‫ص لَّى اللَّه‬َ ‫ول اللَّه‬ َُ ُ ْ َ ٌَ ُ ٌََْ َ َ ْ َ ‫اللَّه َواَل َخا ًا م ْن َحد‬
‫س‬ ِ َ ‫علَي ِه وسلَّم ما تَصنَع بِِإزا ِر َك إِ ْن لَبِستَه مَل ي ُكن علَيه ا ِمْن ه َش يء وإِ ْن لَبِس ْته مَل ي ُكن علَي‬
َ َ‫ك مْن هُ َش ْيءٌ فَ َجل‬ َْ ْ َْ ُ َ َ ٌ ْ ُ َْ َ ْ َ ْ ُ ْ َ ُ ْ َ َ َ َ َْ
‫بِه فَ ُد ِع َي َفلَ َّما َج اءَ قَ َال‬
ِ ‫ول اللَّ ِه ص لَّى اللَّه علَي ِه وس لَّم مولِّي ا فَأَمر‬
ََ ً َُ َ َ َ ْ َ ُ َ ُ ‫الر ُج ُل َحىَّت إِذَا طَ َال جَمْلِ ُسهُ قَ َام َف َرآهُ َر ُس‬
َّ
َ ‫َّد َها َف َق َال َت ْق َر ُؤ ُه َّن َع ْن ظَ ْه ِر َق ْلب‬
‫ِك قَ َال َن َع ْم‬ ِ ِ ِ َ ‫م ا َذا مع‬
َ ‫ورةُ َك َذا َع د‬
َ ‫ورةُ َك َذا َو ُس‬َ ‫ك م ْن الْ ُق ْرآن قَ َال َمعي ُس‬ ََ َ
ِ ‫ك ِمن الْ ُقر‬ ‫مِب‬
)‫آن (رواه البخاري و مسلم وغريمها‬ ْ ْ َ ‫ب َف َق ْد ُملِّكَْت َها َا َم َع‬ ْ ‫قَ َال ا ْذ َه‬
Artinya:
(Hadis diriwayatkan) dari Sahl bin Sa’d al-Sa’diy berkata, telah datang
seorang wanita kepada Rasulullah saw. seraya berkata: “Ya Rasulullah,
saya datang untuk menyerahkan diri saya kepada Anda untuk Anda
nikahi.” Rasulullah saw. melihat wanita tersebut dengan seksama lalu
beliau menundukkan kepala. Tatkala wanita itu berpendapat bahwa
beliau (Rasulullah) tidak berkenan terhadap sesuatu pun yang ada pada
dirinya, maka dia lalu duduk. Kemudian seorang laki-laki dari sahabat
beliau berdiri dan berkata: “Ya Rasulullah, jika Anda tidak berkenan
dengannya, maka sudilah kiranya Anda menikahkan saya dengannya.”
Maka beliau bersabda: “Apakah kamu mempunyai sesuatu (untuk
membayar mahar)?” Dia menjawab: “Demi Allah, ya Rasulullah, saya
tidak mempunyai apa-apa” Beliau lalu bersabda: “Pergilah ke
rumahmu, siapa tahu kamu mendapatkan sesuatu” Maka laki-laki itu
pergi, kemudian datang lagi dan berkata: “Demi Allah, tidak ada apa-
apa ya Rasulullah, Saya tidak menjumpai sesuatu pun juga.” Beliau
bersabda lagi: “Carilah walau hanya cincin besi” Laki-laki tersebut lalu
pergi dan datang kembali, serta berkata: “Demi Allah, tidak ada apa-
apa ya Rasulullah, walaupun hanya cincin besi, Namun begitu, saya
mempunyai selembar sarung (Sahl berkata: orang itu tidak memiliki
pakaian luar lagi), separuh untuknya (wanita yang akan dinikahinya).
Rasulullah bertanya lagi : “Lalu apa yang kamu lakukan dengan
sarungmu itu? Jika kamu memakai, berarti dia (wanita itu) tidak akan
dapat memakai sesuatu pun dari sarung itu, dan kalau dia yang
memakainya, berarti kamu tidak dapat memakai sesuatu pun dari
sarung itu.” Kemudian laki-laki itu duduk dan duduknya lama. Sesudah
itu, dia berdiri (hendak pergi), dan Rasulullah saw. melihatnya lalu
memanggilnya kembali. Tatkala dia telah berada (di hadapan
Rasulullah), beliau bertanya : “Kemampuan apa yang ada padamu
terhadap Alquran?” Dia menjawab: “Saya hafal surah begini, surah
begitu, dan surah begini.” Dia menyebut sejumlah nama surat Alquran.
Beliau bertanya lagi “Apakah kamu benar-benar menghafalnya?” Dia
menjawab: “Ya.” Beliau bersabda: “(Kalau begitu) pergilah, saya
nikahkan kamu dengan wanita itu dengan mahar berupa kemampuan
kamu terhadap Alquran tersebut. (H.R. Al-Bukhariy, Muslim dan
selainya)

b. Takhrij al-Hadits

1. Al-Bukhariy, kitab al-wakalah, bab hadis no. 2144, kitab fadhail al-
qur’an, bab khairukum man ta’allam al-qur’an wa ‘allimahu, hadis no.
4641, bab al-qira’ah ‘an dhahri al-qalb, hadis no. 4642, kitab al-nikah,
bab tazawij al-mu’sir, hadis no. 4697, bab ‘aradh al-mar’ah nafsiha ‘ala
al-rajul al-shalih, 4727, bab al-nadzr ila al-mar’ah qabl al-tazwij, hadis
no. 4731, bab idza kunna li al-wali huwa al-khathab, hadis no. 4737,
bab al-sulthan al-waliy, hadis no. 4740, bab qala khathab li al-wali
zawwajniy, hadis no. 4745, bab al-tazwij ala al-quran wa bi ghairi
shidaq, hadis no. 4752, kitab al-libas, bab khatm al-jadid, hadis no.
5422.

71
2. Muslim, kitab al-nikah, bab al-shidaq wa jawzi kaunuhu ta’lim al-qur’an
wa khatm al-jadid, hadis no. 2554.
3. Abu Dawud, kitab al-nikah, bab fi tazwij ‘ala al-‘amal ya’mal, hadis no.
1806.
4. Al-Nasaiy, kitab al-nikah, bab al-kalam al-ladzi yan’aqidu bihi al-nikah,
hadis no. 3228.
5. Ibn Majah, kitab al-nikah, bab al-shidaq al-nisa’, hadis no. 1879.
6. Malik, kitab al-nikah, bab ma ja’a fi al-shidaq wa al-hub, hadis no. 968.
7. Ahmad bin Hanbal, kitab baqi musnad al-Anshariy, bab hadits Abi Malik
Sahl bin Sa’ad al-a’diy, hadis no. 21733, 21783.

c. Biografi Singkat Sahabat Nabi Periwayat hadis

(SAHL BIN SA’AD AL-SA’DIY)

Nama lengkapnya adalah Sahl bin Sa’ad bin Malik bin Khalid bin
Tsa’labah bin Haritsah bin ‘Amir bin al-Khazraj bin Sa’idah al-Ashariy al-
Sa’diy. Dari nama tersebut menunjukkan Sahl bukan dari kalangan
Quraisy yang hijrah ke Madinah tetapi penduduk asli Madinah dari kaum
Anshar.
Pada waktu Nabi berhijrah ke Madinah, Sa’ad masih kanak-kanak.
Usianya baru sekitar empat tahun. Ketika Nabi wafat Sahal berusia sekitar
15 tahun.

Selain menerima hadis langsung dari Nabi saw. Sahl juga mengambil
riwayat hadis dari Ubay bin Ka’ab, ‘Ashim bin ‘Adiy, ‘Amr bin ‘Abasah dan
Marwan bin Hakam. Selanjutnya, riwayat hadis dari Sahl diterima antara
lain oleh: anaknya bernama ‘Abbas, al-Zuhriy, Abu Hazm bin Dinar, Wafa’
bin Syuraih al-Hadhramiy, Yahya bin Maimun, ‘Abdullah bin ‘Abd al-
Rahman bin Abi Dzubab, ‘Amr bin Jabir, dan lain-lain.
Hadis yang diriwayatkan Sahl sebanyak 188 buah hadis. Sahl
meninggal tahun 88 H. dalam usia sekitar 100 tahun. Ada pendapat yang
mengatakan bahwa usia Sahl tidak sampai 100 tahun, tetapi lebih 90
tahun. Ahli sejarah berbeda pendapat tentang tempat wafatnya. Sebagian
menyatakan, Sahal wafat di Madinah, dan sebagian lagi menyatakan di
Iskandariyah (Mesir).37

d. Arti Kosakata dan Syarahan Hadits

Adapun arti beberapa kosakata hadis ini, dapat dikemukakan,


sebagai berikut:
1. Kalimat ٌ‫ت ا ْم َرأَة‬
ْ ‫ َجا َء‬, datang seorang wanita kepada Rasulullah.
2. Kata ‫أَهَب‬, saya serahkan diri (kepada Rasulullah untuk dinikahi.
3. Kalimat َ ‫ص َّع َد النَّظَ َر فِيهَا َو‬
ُ‫ص َّوبَه‬ َ َ‫ف‬, Rasulullah memperhatikan dengan
seksama, sesuatu yang menarik untuk dinikahi.
4. Kalimat ُ‫ص لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َس لَّ َم َر ْأ َس ه‬
َ ِ ‫ثُ َّم طَأْطَ أ َ َر ُس و ُل هَّللا‬, Rasulullah menundukkan
kepala tanda tidak berkenan.
5. Kalimat ‫ض فِيهَا َش ْيئًا‬ ِ ‫يَ ْق‬, sesuatu yang dapat berkenan.
6. Pernyataan ‫ َولَوْ خَاتِ ًما ِم ْن َح ِدي ٍد‬, sekalipun hanya sebentuk cincin terbuat
dari besi.
7. Kata ‫زَاري‬
ِ ِ‫ُ إ‬, selendang, yang biasa dijadikan penutup badan.
8. Kalimat َ‫ظَه ِْر قَ ْلبِك‬, menghafal dengan benar (diluar kepala)

Dalam riwayat hadis ini digunakan lafal ٌ‫( ا ْم َرأَة‬seorang wanita),


namanya tidak disebutkan. Ibn Hajr menyatakan bahwa nama wanita itu
tidak diketahui. Dalam kitab al-Ihkam susunan Ibn al-Thala’ dijelaskan
bahwa nama wanita itu, ialah: Khaulah binti Hakim. Nama tersebut
didasarkan atas kasus wanita yang menyerahkan dirinya untuk dinikahi
37
Lihat Ibn Hajr al-Asqalaniy, Tahdzib, op.cit., III, h. 85.
73
oleh Nabi saw. yang disebutkan Alquran dalam QS. Al-Ahzab : 50 yang
antara lain menyatakan adanya wanita mukminah yang menyerahkan
dirinya agar Nabi menikahinya. Pendapat Ibn al-Thala’ ini dinilai lemah
oleh ulama dan masih perlu penelitian lebih lanjut.

Kalimat ‫س ي‬ِ ‫ت أَهَبُ لَ كَ نَ ْف‬


ُ ‫( ِج ْئ‬saya datang untuk menyerahkan diri saya
kepada Anda (untuk dinikahi). Maksudnya, wanita tersebut menyerahkan
dirinya kepada Nabi saw. agar Nabi bersedia menjadikannya istri. Dari
peristiwa itu dapat dipahami bahwa wanita dibolehkan menawarkan diri
kepada laki-laki yang shalih untuk dinikahi.

Rasulullah diberi kekhususan hukum yang tidak diberikan kepada


orang lain. Di antaranya, beliau dapat menikahi wanita yang
menyerahkan dirinya kepada beliau tanpa maskawin, seperti yang
difirmankan Allah dalam QS. Al-Ahzab: 50, yang berbunyi :

          
           
           
 
Terjemahnya:
... dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi
kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu,
bukan untuk semua orang mukmin. Sesungguhnya Kami telah
mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang isteri-
isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak
menjadi kesempitan bagimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.

َ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ف‬


َ ‫ص َّع َد النَّظَ َر فِيهَا َو‬
Kalimat ُ‫ص َّوبَه‬ َ ِ ‫( فَنَظَ َر إِلَ ْيهَا َرسُو ُل هَّللا‬Rasulullah
saw. melihat wanita tersebut dengan seksama). Maksudnya, Rasulullah
memperhatikan bentuk fisik wanita itu dan mempertimbangkan untuk
memperistrikannya sekiranya beliau berkenan.

Mahar atau maskawin ialah pemberian yang diserahkan kepada


wanita ketika menikah atau sesudahnya, sebagai imbalan atau
pembolehan suami untuk menyetubuhinya.
Syariat Islam tidak memberikan berapa batas menimal atau batas
maksimal mahar. Hanya saja dianjurkan untuk diringankan. Menurut
riwayat Umar bin al-Khaththab, dia berkata, “Rasulullah saw. tidak
member maskawin kepada seorang wanita yang menjadi istri beliau, tidak
pula menyerahkan maskawin kepada seorang pun di antara putri-putri
beliau lebih dari dua belas uqiyah.”

Maskawin yang ringan akan dapat mendatangkan kemaslahatan


umum, yang sangat besar manaaftnya bagi kedua belah pihak calon suami
istri dan juga masyarakat. Berapa banyak pemudi (wanita) yang akhirnya
hidup sendirian tanpa suami, dan banyak pemuda (laki-laki) yang hidup
tanpa istri karena tingginya mahar dan nafkah yang harus dikeluarkan
atau ditanggungnya untuk biaya walimah (pesta), sampai-sampai lewat
batas kemampuan dan mubadzir. Keadaan mereka yang hidup sendirian
tanpa pasangan ini dapat menyeret mereka kepada kekejian
kemungkaran. Dan berapa banyak kerusakan dan mudharat yang
disebabkan gaya hidup yang berlebih-lebihan ini, baik dampaknya
terhadap kehidupan social, moral, material, dan lain-lain.38

Melihat wanita untuk Diperistri

38
Lihat Abdullah bin ‘Abd al-Rahman, Taisir al-Allam Syarh ‘Umdat al-Ahkam,
diterjemahkan oleh Kathur Suhardi dengan judul Syarah Hadits Pilihan Bukhari-Muslim, (Cet.
VII; Jakarta : Dar al-Falah, 1429 H/2008 M), h. 777-778.
75
َ ‫ص لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َس لَّ َم َر ْأ‬
Ungkapan ُ‫س ه‬ َ ِ ‫( ثُ َّم طَأْطَ أ َ َر ُس و ُل هَّللا‬Kemudian Rasulullah
saw. menundukkan kepala), memberi isyarat bahwa Rasulullah tidak
berkenan terhadap wanita tersebut. Isyarat itu dipahami juga oleh wanita
yang bersangkutan bahwa Nabi tidak berminat kepadanya.

Pada dasarnya melihat wanita yang bukan mahram dilarang oleh


Islam, sebagaimana yang dikemukakan dalam QS. Al-Nur: 30
        
        
Terjemahnya:
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah
mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya;
yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat".

Dalam hadis di atas, Rasulullah sengaja melihat wanita yang bukan


mahramnya. Sikap Rasulullah itu memberi indikasi bahwa wanita yang
sedang dipertimbangkan untuk dinikahi boleh dilihat dan diperhatikan
dengan seksama. Dalam kesempatan lain, Rasulullah bersabda :

‫ب أَ َح ُد ُك ْم ْال َمرْ أَةَ فَإِ ْن ا ْستَطَا َع أَ ْن يَ ْنظُ َر ِم ْنهَا إِلَى َما‬


َ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم إِ َذا َخط‬
َ ِ ‫ال قَا َل َرسُو ُل هَّللا‬
َ َ‫ع َْن َجابِ ٍر ق‬
39
)‫احهَا فَ ْليَ ْف َعلْ (رواه أحمد و أبو داود وصححه الحاكم‬ ِ ‫يَ ْدعُوهُ إِلَى نِ َك‬
Artinya:
(Hadis diriwayatkan) dari Jabir berkata, telah bersabda Rasulullah
saw.: “Apabila seseorang di antara kamu sekalian melamar wanita
dan sekiranya dapat melihat bagian (tubuh dari) wanita yang
bersangkutan yang dapat menarik untuk dinikahinya, maka

39
Abu Dawud, kitab al-nikah, bab fi al-rajul yandzur ila al-mar’ah wahua yuridu tazwijuha,
hadis no. 1783, Ahmad bin Hanbal, kitab baqi musnad al-muktsirin, bab musnad Jabir bin
‘Abdullah, hadis no. 14059, 14340.
lakukannlah. (H.R. Ahmad, Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Al-
Hakim).

Menurut Dawud al-Dzahiri, berdasarkan hadis tersebut dan yang


semakna dengannya, maka seluruh bagian tubuh wanita dapat dilihat
untuk maksud pernikahan. Pendapat tersebut hanya didasarkan pada
pengertian tekstual, tanpa memperhatikan ketentuan lain berkenaan
dengan melihat tubuh wanita.

Menurut jumhur ulama, bagian tubuh wanita yang dapat dilihat


dalam hubungannya dengan rencana pernikahan itu adalah muka dan
telapak tangan saja. Bagian muka dapat member petunjuk tentang
kecantikannya, sedang bagian tangan dapat member petun juk tentang
keadaan bagian-bagian tubuh lainnya.

Sebagian ulama memberi taushiyah bahwa apabila bagian tubu selain


muka dan telapak tangan ingin dilihatnya juga, maka wanita lain yang
dituakan dan dipercaya dapat dimintai pertolongan untuk melihatnya.
Walaupun sesame wanita, namun bagian tubuh yang dapat dilihat
tidaklah seluruhnya, tetapi hanya bagian tertentu saja, misalnya lengan
dan betis. Wanita yang mewakili untuk melihat itu harus benar-benar
mampu memelihara rahasia dan kehormatan wanita yang dilihatnya dari
pihak-pihak yang tidak berkepentingan.

Calon Suami Diminta untuk Menyiapkan Mahar

Pernyataan ‫حابِ ِه‬ ْ َ‫( فَقَ ا َم َر ُج ٌل ِم ْن أ‬maka berdiri seorang laki-laki dari
َ ‫ص‬
sahabat Nabi ), menunjukkan bahwa ketika wanita tersebut datang
menawarkan diri kepada Nabi untuk dinikahi, ada orang lain dari sahabat

77
yang hadir memperhatikan wanita itu. Dalam hadis ini tidak disebutkan
nama laki-laki itu. Dalam riwayat al-Thabraniy, dinyatakan bahwa laki-laki
itu dari kalangan Anshar.
Laki-laki tersebut menawarkan diri untuk menikahi wanita itu
sekiranya Rasulullah benar-benar tidak berkenan untuk menikahinya.
Rasulullah memang tidak berkenan untuk menikahi wanita itu dan
karenanya, Nabi menyetujui permintaan laki-laki tersebut.

Pernyataan ‫ي ٍء‬ َ ‫( فَهَ لْ ِع ْن َد‬apakah kamu mempunyai sesuatu)


ْ ‫ك ِم ْن َش‬
member petunjuk bahwa untuk melangsungkan pernikahan, diperlukan
sesuatu, yakni sesuatu yang berharga untuk membayar mahar. Menurut
Ibn Hazm, dengan pernyataan itu dapat dipahami bahwa apa saja dapat
digunakan untuk mahar, walaupun hanya sebutir gandum. Pendapat ini
sangat berlebihan, sebab sekiranya sebutir gandum dapat dipakai untuk
mahar, niscaya Nabi saw. tidak akan menanyakan sesuatu kepada laki-laki
yang ingin menikahi tersebut. Kata “sesuatu” dalam pertanyaan itu
dimaksudkan adalah sesuatu yang secara ekonomis memiliki nilai atau
harga.

Pertanyaan Nabi itu mengindikasikan bahwa laki-laki dikenakan


kewajiban membayar mahar kepada wanita yang dinikahinya. Hal itu
sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al-Nisa’ : 4 yang menyatakan :

           
   
Terjemahnya:
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan
senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai
makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
Yang dimaksud dengan pemberian dengan penuh kerelaan ialah
maskawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua pihak,
karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas.

Dalam rangka memenuhi perintah Allah tersebut, maka Nabi saw.


menanyakan kepada laki-laki yang ingin kawin itu dengan pertanyaan:
‫( ا ْنظُ رْ َولَ وْ خَاتِ ًما ِم ْن َح ِديد‬carilah walau hanya cincin dari besi).
Benda itu
disebut oleh Nabi sebagai ungkapan tentang benda yang nilai ekonominya
paling rendah dari benda-benda berharga yang ada. Benda itu pada
zaman sekarang dapat disetarakan dengan cincin imitasi atau cincin
plastik.

Rupanya laki-laki itu tidak memiliki apa-apa, walaupun hanya cincin


besi. Yang dimilikinya hanyalah selembar sarung (penutup badan bagian
luar) yang sedang dipakainya. ‫زَاري‬ ِ ِ‫ َولَ ِك ْن هَ َذا إ‬Sarung itu ditawarkan untuk
dijadikan mahar. ُ‫علَ ْي كَ ِم ْن ه‬
َ ‫ك إِ ْن لَبِ ْستَهُ لَ ْم يَ ُك ْن َعلَ ْيهَا ِم ْنهُ َش ْي ٌء َوإِ ْن لَبِ َس ْتهُ لَ ْم يَ ُك ْن‬ ِ ِ‫َما تَصْ نَ ُع بِإ‬
َ ‫زَار‬
‫ َش ْي ٌء‬Nabi menolak tawaran itu bukan karena sarung tidak dapat dijadikan
mahar, melainkan karena sarung yang disodorkan itu merupakan pakaian
satu-satunya yang diperlukan untuk dipakainya sendiri. Kalau sarung itu
serahkan sebagai mahar, maka laki-laki itu sudah tidak lagi punya
pakaian penutup badannya. Informasi ini menandakan bahwa mahar
adalah sesuatu yang harus menjadi hak milik penuh wanita yang dinikahi,
tidak boleh diambil atau dipakai kembali oleh laki-laki yang telah
memberikannya sebagai mahar.

Mahar dengan Mengajar Membaca Alquran

79
Karena benda berharga walau semisal cincin besi tidak dimiliki juga,
yang menandakan bahwa laki-laki itu tergolong orang yang sangat miskin,
maka Nabi menanyakan sesuatu yang dimiliki orang itu berkenaan
dengan Alquran. Orang tersebut tampaknya memiliki hafalan surat-surat
tertentu dari Alquran. Dalam suatu riwayat dinyatakan bahwa yang
dihafal lak-laki itu ada sekitar 10 ayat dalam Alquran.40

Nabi mengizinkan laki-laki itu untuk membayar mahar nikah dengan


mengajarkan ayat-ayat Alquran yang dihafalnya kepada wanita yang
dinikahinya. Kebijaksanaan Nabi itu memberi kesan bahwa :
a. Sesuatu yang bermanfaat walaupun bukan berupa benda tapi jasa,
dapat saja dipakai untuk mahar.
b. Jasa mengajar membaca Alquran dapat digunakan sebagai mahar hanya
oleh orang yang sangat miskin; dan itu pun bila pihak wanita belum
mampu membaca Alquran dengan baik.
c. Orang kaya ataupun yang masih memiliki sesuatu yang berharga secara
ekonomi, maka “mengajar membaca Alquran” belum boleh digunakan
sebagai mahar.

Ada tradisi yang salah yang banyak dilakukan oleh umat Islam di
Indonesia. Banyak orang kaya atau pejabat Tinggi yang tatkala
menikahkan anaknya menggunakan mushaf Alquran dan sajadah(tikar
salat) untuk maharnya. Mungkin maksudnya, agar dengan mahar seperti
itu, maka mempelai wanita selalu berpegang pada petunjuk Allah
(Alquran) dan rajin melaksanakan shalat. Mereka memahami bahwa
mahar itu bernilai spiritual.

Tradisi mahar dengan Alquran dan sajadah itu menyalahi aturan


Rasulullah. Mahar adalah pemberian calon suami kepada calon istri
(bukan kepada calaon mertua). Barang yang digunakan untuk mahar
40
Lihat M. Syuhudi Ismail, op.cit., h. 94.
adalah barang yang mempunyai nilai ekonomi yang mampu diberikan oleh
pihak laki-laki. Alquran dan sajadah memang benda berharga, tetapi
bukan dari nilai ekonominya, melainkan dari nilai spiritual. Lagi pula ada
kemungkinan laki-laki tersebut menggunakannya pula. Karenanya, kedua
benda itu tidak tepat dijadikan mahar, kecuali oleh mereka yang benar-
benar sangat miskin.
Orang yang menjadikan Alquran sebagai mahar boleh saja asalkan di satu
pihak, yang bersangkutan adalah orang yang tidak mampu secara
material, ia juga telah mahir membaca Alquran dan mampu
mengajarkannya kepada orang lain (calon istri). Di lain pihak, calon
istrinya masih belum pandai membaca Alquran dan perlu dibimbing oleh
calon suaminya. Masalahnya menjadi terbalik, kalau sang calon suami
tidak mahir membaca Alquran, sedang calon istri telah mahir membaca
Alquran. Tentunya tujuan pemberian mahar dengan mushaf alquran
menjadi tidak tercapai.

Mahar dengan Ajakan Masuk Islam

Selain peristiwa yang dikemukakan oleh hadis tersebut, dalam


sejarah telah terjadi juga pernikahan yang maharnya bukan dari benda
berharga, melainkan berupa sesuatu yang bermanfaat. Pernikahan itu
dialami oleh Ummu Sulaim, ibunya Anas bin Malik. Ketika itu, Umum
Sulaim adalah seorang janda yang dilamar oleh Abu Thalhah. Ummu
Sulaim menolak lamaran itu karena Abu Thalhah katika itu masih belum
masuk Islam, sedang Ummu Sulaim sudah muslimah. Ummu Sulaim
bersedia dinikahi Abu Thalhah dengan mahar “Abu Thalhah memeluk
Islam”. Abu Thalhah menyanggupinya, maka pernikahan mereka
berlangsung dengan mahar, Abu Thalhah masuk Islam.

81
Atas peristiwa Ummu Sulaim tersebut, Ibn Qayyim al-Jauziyah
berkomentar bahwa wanita yang dinikahi boleh memilih mahar yang
menurut dia lebih bermanfaat, walaupun yang dipilihnya itu tidak berupa
benda.

Dua kasus yang dipaparkan tersebut, memberi petunjuk bahwa:


a. Mahar tetap wajib dipenuhi oleh laki-laki yang akan menikah.
b. Mahar tidak harus berupa benda, boleh dalam bentuk jasa atau
sesuatu yang bermanfaat.
c. Pilihan mahar bukan berupa benda, mungkin disebabkan oleh laki-
lakinya yang miskin, atau mungkin karena wanita tersebut melihat
adanya sesuatu yang secara nyata lebih berharga daripada benda
yang bernilai ekonomi bagi kelansungan pernikahan dan rumah
tangga nanti.

Batas Minimal Mahar


Ulama membahas, apakah jumlah mahar itu memiliki batas minimal?
Sebagian ulama menyatakan bahwa jumlah mahar memiliki batas
minimal.

Golongan Hanafiyah menetapkan bahwa batas minimal mahar adalah


10 dirham. Menurut golongan Malikiyah menyebut batas minimal mahar
adalah 3 dirham.

Ulama hadis pada umumnya menyatakan bahwa penetapan batas


minimal mahar tidak mempunyai dalil yang jelas. Begitu pula mengenai
batas maksimalnya, tidak ditentukan. Bentuk dan jumlah mahar selain
ditentukan oleh kemampuan pihak laki-laki, juga ditentukan oleh
persetujuan pihak wanita.
Mahar memang wajib bagi laki-laki yang sedang menikah dan
menjadi hak milik wanita yang dinikahi, yang tidak boleh dimanfaatkan
atau diminat kembali oleh laki-laki (suaminya). Bentuk dan jumlahnya
tidak boleh menjadi penghambat terlaksananya pernikahan.

e. Pokok-pokok Kandungan Hukum Hadis

Cukup banyak kandungan hukum yang dapat ditarik dari hadis


tersebut. Ulama ada yang mengemukakan sampai sebanyak 21 butir
kandungan hukum. Namun dalam pembahasan ini hanya akan
dikemukakan pokok-pokok kandungan hukum yang terpenting sebagai
berikut:

1. Wanita boleh menawarkan diri kepada seorang laki-laki yang baik-baik


dan bertanggungjawab untuk dinikahi.
2. Harus ada mahar dalam pernikahan, mahar merupakan salah satu
kewajiban yang harus dipenuhi oleh calon suami untuk diberikan
kepada calon istri, yang dibayar secara tunai atau hutang.
3. Bentuk mahar diutamakan berupa benda yang memiliki nilai ekonomi.
Boleh berupa sesuatu yang sangat sederhana karena ketidakmampuan.
Bagi laki-laki yang sangat miskin, boleh membayar mahar dengan apa
yang dimilikinya, semisal cincin dari besi.
4. Bagi laki-laki yang sangat miskin dan benar-benar papah karena tidak
memiliki benda yang patut dijadikan mahar, maka maharnya dapat
berupa sesuatu yang bukan benda, melainkan jasa yang dapat
bermanfaat bagi wanita calon istrinya. Bila yang wanita belum mahir
membaca Alquran, sedang yang calon suami telah mahir membaca
Alquran, maka jasa mengajar Alquran dapat digunakan sebagai mahar
dalam pernikahan mereka.

83
Latihan

Untuk memperdalam pemahaman anda mengenai materi pada bagian


pernikahan, dipersilahkan mengerjakan latihan berikut:

1. Buat rumusan tentang alternatif-alternatif memilih calon istri.


2. Buat rumusan tentang pandangan ulama yang membolehkan dan yang
melarang nikah mut’ah.
3. Buat rumusan mengenai frekuensi, kuantitas dan usia susuan yang berakibat
mahram.
4. Buat rumusan akibat hukum melamar wanita yang telah dilamar orang lain.
5. Buat uraian mengenai ketentuan mahar bagi laki-laki yang mau menikah.

Rangkuman

1. Memilih pasangan istri atau suami dengan melihat aspek agamanya,


merupakan alternative terbaik dalam memilih calon istri atau calon suami.
2. Nikah mut’ah pernah dibolehkan, dan telah dilarang oleh Nabi, sejak
terjadinya Perang Khabar.
3. Laki-laki dan perempuan tidak sekandung namun yang pernah menyusu pada
ibu yang sama maka mereka dapat dihukumkan menjadi sudara sesusuan.
4. Dilarang melamar seorang wanita yang sedang dilamar orang lain, sampai
pelamar pertama membatalkan atau mengizinkan untuk melamar wanita
tersebut.
5. Laki-laki yang ingin menikah diwajibkan mempersiapkan mahar atau maskwin
yang disesuaikan dengan kemampuan laki-laki tersebut, baik itu berupa
barang bernilai ekonomis ataupun berupa yang bermanfaat bagi wanita calon
istri.

Tes Formatif
1. Sebutkan beberapa faktor yang menjadi alternatif motivasi seseorang mencari
calon istri ataun suami, dan menurut hadis mana alternative yang terbaik.
2. Mengapa nikah mut’ah pernah dibolehkan dan Jelaskan mengapa nikah mut’ah
itu kemudian dilarang.
3. Bagaimana pendapat ulama mengenai frekuensi, kuantias dan usia penyusuan
yang berakibat mahram.
4. Jelaskan mengapa hadis melarang melamar wanita yang sedang dilamar orang
lain.
5. Jelaskan batas minimal mahar bagi laki-laki yang ingin menikah, dan apakah
laki-laki yang tidak memiliki barang yang bernilai ekonomis dapat
menggunakan jasa atau keahliannya untuk dijadikan mahar, berilah contoh.

Kunci Jawaban Tes Formatif

1. Ada empat faktor yang menjadi alternative seseorang memilih calon istri atau
suami, yaitu: a) karena motivasi keturunannya yang baik-baik, bangsawan,
atau orang terpandang, b) karena hartanya, wanita atau laki-laki tersebut
memiliki harta yang banyak, sehingga kalau dia nikahi maka seseorang
menjadi orang kaya, c) karena kecantikannya, pasangan yang cantik (kalau dia
wanita) atau ganteng (kalau dia laki-laki) membuat merasa lebih percaya diri
tampil bersama pasangannya, dan akan lebih bergairah, c) karena melihat
faktor agamanya. Faktor agama menjadi faktor terbaik menurut hadis karena
semua faktor yang disebutkan akan dapat hilang atau musnah, tapi bila
memilih pasangan karena agama maka menciptakan keluarga sakinah hanya
akan dapat terbina pada pasangan keluarga yang shalih-shalihah.
2. Nikah mut’ah pernah dibolehkan karena pertimbangan darurat, di saat para
suami yamg mengikuti perang bersama Nabi saw. meninggalkan istri mereka
sementara keinginan biologis mereka tetap ada, maka Nabi membolehkan
meraka nikah mut’ah. Setelah itu, Nabi saw. melarang nikah mut’ah karena
85
pernikahan bentuk mut’ah tidak menjamin terjadinya mawaddah wa rahmah
sebagai tujuan perkawinan, merusak garis kenasaban dan kewarisan
keturunan.
3. Frekuensi susuan yang berakibat mahram menurut mayoritas ulama, yakni
apabila susuan itu dilakukan lebih dari tiga kali. Kualitas susuannya, sebagian
ulama menyatakan asalkan telah masuk ke dalam ronggoa mulut dan ditelan,
maka sudah termasuk susuan yang berakibat mahram, sebagian ulama
menyatakan bahwa kualitas susuan itu harus mengenyangkan bagi yang
menyusu itu. Ulama sepakat bahwa usia susuan yang berakibat mahram, yakni
pada usia kanak-kanak, atau belum baligh.
4. Hadis melarang melamar wanita yan sedang dilamar orang lain, dianalogikan
seperti larangan membeli barang yang sudah dibeli (ditawar) orang lain,
karena hal itu akan melanggar etika moral yang berakibat orang lain menjadi
tersinggung dan dapat memutuskan tali silaturahim.
5. Batas minimal mahar dalam pernikahan adalah setiap barang yang masih
memiliki nilai ekonomis semurah apapun misalnya, cincin yang terbuat dari
besi atau plastic yang masih dapat dijual kembali. Apabila laki-laki yang tidak
memiliki barang yang bernilai ekonomis, maka ia dapat menggunakan jasa dan
keahliannya untuk mengajarkan jasa dan keahliannya itu untuk calon istri,
misalnya kemampuan mengajarkan Alquran.
BAGIAN II
KEWARISAN DAN WASIAT

A.Gambaran Singkat Mengenai Materi Kuliah

Materi kuliah ini membahas mengenai beberapa topic hadis yang


berkenaan dengan kewarisan dan wasiat , yaitu hadis tentang harta warisan
milik ahli waris, waris yang berhutang, dan julmlah wasiat. Pengajian materi
dimulai dengan menampilkan teks matn hadis disertai arti hadis bersama dengan
periwayat pertama dan mukharrijnya.

Pemaparan takhrij al-hadits dan biografi singkat sahabat Nabi periwayat


hadis menjadi materi yang diberikan untuk memperoleh gambaran mengenai
data para mukharrij yang menghimpun hadis ini, juga untuk mengetahui
kapabilitas sahabat Nabi yang meriwayatkan hadis ini.

Penjelasan mengenai pengertian menurut bahasa suatu lafal atau kalimat


dalam hadis menjadi pembahasan dimaksudkan untuk memperoleh makna
kosakata lafadz tertentu sebelum akhirnya hadis-hadis yang tercakup dalam
bagian kewarisan dan wasiat ini dijelaskan syarahannya, dan di analisa hal-hal
yang terkait dengan temanya, sebelum akhirnya akan di simpulkan kandungan
pokok hukum setiap hadis yang di bahas.

87
B. Pedoman Mempelajari Materi

Baca dengan baik materi teks hadis dengan artinya. Perhatikan dan
sebutkan lafadz-lafadz yang dapat dipakai dalam menelesuri takhrij al-hadits.
Perhatikan ketekunan setiap sahabat yang ditampilkan biografinya. Buat
kesimpulan dari segi keadilan mereka. Buat intisari setiap hadis yang dibahas,
pendapat-pendapat ulama yang terkait dengan materi hadis. Pahami dengan baik
isi hadis tersebut dan berilah kandungan pokok hukum yang dibahas.

C.Tujuan Pembelajaran

1. Mahasiswa dapat menulis, membaca, menghafalkan dan mengartikan


materi hadis.
2. Mahasiswa dapat mendalami biografi singkat sahabat Nabi yang
meriwayatkan hadis.
3. Mahasiwa dapat membuat uraian kewarisan dan wasiat, serta pendapat-
pendapat ulama terkait dengan hadis.
4. Mahasiswa dapat menelusuri sumber hadis yang ditampilkan melalui
metode takhrij al-hadits bi al-lafdziy.

1. Harta Warisan Milik Ahli Waris (LM. 104)

a. Materi Hadis

‫ض بِأ َْهلِ َه ا فَ َم ا بَِق َي َف ُه َو أِل َْوىَل‬ ِ ِ ِ


َ ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم أَحْل ُق وا الْ َف َرائ‬
ِ ُ ‫ال رس‬
َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ َ َ‫ال ق‬ ٍ َّ‫َع ْن ابْ ِن َعب‬
َ َ‫اس ق‬
)‫َر ُج ٍل ذَ َك ٍر(رواه البخاري و مسلم وغريمها‬
Artinya :
(Hadis riwayat) dari Ibn Abbas berkata, Rasulullah saw. telah bersabda:
“Berikanlah bagian-bagian tertentu untuk ahli warisnya, maka yang
tersisa untuk ahli waris laki-laki. (H.R. Al-Bukhariy, Muslim dan
selainnya)

b. Takhrij al-Hadits

1. Al-Bukhariy, kitab al-faraidh , bab miratsi ibn li ibn idza lam yakun ibn,
hadis no. 6238.
2. Muslim, kitab al-faraidh , bab alhiqu faraidh bi ahliha fama baqiya li ula
rajul dzakr, hadis no. 3028, 3029, 3030.
3. Abu Dawud, kitab al-faraidh , bab fi miratsi al-‘ashabah, hadis no. 2511.
4. Al-Turmudziy, kitab al-faraidh , bab fi miratsi al-‘ashabah, hadis no.
2024.
5. Ibn Majah, kitab al-faraidh , bab miratsu al-‘ashabah, hadis no. 2730.
6. Al-Darimiy, kitab al-faraidh , bab al-‘ashabah, hadis no. 2859.
7. Ahmad bin Hanbal, kitab wa min musnad Bani Hasyim, bab bidayat
musnad ‘Abdullah bin ‘Abbas, hadis no. 2525, 2715, 2838.

c. Biografi Singkat Sahabat Nabi Periwayat hadis

(‘ABDULLAH BIN ‘ABBAS)

Nama lengkapnya, ‘Abdullah bin ‘Abbas bin ‘Abd al-Muthalib al-


Hasymiy. ‘Abdullah bin ‘Abbas adalah anak paman Rasulullah yaitu ‘Abbas
bin ‘Abd al-Muthalib. Ibn ‘Abbas mendapat julukan al-habr (tinta) dan al-
bahr (laut), karena kedalaman ilmunya.

89
Menerima riwayat hadis selain langsung dari Nabi saw. Ibn ‘Abbas
juga banyak menerima dari para sahabat Nabi yang lain seperti dari
ayahnya, ibunya Umm al-Fadhl, saudaranya al-Fadhl, bibinya Maimunah,
Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, ‘Abd al-Rahman bin ‘Awf, Mu’adz bin Jabl,
Abi Dzar, ‘Ubay bin Ka’ab, Tamim al-Dariy, Khalid bin al-Walid, Usamah bin
Zaid, Haml bin Malik bin al-Nabighah, Dzu’aib Walid Qabishah. Adapun
para periwayat yang menerima riwayat dari Ibn ‘Abbas, antara lain: anak
‘Ali dan Muhammad, cucunya, saudaranya Katsir bin al-‘Abbas,
keponakannya ‘Abdullah bin ‘Ubaidillah, keponakannya yang lain ‘Abdullah
bin Ma’bad bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Umar bin al-Khaththab, Tsa’labah bin
al-Hakm al-Laitsiy, Sa’id bin al-Musayyab, ‘Abdullah bin al-Harits bin
Naufal, Abu Salamah bin ‘Abd al-Rahman, Abu Jamrah al-Dhuba’iy, Abu
Majlaz Lahiq bin Muhammad, dan lain-lain.

Nabi saw. pernah mendoakan Ibn ‘Abbas agar dia diberi hikmah
(ilmu) sebanyak dua kali. Ibn ‘Umar berkata, ‘Umar pernah memanggil Ibn
‘Abbas dan mendekatinya, seraya berkata, “Aku pernah melihat Rasulullah
saw. suatu hari berdoa dan mengusap kepalamu dan mengucapkan doa:

‫اللهم فقهه في الدين وعلمنه التأويل‬


(Ya Allah berilah pemahaman kepadanya (Ibn ‘Abbas) dalam agama dan
ajarilah dia ta’wil).

Menurut Ibn Mas’ud, “nikmat (sebaik-baik) terjemahan


(pemahaman) Alquran adalah dari Ibn ‘Abbas.” Ketika Rasulullah saw.
mangkat usia ‘bin ‘Abbas baru 13 tahun, ada yang mengatakan setelah
dikhitan, atau berusia 10 tahun, dan ada yang mengatakan 15 tahun.
Menurut Ibn ‘Abd al-Bar, sesuai dengan pendapat ahli sejarah ketika Nabi
saw. wafat, usia Ibn ‘Abbas yaitu 13 tahun.
Diriwayatkan oleh Ibn Abiy Haitsama melalui sanad Jabir bin al-Ju’fiy
bahwasanya Ibn ‘Umar berkata: “Ibn ‘Abbas adalah umat Muhammad yang
lebih mengetahui apa yang diturunkan kepada Muhammad.” Diriwayatkan
pula oleh Ibn Sa’ad dengan sanad yang shahih bahwa Abu Hurairah
berkomentar ketika Zaid bin Tsabit : “Hari ini telah wafat tinta umat, dan
semoga Allah menjadikan Ibn ‘Abbas sebagai penggantinya.” Menurut
‘Aisyah Ibn ‘Abbas adalah orang yang lebih mengerti tentang ibadah haji. 41

Menurut Ibn Nu’aim, Ibn ‘Abbas wafat tahun 68 H. atau riwayat lain
menyebut tahun 69 H. atau tahun 70 H. di Thaif.

d. Arti Kosakata dan Syarahan Hadits

Adapun arti beberapa kosakata hadis ini, dapat dikemukakan,


berikut ini :
ِ ‫أَ ْل‬, berikanlah hak, berarti pula ‫اقسموا‬, artinya bagikanlah bagian.
1. Kata ‫حقُوا‬
2. Lafal ‫ض‬َ ِ‫ ْالفَ َرائ‬jamak dari faridhah, yang berarti mafrudhah, sesuatu yang
diwajibkan. Yang diwajibkan ini adalah sesuatu yang sudah ditetapkan,
karena makna fardhu ialah ketetapan.
ٍ ‫أِل َوْ لَى َرج‬, laki-laki yang lebih dekat, karena laki-laki lebih dekat
3. Kalimat ‫ُل‬
(berhak) atas harta peninggalan.42

Istilah al-faraidh terambil dari Firman Allah QS. Al-Nisa’: 7,


         
          
Terjemahnya :
bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa
dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari
harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bahagian yang telah ditetapkan.
41
Lihat Ibn Hajr al-Asqalaniy, Tahdzib, op.cit., III, h. 531-534.
42
Lihat Imam al-Nawawiy, Syarh Shahih Muslim, hadis no. 3028.
91
Dari ayat tersebut lahir istilah al-faraidh, yaitu “…nashiban
mafrudhah,” artinya bagian yang sudah ditetapkan. Definisi faraidh
menurut syariat ialah pengetahuan tentang bagian-bagian harta waris yang
diberikan di antara orang-orang yang berhak menerimanya.
Dasar Hukum Pembagian Harta Waris
Hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas ini menjadi dasar hokum
pembagian harta warisan kepada ahli waris yang berhak menerima. Sisa
dari hasil pembagian harta warisan menurut hadis ini diberikan kepada
anak laki-laki sebagai ashabah (penerima sisa peninggalan).
Ketentuan dasar pembagian harta waris ini ditetapkan menurut kitab
Allah, sebagaimana yang disebutkan dalam QS. Al-Nisa’: 11-12, yaitu :
            
            
             
           
           
             
             
             
              
            
              
            
              
    
Terjemahnya :
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-
anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian
dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan
lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia
memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-
masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya
mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa
saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian
tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)
sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat
(banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. dan
bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu
itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta
yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau
(dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat
harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika
kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan
dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu
buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati,
baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan
tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki
(seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi
masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi
jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka
bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang
dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi
mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu
sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha
mengetahui lagi Maha Penyantun.

Mengingat harta dan pembagiannya merupakan obyek yang diminati,


dan biasanya harta warisan diperuntukkan bagi orang-orang yang lemah

93
dan tidak memiliki kekuatan, maka Allah perlu mengatur sendiri
pembagiannya di dalam kitab-Nya, dengan penjelasan yang detail dan
terinci, agar tidak menjadi ajang perdebatan dan rebutan berdasarkan
hawa nafsu. Membaginya di antara para ahli waris sesuai dengan tuntutan
keadilan, kemasalahatan dan manfaat yang diketahui-Nya. Allah
mengisyaratkan hal ini di dalam firman-Nya :
     
(kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat
(banyak) manfaatnya bagimu.)

Ini merupakan pembagian yang adil dan sekaligus memberikan


kejelasan sesuai dengan tuntutan kemaslahatan yang bersifat umum dan
memberikan isyarat kepada sesuatu yang dapat dipahami sebagai keadilan.
Ilmu faraidh merupakan ilmu yang mulia dan penting. Begitu
pentingnya sehingga Rasulullah saw. Memerintahkan umanya untuk
mempelajari dan mengajarakan ilmu ini. Diantaranya ialah hadis Ibn
Mas’ud yang diriwayatkan secara marfu’, “Pelajarilah ilmu faraidh dan
ajarkanlah ia kepada manusia.” Adakalanya yang dimaksudkan faraidh
ialah hukum-hukum secara umum. Untuk mempelajari ketentuan-ketentuan
faraidh cukup dengan mempelajari tiga ayat dalam surat Al-Nisa’, begitu
pula dengan hadis Ibn Abbas ini.
Perlu dijelaskan bahwa seseorang berhak memperoleh harta warisan
jika memiliki salah satu dari tiga sebab, yaitu:
1. Nasab, yaitu hubungan darah sebagaimana firman Allah, “Dan orang-
orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak…”
(QS. Al-Ahzab: 6).

          

Terjemahnya :
dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain
lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam kitab Allah daripada orang-
orang mukmim dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu
berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). adalah yang
demikian itu telah tertulis di dalam kitab (Allah).

2. Pernikahan yang sah, yang didasarkan kepada firman Allah, “Dan bagi
kalian (para suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan istri-istri
kalian…” (QS.Al-Nisa’: 12).
           
Terjemahnya:
dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan
oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak.

3. Kepemilikan budak yang dimerdekakan.

Selain tiga hal tersebut tidak bisa menjadi sebab memperoleh harta
warisan. Jika ada sebagian dari tiga sebab ini , maka dapat dilakukan
waris-mewarisi di antara kedua belah pihak, termasuk pula pada
kepemilikan budak yang benar.

95
Seseorang dapat saja terhambat hak kewarisannya, apabila
melakukan tindakan yang dapat menghalanginya memperoleh hak warisan
itu. Adapun beberapa sebab yang menghambat seseorang memperoleh hak
warisan menurut ketentuan syariat adalah:
1. Tindak pembunuhan. Barangsiapa membunu orang yang mewariskan
harta kepadanya atau menjadi sebab terbunuhnya tanpa alasan yang
benar, maka dia tidak bisa mewarisi harta sedikitpun dari orang yang
dibunuhnya itu. Hal ini didasarkan kepada hadis yang diriwayatkan oleh
Abu Hurairah:

43 ُ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل ْالقَاتِ ُل اَل يَ ِر‬


‫ث‬ َ ‫ع َْن أَبِي هُ َر ْي َرةَ ع َْن النَّبِ ِّي‬
Artinya :
Dari Abi Hurairah dari Nabi saw. Bersabda, ‘Seorang pembunuh
tidak mendapatkan apa pun’.” (H.R. al-Turmudziy)

2. Budak. Seorang budak tidak mewarisi kerabat dekatnya yang


mempunyai hubungan darah dengannya. Sebab kalaupun budak dapat
mewarisi,maka warisan itu menjadi milik tuannya, karena ia dan
hartanya menjadi mili tuannya.
3. Perbedaan agama. Orang yang berbeda agama atau kafir tidak dapat
mewarisi orang yang muslim. Hal ini sebagaimana hadis yang
diriwayatkan oleh Usamah bin Zaid :

‫يل‬ ِ َّ ‫ِ يِف ِ مِب‬ ِ َّ َ ‫عن أُسامةَ ب ِن زي ٍد ر ِضي اللَّه عْنهما أَنَّه قَ َال يا رس‬
ٌ ‫ول الله أَيْ َن َتْنز ُل َدار َك َكةَ َف َق َال َو َه ْل َت َر َك َعق‬ ُ َ َ ُ َُ َ ُ َ َ َْ ْ َ َ ْ َ
‫ب َومَلْ يَِرثْ هُ َج ْع َف ٌر َواَل َعلِ ٌّي َر ِض َي اللَّهُ َعْن ُه َم ا‬ ِ
ٌ ‫ب ُه َو َوطَ ال‬ٍ ِ‫ث أَبَ ا طَ ال‬
َ ‫يل َو ِر‬
ِ ٍ ٍ َ‫ِم ْن ِرب‬
ٌ ‫اع أ َْو ُدور َو َك ا َن َعق‬
43
Al-Turmudziy, Sunan al-Turmudziy, kitab al-fara’idh, hadis no. 2035.
ِ َّ‫َشْيئًا أِل َنَّهما َكانَا مسلِمنْي ِ و َك ا َن َع ِقيل وطَالِب َك افِريْ ِن فَ َك ا َن عُم ر بْن اخْلَط‬
ُ ‫اب َر ِض َي اللَّهُ َعْن هُ َي ُق‬
‫ول اَل‬ ُ َُ َ ٌ ٌَ َ َ ُْ َُ
44
) ‫( رواه البخاري و مسلم وغريمها‬. ‫ث الْ ُم ْؤ ِم ُن الْ َكافَِر‬ ُ ‫يَِر‬
Artinya:
Dari Usamah bin Zaid ra. Dia berkata, ‘Aku bertanya, ‘Wahai
Rasulullah apakah engkau akan singgah dirumah engkau di
Makkah?’ Beliau bertanya, ‘Apakah ‘Uqail meninggalkan tempat
tinggal bagi kita?’ Kemudian beliau bersabda, “Orang Muslim tidak
dapat mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak dapat mewarisi
orang Muslim’.” (H.R. Al-Bukhariy, Muslim dan selainya)

Sebelumnya, Abu Thalib meninggal dalam kemusyrikan dan


meninggalkan empat orang anak, yaitu: Thalib, Aqil, Ja’far dan Ali. Ja’far
dan Ali masuk Islam sebelum Abu Thalib meninggal, sehingga keduanya
tidak mewarisi harta Abu Thalib. Sedangkan Thalib dan Aqil tetap berada
pada agama Abu Thalib, sehingga keduanya mewarisi harta dari Abu
Thalib. Thalib terbunuh saat Perang Badar, sehingga semua rumah tempat
tinggal menjadi milik Aqil, namun seluruhnya telah dijualnya.45
Hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas menunjukkan Nabi saw.
memerintahkan orang-orang yang berhak membagi harta warisan agar
membaginya kepada orang-orang yang berhak menerima harta warisan itu
secara adil dan sesuai dengan ketentuan syariat, seperti yang dikehendaki
oleh Allah swt.

44
Al-Bukhariy, kitab al-haj, turiyats daur Makkah wa bai’iha wa syara’iha, bab hadis no.
1485, Muslim, kitab al-faraidh, hadis no. 3027, al-Turmudziy, kitab al-fara’idh, hadis no. 2033,
Abu Dawud, kitab al-farai’dh, hadis no. 2521.
45
Lihat Ali Bassam, op.cit., h. 733.
97
Para ahli waris yang sudah ditetapkan bagiannya di dalam Alquran
adalah dua pertiga, sepertiga, seperenam, separoh, seperempat dan
seperdelapan. Jika masih ada sisa setelah pembagian itu, maka diberikan
kepada orang laki-laki yang paling dekat hubungan darah dengan orang
yang meninggal. Mereka ini disebut dengan ashabah. Dengan demikian,
pembagian tentang ketentuan harta warisan yang disebutkan dalam
Alquran ada enam :
1. Separuh. Diberikan kepada anak perempuan, cucu perempuan dari anak
laki-laki dan seterusnya, yang didasarkan kepada firman Allah, QS. al-
Nisa’: 11

    


“Jika anak perempuan itu seorang diri, maka ia memperoleh separuh
harta”.

Anak perempuan dan cucu perempuan dari anak laki-laki


kedudukannya sama, dengan syarat tidak ada anak laki-laki
bersamanya.Bagian separoh ini juga menjadi hak bagi suami, dengan
syarat tidak ada seorang anak pun laki-laki atau perempuan. Dasar
hukumnya, adalah firman Allah QS. Al-Nisa’:
         
“Dan bagi kalian (para suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan
oleh istri-istri kalian, jika mereka tidak mempunyai anak.”

Separoh ini juga merupakan bagian saudari kandung. Jika tidak ada
saudari kandung, ia menjadi bagian saudari dari satu ayah selagi tidak
ada ahli waris lain. Dasarnya adalah firman Allah, QS. Al-Nisa’: 176.
           
               
          
            
    
Terjemahnya:
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah)[387].
Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu):
jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan
mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan
saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara
perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara
perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli
waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka
bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang
saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu,
supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala
sesuatu.

Ketentuan kalalah ialah: seseorang yang meninggal dan tidak


meninggalkan ayah dan anak.Hal ini berlaku bagi anak dari ayah ibu
atau se ayah menurut ijma’.
2. Seperempat. Menjadi bagian suami jika ada anak, yang didasarkan
kepada firman Allah, QS. Al-Nisa’: 12.

       


jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat
seperempat dari harta yang ditinggalkannya
Seperempat ini juga merupakan bagian istri dan selebihnya, jika tidak
ada anak, yang didasarkan kepada friman Allah, QS. Al-Nisa’: 12
99
         
Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika
kamu tidak mempunyai anak.

3. Seperdelapan. Menjadi bagian seorang istri atau beberapa istri jika ada
anak, yang didasarkan kepada firman Allah QS. Al-Nisa’: 12

       


jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan.

4. Dua pertiga. Diberikan kepada dua anak perempuan dan dua cucu
perempuan dari anak laki-laki, jika ada ashabah. Kedua anak perempuan
mendapatkan dua pertiga berdasarkan qiyas dengan saudara perempuan
yang ditetapkan dalam firman Allah QS. Al-Nisa’: 176

      


Dua anak perempuan dan dua cucu perempuan dari anak laki-laki
lebih berhak terhadap dua pertiga dari harta warisan dari dua saudara
perempuan. Adapun tiga anak perempuan dan beberapa cucu
perempuan dari anak laki-laki, mereka juga mendapatkan dua pertiga
berdasarkan nash QS. Al-Nisa’: 11
         
(dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan.)
Dua pertiga juga diberikan kepada saudara perempuan
sekandung dan selebihnya. Jika keduanya tidak ada, maka bagian ini
untuk dua saudara perempuan se ayah dan selebihnya. Dasarnya firman
Allah QS. Al-Nisa’: 176
       
5. Sepertiga. Menjadi bagian ibu jika tidak ada anak dan tidak
berhimpun dengan saudara-saudara. Hal ini berdasarkan firman Allah
dalam QS. Al-Nisa’: 11

        


6. Seperenam. Merupakan bagian dari ibu jika ada anak atau bersama
dengan saudara laki-laki maupun saudara perempuan. Ini didasarkan
pada firman Allah QS. Al-Nisa’: 11

            
           
  
dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam
dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai
anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia
diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga;
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya
mendapat seperenam.
Nenek dan seterusnya sama dengan kedudukan ibu, begitu pula ahli
waris dalam garis menurun di antara mereka. Jika mereka bersekutu,
maka dibagi di antara mereka secara merata. Bagian seperenam ini
juga diberikan kepada saudara se ibu, laki-laki ataupun perempuan,
yang didasarkan pada firman Allah QS. al-Nisa’: 12
           
   
jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai
seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara
perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis
saudara itu seperenam harta.

101
Bagian seperenam juga bagi seorang anak perempuan dari anak
laki-laki atau lebih, di samping ada cucu perempuan. Begitu pula
hukumnya bagi cucu perempuan dari anak laki-laki bersama anak
perempuan dari anak laki-laki. Bagian seperenam juga diberikan
kepada ayah atau kakek jika tidak ada ayah dengan adanya cabang
ahli waris.

e. Pokok-pokok Kandungan Hukum Hadis

Dari uraian yang telah dipaparkan dapat ditarik pokok-pokok


kandungan hukum hadis ini, antara lain:

1. Perintah agar memberikan hak waris kepada ahli waris harta


peninggalan pewaris.
2. Perintah menunaikan ketentuan kewarisan sesuai dengan pembagian
yang telah ditetapkan oleh Alquran dan al-Sunnah.
3. Anak laki-laki dan anak perempuan atau cucu laki-laki dan perempuan
mendapat bagian sebagai ashabah yang kemudian dibagi dua bagian
untuk laki-laki dan satu bagian untuk perempuan.

2. Waris yang Berhutang (LM. 1044)

a. Materi Hadis
‫الر ُج ِل الْ ُمَت َوىَّف َعلَْي ِه الدَّيْ ُن‬َّ ِ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم َك ا َن يُ ْؤتَى ب‬ ِ َ ‫َن رس‬
َ ‫ول اللَّه‬
ِ
ُ َ َّ ‫َع ْن أَيِب ُهَر ْيَر َة َرض َي اللَّهُ َعْنهُ أ‬
‫احبِ ُك ْم َفلَ َّما‬ِ ‫ِّث أَنَّه َت ر َك وفَاء ص لَّى وإِاَّل قَ َال لِْلمس لِ ِمني ص لُّوا علَى ص‬ ِ ْ َ‫َفيسأ َُل َهل َتر َك لِ َديْنِ ِه ف‬
َ َ َ َ ُْ َ َ ً َ َ ُ َ ‫ض اًل فَإ ْن ُح د‬ َ ْ َْ
ِِ ِ ِ ِ ِ‫َفتَح اللَّه علَي ِه الْ ُفتُ وح قَ َال أَنَا أَوىَل بِالْم ْؤ ِمن‬
ُ‫ض ُاؤه‬ َ ‫ني م ْن أَْن ُفس ِه ْم فَ َم ْن تُ ُويِّفَ م ْن الْ ُم ْؤمن‬
َ َ‫ني َفَت َر َك َد ْينً ا َف َعلَ َّي ق‬ َ ُ ْ َ َْ ُ َ
)‫ (رواه البخاري و مسلم وغريمها‬.‫َو َم ْن َتَر َك َمااًل فَلِ َو َرثَتِ ِه‬
Artinya :
(Hadis diriwayatkan)dari Abu Hurairah ra., sesungguhnya Rasulullah
saw. Pernah didatangkan kepadanya seorang laki-laki yang meninggal
yang memiliki utang. Maka beliau bertanya, “Apakah ada sisa dari
hartanya untuk pembayaran utangnya?” Maka jika diberitahu bahwa yang
meninggal dunia meninggalkan harta untuk membayar hutang, beliau
menshalatinya. Dan jika tidak, beliau bertanya kepada kaum muslimin,
“Shalatilah shahabat kalian ini.” Maka ketika Allah membukakan
beberapa daerah yang ditaklukkan (kaum muslimin), beliau berkata, “Aku
lebih berhak terhadap kaum mukminin daripada mereka sendiri. Maka
barangsiapa yang meninggal dari kaum mukminin lalu ia meninggalkan
utang, maka aku yang akan membayarnya. Dan barangsiapa yang
meninggalkan harta, maka itu untuk ahli warisnya. (H.R. Al-Bukhariy,
Muslim dan selainnya)

b. Takhrij al-Hadits

1. Al-Bukhariy, kitab al-nafaqat, bab qaul al-nabiy man taraka kalla au


dhiya fa ilayya, hadis no. 4952.
2. Muslim, kitab al-faraidh , bab man taraka malan fala waratsathu, hadis
no. 3040, 3041.
3. Abu Dawud, kitab al-kharaj wali amarat wa al-fai’u, bab fi arzaq al-
dzurriyat, hadis no. 2566.

103
4. Al-Turmudziy, kitab al-jana’iz, bab ma ja’a fi shalati ‘ala al-madyun,
hadis no. 990, kitab al-faraidh , bab ma ja’a man taraka malan fa li
waratsatihi, hadis no. 2016.
5. Al-Nasaiy, kitab al-jana’iz, bab al-shalat ‘ala man ‘alaih dain, hadis no.
1937.
6. Ibn Majah, kitab ahkam, bab man tarak dain au dhai’u fa ‘ala Allah wa
‘ala Rasulihi, hadis no. 2406.
7. Ahmad bin Hanbal, kitab baqiy musnad al-muktsirin, bab musnad Abu
Hurairah, hadis no. 7523, 7558, 8066, bab baqiy li musnad sabiq, hadis
no. 8319, 8593, 8819, 9471, 9497, 9604, 10396.
8. Al-Darimiy, kitab al-buyu’ bab fi al-rukhshah fi al-shalat ‘alaih, hadis no.
2481.

c. Biografi Singkat Sahabat Nabi Periwayat hadis

(ABU HURAIRAH)

Nama lengkap Abu Hurairah ialah’ Abd al-Rahman bin Shakhr al-
Dausi al-Yamani. Nama ‘Abd al-Rahman adalah nama pemberian Rasulullah
saw. Namanya sebelum memeluk Islam, ada yang menyatakan ‘Abd al-
Syams dan ada yang menyebut nama lain. Setelah memeluk Islam, dia
lebih dikenal dengan sapaan (kuniyah-nya) Abu Hurairah (arti harfiahnya
bapak seekor anak kucing). Menurut suatu riwayat, sebutan itu
diperolehnya dari Nabi. Dia di sapa begitu karena dia sering terlihat
membawa seekor anak kucing betina. Nabi pernah melihat anak kucing itu
berada di lengan baju Abu Hurairah. Bila malam hari, anak kucing tersebut
ditaruhnya di sebatang pohon.

Abu Hurairah masuk Islam menurut suatu sumber sekitar tahun 7


Hijriyah, bertepatan dengan saat perang Khaibar. Sejak saat itu dia
berusaha untuk selalu berada di sisi Nabi saw. Sampai Nabi wafat. Dengan
demikian, Abu Hurairah bersama-sama dengan Nabi sekitar tiga sampai
empat tahun. Selama bergaul dengan Nabi, Abu Hurairah berusaha
keras untuk menimbah ilmu pengetahuan secara langsung dari Nabi. Dia
tinggal di samping masjid bersama sekitar 70 orang. Mereka ini kemudian
dikenal dengan sebutan ahlu al-shuffah.

Dari segi ekonomi, Abu Hurairah hidup dalam keadaan sangat


miskin. Tidak jarang dia harus mengganjal perutnya dengan batu karena
menahan lapar. Menurut pengakuan Abu Hurairah sendiri, pernah suatu
ketika dia dikira sedang hilang ingatan oleh orang-orang disekitar, padahal
sesungguhnya waktu itu dia sedang mengalami rasa lapar yang luar biasa.

Karena dorongan iman dan keadaan ekonominya, maka tidaklah


mengherankan Abu Hurairah lalu sering melakukan ibadah puasa. Bila
suatu hari ketika berpuasa dia hanya memiliki 15 biji kurma, maka yang
lima biji digunakan untuk berbuka, yang lima biji lagi untuk sahur, dan
yang lima biji sisanya untuk berbuka besoknya.

Walaupun buta huruf, Abu Hurairah tidak mengalami kesulitan untuk


menimbah pengetahuan dari Rasulullah. Pada permulaan masuk Islam,
hafalan Abu Hurairah lemah. Akan tetapi setelah Nabi mendoakannya
kepada Allah agar hafalannya menjadi kuat. Atas permintaannya, maka dia
didoakan oleh Rasulullah agar memiliki hafalan yang baik. Ternyata doa
Nabi terkabul, sehingga Abu urairah termasuk sahabat yang kuat
hafalannya. Al-Bukhariy, Muslim, dan al-Turmudziy mentakhrijkan sebuah
hadis yang berasal dari Abu Hurairah. Dia pernah berkata: “Saya pernah
mengadukan kelemahan hafalanku kepada Nabi.” Nabi bersabda
kepadaku, “Bentangkan selendangmu,” saya pun membentangkanya.Lalu
Nabi menceritakan kepadaku banyak hadis, dan saya tidak pernah lupa apa
yang beliau ceritakan. Menurut pengakuan Abu Hurairah, waktunya sehari-
105
hari dibagi menjadi tiga bagian; sepertiga bagian untuk salat malam,
sepertiga bagian lagi untuk menghafal hadis, dan sepertiga bagian yang
sisa untuk istirahat.

Di bidang periwayatan hadis Nabi, Abu Hurairah menduduki


peringkat pertama dalam kelompok para sahabat Nabi yang digelari al-
Muktsiruna fi al-hadits (Bendaharawan hadis), yakni para sahabat yang
telah meriwayatkan hadis sebanyak lebih dari seribu buah.

Menurut hitungan Baqi bin Makhlad (201-276 H), jumlah hadis yang
telah diriwayatkan oleh Abu Hurairahj sebanyak 5374 buah (menurut al-
Kirmani : 5364). Dari jumlah tersebut, yang periwayatannya disepakati
oleh al-Bukhari dan Muslim (muttafaq ‘alaih) sebanyak 325 buah hadis;
yang diriwayatkan oleh al-Bukhari sendiri sebanyak 93 buah, dan yang
diriwayatkan oleh Muslim saja sebanyak 189 buah hadis.

Para sahabat Nabi pernah menegur Abu Hurairah karena dia begitu
banyak meriwayatkan hadis Nabi sedangkan dia bergaul dengan Nabi
relatif tidak lama (sekitar 3 tahun). Abu Hurairah menjawab: “Ketika
orang-orang muhajirin sibuk dengan barang-barang perniagaan di pasar
dan orang-orang Anshar sibuk dengan urusan kebun-kebun mereka, maka
saya menyibukkan diri pada kegiatan belajar menghafal hadis Nabi.

Abu Hurairah selain menerima hadis langsung dari Nabi saw.


meriwayatkan juga melalui Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan lain-lain.
Sedangkan yang meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah ada sekitar 800
orang yang terdiri dari sahabat dan tabiin. Di antara mereka dari kalangan
sahabat, yaitu ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Umar, Anas bin Malik,
dan Jabir bin ‘Abdullah. Adapun dari kalangan tabiin, adalah Sa’id bin al-
Musayyab, Ibn Sirrin, ‘Ikrimah, dan lain-lain.46

Sanad hadis yang paling sahih yang berpangkal dari Abu Hurairah,
yaitu al-Zuhriy dari Sa’id bin al-Musayyab dari Abu Hurairah. Adapun
sanad hadis yang paling lemah adalah al-Sari bin Sulaiman bi Abi Dawud
bin Yazid al-Awdi dari bapaknya (Yazid al-Awdi) dari Abu Hurairah. Jadi,
kekuatan hadis yang berasal dari Abu Hurairah, disamping dari ketekunan
Abu Hurairah sendiri, juga karena didukung oleh kekuatan para periwayat
yang menersukan hadis dari Abu Hurairah.

Abu Hurairah mendapat penilaian para periwayat hadis dengan


penilaian yang sangat baik, antara lain :
1) Thalhah bin Ubaidillah: Tidak diragukan lagi Abu Hurairah mendengar
hadis dari Rasulullah apa yang kami tidak mendengarnya.
2) ‘Abdullah bin ‘Umar : Abu Hurairah lebih baik dariku dan lebih
mengetahui.47
3) Imam Al-Syafi’i : Abu Hurairah penghafal riwayat hadis pada zamannya.
4) Tergolong sahabat Nabi yang berada pada tingkat keadilan yang kuat.48
Dengan demikian, kapasitas Abu Hurairah sebagai periwayat dari
tingkat sahabat yang adil tidak diragukan lagi.
Ketika ‘Umar bin al-Khaththab menjadi khalifah, Abu Hurairah
diangkat menjadi pejabat di Bahrain, tetapi kemudian dicopot. Pada zaman

46
Lihat al-Hafidz Abi al-Fadhl Ahmad bin ‘Ali bin Hajr Syihab al-Din al-Syafi’iy al-
Asqalaniy, Tahdzib al-Tahdzib, juz VII, (([t.tp : Muassah al-Risalah, [tth], h. 524.
47
Lihat Ibrahim Dasuqi al-Sahawi, Mushthalah al-Hadits, (Al-Azhar : Syirkat al-Funiyah al-
Muttahidah, [tth] ) h. 180-181.
48
Lihat Ibn Hajr al-Asqalani , op.cit., h. 523-527, Ibn Hajr al-Asqalaniy, Al-Ishabah fi
Tamyis al-Shahabah, jilid IV, (Kairo : Mushthafa Muhammad, 1385/1939 M), h. 202; ‚Izz al-Din
bin Atsir, Usud al-Ghabah fi Ma’rifah al-Shahabah, Jilid IV, (Beirut : Dar al-Kutb al-Ilmiyah, 1415
H/1993 M), h. 321;.
107
Mu’awiyah menjadi khalifah Bani Umayyah, Abu Hurairah diangkat
menjadi Gubernur Madinah.

Tahun meninggalnya tidak disepakati oleh ahli sejarah. Sebagian ahli


mengatakan tahun 57 H, sebagian mengatakan 58 H, dan sebagian lagi
mengatakan 59 H. Kalangan sahabat Nabi lain yang hadir pada saat
wafatnya antara lain Abdullah bin Umar dan Abu Sa’id al-Khudriy.49

d. Arti Kosakata dan Syarahan Hadits

Adapun arti beberapa kosakata hadis ini, dapat dikemukakan, antara


lain:
1. Lafadz ‫ عليه دين‬seseorang yang meninggal tapi masih mempunyai hutang.
2. Kalimat ‫هَلْ ت ََركَ لِ َد ْينِ ِه فَضْ اًل‬, apakah orang itu mempunyai sisa peninggalan
harta untuk membayar hutangnya.
َ ‫ِّث أَنَّهُ تَ َركَ َوفَ ا ًء‬
3. Kalimat ‫ص لَّى‬ َ ‫فَإِ ْن ُح د‬, dengan ‫ِّث‬
َ ‫ ُح د‬dalam bentuk fi’il majhul,
artinya jika diberitakan kepada Nabi bahwa orang itu meninggalkan
harta, maka Nabi menshalatinya.
4. Kalimat ‫فلما فتح هللا عليه الفتوح‬, yakni Allah membukakan wilayah-wilayah yang
banyak hartanya.
5. Pernyataan ‫أنا أولى بالمؤمنين من أنفسهم‬, Nabi yang lebh berhak menyelesaikan
segala sesuatu yang berhubungan dengan urusan agama dan dunia.50

Adapun penjelasan hadis ini secara keseluruhan dapat dikemukakan


melalui syarahan hadis berikut ini:

‫َكانَ ي ُْؤتَى بِال َّرج ُِل ْال ُمت ََوفَّى َعلَ ْي ِه ال َّديْنُ فَيَسْأ َ ُل هَلْ ت ََركَ لِ َد ْينِ ِه فَضْ اًل‬

49
Lihat Ibn Hajr al-Asqalaniy, Tahdzib al-Tahdzib, op.cit, VII, h.525. Khalid Muhammad
Khalid, Rijal Hawla al-Rasul, (Beirut : Dar al-Fikr, [tth.]), h. 425.

Lihat Imam al-Hafizh Ab Ali Muhammad bin ‘Abd al-Rahman bin ‘Abd al-Rahim al-
50

Mubarakfuri, Tuhfat al-Ahwazi bi Syarh Sunan al-Turmudzi, hadis no. 2016.


(Pernah didatangkan kepadanya seorang laki-laki yang meninggal yang
memiliki utang. Maka beliau bertanya, “Apakah ada sisa dari hartanya
untuk pembayaran utangnya?”)

Seseorang yang masih berhutang telah meninggal dunia pada masa


Rasulullah saw. Kemudian beliau menanyakan, masih adakah sisa
peninggalan hartanya untuk membayar hutangnya itu. Pernyataan ini
dapat dipahami bahwa seseorang harus membayar hutangnya, sekalipun ia
telah meninggal dunia, karena persoalan hutang di dunia, akan
dipertanggungjawabkan terus hingga seseorang itu sudah menuju akhirat.
Dengan demikian, hutang adalah masalah dunia dan akhirat.
‫صلَّى‬ َ ‫ِّث أَنَّهُ ت ََر‬
َ ‫ك َوفَا ًء‬ َ ‫فَإِ ْن ُحد‬
(Maka jika diberitahu bahwa yang meninggal dunia meninggalkan harta
untuk membayar hutang, beliau menshalatinya).

Jika ternyata masih ada sisa hartanya (tirka) untuk membayar


hutang, maka hutang itu harus diselesaikan dahulu kemudian Nabi baru
bersedia menshalatinya. Ini menunjukkan bahwa, sebelum orang yang
meninggal itu dishalati dan dikebumikan, terlebih dahulu hutangnya
dilunasi, atau setelah jelas hutannya ada yang membayar atau tidak ada.
Menurut Imam al-Nawawiy, hadis ini menunjukkan bahwa pada awal-
awal kenabian, Nabi Muhammad tidak bersedia menshalati orang yang
meninggal lalu masih meninggalkan hutang. Hal itu dimaksudkan karena
begitu seirusnya persoalan pelunasan hutang sehingga manusia selalu
memperhatikan melunasi hutangnya selama hidupnya.51
‫احبِ ُك ْم‬
ِ ‫ص‬ َ َ‫َوإِاَّل قَا َل لِ ْل ُم ْسلِ ِمين‬
َ ‫صلُّوا َعلَى‬

Lihat Imam Al-Nawawi, Sahih Muslim bi Syarh al-Nawawi, hadis no. 3040
51

109
(Dan jika tidak, beliau bertanya kepada kaum muslimin, “Shalatilah
shahabat kalian ini.” )
Jika hutang seseorang tidak jelas pelunasannya, maka rupanya
kebiasaan Nabi ketika itu, beliau tidak bersedia menshalati orang yang
masih meninggalkan hutang, tetapi menyerahkan kepada kaum muslimin
untuk menshalatinya.
Pernyataan Nabi saw. ( ‫ ) صلوا على صاحبكم‬menunjukkan bahwa perintah
shalat janazah hukumnya adalah fardhu kifayah.
Masalah ini tidak boleh dianggap sepeleh, ada ahli waris yang sudah
sibuk membagi-bagi harta peninggalan, sementara kewajiban orang yang
meninggal menyelesaikan hutangnya, tidak diperhatikan lagi bahkan harta
peninggalannnya sudah habis duluan dibagi-bagi oleh ahli waris. Padahal
bahwa harta yang menjadi warisan adalah harta bersiah, setelah
dikeluarkan dahulu untuk pembayaran hutang, dan pengurusan mayit.
َّ َ‫فَلَ َّما فَتَ َح هَّللا ُ َعلَ ْي ِه ْالفُتُو َح قَا َل أَنَا أَوْ لَى بِ ْال ُم ْؤ ِمنِينَ ِم ْن أَ ْنفُ ِس ِه ْم فَ َم ْن تُ ُوفِّ َي ِم ْن ْال ُم ْؤ ِمنِينَ فَت ََركَ َد ْينًا فَ َعل‬
َ َ‫ي ق‬
ُ‫ضا ُؤه‬
(Maka ketika Allah membukakan beberapa daerah yang ditaklukkan (kaum
muslimin), beliau berkata, “Aku lebih berhak terhadap kaum mukminin
daripada mereka sendiri. Maka barangsiapa yang meninggal dari kaum
mukminin lalu ia meninggalkan utang, maka aku yang akan
membayarnya).

Namun, setelah banyak wilayah-wilayah Islam baru yang


ditaklukkan, dan Negara Islam telah memiliki dana untuk kepentingan
umum kaum muslimin, maka Nabi tampaknya merubah kebijaksanaannya,
yaitu membayarkan hutang bagi mereka yang tidak mampu lagi
membayar hutangnya. Karena itu, beliau mengeluarkan statement, “Aku
lebih berhak terhadap kaum muslimin daripada mereka sendiri,
barangsiapa yang meninggal lalu ia meninggalkan hutang maka aku akan
membayarnya.” Orang yang tidak sanggup membayar hutang di sebut
gharim. Pernyataan ini menunjukkan Negara berkewajiban membayar
hutang seseorang, setelah dibuktikan bahwa memang orang tersebut tidak
sanggup lagi membayar hutangnya.
Sejak saat itu, Nabi telah bersedia menshalati orang-orang beriman,
sekalipun mereka masih terikat dengan hutang. Karena pelunasan hutang
bagi orang yang tidak mampu penanganannya sudah menjadi
tanggungjawab Negara.
Disebutkan dalam riwayat hadis Abu Hurairah yang lain, redaksi
hadis ini berbunyi:
‫ ومن ترك ماال فلورثته‬, ‫من توفي من المؤمنين فترك دينا فعلي قضاؤه‬
(barangsiapa dari orang-orang mukmin yang meninggalkan hutang maka
aku akan membayarkannya).

Dalam redaksi lain yang diriwayatkan melalui jalur Abi Hazm dari Abu
Hurairah disebutkan:
‫ماال فلورثته ; ومن ترك كال فإلينا من ترك‬
(barangsiapa meninggalkan harta maka itu untuk ahli warisnya, dan
barangsiapa yang tidak meninggalkan harta maka itu menjadi
tanggungjawab kami)

Dari jalur ‘Abd al-Rahman bin Abi ‘Amrah dari Abu Hurairah, redaksinya
berbunyi:

‫ومن ترك دنيا أو ضياعا فليأتني فأنا مواله‬


(barangsiapa meninggalkan hutang atau tunggakan lalu ia datang
kepadaku maka aku yang akan menanggungnya).

Dengan penjelasan hadis tersebut di atas, maka menurut Ibn Hajr al-
Asqalaniy, karena masalah hadis ini menyangkut dengan pembayaran
hutang maka Imam al-Bukhariy, mencantumkan hadis ini dalam masalah
111
al-nafaqat. Hal ini mengandung isyarat bahwa orang yang meninggal
kemudian meninggalkan anak tetapi ia tidak meninggalkan sesuatupun
untuk membayar hutangnya, maka hutangnya dan nafaqah untuk santunan
anak-anak yang ditinggalkan menjadi tanggungjawab Negara yang dibayar
melalui lembaga bait al-mal.52
‫ َو َم ْن ت ََركَ َمااًل فَلِ َو َرثَتِ ِه‬.
(Dan barangsiapa yang meninggalkan harta, maka itu untuk ahli warisnya.)

Harta yang ditinggalkan oleh orang yang telah meninggal jika ada
tetap menjadi hak ahli waris sebagai harta warisan. Orang lain, termasuk
Nabi atau Negara tidak berhak menerima harta yang ditinggalkan oleh
pewaris.
Hadis ini oleh sebagai ulama menunjukkan bahwa, Nabi akan
membayarkan hutang kaum muslimin yang tidak mampu membayar
hutangnya. Dengan ketentuan bahwa harta orang yang meninggal itu
sudah habis sama sekali. Menurut sebagian ulama, pelunasan hutang
menjadi kewajiban bagi Nabi (Negara). Sebagian lagi berpendapat bahwa
yang wajib membayar hutang adalah orang yang berhutang, bukan Nabi
(Negara), sebagian menyatakan jika memang orang yang berhutang sudah
tidak mampu melunasinya, maka ia tidak wajib lagi melunasinya, tetapi
telah diambil alih oleh Nabi. 53
Dalam riwayat yang lain, Apabila seseorang memilki hutang,
kemudian dia telah berniat membayarnya tetapi sampai meninggal belum
sempat dilunasinya, maka Allah akan menolongnya untuk membayar
utangnya. Hal ini sebagaimana tersebut dalam hadis yang diriwayatkan
oleh Abu Hurairah, yaitu:

52
Lihat al-Hafiz Abi Al-Fadl Ahmad bin ‘Ali bin Hajr Syihab al-Din al-Syafi’i al-Asqalaniy,
Fath al-Bari bi Syarh Sahih Al-Bukhari, (Cet. I; Riyad} : Dar Tayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzi’,
1426 H/2005), hadis no. 4952.
53
Lihat Imam Al-Nawawi, Sahih Muslim bi Syarh al-Nawawi, ( Mesir : Maktabah al-
Misriyah bi al-Azhar, cet I, 1347 H/1929 M), hadis no. 3040
ِ ِ
ُ‫يد أ ََداءَ َه ا أ ََّدى اللَّه‬
ُ ‫َّاس يُِر‬ َ ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْيه َو َسلَّ َم قَ َال َم ْن أ‬
ِ ‫َخ َذ أ َْم َو َال الن‬ َ ِّ ‫َع ْن أَيِب ُهَر ْيَر َة َرض َي اللَّهُ َعْنهُ َع ْن النَّيِب‬
54
)‫(رواه البخارى و ابن ماجة و أمحد‬.ُ‫يد إِتْاَل َف َها أَْتلَ َفهُ اللَّه‬ ُ ‫َخ َذ يُِر‬
َ ‫َعْنهُ َو َم ْن أ‬
Artinya:
(Hadis diriwayatkan) dari Abu Hurairah ra. Dari Nabi saw. bersabda:
“Siapa yang mengambil harta manusia (berhutang), disertai maksud
akan membayarnya maka Allah akan membayarkannya untuknya,
sebaliknya siapa yang mengambilnya dengan maksud merusak
(merugikannya) maka Allah akan merusak orang itu.” (HR. Al-Bukhariy,
Ibn Majah, dan Ahmad)

Berdasarkan informasi hadis yang terakhir ini, tampaknya maksud


atau niat seseorang yang berhutang perlu diperhatikan dahulu, sehingga
layak atau tidak layaknya sebuah tanggungan hutang diberikan tergantung
pula pada sikap dan si pengutang. Boleh jadi, hutangnya tidak jadi
dibayarkan karena dia sendiri tidak punya keinginan untuk membayar atau
melunasi hutangnya.

Pernyataan‫اس‬ َ ‫أَخَ َذ أَ ْم َو‬mencakup mengambil untuk dianggap


ِ َّ‫ال الن‬
sebagai utang dan diambil untuk dimiliki. Yang dimaksud dengan ‫ُري ُد‬ ِ ‫ي‬
َ
‫أدَا َءهَا‬adalah membayar hutang ketika di dunia. Apabila seseorang berniat
untuk membayar hutangnya dengan apa yang Allah anugerahkan
kepadanya, maka menurut hadis ini, Allah akan menolongnya untuk
membayar hutangnya itu, baik dengan dibukakan rezeki kepadanya di
dunia atau Dia akan menanggungnya di akhirat. 55 Pernyataan ُ‫أَ َّدى هَّللا ُ َع ْنه‬
54
Hadis ini ditakhrijkan oleh: Al-Bukhariy, kitab fi al-Istiqradh wa ada’I al-dain, hadis no.
2212; Ibn Majah, kitab al-ahkam, bab man dana dain lam yanu qadha’uhu, hadis no. 2402; Ahmad
bin Hanbal, kitab baqi musnad al-muktsirin, bab baqi musnad al-sabiq, hadis no. 9039.
55
Lihat Ibn Hajr al-Asqalaniy, Fath al-Bariy, Syarh Shahih al-Bukhariy, hadis no. 2212.
113
adalah Allah akan memberikan kemudahan kepadanya untuk membayar
hutangnya. Sementara pembayaran yang diberika Allah swt. Ketika di
akhirat adalah dengan kerelaan kreditor dengan apa yang dikehendaki
Allah swt.

ِ ‫ َو َم ْن أَخَ َذ ي‬secara lahiriah dapat diartikan bahwa orang


Ungkapan ‫ُري ُد إِ ْتاَل فَهَا‬
yang berutang bukan untuk berdagang atau suatu kepentingan, tapi dia
hanya bermaksud untuk merusak barang yang dihutangnya dan tidak ada
keinginan untuk melunasi hutang itu. Maka ُ ‫أَ ْتلَفَهُ هَّللا‬Allah swt. Akan merusak
kehidupannya yang baik, menjadikan kehidupannya sempit, sulit untuk
bekerja, dan tidak mempunyai berkah. Tapi juga mencakup kerusakan di
akhirat dan mendapatkan siksa.

Di dalam hadis ini terdapat pemahaman bahwa siapa yang berhutang


dengan niat ia akan melunasinya, maka Allah swt. Akan menolongnya
untuk membayar hutangnya itu, dan itu memang kewajiban. Jadi, seorang
peminjam jika benar-benar berniat mengembalikan pinjamannya, maka
Allak akan menolongnya dan memudahkan usaha pengembalian pinjaman
itu. Akan tetapi jika orang tersebut tidak punya niat baik untuk
mengembalikan pinjaman hutangnya itu, maka sungguh Allah tidak akan
memberikan jalan keluar untuk melunasi hutangnya.56

Dari hadis yang terakhir ini dipahami bahwa semua orang wajib
membayar hutangnya. Jika orang tersebut telah berniat baik untuk
membayar hutangnya, tetapi ternyata ia belum sanggup melunasinya,
maka Allah akan menolongnya untuk membayar hutangnya, baik dibukakan
rezeki baginya atau Allah akan menanggungnya di akhirat.

56
Lihat Abdul Aziz bin Fathi al-Sayyid Nada, Ensiklopedi Etika Islam : Begini Semestinya
Muslim Berperilaku, Penerjemah Muhammad Isnaini dkk., (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2005), h.
569-570.
Dalam kasus hadis yang dibahas lebih awal di atas apabila ornag
yang telah berniat untuk membayar itu tidak sanggup membayar
hutangnya sampai ia meninggal dunia, maka menurut petunjuk hadis di
atas, bahwa Nabi akan membayar hutang orang-orang beriman yang tidak
sanggup membayar hutangnya. Hal ini dapat dipahami bahwa, pemerintah
berkewajiban membayar hutang orang-orang yang tidak sanggup lagi
membayar hutangnya. Biaya untuk pembayaran hutang itu dapat diambil
dari hasil zakat, atau wakaf, atau harta yang terkumpul dalam bait al-mal.

e. Pokok-pokok Kandungan Hukum Hadis

Berdasarkan rangkaian penjelasan hadis yang dikemukakan di atas,


maka dapatlah ditarik beberapa pokok kandungan hukum hadis ini, yaitu
sebagai berikut:

1. Seseorang yang berhutang wajib membayar hutangnya.


2. Jika orang yang berhutang belum sempat melunasi hutangnya hingga ia
meninggal, maka ahli waris wajib melunasinya dengan mengambil dari
harta peninggalan orang tersebut.
3. Jika orang yang meninggal tidak mempunyai harta, yang membuat ahli
waris tidak dapat melunasi hutangnya, maka Nabi (dalam hal ini
Negara) bertanggungjawab untuk ambil alih pelunasan hutang orang
yang meninggal yang masih meninggalkan hutang itu.
4. Hukum shalat jenazah adalah fardhu kifayah.
5. Harta peninggalan seseorang jika ada, tetap menjadi hak milik ahli
waris.

3. Jumlah Harta Wasiat (LM. 1053)

115
a. Materi Hadis

‫وديِن‬ ِ ِ ُ ‫اص عن أَبِ ِيه ر ِضي اللَّه عْن ه قَ َال َك ا َن رس‬ ِ ِ


ُ ُ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم َيع‬ َ ‫ول اللَّه‬ َُ ُ َ ُ َ َ ْ َ ٍ َّ‫َع ْن َعام ِر بْ ِن َس ْعد بْ ِن أَيِب َوق‬
ٌ‫ت إِيِّن قَ ْد َبلَ َغ يِب ِم ْن الْ َو َج ِع َوأَنَ ا ذُو َم ٍال َواَل يَ ِرثُيِن إِاَّل ْابنَ ة‬ ْ ‫اع ِم ْن َو َج ٍع‬
ُ ‫اش تَ َّد يِب َف ُق ْل‬ ِ ‫َع َام َح َّج ِة الْ َو َد‬
‫ك‬َ َ‫َّك أَ ْن تَ َذ َر َو َرثَت‬ َ ‫ث َكبِريٌ أ َْو َكثِريٌ إِن‬ ُ ُ‫الثل‬
ُّ ‫ث َو‬ ُ ُ‫الثل‬ َّ ِ‫ت ب‬
ُّ ‫الشطْ ِر َف َق َال اَل مُثَّ قَ َال‬ ُ ‫َّق بُِثلُثَ ْي َمايِل قَ َال اَل َف ُق ْل‬ ُ ‫صد‬ َ َ‫أَفَأَت‬
‫ت هِبَا َحىَّت‬ َ ‫ُج ْر‬ِ ‫ِق َن َف َق ةً َتْبتَغِي هِب َا َو ْج هَ اللَّ ِه إِاَّل أ‬ َ ‫َّاس َوإِن‬
َ ‫َّك لَ ْن ُتْنف‬
ِ
َ ‫أَ ْغنيَاءَ َخْيٌر م ْن أَ ْن تَ َذ َر ُه ْم َعالَةً َيتَ َك َّف ُف و َن الن‬
ِ
‫ص احِلًا إِاَّل‬
َ ‫ف َفَت ْع َم َل َع َماًل‬ َ ‫َص َحايِب قَ َال إِن‬
َ َّ‫َّك لَ ْن خُتَل‬ ْ ‫ف َب ْع َد أ‬ ُ َّ‫ُخل‬
ِ َ ‫ك َف ُق ْلت يا رس‬
َ ‫ول اللَّه أ‬ َُ َُ َ ِ‫َما جَتْ َع ُل يِف يِف ْامَرأَت‬
‫بِك آخ رو َن اللَّه َّم أَم ِ أِل‬ ِ ‫ْازد ْدت‬
َ َّ‫بِه َد َر َج ةً َو ِر ْف َع ةً مُثَّ لَ َعل‬
‫َص َحايِب‬
ْ ‫ض‬ ْ ُ ُ َ َ ‫ض َّر‬ َ ُ‫بِك أَْق َو ٌام َوي‬َ ‫ِع‬ َ ‫ف َحىَّت َيْنتَف‬ َ َّ‫ك أَ ْن خُتَل‬ َ َ
‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم أَ ْن‬ ِ ُ ‫ِهجرَتهم واَل َتر َّدهم علَى أ َْع َقاهِبِم لَ ِكن الْبائِس سع ُد بن خولَةَ ي رثِي لَه رس‬
َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ ُ َْ ْ َ ُ ْ ْ َ ُ َ ْ ْ َ ْ ُ ُ َ ْ ُ َْ
)‫ (رواه البخاري و مسلم وغريمها‬.‫ات مِب َ َّكة‬ َ ‫َم‬

Artinya:
(Hadis riwayat) dari Sa’d bin Abi Waqqas dari ayahnya ra. Berkata,
Rasulullah saw. Pernah menjengukku pada tahun Haji Wada’ karena
sakitku bertambah parah. Aku berkata, ‘Sakitku bertambah parah,
padahal aku orang yang memiliki harta, dan tidak ada yang mewarisiku
kecuali seorang anak perempuan. Apakah aku sedekahkan saja dua
pertiga hartaku?’ Rasulullah saw. Berkata, ‘Tidak.’ Lalu aku berkata,
‘Setengahnya?’ Beliau berkata, ‘Tidak.’ Kemudian beliau berkata,
‘Sepertiga saja, dan sepertiga itu sudah besar –atau banyak-. Engkau
meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya lebih baik daripada
meninggalkan mereka dalam keadaan miskin meminta-minta kepada
orang-orang. Dan engkau tidak akan pernah menginfaqkan satu infaq
yang mengharapkan ridha Allah kecuali engkau diberi pahala dengan
infaq tersebut, sampai pada apa yang engkau masukkan ke dalam
mulut istrimu.’ Sa’ad berkata, ‘Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah,
bagaimana jika aku tertinggal (di Makkah) setelah rekan-rekanku
pergi?’ Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya sekali-kali engkau tidak
ditinggal lalu engkau mengerjakan suatu amal, yang dengannya engkau
menambah satu derajat dan satu keunggulan. Semoga engkau berumur
panjang sehingga ada beberapa kaum (orang-orang Muslim) yang
mengambil manfaat darimu, dan ada kaum-kaum lain (orang-orang
kafir) yang mendapatkan mudharat karenamu. Ya Allah lanjutkanlah
hijrah bagi para sahabatku dan janganlah Engkau buat mereka mundur
ke belakang’. Tapi Rasulullah saw. menunjukkan kedukaan kepada
Sa’ad bin Khaulah, bahwa dia meninggal di Makkah.” (H.R. Al-bukhariy,
Muslim dan selainnya)

b. Takhrij al-Hadits

1. Al-Bukhariy, kitab al-jana’iz, bab warats al-Nabiy Sa’ad bin Khaulah,


hadis no. 1213, kitab al-wasiyah, bab an yatruka waratsathu aghniya’
khairun min an yatakaffafun al-nas, hadis no. 2537, bab al-washiyat bi
al-tsuluts, hadis no. 2539, kitab al-maghaziy, bab haji wada’, hadis no.
4057, kitab nafaqat, bab fadhl nafaqat ‘ala al-ahl, hadis no. 4935, kitab
mardha, bab wadha’a al-yad ‘ala al-maraidh, hadis no. 5227, kitab al-
da’wat, bab al-du’a bi raf’I al-waba wa al-waja’, hadis no. 5896, kitab al-
faraidh , bab mirats al-bint, hadis no. 6236.
2. Muslim, kitab al-washiyah, bab al-washiyat bi al-tsuluts, hadis no.
3076, 3079.
3. Abu Dawud, kitab al-washiyah, bab ma ja’a fi ma la yajuz li al-mushiy fi
malihi, hadis no. 2480.

117
4. Al-Turmudziy, kitab al-janaiz, bab ma ja’a fi washayat bi al-tsuluts wa
al-rubu’, hadis no. 897, kitab al-washayat ‘ala Rasulullah, bab ma ja’a fi
washiyat bi al-tsuluts, hadis no. 2042.
5. Al-Nasaiy, kitab al-washiyat, bab al-washiyat bi al-tsuluts, hadis no.
3567, 3568, 3569, 3570, 3571, 3572 , 3573, 3574, 3575.
6. Ahmad bin Hanbal, kitab musnad al-‘asyarat al-mubasyirin fi al-jannah,
bab musnad Abi Ishaq Sa’ad bin Abi Waqqas, hadis no. 1363, 1394,
1398, 1404, 1442, 1464, 1513.
7. Malik, kitab al-aqdhiyah, bab al-washiyah fi al-tsuluts la tata’addiy,
hadis no. 1258.
8. Darimiy, kitab al-washiyat, bab al-washiyat bi al-tsuluts, hadis no.
3065.

c. Biografi Singkat Sahabat Nabi Periwayat hadis

(SA’AD BIN ABI WAQQASH)

Nama lengkap Sa’ad bin Abi Waqqas, yaitu Malik bin Uhaib. Nama
lainnya, Wuhaib bin ‘Abd Manaf bin Zuhrah bin Kilab al-Zuhriy, dijuluki
Abu Ishaq. Sa’ad termasuk sahabat yang lebih awal masuk Islam dari
beberapa sahabat lain. Ia lebih dahulu hijrah sebelum Nabi hijrah ke
Madinah. Ia selalu mengikuti perang yang dilakukan Rasulullah, ia ikut
dalam Perang Badar.

Sa’ad menerima hadis dari Nabi saw, dan dari ibunya Khaulah binti
Hakim. Selanjutnya yang meneruskan riwayat hadis darinya, yaitu anak-
anaknya yang bernama Ibrahim, ‘Amir, ‘Umar, Muhammad, Mash’ab,
‘Aisyah Ummu al-Mu’minin, Ibn ‘Abbas, Ibn ‘Umar, Jabir bin Samrah, al-
Sa’ib bin Yazid, Qais bin ‘Ubadah, ‘Abdullah bin Tsa’labah bin Sha’ir, Abu
‘Utsman al-Nahdiy,’ Abu ‘Abd al-Rahman al-Salmiy, ‘Alqamah bin Qais,
Basr bin Sa’id, Ibrahim bin ‘Abd al-Rahman bin ‘Auf, al-Ahnaf bin Qais,
Syuraih bin Hani’, ‘Amr bin Maimun al-Audiy, Malik bin Aus bin Hadatsan,
Mujahid bin Jabar, Dinar Abu ‘Abdullah al-Qarradz, Ghanim bin Qais, dan
lain-lain.

Sa’ad termasuk salah seorang dari enam anggota Majlis Syura. Dia
pendakwah yang popular pada masanya. Dia salah satu dari dua
penunggang kuda yang mengawal Rasulullah di setiap medan
pertempuran. Dia yang merebut Kufa, dan menjadi komendan perang
dalam perang Persia, dengan tangannya pula Qadisiah ditaklukkan. Pada
masa Khalifah ‘Umar dia diangkat menjadi Gubernur, kemudian dicopot
dari jabatannya itu, lalu diangkat lagi.

Menurut lebih dari satu sumber, Sa’ad meninggal di penjara ‘Aqiq,


jenazahnya di bawa ke Madinah, dan kebumikan di al-Baqi’. Ahli sejarah
berbeda pendapat tentang tahun wafatnya, ada yang mengatakan tahun
51 H. sumber lain mengatakan 55 H. atau tahun 56 H, atau tahun 57 H,
atau tahun 58 H. dalam usia ada yang mengatakan 73 tahun, ada
mengatakan 74 tahun, ada yang mengatakan 82 atau 83 tahun.57

Dalam hadis ini Sa’ad bin Abi Waqqash di sebut dengan Sa’ad bin
Khaulah, yakni dinasabkan kepada ibunya yang bernama Khaulah binti
Hakim. Dia berasal dari suku Quraisy dari Bani Amir dari rumpun Abu
‘Ubaidah bin al-Jarrah. Ada yang mengatakan bahwa Sa’ad adalah
keturunan Persia dari Yaman, yang berdamai dengan Bani Amir. Dia ikut
dalam Perang Badar dan termasuk sahabat yang utama. beristrikan
dengan Sabi’ah binti al-Harits.

d. Arti Kosakata dan Syarahan Hadits

57
Lihat Ibn Hajr al-Asqalaniy, Tahdzib, op.cit., II, h. 612-613.
119
Adapun arti beberapa kosakata hadis ini, dapat dikemukakan, yaitu:
1. Kata ‫ر‬ ْ ‫ بِال َّش‬dalam hadis ini boleh dibaca majrur, karena mengikuti bi al-
ِ ‫ط‬
tsulutsai. Lafadz ini dapat diartikan dengan beberapa makna, salah
satunya adalah separuh, dan inilah makna yang dimaksudkan di sini.
2. Lafadz ً‫ عَالَة‬jama’ dari a’il, yang berarti miskin. Jika dikatakan man ‘ala
ya’ilu, artinya orang yang miskin.
3. Kalimat ‫اس‬ َ َّ‫ يَتَ َكفَّفُ ونَ الن‬artinya meminta-minta atau mengemis kepada
manusia.

Selanjutkan hadis ini akan dijelaskan, sebagaimana yang dipahami


ulama berikut ini:

Wasiat dari kata washaya jama’ dari washiya, seperti kata hadaya,
jama’ dari hadiyah. Al-Azhary mengatakan kata washaya ini diambil dari
‫ وصيت الشيء أصيه‬yaitu jika aku dapat menyampaikannya. Dinamakan washiya,
karena orang yang berwasiat menyampaikan apa yang menjadi miliknya
semasa hidupnya, yang kemudian terjadi setelah dia meninggal. Bisa juga
dikatakan washsha dan ausha.

Menurut definisi bahasa, washsha berarti memerintah, misalnya


ditemukan dalam firman Allah QS. Al-Baqarah: 132, yaitu :

           
    
Terjemahnya:
dan Ibrahim telah Mewasiatkan Ucapan itu kepada anak-anaknya,
demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku!
Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, Maka
janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam".
Pengertian washsha dalam ayat tersebut bermakna memerintahkan,
jadi Ibrahim dan Ya’qub memerintahkan anak-anak mereka agar agama
tauhid (Islam) sebagai pegangan dari hidup mereka hingga wafat.

Menurut syariat washiyat berarti akad yang bersifat khusus untuk


mengurus atau mengelola harta setelah seseorang meninggal dunia.
Wasiat ini disyariatkan berdasarkan Alquran, Sunnah, dan ijma semua
umat di segala tempat dan zaman. Dalil yang diperpegangi dalam QS. Al-
Baqarah: 180, yang berbunyi :

         
       
Terjemahnya:
diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,
Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini
adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.

Yang dimaksud dengan ma'ruf dalam ayat ini ialah adil dan baik.
Wasiat itu tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta orang yang akan
meninggal itu. Ayat ini dinasakhkan dengan ayat mawaris.

Wasiat termasuk sebagian dari kebaikan-kebaikan yang diajarkan


Islam, karena Islam memberikan bagian kepada pemilik harta dari harta
bendanya, yang pahala dan balasannya kembali kepada dirinya setelah
dia meninggal dunia. Wasiat merupakan gambaran kasih saying Allah
terhadap hamba-hamba-Nya dan Rahmat-Nya bagi manusia, ketika orang
yang sudah di ambang ajalnya, ketika orang tersebut sudah siap
meninggalkan dunia, Allah masih membolehkan dan member kesempatan

121
seseorang mencari bekal di akhirat dengan mewashiatkan sebagian
hartanya.58

Ketetapan wasiat menurut Sunnah antara lain seperti yang diperoleh


dari tuntunan hadis yang sedang dibahas ini.

‫ت إِيِّن قَ ْد َبلَ َغ يِب‬ ْ ‫اع ِم ْن َو َج ٍع‬


ُ ‫اش تَ َّد يِب َف ُق ْل‬ ِ ‫وديِن َع َام َح َّج ِة الْ َو َد‬ ِ
ُ ُ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم َيع‬
ِ ُ ‫َك ا َن رس‬
َ ‫ول اللَّه‬ َُ
‫َّق بُِثلُثَي َمايِل‬ ٍ ِ
ْ ُ ‫صد‬ َ َ‫م ْن الْ َو َج ِع َوأَنَا ذُو َمال َواَل يَِرثُيِن إِاَّل ْابنَةٌ أَفَأَت‬

(Rasulullah saw. Pernah menjengukku pada tahun Haji Wada’ karena


sakitku bertambah parah. Aku berkata, ‘Sakitku bertambah parah,
padahal aku orang yang memiliki harta, dan tidak ada yang mewarisiku
kecuali seorang anak perempuan. Apakah aku sedekahkan saja dua
pertiga hartaku?’)

Menurut hadis ini, Sa’ad bin Abi Waqqash jatuh sakit yang sangat
parah saat Haji Wada’ dan dia khawatir ajalnya telah tiba menjemput
dirinya. Seperti biasanya, Rasulullah saw. menjenguknya, mencari tahu
keadaan para sahabatnya dan menghibur mereka. Lalu Sa’ad
menyinggung beberapa hal kepada Rasulullah saw. yang menurut
keyakinannya dia akan diizinkan untuk menshadaqahkan sekian banyak
dari hartanya. Dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku sekarang sakit parah
dan aku khawatir maut tiba-tiba menjemputku. Padahal aku adalah orang
yang memiliki harta yang banyak. Sementara tidak ada ahli warisku yang
aku khawatirkan akan menjadi miskin dan lemah, kecuali aku hanya
memiliki seorang putri. Maka setelah itu, apakah aku boleh
menshadaqahkan dua pertiga dari hartaku, agar aku dapat melakukan
amal shalih?
58
Lihat Ali Bassam, op.cit., h. 717.
.ٌ‫ث َكبِي ٌر أَوْ َكثِير‬
ُ ُ‫ث َوالثُّل‬
ُ ُ‫ال الثُّل‬
َ َ‫ال اَل ثُ َّم ق‬ ْ ‫ت بِال َّش‬
َ َ‫ط ِر فَق‬ ُ ‫ال اَل فَقُ ْل‬
َ َ‫ق‬
(Rasulullah saw. Berkata, ‘Tidak.’ Lalu aku berkata, ‘Setengahnya?’
Beliau berkata, ‘Tidak.’ Kemudian beliau berkata, ‘Sepertiga saja, dan
sepertiga itu sudah besar –atau banyak- ).

Rasulullah menjawab, “Tidak boleh.” Dia bertanya, “Bagaimana kalau


separuhnya wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Tidak boleh.” Dia
bertanya lagi, “Bagaimana jika sepertiganya ?” Beliau menjawab, “Tidak
ada halangan bagimu untuk menyedekahkan sepertiga dari hartamu,
karena jumlah itu pun sudah banyak. Jika diturunkan lagi hingga
seperempat atau seperlimanya, maka lebih baik lagi.”

Ada beberapa beberapa petunjuk yang dapat dipetik dari kasus dan
dialog antara Sa’ad bin Abi Waqqash dengan Rasulullah saw. tersebut,
yaitu :

a. Anjuran menjenguk orang sakit, terlebih lagi orang yang


mempunyai hak untuk dijenguk, seperti kaum kerabat, teman karib
dan lain-lain.
b. Diperbolehkannya orang yang sedang sakit untuk memberitahukan
jenis sakit dan menjelaskan tingkat keakutan penyakitnya, jika tidak
dimaksudkan untuk mengeluh dan menunjukkan kekesalan. Bahkan
harus diungkapkan jika ada faidahnya, seperti kepada dokter yang
akan membantu mendiagnosis penyakitnya atau kepada perawat
yang mengobatinya.
c. Meminta pendapat dan fatwa kepada ulama dalam berbagai urusan
dunia dan agama.

123
d. Diperbolehkannya mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, jika
dilakukan dengan cara yang dibenarkan hukum dan syariat (agama
Islam).
e. Batas maksimal wasiat adalah sepertiga, lebih baik kurang dari
sepertiga, karena masih ada ahli waris yang lebih berhak atas harta
yang ditinggalkan.

Kemudian Rasulullah saw. yang arif dan bijaksana menjelaskan


alasan dan hikmah mengapa beliau menurunkan jumlah shadaqah yang
diwasiatkan ini, dari yang banyak hingga menjadi lebih sedikit, karena
dua alasan:
َ َّ‫ك أَ ْغنِيَا َء خَ ْي ٌر ِم ْن أَ ْن تَ َذ َرهُ ْم عَالَةً يَتَ َكفَّفُونَ الن‬
1. ‫اس‬ َ َ‫ك أَ ْن تَ َذ َر َو َرثَت‬
َ َّ‫إِن‬
(Engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya lebih baik
daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin meminta-minta
kepada orang-orang).

Jika seseorang meninggal dan dia meninggalkan ahli awarisnya


dalam keadaan kaya, dapat memanfaatkan harta warisan untuk
berbakti kepada orang tuanya, maka hal itu lebih baik daripada dia
memberikan harta itu kepada selain ahli waris dan membiarkan
mereka hidup hanya mengharapkan belas kasih dan budi baik orang
lain.

َ ‫ق نَفَقَةً تَ ْبتَ ِغي بِهَا َوجْ هَ هَّللا ِ إِاَّل أُ ِجرْ تَ بِهَا‬


2. َ‫حتَّى َما تَجْ َع ُل فِي فِي ا ْم َرأَتِك‬ َ ِ‫َوإِنَّكَ لَ ْن تُ ْنف‬
(Dan engkau tidak akan pernah menginfaqkan satu infaq yang
mengharapkan ridha Allah kecuali engkau diberi pahala dengan infaq
tersebut, sampai pada apa yang engkau masukkan ke dalam mulut
istrimu).
Harta itu sebaiknya disisakan dan juga dinafkahkan di berbagai jalan
yang disyariatkan, harta dimaksudkan untuk mencari pahaladari Allah
sehingga dia benar-benar mendapatkan nilai pahala itu. Nafkah yang
dapat mendatangkan pahala itu termasuk makanan yang diberikan
kepada istri.

Penjelasan tersebut memberi indikasi bahwa,harta yang menjadi


nafkah yang ditinggalkan kepada keluarga atau ahli waris, jika disertai
dengan niat yang ikhlas merupakan perbuatan amal yang bernilai
ibadah pula, sama dengan wasiat yang disedekahkan secara tulus.

Menurut Ibn Daqiq al-‘Iyd bahwa pahala infaq ini disyaratkan


keabsahannya dengan niat, yaitu hanya karena mengharapkan wajah
(ridha) Allah. Hal ini merupakan perkara yang detail dan tidak
gampang, karena hal itu bertentangan dengan kebiasaan dan nafsu.
Menurutnya, bahwa kewajiban yang berkenaan dengan materil, jika
dilaksanakan dengan niat untuk mengharap ridha Allah ini, maka
pelakunya akan mendapat imbalan pahala. Jadi, niat yang ikhlas
menyatu dengan keinginan melaksanakan kewajiban. Dengan
demikian, tidak ada gunanya melaksanakan kewajiban tanpa niat yang
tullus, begitu pula tidak cukup hanya niat yang tulus tanpa dibarengi
dengan membuktikannya dengan melaksanakan kewajiban.

‫ُول هَّللا ِ أُخَ لَّفُ بَ ْع َد أَصْ َحابِي‬ ُ ‫فَقُ ْل‬


َ ‫ت يَا َرس‬
(Wahai Rasulullah, bagaimana jika aku tertinggal (di Makkah) setelah
rekan-rekanku pergi?’)

Kemudian Sa’ad khawatir akan meninggal di Makkah, padahal


Makkah itulah dia hijrah, dan dia meninggalkan Makkah karena

125
mengharapkan ridha Allah, sehingga hal itu mengurangi pahala hijrahnya.
Lalu Rasulullah saw. mengabarkan kepadanya bahwa sekali-kali dia tidak
akan ditinggalkan di negeri yang dari sana dia hijrah karena suatu
paksaan. Jika di sana dia mengerjakan suatu amal untuk mencari pahala
Allah, maka hal itu akan menjadi tambahan derajat baginya.

Dalam mengomentari penggalan hadis ini, Ali Bassam menyatakan


bahwa, barangsiapa yang hijrah dari satu negeri karena mengharapkan
wajah Allah dan mengangkat kalimat Allah, lalu dia tidak kembali untuk
menetap di sana, atau dia berada di sana bukan atas kehendaknya, maka
ia tidak berdosa.59

َ ُ‫از َددْتَ بِ ِه َد َر َجةً َو ِر ْف َعةً ثُ َّم لَ َعلَّكَ أَ ْن تُخَ لَّفَ َحتَّى يَ ْنتَفِ َع بِكَ أَ ْق َوا ٌم َوي‬
‫ض َّر‬ َ ‫ك لَ ْن تُخَ لَّفَ فَتَ ْع َم َل َع َماًل‬
ْ ‫صالِحًا إِاَّل‬ َ َّ‫إِن‬
َ‫ك آ َخرُون‬ َ ِ‫ب‬
(Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya sekali-kali engkau tidak ditinggal
lalu engkau mengerjakan suatu amal, yang dengannya engkau menambah
satu derajat dan satu keunggulan. Semoga engkau berumur panjang
sehingga ada beberapa kaum (orang-orang Muslim) yang mengambil
manfaat darimu, dan ada kaum-kaum lain (orang-orang kafir) yang
mendapatkan mudharat karenamu.)

Kemudian Rasulullah saw. menyampaikan berita gembira, yang


menunjukkan bahwa dia (Sa’ad) akan sembuh dari sakitnya, lalu Allah
memberikan manfaat kepada orang-orang Muslim dan mendatangkan
mudharat kepada orang-orang kafir. Maka seperti yang Nabi kabarkan,
dia sembuh dari sakitnya dan menjadi komandan perang tertinggi ketika
memerangi bangsa Persia. Allah mendatangkan manfaat lewat dirinya
bagi agama Islam dan orang-orang Muslim, melakukan berbagai

59
Lihat Ali Bassam, op.cit., h. 723.
penaklukkan yang mendatangkan kesialan bagi orang-orang musyrik,
karena dapat menggoyahkan singgasana mereka.

Di sini terkandung suatu mukjizat Rasulullah yang ternyata doa beliau


dapat menyembuhkan Sa’ad yang menurut perasaan Sa’ad ketika itu dia
sudah tidak ada harapan untuk sembuh. Dengan kesembuhan Sa’ad
selanjutnya dia tampil sebagai pejuang di setiap medan perang dengan
gigih dan berani menegakkan ajaran agama Allah.

‫ض أِل َصْ َحابِي ِهجْ َرتَهُ ْم َواَل تَ ُر َّدهُ ْم َعلَى أَ ْعقَابِ ِه ْم‬
ِ ‫اللَّهُ َّم أَ ْم‬
(Ya Allah lanjutkanlah hijrah bagi para sahabatku dan janganlah
Engkau buat mereka mundur ke belakang’)

Selanjutnya, Rasulullah saw. berdoa bagi rekan-rekan Sa’ad secara


umum, agar mewujudkan hijrah mereka, menerima amal mereka, tidak
mengeluarkan mereka dari agama mereka atau negeri yang dari sanalah
mereka hijrah. Allah menerima doa Rasulullah itu. Akhirnya, Allah
menyempurnakan hijrahnya para sahabat dari Makkah ke Madinah,
karena hasrat mereka yang lurus dan berkat doa Rasulullah saw.

e. Pokok-pokok Kandungan Hukum Hadis

Dari penjelasan dan hikmah mengena wasiat yang telah


dikemukakan dapat ditarik kandungan pokok hukum hadis ini, yaitu
sebagai berikut:

1. Anjuran membuat wasiat dengan sepertiga hartanya atau kurang dari


sepertiga, ditujukan kepada orang yang memiliki harta yang melimpah
atau hanya sedikit. Yang lebih afdhal adalah wasiat kurang dari
sepertiga.
127
2. Menyisakan harta bagi ahli waris, apalagi jika mereka
membutuhkannya, lebih utama daripada mensedekahkan kepada orang-
orang di luar kerabat dekat, karena ahli waris lebih berhak terhadap
harta warisan itu daripada selain ahli waris.
3. Nafkah yang diberikan kepada anak-anak dan istri merupakan jenis
ibadah yang mulia, jika disertai niat yang baik. Karena siapa lagi yang
akan memperhatikan kebutuhan materi mereka kalau bukan orang-
orang yang lebih hubungan kekeluargaan dengan mereka.

Latihan

Untuk memperdalam pemahaman anda mengenai sajian materi pada


bagian kedua ini dipersilahkan mengerjakan latihan sebagai berikut:

1. Buat rumusan mengenai ketentuan kewarisan kepada ahli waris menurut


hadis.
2. Buat rumusan mengenai ketentuan pewaris yang meninggalkan hutang.
3. Buat rumusan mengenai jumlah maksimal harta yang dijadikan wasiat.
4. Buat rumusan sederhana mengenai metode takhrij hadis dengan
menggunakan metode lafdziy.
5. Buat kesimpulan yang dapat dipahami dari biografi Abu Hurairah, ‘Abdullah
bin ‘Abbas, dan Sa’ad bin Abi al-Waqqash.

Rangkuman

1. Ketentuan kewarisan kepada ahli waris menurut hadis, yaitu perintah untuk
memberikan hak waris kepada ahli waris sesuai dengan ketentuan pembagian
yang telah ditetapkan dalam Alquran. Sisa dari pembagian harta warisan itu
diberikan kepada anak laki-laki yang lebih dekat dengan garis keturunan pada
pewaris.
2. Hutang seseorang yang telah meninggal tetap wajib dibayar. Apabila orang
yang berhutang itu memiliki harta maka ahli warisnya wajib membayarkan
hutangnya. Apabila ia tidak memiliki lagi harta maka Nabi (Negara)
berkewajiban membayar hutang orang yang gharim.
3. Jumlah maksimal harta wasiat adalah tidak lebih dari sepertiga dari seluruh
harta yang ditinggalkan pewaris. Tidak boleh berwasiat lebih dari sepertiga
harta, karena dikhawatirkan ahli waris hanya menerima lebih sedikit dari
harta yang tersisa.
4. Rumusan sederhana metode takhrij al-hadis secara lafdziy, yaitu harus
menguasai salah satu lafadz hadis yang memiliki kata dasar dalam bahasa
Arab. Menguasai asal kata dasar lafadz tersebut. Mencari hadis tersebut
dengan menggunakan lafadz dan kosa kata dasarnya ke dalam kitab Mu’jam
atau CD. Room Hadis.
5. Abu Hurairah dan Ibn ‘Abbas termasuk periwayat hadis yang tergolong al-
muktsirun fi al-hadits. Ketiganya termasuk sahabat Nabi yang adil (terpercaya)
di bidang periwayatan hadis.

Tes Formatif

1. Jelaskan ketentuan kewarisan kepada ahli waris menurut hadis.


2. Jelaskan ketentuan pewaris yang meninggalkan hutang menurut hadis.
3. Jelaskan mengenai hikmah ketentuan jumlah maksimal harta yang dijadikan
wasiat yakni 1/3.
4. Kemukakan lafadz-lafadz apa saja yang dapat dipakai untuk mentakhrij hadis
ke ketiga hadis tersebur secara metode lafdziy.
5. Uraikan secara singkat keistimewaan Abu Hurairah, ‘Abdullah bin ‘Abbas dan
Sa’ad bin Abi al-Waqqash.

Kunci Jawaban Tes Formatif

129
1. Ketentuan kewarisan kepada ahli waris menurut hadis, yaitu memberikan hak
waris kepada ahli waris sesuai embagian yang telah ditetapkan dalam Alquran.
Sisa dari pembagian harta warisan itu diberikan kepada anak laki-laki sebagai
ashabah.
2. Apabila orang yang berhutang itu memiliki harta maka ahli warisnya wajib
membayarkan hutangnya. Apabila ia tidak memiliki lagi harta maka Negara
berkewajiban membayar hutang orang yang gharim.
3. Hikmah jumlah maksimal harta wasiat adalah tidak lebih dari sepertiga dari
seluruh harta yang ditinggalkan adalah agar lebih baik meninggalkan ahli
waris dalam keadaan kaya raya dari pada meninggalkannya dalam keadaan
miskin yang membuat dia meminta-minta kepada manusia.
4. Lafadz-lafadz yang dapat digunakan untuk mentakhrij al-hadis, antara lain:
untuk hadis pertama, ‫ الف رائض‬, ‫ ألحق وا‬untuk hadis kedua, ‫ فتح‬, ‫ فضل‬, ‫ دين‬, dan untuk
hadis yang ketiga, ‫الشطر‬.
5. Abu Hurairah termasuk sahabat yang hidup sederhana, lebih mementingkan
usaha mempelajari hadis dari pada sibuk dengan urusan ekonomi dan
pertanian. Nani setelah Nabi saw. wafat barulah Abu Hurairah terlibat dalam
pemerintahan. Ibn ‘Abbas adalah seorang sahabat yang digelar ahli hikmah
dan takwil terhadap ajaran agama. Nabi saw. pernah memberikan doa khusus
kepada Ibn ‘Abbas agar menjadi ahli agama. Sa’ad bin Abi Waqqash termasuk
ahli fikih dan pernah menjadi anggota syura. Seorang pejuang yang selalu
menjadi pengawal Nabi, dan pernah menjadi komandan dalam ekspansi
pasukan Islam menaklukkan wilayah baru.
BAGIAN III
HIBAH DAN WAKAF

A.Gambaran Singkat Mengenai Materi Kuliah

Materi kuliah ini membahas mengenai beberapa topic hadis yang


berkenaan dengan hibah dan wakaf, yaitu hadis tentang berhibah kepada anak,
dan wakaf hasil panen tanah milik. Pengajian materi dimulai dengan
menampilkan teks matn hadis disertai arti hadis bersama dengan periwayat
pertama dan mukharrijnya.

Pemaparan takhrij al-hadits dan biografi singkat sahabat Nabi periwayat


hadis menjadi materi yang diberikan untuk memperoleh gambaran mengenai
data para mukharrij yang menghimpun hadis ini, juga untuk mengetahui
kapabilitas sahabat Nabi yang meriwayatkan hadis ini.

Penjelasan mengenai pengertian menurut bahasa suatu lafal atau kalimat


dalam hadis menjadi pembahasan dimaksudkan untuk memperoleh makna
131
kosakata lafadz tertentu sebelum akhirnya hadis-hadis yang tercakup dalam
bagian pernikahan ini dijelaskan syarahannya, dan di analisa hal-hal yang terkait
dengan temanya. Akhirnya akan disimpulkan kandungan pokok hukum setiap
hadis yang di bahas.

B. Pedoman Mempelajari Materi

Baca dengan baik materi teks hadis dengan artinya. Perhatikan dan
sebutkan lafadz-lafadz yang dapat dipakai dalam menelesuri takhrij al-hadits.
Perhatikan ketekunan setiap sahabat yang ditampilkan biografinya. Buat
kesimpulan dari segi keadilan mereka. Buat intisari setiap hadis yang dibahas,
pendapat-pendapat ulama yang terkait dengan materi hadis. Pahami dengan baik
isi hadis tersebut dan berilah kandungan pokok hukum yang dibahas.

C.Tujuan Pembelajaran
1. Mahasiswa dapat menulis, membaca, menghafalkan dan mengartikan
materi hadis.
2. Mahasiwa dapat membuat uraian mengenai berhibah kepada anak, serta
pendapat-pendapat ulama terkait dengan hadis.
3. Dapat memahami dan menguraikan mengenai wakaf hasil panen tanah
milik.

1. Berhibah Kepada Anak (LM. 1049)

a. Materi Hadis

‫ت‬ُ ‫ت َع ْم َرةُ بِْن‬


ِ ُ ‫عن الن ُّْع َم ا َن بْ َن بَ ِش ٍري َر ِض َي اللَّهُ َعْن ُه َم ا َو ُه َو َعلَى الْ ِمْنرَبِ َي ُق‬
ْ َ‫ول أ َْعطَ ايِن أَيِب َعطيَّةً َف َق ال‬
‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم‬ ِ َ ‫ول اللَّ ِه ص لَّى اللَّه علَي ِه وس لَّم فَأَتَى رس‬
َ ‫ول اللَّه‬ َُ َ َ َ َْ ُ َ َ ‫ض ى َحىَّت تُ ْش ِه َد َر ُس‬ َ ‫احةَ اَل أ َْر‬ َ ‫َر َو‬
ِ َ ‫ُش ِه َد َك ي ا رس‬ ْ ‫اح ةَ َع ِطيَّةً فَ أ ََمَرتْيِن أَ ْن أ‬ ِ ِ ِ
‫ت‬َ ‫ول اللَّه قَ َال أ َْعطَْي‬ َُ َ َ ‫ت ابْيِن م ْن َع ْم َرةَ بْنت َر َو‬ ُ ‫ال إِيِّن أ َْعطَْي‬ َ ‫َف َق‬
َ َ‫ال فَ َّات ُقوا اللَّهَ َو ْاع ِدلُوا َبنْي َ أ َْواَل ِد ُك ْم ق‬
‫ال َفَر َج َع َف َر َّد َع ِطيَّتَ هُ (رواه‬ َ َ‫َس ائَِر َولَ ِد َك ِمثْ َل َه َذا قَ َال اَل ق‬
)‫البخاري و مسلم‬
Artinya:
(Hadis diriwayatkan) dari al-Nu’man bin Basyir ra. Ketika ia di atas
mimbar berkata: ‘Ayahku memberiku suatu hadiah.’ Maka ‘Amrah binti
Rawahah berkata, ‘Aku tidak ridha sampai engkau mempersaksikan
kepada Rasulullah saw.’ Maka ayahku datang kepada Rasulullah saw.,
lalu ia berkata, ‘Aku memberi anakku ini suatu pemberian dari ‘Amrah
binti Rawahah. Kemudian ‘Amrah menyuruhku untuk
mempersaksikannya kepadamu, wahai Rasulullah.’ Rasulullah
bersabda, ‘Apakah engkau memberi semua anakmu seperti ini?’ Ayah
al-Nu’man berkata, ‘Tidak.’ Rasulullah bersabda, ‘Bertakwalah kepada
Allah dan berbuat adillah di antara anak-anakmu.’ Al-Nu’man berkata,
maka ia (ayahku) kembali lalu mengambil kembali pemberiannya. (H.R.
Al-Bukhariy, Muslim).

b. Takhrij al-Hadits

1. Al-Bukhariy, kitab al-hibah, bab li isyhad fi al-hibah, hadis no. 2398.


2. Muslim, kitab al-hibat, bab karahiyat tafdhil ba’dhi al-aulad fi al-hibah,
hadis no. 3055.

c. Biografi Singkat Sahabat Nabi Periwayat Hadis

(AL-NU’MAN BIN BASYIR)


Nama lengkapnya, al-Nu’man bin Basyir bin Sa’ad bin Tsa’labah bin
Julas bin Zaid bin Malik bin Tsa’labah bin Ka’ab bin al-Khazraj al-Anshariy
al-Khazrajiy, digelar Abu ‘Abdullah al-Madaniy. Kedua orang tuanya
termasuk kalangan sahabat, ibunya bernama ‘Amrah binti Rawahah.

133
Al-Nu’man meriwayatkan hadis dari Nabi saw. juga menerima dari
pamannya ‘Abdullah bin Rawahah, ‘Umar, dan ‘Aisyah. Kemudian riwayat
dari al-Nu’man diterima oleh banyak periwayat, antara lain: anaknya
bernama Muhammad, pembantunya Habib bin Salim, al-Sya’biy,
‘Ubaidillah bin ‘Abdullah bin ‘Utbah, ‘Urwah bin al-Zubair, Ishaq al-
Sabi’iy, Abu Qilabah al-Jarmiy, Abu Salam al-Aswad, Salim bin Abu Ja’ad,
Humaid bin ‘Abd al-Rahman bin ‘Auf, Khaitsamah bin ‘Abd al-Rahman,
Simak bin Harb, al-‘Izar bin Huraits, al-Mufadhdhal bin al-Muhallab bin
Abi Shafrah, Azhar bin ‘Abdullah al-Haraziy, dan lain-lain.
Menurut al-Waqidiy, al-Nu’man lahir di awal bulan ke 14 dari
hijrahnya Rasulullah saw. Ia merupakan anak pertama dari golongan
Anshar yang lahir setelah Rasulullah menetap di Madinah. Menurut Yahya
bin Ma’in, ia tidak meriwayatkan hadis dari Nabi dengan memakai lafal
sami’tu (aku mendengar), kecuali hanya yang diriwayatkan oleh al-Sya’biy
dari al-Nu’man hadis tentang jasad al-mudhghah.
Menurut Abu Nu’aim dan Abu Hatim, al-Nu’man pernah menjadi
Gubernur di Kufa pada masa kekhalifahan Mu’awiyah, selama 9 bulan.
Menurut Mashar dari Sa’id bin ‘Abd al-‘Aziz, ia pernah pula menjadi qadhi
(hakim) di Damaskus menggantikan Fadhalah bin ‘Abid. Menurut al-
Haitsam bin ‘Adiy, setelah Mu’awiyah mencopotnya sebagai Gubernur
Kufa, dia diangkat menjadi pegawai di Hamsh. Menurut Abu Musyhir: :
“Ketika al-Nu’man bin Basyir dipekerjakan di Hamzh, dia kemudian
membaiat Ibn al-Zubair sebagai khalifah, yakni setelah Yazid bin
Mu’awiyah wafat, sewaktu penduduk Hamsh lari mengungsi bersama al-
Nu’man, menyusullah Khalid bin Khaliy al-Kala’iy, lalu membunuh al-
Nu’man. Menurut Khalifah bin Khayyad, peristiwa itu terjadi di awal tahun
65 H. Menurut al-Mufadhdhal al-Ghalabiy, ia terbunuh tahun 66 H.

d. Arti Kosakata dan Syarahan Hadits


Adapun arti beberapa kosakata hadis ini, dapat dikemukakan, antara
lain:
1. Kata ‫َطيَّة‬
ِ ‫ع‬berarti pemberian, dimaknai hibah karena pemberian itu tidak
mengharapkan ganti rugi dari yang diberi.
ْ ُ‫ ت‬berarti
2. Lafadz‫ش ِه َد‬ dipersaksikan, maksudnya pemberian yang
diberikan itu harus mendapat persetujuan mengenai keabsahan
hukumnya dari Rasulullah.
3. Lafadz َ ‫ فَ اتَّقُوا هَّللا‬bermakna takutlah kepada Allah, jangan sampai tidak
sanggup berlaku adil dalam member hibah kepada anak.
4. Kalimat ‫ع ِدلُوا بَ ْينَ أَوْ اَل ِد ُكم‬
ْ ‫ َوا‬maksudnya, berlaku adil pada semua anak yang
dimiliki tidak boleh membeda-bedakan mereka. Ada yang menerima
hibah ada yang tidak diberi. Ada yang jumlahnya banyak ada yang
sedikit.

Hibah itu sendiri dari segi bahasa berasal dari kata ‫وهب – ي وهب – هبة‬
yang berarti menyerahkan. Menurut syariat berarti menyerahkan
kepemilikan terhadap sesuatu dalam kehidupan ini tanpa ada ganti rugi.
Lafadz hibah mengandung beberapa jenis, di antaranya hadiah yang tidak
terbatas, membebaskan dari hutang, shadaqah, athiyah (pemberian), hibah
hutang, dan hibah imbalan. Hibah (hadiah) yang tak terbatas ialah
pemberian yang bertujuan sebagai perwujudan kasih saying seseorang
terhadap orang yang diberi hibah (hadiah) itu. Hibah shadaqah, yang
dimaksudkan hanya untuk mengharapkan pahala akhirat. Hibah athiyah,
ialah hibah yang dilakukan ketika seseorang dalam keadaan sakit yang
dirasakan akan meninggal, yang biasanya athiyah ini berkenaan dengan
wasiat. Hibah hutang ialah yang dimaksudkan untuk membebaskan orang
yang berhutang dari hutangnya, jadi ada kewajiban mengembalikan
sekalipun mungkin tidak sampai kepada jumlah yang dihibahkan. Hibah
imbalan yang dimaksudkan ialah untuk mendapatkan imbalan, yang
135
termasuk dalam jenis jual beli dan memiliki hukum-hukumnya tersendiri.
Di antara nama-nama tersebut, maka hibah yang benar-benar pemberian
murni yang dimaksudkan adalah jenis hibah yang pertama.

Hibah mempunyai beberapa faidah dan hukum, seperti untuk


memupuk amar makruf, saling tolong-menolong, menumbuhkan kasih
saying sesama manusia. Apalagi jika berhibah kepada keluarga atau
kerabat dekat, tetangga atau terhadap orang yang ada permusuhan antara
seseorang dengan orang lain. Dengan keadaan seperti ini akan terjalinm
komunikasi yang harmonis dan mendatangkan manfaat yang banyak.
Hibah termasuk jenis ibadah yang mulia, yang langsung meresap dalam
jiwa orang yang diberi atau yang memberi, ia dapat memperkokoh tali
silaturahim antar keluarga, tetangga, anggota masyarakat atau manusia
pada umumnya.

Khusus ketentuan hadis mengenai perintah berlaku adil kepada


anak-anak ketika berhibah kepada mereka dijelaskan dalam hadis yang
diriwayatkan oleh al-Nu’man bin Basyir ini.

ِ ‫أَ ْعطَانِي أَبِي ع‬


ً‫َطيَّة‬

(Ayahku memberiku suatu hadiah).

Maksudnya, al-Nu’man bin Basyir al-Anshariy menuturkan bahwa


ayahnya (Basyir) telah memberinya athiyah (hibah) secara khusus bagi
dirinya dari sebagian hartanya.
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ِ ‫ُول هَّللا‬ َ ْ‫ت َر َوا َحةَ اَل أَر‬
َ ‫ضى َحتَّى تُ ْش ِه َد َرس‬ ُ ‫ت َع ْم َرةُ بِ ْن‬
ْ َ‫فَقَال‬

( ‘Amrah binti Rawahah berkata, ‘Aku tidak ridha sampai engkau


mempersaksikan kepada Rasulullah saw.)
Tampaknya, ibunya al-Nu’man bernama ‘Amrah binti Rawahah tidak
setuju dengan tindakan suaminya itu, sebelum mendapat legitimasi dari
Rasulullah saw., dengan cara menuntut agar suaminya meminta kesaksian
(persetujuan) dari Nabi saw.
َ ‫ت َر َوا َحةَ َع ِطيَّةً فَأ َ َم َر ْتنِي أَ ْن أُ ْش ِهدَكَ يَا َرس‬
ِ ‫ُول هَّللا‬ ُ ‫ال إِنِّي أَ ْعطَي‬
ِ ‫ْت ا ْبنِي ِم ْن َع ْم َرةَ بِ ْن‬ َ َ‫فَق‬
(Lalu ia berkata, ‘Aku memberi anakku ini suatu pemberian dari ‘Amrah
binti Rawahah. Kemudian ‘Amrah menyuruhku untuk mempersaksikannya
kepadamu, wahai Rasulullah).

Ayah al-Nu'man pun menemui Rasulullah dan menceritakan bahwa


dia telah memberi hibah (athiyah) kepada anaknya yang bernama al-
Nu'man, namun istrinya (ibu al-Nu'man) belum setuju kalau Rasulullah
tidak mengetahui hal itu, karena itu dia menghendaki agar suaminya
menemui Rasulullah untuk meminta kesaksian dari Rasulullah.

َ َ‫قَا َل أَ ْعطَيْتَ َسائِ َر َولَ ِدكَ ِم ْث َل هَ َذا ق‬


‫ال اَل‬
(Rasulullah bersabda, ‘Apakah engkau memberi semua anakmu seperti ini?
(Ayah al-Nu’man berkata, ‘Tidak.).

Setelah ayah al-Nu’man menemui Rasulullah saw. untuk meminta


kesaksian itu. Rasulullah sepertinya mengetahui bahwa ayah al-Nu’man ini
memiliki beberapa orang anak bukan hanya al-Nu’man, sehingga
Rasulullah merasa ada gelagat yang tidak adil dalam tindakan ayah al-
Nu’man ini, karena itu beliau bertanya, “Apakah engkau juga memberikan
pemberian (athiyah) yang sama kepada semua anakmu?” Lalu ayah al-
Nu’man menjawab, “Tidak.”.
Karena pengistimewaan sebagian anak tanpa sebagian yang lain atau
mengutamakan yang satu daripada sebagian yang lain menghilangkan
takwa.
137
Perbuatan itu termasuk suatu kezhaliman serta ketidakadilan, karena di
dalamnya ada berbagai ketidak beresan, karena ia bisa mengakibatkan
putusnya hubungan antara anak-anak yang tidak diutamakan dengan
ayahnya dan menjauhkan mereka darinya serta mengakibatkan
permusuhan di antara sesama saudara.
‫ال فَاتَّقُوا هَّللا َ َوا ْع ِدلُوا بَ ْينَ أَوْ اَل ِد ُك ْم‬
َ َ‫ق‬
(Rasulullah bersabda, ‘Bertakwalah kepada Allah dan berbuat adillah di
antara anak-anakmu.
Karena pertimbangan beberapa kemudharatan inilah Rasulullah saw.
menyuruh ayah al-Nu’man untuk bertakwa kepada Allah dan berbuat
adillah kepada semua anak-anak yang dimiliki. Maksudnya, kalau
masalahnya seperti itu, janganlah kalian meminta persetujuan Nabi atas
ketidakadilan dan kezhaliman.
ُ‫قَا َل فَ َر َج َع فَ َر َّد َع ِطيَّتَه‬
(Al-Nu’man berkata, maka ia (ayahku) kembali lalu mengambil kembali
pemberiannya).
Karena tidak mendapat kesaksian dari Rasulullah maka tidak ada
pilihan bagi Basyir (ayah al-Nu’man) kecuali kembali pemberian tersebut.
Jadi, hibah ayah al-Nu’man yang diberikan kepada al-Nu’man (anaknya) itu
dengan sendirinya batal, karena tidak mendapat persetujuan dari
Rasulullah saw.
Beberapa Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama
Para ulama menyepakati ketentuan yang sama di antara semua anak,
sampai-sampai orang-orang terdahulu menyamakan pelukan di antara
semua anak, karena itu berarti menggambarkan keadilan dan
menumbuhkembangkan cinta kasih di antara anak-anak mereka semua.
Juga dapat membersihkan hati mereka, menjauhkan rasa benci, iri dan
dengki dari anak-anak mereka. Tetapi ulama berbeda pendapat mengenai
hukum menyamakan hibah (pemberian) kepada anak-anak.
Al-Imam Ahmad, al-Bukhariy, Ishaq, al-Tsauriy dan segolongan ulama
lain menyatakan wajib menyamakan semua anak-anak yang dimiliki, dan
haram membeda-bedakan mereka, atau haram mengkhusukan sebagian
daripada sebagian yang lain di antara mereka. Hal ini seperti tampak pada
zhahir hadis ini.
Sementara jumhur ulama berpendapat bahwa menyamakan hibah itu
hanya sebatas hukum sunat. Karena masalah ini hanya di atur dalam Hadis
bukan pada Alquran.
Pendapat yang benar dan tidak perlu diragukan adalah wajib
menyamakan hibah kepada semua anak, karena didasarkan kepada zhahir
hadis ini, sebab di dalamnya ada beberapa kemaslahatan, sementara
kebalikannya akan mendatangkan banyak mudharat.
Dari tekstualisasi hadis juga dipahami bahwa tidak ada perbadaan
antara anak laki-laki dan anak perempuan, yang didasarkan kepada Sabda
Nabi kepada Basyir, “Samakanlah di antara mereka.” Ini merupakan
pendapat jumhur, yang di antara mereka terdapat tiga imam, yaitu Imam
Ahmad, Ibn ‘Uqail, dan al-Haritsiy.
Menurut pendapat Ibn Taimiyah, dengan berpegang pada prinsip
keadilan, maka pembagian suatu pemberian harus mengikuti model
pembagian menurut kewarisan, yaitu bagi anak laki-laki dua kali dari
bagian anak perempuan.
Dalam mengomentari hadis ini, Ali Bassam menegaskan bahwa wajib
berbuat adil dalam hal pemberian hibah di antara semua anak dan haram
mengkhususkan atau mengistimewakan yang satu dari yang lain, selagi
tidak ada suatu sebab yang mengharuskan untuk berbuat seperti itu. Jika
terdapat sebab yang mengharuskan pengkhususan atau pengutamaan
sebagain dari sebagai yang lain, maka hal itu dibolehkan, seperti jika salah
seorang di antara mereka yang sakit, buta atau cacat , yang tentunya
memerlukan biaya pengobatan dan perawatan khusus. Atau ada anggota
keluarga yang sedang membutuhkan biaya studi yang banyak, atau sebab-
139
sebab lainnya. Dalam keadaan seperti ini boleh mengutamakan pemberian
bagi seseorang tanpa yang lain.60
Al-Imam Ahmad telah mengisyatkan hal ini dengan menyatakan
pengkhususan wakaf bagi sebagian di antara anak-anak. Menurutnhya,
“Tidak ada salahnya kalau memang anak yang diutamakan itu memang
membutuhkan, tapi hukumnya makruh jika keadaan mereka sama.
Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah berkata, “Hadis ini dan berbagi atsar
menunjukkan kewajiban berbuat adil. Kemudian dalam kenyataannya akan
muncul dua golongan:
1. Golongan yang membutuhkan pembiayaan untuk kesehatan ketika sakit
atau alasan lain. Keadilan dalam hal ini yaitu dengan memberikan setiap
anak sesuai dengan kebutuhannya, tanpa ada perbedaan antara anak
yang kebutuhannya banyak maupun sedikit.
2. Golongan yang kebutuhan mereka banyak, berupa pemberian, nafkah
atau biaya pernikahan. Tidak ragukan lagi bahwa tidak boleh ada yang
diutamakan.

Dari dua golongan ini boleh jadi muncul golongan ketiga, yaitu jika
salah seorang di antara mereka mempunyai kebutuhan di luar kebiasaan,
seperti jika salah seorang di antara mereka hendak melunasi hutang yang
harus dilunasi, atau karena harus membayar kafarat membunuh, atau
untuk dibelikan maskawin atau nafkah yang harus diberikan kepada istri
dan lain sebagainya. Kewajiban memberikan hibah dengan alasan yang
demikian perlu dipertimbangkan.

e. Pokok-pokok Kandungan Hukum Hadis

Berdasarkan keterangan dan pembahasan yang telah dikemukakan,


maka dapatlah ditarik beberapa kandungan pokok hadis ini, yaitu :

60
Lihat Ali Bassam, op.cit., h. 709.
1. Wajib berbuat adil kepada semua anak dan haram mengutamakan atau
mengistimewakan yang satu dari yang lain, baik anak laki-laki atau
anak perempuan.
2. Ketidakadilan di antara anak-anak termasuk kezaliman yang tidak
diperbolehkan adanya kesaksian untuk suatu ketidakadilan.
3. Kewajiban menarik kembali pemberian yang tidak adil, atau
memberikannya kembali kepada anak-anak dengan pemberian yang
sama.
4. Semua produk hukum yang bertentangan dengan syariat harus
digugurkan, tidak boleh dilaksanakan dan tidak perlu dipertimbangkan
materinya, karena hal itu telah bertentangan dengan ketentuan syariat.

2. Wakaf Hasil Panen Tanah Milik (LM. 1056)

a. Materi Hadis

‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم‬ ‫اب أَص اب أَر خِب‬


َ َّ ‫ض ا َْيَب َر فَ أَتَى النَّيِب‬ً ْ َ َ ِ َّ‫َع ْن ابْ ِن ُع َم َر َر ِض َي اللَّهُ َعْن ُه َم ا أَ ْن عُ َم َر بْ َن اخْلَط‬
‫س ِعْن ِدي ِمْنهُ فَ َما تَأْ ُمُر ب ِِه قَ َال‬ ُّ
َ ‫ب َمااًل قَط أَْن َف‬
ِ
ْ ‫ضا َْيَبَر مَلْ أُص‬ ً ْ ُ َْ َ ‫يَ ْستَأِْمُرهُ فِ َيها َف َق َال يَا َر ُس‬
‫ول اللَّ ِه إِيِّن أَصبت أَر خِب‬
‫َّق هِب َا‬
َ ‫صد‬ َ َ‫ث َوت‬ ُ ‫ور‬ َ ُ‫ب َواَل ي‬ُ ‫وه‬
‫إِ ْن ِشْئت حبست أَصلَها وتَص َّدقْت هِب ا قَ َال َفتَصد َ هِب‬
َ ُ‫َّق َا عُ َمُر أَنَّهُ اَل يُبَ اعُ َواَل ي‬ َ َ َ َ َ َ ْ َ ْ ََ َ
‫اح َعلَى َم ْن َولَِي َه ا أَ ْن يَأْ ُك َل‬ ِ َّ ‫الس بِ ِيل و‬ ِ ِ ‫يِف الْ ُف َق ر ِاء ويِف الْ ُق ر ويِف ِّ ِ يِف‬
َ َ‫الض ْيف اَل ُجن‬ َ َّ ‫الرقَ اب َو َس ب ِيل اللَّه َوابْ ِن‬ َ ‫ْ ىَب‬ َ َ
‫ (رواه البخاري و‬. ‫ين َف َق َال َغْي َر ُمتَأَثِّ ٍل َم ااًل‬ ِ ِ ِ ُ ْ‫وف ويُطْعِم َغْي ر ُمتَم ِّو ٍل قَ َال فَ َح َّدث‬ ِ ِ
َ ‫ت بِه ابْ َن س ري‬ َ َ َ َ ‫مْن َه ا بِالْ َم ْعُر‬
)‫مسلم وغريمها‬

Artinya:

141
(Hadis diriwayatkan) dari Ibn ‘Umar ra. Sesungguhnya ‘Umar bin al-
Khaththab mendapatkan sebidang tanah di Khaibar. Lalu ia datang
kepada Nabi saw. Yang meminta pendapatnya tentang tanah tersebut.
Ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku mendapatkan sebidang tanah di
Khaibar, yang aku belum pernah mendapatkan harta yang paling
berharga bagiku daripada sebidang tanah tersebut. Maka apakah yang
akan engkau perintahkan?” Rasulullah saw. Bersabda, “Kalau engkau
ingin, engkau wakafkan pokoknya dan engkau sedekahkan (hasil panen
tanahnya).” Ibn ‘Umar berkata, “Maka ‘Umar menyedekahkan (hasil
panen tanahnya) sedangkan pokoknya tidak dijual, tidak dihibahkan,
dan tidak diwariskan. Ia menyedekahkan (hasil panen tanah tersebut)
kepada orang-orang miskin, kerabat dekat, membebaskan hamba
sahanya, (biaya perang) di jalan Allah, untuk orang yang sedang dalam
perjalanan dan tamu. Tidak berdosa bagi orang yang mengurusnya
untuk makan dari hasilnya dengan cara yang baik dan member makan
(keluarganya) tanpa menjadi kaya karenanya.” Periwayat hadis ini
berkata, “Aku lalu menceritakan hadis ini kepada Ibn Sirrin. Maka ia
berkata, “Yaitu tidak mengumpul-ngumpulknnya menjadi hartanya’.”
(H.R. Al-Bukhari Muslim, dan selainnya).

b. Takhrij al-Hadits

1. Al-Bukhari, kitab al-syuruth, bab syuruth fi al-waqf, hadis no. 2532,


kitab al-washiyat, bab qaul Allah ta’ala wa ibtalu al-yatama hatta idza
balagha al-nikah, hadis no. 2558, bab al-waqf li al-ghina wa al-faqir wa
al-dhayif, hadis no. 2565.
2. Muslim, kitab al-washiyat, bab al-waqf, hadis no. 3085.
3. Ibn Majah, kitab al-ahkam, bab min al-waqf, hadis no. 2387, 2388.
4. Ahmad bin Hanbal, kitab musnad al-muktisirin min al-shahabah, bab
musnad ‘Abdullah bin ‘Umar, hadis no. 4379, bab baqi musnad al-
sabiq, hadis no. 5805.
c. Biografi Singkat Sahabat Nabi Periwayat hadis

(‘ABDULLAH BIN ‘UMAR)

Nama lengkap Ibn ‘Umar sebagai periwayat pertama hadis di atas


adalah Abu ‘Abd al-Rahman ‘Abdullah bin ‘Umar bin al-Khaththab al-
Qurasyi al-Adawiy al-Makkiy. Pada saat masih usia belia, dia bersama
ayahnya ‘Umar bin al-Khaththab memeluk Islam. Juga bersama ayahnya.
Dia hijrah ke Madinah.

Ketika terjadi Perang Badar, ‘Abdullah bin ‘Umar berhasrat untuk


ikut serta dalam peperangan itu. Namun karena dia waktu itu masih anak-
anak, maka Nabi saw. melarangnya. Dia mulai ikut serta dan menyaksikan
langsung jalannya peperangan bersama Nabi tatkala terjadi Perang
Khandaq. Ketika peperangan antar umat Islam terjadi sesudah Nabi saw.
wafat, Ibn ‘Umar berusaha keras untuk tidak terlibat.

Pada waktu ‘Umar bin al-Khaththab membentuk tim (Dewan)


pemilihan khalifah pengganti ‘Umar, ‘Abdullah ikut diangkat sebagai salah
satu anggota tim. Dalam tim itu, ‘Abdullah hanya diizinkan oleh ‘Umar
untuk memilih dan tidak diizinkan untuk dipilih sebagai khalifah.

‘Abdullah bin ‘Umar dikenal sebagai salah seorang sahabat Nabi


yang sangat patuh dalam menjalankan sunnah Nabi. Ibn ‘Umar pernah
berjalan memakai tongkat, padahal dia tidak berhalangan untuk berjalan
tanpa memakai tongkat. Kemudian berteduh di sebuah pohon. Ketika
orang melihat dan bertanya, mengapa dia berlaku demikian, Ibn ‘Umar
menjawab bahwa dia lakukan itu karena Rasulullah saw. ketika masih
hidup pernah berjalan dengan tongkat dan berteduh di tempat tersebut.
143
Ibn ‘Umar dikenal sebagai salah seorang sahabat Nabi yang sangat
dermawan. Pada suatu saat, Ibn ‘Umar bersedekah uang sebanyak 30.000
dirham sekaligus, suatu jumlah yang tidak sedikit untuk ukuran saat itu.

Di bidang periwayatan hadis ‘Abdullah Ibn ‘Umar termasuk salah


seorang sahabat dari kelompok al-Muktsirun fi al-Hadits. Ibn ‘Umar
menduduki peringkat kedua setelah Abu Hurairah dalam periwayatan
hadis. Hadis yang diriwayatkan Ibn ‘Umar berjumlah 2630 buah hadis.
Yang diriwayatkan oleh al-Bukhariy dan Muslim sejumlah 2630. Yang
diriwayatkan oleh al-Bukhariy sendiri berjumlah 80 buah hadis, dan yang
diriwayatkan oleh Muslim sendiri sebanyak 31 buah hadis.

Selain Ibn ‘Umar meriwayatkan hadis langsung dari Nabi saw., dia
juga menerima hadis dari para sahabat lainnya, terutama dari para
Khulafa’ al-Rasyidin, Hafshah (saudaranya), Abu Hurairah, dan dari
‘Aisyah. Sedangkan para periwayat yang menerima dan meriwayatkan
hadis dari Ibn ‘Umar antara lain, selain dari tabi’in seperti anaknya, dan
pelayannya, Nafi’ bin al-Faqih, Sa’id bin al-Musayyab, Abu Salamah, Salim,
Mus’ab bin Sa’ad, dan lain-lain. Ada juga dari kalangan sahabat, seperti
Ibn ‘Abbas, dan Jabir.61

Sebagai periwayat pada tingkat sahabat, Ibn ‘Umar telah diberi


tanggapan terhadap pribadinya oleh beberapa periwayat antara lain, yaitu :
1) Hafshah (saudara perempuan ‘Abdullah bin ‘Umar) : Saya mendengar
Rasulullah saw. bersabda : “’Abdullah adalah seorang yang saleh”.
2) ‘Abdullah bin Mas’ud : Sesungguhnya pemuda Quraisy yang paling
mampu mengendalikan diri dari dunia adalah ‘Abdullah.

61
Lihat Ibn Hajr al-Asqalaniy, al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah, Juz II, h. 343, Jamal al-Din
Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mizziy, Tahdzib al-Kamal fi Asma’ al-Rijal, Juz X, (Bairut : Dar al-Fikr, 1994
M), h. 356-361.
3) Al-Zuhriy : Tidak ada satupun orang yang menyamai kecerdasan
‘Abdullah bin ‘Umar.
4) Malik dan al-Zuhriy : Ibn ‘Umar adalah orang yang tidak pernah lalai dari
perintah Rasul dan sahabatnya.62
Pada masa hidupnya, orang Islam yang bernama ‘Abdullah berjumlah
lebih dari seratus orang. Sebagian dari mereka dikenal sebagai orang
yang banyak meriwayatkan hadis dan berpengetahuan mendalam di
bidang agama slam. Untuk itu, ulama lalu membuat julukan Abadillah
untuk ‘para ‘Abdullah tertentu. Mereka itu adalah:

1. ‘Abdullah bin ‘Umar bin al-Khaththab


2. ‘Abdullah bin ‘Abbas bin ‘Abd al-Muthallib
3. ‘Abdullah bin Zubair bin ‘Awwam
4. ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash.

‘Abdullah bin Mas’ud dalam hal ini tidak termasuk dalam kelompok
Abadillah tersebut. ‘Abdullah bin ‘Umar wafat di Makkah pada tahun 73
H. dalam usia sekitar delapan puluh tahun.

d. Arti Kosakata dan Syarahan Hadits

Adapun arti beberapa kosakata hadis ini, dapat dikemukakan, antara


lain:
ً ْ‫أَر‬, tanah di Khaibar, yaitu sebuah wilayah di bagian
1. Kalimat ‫ض ا بِخَ ْيبَ َر‬
utara Madinah, sejauh 160 kilometer, yang selalu ramai karena banyak
penduduknya dan tanamannya subur. Itu merupakan wilayah orang-
orang Yahudi, hingga Rasulullah saw. menaklukannya pada tahun
ketujuh setelah hijrah. Beliau menyerahkan penanganan tanamannya
62
Lihat ibid, Ibn Hajr al-Asqalani, III, h. 579-581; Ibn Hajr al-Asqalani, al-Ishabah,
op.cit., h. Ibn Atsir, op.cit., III, h. 341; Al-Mizzi, Tahzib al-Kamal, ibid., XV,h.339; Khalid
Muh}ammad Khalid, op.cit., h. 95-99; Ibrahim Dasuqi al-Sahawi, op.cit., h. 186.
145
kepada penduduk setempat, hingga pada masa kekhalifahan Umar, dia
mengusir orang-orang Yahudi itu. Adapun tana yang menjadi bagian
‘Umar disebut tamghu.
2. Kalimat ‫ستَأْ ِم ُرهُ فِيهَا‬ ْ َ‫ي‬, artinya meminta pendapat tentang penanganannya.
Maksudnya ‘Umar meminta pendapat Rasulullah mengenai cara
pengelolaan hasilnya.
3. Kalimat ‫س ِع ْن ِدي ِم ْنه‬ َ َ‫أَ ْنف‬, artinya yang lebih baik darinya. Al-Nafis, artinya
sesuatu yang berharga dan bagus.
4. Kalimat ‫ح‬ َ ‫اَل ُجنَا‬, artinya tiada salah dan dosa.
5. Kalimat‫ َغ ْي َر ُمتَ َم ِّو ٍل أو َغ ْي َر ُمتَأَثِّ ٍل‬, artinya mengambil harta dengan cara yang
melebihi kebutuhan. Ta’atsul, artinya mengambil harta dan
menumpuknya, sehingga seakan-akan harta itu sudah lama berada di
tangannya.63

Hadis ini membicarakan mengenai cara penanganan tanah milik


‘Umar yang diperolehnya sebagai ghanimah dalam Perang Khaibar.

‫اب أَرْ ضًا بِ َخ ْيبَ َر‬


َ ‫ص‬َ َ‫ب أ‬
ِ ‫أَ ْن ُع َم َر ْبنَ ْالخَطَّا‬
(Sesungguhnya ‘Umar bin al-Khaththab mendapatkan sebidang tanah
di Khaibar.)

‘Umar bin al-Khaththab mendapatkan tanah di Khaibar, yang nilainya


sebanyak seratus saham, dan itu merupakan hartanya yang paling banyak
dan berharga karena berada di daerah yang subur . ‘Umar menghendaki
tanahnya itu dimanfaatkan untuk kepentingan yang kekal dan sebagai amal
jariyah.

63
Lihat Ali Bassam, op.cit., h. 697.
‫ط‬ ِ ُ‫ض ا بِخَ ْيبَ َر لَ ْم أ‬
ُّ َ‫ص بْ َم ااًل ق‬ ً ْ‫ْت أَر‬ َ َ‫ُول هَّللا ِ إِنِّي أ‬
ُ ‫صب‬ َ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَ ْستَأْ ِم ُرهُ فِيهَا فَق‬
َ ‫ال يَا َرس‬ َّ ِ‫فَأَتَى النَّب‬
َ ‫ي‬
‫س ِع ْن ِدي ِم ْنهُ فَ َما تَأْ ُم ُر بِ ِه‬ َ َ‫أَ ْنف‬

(Lalu ia datang kepada Nabi saw. Yang meminta pendapatnya tentang


tanah tersebut. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku mendapatkan sebidang
tanah di Khaibar, yang aku belum pernah mendapatkan harta yang paling
berharga bagiku daripada sebidang tanah tersebut. Maka apakah yang
akan engkau perintahkan?)

Kemudian ‘Umar menemui Rasulullah saw. karena didorong oleh


keinginannya untuk mendapatkan kebajikan seperti yang disebutkan
dalam QS.Ali ‘Imran: 92,

              
 
Terjemahnya:
kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),
sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan
apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah
mengetahuinya.

Ayat ini bermakna bahwa salah satu kebajikan yang paling utama
adalah mewakafkan harta yang paling baik dan paling berharga. ‘Umar
merasa memiliki peluang merealisasikan maksud ayat tersebut karena dia
mempunyai se bidang tanah yang sangat berharga di Khaibar.

Oleh karena itu, ‘Umar menemui Rasulullah untuk meminta pendapat


beliau mengenai keutamaan menyedekahkan tanah miliknya itu, karena
‘Umar percaya terhadap ketepatan nasehat Rasulullah saw.

147
ُ ‫ُور‬
‫ث‬ ُ ‫ق بِهَا ُع َم ُر أَنَّهُ اَل يُبَا‬
َ ‫ع َواَل يُوهَبُ َواَل ي‬ َ ‫ص َّد‬ َ َ‫ال إِ ْن ِش ْئتَ َحبَسْتَ أَصْ لَهَا َوت‬
َ َ‫ص َّد ْقتَ بِهَا قَا َل فَت‬ َ َ‫ق‬

(Rasulullah saw. Bersabda, “Kalau engkau ingin, engkau wakafkan


pokoknya dan engkau sedekahkan (hasil panen tanahnya).” Ibn ‘Umar
berkata, “Maka ‘Umar menyedekahkan (hasil panen tanahnya) sedangkan
pokoknya tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan).

Atas permintaan itu, maka Rasulullah memberi petunjuk mengenai


cara bersedekah yang paling baik dan kekal, yaitu dengan cara menahan
tanahnya dan mewakafkan hasilnya, sehingga tanah itu tidak boleh dijual,
dihadiahkan, diwariskan atau lainnya dan berbagai macam penanganan,
yang dapat berakibat pemindahan hak milik atau menjadi sebab pengalihan
dari tujuan utama. Makna wakaf diambil dari Rasulullah di atas, yakni
menahan modal atau asal harta dan menyalurkan hasil penanganannya.
Dari pernyataan “Tanahnya tidak dijual dan tidak pula diwariskan”, dapat
dipahami hukum pemanfaatan wakaf, yakni kepemilikannya tidak boleh
dialihkan dan juga tidak boleh diurus yang menjadi sebab pengalihan
kepemilikan, tapi harus dijaga seperti apa adanya.

‫ْف‬ َّ ‫يل َوال‬


ِ ‫ضي‬ ِ ‫ق بِهَا فِي ْالفُقَ َرا ِء َوفِي ْالقُرْ بَى َوفِي ال ِّرقَا‬
ِ ِ‫ب َوفِي َسبِي ِل هَّللا ِ َواب ِْن ال َّسب‬ َ ‫ص َّد‬
َ َ‫َوت‬

(Ia menyedekahkan (hasil panen tanah tersebut) kepada orang-orang


miskin, kerabat dekat, membebaskan hamba sahanya, (biaya perang) di
jalan Allah, untuk orang yang sedang dalam perjalanan dan tamu).

Hasil wakaf itu nanti disedekahkan kepada orang-orang fakir dan


miskin, untuk kerabat dan keluarga, disisikan pula memerdekakan para
budak, atau untuk melunasi diyat dari orang-orang yang wajib
mengeluarkannya. Juga untuk membantu para pejuang di jalan Allah demi
meninggikan kalimat Allah dan menolong agama-Nya, untuk memberi
makan para musafir yang kehabisan bekal, terutama yang berasal dari luar
jauh, memberi makan para tamu, karena memuliakan tamu termasuk
bagian dari iman kepada Allah. Maksudnya, penyaluran wakaf menurut
syariat, yaitu untuk berbagai kepentingan umum, dan pribadi, seperti
untuk diberikan kepada kaum kerabat, memerdekakan budak, jihad fi
sabilillah, menjamu tamu, untuk orang-orang fakir miskin, membangun
masjid, sekolah, tempat penampungan, rumah sakit dan lain-lain, menurut
ketentuan yang dikehendaki orang yang mewakafkan, selagi tidak ada
penyimpangan dan kezhaliman. Dari penggalan hadis tersebut, terkandung
makna kebajikan berbuat baik kepada kaum kerabat, karena menyantuni
mereka dengan memberi sedekah akan mendatangkan pahala dan
mempererat tali silatuhim.

‫ُط ِع َم َغ ْي َر ُمتَ َم ِّو ٍل أو َغي َْر ُمتَأَثِّ ٍل َمااًل‬ ِ ‫َاح َعلَى َم ْن َولِيَهَا أَ ْن يَأْ ُك َل ِم ْنهَا بِ ْال َم ْعر‬
ْ ‫ُوف َوي‬ َ ‫اَل ُجن‬
(Tidak berdosa bagi orang yang mengurusnya untuk makan dari hasilnya
dengan cara yang baik dan member makan (keluarganya) tanpa menjadi
kaya karenanya.” Periwayat hadis ini berkata, “Aku lalu menceritakan
hadis ini kepada Ibn Sirrin. Maka ia berkata, “Yaitu tidak mengumpul-
ngumpulknnya menjadi hartanya’).

Karena tanah itu membutuhkan orang yang menangani dan


mengurusnya, mengairi dan mengolahnya, maka Rasulullah saw.
membolehkan orang yang mengurusnya untuk mengambil hasil dari tanah
itu dengan cara yang layak dan benar, memakan sesuai yang butuhkannya,
dan juga digunakan untuk memberi makan teman, tanpa mengambilnya
melebihi kebutuhan. Karena hasil tanah itu diperuntukkan sebagai infak di
jalan kebaikan bukan untuk memperkaya diri dan untuk ditumpuk.

149
Wakaf berasal dari bahasa Arab yaitu al-waqf, dari kata kerja waqafa,
yang berarti menahan, mencegah, menghentikan dan berdiam di tempat.
Kata al-waqf juga semakna dengan al-habs bentuk mashdar dari kata kerja
habasa yang berarti tertahan atau terpenjara. Kermudian istilah waqf pada
awalnya menggunakan kata al-habs. Hal tersebut diperkuat dengan adanya
riwayat hadis yang menggunakan istilah al-habs untuk waqf, tapi kemudian
yang berkembang adalah istilah waqf disbanding dengan istilah al-habs.

Bagi mayoritas umat Islam di Indonesia, pengertian wakaf yang


umum diketahui antara lain: “menahan harta yang dimanfaatkan tanpa
hilang bendanya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap
benda tersebut, disalurkan pada sesuatu yang mubah(tidak haram).

Imam Abu Hanifah mendefinisikan wakaf dengan “menahan suatu


bentuk yang kepemilikannya tetap dimiliki oleh si pewakaf, akan tetapi
manfaatnya disedekahkan untuk kepentingan umum.”

Ulama Syafi’iyah menyebutkan” Wakaf adalah menahan harta yang


dapat dimanfaatkan dengan tetap menjaga keutuhan barangnya, terlepas
dari campur tangan wakif dan lainnya, dan hasilnya disalurkan untuk
kebaikan, semata-mata untuk taqarrub kepada Allah swt.”

Ulama Hanabilah mendefinisikan wakaf adalah “menahan asal


(pokok harta) dan menyalurkan hasilnya.” Demikian pula Ibn Qudamah dan
al-Mughniy. Deifinisi ini yang dianggap paling umum dan menjadi pilihan
utama, karena pengertian ini sesungguhnya adalah penukilan dari
pernyataan Nabi kepada ‘Umar bin al-Khaththab, yaitu “ Menahan pokok
harta dan menyalurkan hasilnya”.

Sedangkan dalam redaksi Undang-Undang Wakaf No. 41 tahun 2004,


disebutkan sebagai berikut: “Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang
atau kelompok orange atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari
benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna
kepentingan ibadat, atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran
agama Islam.” Definisi ini juga seperti yang terdapat dalam Kompilasi
Hukum Islam.

Beberapa Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama

Menurut al-Qurthubiy bahwa menarik kembali wakaf bertentangan


dengan ‘ijma. Al-Imam Abu Hanifah mengeluarkan pendapat yang
kontradiktif dengan pendapat al-Qurthubiy. Menurut Abu Hanifah boleh
menjual wakaf dan boleh menarik kembali harta yang telah diwakafkan.
Pendapat ini tentunya bertentangan dengan hadis ini. Karena itulah
rekannya, Abu Yusuf berkata, “Sekiranya Abu Hanifah mendengar hadis
‘Umar ini, tentu dia akan berpendapat sama dengan yang dimaksud dalam
hadis ini dan akan menarik kembali pendapatnya tentang
diperbolehkannya menjual wakaf.”

Imam Malik dan al-Syaf’iy menyatakan keharusan menjaga wakaf


dan tidak boleh dijual dalam keadaan bagaimana pun, berdasarkan redaksi
ُ ‫( اَل يُبَا‬Tanahnya tidak boleh dijual).”
hadis, “‫ع‬

Sedangkan al-Imam Ahmad menyatakan pendapat yang moderat,


bahwa tidak boleh menjual wakaf dan menggantinya kecuali jika tidak
mendatangkan manfaat apa pun secara keseluruhan, tidak dapat
dikembangkan dan diambil kemaslahatannya. Dalam keadaan seperti ini,
boleh menjualnya dan menukarnya dengan yang lain. Pendapat ini
didasarkan kepada tindakan ‘Umar bin al-Khaththab, ketika dia mendengar
bahwa baitul-mal yang berada di kufah dalam keadaan lubang-lubang.

151
Maka ‘Umar menulis surat kepada Sa’ad yang isinya:
“Pindahkanlah masjid yang berada ditamarin dan bangunlah Baitul-Mal
diarah kiblat masjid,karena di dalam masjid masih ada tempat untuk
shalat.
Tindakan ‘Umar bin al-Khaththab ini disaksikan para sahabat dan
tak seorang pun yang mengingkarinya. Jadi hal semacam ijma’.

Hal ini serupa dengan hewan kurban yang lemah sebelum tiba di
tempat penyembelihan,sehingga bisa langsung disembelih pada saat itu
tanpa menunggu hingga tiba di tempat penyembelihannya, agar tidak
kehilangan manfatnya secara keseluruhan.

Ibn ‘Uqail berkata, “Wakaf itu berlaku secara terus-menerus. Jika


tidak memungkinkan untuk memeliharanya secara berkelanjutan dalam
gambaran secara khusus, maka kita harus menjaga tujuannya, yaitu
memanfaatkannya secara berkelanjutan dalam rupa lain. Penggantinya
diposisikan seperti barang aslinya. Jika kita membiarkan wakaf
menganggur, berarti menyia-nyiakan tujuan.”

Syaikhul-Islam Ibn Taimiyah berkata, “Jika dibutuhkan,maka harus


dilakukan penggantian yang serupa dengan wakaf. Jika tidak dibutuhkan,
maka dapat diganti dengan sesuatu yang lebih baik lagi, agar tampak
kemaslahatannya.”

Syaikh juga menyebutkan bahwa boleh mengganti atau menukar


wakaf, meskipun berupa masjid, dengan pengganti yang semisal atau
bahkan yang lebih baik lagi. Begitu pula mengganti hewan kurban dan
sesuatu yang dinadzarkan. Caranya dengan mencarikan penggantinya,
atau dijual lalu dibelikan yang lain lagi dengan harga penjualan itu, kecuali
tiga masjid, yang tidak boleh diganti posisinya, tapi boleh ditambahi atau
ganti bangunannya dan lain-lain.

Menurut Syaikh ‘Abdurrahman ‘Ali Sa’diy, bahwa jika sesuatu yang


diwakafkan mengalami penurunan fungsi dan manfaatnya semakin sedikit,
sementara yang lain lebih bermanfaat bagi orang-orang yang diberi wakaf,
maka ada dua riwayat dari Imam Ahmad. Pendapat pertama yang paling
masyhur adalah pelarangannya. Maksudnya, larangan menjual dan
menukarnya. Pendapat kedua adalah kebolehannya, ini diperpegangi
oleh Ibn Taimiyah, dan diterapkan di seluruh pengadilan di Saudi Arabia.
Jika pengadilan memutuskan bahwa menjual atau mengganti wakaf
mendatangkan manfaat dan kemaslahatan, maka dibolehkan dan diizinkan
nazhir untuk melaksanakannya. Jika pengadilan memutuskan tidak boleh,
maka tidak perlu melaksanakannya. Tapi dalam keadaan seperti ini nadzir
tidak boleh menjualnya sendiri, tapi dia harus menyerahkannya kepada
hakim atau pejabat berwenang, harus berusaha mencari yang paling
bermanfaat. Karena kalau dilakukan sendiri oleh nazhir dikhawatirkan
akan terjadi penyelewengan, karena itu perlu diserahkan kepada hakim.

Inilah yang berlaku di semua pengadilan Saudi, bahwa wakaf tidak


boleh dijual kecuali dengan seizin pengadilan agama. Bahkan perlu ada
lembaga pengadilan khusus yang mengawasi keputusan hakim, apakah
keputusan pengadilan sudah sejalan dengan aturan hukum syariat atau
tidak. Tanpa prosedur ini, maka wakaf tidak boleh diapa-apakan, apalagi
menjurus kepada pengalihan hak milik.

e. Pokok-pokok Kandungan Hukum Hadis

153
Berdasarkan keterangan dan pembahasan yang telah dikemukakan,
maka dapatlah ditarik beberapa kandungan pokok hadis ini, yaitu :

1. Wakaf ialah suatu barang yang tetap ada setelah dimanfaatkan.


Adapun untuk sesuatu yang sirna setelah diambil manfaatnya
merupakan shadaqah, tidak termasuk dalam masalah wakaf.
2. Dibolehkan bagi nadhir wakaf untuk memakan dari hasil tanah wakaf
dengan cara yang ma’ruf dan menurut kepatutan, yaitu mengambil
sekedar kebutuhan, tidak bermaksud mengambil harta darinya, dan
juga dapat digunakan untuk menjamu tamu atau teman dengan cara
ma’ruf pula.
3. Keharusan orang yang belum mendapatkan penyelesaian suatu
masalah meminta nasihat (bermusyawarah) dengan orang yang
memiliki charisma, yaitu para alim ulama yang tekun beramal dan
memiliki kompetensi mengenai masalah yang disampaikan.
4. Yang mesti dilakukan oleh orang yang dimintai pandangannya ialah
memberi nasihat, yang menurutnya paling utama dan paling baik,
karena agama itu merupakan nasihat.

Latihan

Untuk memperdalam pemahaman anda mengenai materi pada bagian


pernikahan, dipersilahkan mengerjakan latihan berikut:
1. Buat rumusan tentang perintah berhibah kepada anak secara adil.
2. Buat uraian singkat mengenai sabab al-wurud hadis tersebut.
3. Buat rumusan tentang perbedaan antara wakaf dan shadaqah.
4. Buat rumusan pandangan ulama mengenai wakaf yang dijual dan ditukar
dengan yang lain.

Rangkuman
1. Wajib berbuat adil dalam berhibah kepada anak, tidak boleh ada yang
diistimewakan, karena hal itu merupakan suatu kezaliman dan dapat
menimbulkan kecemburuan satu sama lain.
2. Wakaf ialah suatu barang yang tetap ada setelah dimanfaatkan. Adapun untuk
sesuatu yang sirna setelah diambil manfaatnya merupakan shadaqah.
3. Abu Hanifah mengatakan boleh menjual menarik harta wakaf, namun Imam al-
Syafi’iy ulama menganggap pendapat itu bertentangan dengan hadis tentang
larangan menjual harta wakaf, karena itu tidak boleh menjual wakaf dengan
alasan apapun. Imam Ahmad mengemukakan tidak boleh menjual wakaf dan
menggantinya kecuali jika tidak mendatangkan manfaat secara keseluruhan,
tidak dapat dikembangkan dan diambil kemaslahatannya. Dalam keadaan
seperti ini, boleh menjualnya dan menukarnya dengan yang lain..

Tes Formatif

1. Tulis sebuah hadis lengkap dengan artinya mengenai perintah berhibah


kepada anak secara adil.
2. Uraikan secara singkat kasus yang menjadi sabab al-wurud al-hadits tentang
berbuat adil dalam berhibah kepada anak.
3. Apakah boleh seorang yang telah mewakafkan hartanya mengambil manfaat
dari hasil panen tanah yang diwakafkan itu.
4. Kemukakan alasan ulama yang membolehkan dan melarang menjual harta
yang telah diwakafkan.

Kunci Jawaban Tes Formatif

1. Hadis mengenai perintah berhibah kepada anak secara adil, yaitu:

155
ِ ‫س و َل هَّللا‬ُ ‫ُش ِه َد َر‬
ْ ‫ضى َحتَّى ت‬ َ ‫احةَ اَل أَ ْر‬ َ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْن ُه َما َو ُه َو َعلَى ا ْل ِم ْنبَ ِر يَقُو ُل أَ ْعطَانِي أَبِي َع ِطيَّةً فَقَالَتْ َع ْم َرةُ بِ ْنتُ َر َو‬ ِ ‫شي ٍر َر‬ ِ َ‫عن النُّ ْع َمانَ بْنَ ب‬
ِ ‫س و َل هَّللا‬ ُ َ َ َ ً َ
ْ ‫احة َع ِطيَّة فأ َم َر ْتنِي أنْ أ‬
ُ ‫ش ِه َد َك يَا َر‬ َ ‫ت َر َو‬ َ َ َ
ِ ‫سلَّ َم فقَا َل إِنِّي أ ْعطيْتُ ا ْبنِي ِمنْ َع ْم َرةَ بِ ْن‬َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ِ ‫سو َل هَّللا‬ َ
ُ ‫سلَّ َم فَأتَى َر‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ
َ َ َ َ ُ ‫اَل‬ َ ُ ‫هَّللا‬ ُ َّ َ َ ‫اَل‬
)‫سائِ َر َول ِد َك ِمث َل َهذا قا َل قا َل فاتقوا َ َوا ْع ِدلوا بَيْنَ أ ْو ِدك ْم قا َل ف َر َج َع ف َر َّد َع ِطيَّتهُ (رواه البخاري و مسلم‬ َ َ ْ َ َ
َ َ‫قَا َل أ ْعطيْت‬َ

Artinya:(Hadis diriwayatkan) dari al-Nu’man bin Basyir ra. Ketika ia di atas


mimbar berkata: ‘Ayahku memberiku suatu hadiah.’ Maka ‘Amrah binti
Rawahah berkata, ‘Aku tidak ridha sampai engkau mempersaksikan kepada
Rasulullah saw.’ Maka ayahku datang kepada Rasulullah saw., lalu ia berkata,
‘Aku memberi anakku ini suatu pemberian dari ‘Amrah binti Rawahah.
Kemudian ‘Amrah menyuruhku untuk mempersaksikannya kepadamu, wahai
Rasulullah.’ Rasulullah bersabda, ‘Apakah engkau memberi semua anakmu
seperti ini?’ Ayah al-Nu’man berkata, ‘Tidak.’ Rasulullah bersabda,
‘Bertakwalah kepada Allah dan berbuat adillah di antara anak-anakmu.’ Al-
Nu’man berkata, maka ia (ayahku) kembali lalu mengambil kembali
pemberiannya. (H.R. Al-Bukhariy, Muslim).
2. Sabab al-wurud hadits tentang berbuat adil dalam berhibah kepada anak,
yakni, sehubungan dengan kasus ayahandanya al-Nu’man, yaitu al-Basyir
memberi suatu hadiah (athiyah) kepada al-Nu’man. Lalu ibu al-Nu’man
bernama ‘Amrah binti Rawahah kurang setuju tindakan al-Basyir itu, lalu
menghendaki agar pemberian itu disetujui dahulu oleh Rasulullah saw. Ketika
al-Basyir melaporkan kasus itu kepada Rasulullah, beliau bertanya kepada al-
Basyir apakah engkau member anakmu seperti itu?, Ayah al-Nu’man berkata,
tidak, maka Rasulullah bersabda : Bertakwalah kepada Allah dan berbuat
adillah di antara anak-anakmu.
3. Dibolehkan seorang yang telah mewakafkan hartanya untuk mengambil
manfaat dari hasil panen tanah tersebut secara tidak berlebihan, baik untuk
diberi makan kepada tamu atau untuk orang yang dalam perjalanan. Orang
yang mengurus pengelolaan tanah wakaf dapat meimakan hasil panennya
secara layak dan benar, boleh untuk menjamu tamunya dan lain-lain selama
tidak menyimpang dari syariat.
4. Alasan ulama yang membolehkan menjual wakaf karena menganggap hadis ini
bukan sebagai dalil larangan menjual harta wakaf. Sementara ulama yang
melarang menjual kembali wakaf yakni berpegang pada hadis ini yang secara
tesktual melarang menjual atau mewariskan harta wakaf. Ulama yang
membolehkan menjual atau mengganti harta wakaf dengan catatan wakaf itu
sudah tidak produktif, dan fungsinya sudah harus diganti dengan fungsi lain
yang lebih bermanfaat.

BAGIAN IV
HAKIM DAN PERADILAN

A.Gambaran Singkat Mengenai Materi Kuliah

Materi kuliah ini membahas mengenai beberapa topik hadis yang


berkenaan dengan hakim dan peradilan, yang terdiri dari hadis tentang
tanggungjawab hakim, ijtihad hakim, tata cara mengadili perkara, upaya
mendamaikan pihak-pihak yang berperkara, pihak yang harus dimenangkan
157
dalam perkara, keputusan hakim berdasarkan keterangan saksi, sumpah bagi
tergugat, dan hadis tentang keputusan hakim tanpa alat bukti. Pengajian materi
dimulai dengan menampilkan teks matn hadis disertai arti hadis bersama dengan
periwayat pertama dan mukharrijnya.

Pemaparan takhrij al-hadits dan biografi singkat sahabat Nabi periwayat


hadis menjadi materi yang diberikan untuk memperoleh gambaran mengenai
data para mukharrij yang menghimpun hadis ini, juga untuk mengetahui
kapabilitas sahabat Nabi yang meriwayatkan hadis ini.

Penjelasan mengenai pengertian menurut bahasa suatu lafal atau kalimat


dalam hadis menjadi pembahasan dimaksudkan untuk memperoleh makna
kosakata lafadz tertentu sebelum akhirnya hadis-hadis yang tercakup dalam
bagian hakim dan peradilan ini dijelaskan syarahannya, dan di analisa hal-hal
yang terkait dengan temanya. Akhirnya akan disimpulkan kandungan pokok
hukum setiap hadis yang di bahas.

B. Pedoman Mempelajari Materi

Baca dengan baik materi teks hadis dengan artinya. Perhatikan dan
sebutkan lafadz-lafadz yang dapat dipakai dalam menelesuri takhrij al-hadits.
Perhatikan ketekunan setiap sahabat yang ditampilkan biografinya. Buat
kesimpulan dari segi keadilan mereka. Buat intisari setiap hadis yang dibahas,
pendapat-pendapat ulama yang terkait dengan materi hadis. Pahami dengan baik
isi hadis tersebut dan berilah kandungan pokok hukum yang dibahas.

C.Tujuan Pembelajaran

1. Mahasiswa dapat menulis, membaca, menghafalkan dan mengartikan


materi hadis.
2. Mahasiwa dapat membuat uraian criteria hakim yang masuk surga dan
yang masuk neraka.
3. Mahasiswa dapat memahami dan menguraikan mengenai pahala bila
hakim berijtihad benar atau salah.
4. Mahasiswa dapat membuat uraian tata cara hakim mengadili perkara
menurut hadis.
5. Mahasiswa dapat menguraikan upaya hakim mendamaikan pihak-pihak
yang berperkara.
6. Mahasiswa dapat menguraikan mana pihak yang harus dimenangkan
dalam perkara.
7. Mahasiswa dapat memahami cara mengambil keputusan berdasarkan
keterangan saksi.
8. Mahasiswa dapat mengetahui peran sumpah bagi tergugat.
9. Mahasiswa dapat mengetahui cara hakim mengambil keputusan tanpa alat
bukti.

1. Tanggungjawab Hakim (BM. 1410)

a. Materi Hadis
ِ َ‫ض اةُ ثَاَل ثَةٌ وا ِح ٌد يِف اجْل ن َِّة وا ْثن‬ ِ
‫ان يِف النَّا ِر‬ َ َ َ َ ِّ ‫َع ْن ابْ ِن بَُريْ َد َة َع ْن أَبِي ِه َع ْن النَّيِب‬
َ ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم قَ َال الْ ُق‬
‫ف احْلَ َّق فَ َج َار يِف احْلُ ْك ِم َف ُه َو يِف النَّا ِر َو َر ُج ٌل‬ َ ‫ضى ب ِِه َو َر ُج ٌل َع َر‬ َ ‫فَأ ََّما الَّ ِذي يِف اجْلَن َِّة َفَر ُج ٌل َعَر‬
َ ‫ف احْلَ َّق َف َق‬
)‫َّاس َعلَى َج ْه ٍل َف ُه َو يِف النَّا ِر (رواه أبو داود و الرتدذي و ابن ماجة‬ ِ ‫ضى لِلن‬ َ َ‫ق‬
Artinya:
(Hadis diriwayatkan) dari Ibn Buraidah dari ayahnya dari Nabi saw.
Bersabda: “Hakim itu terbagi tiga macam, satu yang masuk surge, dan
dua yang masuk neraka. Adapun yang masuk surge adalah seorang
(hakim) yang mengetahui kebenaran kemudian memutuskan perkara
berdasarkan kebenaran itu, dan seorang (hakim) mengetahui
kebenaran tetapi putusannya menyalahi hukum maka ia masuk neraka,

159
dan seseorang (hakim) yang mengadili manusia karena kebodohannya
maka ia masuk neraka. (H.R. Abu Dawud, al-Turmudziy dan Ibn Majah).

b. Takhrij al-Hadits

1. Abu Dawud, kitab al-aqdhiyah, bab fi al-qadhi yakhth’ , hadis no. 3102.
2. Al-Turmudziy, kitab al-ahkam, bab ma ja’a ‘an Rasulullah fi al-qadha,
hadis no. 1244.
3. Ibn Majah, kitab al-ahkam, bab al-hakim yajtahid fa yushib al-haq, hadis
no. 2306.

c. Biografi Singkat Sahabat Nabi Periwayat hadis

(BURAIDAH)

Nama lengkapnya adalah Buraidah bin al-Hushaib bin ‘Abdullah bin


al-Harits al-Aslamiy, dijuluki dengan Abu ‘Abdullah. Buraidah masuk Islam
sebelum terjadi perang Badar, namun ia tidak ikut berjuang di Perang
Badar. Keterlibatannya dalam perang nanti terjadi Perang Khaibar, dan
Penaklukkan Makkah. Buraidah dipekerjakan Nabi saw. untuk
mengumpulkan shadaqah kaumnya. Ia tinggal di Madinah, kemudian pindah
ke al-Bashrah, lalu pindah ke Marwi dan wafat di sana.

Menurut Ibn Hajr al-Asqalaniy, Ibn al-Sakan mengisahkan bahwa


namanya adalah ‘Amir. Al-Hakim mengatakan, Buraidah masuk Islam
setelah Nabi kembali dari Perang Badar. Jadi, Buraidah termasuk sahabat
Nabi yang masuk Islam pada awal-awal keberadaan Nabi di Madinah.

Buraidah meriwayat hadis langsung dari Nabi saw. Selanjutnya,


riwayat hadis itu diterima oleh periwayat lain sebagai muridnya, antara
lain : anaknya bernama ‘Abdullah, Sulaiman, ‘Abdullah bin Aus al-Khuza’iy,
al-Sya’biy, al-Malih bin Usamah dan lain-lain.

Menurut Muhammad bin Sa’ad, Buraidah wafat tahun 63 H. pada


masa pemerinthan Khalifha Yazid bin Mu’awiyah.64

d. Arti Kosakata dan Syarahan Hadits

Adapun arti beberapa kosakata hadis ini, dapat dikemukakan, yaitu


antara lain:
َ ُ‫ ْالق‬, jamak dari ‫ قاضى‬yaitu hakim, yang mengadili perkara, atau
1. Kata ُ‫ضاة‬
yang memutuskan permasalahan hukum dari orang-orang yang
berperkara.
2. Kalimat ‫ق‬ َّ ‫فَ َر ُج ٌل ع ََرفَ ْال َح‬, seseorang yang mengetahui al-haq (kebenaran).
Maksudnya, memiliki pengetahuan tentang cara-cara menyelesaikan
perkara dan mengetahui mana pihak yang benar dan mana yang salah.
3. Kalimat ‫ار فِي ْال ُح ْك ِم‬
َ ‫ فَ َج‬, yakni menyimpang dari kebenaran, sengaja
menyembunyikan hal yang diketahuinya.
4. Kalimat ‫جه ٍْل‬ َ ‫اس َعلَى‬ ِ َّ‫ضى لِلن‬
َ َ‫ق‬, artinya hakim yang memutuskan perkara tidak
dilandasi dengan pengetahuan, tetapi memutuskan berdasarkan
kebodohannya, sekalipun yang diputuskannya itu benar.
Hakim merupakan unsur yang sangat penting dalam
penyelenggaraan peradilan, dan dipandang sebagai salah satu profesi yang
mulia, serta sangat menentukan di lembaga yudikatif. Pengertian Hakim
yang sesungguhnya dalam Islam adalah yang menjadi sumber hukum, yaitu
Allah sebagai pembuat hukum (Syari’). Hal ini didasarkan pada firman Allah
dalam QS. al-A’raf : 87

64
Lihat Ibn Hajr al-Asqalaniy, Tahdzib, op.cit., I, h. 406.
161
          
         
Terjemahnya:
Jika ada segolongan daripada kamu beriman kepada apa yang aku
diutus untuk menyampaikannya dan ada (pula) segolongan yang tidak
beriman, Maka bersabarlah, hingga Allah menetapkan hukumnya di
antara kita; dan Dia adalah hakim yang sebaik-baiknya.

Dalam pengertian yang lain, hakim juga diartikan dengan pejabat


yang memimpin persidangan. Hakim yang memutuskan hukuman bagi
terdakwa. Hakim harus dihormati di ruang pengadilan. Hakim disebut pula
pelaksana undang-undang atau hukum di suatu Negara Islam. Hakim dalam
kaitan dengan peradilan Islam disebut qadhi, jamaknya qudhat, sebagai
pelaksana hukum. Qadhi berusaha menyelesaikan perkara yang
diperhadapkan padanya, baik yang menyangkut dengan hak-hak pribadi
seseorang atau kepentingan umum.65
Qadha’ menurut bahasa berarti menetapkan hukum suatu urusan dan
penyelesaiannya. Menurut Syariat berarti menjelaskan hukum syariat,
melaksanakan dan menyelesaikan berbagai macam perselisihan. Dasar
pensyariatan qadha’ (pengadilan) ini adalah al-Kitab (Alquran), al-Sunnah,
Ijma’, dan Qiyas. Dasarnya dalam al-Kitab, seperti firman Allah dalam
QS.Shad: 26,
          
             
      
Terjemahnya:
Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa)
di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia
dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan
menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang
sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka
melupakan hari perhitungan.
Lihat Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Cet. III, Jakarta : PT. Ichtiar
65

Baru Van Hoeve, 1994), h. 70.


Begitu juga firman Allah dalam QS. Al-Maidah: 49
           
…       
Terjemahnya:
dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut
apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka
tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan
Allah kepadamu….

Dasarnya dalam al-Sunnah juga banyak sekali, di antaranya hadis yang


disebutkan di atas, atau hadis tentang pahala ijtihad bagi hakim , jika benar
mendapat dua pahala jika salah mendapat satu pahala. Orang-orang Muslim
juga sudah menyepakati pensyariatannya. Qiyas juga mengharuskan
keberadaannya, sebab berbagai keadaan tidak akan berjalan normal kecuali
dengan qadha’ dan ia merupakan fardhu kifayah.
Qadha’ memiliki keutamaan yang besar bagi orang yang mampu
menegakkan dan memenuhi kebenaran di dalam hukum. Karena itulah Allah
tetap memberikan pahala dalam qadha’ meskipun ada kekeliruan dan
memaafkan keputusan yang salah darinya, karena di dalamnya ada perintah
kepada yang ma’ruf, menolong orang yang dizhalimi, memberikan hak
kepada orang yang berhak mendapatkannya, mencegah kezhaliman orang
yang zhalim, memperbaiki keadaan manusia dan membebaskan sebagian
mereka dari sebagian yang lain.
Karena itulah Rasulullah saw. dan para nabi sebelumnya juga diangkat
sebagai qadhi, sehingga mereka membuat keputusan hukum bagi umatnya
masing-masing. Rasulullah juga mengutus ‘Ali bin Abi Thalib pergi ke
Yaman dan juga Mu’adz bin Jabal sebagai qadhi. Diriwayatkan bahwa Ibn
Mas’ud pernah berkata, “Aku lebih suka duduk sebagai qadhi di antara dua
orang yang berselisih daripada mengerjakan ibadah selama tujuh puluh
tahun.”
163
Namun begitu, Qadhi juga tidak lepas dari bahaya dan dosa yang besar
bagi yang tidak menunaikan kebenaran hukum. Karena itulah banyak ulama
salaf yang menolak keras ketika diangkat menjadi qadhi, karena mereka
tidak dapat menjamin tidak timbulnya bahaya akibat keputusannya.66
Hadis berikut ini menceritakan tiga tipologi hakim, satu di antaranya
masuk surga dan dua tipe yang lain masuk nereka.
ِ َّ‫اح ٌد فِي ْال َجنَّ ِة َو ْاثنَا ِن فِي الن‬
‫ار‬ ِ ‫ضاةُ ثَاَل ثَةٌ َو‬ ْ
َ ُ‫الق‬,
(Hakim itu terbagi tiga macam, satu yang masuk surga, dan dua yang masuk
neraka).
Berdasarkan hadis ini ternyata profesi hakim adalah profesi yang
mulia sekaligus mengandung resiko yang mengkhawatirkan. Jabatan hakim
dapat mengantar seseorang ke surga atau justru jabatan hakim itu juga
akan menjerumuskan sang hakim ke dalam neraka.
َّ ‫ فَأ َ َّما الَّ ِذي فِي ْال َجنَّ ِة فَ َر ُج ٌل َع َرفَ ْال َح‬,
َ َ‫ق فَق‬
‫ضى بِ ِه‬
(Adapun yang masuk surge adalah seorang (hakim) yang mengetahui
kebenaran kemudian memutuskan perkara berdasarkan kebenaran itu)
Kriteria hakim yang dijanjikan masuk surga menurut hadis ini adalah
seorang hakim yang mengetahui kebenaran dan memutuskan perkara
berdasarkan kebenaran yang diketahuinya, maka ia akan masuk surga. Dari
sini dipahami bahwa seorang hakim harus memiliki kemampuan intelektual
yang baik, mengetahui kebenaran dan mampu menetapkan hukum sesuai
dengan kebenaran yang diketahuinya.
ِ َّ‫ار فِي ْال ُح ْك ِم فَه َُو فِي الن‬
‫ار‬ َّ ‫ َو َر ُج ٌل َع َرفَ ْال َح‬,
َ ‫ق فَ َج‬
(dan seorang (hakim) mengetahui kebenaran tetapi putusannya menyalahi
hukum maka ia masuk neraka)
Jenis hakim berikutnya adalah seorang hakim yang sebenarnya dia
mengetahui kebenaran, akan tetapi karena dipengaruhi oleh hawa nafsu,
dunia dan materi, atau karena dendam kepada seseorang, maka ia pun

66
Lihat Ali Bassam, op.cit., h. 940.
menyimpang atau menyembunyikan kebenaran itu lalu memutuskan perkara
tidak sesuai dengan kebenaran yang diketahuinya, maka ia masuk neraka.
‫اس َعلَى َج ْه ٍل فَهُ َو فِي النَّار‬
ِ َّ‫ضى لِلن‬
َ َ‫ َو َر ُج ٌل ق‬,
(dan seseorang (hakim) yang mengadili manusia karena kebodohannya maka
ia masuk neraka)
Tipe hakim yang terkakhir adalah hakim yang bodoh, yang tidak
mengetahui pengetahuan terhadap perkara yang sedang dihadapinya, tetapi
ia tetap berani menetapkan keputusan, maka jenis hakim yang begini juga
akan masuk neraka. Walaupun putusan yang diambil itu ternyata benar, ia
tetap diancam dengan neraka, karena ketidaktahuannya dalam mengambil
putusan.
Dengan demikian, hakim yang akan bebas dari neraka adalah hakim yang
memiliki kapasitas intelektual dan integritas pribadi yang baik. Dengan
kapasitas intelektual yang dimilikinya, hakim itu dapat mengetahui
kebenaran yang terkait dengan kasus yang dihadapinya. Sedangkan
integritas kepribadian, bahwa ia berani dan mampu memutuskan perkara
atas dasar pengetahuan yang dimilikinya, serta tidak terpengaruh oleh
emosi atau dendam pribadi pada seseorang.
Sehubungan dengan itu, Alquran memerintahkan manusia memutuskan
perkara berdasarkan pengetahuan tentang kebenaran, dan tidak boleh
menjatuhkan hukuman kepada orang yang tidak bersalah seperti yang
difirmankan Allah dalam QS. Al-Nisa’: 105
           
    
Terjemahnya:
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan
membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan
apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu
menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela)
orang-orang yang khianat.
165
Ayat ini dan beberapa ayat berikutnya diturunkan berhubungan dengan
pencurian yang dilakukan Thu'mah dan ia menyembunyikan barang curian
itu di rumah seorang Yahudi. Thu'mah tidak mengakui perbuatannya itu
malah menuduh bahwa yang mencuri barang itu orang Yahudi. Hal ini
diajukan oleh kerabat-kerabat Thu'mah kepada Nabi saw. dan mereka
meminta agar Nabi membela Thu'mah dan menghukum orang-orang Yahudi,
Kendatipun mereka tahu bahwa yang mencuri barang itu ialah Thu'mah,
Nabi sendiri hampir-hampir membenarkan tuduhan Thu'mah dan
kerabatnya itu terhadap orang Yahudi.
Ayat ini dengan tegas memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw.
agar menetapkan hukum di antara manusia, tanpa melihat perbedaan suku,
bangsa dan agama, atas dasar kebenaran yang telah diajarkan Allah kepada
beliau. Ayat tersebut menurut Ibn Katsir sebagai dasar bagi Muhammad
saw. untuk menetapkan hukum berdasarkan ijtihad, 67sedangkan menurut al-
Maraghi yang dimaksud adalah penggunaan wahyu dan nalar memutuskan
perkara.68
Dengan demikian, jabatan hakim pada dasarnya merupakan jabatan
yang mulia karena hakim adalah seorang yang diberi amanah untuk
menegakkan hukum dan keadilan di antara orang-orang yang bersengketa,
yang melanggar aturan masyarakat, dan yang melawan aturan agama dan
Negara. Sebagai imbalan atas keberhasilan hakim menegakkan kebenaran
dan keadilan sudah sepantasnya Allah menjanjikan surga.
Di sini lain, tugas mengadili dan menjatuhkan hukuman adalah tugas
yang berat dan penuh resiko. Setiap pihak yang berperkara menghendaki
agar perkaranya dimenangkan atau dibebaskan dari segala tuntutan dan
beban yang memberatkannya. Untuk mencapai tujuan, kadang pihak yang
berperkara mendatangkan saksi palsu, atau mengemukakan bukti yang
tidak sesungguhnya, dan segala macam cara untuk mempengaruhi hakim

67
Lihat Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Juz I, (Singapura : I-Hararn.in, [t.th.]), h. 550.
68
Lihat Ahmad Mushththafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz IV, (Beirut : Dar al-Fikr,
1974), h. 148.
mengambil keputusan. Hal seperti ini menjadikan jabatan hakim
mengandung resiko yang berat, baik ancaman hukum di dunia, ataupun
ancaman masuk neraka.

e. Pokok-pokok Kandungan Hukum Hadis

Berdasarkan keterangan dan pembahasan yang telah dikemukakan,


maka dapatlah ditarik beberapa kandungan pokok hadis ini, yaitu :

1. Jabatan hakim merupakan jabatan yang mulia, karena hakimlah yang


akan mengadili dan menyelesaikan persengketaan yang terjadi dalam
masyarkat. Namun, jabatan itu tidak mudah dijalankan karena
mengandung resiko yang berat.
2. Hakim dibagi dalam tiga kategori, satu saja yang masuk surge,
sedangkan dua macam lainnya akan menjadikan hakim masuk neraka.
3. Hakim yang masuk surge yaitu hakim yang mengetahui kebenaran dan
memutuskan perkara sesuai dengan kebenaran itu.
4. Hakim yang masuk neraka, yaitu hakim yang mengetahui kebenaran
tetapi tidak memutuskan perkara menurut kebenaran yang diketahuinya.
Sedangkan hakim yang tidak mengetahui kebenaran dan memutuskan
perkara berdasarkan kebodohannya, juga akan masuk neraka, sekalipun
putusannya itu ternyata benar.

2. Ijtihad Hakim (LM. 1118, 1121)

a. Materi Hadis

167
ِ ُ ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم َي ُق‬ ِ َ ‫اص أَنَّه مَسِ ع رس‬
‫اب‬
َ ‫َص‬ ْ َ‫ول إِذَا َح َك َم احْلَاك ُم ف‬
َ ‫اجَت َه َد مُثَّ أ‬ َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ َ ُ ِ ‫َع ْن َع ْم ِرو بْ ِن الْ َع‬
ِ ‫َفلَه أ‬
)‫(رواه البخاري و مسلم وغريمها‬69‫َجٌر‬ ْ ‫َخطَأَ َفلَهُ أ‬ ْ ‫َجَران َوإِ َذا َح َك َم َو‬
ْ ‫اجَت َه َد مُثَّ أ‬ ْ ُ
Artinya :
(Hadis diriwayatkan) dari ‘Amr bin al-‘Ash sesungguhnya beliau
mendengar Rasul Allah saw. bersabda : “Apabila seorang hakim
memutuskan perkara lalu ia berijtihad kemudian benar, baginya dua
pahala, dan apabila ia memutuskan perkara dan berijtihad kemudian
salah baginya satu pahala. (H.R. al-Bukhariy, Muslim dan selainnya)

b. Takhrij al-Hadits

1. Al-Bukhary, kitab al-I’tisham, bab ajr hakim idza ijtahada fa ashaba aw


akhtha’, hadis no. 6805
2. Muslim, kitab al-aqdhiyah hadis no 15, bab bayyin ajr hakim idza
ijtahada fa ashaba aw akhtha’, hadis no. 3240
3. Abu Dawud, kitab al-aqdhiyah, bab fi al-qadhi yakhtha’, hadis no. 3103
4. Al-Turmudzy, kitab al-ahkam, bab ma ja’a fi qadhi yashib wa yakhtha’,
hadis no. 1248
5. Ibn Majah, kitab al-ahkam, bab 3, atau hadis no. 2305
6. Ahmad bin Hanbal, jilid II, h. 187, IV, h. 198, 204, 205. 70 Kitab musnad
al-muktsirin min al-shahabah, bab musnad ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-
Ash, hadis no. 6466, kitab musnad al-Syamin, bab hadits ‘Amr bin al-
Ash ‘an al-Nabiy, 17106,1714871

c. Biografi Singkat Sahabat Nabi Periwayat hadis

(‘AMR BIN AL-ASH)

69
Al-Hafidz Ibn Hajr al-Asqalany, Bulugh al-Maram, naskah diteliti dan diberi notasi oleh
Muhammad Hamid al-Faqy, (Semarang : PT. Toha Putra,[ tth.]), h. 288.
70
Lihat : : A.J. Wensink. Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Hadits al-Nabawy, Jilid I,
(Leiden : A. J. Brill, 1962), h. 30, 390.
71
Lihat : CD Hadis al-Mawsu’ah al-Hadis al-Syarif.
Nama lengkapnya adalah Amr bin al-Ash bin Wa’il bin Hasyim (w.34
H).Amr bin al-Ash pada mulanya adalah salah seorang kaum Quraisy yang
sangat menentang Islam, tetapi setelah perang Badar dia masuk Islam
bersama Khalid bin Walid. Amr termasuk sahabat Nabi yang pemberani
dan cerdas. Allah telah membuka pintu hati Amr bin al-Ash untuk
memeluk Islam. Semangat jihad dan dakwah Islam semakin menggelora
setelah Amr bin al-Ash bergabung dengan pasukan Islam. Dialah yang
membebaskan Mesir dari kekuasaan Ramawi. Jasa Amr bin al-Ash dalam
pembebasan Mesir sangat besar, sehingga ada yang mengatakan bahwa
saat itu kalau Amr belum masuk Islam Mesir belum mengenal Islam. Mesir
ketika itu masih dalam pengaruh dua kekuatan besar yaitu Ramawi dan
Persia.72 Amr bin al-Ash pada masa Nabi termasuk salah seorang sahabat
yang dipercayakan Nabi untuk menjadi hakim (qadhy).73
Di samping menerima hadis langsung dari Nabi SAW. Beliau juga
meriwayatkan hadis dari Husail bin Bashrah bin Waqqas, dan Umar bin al-
Khaththab. Selanjutnya banyak periwayat yang menerima riwayat hadis
dari Amr bin al-Ash di antaranya : Abu al-Munib, Abu Dzabyah, Abu Abd
Allah, Ja’far bin Abd al-Muthallib, Hayyi bin Haniy’, Dzikwan, Syarhabil,
Abd al-Rahman bin Tsabit Maula Amr bin al-Ash (Abu Qais), Abd al-Rahman
bin Jubair, Abd Allah bin Abi al-Hudzail, dan lain-lain. Sedangkan dari segi
kapasitas pribadinya beliau adalah salah seorang sahabat yang adil dan
terpercaya.
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa Amr bin al-Ash
merupakan sahabat Nabi yang memiliki dedikasi yang tinggi terhadap

72
Lihat :Khalid Muhammad Khalid, Rijal Hawla al-Rasul, (Bairut : Dar al-Fikr, [tth.]), h. 613.
73
Pada masa Nabi terdapat beberapa hakim (qadhi) yang diangkat oleh Rasul dan mereka
pernah berijtihad yaitu : Ithab bin Asid qadhi Rasulullah di Makkah, Abu Musa al-Asy’ary
bersama Mu’adz bin Jabal qadhi Rasul di Yaman. Al-Sayyid al-Imam Muhammad bin Ismail al-
Kahlany al-Shan’any, Subul al-Salam, Syarh Bulugh al-Maram, Juz IV, ( Semarang : Toha Putra,
[tth] ), h. 118
169
Islam sehingga sering Nabi menyuruhnya menyelesaikan perkara-perkara
hukum.

d. Arti Kosakata dan Syarahan Hadits

Adapun arti beberapa kosakata hadis ini, dapat dikemukakan, antara


lain:
1. Kalimat ‫فَاجْ تَهَ َد‬, lalu ia (hakim) berijtihad. Ijtihad menurut bahasa dari
kata ‫ جهد‬bermakna al-musyaqqah (sulit).74 Maksudnya pengerahan
segenap kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit.75
2. Kalimat ‫اب‬ َ ‫ص‬ َ َ ‫فَأ‬, ijtihad yang dilakukan benar, menunjukkan bahwa
pembenaran ijtihad kalau sesuai dengan hukum Allah.
3. Kalimat ‫ فَلَهُ أَجْ َران‬berarti memperoleh dua pahala yaitu pahala ijtihad dan
pahala karena benar. . Dalam riwayat Ahmad yang lain disebut sepuluh
kebaikan (‫ ) َع َش َرةُ أُجُور‬jika benar dan satu atau dua (‫ ) لَهُ أَجْ ٌر أَوْ أَجْ َران‬kebaikan
jika salah.
4. Sedangkan pengertian ‫فَلَ هُ أَجْ ر‬menurut al-Khathaby bahwa pahala
diberikan sekalipun salah karena berijtihad mencari kebenaran adalah
suatu ibadah.76

Ijtihad menurut Ibn al-Hajib adalah : upaya sungguh-sungguh untuk


menghasilkan suatu ketetapan sesuai hukum syar’iy. Dan menurut al-Qadhy
al-‘Iyadh ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh dalam mencari
kebenaran. 77

74
Lihat : Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lughah, Juz I,
(Bairut : Dar al-Fikr, 1399 H/1979 M.), h. 486.
75
Lihat dalam : KH. Ibrahim Hosen, Taqlid dan Ijtihad Beberapa Pengertian Dasar, dalam
Budhy Munawar Rachman (Editor), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Cet. I;
Jakarta : Yayasan Paramadina, 1994), h. 319.
76
Lihat Abu Al-Fadhl Abady, Awn al-Ma’bud, kitab al-aqdhiyah, bab fi al-qadhi yakhtha’,
hadis no. 3103
77
Lihat : ibid.
Dalam kaitan dengan pengertian menurut istilah, ijtihad menurut
mayoritas ulama ushul fiqh adalah pengerahan segenap kesanggupan dari
seorang ahli fiqh atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat
dhann terhadap sesuatu hukum syara’ (hukum Islam).
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa (1) Pelaku ijtihad adalah
seorang ahli hukum bukan yang lain, (2) Yang ingin dicapai oleh ijtihad
adalah hukum syar’iy yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah
laku atau perbuatan orang-orang mukallaf, bukan hukum I’tiqadi atau
hukum khuluqi, (3) Status hukum syar’iy yang dihasilkan oleh ijtihad adalah
dhanni.78
Jadi apabila dipahami lebih jauh definisi ijtihad di atas maka dapat
dinyatakan bahwa ijtihad hanyalah monopoli dunia hukum. Dalam hal ini
Jalal al-Din al-Mahalli dalam Jama’u al-Jawami’ berkomentar bahwa yang
ijtihad bila dimutlakkan maka ijtihad itu hanya diperuntukkan pada bidang
hukum fiqih/ hukum furu’.79
Atas dasar itu ada kekeliruan pendapat sementara orang yang mengatakan
bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat ini dipelopori oleh al-
Jahidh, salah seorang tokoh mu’tazilah. Dia mengatakan bahwa ijtihad juga
berlaku di bidang aqidah. Pendapat ini bukan saja menunjukkan
inkonsistensi terhadap disiplin ushul fiqh, tetapi juga akan berimplikasi
pembenaran terhadap berbagai aqidah yang dhalal (sesat). Lantaran itulah
jumhur ulama telah bersepakat bahwa ijtihad hanya berlaku di bidang
hukum Islam dengan ketentuan-ketentuan tertentu.80
Dari uraian di atas menunjukkan ijtihad dipergunakan untuk sesuatu
yang berat atau tidak ringan dibidang hukum. Untuk melakukannya
diperlukan beberapa persyaratan. Di antara sekian persyaratan yang
78
Lihat ibid., h. 320.
79
Lihat dalam KH. Ibrahim Hosen, Taqlid dan Ijtihad, Beberapa Pengertian Dasar, Editor
Budhy Munawar Rachman, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Cet. I, Jakarta :
Yayasan Paramadina, 1994) h. 320.
80
Lihat ibid., h. 321.
171
terpenting adalah : (1) Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-
ayat Alquran yang berhubungan dengan hukum, bahwa ia mampu
membahas ayat-ayat tersebut untuk menggali hukum, (2) Mengetahui hadis-
hadis Rasul yang berhubungan dengan hukum, bahwa ia sanggup
membahas hadis-hadis tersebut untuk menggali hukum, (3) Menguasai
masalah yang berhubungan dengan ijma’ agar ia tidak berijtihad dengan
hasil yang bertentangan dengan ijma’. (4) Mengetahui qiyas secara
mendalam dan dapat dipergunakan untuk menggali hukum. (5) Menguasai
bahasa Arab secara mendalam. (6) Mengetahui secara mandalam tentang
nasikh-mansukh. (7) Mengetahui asbab al-nuzul ayat dan asbab al-wurud al-
hadits, agar via mampu melakukanb istinbath hukum secara tepat. (8)
Mengetahui sejarah para periwayat hadis, supaya ia dapat menilai kualitas
suatu hadis, apakah diterima atau ditolak. (9) Mengetahui ilmu
logika/manti1. (10) Mengetahui kaidah-kaidah istinbath hukum/ushul fiqh,
agar ia mampu mengolah dan menganalisa dalil-dalil hukum untuk
menghasilkan hukum suatu masalahyang. 81 Oleh karenanya tidak mungkin
pekerjaan ijtihad itu dilakukan sembarang orang.
Dalam Islam ijtihad dilegalisasi bahkan sangat dianjurkan. Banyak ayat
Alquran dan Hadis Nabi yang menyinggung persolan ini. Bahkan Islam
bukan saja memberi legalisasi terhadap ijtihad, akan tetapi juga mentolerir
adanya perbedaan pendapat sebagai hadis ijtihad. Salah satu hadis yang
dimaksudkan adalah hadis yang sedang dibahas ini :
‫ان َوإِ َذا َح َك َم فَاجْ تَهَ َد فَأ َ ْخطَأ َ فَلَهُ أَجْ ر ا اذ‬
ِ ‫اب فَلَهُ أَجْ َر‬
َ ‫ص‬َ َ ‫َح َك َم ْال َحا ِك ُم فَاجْ تَهَ َد فَأ‬
(Apabila seorang hakim memutuskan perkara lalu ia berijtihad kemudian
benar, baginya dua pahala, dan apabila ia memutuskan perkara dan
berijtihad kemudian salah baginya satu pahala.)
Hadis ini bukan saja memberi legalitas ijtihad, tetapi juga metolerir
perbedaan pendapat sekalipun itu pendapat yang keliru. Prinsip ini
diperpegangi oleh para imam mujtahid, bahwa sebuah pendapat benar ada

81
Lihat : ibid., h. 324
kemungkinan salah dan pendapat yang salah ada kemunginan benar. Dari
redaksi hadis di atas menurut Al-Qurtuby hadis ini mendahulukan hukum
dari ijtihad tetapi pelaksanaannya adalah ijtihad lebih didahulukan
kemudian hukum, jadi tidak boleh penetapan hukum dahulu sebelum
berijtihad.82 Jadi kalimat ‫اذا حكم‬ bermakna apabila seseorang hendak
menetapkan hukum maka ia perlu berijtihad. Hal ini diperkuat oleh
pernyataan ulama ushul :
‫يجب على المجتهد أن يجدد النظر عند النازلة وقوع‬
(wajib bagi muijtahid memperbaharui pandangannya karena munculnya
peristiwa lain)83.

Hadis ini menurut al-Shan’aniy menjadi dalil bahwa syarat seorang


hakim adalah mujtahid84. Maksudnya, seorang hakim harus bisa berijtihad.
Sedangkan Imam al-Nawawy mengomentari kalimat ‫اذا حكم‬ dts. bahwa
menurut konsensus ulama yang harus menjadi hakim adalah mereka yang
mengerti tentang hukum.Adapun mereka yang tidak memiliki kemampuan di
bidang hukum lalu berijtihad bukan pahala yang diterima tetapi dosa,
sekalipun putusan yang ditetapkannya benar atau salah. Sebab
kebenarannya itu tidak bersumber dari syari’ah, dan itu ditolak hasilnya.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Nabi yang lain yaitu :

‫ار فَأ َ َّما‬


ِ َّ‫ضاةُ ثَاَل ثَةٌ َوا ِح ٌد فِي ْال َجنَّ ِة َو ْاثنَ ا ِن فِي الن‬َ ُ‫ال ْالق‬ َ ‫ع َْن ا ْب ِن ب َُر ْي َدةَ ع َْن أَبِي ِه ع َْن النَّبِ ِّي‬
َ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ق‬
‫ضى‬ ِ َّ‫ق فَ َجا َر فِي ْال ُح ْك ِم فَه َُو فِي الن‬
َ َ‫ار َو َر ُج ٌل ق‬ َّ ‫ضى بِ ِه َو َر ُج ٌل َع َرفَ ْال َح‬ َّ ‫الَّ ِذي فِي ْال َجنَّ ِة فَ َر ُج ٌل ع ََرفَ ْال َح‬
َ َ‫ق فَق‬
85 َّ
ِ ‫اس َعلَى َجه ٍْل فَه َُو فِي الن‬
‫ار‬ ِ َّ‫لِلن‬
82
Lihat Ibn Hajr al-Asqalani, Fath al-Bary, hadis no. 6805
83
Lihat ibid.
84
Lihat al-Shan’any, loc.cit.
85
Lihat Abu Dawud kitab al-Aqdhiyah, bab fi al-qadhy yakhtha’, hadis no. 3102; Al-
Turmudzy, kitab al-Ahkam, bab ma ja’a ‘an Rasul Allah fi al-qadhy, hadis no. 1244; Ibn Majah,
kitab al-Ahkam, bab al-Hakim yajtahid fa yushib al-haq, hadis no. 2306.
173
Artinya:
(Hadis diriwayatkan) dari Ibn Buraidah dari ayahnya dari Nabi saw.
Bersabda: “Hakim itu terbagi tiga macam, satu yang masuk surge, dan
dua yang masuk neraka. Adapun yang masuk surge adalah seorang
(hakim) yang mengetahui kebenaran kemudian memutuskan perkara
berdasarkan kebenaran itu, dan seorang (hakim) mengetahui
kebenaran tetapi putusannya menyalahi hukum maka ia masuk neraka,
dan seseorang (hakim) yang mengadili manusia karena kebodohannya
maka ia masuk neraka. (H.R. Abu Dawud, al-Turmudziy dan Ibn Majah).

Kebolehan ijtihad yang dilakukan menurut al-Mubarakfuri adalah


masalah furu’iyah (cabang) yang terdapat pandangan yang berbeda, tidak
pada masalah ushuliyah (pokok) yang menjadi rukun syari’ah (ushul al-
ahkam) yang tidak boleh ada pandangan berbeda dan tidak boleh
mentakwilkannya. Jika ijtihad dilakukan dalam masalah ushul al-ahkam
kemudian salah maka hal itu tetap tidak ada pahalanya.86
Sebab hadis ini diriwayatkan sehubungan dengan peristiwa telah
menghadap dua orang yang berperkara,lalu Nabi SAW. bersabda kepada
‘Amr bin Ash : “Adililah mereka berdua ini wahai ‘Amr ? Jawab ‘Amr :
Engkau lebih utama dariku ya Rasulullah, jawab Nabi : Lakukan yang telah
aku perintahkan, kalau engkau mengadili mereka sama dengan aku yang
mengadili, Sabda beliau :
. ‫ وان انت اجتهدت فاخطات فلك حسنة‬, ‫ان انت قضيت بينهما فاصبت القضاء فلك عشر حسنات‬
Jika engkau memutuskan perkara mereka dan benar maka engkau
mendapat sepuluh kebaikan dan jika engkau berijtihad dan salah maka
engkau mendapat satu kebaikan.87

Lihat CD Hadis, Al-Mubarakfuri, Tuhfat al-Akhwadzy, hadis no.1248


86

87
Lihat : Al-Sayyid al-Syarif Ibrahim bin Muhammad bin Kamal al-Din, Ibn Hamzah al-
Hanafy al-Dimasyqy, Al-Bayan wa al-Ta’rif fiy Asbab Wurud al-Hadits al-Syariyf, Juz I, (Kairo : Dar
al-Turast li Thaba’ah wa al-Nasyr, [tth.] ), h. 149.
Jadi, apabila seorang hakim berijtihad dan hasil ijtihadnya itu sesuai
dengan kebenaran maka dia akan mendapat imbalan di sisi Allah dua pahala
yaitu pahala ijtihad dan pahala karena benar yang ia putuskan. Dan apabila
seorang hakim hendak berijtihad dan ia merasa telah benar namun ternyata
salah maka pahalanya satu saja yaitu pahala ijtihadnya, karena ibadah
mencari kebenaran. Ijtihad dilakukan bagi perkara yang tidak terdapat
ketentuannya dalam Alquran dan Sunnah atau pemahaman dalil dari nash
dalam Alquran atau Sunnah.88
Mengingat pentingnya berijtihad maka menurut Abu al-Fadhl Abady dalam
syarah Awn al-Ma’bud, tidak boleh seorang mujtahid bertaqlid terhadap
hasil putusan hakim lain, dan tidak boleh seorang Imam mempengaruhinya.
Oleh karena itu menurutnya, untuk menjadi seorang mujtahid paling tidak ia
menguasai lima disiplin ilmu, yaitu:
(1) Ilmu Kitab Allah (Ulum al-Qur’an),
(2) Ilmu Sunnah Rasul Allah (Ulum al-Hadis) dan pendapat ulama salaf yang
mereka sepakati dan diperselisihkan,
(3) Ilmu Bahasa,
(4) Ilmu Qiyas, yaitu metode istinbat hukum dari Alquran al-Sunnah apabila
tidak diperoleh kejelasan nash dari Alquran-Sunnah atau ijma’,
(5) Wajib juga mengetahui ilmu lain yang berhubungan dengan Alquran
yakni Ilmu nasikh-mansukh, mujmal-mufassar, khash-‘am, muhkam-
mutsyabih, makruh-haram, mubah-nadab, juga yang berhubungan dengan
Sunnah, yakni shahih-dha’if, musnad-mursal, mengetahui sunnah yang
menjelaskan Alquran atau sebaliknya, mengetahui sunnah yang
bernuansa hukum syari’ah, mengetahui uslub bahasa yang dipakai oleh

Lihat Ibid.
88

175
Alquran dan Sunnah,mengetahui aqwal al-shahabah, tabi’in mengenai
hukum, mengetahui fatwa-fatwa fuqaha sehingga putusannya tidak
bertentangan dengan pandangan mereka, mengetahui ijma’. Jika ia
menguasai setiap aspek ini maka ia seorang mujtahid jika ia tidak
menguasai cukup baginya taqlid.89
Dengan begitu , syarat ini menjadi tolok ukur berpahala atau
tidaknya suatu ijtihad.
Memang kedengarannya ijtihad sebagai sesuatu yang amat eksklusif
karena hanya boleh dilakukan oleh orang-orang tertentu yang benar-benar
memenuhi syarat. Syarat-syarat itu sekarang boleh jadi dipandang kuno,
namun menurut Nurcholish Madjid syarat itu dibuat untuk menjamin adanya
kewenangan (kompotensi) dan tanggungjawab (accountability),90sebuah
produk hukum.Oleh karena itu ijtihad dapat dilakukan oleh siapa saja
asalkan memiliki persyaratan seperti yang dikemukakan di atas.
Akhirnya sebagaimana tercermin dalam hadis ini mengenai motivasi
berijtihad merupakan hal yang amat penting dalam perkembangan dan
pertumbuhan masyarakat. Sebab perkembangan dan pertumbuhan
menunjukkan adanya vitalitas, sedangkan kemandekan berarti berhentinya
spirit ijtihad. Dengan begitu, dinamika ijtihad selalu mengiringi dinamika
dan perkembangan hukum, seiring dengan perkembangan zaman. Dalam
dinamika tersebut tidak perlu takut salah, karena salah pun masih dihargai
sebagai suatu pengabdian kepada Allah.

d. Pokok-pokok Kandungan Hukum Hadis

Berdasarkan keterangan dan pembahasan yang telah dikemukakan,


maka dapatlah ditarik beberapa kandungan pokok hadis ini, yaitu :

Lihat CD Hadis, Abu Al-Fadhl Abady, ‘Awn al-Ma’bud, hadis no. 3103
89

90
Lihat Nurcholish Madjid, Taqlid dan Ijtihad: Masalah Kontnuitas dan Kreativitas Dalam
Memahami Pesan Agama, dalam dalam Budhy Munawar Rachman (Editor), Kontekstualisasi
Doktrin Islam dalam Sejarah, Cet. I; Jakarta : Yayasan Paramadina, 1994). h. 346.
1. Hadis tentang ijtihad hakim diriwayatkan oleh Amr bin al-Ash yang juga
terkait langsung dengan sebab wurud hadis ini. Amr bin al-Ash
merupakan salah satu sahabat Nabi yang sering ditunjuk Nabi untuk
menyelesaikan beberapa kasus hukum.
2. Nilai sebuah ijtihad yang dapat mendatangkan kebaikan atau pahala
apabila dilakukan oleh seorang hakim atau mujtahid yang benar-benar
kompoten dan bertanggungjawab terhadap hasil ijtihadnya. Bila
dilakukan oleh orang yang tidak memenuhi syarat maka hasilnya tidak
akan bernilai pahala menurut hadis ini.
3. Hadis ini memberi motivasi kepada para praktisi hukum untuk sedapat
mungkin melakukan ijtihad seiring dengan dinamika dan perkembangan
hukum dalam masyarakat.

3. Tata Cara Mengadili Perkara ( BM. 1415)

a. Materi Hadis

‫ض لِأْل ََّو ِل َحىَّت‬


ِ ‫ك َر ُجاَل ِن فَاَل َت ْق‬
َ ‫اض ى إِلَْي‬ ِ
َ ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم إِذَا َت َق‬
ِ ُ ‫عن علِي قَ َال قَ َال يِل رس‬
َ ‫ول اللَّه‬ َُ ٍّ َ ْ َ
‫اض يًا َب ْع ُد (رواه أمحد و أب و داود‬ ِ َ‫ض ي قَ َال علِي فَم ا ِزلْت ق‬ ِ ‫ف تَ ْد ِري َكي ف َت ْق‬ َ ‫تَ ْس َم َع َكاَل َم اآْل َخ ِر فَ َس ْو‬
ُ َ ٌّ َ َ ْ
)‫ وصححه ابن حبان‬,‫ وقواه ابن املديين‬, ‫والرتمذي و َح َسنه‬
Artinya:
(Hadis diriwayatkan) dari ‘Ali berkata, Rasulullah saw. Telah bersabda
kepadaku: “Apabila engkau memutuskan perkara dua orang (yang
berperkara), maka jangan lebih dahulu memberikan keputusan sebelum
engkau mendengar perkataan (alasan) pihak kedua (yang lain), maka
engkau akan mengetahui bagaimana cara memutuskananya. Ali
berkata, maka setelah itu aku selalu memutuskan perkara (dengan cara
177
itu).” (H.R. Abu Dawud, dan al-Turmudziy menghasankan hadis ini, Ibn
al-Madiniy menguatkannya dan Ibn Hibban telah menshahihkannya).

b. Takhrij al-Hadits

1. Abu Dawud, kitab al-aqdhiyah, bab kaifa al-qadha’, hadis no. 3111.
2. Al-Turmudziy, kitab al-ahkam, bab ma ja’a fi al-qadhiy la yaqdhiy baina
al-khashimain hatta yasma’ al-kalam al-akhar, hadis no. 1252.
3. Ahmad bin Hanbal, kitab musnad al-‘asyarah al-mubasysyirin bi al-
jannah, bab wa min musnad ‘Ali bin Abi Thalib, hadis no. 1148, 1218.

c. Biografi Singkat Sahabat Nabi Periwayat hadis

(‘ALI BIN ABI THALIB)

‘Ali bin Abi Thalib bin ‘Abd al-Muthalib bin Hisyam bin ‘Abd al-Manaf
al-Hasyimi adalah saudara sepupu dan menantu Nabi Muhammad saw.
Ibunya bernama Fathimah binti Asad bin Hasyim, sempat masuk Islam, dan
meninggal pada waktu Rasulullah saw. masih hidup. Pada masa mudanya,
‘Ali dikenal sebagai pemuda yang gagah berani. Dia aktif membela panji
Islam dalam seluruh peperangan pada zaman Nabi, kecuali dalam perang
Tabuk. Saat perang Tabuk, ‘Ali diberi tugas oleh Nabi untuk berada di kota
Madinah.

‘Ali bin Abi Thalib adalah remaja pertama yang memeluk Islam. Pada
waktu akan memeluk Islam, ‘Ali sempat berfikir untuk meminta
pertimbangan kepada ayahnya. Namun akhirnya, dia sadar bahwa memilih
kebenaran tidak sepatutnya terlebih dahulu meminta pertimbangan kepada
orang lain, bahkan kepada orang tua sekalipun. Dia langsung menghadap
sendiri kepada Nabi, yang waktu itu belum lama beliau dibangkit sebagai
Rasulullah, untuk menyatakan diri sebagai muslim.
Ketika Nabi berangkat hijrah ke Madinah bersama Abu Bakar, ‘Ali
diberi amanat untuk tidur di kamar Nabi, agar dengan demikian orang-
orang musyrik tetap beranggapan bahwa Nabi masih tetap berada di
rumah. Tugas kamuflase mengecoh orang-orang musyrik itu berhasil
dengan sukses.
Keutamaan yang menonjol pada diri ‘Ali bin Abi Thalib cukup banyak.
Selain beliau dikenal sebagai tokoh sahabat yang jujur, tawadhu’ dan gagah
berani di medan pertempuran, dia juga dikenal sebagai ulama yang ahli di
bidang fikih, dan sastera Arab, yang pidatonya sangat memikat hadirin. ‘Ali
salah seorang penulis wahyu Alquran.

‘Ali menerima riwayat hadis langsung dari Nabi saw., selain itu ia
juga mengambil riwayat hadis dari Abu Bakr, ‘Umar, Miqdad bin al-Aswad
dan istrinya Fathimah binti Rasulullah saw. Selanjutnya, riwayat hadis
darinya diterima oleh banyak periwayat, antara lain: dari kalangan
keluarganya, yakni anak-anaknya al-Hasan, al-Husain, Muhammad al-Akbar
yang terkenal dengan nama Ibn al-Hanafiyah, ‘Umar, Fathimah, cucunya
bernama Muhammad bin ‘Umar bin ‘Ali, ‘Ali bin al-Hasan bin ‘Ali secara
mursal, Ummu Musa, keponakannya bernama ‘Abdullah bin Ja’far bin Abi
Thalib, dan Ja’dah bin Habirah al-Makhzumiy, serta sekertarisnya ‘Abdullah
bin Abi Rafi’.
Di kalangan sahabat yang menerima riwayat ‘Ali, antara lain :
‘Abdullah bin Mas’ud, al-Barra’ bin ‘Azib, Abu Hurairah, Abu a’id al-
Khudriy, Basyr bin Sahim al-Ghifariy, Zaid bin Arqam, Safinah maula
Rasulullah saw., Shuhaib al-Rumiy, Ibn ‘Abbas, Ibn ‘Umar, Ibn al-Zubair,
‘Amr bin Huraits, al-Nazal bin Sabrah al-Hilaliy, Jabir bin Samrah, Jabir bin
‘Abdullah, Abu Juhaifah, Abu Umamah, Abu Lailiy al-Anshariy, Abu Musa,
Mas’ud bin al-Hakm al-Zuraqiy, Abu Thufail ‘Amir bin Watsilah, dan lain-
lain.
179
Dari kalangan tabiin yang menerima riwayat dari ‘Ali, antara lain:
Zar bin Habisy, Zaid bin Wahab, bu Aswad al-Dailiy, al-Harits bin Suwaid al-
Taimiy, al-Harits bin ‘Abdullah al-A’war, Harmalah maula Usamah bin Zaid,
Abu Sasan Hadhin bin al-Mundzir al-Raqasyiy, Hujaibah bin ‘Abdullah al-
Kindiy, Rabi’iy bin Harrasy, Syuraih bin Haniy’, Syuraih bin al-Nu’man al-
Sha’idiy, Abu Wa’il Syaqiq bin Salamah, Syabib bin Rabi’iy, Suwaid bin
Ghaflah, ‘Ashim bin Dhamrah al-Sululiy, ‘Amir bin Syarahil al-Sya’biy,
‘Abdullah bin Salamah al-Muradiy, ‘Abdullah bin Syidad bin al-Had,
‘Abdullah bin Syaqiq, ‘Abdullah bin Mu’aqqil bin Maqran, ‘Abd Khair bin
Yazid al-Hamdaniy, ‘Abd al-Rahman bin Abi Lailiy, ‘Ubaidah al-Salmaniy,
‘Alaqamah bin Qais al-Nukha’iy, ‘Umair bin Sa’id al-Nukha’iy, Qais bin ‘Ibad
al-Bashriy, Malik bin Aus bin al-Hadtsan, Marwan bin al-Hakm, Mathraf bin
‘Abdullah bin Syakhir, Nafi’ bin Jubair bin Math’am, Haniy’ bin Haniy’,
Yazid bin Syarik, Abu Burdah bin Abu Musa al-Asy’ariy, Abu Hayyah al-
Wada’iy, Abu Khalil al-Hadhramiy, Abu Shalih al-Hadhramiy, Abu Shalih al-
Hanafiy, Abu ‘Abd al-Rahman al-Salmiy, Abu ‘Ubaid maula Ibn Azhar, Abu
al-Hayyaj al-Asadiy, dan lain-lain.

‘Ali bin Abi Thalib telah meriwayatkan 586 buah hadis yang
diriwayatkan menurut kesepakatan (muttafaq ‘alaih) al-Bukhariy dan
Muslim sebanyak 20 buah hadis; yang diriwayatkan oleh al-Bukhariy
sendiri ada 9 buah, sedang yang diriwayatkan oleh Muslim sendiri
sebanyak 15 buah.

‘Ali bin Abi Thalib dibaiat sebagai khalifah menggantikan Khalifah


‘Utsman bin ‘Affan. Pada masa pemerintahan ‘Ali, peperangan antara
pendukung ‘Ali dan pendukung Mu’awiyah telah terjadi. Peristiwa tahkim
telah menjadikan pendukung ‘Ali mengalami kekalahan diplomasi.
Sebagaimana Khalifah ‘Utsman, Khalifah ‘Ali juga mati dibunuh oleh ‘Abd
al-Rahman bin Muljan seorang pengiktu Khawarij, pada tahun 40 H. waktu
itu ‘Ali berusia sekitar 61 tahun.
Para pendukung ‘Ali dalam sejarah dikenal dengan sebutan syi’ah.
Kalau pada awalnya dukungan itu berlatar belakang politik, maka pada
perkembangan selanjutnya latar belakang dukungan itu berubah kepada
pandangan teologi. Dalam sejarah, golongan syi’ah telah mengalami
perpecahan. Kelompok-kelompok syi’ah itu ada yang dikenal berpaham
ekstrim, misalnya Syi’ah Ghulat, dan ada yang dikenal moderat, yaitu Syi’ah
Zaidiyah. Salah satu kelompok syi’ah yang saat ini memimpin Negara
adalah Syi’ah Itsna ‘Asyariyah (Syi’ah Dua Belas) di Iran.91

d. Arti Kosakata dan Syarahan Hadits

Adapun arti beberapa kosakata hadis ini, dapat dikemukakan, antara


lain:
1. Kalimat ‫ضى‬ َ ‫إِ َذا تَقَا‬, artinya engkau memutuskan perkara dua pihak yang
berperkara.
2. Kalimat ‫ض لِأْل َ َّول‬ ِ ‫فَاَل تَ ْق‬, artinya jangan memustkan perkara itu untuk
kemenangan satu pihak.
3. Kalimat ‫ر‬ ِ ‫ َحتَّى ت َْس َم َع كَاَل َم اآْل َخ‬sebelum engkau mendengarkan alasan atau
keterangan dari pihak yang lain.
4. Kalimat ‫ري‬ ِ ‫ فَ َس وْ فَ تَ ْد‬artinya dengan begitu engkau akan mengetahui
caranya.
5. Kalimat ‫ض‬ ِ ‫ َك ْيفَ تَ ْق‬, bagaimana cara terbaik untuk memutuskan perkara
itu.
ِ َ‫ت ق‬
6. Kalimat ‫اضيًا بَ ْع ُد‬ ُ ‫فَ َما ِز ْل‬, artinya Ali memutuskan perkara memakai metode
ini.

91
Lihat Ibn Hajr al-Asqalaniy, Tahdzib, op.cit., IV, h. 610-613, M. Syuhudi Ismail, Diktat
Hadis Ahkam, op.cit., h. 26-28.
181
Penjelasan hadis tersebut di atas dapat dilihat dari penjelasan penggalan
hadis sebagai berikut:

‫ض لِأْل َ َّو ِل َحتَّى تَ ْس َم َع كَاَل َم اآْل خَر‬


ِ ‫ك َر ُجاَل ِن فَاَل تَ ْق‬
َ ‫ضى إِلَ ْي‬
َ ‫إِ َذا تَقَا‬

(Apabila engkau memutuskan perkara dua orang (yang berperkara), maka


jangan lebih dahulu memberikan keputusan sebelum engkau mendengar
perkataan (alasan) pihak kedua (yang lain).

Hadis ini diceritakan oleh ‘Ali bin Abi Thalib bahwa setelah perang
Thaif, Rasulullah saw. mengutus ‘Ali ke Yaman untuk menjadi qadhi
(hakim) di sana. Sementara ‘Ali merasa belum berpengalaman. ‘Ali
bertanya kepada Rasulullah, Wahai Rasulullah engkau mengutusku sedang
saya merasa masih muda dan belum mengetahui cara memutuskan perkara.
Usia mudah yang dikeluhkan oleh ‘Ali, maksudnya karena belum
berpengalaman dalam menggunakan pikirannya, dan belum terbiasa
berijtihad. Kemudian Rasulullah saw. menjawab, Sesungguhnya Allah akan
memberi petunjuk pada hatimu dan mengokohkan lidahmu, apabila
diperhadapkan kepadamu dua pihak yang bersengketa, maka janganlah
dahulu engkau memutuskan perkaranya sebelum engkau mendengar alasan
pihak yang lain, sebagaimana hal yang sama engkau dengar dari pihak
sebelumnya. Petunjuk Allah itu, akan menuntun ‘Ali memutuskan perkara
sesuai dengan hukum Allah dan sunnah Rasul-Nya. Mengokohkan lidahmu,
maksudnya engkau tidak akan memutuskan perkara kecuali berdasarkan
kebenaran.

Dalam riwayat Ibn Majah yang lain dikatakan bahwa dengan keluhan
‘Ali itu, Rasulullah lalu meletakkan tangannya di dada ‘Ali lalu berdoa : ‫اللهم‬
‫( اهد قلبه وثبت لسانه‬ya Allah beri petunjuklah hatinya dan kokohkan lidahnya).
ِ ‫فَ َسوْ فَ تَ ْد ِري َك ْيفَ تَ ْق‬
‫ضي‬
( maka engkau akan mengetahui bagaimana cara memutuskannya).

Dengan cara seperti itu engkau akan mengetahui cara memutuskan


perkara. Maksudnya, hakim dapat belajar cara memutuskan perkara
melalui keterangan dan pembelaan dari kedua belah pihak yang
bersengketa. Hakim tidak dapat memutuskan perkara dengan adil kalau
hanya mendengar keterangan dari sebelah pihak. Putusan yang diambil
akan cenderung berpihak karena hanya sebelah pihak yang didengar
pendapatnya. Sebagai penengah, tentunya seorang hakim harus menerima
keterangan dari kedua belah pihak, dengan begitu dia akan bisa
memutuskan perkara dengan adil dan tidak berat sebelah.

‫اضيًا بَ ْع ُد‬ ُ ‫ال َعلِ ٌّي فَ َما ِز ْل‬


ِ َ‫ت ق‬ َ َ‫ق‬
(Ali berkata, maka setelah itu aku selalu memutuskan perkara (dengan cara
itu).
Maksudnya, bahwa setelah doa dan pengajaran Rasulullah saw. itu,
‘Ali selalu memutuskan perkara orang-orang yang bersengketa dengan cara
seperti yang diajarkan Rasulullah itu. .92

Menurut ulama, hadis ini menunjukkan hukum haram bagi hakim


memutuskan perkara sebelum mendengar alasan dari kedua pihak yang
bersengketa dalam menjelaskan duduk masalahnya. Menurut qadhi al-
Syaukaniy: ‘Apabila hakim memutuskan perkara sebelum mendengar alasan
dari pihak lain, maka putusannya itu hukumnya batil, tidak boleh diterima,
bahkan dapat ditinjau kembali keabsahan keputusannya itu oleh hakim
lain.93
Lihat al-Mubarakfuri, Tuhfat al-Ahwadziy, hadis no. 1252.
92

Lihat Abu Tayyib Muhammad Syams al-Haq al-‘Azhim Abadi, ‘Awn al-Ma’bud, Syarh
93

Sunan Abi Dawud, jilid hadis no. 3111.


183
.
e. Pokok-pokok Kandungan Hukum Hadis

Berdasarkan keterangan dan pembahasan yang telah dikemukakan,


maka dapatlah ditarik beberapa kandungan pokok hadis ini, yaitu :

1. Larangan memutuskan perkara sebelum mendengar alasan kedua belah


pihak yang berperkara.
2. Putusan hakim yang tidak adil dapat dibatalkan atau ditinjau kembali
oleh hakim yang lain.
3. Perintah untuk belajar dari perkara yang dihadapi, dan meminta
petunjuk dari orang yang lebih berpengalaman dan lebih mengetahui
cara menyelesaikan perkara.

4. Upaya Mendamaikan Pihak-Pihak Yang Berperkara (LM. 1122)

a. Materi Hadis

‫اش َتَرى َر ُج ٌل ِم ْن َر ُج ٍل َع َق ًارا لَهُ َف َو َج َد‬ ْ ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم‬ ِ
َ ُّ ‫َع ْن أَيِب ُهَر ْي َر َة َرض َي اللَّهُ َعْن هُ قَ َال قَ َال النَّيِب‬
‫ك ِميِّن إِمَّنَ ا‬
َ َ‫اش َتَرى الْ َع َق َار ُخ ْذ ذَ َهب‬ْ ‫ب َف َق َال لَ هُ الَّ ِذي‬ ِ
ٌ ‫اش َتَرى الْ َع َق َار يِف َع َق ا ِر ِه َج َّرةً ف َيه ا ذَ َه‬ْ ‫الر ُج ُل الَّ ِذي‬ َّ
‫ض َو َم ا فِ َيه ا َفتَ َحا َك َم ا إِىَل‬ َ ُ‫ض إِمَّنَا بِ ْعت‬
َ ‫ك اأْل َْر‬
ِ
ُ ‫ب َوقَ َال الَّذي لَهُ اأْل َْر‬ َ ‫الذ َه‬َّ ‫ك‬ َ ‫ض َومَلْ أ َْبتَ ْع ِمْن‬ َ ‫ت ِمْن‬
َ ‫ك اأْل َْر‬ ُ ْ‫ا ْشَتَري‬
‫َح ُدمُهَا يِل ُغاَل ٌم َوقَ َال اآْل َخ ُر يِل َجا ِريَ ةٌ قَ َال أَنْ ِك ُح وا الْغُاَل َم‬ ِ ِ ِ
َ ‫َر ُج ٍل َف َق َال الَّذي حَتَا َك َم ا إلَْي ه أَلَ ُك َم ا َولَ ٌد قَ َال أ‬
ِ ِ ِ
)‫ (رواه البخاري و مسلم وغريمها‬.‫ص َّدقَا‬ َ َ‫اجْلَا ِريَةَ َوأَنْف ُقوا َعلَى أَْن ُفس ِه َما مْنهُ َوت‬

Artinya:
(Hadis diriwayatkan) dari Abu Hurairah ra. Berkata, Nabi saw. Bersabda,
“Ada seorang laki-laki membeli sebuah rumah dari seorang laki-laki. Laki-
laki yang membeli rumah itu mendapatkan guci yang berisi emas di rumah
tersebut. Maka orang yang membeli rumah berkata, ‘Ambillah ini
emasmu. Aku hanya membeli tanah ini saja darimu dan tidak emasmu.’
Pemilik tanah itu berkata, ‘Aku menjual tanah beserta segala isinya.’ Maka
mereka berdua mengajukan masalah tersebut kepada seseorang. Orang
tersebut berkata, ‘Apakah kalian memiliki anak?’ Salah seorang dari
mereka dua berkata, ‘Aku mempunyai anak laki-laki.’ Sedangkan yang
satunya lagi berkata, ‘Aku mempunyai anak perempuan.’ Orang tersebut
berkata, ‘Nikahkanlah oleh kalian anak laki-laki dan anak perempuan itu,
dan belanjakanlah untuk keperluan mereka berdua dari emas tersebut dan
sedekahkanlah oleh kalian berdua’.” (H.R. al-Bukhariy, Muslim dan
selainnya).

b. Takhrij al-Hadits

1. Al-Bukhariy, kitab ahaditsi al-anbiya’, bab hadits al-ghar, hadis no.


3213.
2. Muslim, kitab al-aqdhiyah, bab istahabbah ishlah al-hukm bain al-
khashimain, hadis no. 3246.
3. Ibn Majah, kitab al-ahkam, bab man ashib rikaz, hadis no. 2502.
4. Ahmad bin Hanbal, kitab baqi musnad al-muktsirin, bab baqi musnad
sabiq, hadis no. 7844.

c. Biografi Singkat Sahabat Nabi Periwayat hadis

(ABU HURAIRAH)

185
Nama lengkap Abu Hurairah ialah’ Abd al-Rahman bin Shakhr al-
Dausi al-Yamani. Nama ‘Abd al-Rahman adalah nama pemberian Rasulullah
saw. Namanya sebelum memeluk Islam, ada yang menyatakan ‘Abd al-
Syams dan ada yang menyebut nama lain. Setelah memeluk Islam, dia
lebih dikenal dengan sapaan (kuniyah-nya) Abu Hurairah (arti harfiahnya
bapak seekor anak kucing). Menurut suatu riwayat, sebutan itu
diperolehnya dari Nabi. Dia di sapa begitu karena dia sering terlihat
membawa seekor anak kucing betina. Nabi pernah melihat anak kucing itu
berada di lengan baju Abu Hurairah. Bila malam hari, anak kucing tersebut
ditaruhnya di sebatang pohon.

Abu Hurairah masuk Islam menurut suatu sumber sekitar tahun 7


Hijriyah, bertepatan dengan saat perang Khaibar. Sejak saat itu dia
berusaha untuk selalu berada di sisi Nabi saw. Sampai Nabi wafat. Dengan
demikian, Abu Hurairah bersama-sama dengan Nabi sekitar tiga sampai
empat tahun. Selama bergaul dengan Nabi, Abu Hurairah berusaha
keras untuk menimbah ilmu pengetahuan secara langsung dari Nabi. Dia
tinggal di samping masjid bersama sekitar 70 orang. Mereka ini kemudian
dikenal dengan sebutan ahlu al-shuffah.

Dari segi ekonomi, Abu Hurairah hidup dalam keadaan sangat


miskin. Tidak jarang dia harus mengganjal perutnya dengan batu karena
menahan lapar. Menurut pengakuan Abu Hurairah sendiri, pernah suatu
ketika dia dikira sedang hilang ingatan oleh orang-orang disekitar, padahal
sesungguhnya waktu itu dia sedang mengalami rasa lapar yang luar biasa.

Karena dorongan iman dan keadaan ekonominya, maka tidaklah


mengherankan Abu Hurairah lalu sering melakukan ibadah puasa. Bila
suatu hari ketika berpuasa dia hanya memiliki 15 biji kurma, maka yang
lima biji digunakan untuk berbuka, yang lima biji lagi untuk sahur, dan
yang lima biji sisanya untuk berbuka besoknya.
Walaupun buta huruf, Abu Hurairah tidak mengalami kesulitan untuk
menimbah pengetahuan dari Rasulullah. Pada permulaan masuk Islam,
hafalan Abu Hurairah lemah. Akan tetapi setelah Nabi mendoakannya
kepada Allah agar hafalannya menjadi kuat. Atas permintaannya, maka dia
didoakan oleh Rasulullah agar memiliki hafalan yang baik. Ternyata doa
Nabi terkabul, sehingga Abu urairah termasuk sahabat yang kuat
hafalannya. Al-Bukhariy, Muslim, dan al-Turmudziy mentakhrijkan sebuah
hadis yang berasal dari Abu Hurairah. Dia pernah berkata: “Saya pernah
mengadukan kelemahan hafalanku kepada Nabi.” Nabi bersabda
kepadaku, “Bentangkan selendangmu,” saya pun membentangkanya.Lalu
Nabi menceritakan kepadaku banyak hadis, dan saya tidak pernah lupa apa
yang beliau ceritakan. Menurut pengakuan Abu Hurairah, waktunya sehari-
hari dibagi menjadi tiga bagian; sepertiga bagian untuk salat malam,
sepertiga bagian lagi untuk menghafal hadis, dan sepertiga bagian yang
sisa untuk istirahat.

Di bidang periwayatan hadis Nabi, Abu Hurairah menduduki


peringkat pertama dalam kelompok para sahabat Nabi yang digelari al-
Muktsiruna fi al-hadits (Bendaharawan hadis), yakni para sahabat yang
telah meriwayatkan hadis sebanyak lebih dari seribu buah.

Menurut hitungan Baqi bin Makhlad (201-276 H), jumlah hadis yang
telah diriwayatkan oleh Abu Hurairahj sebanyak 5374 buah (menurut al-
Kirmani : 5364). Dari jumlah tersebut, yang periwayatannya disepakati
oleh al-Bukhari dan Muslim (muttafaq ‘alaih) sebanyak 325 buah hadis;
yang diriwayatkan oleh al-Bukhari sendiri sebanyak 93 buah, dan yang
diriwayatkan oleh Muslim saja sebanyak 189 buah hadis.

187
Para sahabat Nabi pernah menegur Abu Hurairah karena dia begitu
banyak meriwayatkan hadis Nabi sedangkan dia bergaul dengan Nabi
relatif tidak lama (sekitar 3 tahun). Abu Hurairah menjawab: “Ketika
orang-orang muhajirin sibuk dengan barang-barang perniagaan di pasar
dan orang-orang Anshar sibuk dengan urusan kebun-kebun mereka, maka
saya menyibukkan diri pada kegiatan belajar menghafal hadis Nabi.

Abu Hurairah selain menerima hadis langsung dari Nabi saw.


meriwayatkan juga melalui Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan lain-lain.
Sedangkan yang meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah ada sekitar 800
orang yang terdiri dari sahabat dan tabiin. Di antara mereka dari kalangan
sahabat, yaitu ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Umar, Anas bin Malik,
dan Jabir bin ‘Abdullah. Adapun dari kalangan tabiin, adalah Sa’id bin al-
Musayyab, Ibn Sirrin, ‘Ikrimah, dan lain-lain.94

Sanad hadis yang paling sahih yang berpangkal dari Abu Hurairah,
yaitu al-Zuhriy dari Sa’id bin al-Musayyab dari Abu Hurairah. Adapun
sanad hadis yang paling lemah adalah al-Sari bin Sulaiman bi Abi Dawud
bin Yazid al-Awdi dari bapaknya (Yazid al-Awdi) dari Abu Hurairah. Jadi,
kekuatan hadis yang berasal dari Abu Hurairah, disamping dari ketekunan
Abu Hurairah sendiri, juga karena didukung oleh kekuatan para periwayat
yang menersukan hadis dari Abu Hurairah.

Abu Hurairah mendapat penilaian para periwayat hadis dengan


penilaian yang sangat baik, antara lain :
1) Thalhah bin Ubaidillah: Tidak diragukan lagi Abu Hurairah mendengar
hadis dari Rasulullah apa yang kami tidak mendengarnya.
2) ‘Abdullah bin ‘Umar : Abu Hurairah lebih baik dariku dan lebih
mengetahui.95
3) Imam Al-Syafi’i : Abu Hurairah penghafal riwayat hadis pada zamannya.

Lihat al-Hafidz Abi al-Fadhl Ahmad bin ‘Ali bin Hajr Syihab al-Din al-Syafi’iy al-
94

Asqalaniy, Tahdzib al-Tahdzib, juz VII, (([t.tp : Muassah al-Risalah, [tth], h. 524.
4) Tergolong sahabat Nabi yang berada pada tingkat keadilan yang kuat.96
Dengan demikian, kapasitas Abu Hurairah sebagai periwayat dari
tingkat sahabat yang adil tidak diragukan lagi.
Ketika ‘Umar bin al-Khaththab menjadi khalifah, Abu Hurairah
diangkat menjadi pejabat di Bahrain, tetapi kemudian dicopot. Pada zaman
Mu’awiyah menjadi khalifah Bani Umayyah, Abu Hurairah diangkat
menjadi Gubernur Madinah.

Tahun meninggalnya tidak disepakati oleh ahli sejarah. Sebagian ahli


mengatakan tahun 57 H, sebagian mengatakan 58 H, dan sebagian lagi
mengatakan 59 H. Kalangan sahabat Nabi lain yang hadir pada saat
wafatnya antara lain Abdullah bin Umar dan Abu Sa’id al-Khudriy.97

d. Arti Kosakata dan Syarahan Hadits

Adapun arti beberapa kosakata hadis ini, dapat dikemukakan, antara


lain:
ُ ‫ا ْشت ََرى َر‬, seseorang membeli tanah.
1. Kalimat ‫ج ٌل‬
َ َ‫ ْال َعق‬, yaitu harta yang tetap seperti tanah dan rumah.
2. Lafadz ‫ار‬
3. Kalimat ٌ‫ج َّرةً فِيهَا َذهَب‬
َ , bejana atau semacam guci yang berisis emas.
4. Kalimat ‫فَت ََحا َك َما‬, maka mereka dua mengajukan masalah itu untuk
diselesaikan secara hukum.
95
Lihat Ibrahim Dasuqi al-Sahawi, Mushthalah al-Hadits, (Al-Azhar : Syirkat al-Funiyah al-
Muttahidah, [tth] ) h. 180-181.
96
Lihat Ibn Hajr al-Asqalani , op.cit., h. 523-527, Ibn Hajr al-Asqalaniy, Al-Ishabah fi
Tamyis al-Shahabah, jilid IV, (Kairo : Mushthafa Muhammad, 1385/1939 M), h. 202; ‚Izz al-Din
bin Atsir, Usud al-Ghabah fi Ma’rifah al-Shahabah, Jilid IV, (Beirut : Dar al-Kutb al-Ilmiyah, 1415
H/1993 M), h. 321;.
97
Lihat Ibn Hajr al-Asqalaniy, Tahdzib al-Tahdzib, op.cit, VII, h.525. Khalid Muhammad
Khalid, Rijal Hawla al-Rasul, (Beirut : Dar al-Fikr, [tth.]), h. 425.

189
5. Kalimat ‫ أَلَ ُك َما َولَ ٌد‬, apakah kamu berdua masing-masing memiliki anak
ُ , anak laki-laki.
6. Lafadz ‫غاَل ٌم‬
7. Lafadz ٌ‫اريَة‬
ِ ‫ج‬,
َ anak perempuan
8. Kalimat ِ ‫أَ ْن ِك ُح وا ْال ُغاَل َم ْال َج‬, nikahkan anak laki-laki dengan anak
َ‫اريَ ة‬
perempuan itu.
ِ ُ‫ َوأَ ْنفِقُ وا َعلَى أَ ْنف‬, kamu beri nafkah hidup terhadap diri
9. Kalimat ُ‫س ِه َما ِم ْن ه‬
keduanya dari barang temuan itu.
10. Kalimat ‫َص َّدقَا‬
َ ‫وت‬,
َ dan kamu berdua bersedekah melalui barang itu
juga.

Penjelasan hadis tersebut di atas dapat dilihat dari penjelasan penggalan


hadis sebagai berikut:

ُ‫ا ْشت ََرى َر ُج ٌل ِم ْن َرج ٍُل َعقَارًا لَه‬


(Ada seorang laki-laki membeli sebuah rumah dari seorang laki-laki.)

Seorang telah membeli dari seorang penjual rumah dengan


tanahnya. Tidak disebutkan nama mereka, atau tidak disebutkan salah
satu pun dalam kisah ini. Akan tetapi, menurut Wahab bin Munabbih
dalam al-Mubtada’, bahwa orang yang menghakimi (minta diselesaikan
kasus) itu adalah Nabi Dawud as. Menurut Ishaq bin Basyr, bahwa kasus
itu terjadi pada zaman Dzulqarnain ketika menyelesaikan beberapa kasus
peradilan. Al-Bukhariy, menyatakan pendapat Wahab selebih kuat karena
didukung oleh kisah-kisah yang terjadi pada masa Bani Israil. Kata ‫العقار‬
menurut bahasa yaitu al-manzil (rumah) dan al-dhai’ah (tanah yang
mendatangkan hasil), sebagian orang mengkhususkan pada pengertian al-
nakhal (pohon kurma). Ada yang mengatakan untuk kesenangan jiwa
apabila seorang memilki rumah. Menurut Qadhiy ‘Iyad, al-‘aqar adalah
asal(pokok) harta, yakni rumah dan tanah pekarangannya. Dikatakan
bahwa kesenangan di rumah membuat orang jadi khilaf. Dari pengertian
bahasa tersebut yang dimaksudkan adalah aqar bermakna rumah tempat
tinggal.

‫ار ُخ ْذ َذهَبَ كَ ِمنِّي إِنَّ َما‬


َ َ‫ار ِه َج َّرةً فِيهَا َذهَبٌ فَقَا َل لَهُ الَّ ِذي ا ْشت ََرى ْال َعق‬ َ َ‫فَ َو َج َد ال َّر ُج ُل الَّ ِذي ا ْشت ََرى ْال َعق‬
ِ َ‫ار فِي َعق‬
‫َب‬
َ ‫الذه‬ َ ‫ض َولَ ْم أَ ْبتَ ْع ِم ْن‬
َّ ‫ك‬ َ ْ‫ك اأْل َر‬ ُ ‫ا ْشت ََري‬
َ ‫ْت ِم ْن‬

(Laki-laki yang membeli rumah itu mendapatkan guci yang berisi emas di
rumah tersebut. Maka orang yang membeli rumah berkata, ‘Ambillah ini
emasmu. Aku hanya membeli tanah ini saja darimu dan tidak emasmu).

Maka kemudian laki-laki yang membeli rumah itu mendapatkan


sebuah guci yang berisikan emas. Kemudian berkata kepada penjual
rumah,”Ambillah emas ini, karena aku hanya membeli dari engkau
tanahnya, dan aku tidak membeli emasnya. Keterangan ini menunjukkan
bahwa akad jual beli yang terjadi antara keduanya yaitu khusus akad jual
beli tanah. Menurut penjualnya,akad itu sudah termasuk di dalamnya apa
yang terkandung di dalam tanah itu. Tetapi menurut pemahaman pembeli
tanah itu, tidak termasuk di dalamnya apa yang terdapat di dalam tanah
itu. Persoalan mereka, sesungguhnya berada pada dictum perjanjian itu,
dan keduanya tidak ada yang menyimpang dari isi pernyataan akad jual
beli itu. Menurut Ibn Hajr al-Asqalaniy, jika contoh ini dilihat dari hukum
syariat kita (Islam) maka “pernyataan pembeli bahwa emas itu masih
menjadi milik penjual” adalah benar. Ini menjadi berbeda dengan
pernyataan dalam akad itu, kalau pembeli tidak menjelaskan bahwa
pembelian tanah itu termasuk apa yang dikandungnya, tetapi hanya
khusus penjualan tanah saja. Padahal menurut penjual sudah jelas bahwa
tanah dan isinya sudah termasuk dalam jual beli itu. Hukum dalam akad
itu, harus diperkuat dan atau mengembalikan transaksi jual beli itu. Hal
191
itu dilakukan karena didapatinya harta lain yaitu guci berisi
emas.Menurut riwayat Ishaq bin Basyr bahwa pembeli itu berkata, bahwa
ia membeli rumah itu kemudian membangunnya lalu menemukan harta
karun (kanzun). Sementara itu, penjual rumah itu berkata, mengapa
engkau mengembalikan apa yang engkau dapati sesuatu yang bukan aku
yang timbun dan tidak aku ketahui.

َ ْ‫َوقَا َل الَّ ِذي لَهُ اأْل َرْ ضُ إِنَّ َما بِ ْعتُكَ اأْل َر‬
‫ض َو َما فِيهَا‬
(Pemilik tanah itu berkata, ‘Aku menjual tanah beserta segala isinya).

Menurut riwayat Ishaq bin Basyr bahwa pembeli itu berkata, bahwa
ia membeli rumah itu kemudian membangunnya lalu menemukan harta
karun (kanzun). Sementara itu, penjual rumah itu berkata, mengapa
engkau mengembalikan apa yang engkau dapati sesuatu yang bukan aku
yang timbun dan tidak aku ketahui. Menurut riwayat Ahmaddari ‘Abd al-
Razzaq ketika menjelaskan pernyataan di atas, bahwa penjual tanah itu
berkata: “Sesungguhnya aku menjual kepadamu tanah itu”. Kebanyakan
riwayat menyatakan, bahwa pembeli yang mengatakan telah membeli
tanah itu. Yang dimaksudkan adalah menjual tanah,sebagaimana riwayat
Ahmad,dan sebagian dari pengikutnya.

‫فَت ََحا َك َما إِلَى َرج ٍُل‬


(Maka mereka berdua mengajukan masalah tersebut kepada seseorang.)

Oleh karena persoalan itu tidak dapat mereka selesaikan berdua,


maka kasus itu kemudian mereka ajukan kepada seseorang untuk
memutuskannya secara benar dan adil. Hakim yang diminta untuk
menyelesaikan kasus ini menurut riwayat Wahab bin Munabbih adalah
Nabi Dawud as.
Pernyataan ‫ فتحاكما‬menunjukkan bahwa keduanya meminta ditetapkan
hukumnya. Akan tetapi dalam riwayat hadis Ishaq bin Basyr dijelaskan
bahwa hakim yang dimintai itu adalah manusia biasa. Menurut Malik dan
al-Syaf’iy, siapa saja boleh menyelesaikan kasus seperti itu apabila dia
paham (ahli) dalam masalah hukum,dan mampu memutuskannya dengan
benar, apakah itu sesuai dengan pendapat hakim Negara (resmi) atau
tidak, dengan catatan menurut al-Syaf’iy bukan masalah hudud (pidana).
Abu Hanifah berpendapat bahwa keputusan hakim (tidak resmi tapi ahli
hukum itu) harus tidak bertentangan dengan pendapat hakim resmi. Al-
Qurthubiy menegaskan jika belum ada sumber hukum yang mengikat
salah satu dari keduanya.Jika telah jelas hukum yang berlaku pada
keduanya, maka hukum yang diberlakukan adalah hukum yang berkenaan
dengan harta, dan tanah yang mendatangkan hasil.

Katentuan hukumyang berlaku dalam masalah harta seperti ini


adalah hukum rikaz. Hukum rikaz menurut syariat adalah apabila temuan
itu milik atau telah tertimbun sejak masa jahiliah, sedangkan apabila
harta temuan itu ditemukan oleh orang muslim dan tertimbun pada masa
Islam,maka hukumnya menjadi hukum luqatha. Jika tidak jelas,maka
hukumnya adalah seperti hukum harta yang ditemukan tertimbun di
bawah tanah rumah.

‫ال الَّ ِذي ت ََحا َك َما إِلَ ْي ِه أَلَ ُك َما َولَ ٌد‬
َ َ‫فَق‬
(Orang tersebut berkata, ‘Apakah kalian memiliki anak?’ )

Yang dimaksud dengan walad (anak) dalam pernyataan ini yaitu jenis
anak (laki-laki atau perempuan). Karena mustahil yang dimaksdukan
adalah anak laki-laki semua padahal walad itu satu. Makna yang

193
dimaksudkan adalah, apakah masing-masing dari kamu berdua
mempunyai seorang anak(keturunan)?

ٌ‫اريَة‬ َ َ‫ال أَ َح ُدهُ َما لِي ُغاَل ٌم َوق‬


ِ ‫ال اآْل خَ ُر لِي َج‬ َ َ‫ق‬
(Salah seorang dari mereka dua berkata, ‘Aku mempunyai anak laki-laki.’
Sedangkan yang satunya lagi berkata, ‘Aku mempunyai anak perempuan.)

Dijelaskan dalam riwayat Ishaq bin Basyr, bahwa yang mengatakan


‘aku mempunyai anak laki-laki’ adalah pembeli rumah itu. Berarti yang
memiliki anak perempuan adalah penjual rumah itu.

َ ‫اريَةَ َوأَ ْنفِقُوا َعلَى أَ ْنفُ ِس ِه َما ِم ْنهُ َوت‬


‫َص َّدقَا‬ ِ ‫قَا َل أَ ْن ِكحُوا ْال ُغاَل َم ْال َج‬.
(Orang tersebut berkata, ‘Nikahkanlah oleh kalian anak laki-laki dan anak
perempuan itu, dan belanjakanlah untuk keperluan mereka berdua dari
emas tersebut dan sedekahkanlah oleh kalian berdua’.)

Yang menarik dicermati dari pernyataan hadis ini, yakni ada


beberapa lafal yang disebutkan dalam bentuk jamak, yaitu perintah untuk
menikahkan, perintah untuk memberi nafkah,sedangkan perintah
bersedekah dinyatakan dalam bentuk mutsanna. Rahasia yang
terkandung dalam kalimat itu bahwa perkawinan itu akan meredahkan
perselisihan mereka, dan pernikahan itu harus tetap ada wali dan selainya
misalnya, saksi. Demikian pula infaq itu membutuhkan orang yang
mengurusnya seperti perwakilan. Adapun sedekah disebut dalam bentuk
mutsanna,menunjukkan bahwa khusus kepada kedua suami istri itu.
Dalam riwayat Ishaq bin Basyr, disebutkan

‫اذهبا فزوج ابنتك من ابن هذا وجهزوهما من هذا المال وادفعا إليهما ما بقي يعيشان به‬
(Pergilah kalian berdua, kawinkanlah anak perempuanmu dengan anak
laki-lakinya ini, urusilah mereka berdua dengan harta ini, lalu sisanya
berilah mereka berdua untuk biaya hidup mereka)

Adapun sedekah disebut dalam bentuk mutsanna mengandung


isyarat bahwa kalau mereka dua menyalurkan sedekahnya diutamakan
tidak perlu melalui perantara. Tetapi langsung diberikan kepada mereka
yang sangat membutuhkannya.98

Hadis ini dibahas dalam bab tentang seseorang yang menjual rumah
dan tanahnya, lalu si pembeli menemukan sebuah bejana atau guci yang
berisikan emas, namun pembeli enggan mengambil emas itu karena
merasa masih milik penjual rumah itu. Dalam pada itu, penjual juga tidak
mau menerimanya karena menganggap bukan lagi miliknya. Selanjutnya,
mereka mengajukan perkara ini kepada seseorang yang dapat
memutuskan masalah mereka. Cara penyelesaian kasus ini yang
diceritakan dalam hadis ini, yaitu :

1. Mengawinkan anak laki-laki dengan anak perempuan dari kedua orang


yang berselisih itu.
2. Memberikan nafkah hidup dari emas itu kepada pasangan anak yang
telah dinikahkan itu.
3. Menyedekahkan sisa emas itu atas nama kedua orang yang berselisih
itu. 99

Hadis ini pula memberi petunjuk tentang keutamaan mendamaikan


pihak-pihak yang berperkara. Jadi, seorang hakim (qadhi) dianjurkan

98
Lihat Ibn Hajr al-Asqalaniy, Fath al-Bari, hadis no. 3213.
99
Lihat Imam al-Nawawiy, Syarh Shahih Muslim, hadis no. 3246.
195
untuk selalu tanggap dalam mendamaikan dua pihak yang berselisih
sebagaimana dianjurkan menyelesaikan perkara lain..

e. Pokok-pokok Kandungan Hukum Hadis

Berdasarkan keterangan dan pembahasan yang telah dikemukakan,


maka dapatlah ditarik beberapa kandungan pokok hadis ini, yaitu :

1. Anjuran mencari penyelesaian hukum terhadap perkara-perkara yang


tidak dapat diselesaikan secara damai oleh pihak yang bersengketa.
2. Mencari orang yang mengetahui hukum atau ahli hukum yang dapat
memutuskan perkara dengan benar dan adil.
3. Hakim dituntut menemukan penyelesaian hukum yang benar, tetap,
dan memuaskan pihak- pihak yang bersengketa.
4. Harta temuan dapat digunakan untuk nafkah hidup dan untuk
bersedekah.

5. Pihak yang harus Dimenangkan dalam Perkara (LM. 1114)

a. Materi Hadis

ِ ِ
ْ ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم أ‬
‫َخَبَر ْت َه ا‬ َ ِّ ‫َن أ َُّم َه ا أ َُّم َس لَ َمةَ َرض َي اللَّهُ َعْن َه ا َز ْو َج النَّيِب‬
َّ ‫َخَبَرتْهُ أ‬
ْ ‫ت أ ُِّم َسلَ َمةَ أ‬َ ‫ب بِْن‬ َّ ‫أ‬
َ َ‫َن َز ْين‬
ُ‫اب ُح ْجَرتِِه فَ َخ َر َج إِلَْي ِه ْم َف َق َال إِمَّنَا أَنَ ا بَ َش ٌر َوإِنَّه‬ ِ ‫ول اللَّ ِه ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه وس لَّم أَنَّهُ مَسِ ع ُخص ومةً بِب‬ ِ ‫َعن رس‬
َ َ ُ َ َ ََ َ َُْ
ِ ِ ْ‫ض فَأَح ِس ب أَنَّه ص َد َق فَأَق‬ ِ ِ
ُ‫ت لَه‬ ُ ‫ض ْي‬
َ َ‫ك فَ َم ْن ق‬ َ ‫ض َي لَهُ بِ َذل‬ َ ُ ُ ْ ٍ ‫ض ُك ْم أَ ْن يَ ُك و َن أ َْبلَ َغ م ْن َب ْع‬ ْ َ‫يَأْتييِن اخْل‬
َ ‫ص ُم َفلَ َع َّل َب ْع‬
)‫حِب َ ِّق ُم ْسلِ ٍم فَِإمَّنَا ِه َي قِطْ َعةٌ ِم ْن النَّا ِر َف ْليَأْ ُخ ْذ َها أ َْو َف ْليَْتُر ْك َها (رواه البخاري و مسلم وغريمها‬
Artinya:
(Hadis diriwayatkan) bahwasanya Zainab binti Ummi Salamah
memberitakan bahwa ibunya Ummu Salamah rah. istri Nabi saw.
memberitakan dari Rasulullah saw. mendengar pertengkaran di dekat
pintu kamarnya. Maka beliau pun keluar menghampiri mereka, lalu
beliau bersabda, ‘Aku ini hanyalah seorang manusia, dan aku didatangi
oleh sebuah perselisihan. Semoga sebagian kalian bisa menerangka
lebih jelas daripada yang lain. Aku mengira dia benar, maka aku
memutuskan perkara ini dimenangkan olehnya. Maka barangsiapa yang
aku putuskan ia mendapatkan hak muslim yang lain, sebenarnya itu
adalah sepotong dari api neraka, maka hendaklah ia mengambil atau
meninggalkannya. (H.R. al-Bukhariy, Muslim dan selainnya)

b. Takhrij al-Hadits

1. Al-Bukhariy, kitab al-madhalim, bab itsm man khashama fi bathil wa


hua ya’lam, hadis no. 2278.
2. Muslim, kitab al-aqdhiyah, bab al-hukm bi al-dhahir wa al-hajn li al-
hajjah, hadis no. 3231, 3232.
3. Abu Dawud, kitab al-aqdhiyah, bab fi qadha al-qadhiy idza akhtha’,
hadis no. 3112.
4. Al-Nasaiy, kitab adab al-qudhat, bab al-hukm bi al-dhahir, hadis no.
5306.
5. Ibn Majah, kitab al-ahkam, bab qadhiyat al-hukm la tahillu haram wa
tahrimu halalan, hadis no. 2308.
6. Ahmad bin Hanbal, kitab baqi musnad al-Anshar, bab hadits Ummu
Salamah Zaujah al-Nabiy, hadis no. 25286, 25402, 25409, 25492.
7. Malik, kitab al-aqdhiyah, bab al-targhib fi al-qadha bi al-haq, hadis no.
1205.

c. Biografi Singkat Sahabat Nabi Periwayat hadis


197
(UMMU SALAMAH ISTRI RASULULLAH SAW.)
Nama lengkapnya, Hindun bin Abi Umayyah bin Mughirah bin
‘Abdullah bin ‘Umar bin Makhzum bin Yaghzhah bin Murrah al-Qurasyiyah
al-Makhzumiyah. Dia dikenal dengan Ummu Salamah. Ayahnya bernama
Suhail bin Mughirah, yang dijuluki dengan sebutan Abu Umayyah. Dia
adalah pemimpin Bani Makhzum dan tidak ada yang dapat menandingi
kekuatannya. Abu Umayyah dikenal mulia dan dermawan hingga dijuluki
dengan sebutan Zad al-Rakib. Ibunya bernama ‘Atiqah binti ‘Amir bin
Rabi’ah bin Malik bin Khuzaimah bin Alqamah bin Kananiyah, yang berasal
dari Bani Faras al-Amjad.
Umm Salamah menerima hadis langsung dari Nabi saw. dan yang
meriwayatkan hadis darinya antara lain: anaknya ‘Umar, Zainad bin Abi
Umayyah bin ‘Abd al-Asad, saudaranya ‘Amir bin Abi Umayyah,
keponakannya Mas’ab bin ‘Abdullah bin Abi Umayyah, pembantunya
‘Abdullah bin Rafi’, Nafi’, Safinah, Abu Katsir, Ibn Safinah, Khairah ibunya
Hasan al-Bashri, Sulaiman bin Yassar, Usamah bin Yazid bin Haritsah,
Hindun binti al-Harits al-Firasiyah, Shafiyah binti Syaibah, Abu ‘Utsman al-
Nahdiy, Humaid dan Abu Salamah keduanya anak ‘Abd al-Rahman bin ‘Auf,
Sa’id bin al-Musayyab, Abu Wa’il, Shafiyah binti Muhshan, al-Sya’biy, ‘Abd
al-Rahman bin Abi Bakr, ‘Abd al-Rahman bin Harits bin Hisyam, anaknya:
Iktrimah, Abu Bakar, Utsman bin ‘Abdullah bin Mauhib, ‘Urwah bin al-
Zubair, Kuraib maula Ibn ‘Abbas, Qabishah bin Dzu’aib, Nafi’ maula Ibn
‘Umar, Ya’la bin Mamlak, dan lain-lain.100
Ummu Salamah tumbuh dan menghabiskan sisa umurnya dalam
lingkungan yang baik. Ayahnya sangat berperan dalam pertumbuhan
kehidupannya, yaitu mewariskan sifat dermawan dan mulia kepadanya,
sehingga dia menjadi wanita yang suka berinfak, berderma, dan
mengorbankan harta dan tenaganya di jalan Allah.
Ummu Salamah termasuk salah seorang yang ikut hijrah ke negeri
Habasyah (Etiopia) setelah mendapat berbagai siksaan dari kelompok
100
Lihat Ibn Hajr al-Asqalaniy, Tahdzib, op.cit., VII, h. 704-706.
kaum musyrikin. Tatkala berhijrah, Ummu Salamah selalu bersabar atas
ujian dan cobaan yang menimpanya. Baginya yang terpenting hanyalah
keridhaan Allah. Karena segala kebaikan dan kekekalan adalah milik Allah
swt. Ummu Salamah kemudian kembnali ke kota Makkah karena merasa
rindu bertemu dengan Rasulullah. Dia mengira sikap bangsa Quraisy
terhadap kaum Muslimin sudah melunak. Namun setelah sampai di kota
Makkah dia terkejut oleh sikap orang-orang Quraisy yang masih memusuhi
Islam dan kaum Muslimin, bahkan mereka bertambah semakin keras dan
kejam.
Ummu Salamah tetap tinggal di Makkah dan siap menghadapi
siksaan kaum Musyrikin. Namun dia tetap bersabar dan tidak goyah
keimanannya. Hingga allah mengizinkan kaum Muslimin berhijrah ke
Madinah agar mereka mendapatkan tempat yang aman dan saudara-
saudara yang dapat melindungi mereka.
Ummu Salamah menceritakan tentang hijrahnya ke Madinah. “Ketika
Abu Salamah memutuskan untuk hijrah ke Madinah, dia menaikkanku ke
atas untanya. Dia pun membawa serta putraku Salamah bin Abi Salamah,
Dia sendiri yang menuntun unta itu. Namun, ketika orang-orang Bani
Mughirah melihat kami, mereka pun mencegat kami. Mereka berkata
kepada suamiku Abu Salamah, ‘Jadi ini orang yang telah berhasil merebut
wanita itu dari kami. Apakah kamu mengira kami akan membiarkan begitu
saja kamu berjalan dengan istrimu di negeri ini?’ Mereka lalu menarik tali
kekang yang dipegang oleh Abu Salamah dan menjauhkan dariku dari Abu
Salamah.”
Tidak lama kemudian muncul kelompok dari Bani ‘Abd al-Asad, yang
merupakan sahabat Abu Salamah. Mereka berkata, “Demi Allah, kami
tidak akan membiarkan putra kami (Salamah) ditawan mereka, kalian telah
merampasnya dari teman kami ini.” Mereka pun akhirnya saling tarik
merebut putraku, Salamah, hingga Bani Abd al-Asad berhasil meraihnya.
Sedangkan Bani Mughirah menawanku. Suamiku sendiri bergegas menuju
199
Madinah. Ummu Salamah berkata, “Aku, suamiaku, dan putraku pun
akhirnya saling terpisah.
Karena Ummu Salamah setiap hari hanya merenung dan menangis,
akibat gagal hijrah dan terpisah dengan putranya selama hampir setahun.
Hingga akhirnya seorang pria keturunan paman Ummu Salamah, salah
seorang Bani Mughirah datang menghampiri Ummu Salamah. Dia prihatin
melihat apa yang terjadi. Dia pun berkata kepada kaum Bani Mughirah,
“Sebaiknya kalian bebaskan wanita yang malang ini, kalian telah
memisahkan dirinya dengan suami dan anaknya.” Akhirnya Ummu
Salamah di bebaskan . Di saat yang sama Bani ‘Abd al-Asad
mengembalikan putranya. Lalu Ummu Salamah dan putranya pergi ke
Madinah mengendarai unta tanpa ditemani orang lain dalam perjalanan.
Nanti di daerah Tan’im Ummu Salamah dan putranya bertemu ‘Utsman bin
Thalhah. Ummu Salamah pun berjalan bersama ‘Utsman bin Thalhah
menuju Madinah hingga akhirnya bertemu dengan suaminya.
Akhirnya Ummu Salamah tinggal bersama suaminya di Madinah dan
mendidik anak-anaknya, yaitu Salamah, ‘Umar, Zainab, dan Durah. Ketika
terjadi perang Uhud, Abu Salamah terkena panah pada bahunya. Selama
sebulan dia bersabar mengobati luka suaminya itu hingga akhirnya
sembuh. Rasulullah kemudian mengutus Abu Salamah ke Suriah untuk
bergabung dengan pasukan Quthn menuju suatu pegunungan yang berada
di dekat sumber air Bani Asad.
Di sana luka yang pernah diderita Abu Salamah pada perang Uhud
kembali kambuh, bahkan semakin parah, hingga akhirnya meninggal
dunia. Namun, Ummu Salamah tetap sabar melepas kepergian suaminya
itu.
Setelah itu Rasulullah melamar Ummu Salamah dan akhirnya
menikah, dan mereka berdua membangun bahtera rumah tangga. Ummu
Salamah hidup bersama Rasulullah dengan kehidupan yang lebih baik.
Ummu Salamah memiliki andil yang sangat besar dalamm perjanjian
Hudaibiyah. Ia menjadi contributor intelektual dalam perjanjian
Hudaibiyah. Sikap kepahlawanannya itu menunjukkan kecerdasan akal dan
sikap tanggap yang begitu cepat.
Suatu ketika Rasulullah pernah memerintahkan kepada para
sahabatnya untuk berkorban seekor kambing, setelah itu mencukur rambut
mereka. Namun, tidak satupun dari para sahabat yang melakukan
perintah itu. Rasulullah kemudian menceritakan hal itu kepada Ummu
Salamah. Ummu Salamah lalu berkata kepada Rasulullah, “Wahai
Rasulullah,a maukah kamu membuat sahabat-sahabatmu melaksanakan
apa yang kamu perintahkan?” Rasulullah menjawab, ‘Ya” Ummu Salamah
kembali berkata, “Temuilah mereka namun jangan berbicara dengan
seorang pun hingga kamu menyembeli seekor anak kambing kecil milikmu
dan memanggil tukang cukur untuk mencukur rambutmu.”
Rasulullah pun lalu bangkit dan keluar menemui para sahabat. Beliau
tidak berbicara satu kalimat pun akhirnya beliau menyembeli seekor
kambing kecil dan memanggil tukang cukur untuk mencukur rambutnya.
Ketika para sahabat melihat apa yang dilakukan oleh Rasulullah, mereka
pun bangkit dan menyembeli hewan kurba, kemudian sebagian dari
mereka mencukur rambut sebagian yang lain. Para sahabat berkorban
sampai ada yang menyembeli domba besar.
Sejarah telah mencatat sikap kepahlawanan yang ditunjukkan oleh
Ummu Salamah. Dia ikut andil membantu Rasulullah dalam menangani
permasalahan besar yang sangat penting bagi umat Islam. Sikap tersebut
adalah sebuah bukti atas sempurnanya akal Ummu Salamah,
kepandaiannya dalam mengatur sesuatu, ketajaman pandangannya, dan
kekuatan pribadinya.
Muhammad ‘Ali al-Hasyimi pernaha berkata, sikap Ummu Salamah
ini adalah sikap yang tumbuh dari kematangan pikiran dan hikmah, yang
seringkali tidak dimiliki oleh kaum pria. Seorang wanita muslimah yang
cerdas akan mampu menangani tanggungjawab yang besar yang dihadapi
oleh Islam. Dia memperlakukan suaminya dengan sangat baik, memberikan
201
hal-hal yang disenangi oleh suaminya layaknya manusia lainnya, berusaha
menghidupkan hatinya, memotivasi semangatnya, dan membuat suaminya
itu mampu menjalankan tugasnya dalam kehidupan ini.
Jika Rasulullah menilai ide Ummu Salamah adalah benar, maka
beliau pun tidak sungkan melaksanakanya. Dengan ide dari Ummu
Salamah ini kaum muslimin pun akhirnya mau menggunakan akal pikiran
mereka, padahal sebelumnya mereka dikalahkan oleh perasaan sendiri.
Setiap kali perjanjian Hudaibiyah diingat maka nama Ummu Salamah akan
turut dikenang.101
Menurut al-Waqidiy, Ummu Salamah wafat tahun 59 H. dan Abu
Hurairah ikut menshalatinya.Ahmad bin Abi Haitsaman berkata, ia wafat
pada masa pemerintahan Yazid bin Mu’awiyah. Ada yang mengatakan ia
wafat tahun 62 H. 102

d. Arti Kosakata dan Syarahan Hadits

Adapun arti beberapa kosakata hadis ini, dapat dikemukakan, antara


lain:
1. Kalimat ً‫خصُو َمة‬ ُ ‫ َس ِم َع‬, Nabi mendengar pertengkaran, khushumah, berarti
permusuhan, berbantah-bantahan.
2. Kalimat ‫ب حُجْ َرتِ ِه‬ ِ ‫بِبَا‬, artinya di depan pintu kamarnya. Maksudnya, orang
yang bertengkar itu sudah berada di depan pintu kamar Nabi di rumah
istrinya Ummu Salamah.
3. Kalimat ‫فَ َخ َر َج إِلَ ْي ِه ْم‬, Nabi lalu keluar untuk menemui orang yang
bertengkar itu.
4. Kalimat ‫ش ٌر‬ َ َ‫إِنَّ َما أَنَا ب‬, basyar berarti manusia biasa, Nabi juga termasuk
manusia biasa.
5. Kalimat ‫يَأْتِينِي ْالخَصْ ُم‬, aku datang untuk orang yang bersengketa . ‫الخصم‬
bermakna orang yang saling bermusuh-musuhan.
101
Lihat ‘Imarah Muhammad ‘Imarah, op.cit., h. 78-85.
102
Lihat Ibn Hajr al-Asqalaniy, Tahdzib, op.cit., VII, h. 705.
6. Kalimat ‫ْض ُكم‬ َ ‫فَلَ َع َّل بَع‬, maka mudah-mudahan sebagian pihak yang
bersengketa.
ٍ ‫أَ ْبلَ َغ ِم ْن بَع‬, menyampaikan, menjelaskan dengan jelas dari yang
7. Kalimat ‫ْض‬
lain.
8. Kalimat ‫ق‬َ ‫ص َد‬ َ ُ‫فَأَحْ ِس بُ أَنَّه‬, aku merasa, aku mengira, aku perhitungkan
bahwa pihaknya yang benar.
9. Kalimat ِ ‫فَأ َ ْق‬, maka aku memutuskan perkara ini dimenangkan
َ‫ض َي لَهُ بِ َذلِك‬
olehnya.
10. ْ ‫ق ُم‬
Kalimat ‫سلِ ٍم‬ ِّ ‫ْت لَهُ بِ َح‬ ُ ‫ضي‬ َ َ‫فَ َم ْن ق‬, maka siapa yang telah aku putuskan ia
mendapatkan hak muslim.
11. Kalimat ‫ط َعةٌ ِم ْن النَّار‬ ْ ِ‫فَإِنَّ َما ِه َي ق‬, sesungguhnya dia mendapatkan potongan api
neraka.
12. Kalimat ‫خ ْذهَا أَوْ فَ ْليَ ْت ُر ْكهَا‬ُ ْ‫فَ ْليَأ‬, terserah yang bersangkutan, kalau merasa
benar, maka hendaklah dia mengambilnya, jika dia merasa salah
hendaknya dia meninggalkannya.

Adapun keterangan hadis tersebut di atas dapat dilihat dari penjelasan


penggalan hadis sebagai berikut:

‫خَر َج إِلَ ْي ِه ْم‬ ِ ‫أَنَّهُ َس ِم َع ُخصُو َمةً بِبَا‬


َ َ‫ب حُجْ َرتِ ِه ف‬
(Rasulullah saw. mendengar pertengkaran di dekat pintu kamarnya.
Maka beliau pun keluar menghampiri mereka).

Rasulullah saw. mendengar suara rebut yang sangat gaduh, karena


ada perselisihan dan pertengkaran di antara orang yang berselisih, yang
tejadi tepat sudah berada di depan pintu kamar beliau. Maka beliau keluar
menemui mereka untuk menyelesaikan perkara di antara mereka.

203
َ ‫فَقَا َل إِنَّ َما أَنَا بَ َش ٌر َوإِنَّهُ يَأْتِينِي ْالخَصْ ُم فَلَ َع َّل بَع‬
ٍ ‫ْض ُك ْم أَ ْن يَ ُكونَ أَ ْبلَ َغ ِم ْن بَع‬
‫ْض‬
(lalu beliau bersabda, ‘Aku ini hanyalah seorang manusia, dan aku
didatangi oleh sebuah perselisihan. Semoga sebagian kalian bisa
menerangkan lebih jelas daripada yang lain.)

Rasulullah menyapa orang-orang itu, aku hanyalah manusia biasa


seperti kalian aku tidak mengetahui yang gaib dan aku tidak diberitahu
berbagai perkara yang agar aku bisa mengetahui siapa yang jujur dan siapa
yang benar di antara kalian dari orang yang dusta. Banyak orang yang
mengadukan perkara kepadaku agar aku membuat keputusan di antara
mereka. Keputusanku berdasarkan alasan-alasan yang kudengar dari kedua
belah pihak, juga berdasarkan bukti keterangan dan sumpah-sumpah
mereka. Boleh jadi di antara kalian lebih pintar berbicara, lebih fasih dan
lebih kuat buktinya dari sebagaian yang lain sehingga aku mengira bahwa
dialah yang jujur dan benar, lalu aku pun memberikan kemenangan
kepadanya. Padahal yang benar adalah lawan perkaranya.

Yang dimaksud dengan ( ‫ ) إنما أنا بشر‬bahwa Rasulullah sama seperti


manusia biasa dalam asal kejadian, yang tidak luput dari khilaf dan salah,
sekalipun status Nabi telah bertambah. Bukan karena beliau sebagai Rasul,
kemudian beliau sanggup mengetahui segala sesuatu gaib termasuk
mengetahui mana yang salah.103

Dari hadis ini dipahami bahwa Nabi saw. tidak mengetahui hal gaib
dan perkara-perkara batin kecuali apa yang diajarkan Allah kepada beliau.
Maka sebagai manusia biasa, beliau tidak boleh ditinggikan melebihi
kedudukan beliau yang telah ditetapkan Allah. Sebagai manusia biasa
memiliki keterbatasan pengetahuan, bukan karena predikat Rasulullah,

103
Lihat Abadiy, Awn al-Ma’bud, Syarh Sunan Abu Dawud, hadis no. 3112
menjadikan beliau pasti mengetahui segala-galanya, yang nyata atau yang
gaib, zhahir dan batin.

ِ ‫ق فَأ َ ْق‬
َ‫ض َي لَهُ بِ َذلِك‬ َ ُ‫فَأَحْ ِسبُ أَنَّه‬
َ ‫ص َد‬
Aku mengira dia benar, maka aku memutuskan perkara ini dimenangkan
olehnya.

Maka ketahuilah bahwa keputusanku hanya berlaku untuk zhahir


perkara, dan bukan pada bathinnya. Sekali-kali yang haram tidak dapat
dihalalkan. Keterangan ini menandakan bahwa Nabi memutuskan perkara
di antara dua orang yang bersengketa berdasarkan zhahirnya, dan Allah-lah
yang mengetahui segala rahasia yang tersembunyi. Nabi memutuskan
perkara berdasarkan bukti keterangan, sumpah yang diberika, dan lain
sebagainya menurut hukum-hukum yang zhahir, meskipun ada
kemungkinan bahwa batinnya berbeda dengan zhahirnya.

‫ار فَ ْليَأْ ُخ ْذهَا أَوْ فَ ْليَ ْت ُر ْكهَا‬ ْ ِ‫ق ُم ْسلِ ٍم فَإِنَّ َما ِه َي ق‬
ِ َّ‫ط َعةٌ ِم ْن الن‬ ِّ ‫ْت لَهُ بِ َح‬
ُ ‫ضي‬
َ َ‫فَ َم ْن ق‬
Maka barangsiapa yang aku putuskan ia mendapatkan hak muslim yang
lain, sebenarnya itu adalah sepotong dari api neraka, maka hendaklah ia
mengambil atau meninggalkannya.

Karena itu, menurut Rasulullah, siapa yang perkaranya


kumenangkan dan dia menjadi mengambil hak orang lain, padahal dia tahu
bahwa dia batil atau salah, maka sebenarnya aku telah memberikan
padanya sepotong api neraka, maka hendaklah ia memilih, membawa
potongan api nereka itu jika dia menghendakinya, atau dia dapat
meninggalkannya jika dia tidak menghendakinya. Keputusan yang

205
sesungguhnya akan kembali kepada dirinya sendiri. Allah akan memberikan
balasan kepada orang-orang yang zhalim.104

ُ ْ‫ار فَ ْليَأ‬
Menurut Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi, ْ‫خ ْذهَا أَو‬ ْ ِ‫فَإِنَّ َم ا ِه َي ق‬
ِ َّ‫ط َع ةٌ ِم ْن الن‬
‫ فَ ْليَ ْت ُر ْكهَا‬, yaitu barang siapa yang aku putuskan bagi seseorang berdasarkan
zhahirnya yang nyata bertentangan dengan yang sebenarnya, maka haknya
itu adalah haram. Hendaklah ia tidak mengambil apa yang aku putuskan
untuknya itu, karena berarti ia mengambil sepotong api neraka.
Para ahli ushul sepakat bahwa Rasulullah saw. tidak mengakui suatu
kesalahan dalam hukum. Lalu bagaimana cara mengkompromikan antara
‘ijma para fuqaha’ dengan hadis ini? Jawabannya menurut Imam al-
Nawawiy, bahwa pada dasarnya tidak ada pertentangan antara keduanya,
karena yang dimaksudkan para fuqaha’ ialah berkenaan dengan perkara-
perkara yang diputuskan berdasarkan ijtihad beliau. Adapun makna yang
disebutkan dalam hadis ini bahwa jika beliau memutuskan perkara tanpa
ijtihad, seperti adanya bukti keterangan, jika terjadi perbedaan antara
zhahir dan batinnya, maka keputusan hukum itu tidak disebut sebagai
suatu kesalahan. Keputusan hukum itu tetap benar, karena didasarkan
kepada kewajiban yang sudah digariskan, yaitu kewajiban menghadirkan
dua orang saksi umpamanya. Kalau dua saksi itu ternyata merupakan saksi
palsu atau semisal dengan itu, maka kekurangan ada pada dua saksi
tersebut. Lain halnya jika kesalahan itu dalam hal ijtihad, bahwa apa yang
yang diputuskan ini bukan merupakan keputusan hukum syariat.
Menurut pendapat jumhur ulama, antara lain oleh Imam Malik, al-
Syafi’iy, dan Ahmad, bahwa keputusan hakim tidak boleh berdasarkan
kepada alasan dalam batin, dan tidak boleh menghalalkan sesuatu yang
sudah jelas keharamannya. Jika seorang hakim memutuskan seorang istri
bagi seorang laki-laki, padahal dia tahu bahwa wanita itu bukan istrinya,
maka hal itu tidak diperbolehkan. Atau dia memutuskan suatu harta

104
Lihat Ali Bassam, op.cit., h. 946-947.
menjadi milik seseorang, padahal dia tahu bahwa orang tersebut berdusta
dalam pengakuannya, maka yang demikian itu tidak juga diperbolehkan.
Pembatasan khusus kepada orang Muslim dalam hadis ini didasarkan
pada kebiasaan yang terjadi. Jika tidak, maka hal itu juga berlaku bagi ahli
dzimmah dan orang-orang non-Muslim yang terikat perjanjian dengan
orang Muslim.
Hadis ini terkandung ancaman dan peringatan yang keras bagi orang
yang berusaha mengambil harta orang lain dengan pengakuan-pengakuan
yang dusta dan alasan-alasan yang diharamkan. Pernyataan ini senada
dengan firman Allah dalam QS. Al-Fishshilat: 40
             
              

Terjemahnya:
Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Kami,
mereka tidak tersembunyi dari kami. Maka Apakah orang-orang yang
dilemparkan ke dalam neraka lebih baik, ataukah orang-orang yang
datang dengan aman sentosa pada hari kiamat? perbuatlah apa yang
kamu kehendaki; Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu
kerjakan.

Menurut Ibn Taimiyah, jika para sahabat berkata bahwa keputusan


mereka berdasarkan ijtihad mereka, maka mereka membebaskan
ketetapan Rasulullah saw. dari kesalahan mereka dan kesalahan siapa pun
selain mereka, seperti yang dikatakan oleh Ibn Mas’ud tentang penyerahan
kekuasaan , “Aku berkata tentang masalah ini berdasarkan pendapatku.
Jika bena, maka itu berasal dari Allah, dan jika salah, maka itu berasal dari
diriku dan dari setan, sedang Allah dan Rasul-Nya terbebas darinya.”
Begitu pula yang diriwayatkan dari Abu Bakr al-Shiddiq tentang al-
kalalah. Begitu pula yang diriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khaththab. 105

105
Lihat Ali Bassam, op.cit., h. 946.
207
Dengan demikian, sebagai manusia biasa, siapa saja dapat
melakukan menurut keinginannya, yang tidak lepas dari kesalahan. Tetapi
dalam memutuskan perkara, harus didadasarkan pada bukti akurat agar
kesalahan dalam memutuskan perkara dapat diminimalisir kalau tidak bisa
sampai kepada yang sesungguhnya.

e. Pokok-pokok Kandungan Hukum Hadis

Berdasarkan keterangan dan pembahasan yang telah dikemukakan,


maka dapatlah ditarik beberapa kandungan pokok hadis ini, yaitu :

1. Nabi tidak mengetahui hal-hal yang gaib dan perkara-perkara batin


kecauli apa yang diajarkan dan diberitahukan Allah kepada beliau.
2. Diperbolehkan bagi Nabi untuk membuat keputusan hukum dalam
berbagai perkara, seperti diperbolehkan kepada selain beliau (misalnya,
hakim).
3. Keputusan hakim berdasarkan keyakinannya sendiri meskipun tanpa
bukti atau sumpah dari tergugat dan yang digugat.
4. Jika Nabi saja bisa memperkirakan sesuatu yang tidak benar
berdasarkan kekuatan argumentasi lawan dalam suatu perkara, maka
selain beliau (para hakim) lebih layak untuk melakukan hal yang sama
selama dilakukan dengan sungguh-sungguh.
5. Keputusan hakim tidak didasarkan kepada alasan dalam batin dan tidak
dapat menghalalkan sesuatu yang sudah jelas keharamannya.

6. Keputusan Hakim Berdasarkan Keterangan Saksi (BM. 1434)


a. Materi Hadis

‫اه ٍد (رواه مس لم و أب و داود و ابن ماج ة و‬


ِ ‫ني وش‬
َ َ ٍ ‫ض ى بِيَ ِم‬ ِ
َ َ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم ق‬
ِ َ ‫َن رس‬
َ ‫ول اللَّه‬ ٍ َّ‫َع ْن ابْ ِن َعب‬
ُ َ َّ ‫اس أ‬
)‫أمحد‬
Artinya:
(Hadis diriwayatkan) dari Ibn ‘Abbas, bahwasanya Rasulullah saw.
memutuskan perkara berdasarkan sumpah dan kesaksian. (H.R.
Muslim, Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).

b. Takhrij al-Hadits

1. Muslim, kitab al-aqdhiyah, bab al-qadha bi al-yamin wa al-syahid, hadis


no. 3230.
2. Abu Dawud, kitab al-aqdhiyah, bab al-qadha bi al-yamin wa al-syahid,
hadis no. 3131.
3. Ibn Majah, kitab al-ahkam, bab al-qadha bi al-yamin wa al-syahid, hadis
no. 2361.
4. Ahmad bin Hanbal, kitab wa min musnad Bani Hasyim, bab bidayah
musnad ‘Abdullah bin ‘Abbas, hadis no. 2114, 2736, bab baqi al-
musnad al-sabiq, hadis no. 2814.

c. Biografi Singkat Sahabat Nabi Periwayat hadis

(‘ABDULLAH BIN ‘ABBAS)

Nama lengkapnya, ‘Abdullah bin ‘Abbas bin ‘Abd al-Muthalib al-


Hasymiy. ‘Abdullah bin ‘Abbas adalah anak paman Rasulullah yaitu ‘Abbas
bin ‘Abd al-Muthalib. Ibn ‘Abbas mendapat julukan al-habr (tinta) dan al-
bahr (laut), karena kedalaman ilmunya.

Menerima riwayat hadis selain langsung dari Nabi saw. Ibn ‘Abbas
juga banyak menerima dari para sahabat Nabi yang lain seperti dari

209
ayahnya, ibunya Umm al-Fadhl, saudaranya al-Fadhl, bibinya Maimunah,
Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, ‘Abd al-Rahman bin ‘Awf, Mu’adz bin Jabl,
Abi Dzar, ‘Ubay bin Ka’ab, Tamim al-Dariy, Khalid bin al-Walid, Usamah bin
Zaid, Haml bin Malik bin al-Nabighah, Dzu’aib Walid Qabishah. Adapun
para periwayat yang menerima riwayat dari Ibn ‘Abbas, antara lain: anak
‘Ali dan Muhammad, cucunya, saudaranya Katsir bin al-‘Abbas,
keponakannya ‘Abdullah bin ‘Ubaidillah, keponakannya yang lain ‘Abdullah
bin Ma’bad bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Umar bin al-Khaththab, Tsa’labah bin
al-Hakm al-Laitsiy, Sa’id bin al-Musayyab, ‘Abdullah bin al-Harits bin
Naufal, Abu Salamah bin ‘Abd al-Rahman, Abu Jamrah al-Dhuba’iy, Abu
Majlaz Lahiq bin Muhammad, dan lain-lain.

Nabi saw. pernah mendoakan Ibn ‘Abbas agar dia diberi hikmah
(ilmu) sebanyak dua kali. Ibn ‘Umar berkata, ‘Umar pernah memanggil Ibn
‘Abbas dan mendekatinya, seraya berkata, “Aku pernah melihat Rasulullah
saw. suatu hari berdoa dan mengusap kepalamu dan mengucapkan doa:

‫اللهم فقهه في الدين وعلمنه التأويل‬


(Ya Allah berilah pemahaman kepadanya (Ibn ‘Abbas) dalam agama dan
ajarilah dia ta’wil).

Menurut Ibn Mas’ud, “nikmat (sebaik-baik) terjemahan


(pemahaman) Alquran adalah dari Ibn ‘Abbas.” Ketika Rasulullah saw.
mangkat usia ‘bin ‘Abbas baru 13 tahun, ada yang mengatakan setelah
dikhitan, atau berusia 10 tahun, dan ada yang mengatakan 15 tahun.
Menurut Ibn ‘Abd al-Bar, sesuai dengan pendapat ahli sejarah ketika Nabi
saw. wafat, usia Ibn Abbas yaitu 13 tahun.

Diriwayatkan oleh Ibn Abiy Haitsama melalui sanad Jabir bin al-Ju’fiy
bahwasanya Ibn ‘Umar berkata: “Ibn ‘Abbas adalah umat Muhammad yang
lebih mengetahui apa yang diturunkan kepada Muhammad.” Diriwayatkan
pula oleh Ibn Sa’ad dengan sanad yang shahih bahwa Abu Hurairah
berkomentar ketika Zaid bin Tsabit : “Hari ini telah wafat tinta umat, dan
semoga Allah menjadikan Ibn ‘Abbas sebagai penggantinya.” Menurut
‘Aisyah Ibn ‘Abbas adalah orang yang lebih mengerti tentang ibadah haji. 106

Menurut Ibn Nu’aim, Ibn ‘Abbas wafat tahun 68 H. atau riwayat lain
menyebut tahun 69 H. atau tahun 70 H. di Thaif.

d. Arti Kosakata dan Syarahan Hadits

Adapun arti beberapa kosakata hadis ini, dapat dikemukakan, antara


lain:
1. Lafadz ‫ض ى‬ َ َ‫ق‬, memutuskan atau mengadili perkara, orang yang
memutuskan atau mengadili perkara disebut qadhiy. Kata ini sinonim
dengan kata hakim, yaitu orang yang menghakimi atau member
ketetapan hukum terhadap suatu perkara.
2. Kalimat ‫بِيَ ِمين‬, berarti dengan sumpah. Yamin itu sendiri bermakna
tangan kanan, karena orang yang bersumpah biasanya mengangkat
tangan kanannya.
3. Kalimat ‫شا ِهد‬َ ‫و‬,
َ artinya dan saksi, yakni orang yang menjadi saksi. Kata
ini berasal dari kata dasar ‫ ش هد – يش هد – ش هادة‬yang berarti melihat,
menghadiri, memandang. Orang yang bersaksi maksudnya ia melihat
langsung atau mengetahui benar asal kejadian

َ ‫ضى بِيَ ِمي ٍن َو‬


Pernyataan bahwa ‫شا ِه ٍد‬ َ ِ ‫ٍ أَ َّن َرسُو َل هَّللا‬
َ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ق‬
(bahwasanya Rasulullah saw. memutuskan perkara berdasarkan sumpah
dan kesaksian).

106
Lihat Ibn Hajr al-Asqalaniy, Tahdzib, op.cit., III, h. 531-534.
211
Hadis ini menjadi dalil kebolehan memutuskan perkara berdasarkan
saksi dan sumpah. Ulama berbeda persefsi dalam masalah ini. Menurut
Abu Hanifah dan ulama Kufah, al-Sya’biy, al-Hakim, al-Auza’iy, al-Laits,
ulama Andalusia dari pengikut Malik : “Tidak boleh menetapkan hukum
sesuatu hanya berdasarkan kesaksian dan sumpah”. Jumhur ulama mulai
dari sahabat, tabiin, dan ulama sesuadah mereka di segenap penjuru
berpendapat: “Boleh memutuskan perkara berdasarkan kesaksian dan
sumpah dalam kasus sengketa harta, dan yang berhubungan dengan
harta.” Pendapat ini juga diperpegangi oleh Abu Bakr, ‘Ali, ‘Umar bin ‘Abd
al-‘Aziz, Malik, al-Syafi’iy, Ahmad, Fuqaha’ Madinah, semua ulama Hijaz,
dan ulama-ulama ternama di segala penjuru. Dasar hujah mereka datang
dari berbagai riwayat hadis di antaranya hadis yang diriwayatkan Ibn
‘Abbas di atas. .107
Menurut al-Khathabiy : hadis ini menghendaki memutuskan perkara
berdasarkan sumpah tergugat disertai menghadirkan seorang saksi. Lebih
lanjut menurutnya, putusan yang berdasarkan sumpah dan dan saksi ini
hanya berlaku khusus pada sengketa harta, bukan masalah yang lain..108

e. Pokok-pokok Kandungan Hukum Hadis

Berdasarkan keterangan dan pembahasan yang telah dikemukakan,


maka dapatlah ditarik beberapa kandungan pokok hadis ini, yaitu :

107
Lihat Imam al-Nawawiy, Syarh Shahih Muslim, hadis no. 3230
108
Lihat Abadiy, Awn al-Ma’bud, Syarh Sunan Abu Dawud, hadis no. 3112
1. Keputusan hakim boleh berdasarkan sumpah dan kesaksian pihak-pihak
yang bersengketa.
2. Sumpah dan pengajuan saksi dilakukan apabila hakim tidak
mendapatkan keterangan lain, untuk dijadikan dasar pengambilan
keputusan.

7. Sumpah bagi Tergugat atau Terdakwah (BM. 1436)

a. Materi Hadis

‫اس ِد َم اءَ ِر َج ٍال‬


ٌ َ‫بِد ْع َو ُاه ْم اَل َّد َعى ن‬
َ ‫َّاس‬ َّ ِ َّ َّ َ َّ ‫َن النَّيِب‬
ُ ‫ص لى اللهُ َعلَْي ه َو َس ل َم قَ َال لَ ْو يُ ْعطَى الن‬ َّ ‫اس أ‬ٍ َّ‫َع ْن ابْ ِن َعب‬
)‫َّعى َعلَْي ِه (رواه البخاري و مسلم وغريمها‬ َ ‫ني َعلَى الْ ُمد‬
ِ ِ
َ ‫َوأ َْم َواهَلُ ْم َولَك َّن الْيَم‬
Artinya:
(Hadis diriwayatkan) dari Ibn ‘Abbas, sesungguhnya Nabi saw.
bersabda: “Seandainya manusia menang dalam gugatan mereka , maka
mereka akan menggugat darah dan harta seseorang, akan tetapi
sumpah diberikan kepada tergugat. (H.R. al-Bukhariy, Muslim dan
selainnya)

b. Takhrij al-Hadits

1. Al-Bukhariy, kitab al-rahn, bab idza ikhtafa al-rahn wa al-murtahin,


hadis no. 2331, kitab syahadat, bab al-yamin ‘ala al-mudda’a ‘alaih,
hadis no. 2473, kitab tafsir , bab inna al-ladzina yasytaruna bi’ahdihim
wa aimanihim tsamanan qalilan, hadis no. 4187.
2. Muslim, kitab al-aqdhiyah, bab al-yamin ‘ala al-mudda’a ‘alaih, hadis
no. 3228, 3229.
213
3. Abu Dawud, kitab al-aqdhiyah, bab al-yamin ‘ala al-mudda’a ‘alaih,
hadis no. 3137.
4. Al-Turmudziy, kitab al-ahkam, bab ma ja’a fi anna al-bayyinat ‘ala
mudd’iy wa al-yamin ‘ala al-mudda’a ‘alaih, hadis no. 1262.
5. Al-Nasaiy, kitab adab al-qudhah, bab ‘adzdzat al-hukm ‘ala al-yamin,
hadis no. 5330.
6. Ibn Majah, kitab al-ahkam, bab al-bayyinat ‘ala mudd’iy wa al-yamin
‘ala al-mudda’a ‘alaih, hadis no. 2312.
7. Ahmad bin Hanbal, kitab wa min musnad Bani Hasyim, bab bidayah
musnad ‘Abdullah bin Abbas, hadis no. 2167, bab baqi musnad al-sabqi,
hadis no. 3020, 3122, 3177.

c. Biografi Singkat Sahabat Nabi Periwayat hadis

(‘ABDULLAH BIN ‘ABBAS)

Nama lengkapnya, ‘Abdullah bin ‘Abbas bin ‘Abd al-Muthalib al-


Hasymiy. ‘Abdullah bin ‘Abbas adalah anak paman Rasulullah yaitu ‘Abbas
bin ‘Abd al-Muthalib. Ibn ‘Abbas mendapat julukan al-habr (tinta) dan al-
bahr (laut), karena kedalaman ilmunya.

Menerima riwayat hadis selain langsung dari Nabi saw. Ibn ‘Abbas
juga banyak menerima dari para sahabat Nabi yang lain seperti dari
ayahnya, ibunya Umm al-Fadhl, saudaranya al-Fadhl, bibinya Maimunah,
Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, ‘Abd al-Rahman bin ‘Awf, Mu’adz bin Jabl,
Abi Dzar, ‘Ubay bin Ka’ab, Tamim al-Dariy, Khalid bin al-Walid, Usamah bin
Zaid, Haml bin Malik bin al-Nabighah, Dzu’aib Walid Qabishah. Adapun
para periwayat yang menerima riwayat dari Ibn ‘Abbas, antara lain: anak
‘Ali dan Muhammad, cucunya, saudaranya Katsir bin al-‘Abbas,
keponakannya ‘Abdullah bin ‘Ubaidillah, keponakannya yang lain ‘Abdullah
bin Ma’bad bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Umar bin al-Khaththab, Tsa’labah bin
al-Hakm al-Laitsiy, Sa’id bin al-Musayyab, ‘Abdullah bin al-Harits bin
Naufal, Abu Salamah bin ‘Abd al-Rahman, Abu Jamrah al-Dhuba’iy, Abu
Majlaz Lahiq bin Muhammad, dan lain-lain.

Nabi saw. pernah mendoakan Ibn ‘Abbas agar dia diberi hikmah
(ilmu) sebanyak dua kali. Ibn ‘Umar berkata, ‘Umar pernah memanggil Ibn
‘Abbas dan mendekatinya, seraya berkata, “Aku pernah melihat Rasulullah
saw. suatu hari berdoa dan mengusap kepalamu dan mengucapkan doa:

‫اللهم فقهه في الدين وعلمنه التأويل‬


(Ya Allah berilah pemahaman kepadanya (Ibn ‘Abbas) dalam agama dan
ajarilah dia ta’wil).

Menurut Ibn Mas’ud, “nikmat (sebaik-baik) terjemahan


(pemahaman) Alquran adalah dari Ibn ‘Abbas.” Ketika Rasulullah saw.
mangkat usia ‘bin ‘Abbas baru 13 tahun, ada yang mengatakan setelah
dikhitan, atau berusia 10 tahun, dan ada yang mengatakan 15 tahun.
Menurut Ibn ‘Abd al-Bar, sesuai dengan pendapat ahli sejarah ketika Nabi
saw. wafat, usia Ibn Abbas yaitu 13 tahun.

Diriwayatkan oleh Ibn Abi Haitsama melalui sanad Jabir bin al-Ju’fiy
bahwasanya Ibn ‘Umar berkata: “Ibn ‘Abbas adalah umat Muhammad yang
lebih mengetahui apa yang diturunkan kepada Muhammad.” Diriwayatkan
pula oleh Ibn Sa’ad dengan sanad yang shahih bahwa Abu Hurairah
berkomentar ketika Zaid bin Tsabit : “Hari ini telah wafat tinta umat, dan
semoga Allah menjadikan Ibn ‘Abbas sebagai penggantinya.” Menurut
‘Aisyah Ibn ‘Abbas adalah orang yang lebih mengerti tentang ibadah haji. 109

109
Lihat Ibn Hajr al-Asqalaniy, Tahdzib, op.cit., III, h. 531-534.
215
Menurut Ibn Nu’aim, Ibn ‘Abbas wafat tahun 68 H. atau riwayat lain
menyebut tahun 69 H. atau tahun 70 H. di Thaif.

d. Arti Kosakata dan Syarahan Hadits

Adapun arti beberapa kosakata hadis ini, dapat dikemukakan, antara


lain:
1. Kalimat ‫يُ ْعطَى‬, artinya, diberi. Maksudnya, seseorang bila selalu diberi
kemenangan.
2. Kalimat ‫ع َواهُ ْم‬ ْ ‫ بِ َد‬dalam setiap perkara atau dakwaan yang mereka
diajukan.
3. Kalimat ‫ال‬ ٍ ‫ ِد َما َء ِر َج‬, darah seseorang. Yang dimaksudkan adalah nyawa
atau hidup seseorang.
4. Kalimat ‫وأَ ْم َوالَهُ ْم‬,
َ harta-benda mereka.
ْ
5. Lafadz َ‫اليَ ِمين‬, sumpah. Pernyataan yang berisi bantahan atau
persetujuan terhadap suatu gugatan dengan menyebut atau
mengatasnamakan Allah, biasanya di pakai sebutan “demi Allah”.
َ ‫ ْال ُم َّدعَى‬, menjadi hak bagi tergugat.
6. Kalimat ‫علَ ْي ِه‬

Pernyataan Nabi saw. :

‫لَوْ يُ ْعطَى النَّاسُ بِ َد ْع َواهُ ْم اَل َّدعَى نَاسٌ ِد َما َء ِر َجا ٍل َوأَ ْم َوالَهُ ْم َولَ ِك َّن ْاليَ ِمينَ َعلَى ْال ُم َّدعَى َعلَ ْي ِه‬
Seandainya manusia menang dalam gugatan mereka , maka mereka akan
menggugat darah dan harta seseorang, akan tetapi sumpah diberikan
kepada tergugat.

Dalam riwayat yang lain redaksinya ‫أن النبي صلى هللا عليه وسلم قضى باليمين على المدعى عليه‬.
Redaksi ini menurut riwayat al-Bukhariy, dan Muslim yang kemudian
mereka dua telah menshahihkannya, yang diriwayatkan melalui Ibn
‘Abbas secara marfu’ sampai kepada Nabi saw. Begitu pula yang terjadi
dalam riwayat kitab-kitab sunan ashab al-sunan, dan selain mereka.
Menurut al-Qadhiy al-‘Iyad, bahwa al-Ushailiy berkata, tidak benar hadis
ini diriwayatkan secara marfu’ (maksudnya,riwayat sanadnya
disandarkan sampai kepada Nabi saw.), ini hanya perkataan Ibn ‘bbas,
yakni dari sanad riwayat Ayub, dan Nafi’ al-Jamhiy dari Ibn Abi Mulaikah
dari Ibn ‘Abbas. Al-Qadhiy selanjutnya berkata, sesungguhnya al-
Bukhariy dan Muslim meriwayatkan dari Ibn Juraij secara marfu’.

Menurut Imam al-Nawawiy, sesungguhnya Abu Dawud, al-Turmudziy


telah meriwayatkan dengan sanad masing-masing dari Nafi’ bin ‘Umar al-
Jamhiy dari Ibn Mulaikah dari Ibn ‘Abbas dari Nabi saw. secara marfu’
pula. Kemudian al-Turmudziy mengatakan, hadis ini berkualitas hasan
shahih. Ada pula riwayat al-Baihaqiy dan selainnya dengan sanad yang
hasan atau shahih, yang memiliki tambahan (ziyadah) redaksi
diriwayatkan dari Ibn ‘Abbas dari Nabi saw. bersabda:

‫ " لو يعطى الن اس ب دعواهم الدعى ق وم دم اء ق وم‬: ‫عن ابن عب اس عن الن بي ص لى هللا عليه وس لم ق ال‬
110
. ‫وأموالهم ولكن البينة على المدعي واليمين على من أنكر‬
Artinya:
(Hadis diriwayatkan) dari Ibn ‘Abbas, sesungguhnya Nabi saw.
bersabda: “Seandainya manusia menang dalam gugatan mereka ,
maka mereka akan menggugat darah dan harta seseorang, akan tetapi
bukti menjadi hak penggugat dan sumpah diberikan kepada tergugat.

Ziyadah atau tambahan redaksi riwayat dari al-Baihaqiy ini tidak


terdapat dalam al-Shahihain, sanadnya berkualitas hasan.

110
Lihat Imam al-Nawawiy, Syarh Shahih Muslim, hadis no. 3228
217
Menurut Ibn Hajr al-Asqalaniy, hadis ditakhrijkan oleh al-Thabraniy
dari riwayat Sufyan dari Nafi’ bin ‘Umar dari Ibn ‘Umar, berbunyi :

" ‫ " البينة على المدعي واليمين على المدعى عليه‬.


(Bukti dari penggugat dan sumpah dari tergugat).

Dalam riwayat Ibn Juraij yang ditakhrijkan oleh al-Isma’iliy,


redaksinya berbunyi :

" ‫ " ولكن البينة على الطالب واليمين على المطلوب‬111


(Akan tetapi bukti itu dari penuntut, sedangkan sumpah dari yang
tertuntut).

Selanjutnya untuk keterangan hadis tersebut di atas dapat dilihat dari


penjelasan penggalan hadis sebagai berikut:

‫لَوْ يُ ْعطَى النَّاسُ بِ َد ْع َواهُ ْم‬


(Seandainya manusia menang dalam gugatan mereka )

Manusia selalu tidak merasa puasa atau bahkan semakin


bersemangat mencari masalah-masalah hukum yang lain karena merasa
selalu menang dalam setiap kali berperkara di pengadilan. Tapi karena
kebenaran bukan hanya milik seseorang, boleh jadi dalam kasus tertentu
menang tetapi dalam kasus yang lain tidak lagi. Selama keadilan hukum
tidak dimanipulasi oleh mafia hukum, maka kebenaran dan kemenangan
hanya akan diperoleh oleh mereka yang benar dalam suatu kasus.
Kemenangan dalam suatu kasus tidak menjadi jaminan bahwa ia akan
memperoleh kemenangan pada kasus yang lain. Dia bisa kembali menang
jika memang benar, dan akan mengalami kekalahan jika ia tidak benar.
111
Lihat Abadiy, ‘Awn al-Ma’bud, Syarh Sunan Abu Dawud, hadis no.3137.
‫ال َوأَ ْم َوالَهُ ْم‬
ٍ ‫اَل َّدعَى نَاسٌ ِد َما َء ِر َج‬
(Maka mereka akan menggugat darah dan harta seseorang, akan tetapi
sumpah diberikan kepada tergugat).

Kalau manusia selalu merasa menang, maka akibatnya ia akan


merasa sanggup menyelesaikan perkara lain, termasuk perkara besar
sekalipun menyangkut dengan darah (nyawa) seseorang.

‫َولَ ِك َّن ْاليَ ِمينَ َعلَى ْال ُم َّدعَى َعلَ ْي ِه‬


( akan tetapi sumpah diberikan kepada tergugat).
Rasulullah saw. menjelaskan bahwa barangsiapa mendakwah atau
menuduh orang lain, maka dia harus mempunyai bukti keterangan yang
menguatkan dakwaannya. Jika dia tidak mempunyai bukti keterangan,
maka orang yang didakwa harus bersumpah untuk menggugurkan apa
yang didakwakan kepadanya. Jadi sumpah menjadi hak terdakwa, karena
sumpah bersama pihak yang lebih kuat. Posisi sumpah lebih kuat, karena
pada dasarnya sumpah dapat membebaskan segala dakwaan dan tuduhan
yang diarahkan kepada terdakwa.

Beberapa Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama

Menurut Ibn Daqiq al-Iyad hadis ini merupakan dalil tidak boleh ada
keputusan hukum kecuali didasarkan kepada hukum syariat yang sudah
diatur, meskipun ada keyakinan terhadap kejujuran orang yang
terdakwa.112

112
Lihat Ali Bassam, op.cit., h. 954.
219
Kemudian Rasulullah saw. menyebutkan hikmah tentang bukti
keterangan yang dibebankan kepada penggugat, dan sumpah berasal dari
orang yang menolak dakwaan kepadanya. Katentuan ini diatur, agar
setiap orang yang mendakwa tidak seenaknya dengan dakwaanya itu
menuntut seseorang, karena siapun yang tidak merasa lagi diawasi dan
takut kepada Allah swt. Tentunya dia dapat melemparkan dakwaan
semaunya sendiri terhadap orang-orang yang tidak bersalah, baik yang
berhubungan dengan darah maupun harta yang mereka dustakan.

Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui membuat hukum-


hukum beserta sanksinya untuk mengurangi kejahatan, kezaliman,
kerusakan dan mafia hukum.

Menurut Ibn Rajab, setiap barang yang ditemukan lalu tidak diakui
oleh siapa pun, maka ia menjadi milik orang yang menemukannya. Jika
tiba-tiba datang seseorang lalu dia sanggup menyebutkan cirri-ciri barang
tersebut yang tidak tampak, maka dia menjadi miliknya. Bukti-bukti
seperti ini menjadi penguat kepemilikan. Jika ada seseorang yang
menuntut barang yang ada di tangan orang lain, maka barang itu menjadi
milik orang yang menguasainya, selagi orang yang mengaku sebagai
pemiliknya tidak memiliki bukti-bukti yang lebih kuat.

Dengan demikian,menurut Imam al-Nawawiy, hadis ini


mengetengahkan kaidah yang besar di antara kaidah-kaidah hukum yang
sudah dikenal dalam syariat Islam. Dari hadis ini dipahami bahwa tidak
cukup hakim hanya menerima penjelasan lisan seseorang sehubungan
dengan dakwaan yang diajukannya. Akan tetapi dakwaan itu harus
membutuhkan bukti dan pembenaran dari terdakwa. Apabila ia
memerlukan sumpah dari tergugat maka perlu dilakukan dahulu untuk
menyakinkan kebenaran.
Hikmah lain yang dapat dipetik dari hadis ini menurut al-Nawawiy,
bahwa tidak selamanya penggugat harus diberi kemenangan berkaitan
dengan kasus yang diajukan , karena kalau itu sering terjadi maka ia tidak
segan-segan untuk darah dan harta orang lain, lalu tidak mungkin lagi
bagi tergugat untuk membela diri dan menyelematkan hartanya,
sementara penggugat mungkin saja memanipulasi bukti.

Hadis ini menjadi pegangan madzhab Syaf’iy, dan mayoritas ulama


salaf dan khalaf. Menurut mereka, bukti diperlukan untuk semua kasus
gugatan yang membutuhkan kebenaran, apakah bukti itu diperoleh sendiri
oleh hakim atau ada bukti yang diajukan oleh penggugat disanggah atau
tidak.

Menurut pendapat Malik, dan kebanyakan pengikutnya, fuqaha al-


sab’ah,dan fuqaha’ Madinah bahwa bukti tidak perlukan, kecuali jika
terjadi sanggahan, supaya kasus itu tidak dimanipulasi oleh para sufaha’
(mafia hukum), yang berbeda dengan pandangan saksi ahli (ahli fadhl) di
persidangan. Jadi, dengan syarat ada sanggahan. Ini dimaksudkan untuk
menolak mafsadah (kerusakan).113

Hikmah lain yang dapat diambil dari hadis ini menurut ulama, yaitu
apabila penggugat lemah karena perkataannya berbeda dengan yang
zhahir, maka ia dapat mempekuat argumennya dengan bukti. Begitu pula
tergugat dapat memperkuat kelemahan argumennya dengan sumpah
sebagai pembelaan atas dirinya.

Ulama menjelaskan pengertian ‫( الم دعي‬penggugat) dan ‫الم دعى عليه‬


(tergugat). Penggugat adalah orang yang berbeda perkataannyan secara

113
Lihat Imam al-Nawawiy, Syarh Shahih Muslim, hadis no. 3228.
221
zhahir, tergugat adalah orang yang menyampaikan penyataan yang
berbeda dengan penggugat.

e. Pokok-pokok Kandungan Hukum Hadis

Berdasarkan keterangan dan pembahasan yang telah dikemukakan,


maka dapatlah ditarik beberapa kandungan pokok hadis ini, yaitu :

1. Sumpah dibebankan kepada terdakwa, karena posisinya yang lebih


kuat dan pada dasarnya adalah kebebasan dirinya dari segala dakwaan,
sehingga sudah cukup baginya.
2. Tidak diterimanya dakwaan seseorang kecuali disertai dengan bukti
keterangan dan sumpah yang cukup diucapkan oleh orang yang
didakwa.
3. Bukti keterangan ialah penyampaian segala sesuatu yang memperjelas
kebenaran, berupa saksi, pembanding-pembanding keadaan dan
penggambaran obyek dakwaan.

8. Keputusan Hakim Tanpa Alat Bukti (BM. 1441)


a. Materi Hadis
ِ ٍ ِ ‫َن رجلَ ِ اختَصما إِىَل النَّيِب ص لَّى اللَّه علَي ِه وس لَّم يِف دابٍَّة لَي‬
‫ضى‬
َ ‫س ل َوا ِح د مْن ُه َم ا َبِّينَ ةٌ َف َق‬
َ ْ َ َ َ َ َْ ُ َ ِّ َ ‫َع ْن أَيِب ُم‬
َ َ ْ ‫وسى أ َّ َ ُ نْي‬
) ‫ص َفنْي ِ (رواه أبوداود والنساءي وابن ماجة وأمحد‬ ِ ‫هِب‬
ْ ‫َا َبْيَن ُه َما ن‬
Artinya:
(Hadis diriwayatkan) dari Abu Musa, bahwasanya ada dua orang yang
bersengketa mengenai ternak datang kepada nabi saw. tidak ada di
antara keduanya bukti, maka Nabi memutuskan dengan membagi
masing-masing seperdua. (H.R. Abu Dawud, al-Nasaiy, Ibn Majah dan
Ahmad)
b. Takhrij al-Hadits

1. Abu Dawud, kitab al-aqdhiyah, bab al-rajulain yad’ina syai’an wa laisat


lahuma bayyinah, hadis no. 3134.
2. Al-Nasaiy, kitab adab al-qudhah, bab al-qadha’ fiman lam takun lahu
bayyinah, hadis no. 5329.
3. Ibn Majah, kitab al-ahkam, bab al-rajulain yad’in sil’at wa laisat lahuma
bayyinah, hadis no. 2321.
4. Ahmad bin Hanbal, kitab awal musnad al-Kufiyin, bab hadis Abu Musa
al-Asy’ariy, hadis no. 18778.

c. Biografi Singkat Sahabat Nabi Periwayat hadis

(ABU MUSA AL-ASY’ARIY)

Nama lengkapnya, adalah ‘Abdullah bin Qais bin Sulaim bin


Hadhdhar bin Harb bin ‘Amir bin ‘Atr bin Bakr bin ‘Amir bin ‘Adr bin Wail
bin Najiyah bin Jumahir bin al-Asy’ar. Dijuluki dengan Abu Musa al-
Asy’ariy. Ia telah tinggal di Makkah sebelum Hijrah, lalu masuk Islam.
Kemudian hijrah ke negeri Habasyah (Etiopia), selanjutnya menetap di
Madinah bersama teman-temanya sekapal, yakni setelah penaklukkan
Khaibar. Ia meninggalkan negerinya sendiri di Safinah dan berhijrah ke
Habasyah, ditemani oleh Ja’far bin Abi Thalib. Nabi mempekerjakan Abu
Musa sebagai qadhiy di Zabid dan ‘And (Yaman) dan pada masa ‘Umar
dipindahkan ke Kufah.

Selain Abu Musa menerima hadis langsung dari Nabi saw. juga
menerima melalui Abu Bakr, ‘Umar, ‘Ali, Ibn ‘Abbas, Ubay bin Ka’ab,
‘Ammar bin Yassar, Mu’adz bin Jabal. Adapun para periwayat yang
223
menerima dan melanjutkan riwayat dari Abu Musa, yaitu : anaknya
Ibrahim, Abu Bakr, Abu Burdah, Musa, dan istrinya Ummu ‘Abdullah. Juga
Anas bin Malik, Abu Sa’id al-Khudhriy, Thariq bin Syihab, Abu Abd al-
Rahman al-Salmiy, Zurra bin Habisy, Zaid bin Wahab, ‘Abid bin ‘Umair,
Abu al-Ahwash ‘Auf bin Malik, Abu al-Aswad al-Dailiy, Sa’id bin al-
Musayyab, Abu ‘Utsman al-Nahdiy, Qais bin bu Hazam, Abu Rafi’ al-
Sha’igh, Abu ‘Ubaidah bin ‘Abdullah bin Mas’ud, Masruq bin Aus al-
Handhaliy, Huzail bin Syarhabil, Murrah bin Syarahil al-Thib, Aswad dan
‘Abd al-Rahman keduanya anak dari Yazid al-Nukha’iy, Hiththan bin
‘Abdullah al-Raqasyiy, Rabi’iy bin Harasy, Zahdam bin Madhrab, Abu Wail
Shaqiq bin Salamah, Shafwan bin Mahruz, dan lain-lain.

Abu Musa dikenal pada masa Nabi sebagai qari’ Alquran yang bagus
lagunya. Suatu ketika Nabi mendengar lantunan suara Abu Musa
membaca Alquran, Nabi saw. bersabda :

‫وس ى لَقَ ْد أُوتِيتَ ِم ْز َم ارًا ِم ْن‬


َ ‫ال لَ هُ يَا أَبَا ُم‬
َ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َس لَّ َم ق‬ ِ ‫ع َْن أَبِي ُمو َسى َر‬
َ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ ع َْن النَّبِ ِّي‬
114
‫آل دَا ُو َد‬
ِ ‫ير‬
ِ ‫َمزَا ِم‬
Artinya:
(Hadis diriwayatkan) dari Abu Musa ra. Dari Nabi saw. bersabda
kepadanya, “Wahai Abu Musa sungguh engkau diberikan lantunan
Mazmur, seperti (keindahan) pembaca Mazmur keluarga Nabi
Dawud.” . (H.R. Al-Bukhariy)

‘Umar mengutus Abu Musa ke Bashrah untuk menjadi fuqaha’ dan


ulama di sana. Menjadi penguasa Kufa pada masa ‘Utsman bin ‘Affan.
Menurut al-Sya’biy : “Ambilllah ilmu pada enam orang narasumber, lalu
menyebut salah satunya Abu Musa.” Ibn Madiniy berkata, ‘ahli hukum
(qadha) umat adalah empat orang, yaitu : ‘Umar, ‘Ali, Abu Musa, dan Zaid
114
Al-Bukhariy, Kitab fadhail al-Qur’an, bab Husn al-Shaut bi al-qira’at al-Qur’an, hadis no.
4660.
bin Tsabit. Berkata ‘Utsman al-Nahdiy : “Aku shalat di belakang Abu
Musa, maka aku belum pernah mendengar suara indah sejak masa
jahiliah, tidak ada yang lebih baik suaranya dalam membaca Alquran.”
‘Umar apabila melihat Abu Musa, dia berkata: “Ingatkanlah kami wahai
Abu Musa (dengan bacaan Alquran), lalu Abu Musa membacakan
Alquran.” Dalam riwayat yang lain, kadang ‘Umar berkata: “Rindukanlah
kami kepada Tuhan kami.”

Abu ‘Abid mengatakan, Abu Musa wafat tahun 42 H. Abu Nu’aim


mengatakan tahun 44 H. Abu Bakar bin Abu Syaibah menambahkan
bahwa ia wafat dalam usia 63 tahun. Ibn Abi Haitsamah mengatakan dari
al-Mada’iniy, Abu Musa wafat tahun 53 H. di Kufah, sumber lain
mengatakan di Makkah.115

d. Arti Kosakata dan Syarahan Hadits

Adapun arti beberapa kosakata hadis ini, dapat dikemukakan, antara


lain:

1. Kalimat ‫َص َما‬ ْ ‫ َر ُجلَ ْي ِن‬, ada dua orang yang bersengketa.
َ ‫اخت‬
2. Lafadz ‫دَابَّ ٍة‬, binatang ternak, dalam hal ini unta.
3. Lafadz ٌ‫بَيِّنَة‬, bukti.
4. Kalimat ‫ضى بِهَا‬ َ َ‫فَق‬, Nabi memutuskan.Maksudnya membagi binatang itu.
5. Lafadz ‫نِصْ فَي ِْن‬, dua bagian, masing-masing mendapat setengah
Penjelasan hadis tersebut di atas dapat dilihat dari penjelasan
penggalan hadis sebagai berikut:
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فِي دَابَّ ٍة‬
َ ‫َص َما إِلَى النَّبِ ِّي‬ ْ ‫أَ َّن َر ُجلَي ِْن‬
َ ‫اخت‬
(bahwasanya ada dua orang yang bersengketa mengenai ternak datang
kepada nabi saw.)
115
Lihat Ibn Hajr al-Asqalaniy, Tahdzib, op.cit., III, h. 610-611.
225
Telah datang dua orang yang bersengketa kepada Nabi saw.
mengajukan permasalahan mereka mengenai ternak yang mereka
persengketakan. Nabi pun mendengarkan tuntutan dari keduanya, ada
yang mengklaim ternak itu adalah miliknya, dan yang lain juga mengaku
bahwa ternak yang dimaksud pihak yang pertama adalah miliknya.

ٌ‫اح ٍد ِم ْنهُ َما بَيِّنَة‬ َ ‫لَي‬


ِ ‫ْس لِ َو‬
(tidak ada di antara keduanya bukti)

Menurut penyusun Fath al-Wadud, bahwa kedua belah pihak tidak


mampu mendatangkan bukti. Bukti dimaksudkan untuk menerangkan
siapa sebenarnya yang berhak atas sengketa ternak itu.

‫ضى بِهَا بَ ْينَهُ َما نِصْ فَ ْي ِن‬


َ َ‫فَق‬
( maka Nabi memutuskan dengan membagi masing-masing seperdua).

Maksudnya Nabi saw. membaginya dua bagian. Menurut al-


Khathabiy riwayat ini menyamakan antara unta dan ternak. Al-Mundzir
mengatakan bahwa dalam riwayat al-Nasaiy dan Ibn Majah, dinyatakan
masing-masing pihak mengajukan dua orang saksi, yakni untuk
menguatkan dan menegakkan kebenaran. Kemudian Nabi saw.membagi
dua bagian, masing-masing mendapat setengah..116

e. Pokok-pokok Kandungan Hukum Hadis

Berdasarkan keterangan dan pembahasan yang telah dikemukakan,


maka dapatlah ditarik beberapa kandungan pokok hadis ini, yaitu :

116
Lihat Abadiy, ‘Aun al-Ma’bud, kitab al-aqdhiyah, hadis no. 3134.
1. Kewajiban hakim untuk memberikan putusan hukum atas
persengketaan, sekalipun orang yang berperkara masing-masing tidak
memiliki bukti kepemilikan yang kuat.
2. Hakim diharapkan menetapkan hukum yang adil bagi kedua belah pihak
tanpa ada yang merasa dirugikan.

Latihan
Untuk memperdalam pemahaman anda mengenai materi pada bagian
pernikahan, dipersilahkan mengerjakan latihan berikut:
1. Buat rumusan tentang pembagian tiga golongan hakim.
2. Buat rumusan tentang pahala bagi hakim yang berijtihad bila benar atau
salah.
3. Buat rumusan mengenai tata cara mengadili perkara menurut hadis.
4. Buat rumusan mengenai upaya mendamaikan pihak-pihak yang berperkara.
5. Buat uraian mengenai cara memutuskan perkara berdasarkan agumentasi
pihak yang berperkara.
6. Buat uraian mengenai cara hakim memutuskan perkara berdasarkan
keterangan saksi.
7. Buat rumusan fungsi sumpah bagi tergugat.
8. Buat rumusan mengenai cara hakim memutuskan perkara tanpa alat bukti.

Rangkuman
1. Ada tiga golongan hakim, satu golongan yang masuk surga dan dua golongan
yang masuk neraka.
2. Apabila hakim berijtihad dan benar maka ia akan mendapatkan dua pahala,
jika ijtihadnya salah maka ia memperoleh satu pahala.
3. Cara mengadili perkara menurut hadis yakni harus mendengarkan dahulu
keterangan dari masing-masing pihak yang berperkara.
4. Salah satu cara mendamaikan pihak-pihak yang berperkara, yaitu menikahkan
anak dari kedua pihak yang berperkara sebagai jalan tengah yang lebih damai.
227
5. Hakim hanya memutuskan perkara berdasarkan keterangan zhahir, bukan
katerangan batinnya.
6. Saksi dan sumpah diperlukan, apabila hakim tidak memperoleh keterangan
lain.
7. Sumpah diberikan hak kepada tergugat sebagai pembelaan atas dirinya.
Bahwa segala tuduhan kepadanya tidak diterima atau tidak benar.
8. Cara hakim memutuskan perkara tanpa alat bukti, yakni dengan menetapkan
hukum yang adil tanpa ada yang merasa dirugikan.

Tes Formatif
1. Sebutkan dan jelaskan ada berapa golongan hakim menurut hadis.
2. Mengapa hakim apabila ijtihadnya benar mendapat dua pahala dan jika salah
mendapat satu pahala.
3. Bagaimana cara mengadili perkara dan bagaimana cara mencari upaya damai
pihak-pihak yang berperkara.
4. Bolehkah hakim memutuskan perkara berdasarkan keterangan batin,
mengapa.
5. Jelaskan fungsi sumpah dan saksi dalam persidangan.
6. Bagaimana cara hakim memutuskan perkara tanpa alat bukti.

Kunci Jawaban Tes Formatif


1. Ada satu golongan hakim yang masuk surga, yaitu hakim yang mengetahui
kebenaran dan memutuskan perkara berdasarkan kebenaran. Ada dua
golongan yang masuk neraka, yaitu hakim yang mengetahui kebenaran tetapi
tidak memutuskan perkara berdasarkan kebenaran yang diketahuinya, dan
hakim yang memutuskan perkara berdasarkan kebodohannya dalam masalah
peradilan atau bodoh dalam mengetahui kebenaran.
2. Apabila hakim benar dalam berijtihad mendapat dua pahala, yaitu sebagai
pahala karena ia telah berijtihad dan pahala karena ia telah mendapatkan
kebenaran. Apabila hakim salah dalam berijtihad, maka ia hanya mendapat
satu pahala dari usaha ijtihadnya itu.
3. Cara mengadili perkara, yaitu tidak boleh cepat-cepat memutuskan perkara
sebelum mendengarkan alasan dan keterangan dari semua pihak yang
berperkara. Cara mencari upaya damai pihak-pihak yang berperkara antara
lain dengan menikahkan anak kedua belah pihak yang berperkara.
4. Hakim tidak boleh memutuskan perkara berdasarkan keterangan batin, sebab
hakim hanya memutuskan perkara berdasarkan keterangan zhahir, benar atau
tidak benar hanya orang berperkara yang mengetahui sedangkan sudah cukup
berijtihad dengan keterangan zhahir yang ada.
5. Cara hakim memutuskan perkara tanpa alat bukti yakni dengan menetapkan
pembagian yang sama atau adil pada kedua pihak yang berparkara, sehingga
tidak ada yang merasa dirugikan.

BAGIAN V
S A K S I

A.Gambaran Singkat Mengenai Materi Kuliah

Materi kuliah ini membahas mengenai beberapa topik hadis yang


berkenaan dengan saksi, yaitu hadis tentang saksi yang baik dan yang buruk,
dan orang yang ditolak kesaksiannya. Pengajian materi dimulai dengan
menampilkan teks matn hadis disertai arti hadis bersama dengan periwayat
pertama dan mukharrijnya.

229
Pemaparan takhrij al-hadits dan biografi singkat sahabat Nabi periwayat
hadis menjadi materi yang diberikan untuk memperoleh gambaran mengenai
data para mukharrij yang menghimpun hadis ini, juga untuk mengetahui
kapabilitas sahabat Nabi yang meriwayatkan hadis ini.

Penjelasan mengenai pengertian menurut bahasa suatu lafal atau kalimat


dalam hadis menjadi pembahasan dimaksudkan untuk memperoleh makna
kosakata lafadz tertentu sebelum akhirnya hadis-hadis yang tercakup dalam
bagian saksi ini dijelaskan syarahannya, dan di analisa hal-hal yang terkait
dengan temanya. Akhirnya akan disimpulkan kandungan pokok hukum setiap
hadis yang di bahas.

B. Pedoman Mempelajari Materi

Baca dengan baik materi teks hadis dengan artinya. Perhatikan dan
sebutkan lafadz-lafadz yang dapat dipakai dalam menelesuri takhrij al-hadits.
Perhatikan ketekunan setiap sahabat yang ditampilkan biografinya. Buat
kesimpulan dari segi keadilan mereka. Buat intisari setiap hadis yang dibahas,
pendapat-pendapat ulama yang terkait dengan materi hadis. Pahami dengan baik
isi hadis tersebut dan berilah kandungan pokok hukum yang dibahas.

C.Tujuan Pembelajaran

1. Mahasiswa dapat menulis, membaca, menghafalkan dan mengartikan materi


hadis.
2. Mahasiwa dapat membuat uraian mengenai kriteria saksi yang baik dan saksi
yang buruk
3. Mahasiswa dapat menguraikan kriteria saksi yang ditolak kesaksiannya.

1. Saksi yang Baik dan yang Buruk (BM. 1427)


a. Materi Hadis

‫الش َه َد ِاء الَّ ِذي يَ أْيِت بِ َش َه َادتِِه‬


ُّ ِ‫ُخرِب ُ ُك ْم خِب َرْي‬ ِ
ْ ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم قَ َال أَاَل أ‬
ٍ ‫عن زي ِد ب ِن خ‬
َّ ‫الِد اجْلُ َهيِن ِّ أ‬
َ َّ ‫َن النَّيِب‬ َ ْ َْ ْ َ
)‫ (رواه مسلم ووأبو داود غريمها‬.‫َقْب َل أَ ْن يُ ْسأَهَلَا‬
Artinya:
(Hadis diriwayatkan) dari Zaid bin Khalid al-Juhniy, sesungguhnya Nabi
saw. bersabda: “Sungguh aku beritahukan kepada kalian mengenai
saksi yang baik, yaitu yang datang dengan kesaksiannya sebelum
dimintakan kepadanya.” (H.R. Muslim, Abu Dawud, dan selainnya)

b. Takhrij al-Hadits

1. Muslim, kitab al-aqdhiyah, bab bayin khair al-syuhud, hadis no. 3244.
2. Abu Dawud, kitab al-aqdhiyah, bab fi al-syahadat, hadis no. 3122.
3. Al-Turmudziy, kitab al-syahadat, bab ma ja’a fi al-syuhada’ ayyuhum
khair, hadis no. 2219, 2220.
4. Ibn Majah, kitab al-ahkam, bab al-rajl ‘indahu sl-syahadat wa la ya’lam
biha shuhbiha, hadis no. 2355.
5. Ahmad bin Hanbal, kitab musnad al-Syamin, bab baqiah hadits Zaid bin
Khalid al-Juhniy, hadis no. 16425, 16432, 16445, kitab musnad al-
Anshar, bab hadits Zaid bin Khalid al-Juhniy, hadis no. 20684, 20694.
6. Malik, kitab al-aqdhiyah, bab ma ja’a fi al-syahadat, hadis no. 1207

c. Biografi Singkat Sahabat Nabi Periwayat hadis

(ZAID BIN KHALID AL-JUHNIY)

Nama lengkapnya, Zaid bin Khalid al-Juhniy, Abu ‘Abd al-Rahman,


atau Abu Thalhah al-Madaniy.

231
Selain menerima riwayat hadis langsung dari Nabi, ia juga menerima
informasi hadis dari ‘Utsman, Abi Thalhah, dan ‘Aisyah. Kemudian para
periwayat yang melanjutkan riwayat darinya, yaitu: anaknya Khalid dan
Abu Harb, pembantunya Abu ‘Amrah, ‘Abd al-Rahman bin Abi ‘Amrah, ada
yang menyebut Abu ‘Amrah al-Anshariy, Abu al-Hubab Sa’id bin Yassar,
‘Ubaidillah al-Khaulaniy, ‘Abdullah bin Qais bin Makhramah, Busr bin
Sa’id, ‘Atha’ bin Abi Rabah, ‘Atha’ bin Yassar, Yazid maula al-Munba’its,
Abu Salim al-Jaisyaniy, ‘Ubaidillah bin Abdullah bin ‘Utbah, Abu Salamah
bin ‘Abd al-Rahman, dan lain-lain.

Menurut Ahmad bin al-Barqiy, Zaid bin Khalid wafat di Madinah


tahun 48 H. dalam usia 85 tahun. Sumber lain mengatakan, ia wafat di
Kufah. Ibn Sa’ad mengatakan, ia wafat pada hari-hari terakhir Mu’awiyah
berkuasa. Al-Baghawiy mengatakan, ia wafat tahun 68 H. Ibn Hibban
mengatakan tahun 78 H, sumber lain menyebut tahun 68 H. Menurut Ibn
‘Umar : ia pemegang panji Juhainah pada masa penaklukan.117

d. Arti Kosakata dan Syarahan Hadits

Adapun arti beberapa kosakata hadis ini, dapat dikemukakan, antara


lain:
1. Kalimat‫ أُ ْخبِ ُر ُك ْم‬, artinya aku mengabarkan kepada kamu. Khabar dapat
berarti berita, atau penyampaian.
2. Kalimat ‫شهَدَا ِء‬ ُّ ‫بِخَ ي ِْر ال‬, syuhada’ jamak dari syahid, artinya saksi-saksi yang
baik.
3. Kalimat ‫الَّ ِذي يَ أْتِي بِ َش هَا َدتِ ِه‬, artinya, yaitu orang yang datang member
kesaksiannya.
4. Kalimat ‫يُسْأَلَهَا‬, artinya ditanyakan atau dimintai. Maksudnya, memberi
kesaksian itu sebelum ditanyakan atau dimintai.

117
Lihat Ibn Hajr al-Asqalaniy, Tahdzib, op.cit., II, h. 546-547.
Penjelasan hadis tersebut di atas dapat dilihat dari penjelasan penggalan
hadis sebagai berikut:

‫أَاَل أُ ْخبِ ُر ُك ْم بِ َخي ِْر ال ُّشهَدَا ِء‬


(Sungguh aku beritahukan kepada kalian mengenai saksi yang baik)
Nabi ingin memberitahukan mengenai saksi yang baik, agar supaya
manusia bersedia menjadi saksi dan tidak menyembunyikan sesuatu yang
dia ketahui.
‫الَّ ِذي يَأْتِي بِ َشهَا َدتِ ِه قَب َْل أَ ْن يُسْأَلَهَا‬
( yaitu yang datang dengan kesaksiannya sebelum dimintakan kepadanya)

Maksud hadis ini menurut ulama dapat dipahami dalam dua


penafsiran, pertama yaitu yang paling benar dan terkenal, penakwilan dari
Malik dan pengikut al-Syafi’iy, bahwa maknanya adalah seorang yang
menyaksikan kebenaran, tapi tidak ada satu pun manusia yang mengetahui
bahwa ia menjadi saksi atas kasus itu. Lalu orang itu datang dan
memberitakan bahwa dia dapat menjadi saksi bagi orang tersebut. Kedua
meliputi makna persaksian saja,yang selain persaksian yang berkenaan
dengan hak-hak kemanusiaan, seperti masalah thalaq, ‘itqu, waqaf,
washiyah, hudud, dan yang semisalnya. Barangsiapa yang mengetahui
sesuatu wajib menyampaikannya kepada hakim. Menyampaikan dan
membuka persaksian adalah wajib hukumnya.

Hadis lain tentang saksi yang buruk (LM. 1647, BM. 1428)

ِ َّ ‫يِن‬ ِ ِ ِ
َ ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم َخْي ُر ُك ْم َق ْر مُثَّ الذ‬
‫ين َيلُ و َن ُه ْم‬ َ ُّ ‫صنْي ٍ َرض َي اللَّهُ َعْن ُه َم ا قَ َال قَ َال النَّيِب‬َ ‫عن ع ْمَرا َن بْ َن ُح‬
ِ ِ ِ َّ
‫ص لَّى‬ َ ُّ ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم َب ْع ُد َق ْر َننْي ِ أ َْو ثَاَل ثَةً قَ َال النَّيِب‬
َ ُّ ‫ين َيلُ و َن ُه ْم قَ َال ع ْم َرا ُن اَل أ َْد ِري أَذَ َك َر النَّيِب‬
َ ‫مُثَّ الذ‬

233
‫اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم إِ َّن َب ْع َد ُك ْم َق ْو ًما خَي ُونُو َن َواَل يُ ْؤمَتَنُو َن َويَ ْش َه ُدو َن َواَل يُ ْستَ ْش َه ُدو َن َو َيْن ِذ ُرو َن َواَل َي ُفو َن َويَظْ َه ُر‬
)‫ (رواه البخاري و مسلم وغريمها‬.‫الس َم ُن‬ ِّ ‫فِي ِه ْم‬

Artinya:
(Hadis diriwayatkan) dari ‘Imran bin Hushain ra., berkata telah
bersabda Nabi saw.: “Sebaik-baik kalian adalah generasiku (para
sahabatku), kemudian generasi selanjutnya, kemudian generasi
selanjutnya.” ‘Imran berkata, ‘Aku tidak tahu apakah Nabi saw,
menyebutkan setelahnya dua atau tiga generasi. Nabi bersabda:
“Sesungguhnya setelah kalian ada satu kaum yang berkhianat dan tidak
bisa dipercaya, mereka bersaksi padahal mereka tidak diminta
kesaksiannya, mereka bernadzar namun tidak menunaikannya, dan
tampak di antara mereka orang yang cinta dunia.” (H.R. Al-Bukhariy,
Muslim dan selainnya)

Takhrij al-Hadits
1. Al-Bukhariy, kitab al-syahadat, bab la yasyhad ‘ala syahadat jaur idza
asyhad, hadis no. 2457.
2. Muslim, kitab fadhail al-shahabah, bab fadhl al-shahabah tsumma al-
ladzina yalunahum, hadis no. 4603.
3. Abu Dawud, kitab al-sunnah, bab fi fadhl ashahab Rasulullah, hadis no.
4038.
4. Al-Turmudziy, kitab al-fitn, bab ma ja’a fi qarn al-tsalits, hadis no. 2147,
2148.
5. Al-Nasaiy, kitab al-aiman wa al-nadzr, bab al-wafa’ bi al-nadzr, hadis no.
3749.
6. Ahmad bin Hanbal, kitab awwal musnad al-Bashriyin, bab hadits ‘Imran
bin Hushain, hadis no. 18979, 18994, 19059, 19105.
Hadis di atas menceritakan mengenai sebaik-baik generasi. Menurut
Nabi bahwa generasi yang terbaik dari umat beliau adalah generasi
beliau, yaitu para sahabat, kemudian disusul oleh generasi tabiin dan
setelah itu generasi tabit-tabiin. Kemudian, akan ada suatu kaum yang
berkhianat dan tidak bisa dipercaya, yaitu mereka ingin menjadi saksi
padahal mereka tidak diminta kesaksiannya. Mereka juga bernadzar tapi
tidak pernah menunaikan nadzarnya. Semuanya itu mereka lakukan
karena cinta dunia dan ingin mendapatkan kedudukan di dunia.

e. Pokok-pokok Kandungan Hukum Hadis

Berdasarkan keterangan dan pembahasan yang telah dikemukakan,


maka dapatlah ditarik beberapa kandungan pokok hadis ini, yaitu :

1. Saksi yang terbaik adalah orang yang menyampaikan kesaksiannya


sebelum diminta oleh hakim.
2. Generasi yang terbaik adalah generasi sahabat, tabiin dan tabit-tabiin.
3. Saksi yang jelek adalah mereka yang menyampaikan kesaksian padahal
mereka tidak menyaksikannya.

2. Orang yang Ditolak Kesaksiannya (BM. 1429, 1430)


a. Materi Hadis

‫وز َش َه َادةُ َخ ائِ ٍن َواَل َخائِنَ ٍة َواَل ِذي‬ ِ ِ ُ ‫عن عب ِد اللَّ ِه ب ِن عم ٍرو قَ َال قَ َال رس‬
ُ ُ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم اَل جَت‬ َ ‫ول اللَّه‬ َُ َْ ْ َْ ْ َ
‫ (رواه أبو دادو و ابن ماجة و‬.‫وز َش َه َادتُهُ لِغَرْيِ ِه ْم‬ ُ ُ‫ت َوجَت‬ ِ ‫وز َش َه َادةُ الْ َق انِ ِع أِل َْه ِل الَْبْي‬ ِِ
ُ ُ‫َغ ْم ٍر َعلَى أَخيه َواَل جَت‬
)‫أمحد‬
Artinya:

235
(Hadis diriwayatkan) dari Abdullah bin ‘Amr berkata, telah bersabda
Rasulullah saw.: “Tidak boleh menerima kesaksian dari laki-laki yang
berkhianat, tidak juga dari perempuan yang berkhianat, tidak boleh
pula dari orang yang memiliki dendam kepada saudaranya, dan tidak
boleh menerima kesaksian pembantu untuk penghuni rumah, dan
boleh menerima kesaksian orang lain dan pembantu untuk penghuni
rumah. (H.R. Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).

b. Takhrij al-Hadits

1. Abu Dawud, kitab al-aqdhiyah, bab man taruddu al-syahadah, hadis no.
3125.
2. Ibn Majah, kitab al-ahkam, bab man la tajuzu syahadatahu, hadis no.
2357.
3. Ahmad bin Hanbal, kitab musnad al-muktsirin min al-shahabah, bab
musnad ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash, hadis no. 6411, 6605, 6646.

c. Biografi Singkat Sahabat Nabi Periwayat hadis

(‘ABDULLAH BIN ‘AMR BIN AL-ASH)

Nama lengkapnya, ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash bin Wail bin Hasyim
bin Sa’id bin Sahm bin ‘Amr bin Hushaish bin Ka’ab bin Luaiy bin Ghalib al-
Qurasyi, digelar Abu Muhammad, atau Abu ‘Abd al-Rahman, atau Abu
Nushair. Ibunya bernama Ra’ithah binti Munabbih bin al-Hajjaj bin ‘Amir
bin Hudzaifah al-Sahmiyah. Sumber lain menyebut, Hudzafah bin Sa’ad bin
Sahm.
Dalam mengomentari keluarga ‘Abdullah, Nabi pernah bersabda;
“Nikmat penghuni rumah Abdullah, Abu ‘Abdullah, dan Ummu ‘Abdullah.
Dikatakan nama al-Ash, setelah masuk Islam dinamakan ‘Abdullah. Dia
masuk Islam sebelum ayahnya. Termasuk mujtahid dalam ibadah, dan
ilmuan kenamaan.
Abu Hurairah pernah berkata, “Tidak seorang pun yang memiliki
hadis Rasulullah saw. yang lebih banyak dariku, selain ‘Abdullah bin ‘Amr,
sebab ia pandai menulis hadis sedangkan aku tidak pandai menulis.”

Meriwayat hadis Nabi saw. juga melalui Abu Bakr, ‘Umar, ‘Abd al-
Rahman bin ‘Auf, Mu’adz bin Jabal, Abu Darda’, Suraqah bin Malik bin
Ja’syam, dan lain-lain. Riwayat hadisnya kemudian dilanjutkan oleh Anas bin
Malik, Abu Umamah bin Sahl bin Hanif, ‘Abdullah bin al-Harits bin Naufal,
Masruq bin al-Ajda’, Sa’id bin al-Musayyab, Jubair bin Nafir, Tsabit bin
‘Iyadh al-Ahnaf, Khaitsamah bin ‘Abd al-Rahman al-Ju’fiy, Hamid bin ‘Abd
al-Rahman bin ‘Auf, Zur bin Jubaisy, Salim bin Abi Ja’ad, Abu al-‘Abbas al-
Sa’ib bin Farrukh, Sa’id bin Maina’, anaknya Muhammad bin ‘Abdullah bin
‘Amr, keponakannya Syu’aib bin Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-
Ash, Thawus, al-Sya’biy, ‘Abdullah bin Rabah al-Anshariy, Ibn Abi Mulaikah,
‘Urwah bin al-Zubair, Abu ‘Abd al-Rahman al-Jubliy, ‘Abd al-Rahman bin
Jubair bin Nafir, ‘Atha’ bin Yassar, ‘Ikrimah maula Ibn ‘Abbas, ‘Amr bin
Uwais al-Tsaqafiy, Mujahid bin Jabir, Abu al-Khair Martsad bin ‘Abdul;lah al-
Yazaniy, Mishda’ Abu Yahya, Yusuf bin Mahik, Abu Kabasyah al-Sululiy, Abu
Harb bin Abi al-Aswad, Abu Qabus pembantunya, Abu Firas maula ‘Amr bin
al-Ash, Ya’qub bin ‘Ashim bin ‘Urwah bin Mas’ud al-Tsaqafiy, Abu Zur’ah bin
‘Amr bin Jarir, Abu Salamah bin ‘Abd al-Rahman, Abu al-Zubair al-Makkiy,
‘Amr bin Dinar, dan lain-lain.

Ahmad bin Hanbal berkata, ‘Abdullah bin ‘Amr wafat pada malam
yang panas bulan Dzul Hijjah tahun 63 H. Di lain tempat Ibn Bukair,
berkata, ia wafat tahun 65 H. Menurut al-Laits, ada yang mengatakan ia
wafat tahun 73 H, atau tahun 77 H, begitu pula ada yang mengatakan ia

237
wafat di Makkah, yang lain menyebut di Thaif, yang lain menyebut ia wafat
di Mesir, dan sumber yang lain menyebut ia wafat di Palestina.118

d. Arti Kosakata dan Syarahan Hadits

Adapun arti beberapa kosakata hadis ini, dapat dikemukakan, antara


lain:
1. Kalimat ُ‫اَل تَ ُج و ُز َش هَا َدة‬, tidak boleh menerima kesaksian yang
disampaikan oleh seseorang.
2. Kalimat ‫ َخ ائِ ٍن َواَل خَائِنَ ٍة‬, laki-laki yang khianat, atau perempuan yang
khianat.
ِ َ‫ َواَل ِذي َغ ْم ٍر َعلَى أ‬,tidak boleh juga menerima kesaksian dari
3. Kalimat ‫خي ِه‬
orang yang punya dendam kepada saudaranya.
4. Kalimat ‫ت‬ِ ‫تَ َشهَا َدةُ ْالقَانِ ِع أِل َ ْه ِل ْالبَ ْي‬, tidak boleh pula menerima kesaksian dari
seorang pembantu untuk penghuni rumah majikannya.
ِ ‫ َوتَجُو ُز َشهَا َدتُهُ لِ َغي‬, hanya boleh menerima kesaksian dari selain
5. Kalimat ‫ْر ِه ْم‬
orang-orang yang disebutkan.

Pengkhianat laki-laki dan pengkhianat perempuan menurut hadis ini


harus ditolak kesaksian. Yang dimaksud dengan khianat disini menurut
Abu ‘Iyd yakni khianat pada hak-hak Allah atau hak-hak manusia, tanpa
pengecualian khusus. Ungkapan ‫ ذى الغمر‬yakni memiliki rasa permusuhan.
Kalimat. ‫ على أخيه‬maksudnya saudaranya yang muslim.Jadi,tidak boleh
menerima kesaksian dari orang musuh terhadap orang yang dimusuhinya,
baik itu dia saudara sedarah atau saudara bukan karena ada hubungan
darah. Kesaksian jug akan tertolak apabila berasal dari seorang pembantu
untuk majikan rumahnya. Maksudnya, selama pembantu itu masih
menerima nafkah dari seseorang maka tidak boleh diterima kesaksian
yang ditujukan untuk majikannya. Selanjutnya boleh menerima kesaksian

118
Lihat Ibn Hajr al-Asqalaniy, Tahdzib, op.cit., III, h. 586-587.
para pembantu kalau ditujukan kepada orang lain selain penghuni rumah
majikannya.119

e. Pokok-pokok Kandungan Hukum Hadis

Berdasarkan keterangan dan pembahasan yang telah dikemukakan,


maka dapatlah ditarik kandungan pokok hadis ini, yaitu :

1. Kesaksian yang berasal dari orang yang khianat lak-laki atau


perempuan ditolak atau tidak diterima.
2. Kesaksian dari seseorang yang memiliki dendam terhadap saudaranya
senasab atau seagama juga tidak boleh diterima.
3. Seorang pembantu yang memberi kesaksian terhadap penghuni rumah
majikannya tidak boleh juga diterima kecuali kalau member kesaksian
kepada orang lain.

Latihan

Untuk memperdalam pemahaman anda mengenai materi pada Satuan


Bahasan BagianV dipersilahkan mengerjakan latihan berikut:

1. Buat rumusan mengenai saksi yang baik dan saksi yang buruk.
2. Buat uraian mengenai criteria saksi yang ditolak kesaksiannya.

Rangkuman

119
Lihat Abadiy, Tuhfat al-Ahwaziy, Syarh Sunan Abu Dawud, kitab al-aqdhiyah, bab man
taruddu al-syahadah, hadis no. 3125.

239
1. Saksi yang baik yaitu orang yang menyampaikan kesaksiannya sebelum
dimintai oleh hakim. Saksi yang buruk adalah orang yang menyampaikan
kesaksiannya, padahal ia tidak menyaksikannya.
2. Kriteria saksi yang ditolak kesaksiannya, antara lain: orang yang khianat laki-
laki atau perempuan, orang yang memiliki dendam dengan saudaranya
senasab atau seagama, seorang pembantu yang memberikan kesaksian kepada
anggota penghuni rumah majikannya, kalau kepada selain penghuni rumah
majikannya dibolehkan.

Tes Formatif

1. Sebutkan sahabat yang meriwayatkan hadis tentang saksi yang baik dan yang
jelek.
2. Mengapa Nabi menghubungkan antara generasi sahabat, tabiin dan tabi tabiin
sebagai generasi terbaik, dengan penyampaian saksi yang baik dan yang
buruk.
3. Kemukakan para mukharrij yang mentakhrijkan hadis tentang orang yang
ditolak kesaksiannya.
4. Mengapa pembantu tidak boleh memberi kesaksian kepada salah satu
penghuni rumah majikannya.

Kunci Jawaban Tes Formatif

1. Sahabat Nabi yang meriwayatkan hadis tentang saksi yang baik dan yang
jelek, yaitu Zaid bin Khalid al-Juhniy.
2. Generasi sahabat, tabiin dan tabit tabiin adalah generasi yang masih
terpelihara keterpercayaan mereka, generasi ini tidak akan menyampaikan
sesuatu yang menyimpang dari kebenaran, Nabi menghubungkan dengan
adanya saksi yang baik dan yang buruk karena sesudah generasi akan ada
orang yang tidak dapat dipercaya lagi, mereka dapat saja memberi kesaksian
padahal mereka tidak menyaksikannya.
3. Para mukharrij yang mentakhrijkan hadis tentang orang yang ditolak
kesaksiannya, yaitu: Abu Dawud, Ibn Majah, dan Ahmad bin Hanbal.

BAGIAN VI

241
PELAKSANAAN HUKUMAN DAN KONSEKUENSINYA DI
AKHIRAT

A.Gambaran Singkat Mengenai Materi Kuliah

Materi kuliah ini membahas mengenai beberapa topik hadis yang


berkenaan dengan pelaksanaan hukuman dan konsekuensnya di akhiart, yang
terdiri dari hadis tentang supremasi hukum mengatasi kebebasan individu atau
kelompok, hukuman di akhirat bagi yang tetap menjalani hukuman di dunia.
Pengajian materi dimulai dengan menampilkan teks matn hadis disertai arti
hadis bersama dengan periwayat pertama dan mukharrijnya.

Pemaparan takhrij al-hadits dan biografi singkat sahabat Nabi periwayat


hadis menjadi materi yang diberikan untuk memperoleh gambaran mengenai
data para mukharrij yang menghimpun hadis ini, juga untuk mengetahui
kapabilitas sahabat Nabi yang meriwayatkan hadis ini.

Penjelasan mengenai pengertian menurut bahasa suatu lafal atau kalimat


dalam hadis menjadi pembahasan dimaksudkan untuk memperoleh makna
kosakata lafadz tertentu sebelum akhirnya hadis-hadis yang tercakup dalam
bagian pelaksanaan hukuman dan konsekuensinya di akhirat ini dijelaskan
syarahannya, dan di analisa hal-hal yang terkait dengan temanya. Akhirnya akan
disimpulkan kandungan pokok hukum setiap hadis yang di bahas.

B. Pedoman Mempelajari Materi

Baca dengan baik materi teks hadis dengan artinya. Perhatikan dan
sebutkan lafadz-lafadz yang dapat dipakai dalam menelesuri takhrij al-hadits.
Perhatikan ketekunan setiap sahabat yang ditampilkan biografinya. Buat
kesimpulan dari segi keadilan mereka. Buat intisari setiap hadis yang dibahas,
pendapat-pendapat ulama yang terkait dengan materi hadis. Pahami dengan baik
isi hadis tersebut dan berilah kandungan pokok hukum yang dibahas.

C.Tujuan Pembelajaran

1. Mahasiswa dapat menulis, membaca, menghafalkan dan mengartikan


materi hadis.
2. Mahasiwa dapat membuat uraian mengenai penegakkan supremasi hukum
tanpa melihat status sosial
3. Mahasiwa dapat memahami dan menguraikan konsekuensi hukuman di
akhirat bagi orang yang telah hukuman di dunia.
4. Mahasiswa mengetahui kandungan pokok hukum hadis tentang supremasi
hukum mengatasi kebebasan individu atau kelompok, dan hadis tentang
hukuman di akhirat bagi yang telah menjalani hukuman di dunia.

1. Supremasi Hukum Mengatasi Kebebasan Individu Atau Kelompok (LM.


1100)
a. Materi Hadis

‫ت َف َق الُوا َو َم ْن يُ َكلِّ ُم فِ َيه ا‬ ِِ ِ َّ ‫َع ْن َعائِ َش ةَ َر ِض ي اللَّهُ َعْن َه ا أ‬


ْ َ‫َن ُقَريْ ًش ا أَمَهَّ ُه ْم َش أْ ُن الْ َم ْرأَة الْ َم ْخُزوميَّة الَّيِت َس َرق‬ َ
ِ‫ول اللَّ ِه ص لَّى اللَّه علَي ه‬ ِ ِ ٍ ِ ِ ِ
ُ ِ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْيه َو َسلَّ َم َف َقالُوا َو َم ْن جَيْرَت‬ ِ َ ‫رس‬
َْ ُ َ ‫ب َر ُس‬ َ ‫ئ َعلَْي ه إاَّل أ‬
ُّ ‫ُس َامةُ بْ ُن َزيْ د ح‬ َ ‫ول اللَّه‬ َُ
ِ ِ ِ ِ ِ
َّ‫ب مُث‬َ َ‫اختَط‬ ْ َ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْيه َو َسلَّ َم أَتَ ْش َف ُع يِف َح ٍّد م ْن ُح ُدود اللَّه مُثَّ قَ َام ف‬ َ ‫ول اللَّه‬ ُ ‫ُس َامةُ َف َق َال َر ُس‬ َ ‫َو َسلَّ َم فَ َكلَّ َمهُ أ‬
‫يف أَقَ ُاموا‬ ِ َّ ‫الش ِريف َتر ُك وه وإِ َذا س ر َق فِي ِهم‬ ِِ ِ ِ َّ َ‫قَ َال إِمَّنَ ا أَهل‬
ُ ‫الض ع‬ ْ َ َ َ ُ َ ُ َّ ‫َّه ْم َك انُوا إ َذا َس َر َق فيه ْم‬ ُ ‫ين َقْبلَ ُك ْم أَن‬
َ ‫ك الذ‬ َ ْ
ٍ ِ َّ ‫علَي ِه احْل َّد وامْي اللَّ ِه لَو أ‬
)‫ (رواه البخاري و مسلم وغريمها‬. .‫ت يَ َد َها‬ ُ ‫ت لََقطَ ْع‬ ْ َ‫ت حُمَ َّمد َسَرق‬ َ ‫َن فَاط َمةَ بِْن‬ ْ ُ َ َ َْ
Artinya:

243
(Hadis diriwayatkan) dari ‘Aisyah rah. Bahwa sesungguhnya orang-
orang Quraisy dibingungkan oleh perkara seorang perempuan al-
Makhzumiyah yang mencuri. Maka mereka berkata, “Siapakah yang
akan berbicara mengenai perempuan itu kepada Rasulullah saw.?”
Mereka juga berkata, “Tidak ada yang berani berbicara dengan beliau
kecuali Usamah bin Zaid, yang dicintai oleh Rasulullah saw.”Maka
Usamah pun berbicara kepada rasulullah saw. Lalu Rasulullah saw.
bersabda, “Apakah engkau hendak memberi pertolongan kepada
(pelanggaran) hukum Allah?” Kemudian beliau berdiri dan berkhuthbah
sembari bersabda, “Bahwasanya yang membinasakan orang-orang yang
sebelum kalian (Bani Israil) adalah apabila yang mencuri orang
terpandang, maka mereka membiarkannya (tidak dihukum). Dan
apabila yang mencuri adalah orang yang lemah, mereka menegakkan
hukum kepadanya. Demi Allah, seandainya Fathimah putrid
Muhammad yang mencuri, aku pasti memotong tangannya.” (H.R. Al-
Bukhariy, Muslim dan selainnya).

b. Takhrij al-Hadits

1. Al-Bukhariy, kitab ahaditsi al-anbiya’, bab hadits al-ghar, hadis no. 3216.,
kitab al-manaqib, bab zikr Usamah bin Zaid, hadis no. 3453, kitab al-
maghaziy, hadis no. 3965, kitab al-hudud, bab iqamat al-hudud ‘ala al-
syarif walau dhayyi’, hadis no. 6289, 6290, bab karahiyat al-syafa’ah fi al-
had idza rafa’a ila al-sulthan, hadis no. 6290.
2. Muslim, kitab al-hudud, bab qath’u al-sariq al-syarif wa ghairihi wa al-
nahy ‘an syafa’a fi had, hadis no. 3196, 3197.
3. Abu Dawud, kitab al-hudud, bab fi had yasyfa’u fihi, hadis no. 3802.
4. Al-Turmudziy, kitab al-hudud, bab ma ja’a fi karahiyati an yasyfa’a fi
hudud, hadis no. 1350.
5. Al-Nasaiy, kitab qath’ al-sariq, bab zikr ikhtilaf alfadz al-naqallin al-khabar
al-Zuhriy fi al-Makhzumiyah, hadis no. 4811, 4813, 4814, 4815, 4816,
4817, 4818, 4819.
6. Ibn Majah, kitab al-hudud, bab al-syafa’a fi al-hudud, hadis no. 2537.
7. Ahmad bin Hanbal, kitab baqi musnad al-Anshariy, bab hadits Ukhta
Mas’ud bin al-‘Ajma’, hadis no. 22381, bab baqi musnad al-sabiq, hadis
no. 24134.
8. Al-Darimiy, kitab al-hudud, bab fi al-syafa’ah fi al-had duna al-sulthan,
hadis no. 2200.

c. Biografi Singkat Sahabat Nabi Periwayat hadis

(‘AISYAH ISTRI RASULULLAH SAW.)

‘Aisyah binti Abu Bakar al-Shiddiq bin Abi Quhafah adalah salah
seorang istri Nabi Muhammad saw. Garis keturunannya bertemu dengan
garis keturunan Rasulullah dari jalur kakeknya yang keenam yaitu Murrah
bin Ka’ab. Ayahnya Abu Bakar sebenarnya bernama ‘Abdullah bin ‘Utsman
bin ‘Amr bin ‘Amr bin Ka’ab bin Sa’id bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin
Luay bin Ghalib al-Qurasy al-Taimiy. Ayahnya itu dijuluki dengan julukan
Abu Bakar, al-‘Athiq, al-Shiddiq, al-Shahib, al-Atqa, dan al-Awwah. Semua
julukan itu menunjukkan ketinggian derajat, kedudukan, dan
kemuliaannya. Kakeknya dari jalur ayah ini dijuluki Abu Quhafah yang
memeluk Islam pada saat Fath Makkah. Nenek dari ayahnya bernama
Salma binti Shakhr bin ‘Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim. Dia dijuluki
dengan Ummul Khair. Neneknya masuk Islam sejak pertama kali Islam
datang.

Ibunya bernama Ummu Ruman binti ‘Amir bin ‘Uwaimir. Ia berasal


dari Bani Kinanah Khuzaimah dan sudah sejak lama ia memeluk Islam dan
berbaiat kepada Rasulullah. Ummu Ruman ikut hijrah ke Madinah dan
meninggal di Madinah ketika Rasulullah masih hidup.120
120
Lihat ‘Imarah Muhammad ‘Imarah, 100 Mauqif Buthuli al-Nisa’, diterjemahkan oleh
Nashirul Haq, Lc, dan Fatkhurrozi, Lc., dengan judul Ketika Wanita lebih Utama dari Pria, 100
245
‘Aisyah diperistri oleh Nabi pada usia sekitar enam atau tujuh tahun.
Ketika itu, Khadijah telah wafat dan Nabi telah memperistri Saudah,
seorang janda yang telah lanjut usia. Pernikahan Nabi dan ‘Aisyah terjadi
sebelum Nabi hijrah ke Madinah. Karena usia ‘Aisyah masih sangat muda,
maka sesudah akad nikah, ‘Aisyah masih dipelihara oleh ibunya Ummu
Rumman. Sesudah Nabi hijrah ke Madinah, barulah ‘Aisyah tinggal satu
rumah dengan Nabi. Ketika itu, ‘Asiayh telah berusia sekitar Sembilan
tahun.

Sebagai istri yang dimadu, ‘Aisyah menduduki tempat yang istimewa


di hati suaminya. Pada suatu saat, sebagai seorang suami yang memiliki
banyak istri, Nabi mengadu kepada Allah bahwa beliau tidak mampu
menyamakan rasa cinta beliau kepada seluruh istri beliau. Rasa cinta
beliau kepada ‘Aisyah selalu lebih besar daripada rasa cinta beliau kepada
para istri yang lainnya.

Ketika Rasulullah wafat di kediaman ‘Aisyah, usia ‘Aisyah sekitar 18


tahun. Rasulullah dikebumikan di tempat wafat beliau, yakni di kediaman
‘Aisyah tersebut. Saat sekarang ini, kuburan Rasulullah telah berada
dalam bagian Masjid Nabawi di al-Madinah al-Munawwarah.

‘Aisyah memang memiliki banyak keutamaan. Dialah satu-satunya


wanita yang ketika diperistri oleh nabi masih dalam keadaan gadis. Dia
dikenal sebagai wanita yang cerdas dan memiliki pengetahuan islam yang
luas. Dari kalangan sahabat nabi, ‘Aisyah termasuk sahabat yang dikenal
banyak menyampaikan fatwa agama.

Dalam periwayatan hadis mabi, ‘Aisyah menduduki peringkat


keempat dalam kelompok al-Muktsiruna fil-hadis (“bendaharawan hadis”).
Kisah Wanita Mengesankan, (Jakarta : Maghfirah Pustaka, 2005), h. 43-44.
Jumlah hadis yang diriwayatkan menurut sebagian sumber ada 1210 buah.
Yang disepakati periwayatannya oleh al-Bukhari dan Muslim ada 174 buah
hadis; yang diriwayatkan oleh al-Bukhari sendiri (tanpa Muslim) sebanyak
54 buah; dan yang diriwayatkan oleh Muslim sendiri sebanyak 69 buah.

‘Aisyah wafat pada bulan Ramadhan tahun 58 H (ada yang


menyatakan 57 H) dalam usia sekitar 67 tahun dan tidak dikaruniai
keturunan. Jenazahnya dikebumikan di pekuburan Baqi’ , di al-Madinah al-
Munawwarah.

Banyak sekali mutiara patritisme yang ditunjukkan oleh ‘Aisyah, di


antaranya, keelokan budi dalam mengarungi bahtera rumah tangga
bersama Rasulullah. Dalam posisinya sebagai perempuan ia selalu terlibat
dalam jihad fi sabilillah, seperti meladeni perbekalan dan merawat para
pasukan yang terluka di perang Uhud. Ikut juga dalam perang Ahzab.
‘Aisyah juga tegar dalam menghadapi ujian ifki (berita bohong yang
menuduh dirinya telah berselinghkuh dengan seorang sahabat yang saat
itu justru sedang menolong ‘Aisyah). Lebih memilih hidup sederhana
bersama Rasulullah dari pada materialism dan hedonism. Sepenuh hati
kala berinfak di jalan Allah. Pandai berhias untuk menyenangkan suami.
Tidak mudah terhasut, ketika terjadi fitnah terbunuhnya ‘Utsman bin
‘Affan.

d. Arti Kosakata dan Syarahan Hadits

Adapun arti beberapa kosakata hadis ini, dapat dikemukakan, antara


lain:

247
1. Lafadz ‫أَهَ َّمهُ ْم‬, artinya mendatangkan kesusahan dan kesukaran terhadap
mereka (orang-orang Quraisy). ‫أهمهم ش أن الم رأة‬, yakni masalah yang
berhubungan dengan pencurian yang dilakukan oleh seorang wanita.
2. Nama ‫ ْال َم ْخ ُزو ِميَّ ِة‬, adalah wanita yang melakukan pencurian bernama
Fathimah binti al-Aswad bin Abd al-Asad, putrid saudara Abu Salamah.
Bani Makhzum adalah salah satu induk kaum Quraisy dan mereka
merupakan bangsawan dari kabilah yang terhormat, mereka mendapat
julukan Raihanah Quraisy.
3. Pernyataan ‫ َو َم ْن يُ َكلِّ ُم فِيهَا‬, artinya siapa yang akan diutus untuk berbicara
dengan Rasulullah saw. untuk memintakan syafaat agar hukum potong
tangan dibatalkan.
ِ ‫ال َّش‬, berarti orang mulia, atau orang terhormat/terpandang.
4. Lafadz ُ‫ريف‬
ِ orang kesayangan Nabi yaitu Usamah bin Zaid.
5. Lafadz ُّ‫حب‬,
6. Kalimat ِ ‫ َوا ْي ُم هَّللا‬, artinya demi Allah.121
Penjelasan hadis di atas dapat dilihat dari penjelasan penggalan hadis
tersebut sebagai berikut:

ْ َ‫أَ َّن قُ َر ْي ًشا أَهَ َّمهُ ْم َشأْنُ ْال َمرْ أَ ِة ْال َم ْخ ُزو ِميَّ ِة الَّتِي َس َرق‬
‫ت‬
(Sesungguhnya orang-orang Quraisy dibingungkan oleh perkara seorang
perempuan al-Makhzumiyah yang mencuri).

Suku Quraisy adalah suku terhormat di kalangan suku yang ada di


Makkah. Salah induk keturunan dari suku Quraisy adalah Bani Makhzum.
Hadis di atas menceritakan, bahwa ada seorang wanita dari Bani Makhzum
yang bernama Fathima binti al-Aswad, meminjam barang dari orang lain
sekadar sebagai alasan kemudian dia tidak mengakuinya. Suatu kali dia
meminjam lagi sebuah perhiasan lalu dia tidak mengakuinya. Ketika
digeledah, perhiasan itu ternyata ada padanya. Kasus ini didengar oleh
121
Lihat Ali Bassam, op.cit., h. 899.
Rasulullah saw. lalu beliau bermaksud melaksanakan hukuman yang sudah
ditetapkan oleh Allah yaitu hukum potong tangan. Sementara wanita itu
termasuk wanita bangsawan dan berasal dari keluarga terpandang di
kalangan suku Quraisy.

ِ ‫ئ َعلَ ْي ِه إِاَّل أُ َسا َمةُ بْنُ زَ ْي ٍد ِحبُّ َرس‬


ِ ‫ُول هَّللا‬ ُ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَقَالُوا َو َم ْن يَجْ ت َِر‬
َ ِ ‫فَقَالُوا َو َم ْن يُ َكلِّ ُم فِيهَا َرسُو َل هَّللا‬
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ
( Maka mereka berkata, “Siapakah yang akan berbicara mengenai
perempuan itu kepada Rasulullah saw.?” Mereka juga berkata, “Tidak ada
yang berani berbicara dengan beliau kecuali Usamah bin Zaid, yang
dicintai oleh Rasulullah saw.”)

Perhatian semua orang Quraisy tertuju kepada hukum yang hendak


dilaksanakan terhadap wanita itu. Mereka pun saling bertukar pikiran
membicarakan siapa orang yang dapat mereka jadikan sebagai perantara
kepada Nabi Muhammad saw. agar wanita itu terbebas dari hukuman
potong tangan. Mereka tidak melihat orang yang paling layak untuk itu
selain diri Usamah bin Zaid, karena dialah orang yang paling dekat dengan
Rasulullah saw dan disayangi.

َ ِ ‫فَ َكلَّ َمهُ أُ َسا َمةُ فَقَا َل َرسُو ُل هَّللا‬


ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم أَتَ ْشفَ ُع فِي َح ٍّد ِم ْن ُحدُو ِد هَّللا‬
(Maka Usamah pun berbicara kepada Rasulullah saw. Lalu Rasulullah saw.
bersabda, “Apakah engkau hendak memberi pertolongan kepada
(pelanggaran) hukum Allah?”)
Maka Usamah memintakan keringanan kepada Rasulullah saw, yang
justru membuat beliau marah besar, lalu beliau bersabda, “Adakah engkau
memintakan syafaat dalam salah satu hukum yang sudah ditetapkan Allah?”

249
َ ‫ك الَّ ِذينَ قَ ْبلَ ُك ْم أَنَّهُ ْم َكانُوا إِ َذا َس َر‬
َ ‫ق فِي ِه ْم ال َّش ِريفُ تَ َر ُكوهُ َوإِ َذا َس َر‬
ُ‫ق فِي ِه ْم الض َِّعيف‬ َ َ‫ب ثُ َّم قَا َل إِنَّ َما أَ ْهل‬ َ َ‫اختَط‬ ْ َ‫ثُ َّم قَا َم ف‬
‫أَقَا ُموا َعلَ ْي ِه ْال َح َّد‬
(Kemudian beliau berdiri dan berkhuthbah sembari bersabda, “Bahwasanya
yang membinasakan orang-orang yang sebelum kalian (Bani Israil) adalah
apabila yang mencuri orang terpandang, maka mereka membiarkannya
(tidak dihukum). Dan apabila yang mencuri adalah orang yang lemah,
mereka menegakkan hukum kepadanya ).

Kemudian beliau berdiri dan menyampaikan pidato kepada orang-


orang untuk menjelaskan bahaya syafaat ini, yang hendak menggugurkan
hukum Allah, apalagi masalah ini menjadi perhatian banyak orang. Maka
beliau memberitahukan kepada mereka bahwa sebab kehancuran dan
kebinasaan orang-orang sebelum kita dalam masalah agama dan dunia
mereka, karena mereka menegakkan hukuman terhadap orang-orang yang
lemah dan miskin, sementara mereka membiarkan orang-orang yang kuat
dan kaya. Akibatnya, anarkisme, kerusakan dan kejahatan ada dimana-
mana, sehingga mereka berhak mendapatkan murka dan siksaan Allah.

ُ ‫ت لَقَطَع‬
‫ْت يَ َدهَا‬ ِ َ‫ َوا ْي ُم هَّللا ِ لَوْ أَ َّن ف‬.
ْ َ‫اط َمةَ بِ ْنتَ ُم َح َّم ٍد َس َرق‬
.( Demi Allah, seandainya Fathimah putrid Muhammad yang mencuri, aku
pasti memotong tangannya.)
Kemudian Rasulullah saw. bersumpah sekiranya perbuatan ini
dilakukan pemimpin para wanita dunia, putri beliau Fathimah, tentu beliau
tetap akan melaksanakan hukum Allah. Rasulullah menggunakan nama
putrid beliau Fathimah karena wanita yang ingin dibela oleh Usamah itu
juga bernama Fathimah.

Beberapa Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama:


Para ulama berbeda pendapat mengenai orang yang mengingkari
pinjaman, apakah tangannya harus dipotong atau tidak?

Imam Abu Hanifah, Malik dan al-Syafi’iy berpendapat bahwa orang


yang mengingkari pinjaman tidak dipotong tangannya. Pendapat ini juga
merupakan salah satu riwayat Imam Ahmad dan diperpegangi oleh rekan-
rekan Ahmad, seperti al-Khiraqiy, Abu al-Khaththab, dan Ibn Qudamah.
Mereka menanggapi hadis ini, bahwa kasus ini disebut karena
pengingkarannya untuk mengaku, bukan dia dipotong tangannya, karena
pinjaman itu. Dia dipotong karena mencuri, karena itulah dalam hadis ini
disebut dengan lafadz mencuri.

Adapun riwayat kedua dari Imam Ahmad, bahwa dia harus dipotong
tangannya. Abdullah bin Ahmad berkata, aku bertanya kepada ayahku,
“Apakah engkau berpendapat seperti kandungan hadis ini?” Ahmad
menjawab, “Aku tidak mengetahui sesuatu pun yang berbeda dengan hadis
ini.” Pendapat ini juga dianut oleh Ishaq, golongan al-Zhahiriyah, yang
didukung oleh Ibn Hazm. Mereka menjadikan hadis yang berbicara
mengenai kasus al-Makhzumiyah ini sebagai dasarnya. Makna yang ada
pada diri orang yang melakukan pencurian juga ada pada diri orang yang
mengingkari pinjaman, bahkan orang yang mengingkari pinjaman
bahayanya lebih besar dari pencurian. Orang yang meminjamkan barang
adalah orang baik, sementara orang yang mengingkari pinjaman telah
menghilangkan kebaikan orang lain, yang berarti dia lebih jelek.
Ada ijma’ ulama bahwa orang yang meng-ghshab dan mencopet tidak
dipotong tangannya, karena mereka tidak dianggap orang yang membuat
kerusakan. Tapi mereka tetap berdosa dan perlu diberi pelajaran, dan

251
pemberian pelajaran ini bisa diperberat, dan yang diambilnya harus
dikembalikan.122

e. Pokok-pokok Kandungan Hukum Hadis

Berdasarkan keterangan dan pembahasan yang telah dikemukakan,


maka dapatlah ditarik beberapa kandungan pokok hadis ini, yaitu :

1. Larangan memintakan syafaat atau keringanan dalam al-hudud, dan


penolakan terhadap orang yang meminta syafaat. Ha ini sudah berlaku
sebelum kasusnya sampai ke tangan hakim.
2. Hukum bagi orang yang mengingkari pinjaman sama dengan hukum
pencurian, sehingga harus dijatuhi hukuman potong tangan.
3. Perlakuan yang adil dan persamaan hak terhadap sesama manusia
dalam masalah hukum, baik terhadap orang kaya atau miskin, orang
terpandang atau rakyat jelata. Mereka semua sama di hadapan hukum.
4. Penegakan hukum hanya kepada orang-orang yang lemah, dan tidak
ditegakkannya hukum kepada orang yang kuat dan terhormat,
merupakan sebab kehancuran dan kebinasaan, serta malapateka di
dunia dan akhirat.
5. Boleh bersumpah dalam perkara-perkara yang penting sebagai
penguat.
6. Dalam menjelaskan kebenaran, boleh banyak berbicara dan membuat
perumpamaan atau pemisalan.

2. Hukuman di Akhirat bagi yang telah Menjalani Hukuman di Dunia


(LM. 1111)

A. Materi Hadis

122
Lihat Ali Bassam, op.cit., h. 901-902.
‫ص لَّى‬ ِ َ ‫َن رس‬ ِ ِ ُّ ‫ت ر ِض ي اللَّه عْن ه و َك ا َن ش ِهد ب ْدرا وه و أَح د‬ ِ ِ َّ ‫َن عب اد َة بن‬
َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ َّ ‫الن َقبَ اء لَْيلَ ةَ الْ َع َقبَ ة أ‬ ُ َ َُ َ ً َ َ َ َ ُ َ ُ َ َ ‫الص ام‬ َ ْ َ َُ َّ ‫أ‬
‫َص َحابِِه بَ ايِعُويِن َعلَى أَ ْن اَل تُ ْش ِر ُكوا بِاللَّ ِه َش ْيئًا َواَل تَ ْس ِرقُوا َواَل‬ ِ ِ ِ
َ ‫اللَّهُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم قَ َال َو َح ْولَ هُ ع‬
ْ ‫ص ابَةٌ م ْن أ‬
ٍ ‫ان َت ْفترونَ ه ب أَي ِدي ُكم وأَرجلِ ُكم واَل َتعص وا يِف مع ر‬
‫وف فَ َم ْن‬ ٍ َ‫َتزنُ وا واَل َت ْقُتلُ وا أَواَل َد ُكم واَل تَ أْتُوا بِبهت‬
ُ َْ ُ ْ َ ْ ُ ْ َ ْ ْ َ ‫َ ُ ُ َنْي‬ ُْ َْ ْ َ ْ
‫اب ِم ْن‬ ِ
َ ‫َص‬ َ ‫ب يِف ال ُّد ْنيَا َف ُه َو َكف‬
َ ‫َّارةٌ لَ هُ َو َم ْن أ‬ َ َ‫اب ِم ْن ذ‬
َ ‫لِك َش ْيئًا َفعُ وق‬ َ ‫َص‬
ِ
َ ‫َجُرهُ َعلَى اللَّه َو َم ْن أ‬
ِ
ْ ‫َوىَف مْن ُك ْم فَ أ‬
‫ (رواه البخاري و‬. ‫ك َشْيئًا مُثَّ َسَتَرهُ اللَّهُ َف ُه َو إِىَل اللَّ ِه إِ ْن َشاءَ َع َفا َعْنهُ َوإِ ْن َشاءَ َعا َقبَهُ َفبَ َاي ْعنَاهُ َعلَى َذلِك‬ ِ
َ ‫َذل‬
)‫مسلم وغريمها‬
Artinya:
(Hadis diriwayatkan) dari ‘Ubadah bin al-Shamit ra. Dan ia ikut
menyaksikan Perang Badar, dan ia juga adalah salah satu pembesar
pada Malam ‘Aqabah, sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda,
ketika di sekitarnya terdapat sekolompok orang dari para sahabatnya
: “Berbaiatlah kalian kepadaku untuk tidak menyekutukan sesuatu
pun dengan Allah, janganlah kalian mencuri, janganlah berzina,
janganlah kalian membunuh anak-anak kalian, janganlah kalian
membawa kabar bohong yang kalian buat-buat di depan kalian,
janganlah kalian bermaksiat di dalam kebaikan, maka barang siapa
yang memenuhi baiat tersebut di antara kalian, maka pahalanya ada
pada Allah. Dan barangsiapa yang melakukan salah satu larangan
tersebut, lalu dihukum di dunia, maka itu sebagai penghapus dosa
baginya, dan barang siapa melakukan salah satu larangan tersebut,
kemudian Allah menutupinya, maka itu semua terserah kepada Allah.
Jika Allah menghendaki, ia memaafkannya, dan jika Allah
menghendaki, ia menghukumnya.’ Maka kami pun berbaiat

253
kepadanya tentang perkara-perkara itu.” (H.R. Al-Bukhariy, Muslim
dan selainnya)

b. Takhrij al-Hadits

1. Al-Bukhariy, kitab al-iman bab ‘alamat al-iman, hadis no. 17, kitab
manaqib, bab wufud al-Anshar li Nabiy ila Makkah wa Bai’ah Aqabah,
hadis no. 3603, kitab hudud, bab al-hudud kaffarat, hadis no. 6286,
bab taubat li sariq, hadis no.6303, kitab ahkam, bab bai’at al-nisa’,
hadis no. 6673, kitab al-tauhid, bab fi al-masyi’at wa al-iradah, hadis
no. 6914.
2. Muslim, al-hudud, bab al-hudud kaffarat li ahlihi, hadis, 3223, 3224,
3225.
3. Al-Turmudziy, kitab al-hudud, bab ma ja’a anna al-hudud kaffarat li
ahlihi, hadis no. 1359.
4. Al-Nasaiy, kitab al-bai’at, bab bai’at ‘ala al-jihad, hadis no. 4091,
4092,bab al-bai’ah ‘ala farq al-musyrik, hadis no. 4107, bab al-tsaub
man wafa bihi bai’ah ‘alaih, hadis no. 4139, kitab al-iman, bab al-bai’ah
‘ala al-Islam, hadis no. 4916.
5. Ibn Majah, kitab al-hudud, bab al-hudud kaffarat, hadis no. 2593.
6. Ahmad bin Hanbal, kitab baqi musnad al-Anshariy, bab hadits ‘Ubadah
bin al-Shamit, hadis no. 21616, 21642, 21706.
7. Al-Darimiy, kitab al-sir, bab fi bai’ah al-Nabiy, hadis no. 2345.

c. Biografi Singkat Sahabat Nabi Periwayat hadis

(‘UBADAH BIN AL-SHAMIT )

Nama lengkap periwayat level sahabat yang satu ini adalah ‘Ubadah
bin al-Shamit bin Qais bin Ashram bin Fihr bin Qais bin Tsa’labah bin
Ghanm bin Salim bin ‘Auf bin ‘Amr bin ‘Auf bin al-Khazraj al-Anshariy,
digelar Abu al-Walid al-Madaniy. Ia merupakan salah satu petinggi pada
malam aqabah, dan ikut dalam Perang Badar dan perang-perang lain.

‘Ubadah hanya menerima riwayat hadis langsung dati Nabi saw.


Selanjutnya, riwayat hadis darinya diteruskan oleh periwayat-periwayat
lain, yaitu : anaknya al-Walid, Dawud, ‘Ubaidillah, cucunya Yahya, ‘Ubadah
mempunyai anak, yaitu al-Walid, dan Ishaq bin Yahya bin al-Walid bin
‘Ubadah tapi ia tidak berjumpa lagi, dan di antara keluarga dekatnya,
yaitu Abu Ayyub al-Anshariy, Anas bin Malik, Jabir bin ‘Abdullah, Rifa’ah
bin Rafi’, Syarhabil bin Hasanah, Salamah bin al-Mahbuq, Abu Umamah,
Abd al-Rahman bin Ghanam, Fadhalah bin ‘Ubaid, Mahmud bin al-Rabi’,
dan lain-lain dari generasi sahabat, al-Aswad bin Tsa’labah, Jubair bin
Nafir, Junadah bin Abi Umayyah, Hiththan bin ‘Abdullah al-Raqasyiy,
Abdullah bin Muhairiz, Abu Abd al-Rahman al-Shunabihiy, Rabi’ah bin
Najid, ‘Atha’ bin Yassar, Qabishah bin Dzuaib, Nafi’ bin Mahmud bin al-
Rabi’, Ya’la bin Syidad bin Aus, Abu al-Asy’ats al-Shan’aniy, Abu Idris al-
Khaulaniy, dan lain-lain.

Menurut Muhammad bin Sa’ad, saudara Rasulullah saw. antara dia


dengan Abi Martsad. Muhamad bin Ka’ab al-Qardhiy: ‘Ubadah adalah
penghimpun Alquran pada zaman Nabi saw. Al-Bukhariy meriwayatkan
dalam Tarikh al-Shaghir, bahwa ‘Umar mengirimnya ke Palestina untuk
mengajarkan Alquran pada penduduknya, lalu dia menetap di sana hingga
wafat.

Menurut Ibn Sa’ad dari al-Waqidiy, dari Ya’qub bin Mujahid, dari
‘Ubadah bin al-Walid bin ‘Ubadah, dari ayahnya : ‘Ubadah wafat di
Ramlah, tahun 34 H. dalam usia 72 tahun. Dahyam berkata, ia wafat di
Bait al-Maqdis.

255
Ibn Hibban berkata, dia adalah orang pertama yang menjadi qadhi di
Palestina. Menurut Sa’id bin ‘Afir, panjang badan ‘Ubadah adalah 10
jengkal. 123

d. Arti Kosakata dan Syarahan Hadits

Adapun arti beberapa kosakata hadis ini, dapat dikemukakan, antara


lain:
1. Kalimat ‫ش ِه َد بَ ْدرًا‬َ َ‫ َو َكان‬, arti menyaksikan perang Badar maksudnya ikut
dalam Perang Badar.
2. Kalimat ‫ح ُد النُّقَبَا ِء لَ ْيلَةَ ْال َعقَبَ ِة‬
َ َ‫ َوهُ َو أ‬, kata ‫ النقباء‬jamak dari ‫النقيب‬, artinya ketua,
atau kepala suatu kaum. Maksudnya ‘Ubaidah bin al-Shamit adalah
salah satu unsur ketua dalam malam Ba’iah ‘Aqabah.
3. Kalimat ‫حابِ ِه‬ َ ْ‫صابَةٌ ِم ْن أَص‬ َ ‫ َو َحوْ لَهُ ِع‬dan di sekitar Nabi ada sekelompok orang
dari kalangan sahabat. Kata ‫ عص ابة‬dari kata kata dasar ‫ عصب‬yang
berarti jama’ah atau sekumpulan orang.
4. Kalimat ‫بَايِعُونِي‬berbai’atlah kamu kepadaku.
َ ِ ‫ َعلَى أَ ْن اَل تُ ْش ِر ُكوا بِاهَّلل‬, tidak boleh menyekutukan Allah dengan
5. Kalimat ‫ش ْيئًا‬
sesuatu.
6. Kalimat ‫رقُوا‬ ِ ‫ َواَل ت َْس‬dari kata saraqa – yasriqu – sariqat, berarti
mencuri. Maksudnya, setelah membai’at Nabi tidak boleh lagi mencuri.
7. Kalimat ‫ َواَل ت َْزنُوا‬, tidak boleh pula berzina.
8. Kalimat ‫ َواَل تَ ْقتُلُوا‬tidak boleh juga membunuh.
9. Kalimat ‫ أَوْ اَل َد ُك ْم‬adalah bentuk jamak dari ‫ولد‬. Jadi, tidak boleh membunuh
akan-anak kamu.
10. Kalimat ٍ ‫ َواَل تَأْتُوا بِبُ ْهت‬, tidak boleh pula mendatangkan berita-berita
‫َان‬
bohong.

123
Lihat Ibn Hajr al-Asqalaniy, Tahdzib, op.cit., III, h. 380-381.
11. Kalimat ‫تَ ْفتَرُونَهُ بَ ْينَ أَ ْي ِدي ُك ْم‬yang kamu buat-buat di antara tangan.
12. Kalimat ‫وأَرْ ُجلِ ُكم‬danَ kaki-kaki kamu.
13. Kalimat ‫ُوف‬ ٍ ‫ْص وا فِي َم ْع ر‬ ُ ‫ َواَل تَع‬, jangan pula kamu bermaksiat dalam
kebaikan.
14. َ ُ‫فَأَجْ ُره‬, maka pahalanya ada pada Allah.
Kalimat ِ ‫علَى هَّللا‬
15. Kalimat ‫ش ْيئًا‬ َ ِ‫اب ِم ْن َذل‬
َ ‫ك‬ َ ‫ص‬َ َ‫ َو َم ْن أ‬, dan barangsiapa yang melakukan suatu
larangan itu.
16. Kalimat ‫ب فِي ال ُّد ْنيَا‬
َ ِ‫فَعُوق‬, kemudian dia dihukum di dunia.
َ َّ‫فَه َُو َكف‬, maka itu menjadi penghapus dari dosanya.
17. Kalimat ُ‫ارةٌ لَه‬
18. Kalimat ُ ‫ست ََرهُ هَّللا‬
َ ‫ثُ َّم‬, kemudian Allah menutupi kesalahannya.
19. Kalimat ُ‫ع ْنه‬ َ ‫فَهُ َو إِلَى هَّللا ِ إِ ْن َشا َء َعفَا‬,maka kalau Allah kehendaki, Dia akan
mengampuninya.
20. Kalimat ُ‫شا َء عَاقَبَه‬
َ ‫ َوإِ ْن‬, dan jika dikehendaki, dia akan dihukum.
21. Kalimat ‫فَبَايَ ْعنَاهُ َعلَى َذلِك‬, maka kami pun berbai’at kepadanya akan
hal itu.

Penjelasan hadis tersebut di atas dapat dilihat dari penjelasan


penggalan hadis sebagai berikut:

‫َو َكانَ َش ِه َد بَ ْدرًا َوه َُو أَ َح ُد النُّقَبَا ِء لَ ْيلَةَ ْال َعقَبَ ِة‬
(Dan ia ikut menyaksikan Perang Badar, dan ia juga adalah salah satu
pembesar pada Malam ‘Aqabah)

Hadis ini tampaknya disampaikan Nabi pada malam bai’at aqabah,


yang diberitakan oleh ‘Ubadah karena dia sendiri hadir dalam perjanjian
itu. ‘Ubadah bin al-Shamit adalah seorang pejuang Islam yang ikut
terlibat dalam Perang Badar. Dia yang pertama membunuh orang musyrik

257
ketika ingin membunuh Nabi. Dia pula termasuk dalam unsur pembesar
ketika terjadi perjanjian atau bai’at aqabah.

‫صابَةٌ ِم ْن أَصْ َحابِ ِه بَايِعُونِي‬


َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل َو َحوْ لَهُ ِع‬ َ ‫أَ َّن َرس‬
َ ِ ‫ُول هَّللا‬
( sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda, ketika di sekitarnya terdapat
sekolompok orang dari para sahabatnya : “Berbaiatlah kalian kepadaku )

Pada malam bai’at aqabah itu, Nabi saw. berada di sekitar


sekelompok para sahabat yang sedang mendengarkan perintah dan
petunjuk beliau. Kelompok sahabat itu, jumlah antara sepuluh sampai
empat puluh orang, bukan hanya satu atau dua orang saja. Kemudian
Nabi saw. berseru : “Berbai’atlah kalian kepadaku”. Dalam riwayat lain
adalah yang menyatakan, ‫تع الوا ب ايعوني‬, maksudya marilah kalian berbai’at
kepadaku, yang menunjukkan terjadinya ikatan perjanjian antara Nabi
saw. dengan para sahabat yang hadir. Bai’at semakna dengan bai’un atau
jual beli, sebab yang maksudkan dengan perjanjian itu sama dengan
transaksi jual beli harta benda, sebab berbai’at kepada Allah berarti
menjual diri pada Allah dan Allah telah membeli dengan imbalan surga.
Hal ini sebagaimana yang disinyalir Allah dalam QS.al-Taubah: 111
           
           
          
        
Terjemahnya:
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan
harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka
berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu
telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al
Quran. dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah?
Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan
Itulah kemenangan yang besar.

Orang yang berbai’at berarti orang yang telah menjual dirinya hanya
dan untuk tunduk, taat dan demi kepentingan Allah swt.
ٍ ‫ْرقُوا َواَل ت َْزنُوا َواَل تَ ْقتُلُوا أَوْ اَل َد ُك ْم َواَل تَأْتُوا بِبُ ْهت‬
‫َان تَ ْفتَرُونَ هُ بَ ْينَ أَ ْي ِدي ُك ْم‬ ِ ‫َعلَى أَ ْن اَل تُ ْش ِر ُكوا بِاهَّلل ِ َش ْيئًا َواَل تَس‬
ٍ ‫َوأَرْ ُجلِ ُك ْم َواَل تَ ْعصُوا فِي َم ْعر‬
‫ُوف‬

( untuk tidak menyekutukan sesuatu pun dengan Allah, janganlah kalian


mencuri, janganlah berzina, janganlah kalian membunuh anak-anak
kalian, janganlah kalian membawa kabar bohong yang kalian buat-buat di
depan kalian, janganlah kalian bermaksiat di dalam kebaikan)

Isi perjanjian atau bai’at itu adalah : Tidak boleh menyekutukan Allah
dengan sesuatu, yakni menyembah Allah tapi masih mempercayai ada
kekuatan lain selain Allah, lalu mereka menyembahnya dalam bentuk
patung, atau sejenisnya. Menyekutukan Tuhan termasuk salah satu dosa
besar yang tidak diampuni oleh Allah. Tidak boleh juga mencuri, yakni
mengambil harta orang lain secara batil. Tidak boleh juga berzina, yaitu
melakukan hubungan seksual antara dua jenis kelamin yang berbeda yang
tidak terikat dengan ikatan pernikahan yang sah. Tidak boleh lagi
membunuh anak-anak kamu, sebagaimana kebiasaan orang-orang Arab
yang membunuh anak terutama anak wanita, karena mereka menganggap
sumber aib dan malu. Larangan membunuh anak-anak menurut
Muhammad bin Ismail al-Taimiy, karena dapat memutuskan garis
keturunan, apapun alasannya, termasuk karena takut miskin, tidak
dibolehkan. Larangan membunuh anak dengan alasan takut miskin,
sebagiaman disetir Allah dalam QS. al-Isra’ : 31
             
 
Terjemahnya:
dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut
kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan
juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu
dosa yang besar.

259
Jangan pula kamu membawa berita bohong yang kalian buat-buat
dengan tangan dan kaki kalian. Buhtan, yakni berita bohong yang
didengar. Penyebutan tangan dan kaki karena perbuatan-perbuatan yang
besar biasanya diperankan oleh tangan dan kaki. Keduanya menjadi alat
dan sarana untuk bergaul dan berusaha, sehingga sering disebut pula
dengan perbuatan tangan-tangan kamu. Walaupun kaki yang terkena
hukuman tetapi serlalu disebut ini perbuatan tangan kalian. Yang
dimaksudkan dalam hal ini adalah, menyebarluaskan berita bohong
kepada manusia, sehingga sebagian orang menjadi saksi kepada sebagian
yang lain. Jangan pula kamu berbuat maksiat dalam kebaikan. Yakni, hal-
hal yang secara syar’iy telah diketahui di larang atau diperintah. Imam al-
Nawawiy, memahami pernyataan ini, bermakna jangan kamu bermaksiat
kepadku atau kepada pemimpin (pemerintah) kamu terhadap hal-hal yang
makruf. Sebagian ulama menjelaskan bahwa pernyataan ini memberi
petunjuk bahwa taat kepada makhluk (pemimpin) hukumnya wajib selama
tidak menyuruh untuk bermaksiat kepada Allah.

ِ ‫فَ َم ْن َوفَى ِم ْن ُك ْم فَأَجْ ُرهُ َعلَى هَّللا‬


( maka barang siapa yang memenuhi baiat tersebut di antara kalian,
maka pahalanya ada pada Allah)

Barang siapa yang konsisten dengan bai’atnya tersebut, maka Allah


akan menjanjikan pahala baginya. Pahala yang dimaksud adalah surga
yang dijanjikan akan diberikan kepada mereka yang taat dengan perintah
Allah dan Rasul-Nya.

ُ‫ب فِي ال ُّد ْنيَا فَه َُو َكفَّا َرةٌ لَه‬


َ ِ‫اب ِم ْن َذلِكَ َش ْيئًا فَعُوق‬
َ ‫ص‬َ َ‫َو َم ْن أ‬
(Dan barangsiapa yang melakukan salah satu larangan tersebut, lalu
dihukum di dunia, maka itu sebagai penghapus dosa baginya)
Ahmad menambahkan dalam riwayatnya ‫ ومن أصاب به من ذاك شيئا‬yakni
siapa yang melakukan salah satu dari larangannya itu, lalu dia dihukum di
dunia, maka ia akan mendapat penghapusan dari dosanya. Makna ‫فهو‬
yakni iqab (balasan hukuman atas pelanggarannya). Makna ‫ كفارة‬berarti
dihapus atau dosanya telah disucikan. Penghapusan dosa menurut Imam
al-Nawawiy berlaku umum untuk semua jenis dosa kecuali dosa karena
menyerikatkan Allah, itu yang tidak dapat dihapus, sebagaimana firman
Allah dalam QS. al-Nisa’: 48
              
     
Terjemahnya:
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka
sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.

Berdasarkan ayat ini, menunjukkan bahwa perbuatan menyerikatkan


Allah adalah perbuatan dosa yang amat besar. Itulah pula sebabnya,
perbuatan membunuh orang yang musyrik menurut syari’at Islam tidak
termasuk dalam huduh jarimah. Itu berarti tidak ada jaminan hidup bagi
orang yang musyrik dalam Negara Islam bahkan mereka boleh diperangi.

‫اب ِم ْن َذلِكَ َش ْيئًا ثُ َّم َستَ َرهُ هَّللا ُ فَهُ َو إِلَى هَّللا ِ إِ ْن َشا َء َعفَا َع ْنهُ َوإِ ْن َشا َء عَاقَبَهُ فَبَايَ ْعنَاهُ َعلَى َذلِك‬
َ ‫ص‬َ َ‫َو َم ْن أ‬

(dan barang siapa melakukan salah satu larangan tersebut, kemudian


Allah menutupinya, maka itu semua terserah kepada Allah. Jika Allah
menghendaki, ia memaafkannya, dan jika Allah menghendaki, ia
menghukumnya.’ Maka kami pun berbaiat kepadanya.

Hadis ini menunjukkan bahwa orang yang telah menjalani hukum


dunia, dosanya akan dihapus oleh Allah. Akan tetapi di akhirat nanti

261
terserah kepada Allah, jika Allah kehendaki maka ia akan dimaafkan jika
Allah menghendaki maka ia akan tetap dihukum sesuai dengan jenis
perbuatan dan dosa yang dilakukannya. Suatu hal yang perlu diperhatikan
yaitu semua jenis larangan yang diperjanjikan itu apabila dilanggar harus
segera diiringi dengan tobat kepada Allah. Hal ini sebagaimana pula
disebutkan Allah dalam QS. al-Ma’idah: 34
             

Terjemahnya:
kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu
dapat menguasai (menangkap) mereka; Maka ketahuilah
bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

e. Pokok-pokok Kandungan Hukum Hadis

Berdasarkan keterangan dan pembahasan yang telah dikemukakan,


maka dapatlah ditarik beberapa kandungan pokok hadis ini, yaitu :

1. Berbai’at kepada Rasul berarti suatu ikatan perjanjian untuk senantiasa


taat kepada Allah dan Rasulnya dan tidak melakukan perbuatan yang
dilarang agama.
2. Apabila seseorang telah menjalani hukuman atas perbuatan
pelanggarannya di dunia, maka hukuman yang dijalaninya akan
menghapus dosa karena pelanggarannya itu.
3. Jika Allah menghendaki maka Allah dapat saja memaafkan orang yang
melakukan dosa pelanggaran, kalau orang tersebut telah bertobat.
Namun jika Allah kehendaki seseorang akan tetap mendapat hukum di
akhirat atas pelanggaran dosanya itu.

Latihan
Untuk memperdalam pemahaman anda mengenai materi pada Satuan Bahasan
Bagian VI dipersilahkan mengerjakan latihan berikut:

1. Buat rumusan tentang penegakan supremasi hukum menurut hadis.


2. Buat uraian singkat mengenai konsekuensi hukuman di akhirat bagi orang
yang telah menjalani hukuman di dunia.
3. Buat rumusan mengenai isi perjanjian bai’at Aqabah itu.

Rangkuman

1. Penegakan supremasi hukum akan diberlakukan kepada siapa saja tanpa


melihat status social seseroang terhormat atau rakyat jelata.
2. Orang yang telah menjalani hukuman di dunia dapat menjadi penebus dosa
dari hukuman di akhirat, namun jika Allah menghendaki boleh saja orang
tersebut dimaafkan atau dihukum lagi di akhirat, selama dia tidak bertobat
atau tobatnya tidak diterima oleh Allah.
3. Isi perjanjian bai’at Aqabah, yaitu :
a. Tidak boleh menyekutukan Allah dengan sesuatu.
b. Tidak boleh mencuri
c. Jangan berzina
d. Jangan membunuh anak-anak kamu
e. Jangan membawa berita bohong
f. Jangan berbuat maksiat dalam kebaikan.

Tes Formatif

1. Jelaskan pengertian kosa kata ‫ ْال َم ْخ ُزو ِميَّ ِة‬,‫أَهَ َّمهُ ْم‬, dan ُ‫ال َّش ِريف‬, pada hadis pertama.
Jelaskan pula pengertian kosa kata ‫ب‬ َ ِ‫ فَعُوق‬,‫النقباء‬, dan ُ‫ارةٌ لَه‬ َ َّ‫ فَهُ َو َكف‬pada hadis kedua.
2. Kemukakan kembali asbab al-wurud al-hadis yang pertama.
263
Kunci Jawaban Tes Formatif

1. Pengertian kosa kata Jelaskan pengertian kosa kata ‫أَهَ َّمهُ ْم‬,yaitu orang Quriasy
ْ yaitu seorang
merasa mendapat kesusahan yang sangat berarti . ‫ال َم ْخ ُزو ِميَّ ِة‬,
wanita suku Quraisy dari bani Makzumiyah melakukan pencurian, dan ُ‫ريف‬ ِ ‫ال َّش‬,
artinya, orang yang terpandang atau terhormat , pada hadis pertama. Jelaskan
pula pengertian kosa kata ‫النقب اء‬,yaitu pembesar atau kepala suku, ‫ب‬ َ ِ‫فَ ُع وق‬,
artinya, maka kemudian dia dihukum di dunia, dan ُ‫ارةٌ لَ ه‬ َ َّ‫ فَه َُو َكف‬artinya,
hukuman di dunia dapat menghapus dosanya di akhirat, pada hadis kedua.
2. Asbab al-wurud al-hadits yang pertama, sehubungan dengan kasus terjadinya
tindak pidana pencurian yang dilakuakan oleh seorang wanita terhormat dari
Bani Makhzumiyah yang bernama Fathimah. Lalu orang-orang Quraisy
bermaksud meminta syafaat (pembatalan) hukum kepada Nabi agar wanita itu
tidak jadi di hukum potong tangan. Mereka pun sepakat mengutus Usamah
bin Zaid sebagai delegasi yang akan memohon syafaat kepadaNabi. Namun,
jawaban Nabi bahwa Jangan member syafaat hanya karena pelaku pencurian
itu adalah kalangan orang terhormat. Karena sesungguhnya, yang telah
menghancurkan umat-umat terdahulu, yakni apabila yang mencuri orang
terhormat maka mereka tidak menegakkan hukuman,tapi apabila yang
mencuri itu orang lemah mereka laksanakan hukuman. Demi Allah, sabda
Rasul, Seandainya Fathimah itu adalah Fathimah binti Muhammad, yang
mencuri aku akan potong tanganya.
BAGIAN VII
MOTIVASI DAN BALASAN JIHAD

A.Gambaran Singkat Mengenai Materi Kuliah

Materi kuliah ini membahas mengenai beberapa topik hadis yang


berkenaan dengan motivasi dan balasan jihad, yaitu hadis tentang motivasi jihad,
dan balasan jihad. Pengajian materi dimulai dengan menampilkan teks matn
hadis disertai arti hadis bersama dengan periwayat pertama dan mukharrijnya.
265
Pemaparan takhrij al-hadits dan biografi singkat sahabat Nabi periwayat
hadis menjadi materi yang diberikan untuk memperoleh gambaran mengenai
data para mukharrij yang menghimpun hadis ini, juga untuk mengetahui
kapabilitas sahabat Nabi yang meriwayatkan hadis ini.

Penjelasan mengenai pengertian menurut bahasa suatu lafal atau kalimat


dalam hadis menjadi pembahasan dimaksudkan untuk memperoleh makna
kosakata lafadz tertentu sebelum akhirnya hadis-hadis yang tercakup dalam
bagian motivasi dan balasan jihad ini dijelaskan syarahannya, dan di analisa hal-
hal yang terkait dengan temanya. Akhirnya akan disimpulkan kandungan pokok
hukum setiap hadis yang di bahas.

B. Pedoman Mempelajari Materi

Baca dengan baik materi teks hadis dengan artinya. Perhatikan dan
sebutkan lafadz-lafadz yang dapat dipakai dalam menelesuri takhrij al-hadits.
Perhatikan ketekunan setiap sahabat yang ditampilkan biografinya. Buat
kesimpulan dari segi keadilan mereka. Buat intisari setiap hadis yang dibahas,
pendapat-pendapat ulama yang terkait dengan materi hadis. Pahami dengan baik
isi hadis tersebut dan berilah kandungan pokok hukum yang dibahas.

C.Tujuan Pembelajaran

1. Mahasiswa dapat menulis, membaca, menghafalkan dan mengartikan


materi hadis.
2. Mahasiwa dapat membuat uraian mengenai beberapa tujuan yang
memotivasi seseorang berjihad.
3. Mahasiswa dapat memahami konsekuensi balasan bagi orang yang
berjihad di jalan Allah baik di duni maupun di akhirat.
4. Mahasiswa mengetahui kandungan pokok hukum hadis tentang motivasi
jihad, hadis tentang balasan yang diperoleh bagi orang yang berjihad di
jalan Allah.

1. Motivasi Jihad (LM. 1243)

a. Materi Hadis

‫اتِل لِْل َم ْغنَ ِم‬


ُ ‫الر ُج ُل يُ َق‬ َّ ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم‬ ِ ِ ُّ ‫َش ع ِر‬
َ ِّ ‫ي َرض َي اللَّهُ َعْن هُ قَ َال قَ َال أ َْع َرايِب ٌّ للنَّيِب‬ َ ْ ‫وس ى اأْل‬ َ ‫َع ْن أَيب ُم‬
‫الر ُج ُل يُ َقاتِ ُل لِيُ ْذ َكَر َويُ َقاتِ ُل لُِيَرى َم َكانُهُ َم ْن يِف َس بِ ِيل اللَّ ِه َف َق َال َم ْن قَاتَ َل لِتَ ُك و َن َكلِ َم ةُ اللَّ ِه ِه َي الْعُ ْليَ ا َف ُه َو‬
َّ ‫َو‬
)‫ (رواه البخاري و مسلم وغريمها‬.‫يِف َسبِ ِيل اللَّ ِه‬
Artinya:
(Hadis diriwayatkan) dari Abu Musa al-Asy’ariy ra. Ia berkata:
“Seseorang badui datang kepada dan berkata, ‘seorang yang berperang
demi mendapatkan harta rampasan, ada yang berperang untuk diingat,
dan ada yang berperang untuk dilihat derajatnya, maka siapakah di
antara mereka yang berperang di jalan Allah ?’ Nabi saw. menjawab,
‘Barangsiapa yang berperang untuk meninggikan kalimat Allah
(Tauhid), berarti ia berperang di jalan Allah’.”(H.R. Al-Bukhariy, Muslim
dan selainnya)

b. Takhrij al-Hadits

1. Al-Bukhariy, kitab al-‘ilm, bab man sa’ala wahuwa qa’im al-‘ilm jalasa,
hadis no. 120, kitab al-jihad wa al-sir, bab man qatala li takunu
kalimatullah hiya al-‘ulya fahuwa fi sabilillah, hadis no. 2599, kitab
furudh al-khamzah, bab man qatala li al-maughnim hal yanqushu min
ajrihi, hadis no. 2894.

267
2. Muslim, kitab al-imarah, bab man qatala li takunu kalimatullah hiya
al-‘ulya fahuwa fi sabilillah, hadis no. 3524, 3525, 3526.
3. Abu Dawud, kitab al-jihad, bab bab man qatala li takunu kalimatullah hiya
al-‘ulya fahuwa fi sabilillah hadis no. 2156.
4. Al-Turmudziy, kitab fadhail al-jihad, bab ma ja’a fiman yaqtulu riya’ wa li
al-din, hadis no. 1570.
5. Al-Nasaiy, kitab al-jihad, bab man qatala li takunu kalimatullah hadis no.
3085.
6. Ibn Majah, kitab al-jihad, bab al-niyat fi al-qatl, hadis no. 2773.
7. Ahmad bin Hanbal, kitab awwal musnad al-Kufiyin, bab hadits Abi Musa
al-Asy’ariy, hadis no. 18673, 18722, 18771, 18905.

c. Biografi Singkat Sahabat Nabi Periwayat hadis

(ABU MUSA AL-ASY’ARIY)

Nama lengkapnya, adalah ‘Abdullah bin Qais bin Sulaim bin


Hadhdhar bin Harb bin ‘Amir bin ‘Atr bin Bakr bin ‘Amir bin ‘Adr bin Wail
bin Najiyah bin Jumahir bin al-Asy’ar. Dijuluki dengan Abu Musa al-
Asy’ariy. Ia telah tinggal di Makkah sebelum Hijrah, lalu masuk Islam.
Kemudian hijrah ke negeri Habasyah (Etiopia), selanjutnya menetap di
Madinah bersama teman-temanya sekapal, yakni setelah penaklukkan
Khaibar. Ia meninggalkan negerinya sendiri di Safinah dan berhijrah ke
Habasyah, ditemani oleh Ja’far bin Abi Thalib. Nabi mempekerjakan Abu
Musa sebagai qadhiy di Zabid dan ‘And (Yaman) dan pada masa ‘Umar
dipindahkan ke Kufah.

Selain Abu Musa menerima hadis langsung dari Nabi saw. juga
menerima melalui Abu Bakr, ‘Umar, ‘Ali, Ibn ‘Abbas, Ubay bin Ka’ab,
‘Ammar bin Yassar, Mu’adz bin Jabal. Adapun para periwayat yang
menerima dan melanjutkan riwayat dari Abu Musa, yaitu : anaknya
Ibrahim, Abu Bakr, Abu Burdah, Musa, dan istrinya Ummu ‘Abdullah. Juga
Anas bin Malik, Abu Sa’id al-Khudhriy, Thariq bin Syihab, Abu Abd al-
Rahman al-Salmiy, Zurra bin Habisy, Zaid bin Wahab, ‘Abid bin ‘Umair,
Abu al-Ahwash ‘Auf bin Malik, Abu al-Aswad al-Dailiy, Sa’id bin al-
Musayyab, Abu ‘Utsman al-Nahdiy, Qais bin bu Hazam, Abu Rafi’ al-
Sha’igh, Abu ‘Ubaidah bin ‘Abdullah bin Mas’ud, Masruq bin Aus al-
Handhaliy, Huzail bin Syarhabil, Murrah bin Syarahil al-Thib, Aswad dan
‘Abd al-Rahman keduanya anak dari Yazid al-Nukha’iy, Hiththan bin
‘Abdullah al-Raqasyiy, Rabi’iy bin Harasy, Zahdam bin Madhrab, Abu Wail
Shaqiq bin Salamah, Shafwan bin Mahruz, dan lain-lain.

Abu Musa dikenal pada masa Nabi sebagai qari’ Alquran yang bagus
lagunya. Suatu ketika Nabi mendengar lantunan suara Abu Musa
membaca Alquran, Nabi saw. bersabda :

‫وس ى لَقَ ْد أُوتِيتَ ِم ْز َم ارًا ِم ْن‬


َ ‫ال لَ هُ يَا أَبَا ُم‬
َ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َس لَّ َم ق‬ ِ ‫ع َْن أَبِي ُمو َسى َر‬
َ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ ع َْن النَّبِ ِّي‬
124
‫آل دَا ُو َد‬
ِ ‫ير‬
ِ ‫َمزَا ِم‬
Artinya:
(Hadis diriwayatkan) dari Abu Musa ra. Dari Nabi saw. bersabda
kepadanya, “Wahai Abu Musa sungguh engkau diberikan lantunan
Mazmur, seperti (keindahan) pembaca Mazmur keluarga Nabi
Dawud.” . (H.R. Al-Bukhariy)

‘Umar mengutus Abu Musa ke Bashrah untuk menjadi fuqaha’ dan


ulama di sana. Menjadi penguasa Kufa pada masa ‘Utsman bin ‘Affan.
Menurut al-Sya’biy : “Ambilllah ilmu pada enam orang narasumber, lalu
menyebut salah satunya Abu Musa.” Ibn Madiniy berkata, ‘ahli hukum

124
Al-Bukhariy, Kitab fadhail al-Qur’an, bab Husn al-Shaut bi al-qira’at al-Qur’an, hadis no.
4660.
269
(qadha) umat adalah empat orang, yaitu : ‘Umar, ‘Ali, Abu Musa, dan Zaid
bin Tsabit. Berkata ‘Utsman al-Nahdiy : “Aku shalat di belakang Abu
Musa, maka aku belum pernah mendengar suara indah sejak masa
jahiliah, tidak ada yang lebih baik suaranya dalam membaca Alquran.”
‘Umar apabila melihat Abu Musa, dia berkata: “Ingatkanlah kami wahai
Abu Musa (dengan bacaan Alquran), lalu Abu Musa membacakan
Alquran.” Dalam riwayat yang lain, kadang ‘Umar berkata: “Rindukanlah
kami kepada Tuhan kami.”

Abu ‘Abid mengatakan, Abu Musa wafat tahun 42 H. Abu Nu’aim


mengatakan tahun 44 H. Abu Bakar bin Abu Syaibah menambahkan
bahwa ia wafat dalam usia 63 tahun. Ibn Abi Haitsamah mengatakan dari
al-Mada’iniy, Abu Musa wafat tahun 53 H. di Kufah, sumber lain
mengatakan di Makkah.125

d. Arti Kosakata dan Syarahan Hadits

Adapun arti beberapa kosakata hadis ini, dapat dikemukakan, antara


lain:
1. Lafadz ‫لِ ْل َم ْغن َِم‬, orang yang berjuang untuk mendapatkan harta rampasan
perang.
2. Lafadz ‫لِي ُْذ َك َر‬, orang yang berjuang untuk sebut sebagai pahlawan atau
dikenang sebagai pejuang.
3. Kalimat ُ‫ لِيُ َرى َم َكانُه‬, orang yang berjuang agar derajatnya menjadi tinggi
tempatnya.
4. Kalimat .‫ َكلِ َمةُ هَّللا ِ ِه َي ْالع ُْليَا‬, orang yang berjuang untuk meninggikan kalimat
atau nama atau agama Allah, itulah yang tergolong pejuang di jalan
Allah.

125
Lihat Ibn Hajr al-Asqalaniy, Tahdzib, op.cit., III, h. 610-611.
Makna jihad menurut bahasa ialah kesulitan. Jika dikatakan “Jahadtu
jihadan”, artinya aku sampai ke taraf yang sulit. Adapun pengertian jihad
menurut syariat ialah pengerahan usaha dan kemampuan untuk
memerangi orang-orang kafir, orang-orang yang lalim dan para perampok
jalanan.
Pensyariatan jihad didasarkan kepada Alquran, al-Sunnah, dan ijma’.
Banyak nash yang memerintahkan jihad, menganjurkan dan mendorong
pelaksaan jihad.
Jihad merupakan fardhu kifayah. Jika sudah ada yang melaksanakanya,
maka kewajiban jihad menjadi gugur bagi yang orang lain. Jika tidak ada
yang melakukan jihad, maka siapapun yang mengetahuinya akan berdosa.
Jihad menjadi farhdu ‘ain, apabila terjadi situasi sebagai berikut :

1. Jika dua pihak sudah saling berhadapan, sehingga diharamkan untuk


mudur atau berbalik.
2. Jika musuh menyerang suatu negeri dan mengepungnya, yang berarti
mengharuskan semua orang untuk menghadapinya.
3. Jika imam (pemimpin) meminta manusia untuk berangkat berperang
secara umum atau secara khusus ditujuan kepada orang tertentu.

Menurut ulama, jihad juga bisa diartikan usaha melawan hawa nafsu,
syetan, dan orang-orang kafir dan fasik. Memerangi nafsu yaitu dengan
cara mempelajari masalah-masalah agama kemudian mengamalkannya
dan juga mengajarkannya. Memerangi syetan yakni dengan cara menjauhi
syubhat, dan syahwat. Adapun memerangi orang-orang kafir bisa
dilakukan dengan tangan, lisan, harta dan badan. Sedangkan memerangi
orang-orang fasik ialah dengan menggunakan tangan, lisan kemudian
dengan hati.

271
Kenyataannya, orang-orang yang melaksanakan jihad memiliki
motivasi yang berbeda. Hadis yang sedang dibahas mengidentifikasi
beberapa jenis motivasi orang melakukan jihad, seperti yang dijelaskan
berikut ini :

ِ ‫ال َّر ُج ُل يُقَاتِ ُل لِ ْل َم ْغن َِم َوال َّر ُج ُل يُقَاتِ ُل لِي ُْذ َك َر َويُقَاتِ ُل لِي َُرى َم َكانُهُ َم ْن فِي َسبِي ِل هَّللا‬
(seorang yang berperang demi mendapatkan harta rampasan, ada yang
berperang untuk diingat, dan ada yang berperang untuk dilihat
derajatnya, maka siapakah di antara mereka yang berperang di jalan
Allah ?’ )

Ada seseorang yang bertanya kepada Nabi saw. tentang seseorang


yang memerangi musuh-musuh agama, namun motivasinya bermacam-
macam. Ada yang terdorong untuk menunjukkan keberanian dan
heroismnya di hadapan manusia. Ada pula orang yang berperang karena
ingin melindungi kaumnya atau negerinya. Ada juga yang berperang
karena riya’ (ingin dipuji) atau agar ia dilihat banyak orang bahwa ia
sedang berjuang di jalan Allah dan berhak mendapat pujian dan
sanjungan. Siapakah di antara mereka ini yang benar-benar berperang di
jalan Allah?

‫قَا َل َم ْن قَاتَ َل لِتَ ُكونَ َكلِ َمةُ هَّللا ِ ِه َي ْالع ُْليَا فَه َُو فِي َسبِي ِل هَّللا‬
(Nabi saw. menjawab, ‘Barangsiapa yang berperang untuk
meninggikan kalimat Allah (Tauhid), berarti ia berperang di jalan
Allah’.)

Maka Rasulullah saw. menjawab dengan ungkapan yang singkat


dengan makna yang padat, “Barangsiapa yang berperang demi kalimat
(Nama) Allah ditegakkan, berarti dia berperang di jalan Allah. Selain
tujuan ini, maa dia tidak berada di jalan Allah, karena dia hanya didorong
oleh keinginan yang lain.126
126
Lihat Ali Bassam, op.cit., h. 1030-1031.
Amal seseorang berangkat dari niat. Niat yang akan menentukan
baik dan buruknya suatu usaha. Hal ini bersifat umum dan berlaku untuk
seluruh amal. Pengaruh dari amal tergantung dari niat baik dan
buruknya.

Jika tujuan meninggikan kalimat Allah disertai dengan tujuan


mendapatkan harta pampasan (ghanimah) menurut al-Thabariy, hal itu
tidak merusak amalnya. Pendapat ini juga diperpegangi oleh jumhur
ulama, selama tujuan untuk mendapatkan harta pampasan itu berada
dalam cakupan niat pertama yang baik. Hal ini berlaku untuk seluruh
amal yang dimaksudkan sebagai taqarrub dan ibadah. Para sahabat yang
ikut sewaktu Perang Badar dan mereka menginginkan untuk menghadang
kafilah dagang Quraisy. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam firman
Allah dalam QS. Al-Anfal: 7
          
          
 
Terjemahnya:
Dan (ingatlah), ketika Allah menjanjikan kepadamu bahwa salah satu
dari dua golongan (yang kamu hadapi) adalah untukmu, sedang
kamu menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekekuatan
senjatalah yang untukmu, dan Allah menghendaki untuk
membenarkan yang benar dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan
orang-orang kafir,

Maksudnya kafilah Abu Sofyan yang membawa dagangan dari Siria.


sedangkan kelompok yang datang dari Mekkah dibawah pimpinan Utbah
bin Rabi'ah bersama Abu Jahal.

273
Peperangan-peperangan yang dilakukan Rasulullah saw. yang
kemudian mampu membuka hati dan pikiran, bahwa peperangan yang
beliau lakukan dimaksudkan untuk membela akidah yang terancam,
begitu pula gambaran muamalah, membela perjanjian yang dilakukan.
Dakwah beliau melalui hikmah dan nasihat yang baik serta bagaimana
cara berdebat dengan cara yang paling baik.

e. Pokok-pokok Kandungan Hukum Hadis

Berdasarkan keterangan dan pembahasan yang telah dikemukakan,


maka dapatlah ditarik beberapa kandungan pokok hadis ini, yaitu :

1. Dasar kebaikan amal dan kerusakannya tergantung pada niat, niat yang
akan menentukan diterima tidaknya suatu amal.
2. Siapa yang memerangi orang-orang kafir dengan tujuan riya’, atau
melakukan perlindungan terhadap kaumnya (‘ashabiyah), atau ingin
memperlihatkan kepahlawanannyah atau tujuan-tujuan keduniaan
lainnya, maka semua itu tidak termasuk berjihad di jalan Allah.
3. Orang yang berperang di jalan Allah adalah mereka berperang untuk
meninggikan kalimat Allah.
4. Memerangi musuh demi membela Negara dan kehormatan Negara,
termasuk perang yang disucikan. Siapa yang gugur daam peperangan
itu, maka di mati syahid.

2. Balasan Jihad (LM. 1229)

a. Materi Hadis
‫ب اللَّهُ لِ َم ْن َخ َر َج يِف َس بِيلِ ِه اَل خُيْ ِر ُج هُ إِاَّل إِميَ ا ٌن يِب‬ ِ
َ ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم قَ َال ا ْنتَ َد‬ َ ِّ ‫َع ِن أَيب ُهَر ْي َر َة َع ْن النَّيِب‬
ُ ‫يم ٍة أ َْو أ ُْد ِخلَهُ اجْلَنَّةَ َولَ ْواَل أَ ْن أ‬ِ ِ ‫ِ مِب‬ ِ ِ َ‫وت‬
‫ف‬
َ ‫ت َخ ْل‬ ُ ‫َش َّق َعلَى أ َُّميِت َما َق َع ْد‬ ْ ‫يق بُِر ُسلي أَ ْن أ ُْرج َعهُ َا نَ َال م ْن أ‬
َ ‫َج ٍر أ َْو َغن‬ ٌ ‫صد‬ ْ َ
ِ ِ ٍ
)‫ (رواه البخاري و مسلم وغريمها‬.‫ُحيَا مُثَّ أُْقتَ ُل‬ ْ ‫ت أَيِّن أُْقتَ ُل يِف َسبِ ِيل اللَّه مُثَّ أ‬
ْ ‫ُحيَا مُثَّ أُْقتَ ُل مُثَّ أ‬ ُ ‫َس ِريَّة َولََود ْد‬
Artinya:
(Hadis diriwayatkan) dari Abu Hurairah, dari Nabi saw. bersabda:
“Allah mengutus orang yang keluar di jalan-Nya, tidak membuatnya
pergi kecuali karena iman kepada-Ku dan membenarkan rasul-rasul-Ku,
aku akan memulangkannya dengan membawa apa yang ia dapatkan
berupa pahala (akhirat) atau harta rampasan perang, atau Aku
memasukkannya ke surge. Seandainya aku tidak memberatkan umatku,
aku tidak duduk di belakang pasukan, aku sangat ingin terbunuh di
jalan Allah, kemudian aku hidup kembali kemudian terbunuh kembali,
kemudian hidup lagi, kemudian terbunuh lagi.” (H.R. Al-Bukhariy,
Muslim dan selainnya).

b. Takhrij al-Hadits

1. Al-Bukhariy, kitab al-iman, bab al-jihad min al-iman, hadis no. 35, kitab
al-jihad, bab tamanniy al-syahid, hadis no. 2588, bab al-ja’ilu wa al-
hamlan fi sabil, hadis no. 2750, kitab al-tamanniy, bab ma ja’a fi al-
tamanniy waman tamanniy li al-syahid, hadis no. 6685, 6686.
2. Muslim, kitab al-imarah, bab fadhl al-jihad wa al-khuruj fi sabil Allah,
hadis no. 3484.
3. Al-Nasaiy, kitab al-jihad, bab al-rukhshah fi al-takhalluf ‘an al-sirriyah,
hadis no. 3047, bab ma takfulullah azza wajalla liman yajhadu fi sabili
Allah, hadis no. 3072, bab al-tamanniy al-qathl fi sabili Allah, hadis no.
3101, kitab al-iman, bab al-jihad, hadis no. 3943, 3944.
275
4. Ibn Majah, kitab al-jihad, bab fadhl al-jihad fi sabili Allah, hadis no.
2743.
5. Malik, kitab al-jihad, bab al-syuhada’ fi sabili Allah, hadis no. 871, 873.
6. Ahmad bin Hanbal, kitab baqi musnad al-muktsirin, bab musnad Abu
Hurairah, hadis no. 6860, 7041, bab baqi musnad al-sabiq, hadis no.
8620, 9742, 10004, 10038.

c. Biografi Singkat Sahabat Nabi Periwayat hadis

(ABU HURAIRAH)

Nama lengkap Abu Hurairah ialah’ Abd al-Rahman bin Shakhr al-
Dausi al-Yamani. Nama ‘Abd al-Rahman adalah nama pemberian Rasulullah
saw. Namanya sebelum memeluk Islam, ada yang menyatakan ‘Abd al-
Syams dan ada yang menyebut nama lain. Setelah memeluk Islam, dia
lebih dikenal dengan sapaan (kuniyah-nya) Abu Hurairah (arti harfiahnya
bapak seekor anak kucing). Menurut suatu riwayat, sebutan itu
diperolehnya dari Nabi. Dia di sapa begitu karena dia sering terlihat
membawa seekor anak kucing betina. Nabi pernah melihat anak kucing itu
berada di lengan baju Abu Hurairah. Bila malam hari, anak kucing tersebut
ditaruhnya di sebatang pohon.

Abu Hurairah masuk Islam menurut suatu sumber sekitar tahun 7


Hijriyah, bertepatan dengan saat perang Khaibar. Sejak saat itu dia
berusaha untuk selalu berada di sisi Nabi saw. Sampai Nabi wafat. Dengan
demikian, Abu Hurairah bersama-sama dengan Nabi sekitar tiga sampai
empat tahun. Selama bergaul dengan Nabi, Abu Hurairah berusaha
keras untuk menimbah ilmu pengetahuan secara langsung dari Nabi. Dia
tinggal di samping masjid bersama sekitar 70 orang. Mereka ini kemudian
dikenal dengan sebutan ahlu al-shuffah.
Dari segi ekonomi, Abu Hurairah hidup dalam keadaan sangat
miskin. Tidak jarang dia harus mengganjal perutnya dengan batu karena
menahan lapar. Menurut pengakuan Abu Hurairah sendiri, pernah suatu
ketika dia dikira sedang hilang ingatan oleh orang-orang disekitar, padahal
sesungguhnya waktu itu dia sedang mengalami rasa lapar yang luar biasa.

Karena dorongan iman dan keadaan ekonominya, maka tidaklah


mengherankan Abu Hurairah lalu sering melakukan ibadah puasa. Bila
suatu hari ketika berpuasa dia hanya memiliki 15 biji kurma, maka yang
lima biji digunakan untuk berbuka, yang lima biji lagi untuk sahur, dan
yang lima biji sisanya untuk berbuka besoknya.

Walaupun buta huruf, Abu Hurairah tidak mengalami kesulitan untuk


menimbah pengetahuan dari Rasulullah. Pada permulaan masuk Islam,
hafalan Abu Hurairah lemah. Akan tetapi setelah Nabi mendoakannya
kepada Allah agar hafalannya menjadi kuat. Atas permintaannya, maka dia
didoakan oleh Rasulullah agar memiliki hafalan yang baik. Ternyata doa
Nabi terkabul, sehingga Abu urairah termasuk sahabat yang kuat
hafalannya. Al-Bukhariy, Muslim, dan al-Turmudziy mentakhrijkan sebuah
hadis yang berasal dari Abu Hurairah. Dia pernah berkata: “Saya pernah
mengadukan kelemahan hafalanku kepada Nabi.” Nabi bersabda
kepadaku, “Bentangkan selendangmu,” saya pun membentangkanya.Lalu
Nabi menceritakan kepadaku banyak hadis, dan saya tidak pernah lupa apa
yang beliau ceritakan. Menurut pengakuan Abu Hurairah, waktunya sehari-
hari dibagi menjadi tiga bagian; sepertiga bagian untuk salat malam,
sepertiga bagian lagi untuk menghafal hadis, dan sepertiga bagian yang
sisa untuk istirahat.

Di bidang periwayatan hadis Nabi, Abu Hurairah menduduki


peringkat pertama dalam kelompok para sahabat Nabi yang digelari al-
277
Muktsiruna fi al-hadits (Bendaharawan hadis), yakni para sahabat yang
telah meriwayatkan hadis sebanyak lebih dari seribu buah.

Menurut hitungan Baqi bin Makhlad (201-276 H), jumlah hadis yang
telah diriwayatkan oleh Abu Hurairahj sebanyak 5374 buah (menurut al-
Kirmani : 5364). Dari jumlah tersebut, yang periwayatannya disepakati
oleh al-Bukhari dan Muslim (muttafaq ‘alaih) sebanyak 325 buah hadis;
yang diriwayatkan oleh al-Bukhari sendiri sebanyak 93 buah, dan yang
diriwayatkan oleh Muslim saja sebanyak 189 buah hadis.

Para sahabat Nabi pernah menegur Abu Hurairah karena dia begitu
banyak meriwayatkan hadis Nabi sedangkan dia bergaul dengan Nabi
relatif tidak lama (sekitar 3 tahun). Abu Hurairah menjawab: “Ketika
orang-orang muhajirin sibuk dengan barang-barang perniagaan di pasar
dan orang-orang Anshar sibuk dengan urusan kebun-kebun mereka, maka
saya menyibukkan diri pada kegiatan belajar menghafal hadis Nabi.

Abu Hurairah selain menerima hadis langsung dari Nabi saw.


meriwayatkan juga melalui Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan lain-lain.
Sedangkan yang meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah ada sekitar 800
orang yang terdiri dari sahabat dan tabiin. Di antara mereka dari kalangan
sahabat, yaitu ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Umar, Anas bin Malik,
dan Jabir bin ‘Abdullah. Adapun dari kalangan tabiin, adalah Sa’id bin al-
Musayyab, Ibn Sirrin, ‘Ikrimah, dan lain-lain.127

Sanad hadis yang paling sahih yang berpangkal dari Abu Hurairah,
yaitu al-Zuhriy dari Sa’id bin al-Musayyab dari Abu Hurairah. Adapun
sanad hadis yang paling lemah adalah al-Sari bin Sulaiman bi Abi Dawud
bin Yazid al-Awdi dari bapaknya (Yazid al-Awdi) dari Abu Hurairah. Jadi,
kekuatan hadis yang berasal dari Abu Hurairah, disamping dari ketekunan
Lihat Ibn ‘Ali bin Hajr al-Asqalaniy, Tahdzib al-Tahdzib, juz VII, h. 524.
127
Abu Hurairah sendiri, juga karena didukung oleh kekuatan para periwayat
yang menersukan hadis dari Abu Hurairah.

Abu Hurairah mendapat penilaian para periwayat hadis dengan


penilaian yang sangat baik, antara lain :
1) Thalhah bin Ubaidillah: Tidak diragukan lagi Abu Hurairah mendengar
hadis dari Rasulullah apa yang kami tidak mendengarnya.
2) ‘Abdullah bin ‘Umar : Abu Hurairah lebih baik dariku dan lebih
mengetahui.128
3) Imam Al-Syafi’i : Abu Hurairah penghafal riwayat hadis pada zamannya.
4) Tergolong sahabat Nabi yang berada pada tingkat keadilan yang kuat.129
Dengan demikian, kapasitas Abu Hurairah sebagai periwayat dari
tingkat sahabat yang adil tidak diragukan lagi.
Ketika ‘Umar bin al-Khaththab menjadi khalifah, Abu Hurairah
diangkat menjadi pejabat di Bahrain, tetapi kemudian dicopot. Pada zaman
Mu’awiyah menjadi khalifah Bani Umayyah, Abu Hurairah diangkat
menjadi Gubernur Madinah.

Tahun meninggalnya tidak disepakati oleh ahli sejarah. Sebagian ahli


mengatakan tahun 57 H, sebagian mengatakan 58 H, dan sebagian lagi
mengatakan 59 H. Kalangan sahabat Nabi lain yang hadir pada saat
wafatnya antara lain Abdullah bin Umar dan Abu Sa’id al-Khudriy.130

128
Lihat Ibrahim Dasuqi al-Sahawi, Mushthalah al-Hadits, (Al-Azhar : Syirkat al-Funiyah al-
Muttahidah, [tth] ) h. 180-181.
129
Lihat Ibn Hajr al-Asqalani , op.cit., h. 523-527, Ibn Hajr al-Asqalaniy, Al-Ishabah fi
Tamyis al-Shahabah, jilid IV, (Kairo : Mushthafa Muhammad, 1385/1939 M), h. 202; ‚Izz al-Din
bin Atsir, Usud al-Ghabah fi Ma’rifah al-Shahabah, Jilid IV, (Beirut : Dar al-Kutb al-Ilmiyah, 1415
H/1993 M), h. 321;.
130
Lihat Ibn Hajr al-Asqalaniy, Tahdzib al-Tahdzib, op.cit, VII, h.525. Khalid Muhammad
Khalid, Rijal Hawla al-Rasul, (Beirut : Dar al-Fikr, [tth.]), h. 425.

279
d. Arti Kosakata dan Syarahan Hadits

Adapun arti beberapa kosakata hadis ini, dapat dikemukakan, antara


lain:
1. َ ‫ا ْنتَ د‬, yakni orang yang berjalan keluar akan memperoleh
Lafadz ‫َب‬
pahalan dan kebaikan imbalan. Dikatakan berarti pula terjawab apa yang
diinginkan, maksudnya tercapai yang dicarinya.
2. Kalimat َ َ‫أَ ْن أُرْ ِج َع هُ ن‬, kalau dia kembali dari medan
‫ال ِم ْن أَجْ ٍر أَوْ َغنِي َم ٍة‬
perang ia akan memperoleh pahala atau harta ghanimah.
3. Lafadz ‫ق‬َّ ‫ أَ ُش‬, menyusahkan, mencelakakan. Maksudnya seandainya
tidak menyusahkan bagi umatku.
4. ِ ‫ت خَ ْل فَ َس‬
Kalimat ‫ريَّ ٍة‬ ُ ‫ قَ َع ْد‬, beliau tidak akan duduk di belakang
pasukan, tapi selalu di depan supaya gampang terbunuh lalu hidup
kembali.
5. Lafadz ‫ت‬ ُ ‫ َولَ َو ِد ْد‬, dan aku ingin terbunuh dalam setiap pertempuran
kemudian hidup lagi bertempur lagi lalu terbunuh lalu hidup kembali
begitu seterusnya.

Pemahaman hadis tersebut di atas dapat dilihat dari penjelasan


penggalan hadis sebagai berikut:

ٌ ‫َب هَّللا ُ لِ َم ْن َخ َر َج فِي َسبِيلِ ِه اَل ي ُْخ ِر ُجهُ إِاَّل إِي َم‬
ٌ ‫ان بِي َوتَصْ ِدي‬
‫ق بِ ُر ُسلِي‬ َ ‫ا ْنتَد‬
(Allah mengutus orang yang keluar di jalan-Nya, tidak membuatnya pergi
kecuali karena iman kepada-Ku dan membenarkan rasul-rasul-Ku).

Allah menjamin orang yang keluar untuk berjuang di jalan Allah,


dengan niat yang ikhlas karena di motivasi oleh iman kepada Allah
dengan pahala akhirat dan membersihkan diri dari tujuan-tujuan duniawi
seperti untuk mendapatkan harta rampasan, karena fanatisme, atau untuk
menunjukkan keberanian, untuk mencari ketenaran atau agar dikenang,
atau bahkan sama sekali tidak disertai iman kepada Allah yang telah
menjadikan pahala bagi mujahid dan karena membenarkan rasul-Nya yang
telah menyampaikan janji-nya. Menurut Ibn Daqiq al-‘Iyd, di sini
terkandung pemahaman bahwa pahala tidak akan diberikan kecuali
kepada orang yang niatnya benar dan tulus, terbebas dari kehendak yang
kotor untuk mendapatkan kesenangan duniawi.131

َ‫َال ِم ْن أَجْ ٍر أَوْ َغنِي َم ٍة أَوْ أُ ْد ِخلَهُ ْال َجنَّة‬


َ ‫أَ ْن أُرْ ِج َعهُ بِ َما ن‬
(Aku akan memulangkannya dengan membawa apa yang ia dapatkan
berupa pahala (akhirat) atau harta rampasan perang, atau Aku
memasukkannya ke surga).

Allah menjamin untuk memasukkannya ke dalam surga jika dia


terbunuh di jalan-Nya atau mengembalikanya ke rumah dan keluarganya
seraya mendapatkan pahala yang besar atau dia mendapatkan dua jenis
kebaikan, yaitu pahala dan harta pampasan perang. Sesungguhnya Allah
tidak mengingkari janji-janji-Nya.

‫ت أَنِّي أُ ْقتَ ُل فِي َس بِي ِل هَّللا ِ ثُ َّم أُحْ يَا ثُ َّم أُ ْقتَ ُل ثُ َّم أُحْ يَا ثُ َّم‬ ُ ‫ق َعلَى أُ َّمتِي َما قَ َع ْد‬
ُ ‫ت َخ ْل فَ َس ِريَّ ٍة َولَ َو ِد ْد‬ َّ ‫َولَوْ اَل أَ ْن أَ ُش‬
‫أُ ْقتَ ُل‬
(Seandainya aku tidak memberatkan umatku, aku tidak duduk di belakang
pasukan, aku sangat ingin terbunuh di jalan Allah, kemudian aku hidup
kembali kemudian terbunuh kembali, kemudian hidup lagi, kemudian
terbunuh lagi).

Pernyataan hadis ini menunjukkan bahwa betapa besar nikmat yang


akan diperoleh mereka yang terbunuh di jalan Allah. Karena itu Nabi saw.
ingin berulang-kali terbunuh di medan tempur agar beliau selalu
131
Lihat Ali Bassam, op.cit., h. 1011.
281
merasakan nikmat yang amat besar yang dijanjikan oleh Allah swt. di
akhirat kelak.

Dengan demikian, orang yang berjihad di jalan Allah balasannya


amat besar. Bila dia tidak terbunuh dalam peperangan dia akan kembali
dengan membawa harta rampasan perang yang luar biasa banyaknya. Jika
dia terbunuh dalam perang maka Allah akan memberikan nikmat yang
amat besar pula di akhirat, dan kedudukan yang tinggi karena ia telah
terbunuh sebagai syahid.

e. Pokok-pokok Kandungan Hukum Hadis

Berdasarkan keterangan dan pembahasan yang telah dikemukakan,


maka dapatlah ditarik beberapa kandungan pokok hadis ini, yaitu :

1. Kemuliaan dan kemurahan Allah, karena Dia mejnadi penjamin dengan


pahala yang besar bagi para mujahid.
2. Keutamaan jihad di jalan Allah akan memperoleh keuntungan yang
besar, entah karena syahid yang menempatkan pelakunya pada
kedudukan yang tinggi bersama para nabi dan shiddiqin, atau ia
kembali ke rumahnya sambil membawa banyak kebaikan dan ampunan
dari dosa-dosanya. Jika dia mendapat harta rampasan perang, yang
demikian itu merupakan karunia dari Allah, yang diberikan kepada
siapa pun yang dikehendaki-Nya.

Latihan

Untuk memperdalam pemahaman anda mengenai materi pada Satuan Bahasan


VII dipersilahkan mengerjakan latihan berikut:
1. Buat rumusan tentang beberapa motivasi orang berjihad. Mana yang
termasuk jihad di jalan Allah.
2. Buat rumusan tentang balasan yang diperoleh orang yang berjihad di jalan
Allah.

Rangkuman

1. Beberapa motivasi orang berjihad, yaitu : ada yang berjihad untuk


memperoleh harta rampasan perang, ada yang berjihad karena ingin dikenang
namanya sebagai pejuang, ada yang berjihad untuk terangkat derajatnya, dan
ada yang berjuang untuk menegakkan kalimat Allah. Mereka yang berjihad
untuk menegakkan kalimat (agama) Allah itu yang disebut berjihad fi sabilillah
(di jalan Allah).
2. Balasan yang diperoleh orang yang berjihad di jalan Allah, maka ia akan
memperoleh keuntungan yang besar , jika ia kembali dalam keadaan hidup ia
akan memperoleh ghanimah dan ampunan atas segala dosa-dosanya, jika ia
tewas maka ia tergolong syahid yang akan ditempatkan bersama para nabi
dan al-shiddiqun.

Tes Formatif
1. Tulis hadis tentang motivasi jihad lengkap dengan periwayat pertama dan
mukharrijnya.
2. Kemukakan kandungan pokok hukum hadis tentang motivasi jihad.
3. Kemukakan perbedaan antara orang yang berjihad di jalan Allah dan yang
tidak.

Kunci Jawaban Tes Formatif


1. Hadis tentang motivasi jihad lengkap dengan periwayat pertama dan
mukharrijnya, yaitu:

283
‫ص لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َس لَّ َم ال َّر ُج ُل يُقَاتِ ُل لِ ْل َم ْغن َِم‬
َ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْن هُ قَ ا َل قَ ا َل أَ ْع َرابِ ٌّي لِلنَّبِ ِّي‬
ِ ‫ع َْن أَبي ُمو َسى اأْل َ ْش َع ِريُّ َر‬
‫َوال َّر ُج ُل يُقَاتِ ُل لِي ُْذ َك َر َويُقَاتِ ُل لِيُ َرى َم َكانُ هُ َم ْن فِي َس بِي ِل هَّللا ِ فَقَ ا َل َم ْن قَاتَ َل لِتَ ُك ونَ َكلِ َم ةُ هَّللا ِ ِه َي ْالع ُْليَ ا فَهُ َو فِي‬
)‫ (رواه البخاري و مسلم وغيرهما‬.ِ ‫َسبِي ِل هَّللا‬
2. Kandungan pokok hukum hadis tentang motivasi jihad, yaitu:
a. Dasar kebaikan amal dan kerusakannya tergantung pada niat, niat yang
akan menentukan diterima tidaknya suatu amal.
b. Siapa yang memerangi orang-orang kafir dengan tujuan riya’, atau
melakukan perlindungan terhadap kaumnya, atau ingin memperlihatkan
kepahlawanannyah atau tujuan-tujuan keduniaan lainnya, maka semua itu
tidak termasuk berjihad di jalan Allah.
c. Orang yang berperang di jalan Allah adalah mereka berperang untuk
meninggikan kalimat Allah.
d. Memerangi musuh demi membela Negara dan kehormatan Negara,
termasuk perang yang disucikan. Siapa yang gugur daam peperangan itu,
maka di mati syahid.
3. Orang yang berjihad di jalan Allah yaitu mereka yang berjuang hanya karena
ingin menegakkan kebenaran agama, membela kehormatan Negara.
Sedangkan orang yang berjuang bukan di jalan Allah yaitu mereka yang
berjuang hanya karena riya’, melindungi kelompoknya (‘ashabiyah), atau agar
dipuji sebagai pahlawan atau pejuang.

BAGIAN VIII
AMAL YANG SETINGKAT DENGAN JIHAD

A.Gambaran Singkat Mengenai Materi Kuliah


Materi kuliah ini membahas mengenai beberapa topik hadis yang
berkenaan dengan amal yang setingkat dengan jihad, yang terdiri dari hadis
tentang berbakti kepada orang tua, dan menyantuni janda dan orang miskin.
Pengajian materi dimulai dengan menampilkan teks matn hadis disertai arti
hadis bersama dengan periwayat pertama dan mukharrijnya.

Pemaparan takhrij al-hadits dan biografi singkat sahabat Nabi periwayat


hadis menjadi materi yang diberikan untuk memperoleh gambaran mengenai
data para mukharrij yang menghimpun hadis ini, juga untuk mengetahui
kapabilitas sahabat Nabi yang meriwayatkan hadis ini.

Penjelasan mengenai pengertian menurut bahasa suatu lafal atau kalimat


dalam hadis menjadi pembahasan dimaksudkan untuk memperoleh makna
kosakata lafadz tertentu sebelum akhirnya hadis-hadis yang tercakup dalam
bagian amal yang setingkat dengan jihad ini dijelaskan syarahannya, dan di
analisa hal-hal yang terkait dengan temanya. Akhirnya akan disimpulkan
kandungan pokok hukum setiap hadis yang di bahas.

B. Pedoman Mempelajari Materi

Baca dengan baik materi teks hadis dengan artinya. Perhatikan dan
sebutkan lafadz-lafadz yang dapat dipakai dalam menelesuri takhrij al-hadits.
Perhatikan ketekunan setiap sahabat yang ditampilkan biografinya. Buat
kesimpulan dari segi keadilan mereka. Buat intisari setiap hadis yang dibahas,
pendapat-pendapat ulama yang terkait dengan materi hadis. Pahami dengan baik
isi hadis tersebut dan berilah kandungan pokok hukum yang dibahas.

C.Tujuan Pembelajaran

285
1. Mahasiswa dapat menulis, membaca, menghafalkan dan mengartikan
materi hadis.
2. Mahasiwa dapat membuat uraian mengenai salah satu cara berjihad
adalah berbakti kepada orang tua.
3. Dapat memahami dan menguraikan bahwa menyantuni janda dan orang
miskin juga termasuk amal yang setingkat dengan jihad.
4. Mahasiswa dapat mengetahui kandungan pokok hukum hadis tentang
berbakti kepada orang tua setingkat dengan jihad, dan hadis tentang
menyantuni janda dan orang miskin termasuk salah satu bentuk jihad.

1. Berbakti kepada Orang Tua (LM. 1653)

a. Materi Hadis

‫اس تَأْ َذنَهُ يِف اجْلِ َه ِاد‬ ِ ُ ‫ِع َن َعْب َد اللَّ ِه بْ َن َع ْم ٍرو َر ِض َي اللَّهُ َعْن ُه َما َي ُق‬
َ ِّ ‫ول َجاءَ َر ُج ٌل إِىَل النَّيِب‬
ْ َ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم ف‬
)‫(رواه البخاري و مسلم وغريمها‬.‫اه ْد‬ ِ ‫َف َق َال أَحي والِ َد َاك قَ َال نَعم قَ َال فَِفي ِهما فَج‬
َ َ َْ َ ٌّ َ
Artinya:
(Hadis diriwayatkan) dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata: Seorang laki-
laki datang kepada Nabi saw..lalu meminta izin kepada beliau untuk
berjihad.” Nabi bertanya: “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?”
Laki-laki tersebut menjawab, “Ya.” Kemudian Nabi bersabda, “Pada
mereka berdua ada jihad, maka berjihadlah (kepada mereka
berdua).”(H.R. Al-Bukhariy, Muslim dan selainnya).

b.Takhrij al-Hadits

1. Al-Bukhariy, kitab al-jihad, bab al-jihad bi idzn abawain, hadis no. 2782
2. Muslim, kitab al-birr wa al-shillah wal-adab, bab birr al-walidain wa
annahuma ahaqqu bih, hadis no. 4624.
3. Abu Dawud, kitab al-jihad, bab fi al-rajul yaghuzwu wa abuhu karhan,
hadis no. 2167.
4. Al-Turmudziy, kitab al-jihad, bab ma ja’a fiman kharaja fi ghazwah wa
taraka abuhu, hadis no. 1594.
5. Al-Nasaiy, kitab al-jihad, bab al-rukhshah fi al-takhalluf li man lahu
waladan, hadis no. 3052.
6. Ibn Majah, kitab al-jihad, bab al-rajul yaghzawu wa lahu abawan, hadis
no. 2772.
7. Ahmad bin Hanbal, kitab musnad al-muktsirin min al-shahabah, bab
musnad ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash, hadis no. 6239, 6257, 6474,
6520, 6539, 6562, 6573, 6765.

c. Biografi Singkat Sahabat Nabi Periwayat hadis

(‘ABDULLAH BIN ‘UMAR)

Nama lengkap Ibn ‘Umar sebagai periwayat pertama hadis di atas


adalah Abu ‘Abd al-Rahman ‘Abdullah bin ‘Umar bin al-Khaththab al-
Qurasyi al-Adawiy al-Makkiy. Pada saat masih usia belia, dia bersama
ayahnya ‘Umar bin al-Khaththab memeluk Islam. Juga bersama ayahnya.
Dia hijrah ke Madinah.

Ketika terjadi Perang Badar, ‘Abdullah bin ‘Umar berhasrat untuk


ikut serta dalam peperangan itu. Namun karena dia waktu itu masih anak-
anak, maka Nabi saw. melarangnya. Dia mulai ikut serta dan menyaksikan
langsung jalannya peperangan bersama Nabi tatkala terjadi Perang
Khandaq. Ketika peperangan antar umat Islam terjadi sesudah Nabi saw.
wafat, Ibn ‘Umar berusaha keras untuk tidak terlibat.

Pada waktu ‘Umar bin al-Khaththab membentuk tim (Dewan)


pemilihan khalifah pengganti ‘Umar, ‘Abdullah ikut diangkat sebagai salah

287
satu anggota tim. Dalam tim itu, ‘Abdullah hanya diizinkan oleh ‘Umar
untuk memilih dan tidak diizinkan untuk dipilih sebagai khalifah.

‘Abdullah bin ‘Umar dikenal sebagai salah seorang sahabat Nabi


yang sangat patuh dalam menjalankan sunnah Nabi. Ibn ‘Umar pernah
berjalan memakai tongkat, padahal dia tidak berhalangan untuk berjalan
tanpa memakai tongkat. Kemudian berteduh di sebuah pohon. Ketika
orang melihat dan bertanya, mengapa dia berlaku demikian, Ibn ‘Umar
menjawab bahwa dia lakukan itu karena Rasulullah saw. ketika masih
hidup pernah berjalan dengan tongkat dan berteduh di tempat tersebut.

Ibn ‘Umar dikenal sebagai salah seorang sahabat Nabi yang sangat
dermawan. Pada suatu saat, Ibn ‘Umar bersedekah uang sebanyak 30.000
dirham sekaligus, suatu jumlah yang tidak sedikit untuk ukuran saat itu.

Di bidang periwayatan hadis ‘Abdullah Ibn ‘Umar termasuk salah


seorang sahabat dari kelompok al-Muktsirun fi al-Hadits. Ibn ‘Umar
menduduki peringkat kedua setelah Abu Hurairah dalam periwayatan
hadis. Hadis yang diriwayatkan Ibn ‘Umar berjumlah 2630 buah hadis.
Yang diriwayatkan oleh al-Bukhariy dan Muslim sejumlah 2630. Yang
diriwayatkan oleh al-Bukhariy sendiri berjumlah 80 buah hadis, dan yang
diriwayatkan oleh Muslim sendiri sebanyak 31 buah hadis.

Selain Ibn ‘Umar meriwayatkan hadis langsung dari Nabi saw., dia
juga menerima hadis dari para sahabat lainnya, terutama dari para
Khulafa’ al-Rasyidin, Hafshah (saudaranya), Abu Hurairah, dan dari
‘Aisyah. Sedangkan para periwayat yang menerima dan meriwayatkan
hadis dari Ibn ‘Umar antara lain, selain dari tabi’in seperti anaknya, dan
pelayannya, Nafi’ bin al-Faqih, Sa’id bin al-Musayyab, Abu Salamah, Salim,
Mus’ab bin Sa’ad, dan lain-lain. Ada juga dari kalangan sahabat, seperti
Ibn ‘Abbas, dan Jabir.132

Sebagai periwayat pada tingkat sahabat, Ibn ‘Umar telah diberi


tanggapan terhadap pribadinya antara lain, yaitu :
1) Hafshah (saudara perempuan ‘Abdullah bin ‘Umar) : Saya mendengar
Rasulullah saw. bersabda : “’Abdullah adalah seorang yang saleh”.
2) ‘Abdullah bin Mas’ud : Sesungguhnya pemuda Quraisy yang paling
mampu mengendalikan diri dari dunia adalah ‘Abdullah.
3) Al-Zuhriy : Tidak ada satupun orang yang menyamai kecerdasan
‘Abdullah bin ‘Umar.
4) Malik dan al-Zuhriy : Ibn ‘Umar adalah orang yang tidak pernah lalai dari
perintah Rasul dan sahabatnya.133
Pada masa hidupnya, orang Islam yang bernama ‘Abdullah berjumlah
lebih dari seratus orang. Sebagian dari mereka dikenal sebagai orang
yang banyak meriwayatkan hadis dan berpengetahuan mendalam di
bidang agama slam. Untuk itu, ulama lalu membuat julukan Abadillah
untuk ‘para ‘Abdullah tertentu. Mereka itu adalah:

1. ‘Abdullah bin ‘Umar bin al-Khaththab


2. ‘Abdullah bin ‘Abbas bin ‘Abd al-Muthallib
3. ‘Abdullah bin Zubair bin ‘Awwam
4. ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash.

‘Abdullah bin Mas’ud dalam hal ini tidak termasuk dalam kelompok
Abadillah tersebut. ‘Abdullah bin ‘Umar wafat di Makkah pada tahun 73
H. dalam usia sekitar delapan puluh tahun.
132
Lihat Ibn Hajr al-Asqalaniy, al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah, Juz II, h. 343, Jamal al-
Din Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mizziy, Tahdzib al-Kamal fi Asma’ al-Rijal, Juz X, (Bairut : Dar al-Fikr,
1994 M), h. 356-361.
133
Lihat ibid, Ibn Hajr al-Asqalani, III, h. 579-581; Ibn Hajr al-Asqalani, al-Ishabah,
op.cit., h. Ibn Atsir, op.cit., III, h. 341; Al-Mizzi, Tahzib al-Kamal, ibid., XV,h.339; Khalid
Muh}ammad Khalid, op.cit., h. 95-99; Ibrahim Dasuqi al-Sahawi, op.cit., h. 186.
289
d. Arti Kosakata dan Syarahan Hadits

Adapun arti beberapa kosakata hadis ini, dapat dikemukakan, antara


lain:

1. Kalimat ‫فَا ْستَأْ َذنَهُ فِي ْال ِجهَا ِد‬, seseorang meminta izin agar diperkenankan ikut
berjihad.
2. Kalimat ‫ك‬َ ‫أَ َح ٌّي َوالِدَا‬, apakah orang tuamu masih hidup.
3. Kalimat ‫فَفِي ِه َما فَ َجا ِه ْد‬,mengurusi dan mengabdi kepada kedua orang tua
adalah jihad.

Penjelasan hadis tersebut di atas dapat dilihat dari penjelasan penggalan


hadis sebagai berikut:

‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَا ْستَأْ َذنَهُ فِي ْال ِجهَا ِد‬
َ ‫َجا َء َر ُج ٌل إِلَى النَّبِ ِّي‬
Seorang laki-laki datang kepada Nabi saw..lalu meminta izin kepada
beliau untuk berjihad).

Laki-laki yang datang kepada Nabi saw. untuk minta diizinkan ikut
berjihad itu bernama Jahimah bin al-‘Abbas bin Mardas. Menurut riwayat
al-Nasaiy dan Ahmad dari jalur Mu’awiyah bin Jahimah, bahwa Jahimah
datang kepada Nabi saw. dab bertanya, “Wahai Rasulullah, aku ingin ikut
bersamamu untuk berperang, Nabi bertanya, ‘Apakah engkau mempunyai
ibu?’ dia menjawab, ‘Ya,” Nabi bersabda: Layanilah ibumu.”

Seseorang yang ingin terlibat dalam suatu pertempuran, seyogyanya


dia meminta izin dahulu kepada pemimpin pasukan, apakah dibolehkan
atau tidak. Jika tidak diizinkan ia pun tahu alasannya, dan orang lain tidak
merasa iri kepadanya,kalau diizinkan berarti ada tanggungjawab
pemimpin untuk membela dan menyelamatkan anggota pasukannya
selama dalam perjalanan atau bila terjadi peperangan

َ َ‫فَقَا َل أَ َح ٌّي َوالِدَاكَ ق‬


‫ال نَ َع ْم قَا َل فَفِي ِه َما فَ َجا ِه ْد‬
(Nabi bertanya: “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” Laki-laki
tersebut menjawab, “Ya.” Kemudian Nabi bersabda, “Pada mereka berdua
ada jihad, maka berjihadlah (kepada mereka berdua).

Nabi bertanya kepada orang tersebut, ternyata dia masih mempunyai


orang tua yang harus diurusinya. Nabi pun menyuruh orang itu lebih baik
mengurus orang tuanya, dan boleh ikut berjihad. Sebab melayani dan
mengurusi orang tua sama halnya dengan berjihad, karena perbuatan itu
juga mencari ridha orang tua, seperti halnya jihad yang sesungguhnya
untuk mendapatkan ridha Allah. Ridha Allah terletak pada ridha kedua
orang tua.

Mengingat besarnya jasa kedua orang tua, maka dalam ayat Alquran,
Tuhan merangkaikan sejajar dalam satu kalimat keharusan bersyukur
kepada Allah dan berterima kasih kepada ibu-bapak. Sebagaimana misalnya
yang disebutkan dalam QS. Luqman: 14
          
      
Terjemahnya:
dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua
orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan
lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.
Bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya
kepada-Kulah kembalimu.
Perlakuan anak terhadap orang tuanya secara patut, dijelaskan oleh
Allah secara terperinci dalam QS. Al-Isra’ ayat 23-24,
            
            

291
            
 
Terjemahnya:
dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu
bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara
keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak
mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia. dan
rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh
kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka
keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu
kecil".
Ayat ini dimulai dengan penegasan kewajiban berbakti (beribadah)
kepada Allah, setelah itu anak harus:
1. Berbuat baik kepada kedua orang tua.
2. Larangan mengeluarkan perkataan ‘uff terhadap kedua orang tua.
3. Tidak boleh menghardik kedua orang tua.
4. Berkata dengan lemah lembut dan hormat kepada kedua orang tua.
5. Merendahkan diri terhadap kedua orang tua dengan penuh kasih saying.
6. Mendoakan kepada Allah agar mengasihi dan mengampuni kedua orang
tua, sebagaimana mereka telah memelihara anak di waktu kecil.

e. Pokok-pokok Kandungan Hukum Hadis

Berdasarkan keterangan dan pembahasan yang telah dikemukakan,


maka dapatlah ditarik beberapa kandungan pokok hadis ini, yaitu :

1. Diizinkan atau tidak diizinkan ikut berjihad maka seseorang harus


menyampaikannya pemimpin jihad.
2. Berbakti dan mengurusi kedua orang tua termasuk salah salah bentuk
jihad.
2. Menyantuni Janda dan Orang Miskin (LM. 1878)

a. Materi Hadis

ِ ‫ني َكالْمجاه‬
‫ِد يِف َس بِ ِيل اللَّ ِه‬ ِ ِ ِ ِ َّ ‫عن أَيِب هرير َة قَ َال قَ َال النَّيِب ص لَّى اللَّه علَي ِه وس لَّم‬
َ ُ ِ ‫الس اعي َعلَى اأْل َْر َملَ ة َوالْم ْس ك‬ َ َ َ َْ ُ َ ُّ َْ َ ُ ْ َ
ِ َّ ‫أَو الْ َقائِ ِم اللَّيل‬
)‫ (رواه البخاري و مسلم وغريمها‬.‫َّه َار‬ َ ‫الصائ ِم الن‬ َْ ْ
Artinya:
(Hadis diriwayatkan) dari Abu Hurairah, ia berkata, telah bersabda Nabi
saw.: “Orang yang berusaha untuk menghidupi para janda dan orang
miskin seperti orang yang berjihad di jalan Allah atau orang yang shalat
di malam harinya dan shaum di siang harinya.” (H.R. Al-Bukhariy,
Muslim dan selainnya).

b. Takhrij al-Hadits

1. Al-Bukhariy, kitab al-nafaqat, bab fadhl al-nafaqat ‘ala al-ahl, hadis no.
4934, kitab al-adab, bab al-sa’iy ‘ala al-armalah, hadis no. 5547, bab al-
sa’iy ‘ala al-miskin, hadis no. 5548.
2. Muslim, kitab zuhud, bab al-ihsan ‘ala al-armalah wa al-miskin wa al-
yatim, hadis no. 5295.
3. Al-Turmudziy, kitab al-birr wa al-shillah, bab ma ja’a fi al-sa’iy ‘ala al-
armalah wa yatim, hadis no. 1892.
4. Al-Nasaiy, kitab al-zakat, bab fadhl al-sa’iy ‘ala al-armalah, hadis no.
2530.
5. Ibn Majah, kitab al-tijarat, bab al-hitstsu ‘ala al-maksab,hadis no. 2131.
6. Ahmad bin Hanbal, kitab baqi musnad al-muktsirin, bab baqi musnad
al-sabiq, hadis no. 8377.

293
c. Biografi Singkat Sahabat Nabi Periwayat hadis

(ABU HURAIRAH)

Nama lengkap Abu Hurairah ialah’ Abd al-Rahman bin Shakhr al-
Dausi al-Yamani. Nama ‘Abd al-Rahman adalah nama pemberian Rasulullah
saw. Namanya sebelum memeluk Islam, ada yang menyatakan ‘Abd al-
Syams dan ada yang menyebut nama lain. Setelah memeluk Islam, dia
lebih dikenal dengan sapaan (kuniyah-nya) Abu Hurairah (arti harfiahnya
bapak seekor anak kucing). Menurut suatu riwayat, sebutan itu
diperolehnya dari Nabi. Dia di sapa begitu karena dia sering terlihat
membawa seekor anak kucing betina. Nabi pernah melihat anak kucing itu
berada di lengan baju Abu Hurairah. Bila malam hari, anak kucing tersebut
ditaruhnya di sebatang pohon.

Abu Hurairah masuk Islam menurut suatu sumber sekitar tahun 7


Hijriyah, bertepatan dengan saat perang Khaibar. Sejak saat itu dia
berusaha untuk selalu berada di sisi Nabi saw. Sampai Nabi wafat. Dengan
demikian, Abu Hurairah bersama-sama dengan Nabi sekitar tiga sampai
empat tahun. Selama bergaul dengan Nabi, Abu Hurairah berusaha
keras untuk menimbah ilmu pengetahuan secara langsung dari Nabi. Dia
tinggal di samping masjid bersama sekitar 70 orang. Mereka ini kemudian
dikenal dengan sebutan ahlu al-shuffah.

Dari segi ekonomi, Abu Hurairah hidup dalam keadaan sangat


miskin. Tidak jarang dia harus mengganjal perutnya dengan batu karena
menahan lapar. Menurut pengakuan Abu Hurairah sendiri, pernah suatu
ketika dia dikira sedang hilang ingatan oleh orang-orang disekitar, padahal
sesungguhnya waktu itu dia sedang mengalami rasa lapar yang luar biasa.
Karena dorongan iman dan keadaan ekonominya, maka tidaklah
mengherankan Abu Hurairah lalu sering melakukan ibadah puasa. Bila
suatu hari ketika berpuasa dia hanya memiliki 15 biji kurma, maka yang
lima biji digunakan untuk berbuka, yang lima biji lagi untuk sahur, dan
yang lima biji sisanya untuk berbuka besoknya.

Walaupun buta huruf, Abu Hurairah tidak mengalami kesulitan untuk


menimbah pengetahuan dari Rasulullah. Pada permulaan masuk Islam,
hafalan Abu Hurairah lemah. Akan tetapi setelah Nabi mendoakannya
kepada Allah agar hafalannya menjadi kuat. Atas permintaannya, maka dia
didoakan oleh Rasulullah agar memiliki hafalan yang baik. Ternyata doa
Nabi terkabul, sehingga Abu urairah termasuk sahabat yang kuat
hafalannya. Al-Bukhariy, Muslim, dan al-Turmudziy mentakhrijkan sebuah
hadis yang berasal dari Abu Hurairah. Dia pernah berkata: “Saya pernah
mengadukan kelemahan hafalanku kepada Nabi.” Nabi bersabda
kepadaku, “Bentangkan selendangmu,” saya pun membentangkanya.Lalu
Nabi menceritakan kepadaku banyak hadis, dan saya tidak pernah lupa apa
yang beliau ceritakan. Menurut pengakuan Abu Hurairah, waktunya sehari-
hari dibagi menjadi tiga bagian; sepertiga bagian untuk salat malam,
sepertiga bagian lagi untuk menghafal hadis, dan sepertiga bagian yang
sisa untuk istirahat.

Di bidang periwayatan hadis Nabi, Abu Hurairah menduduki


peringkat pertama dalam kelompok para sahabat Nabi yang digelari al-
Muktsiruna fi al-hadits (Bendaharawan hadis), yakni para sahabat yang
telah meriwayatkan hadis sebanyak lebih dari seribu buah.

Menurut hitungan Baqi bin Makhlad (201-276 H), jumlah hadis yang
telah diriwayatkan oleh Abu Hurairahj sebanyak 5374 buah (menurut al-
Kirmani : 5364). Dari jumlah tersebut, yang periwayatannya disepakati
295
oleh al-Bukhari dan Muslim (muttafaq ‘alaih) sebanyak 325 buah hadis;
yang diriwayatkan oleh al-Bukhari sendiri sebanyak 93 buah, dan yang
diriwayatkan oleh Muslim saja sebanyak 189 buah hadis.

Para sahabat Nabi pernah menegur Abu Hurairah karena dia begitu
banyak meriwayatkan hadis Nabi sedangkan dia bergaul dengan Nabi
relatif tidak lama (sekitar 3 tahun). Abu Hurairah menjawab: “Ketika
orang-orang muhajirin sibuk dengan barang-barang perniagaan di pasar
dan orang-orang Anshar sibuk dengan urusan kebun-kebun mereka, maka
saya menyibukkan diri pada kegiatan belajar menghafal hadis Nabi.

Abu Hurairah selain menerima hadis langsung dari Nabi saw.


meriwayatkan juga melalui Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan lain-lain.
Sedangkan yang meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah ada sekitar 800
orang yang terdiri dari sahabat dan tabiin. Di antara mereka dari kalangan
sahabat, yaitu ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Umar, Anas bin Malik,
dan Jabir bin ‘Abdullah. Adapun dari kalangan tabiin, adalah Sa’id bin al-
Musayyab, Ibn Sirrin, ‘Ikrimah, dan lain-lain.134

Sanad hadis yang paling sahih yang berpangkal dari Abu Hurairah,
yaitu al-Zuhriy dari Sa’id bin al-Musayyab dari Abu Hurairah. Adapun
sanad hadis yang paling lemah adalah al-Sari bin Sulaiman bi Abi Dawud
bin Yazid al-Awdi dari bapaknya (Yazid al-Awdi) dari Abu Hurairah. Jadi,
kekuatan hadis yang berasal dari Abu Hurairah, disamping dari ketekunan
Abu Hurairah sendiri, juga karena didukung oleh kekuatan para periwayat
yang menersukan hadis dari Abu Hurairah.

Abu Hurairah mendapat penilaian para periwayat hadis dengan


penilaian yang sangat baik, antara lain :

Lihat Ibn Hajr al-Asqalaniy, Tahdzib al-Tahdzib, juz VII, h. 524.


134
1) Thalhah bin Ubaidillah: Tidak diragukan lagi Abu Hurairah mendengar
hadis dari Rasulullah apa yang kami tidak mendengarnya.
2) ‘Abdullah bin ‘Umar : Abu Hurairah lebih baik dariku dan lebih
mengetahui.135
3) Imam Al-Syafi’i : Abu Hurairah penghafal riwayat hadis pada zamannya.
4) Tergolong sahabat Nabi yang berada pada tingkat keadilan yang kuat.136
Dengan demikian, kapasitas Abu Hurairah sebagai periwayat dari
tingkat sahabat yang adil tidak diragukan lagi.
Ketika ‘Umar bin al-Khaththab menjadi khalifah, Abu Hurairah
diangkat menjadi pejabat di Bahrain, tetapi kemudian dicopot. Pada zaman
Mu’awiyah menjadi khalifah Bani Umayyah, Abu Hurairah diangkat
menjadi Gubernur Madinah.

Tahun meninggalnya tidak disepakati oleh ahli sejarah. Sebagian ahli


mengatakan tahun 57 H, sebagian mengatakan 58 H, dan sebagian lagi
mengatakan 59 H. Kalangan sahabat Nabi lain yang hadir pada saat
wafatnya antara lain Abdullah bin Umar dan Abu Sa’id al-Khudriy.137

d. Arti Kosakata dan Syarahan Hadits

Adapun arti beberapa kosakata hadis ini, dapat dikemukakan, antara


lain:

135
Lihat Ibrahim Dasuqi al-Sahawi, Mushthalah al-Hadits, (Al-Azhar : Syirkat al-Funiyah al-
Muttahidah, [tth] ) h. 180-181.
136
Lihat Ibn Hajr al-Asqalani , op.cit., h. 523-527, Ibn Hajr al-Asqalaniy, Al-Ishabah fi
Tamyis al-Shahabah, jilid IV, (Kairo : Mushthafa Muhammad, 1385/1939 M), h. 202; ‚Izz al-Din
bin Atsir, Usud al-Ghabah fi Ma’rifah al-Shahabah, Jilid IV, (Beirut : Dar al-Kutb al-Ilmiyah, 1415
H/1993 M), h. 321;.
137
Lihat Ibn Hajr al-Asqalaniy, Tahdzib al-Tahdzib, op.cit, VII, h.525. Khalid Muhammad
Khalid, Rijal Hawla al-Rasul, (Beirut : Dar al-Fikr, [tth.]), h. 425.

297
1. Kata ‫َّاعي‬
ِ ‫ الس‬, artinya berusaha untuk janda dan orang miskin, yakni
perbuatan membantu mereka.
2. Lafadz ‫اأْل َرْ َملَة‬, yaitu wanita yang tidak memiliki suami, apakah ia
pernah kawin atau tidak. Ada pendapat yakni wanita yang sudah
bercerai dengan suaminya. Disebut armalah karena tidak ada
penghasilan padanya, ia menjadi faqir, hilang sumber nafkah karena
tidak ada lagi suami yang berusaha. 138
3. Lafadz ‫ين‬ ْ yakni orang yang tidak mempunyai sesuatu apa pun
ِ ‫ال ِم ْس ِك‬,
dari harta. Ada yang perdapat yaitu orang yang mempunyai sedikit harta
tetapi tidak mencukupi kebutuhannya, atau disebut dengan faqir.
ِ ِ‫ َك ْال ُم َجا ِه ِد فِي َسب‬, seperti orang yang berjihad di jalan Allah.
4. Kalimat ِ ‫يل هَّللا‬

Penjelasan hadis tersebut di atas dapat dilihat dari penjelasan


penggalan hadis sebagai berikut:

‫َّاعي َعلَى اأْل َرْ َملَ ِة َو ْال ِم ْس ِكي ِن‬


ِ ‫الس‬
(Orang yang berusaha untuk menghidupi para janda dan orang miskin )

Menurut al-Thibiy yang dimaksud dengan berusaha menghidupkan


janda dan orang miskin, yakni berhubungan dengan pemberian santunan
nafkah kepada mereka. Sebab orang yang menjadi janda dan miski,
biasanya tidak ada lagi sumber pendapat nafkah. Janda yang selama ini
ditanggung oleh sauminya, kini setelah suaminya tidak ada lagai maka
wanita yang telah menjadi janda dan tidak punya penghasilan tetap
menjadi bingung dalam menyediakan nafkah hidup. Hal ini tentu berbeda
dengan seorang janda yang kaya raya yang memiliki penghasilan yang
tetap. Yang perlu diberi santunan adalah janda atau orang miskin yang
sama sekali tidak memiliki lagi pendapatan tetap.
138
Lihat Imam al-Nawawiy, Syarh Shahih Muslim, hadis no. 5295.
ِ ‫َك ْال ُم َجا ِه ِد فِي َسبِي ِل هَّللا‬
(seperti orang yang berjihad di jalan Allah )
Yakni menyantuni janda dan orang-orang miskin pahala seperti
berjihad di jalan Allah. Jihad adalah suatu bentuk perjuangan melawan
musuh di medan perang, agar umat Islam dapat dengan tenang menjalani
hidupnya. Menyantuni janda dan orang miskin dinilai sebagai jihad social,
karena, hal itu adalah sebuah pejuangan dalam memberikan nafkah agar
orang lain dapat melangsungkan hidup.

َ َ‫أَوْ ْالقَائِ ِم اللَّ ْي َل الصَّائِ ِم النَّه‬


‫ار‬
(atau orang yang shalat di malam harinya dan shaum di siang harinya.)

Pahala menyantuni janda dan orang miskin, sama dengan berjihad di


jalan Allah yang setara juga dengan pahala orang shalat tahajjud, dan
pada malam hari dan berpuasa pada siang harinya .139
Orang yang melakukan shalat tahajjud dan berpuasa pada siang hari
membutuhkan sebuah perjuangan pula, karena itu pahalanya sudah
sangat besar. Tampaknya, pahala tahajjud dan puasa pada siang hari
dapat tertandingi apabila seseorang mampu memberikan santunan social
kepada kalangan janda dan orang miskin. Nilai pahalanya sama dengan
jihad di medan perang,dan sama dengan pahala tahajjud serta puasa
siang hari.

Hidup dalam predikat janda dan miskin dapat diindikasikan dengan


adanya tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang
dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam
masyarakat yang bersangkutan. Kemiskinan, bukanlah sesuatu yang
139
Lihat al-Mubarakfuriy, Tuhfat al-Ahwadziy, Syarh Sunan al-Turmudziy, hadis no. 1892.
299
terwujud dengan sendirinya yang terlepas dari aspek-aspek lainnya.
Namun sebaliknya kemiskinan terwujud sebagai hasil interaksi antara
sebagai aspek yang ada dalam kehidupan manusia. Aspek-aspek terutama
adalah aspek sosial dan ekonomi.140
Apa yang menyebabkan kemiskinan, Hadimulyo mengemukakan
bahwa secara garis besar ada dua kutub penyebab kemiskinan. pertama
kemiskinan disebabkan oleh faktor mental dan kultural. Dalam artian,
orang tersebut miskin karena faktor malas, tidak kreatif , boros,dan
semacamnya. Kedua, kemiskinan disebabkan oleh faktor ekonomi politik
yang sering disebut bersifat struktural. 141 Atau apa yang disebut Arif
Budiman, sebagai kemiskinan yang disebabkan oleh ketimpangan
struktural sosial yang memberikan kesempatan pada mereka untuk
bangkit dari kemiskinan. Dengan demikian, ada istilah kemiskinan
kultural, dan kemiskinan struktural.
Sehubungan dengan itu, Nabi Muhammad saw. sangat besar
perhatiannya dalam menanggulangi kesenjangan sosial antara orang kaya
dan orang miskin. Salah satu upaya yang selalu digalakkan oleh Rasul
adalah program kewajiban zakat (zakat harta maupun zakat fitrah). Sebab
jika fungsi sosial zakat itu terlaksana dengan baik maka dengan
sendirinya dampak negatif dari perbedaan status sosial dalam masyarakat
di bidang ekonomi itu dapat diminimalisir.
Kenyataannya dalam masyarakat Islam predikat kemiskinan masih
banyak disandang oleh mereka yang tidak berpunya. Sementara itu
jurang pemisah antara orang berpunya dengan tidak berpunya masih
sangat jelas perbedaannya. Para orang kaya semakin kaya dengan
mengumpulkan kekayaannya sementara orang miskin semakin miskin
dengan kemelaratannya. Belum timbul secara maksimal dan konstan
kesadaran masyarakat dalam menyantuni dan mengentaskan kemiskinan.

140
Lihat : Parsudi Suparlan, “Kemiskinan”, dalam Manusia Indonesia : Individu, Keluarga, dan
Masyarakat, (Jakarta : Akademika Pressindo, 1986), h. 129.
141
Lihat : Hadimulyo, “Memerangi Kemiskinan”, Republika,17 April 1993, h. 6.
Hadis ini menunjukkan perhatian Nabi terhadap kemiskinan
struktural. Mengentaskan kemiskinan struktural dengan mendorong
pihak-pihak yang berkompoten dan orang-orang yang berpunya untuk
peduli terhadap nasib orang miskin. Kepedulian seseorang terhadap kasus
kemiskinan sama kedudukannya sama dengan orang yang berjihad atau
beribadah malam hari dan berpuasa di siang hari. Bahkan dalam hadis
lain, Nabi mengecam orang yang tidur dalam keadaan kenyang,
sementara tetangganya tidak dapat tidur karena menahan lapar. 142 Hadis-
hadis seperti ini menunjukkan obsesi Nabi agar orang miskin dapat hidup
layak ditengah-tengah orang kaya secara rukun. Orang kaya yang hidup
berdampingan dengan orang miskin dalam keadaan tidak rukun, jelas
akan berpeluang tersulutnya kecemburuan social, yang pada gilirannya
terjadi tindakan makar sebagai upaya balas dendam dari si miskin.
Pemberian santunan kepada orang miskin tercermin dalam satu
rumpun keluarga, dan jaminan social dalam bentuk zakat dan sedekah
wajib.Disini perlu adanya penetapan hak dan kewajiban social dalam
menangani kasus kemiskinan. Sebab, jika hanya mengandalkan
sumbangan sukarela dan menunggu keinsafan pribadi, hasilnya tidak
akan pernah memuaskan dan tidak menyelesaikan problema kemiskinan.
Dalam Alquran disebutkan bahwa pada harta yang dimiliki ada hak orang
miskin. Sebagaimana terdapat pada QS. al-Dzariyat : 19
  
Terjemahnya :

Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang
meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.

Itu berarti menjadi kewajiban bagi pemiliknya untuk menyantuni


orang miskin. Terjadinya kesenjangan social salah satunya karena
Lihat Zakiy al-Din al-Mundzir, al-Targhib wa al-Tarhib, Jilid III (Bairut : Dar al-Fikr,[trth.])h. 358
142

(dari Ibn Abbas)


301
kurangnya kesadaran orang kaya terhadap nasib orang-orang miskin.
Kemiskinan dapat disebabkan oleh keengganan orang-orang kaya
memberi keluasan hidup bagi orang-orang miskin.
Harta yang dimiliki seseorang sesungguhnya adalah milik Allah.
Manusia diwajibkan menyerahkan kadar tertentu dari kekayaannya untuk
kepentingan saudara-saudara sesama Islam. Bukankah setiap hasil
produksi pada hakekatnya merupakan pemanfaatan material yang telah
disediakan Allah. Keberhasilan seseorang selalu karena ditopang oleh
orang lain. Pedagang dapat berhasil karena ada pembeli yang membeli
dagangannya. Keberhasilan orang kaya atas keterlibatan banyak pihak
termasuk para fakir miskin143. Kalau begitu wajar jika Allah swt. sebagai
pemilik segala sesuatu, mewajibkan orang yang memiliki kelebihannya
untuk diberikan kepada mereka yang membutuhkan.
Islam mewajibkan kepada setiap muslim untuk berpartisipasi
menanggulangi kemiskinan sesuai dengan kemampuannya. Bagi mereka
yang tidak memiliki kemampuan material, maka paling tidak
berpartisipasi merasakan, memikirkan, dan mendorong pihak lain untuk
aktif menanggulangi masalah kemiskinan umat Islam itu.

e. Pokok-pokok Kandungan Hukum Hadis

Berdasarkan keterangan dan pembahasan yang telah dikemukakan,


maka dapatlah ditarik beberapa kandungan pokok hadis ini, yaitu :

1. Menyantuni janda dan orang miskin termasuk salah satu bentuk jihad
social.
2. Keutamaan jenis jihad seperti ini, sama nilainya dengan pahala orang
yang shalat pada malam hari dan berpuasa pada siang harinya.

Latihan
143
Lihat : M. Quraish Shihab, op.cit., h. 456
Untuk memperdalam pemahaman anda mengenai materi sajian pada Satuan
Bahasan Bagian VIII dipersilahkan mengerjakan latihan berikut:

1. Buat rumusan mengenai hubungan antara berjihad dengan perintah berbakti


kepada orang tua.
2. Buat rumusan mengenai hubungan antara menyantuni janda dan orang miskin
dengan jihad.
3. Buat rumusan perbedaan antara jihad dengan perang yang sesungguhnya
dengan jihad menyantuni janda dan orang miskin.

Rangkuman

1. Berjihad di jalan Allah berarti memenuhi perintah dan seruan Allah, berbakti
kepada orang tua juga sangat dianjurkan dalam agama. Berjihad
membutuhkan pengorbanan, berbuat baik kepada orang tua membutuhkan
pula pengorbanan sebagaimana orang tua telah banyak berkorban untuk anak-
anaknya.
2. Menyantuni janda dan orang miskin hubungannya dengan jihad, karena hal itu
juga memerlukan pengorbanan materil yang tidak sedikit, jihad membutuhkan
pengorbanan jiwa dan raga, maka menyantuni janda dan orang miskin
membutuhkan pengorbanan mengangkat harkat kemanusiaan.
3. Perbedaan antara jihad yang sesungguhnya dengan jihad menyantuni janda
dan orang miskin terletak pada aspeknya, jihad yang sesungguhnya ada unsur
‘ubudiyah (agama) sedangkan jihad menyantuni janda dan orang miskin
tergolong jihad social.

Tes Formatif

303
1. Tulis hadis tentang berbakti kepada orang tua setingkat dengan jihad.
Lengkap dengan artinya.
2. Kandungan pokok apa yang dapat anda pahami dari hadis tersebut.
ِ ‫ الس‬, dan ‫اأْل َرْ َملَة‬
3. Apa pengertian kosa kata ‫َّاعي‬
4. Mengapa menyantuni janda dan orang miskin nilai kebaikannya sama
dengan orang berjihad dan setara dengan pahala orang yang tahajjud di
malam hari dan puasa di siang hari.

Kunci Jawaban Tes Formatif

1. Hadis tentang berbakti kepada orang tua setingkat dengan jihad, yaitu:

‫اس تَأْ َذنَهُ فِي ْال ِجهَ ا ِد‬


ْ َ‫ص لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َس لَّ َم ف‬
َ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ َما يَقُو ُل َجا َء َر ُج ٌل إِلَى النَّبِ ِّي‬
ِ ‫ِعنَ َع ْب َد هَّللا ِ ْبنَ َع ْم ٍرو َر‬
)‫(رواه البخاري و مسلم وغيرهما‬.‫ال نَ َع ْم قَا َل فَفِي ِه َما فَ َجا ِه ْد‬ َ َ‫ك ق‬ َ ‫فَقَا َل أَ َح ٌّي َوالِدَا‬
Artinya:
(Hadis diriwayatkan) dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata: Seorang laki-
laki datang kepada Nabi saw..lalu meminta izin kepada beliau untuk
berjihad.” Nabi bertanya: “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?”
Laki-laki tersebut menjawab, “Ya.” Kemudian Nabi bersabda, “Pada
mereka berdua ada jihad, maka berjihadlah (kepada mereka
berdua).”(H.R. Al-Bukhariy, Muslim dan selainnya).
2. Kandungan pokok yang dapat dipahami dari hadis ini, yaitu:
a. Diizinkan atau tidak diizinkan ikut berjihad maka seseorang harus
menyampaikannya pemimpin jihad.
b. Berbakti dan mengurusi kedua orang tua termasuk salah salah bentuk
jihad.
3. Pengertian kosa kata berikut, adalah :Kata ‫َّاعي‬ِ ‫ الس‬, artinya berusaha untuk
janda dan orang miskin, yakni perbuatan membantu mereka .Lafadz ‫اأْل َرْ َملَة‬,
yaitu wanita yang tidak memiliki suami, apakah ia pernah kawin atau tidak.
Ada pendapat yakni wanita yang sudah bercerai dengan suaminya.
4. Pahala menyantuni janda dan orang miskin, sama dengan berjihad di jalan
Allah yang setara juga dengan pahala orang shalat tahajjud, dan pada malam
hari dan berpuasa pada siang harinya .Orang yang melakukan shalat tahajjud
dan berpuasa pada siang hari membutuhkan sebuah perjuangan pula, karena
itu pahalanya sudah sangat besar. Tampaknya, pahala tahajjud dan puasa
pada siang hari dapat tertandingi apabila seseorang mampu memberikan
santunan social kepada kalangan janda dan orang miskin. Nilai pahalanya
sama dengan jihad di medan perang,dan sama dengan pahala tahajjud serta
puasa siang hari.

BAGIAN IX
PEPERANGAN

A.Gambaran Singkat Mengenai Materi Kuliah

Materi kuliah ini membahas mengenai beberapa topik hadis yang


berkenaan dengan peperangan yaitu hadis tentang tipu muslihat dalam
peperangan, membunuh wanita dan anak-anak dalam peperangan dan hadis
tentang ghanimah. Pengajian materi dimulai dengan menampilkan teks matn
hadis disertai arti hadis bersama dengan periwayat pertama dan mukharrijnya.

Pemaparan takhrij al-hadits dan biografi singkat sahabat Nabi periwayat


hadis menjadi materi yang diberikan untuk memperoleh gambaran mengenai
data para mukharrij yang menghimpun hadis ini, juga untuk mengetahui
kapabilitas sahabat Nabi yang meriwayatkan hadis ini.
305
Penjelasan mengenai pengertian menurut bahasa suatu lafal atau kalimat
dalam hadis menjadi pembahasan dimaksudkan untuk memperoleh makna
kosakata lafadz tertentu sebelum akhirnya hadis-hadis yang tercakup dalam
bagian peperangan ini dijelaskan syarahannya, dan di analisa hal-hal yang
terkait dengan temanya. Akhirnya akan disimpulkan kandungan pokok hukum
setiap hadis yang di bahas.

B. Pedoman Mempelajari Materi

Baca dengan baik materi teks hadis dengan artinya. Perhatikan dan
sebutkan lafadz-lafadz yang dapat dipakai dalam menelesuri takhrij al-hadits.
Perhatikan ketekunan setiap sahabat yang ditampilkan biografinya. Buat
kesimpulan dari segi keadilan mereka. Buat intisari setiap hadis yang dibahas,
pendapat-pendapat ulama yang terkait dengan materi hadis. Pahami dengan baik
isi hadis tersebut dan berilah kandungan pokok hukum yang dibahas.

C.Tujuan Pembelajaran

1. Mahasiswa dapat menulis, membaca, menghafalkan dan mengartikan


materi hadis.
2. Mahasiwa dapat membuat uraian mengenai perlunya tipu muslihat dalam
peperangan
3. Mahasiswa dapat memahami mengenai larangan membunuh wanita dan
anak-anak dalam peperangan.
4. Mahasiswa dapat menguraikan jenis-jenis harta rampasan perang.
5. Mahasiswa mengetahui kandungan pokok hukum hadis tentang tipu
muslihat dalam perang, larangan membunuh wanita dan anak-anak dalam
perang, dan hadis tentang ghanimah.
1. Tipu Muslihat dalam Peperangan (LM. 1134, 1135)

a. Materi Hadis

ِ ِ ِ ِ
َ ُّ ‫َع ْن َجابَِر بْ َن َعْبد اللَّه َرض َي اللَّهُ َعْن ُه َما قَ َال قَ َال النَّيِب‬
ُ ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْيه َو َسلَّ َم احْلَْر‬
‫ (رواه البخاري و‬. ٌ‫ب َخ ْد َعة‬
)‫مسلم وغريمها‬
Artinya:
(Hadis diriwayatkan) dari Jabir bin ‘Abdullah ra., ia berkata, Nabi saw.
bersabda: “Peperangan itu tipu muslihat.” (H.R. Al-Bukhariy, Muslim
dan selainnya).

b. Takhrij al-Hadits

1. Al-Bukhariy, kitab al-jihad wa al-sir, bab al-harb al-khad’ah, hadis no.


2805.
2. Muslim, kitab al-jihad, bab jawaz al-khad’u fi al-harb, hadis no. 3273.
3. Abu Dawud, kitab al-jihad, bab al-makar fi al-harb, hadis no. 2266.
4. Al-Turmudziy, kitab al-jihad, bab ma ja’a fi al-rukhshah fi al-kadzb wa al-
khadi’ah fi al-harb, hadis no. 1594.
5. Ahmad bin Hanbal, kitab baqi musnad al-muktsirin, bab musnad Jabir
bin ‘Abdullah, hadis no. 13661, 13788.

c. Biografi Singkat Sahabat Nabi Periwayat hadis

(JABIR BIN ‘ABDULLAH)

Nama lengkapnya, yaitu Jabir bin ‘Abdullah bin ‘Amr bin Haram bin
Tsa’labah al-Khazrajiy al-Salmiy, disapa Abu Abdillah, atau Abu ‘Abd al-
Rahman, atau Abu Muhammad.
307
Selain menerima meriwayat hadis langsung dari Nabi saw. ia juga
menerima dari Abu Bakr, ‘Umar, ‘Ali, Abi ‘Ubaidah, Thalhah, Mu’adz bin
Jabal, ‘Ammar bin Yassar, Khalid bin al-Walid, Abi Bardah bin Niyar, Abi
Qatadah, Abi Hurairah, Abi Sa’id, ‘Abdullah bin Anis, Abi Hamid al-Sa’idiy,
Ummu Syarik, Ummu Malik, Ummu Mubsyir, dari golongan sahabat, Ummu
Kaltsum bin Abu Bakr al-Shiddiq dari golongan tabiin. Riwayat hadisnya
kemudian diterima oleh banyak periwayat, antara lain: anak-anaknya ‘Abd
al-Rahman, ‘Uqail, Muhammad, Sa’id bin al-Musayyab, Mahmud bin Labid,
Abu al-Zubair, ‘Amr bin Dinar, Abu Ja’far al-Baqir, anak dari pamannya
Muhammad bin ‘Amr bin al-Hasan, Muhammad bin al-Munkadir, Abu
Nadhrah al-‘Abdiy, Wahab bin Kaisan, Sa’id bin Maina’, al-Hasan bin
Muhammad bin al-Hanafiyah, Sa’id bin al-Harits, Salim bin Abi al-Ja’d,
Aiman al-Habsyiy, al-Hasan al-Bashriy, Abu Shalih al-Siman, Sa’id bin Abi
Hilal, Sulaiman bin ‘Atiq, ‘Ashim bin ‘Umar bin Qatadah, al-Sya’biy,
‘Abdullah dan ‘Abd al-Rahman keduanya anak Ka’ab bin Malik, Abu ‘Abd al-
Rahman al-Jubuliy, ‘Ubaidillah bin Muqsim, ‘Atha’ bin Abi Rabah, ‘Urwah
bin al-Zubair, Mujahid, al-Qa’qa’ bin Hakim, Yazid al-Faqir, Abu Salamah bin
‘Abd al-Rahman, dan lain-lain.
Zakariya bin Ishaq berkata, Abu al-Zubair menceritakan bahwa ia
mendengar Jabir bin ‘Abdullah berkata: “Aku mengikuti perang bersama
Rasulullah sebanyak 10 kali.” Jabir berkata, aku tidak ikut dalam Perang
Badar, tidak juga ikut dalam Perang Uhud, karena dilarang ayahku, namun
ketika ‘Abdullah (ayahku) terbunuh, tidak ada lagi yang menghalangi aku
untuk ikut bersama Rasulullah di setiap medan pertempuran.
Menurut Hammad bin Salamah dari Abi al-Zubair dari Jabir : Nabi
saw. pernah beristighfar untukku pada malam ba’ir sebanyak 25 kali.
Waki’ berkata dari Hisyam bin ‘Urwah: ‘Aku melihat Jabir bin
‘Abdullah punya halaqah (pengajian) di masjid, orang mengambil (ilmu)
darinya.’
Menurut Ibn Sa’ad dan al-Haitsam, Jabir wafat tahun 73 H. Menurut
Miuhammad bin Yahya bin Hibban, ia wafat tahun 77 H. Pendapat ini
disepakati oleh Abu Nu’aim, bawa dia wafat dalam usia 94 tahun, Aban bin
‘Utsman ikut menshalatinya. Ia merupakan sahabat terakhir dari Madinah
yang wafat.
‘Amr bin Ali, Yahya bin Bukair, dan selainnya berkata, ia wafat tahun
78 H. Menurut al-Bukhariy, al-Hajjaj ikut menshalatinya.144

d. Arti Kosakata dan Syarahan Hadits

Adapun arti beberapa kosakata hadis ini, dapat dikemukakan, antara


lain:

1. Lafadz ُ‫ح رْ ب‬ ْ jamaknya


َ ‫ال‬, ‫ ح روب‬berarti peperangan, kata harb sendiri
berasal dari kata dasar ‫ حربا‬-‫ ح رب – يح رب‬berarti sangat marah, karena
peperangan biasanya dimulai dengan kemarahan satu pihak kepada
musuhnya.
2. Kata ‫خَ ْدعَة‬, artinya tipu muslihat berasal dari kata dasar ‫خدع – يخدع – خدعا‬
, berarti menipu.

َ ‫ ْال َحرْ بُ خَ ْد‬., (Peperangan itu tipu muslihat.)


Penjelasan hadis ٌ‫عة‬

Tipu muslihat yang dimaksud adalah penggunaan siasat perang.


Siasat dalam berperang biasanya berupa tipuan dalam mengecoh atau
menjebak musuh agar mudah diserang atau dilumpuhkan kekuatan dan
pertahan mereka. Pernyataan ini menyangkut dengan seluruh jenis
pertempuran, baik itu pertempuran yang menggunakan alat-alat
sederhana, atau peralatan canggih dan modern, semuanya membutuhkan
siasat perang. Namanya, tipuan sehingga siasat perang yang dilakukan
tidak boleh diketahui oleh musuh.

144
Lihat Ibn Hajr al-Asqalaniy, Tahdzib, op.cit., I, h. 521-522.
309
Pemahaman terhadap petunjuk hadis tersebut sejalan dengan bunyi
teksnya, yakni bahwa setiap perang pastilah memakai siasat. Ketentuan
yang demikian itu berlaku secara universal sebab tidak terikat dengan oleh
tempat dan waktu tertentu. Perang yang dilakukan dengan cara dan alat
apa saja, pastilah memerlukan siasat. Perang tanpa siasat sama dengan
menyatakan takluk kepada musuh tanpa syarat. 145

Perang adalah mengangkat senjata secara terang-terangan dengan


tujuan mengembangkan perintah-perintah Allah, atau berkumpul dan
menghidupan kekuatan untuk menghadapi musuh kaum muslimin serta ahli
zimmi , dengan tujuan mengancam jiwa dan harta mereka.146

Berdasarkan pengertian tersebut, maka perang adalah alat untuk


membela dan mempertahankan diri dari serangan-serangan, baik serangan
dari luar maupun serangan dari dalam atau ke zaliman.
Istilah perang (al-harb) dalam Islam kadang disamakan dengan
jihad, yang oleh para ulama dan sejarawan muslim telah menyajikan dua
teori tentang hubungan negara dengan teori yang berorientasi
perdamaian. Dalam teori pertama, jihad adalah perang suci yang dianggap
sebagai satu-satunya jalan atau bentuk hubungan yang dapat diertima
antara orang-orang islam dengan non-Islam. Dar al-islam adalah kawasan
yang dikuasai oleh pemerintah Islam termasuk di dalamnya orang-orang
Islam yang karena kelahiran atau konversi maupun golongan ahli kitab
yang terikat dengan perjanjian. Sedangkan dar al-harb, adalah wilayah
yang dihuni oleh masyarakat di luar Islam.147

145
Lihat M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang tekstual dan Kontekstual, op.cit., h. 11.
146
Lihat Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghiy, Juz VI, Mesir : Mushthafa al-
Babiy al-Halabiy, 1963), h. 106.
147
Lihat Khalid Ibrahim Jiddan, Teori Politik Islam, (Surabaya; Risalah Gusti, 1995), h. 108-019.
Di dalam islam di kemukakan tiga syarat untuk bertindak keras
terhadap orang kafir, yakni demi mempertahankan diri dari agresi lawan,
demi menghilangkan kezaliman, dan demi menggagalkan tindakan
subversive yang bertindak untuk memecah belah umat islam dan
menebarkan fitnah di antara mereka sebagai salah satu bentuk siasat
dalam perang.

e. Pokok-pokok Kandungan Hukum Hadis

Berdasarkan keterangan dan pembahasan yang telah dikemukakan,


maka dapatlah ditarik kandungan pokok hadis ini, yaitu :

Semua bentuk peperangan membutuhkan siasat dan strategi perang


untuk bisa memenangkan peperangan. Peperangan yang tidak dilakukan
dengan tipu muslihat dapat mengakibatkan kekonyolan.

2. Membunuh Wanita dan Anak-Anak dalam Peperangan (LM. 1138, BM.


1139)

a. Materi Hadis

‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم َم ْقتُولَةً فَأَنْ َكَر‬ ِ ِ ِ


َ ِّ ‫ض َمغَا ِزي النَّيِب‬
ِ ‫ت يِف َب ْع‬ ْ ‫َع ْن َعْب َد اللَّه َرض َي اللَّهُ َعْنهُ أ‬
َّ ‫َخَبَرهُ أ‬
ْ ‫َن ْامَرأَةً ُوج َد‬
)‫(رواه البخاري و مسلم وغريمها‬.‫ان‬ ِ ‫الصبي‬ ِ ‫ول اللَّ ِه صلَّى اللَّه علَي ِه وسلَّم َقتل الن‬
َ ْ ِّ ‫ِّساء َو‬
َ َْ َ َ َ َْ ُ َ ُ ‫َر ُس‬
Artinya:
(Hadis diriwayatkan) dari ‘Abdullah (bin ‘Umar) ra. Memberitakan
bahwa ada seorang wanita yang terbunuh di sebagian peperangan
yang dilakukan Nabi saw. Maka Nabi saw. mengingkari pembunuhan

311
terhadap wanita dan anak-anak. (H.R. Al-Bukhariy, Muslim dan
selainnya).

b. Takhrij al-Hadits

1. Al-Bukhariy, kitab al-jihad wa al-sir, bab qatl al-shibyan fi al-harb, hadis


no. 2791, 2792.
2. Muslim, kitab al-jihad wa al-sir, bab tahrim qatl al-nisa’ wa al-shibyan fi
al-harb, hadis no. 3279, 3280.
3. Abu Dawud, kitab al-jihad, bab fi qatl al-nisa’, hadis no. 2294.
4. Al-Turmudziy, kitab al-sir, bab ma ja’a fi al-nahyi ‘an qatl al-nisa’ wa al-
shibyan, hadis no. 1494.
5. Ibn Majah, kitab al-jihad, bab al-ghurat wa al-bayit wa qatl al-nisa’ wa
al-shibyan, hadis no. 2831.
6. Ahmad bin Hanbal, kitab musnad al-muktsirin min al-shahahab, bab
musnad ‘Abdullah bin ‘Umar bin al-Khaththab, hadis no. 4509, 5201,
bab baqi musnad al-sabiq, hadis no. 5400, 5493, 5688, 5764, 5782.
7. Malik, kitab al-jihad, bab al-nahyu ‘an qatl al-nisa’ wa al-wildan fi al-
ghazw, hadis no. 857.
8. Al-Darimiy, kitab al-sir, bab fi al-nahyi ‘an qatl al-nisa’ wa al-shibyan,
hadis no. 2353.

c. Biografi Singkat Sahabat Nabi Periwayat hadis

(‘ABDULLAH BIN ‘UMAR)

Nama lengkap Ibn ‘Umar sebagai periwayat pertama hadis di atas


adalah Abu ‘Abd al-Rahman ‘Abdullah bin ‘Umar bin al-Khaththab al-
Qurasyi al-Adawiy al-Makkiy. Pada saat masih usia belia, dia bersama
ayahnya ‘Umar bin al-Khaththab memeluk Islam. Juga bersama ayahnya.
Dia hijrah ke Madinah.
Ketika terjadi Perang Badar, ‘Abdullah bin ‘Umar berhasrat untuk
ikut serta dalam peperangan itu. Namun karena dia waktu itu masih anak-
anak, maka Nabi saw. melarangnya. Dia mulai ikut serta dan menyaksikan
langsung jalannya peperangan bersama Nabi tatkala terjadi Perang
Khandaq. Ketika peperangan antar umat Islam terjadi sesudah Nabi saw.
wafat, Ibn ‘Umar berusaha keras untuk tidak terlibat.

Pada waktu ‘Umar bin al-Khaththab membentuk tim (Dewan)


pemilihan khalifah pengganti ‘Umar, ‘Abdullah ikut diangkat sebagai salah
satu anggota tim. Dalam tim itu, ‘Abdullah hanya diizinkan oleh ‘Umar
untuk memilih dan tidak diizinkan untuk dipilih sebagai khalifah.

‘Abdullah bin ‘Umar dikenal sebagai salah seorang sahabat Nabi


yang sangat patuh dalam menjalankan sunnah Nabi. Ibn ‘Umar pernah
berjalan memakai tongkat, padahal dia tidak berhalangan untuk berjalan
tanpa memakai tongkat. Kemudian berteduh di sebuah pohon. Ketika
orang melihat dan bertanya, mengapa dia berlaku demikian, Ibn ‘Umar
menjawab bahwa dia lakukan itu karena Rasulullah saw. ketika masih
hidup pernah berjalan dengan tongkat dan berteduh di tempat tersebut.

Ibn ‘Umar dikenal sebagai salah seorang sahabat Nabi yang sangat
dermawan. Pada suatu saat, Ibn ‘Umar bersedekah uang sebanyak 30.000
dirham sekaligus, suatu jumlah yang tidak sedikit untuk ukuran saat itu.

Di bidang periwayatan hadis ‘Abdullah Ibn ‘Umar termasuk salah


seorang sahabat dari kelompok al-Muktsirun fi al-Hadits. Ibn ‘Umar
menduduki peringkat kedua setelah Abu Hurairah dalam periwayatan
hadis. Hadis yang diriwayatkan Ibn ‘Umar berjumlah 2630 buah hadis.
Yang diriwayatkan oleh al-Bukhariy dan Muslim sejumlah 2630. Yang
313
diriwayatkan oleh al-Bukhariy sendiri berjumlah 80 buah hadis, dan yang
diriwayatkan oleh Muslim sendiri sebanyak 31 buah hadis.

Selain Ibn ‘Umar meriwayatkan hadis langsung dari Nabi saw., dia
juga menerima hadis dari para sahabat lainnya, terutama dari para
Khulafa’ al-Rasyidin, Hafshah (saudaranya), Abu Hurairah, dan dari
‘Aisyah. Sedangkan para periwayat yang menerima dan meriwayatkan
hadis dari Ibn ‘Umar antara lain, selain dari tabi’in seperti anaknya, dan
pelayannya, Nafi’ bin al-Faqih, Sa’id bin al-Musayyab, Abu Salamah, Salim,
Mus’ab bin Sa’ad, dan lain-lain. Ada juga dari kalangan sahabat, seperti
Ibn ‘Abbas, dan Jabir.148

Sebagai periwayat pada tingkat sahabat, Ibn ‘Umar telah diberi


tanggapan terhadap pribadinya antara lain, yaitu :
1) Hafshah (saudara perempuan ‘Abdullah bin ‘Umar) : Saya mendengar
Rasulullah saw. bersabda : “’Abdullah adalah seorang yang saleh”.
2) ‘Abdullah bin Mas’ud : Sesungguhnya pemuda Quraisy yang paling
mampu mengendalikan diri dari dunia adalah ‘Abdullah.
3) Al-Zuhriy : Tidak ada satupun orang yang menyamai kecerdasan
‘Abdullah bin ‘Umar.
4) Malik dan al-Zuhriy : Ibn ‘Umar adalah orang yang tidak pernah lalai dari
perintah Rasul dan sahabatnya.149
Pada masa hidupnya, orang Islam yang bernama ‘Abdullah berjumlah
lebih dari seratus orang. Sebagian dari mereka dikenal sebagai orang
yang banyak meriwayatkan hadis dan berpengetahuan mendalam di
bidang agama slam. Untuk itu, ulama lalu membuat julukan Abadillah
untuk ‘para ‘Abdullah tertentu. Mereka itu adalah:

148
Lihat Ibn Hajr al-Asqalaniy, al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah, Juz II, h. 343, al-Mizziy,
Tahdzib al-Kamal fi Asma’ al-Rijal, X, h. 356-361.
149
Lihat ibid, Ibn Hajr al-Asqalani, III, h. 579-581; Ibn Hajr al-Asqalani, al-Ishabah,
op.cit., h. Ibn Atsir, op.cit., III, h. 341; Al-Mizzi, Tahzib al-Kamal, ibid., XV,h.339; Khalid
Muh}ammad Khalid, op.cit., h. 95-99; Ibrahim Dasuqi al-Sahawi, op.cit., h. 186.
1. ‘Abdullah bin ‘Umar bin al-Khaththab
2. ‘Abdullah bin ‘Abbas bin ‘Abd al-Muthallib
3. ‘Abdullah bin Zubair bin ‘Awwam
4. ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash.

‘Abdullah bin Mas’ud dalam hal ini tidak termasuk dalam kelompok
Abadillah tersebut. ‘Abdullah bin ‘Umar wafat di Makkah pada tahun 73
H. dalam usia sekitar 80 tahun.

d. Arti Kosakata dan Syarahan Hadits

Adapun arti beberapa kosakata hadis ini, dapat dikemukakan, antara


lain:
1. Lafadz ً‫ ا ْم َرأَة‬, sinonim dengan kata ‫نساء‬, artinya wanita.
2. Lafadz ‫َازي‬ِ ‫ َمغ‬, jamak dari ‫مغزى‬, berarti tempat atau medan peperangan.
3. Lafadz ً‫ َم ْقتُولَة‬, dari kata dasar ‫ قتل – يقتل – مقتولة‬, artinya terbunuh.
4. Lafadz ‫فَأ َ ْن َك َر‬, maka Rasulullah mengingkari, artinya tidak menyetujui.
5. Kalimat ‫سا ِء‬ َ ِّ‫قَ ْت َل الن‬, membunuh wanita, kata al-nisa’ sinonim dengan al-
mar’ah.
ِ َ‫ص ْبي‬
6. Lafadz ‫ان‬ ِّ ‫ال‬, jamak dari kata shabiyu, artinya : anak kecil.

Penjelasan hadis tersebut di atas dapat dilihat dari penjelasan


penggalan hadis sebagai berikut:

ً‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َم ْقتُولَة‬


َ ‫َازي النَّبِ ِّي‬
ِ ‫ْض َمغ‬ ْ ‫أَ َّن ا ْم َرأَةً ُو ِجد‬
ِ ‫َت فِي بَع‬
(bahwa ada seorang wanita yang terbunuh di sebagian peperangan yang
dilakukan Nabi saw.)

315
Suatu ketika Nabi saw. mendapati seorang wanita terbunuh akibat
peperangan yang dilakukan oleh Nabi melawan musuh-musuh umat kaum
Muslimin. Sebab terbunuhnya wanita tersebut tidak jelas apakah karena ia
terlibat langsung dalam pertempuran atau karena sengaja di bunuh oleh
pasukan Islam atau tidak sengaja dibunuh karena tidak ada jalan lain,
kecuali dengan membunuhnya.

َ ِ ‫فَأ َ ْن َك َر َرسُو ُل هَّللا‬


‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَ ْت َل النِّ َسا ِء َوالصِّ ْبيَا ِن‬
( Maka Rasulullah saw. mengingkari pembunuhan terhadap wanita dan
anak-anak)

Menanggapi situasi yang demikian, maka Rasulullah saw. tidak


mengizinkan pasukan Islam membunuh wanita dalam setiap pertempuran
yang beliau gelar.

Menurut Abu al-Fadhl Abadiy dalam ‘Aun al-Ma’bud, Syarh Sunan


Abu Dawud, menjelaskan hadis ini tidak boleh membunuh wanita dan anak-
anak. Menurut madzhab Malik dan al-Auza’iy, tidak boleh membunuh
mereka dalam keadaan apapun. Imam al-Sayi’iy dan ulama Kufah
mengatakan, apabila wanita itu ikut terlibat dalam pertempuran maka
mereka boleh dibunuh. Menurut Ibn Habib dari golongan Malikiyah: Tidak
boleh sengaja membunuh wanita kecuali kalau wanita itu berada di tengah-
tengah arena pertempuran atau bermaksud membantu musuh.150

Menurut Imam al-Nawawiy, ulama telah sepakat memberlakukan


hadis ini.Mereka mengharamkan membunuh wanita dan anak-anak dalam
pertempuran,dengan catatan mereka tidak ikut terlibat atau membantu
peperangan itu. Apabila mereka ikut membantu berperang, manurut
mayoritas ulama, mereka boleh dibunuh. Adapun para orang tua jompo dari
150
Lihat Abu al-Fadhl Abadiy, ‘Aun al-Ma’bud, Syarh Sunan Abu Dawud, kitab al-jihad, bab
fi qatl al-nisa’, hadis no. 2294.
kaum kafir jika mereka berada pada medan pertempuran maka dapat
dibunuh, jika mereka tidak berada di arena pertempuran, maka menurut
Malik dan Abu Hanifah: Tidak boleh membunuh mereka. Menurut al-
Syafi’iy, boleh membunuh mereka.151

e. Pokok-pokok Kandungan Hukum Hadis

Berdasarkan keterangan dan pembahasan yang telah dikemukakan,


maka dapatlah ditarik beberapa kandungan pokok hadis ini, yaitu :

1. Orang yang dapat dibunuh dan diperangi dalam pertempuran adalah


kaum laki-laki yang ikut berperang dari kalangan orang-orang kafir atau
musuh.
2. Tidak boleh membunuh para wanita, anak-anak, orang yang lanjut usia,
dan para rahib yang tidak ikut berperang, karena peperangan dan
pembunuhan dimaksudkan untuk menolak gangguan orang-orang kafir
dan mereka yang menghalangi dakwah Islam, selama para wanita, anak-
anak dan orang-orang yang lanjut usia itu tidak memiliki kontribusi
dalam member informasi, pemikiran dan pertolongan dalam memerangi
orang-orang Islam.
3. Jika mereka terbukti membantu musuh, maka mereka pun boleh
dibunuh. Jika ada keputusan untuk menyerang musuh secara frontal,
sementara di tengah-tengah musuh terdapat wanita dan anak-anak dan
tidak memungkinkan untuk memisahkan atau menyeleksi sasaran, maka
serangan boleh dilakukan meskipun harus menimpa wanita, anak-anak
dan orang-orang yang lemah tersebut.

151
Lihat Imam al-Nawawiy, Syarh Shahih Muslim, kitab al-jihad wa al-sir, bab tahrim qatl
al-nisa’ wa al-shibyan fi al-harb, hadis no. 3280.
317
3. Ghanimah (Rampasan Perang) (LM. 1141, 1142, 1144)

a. Materi Hadis

‫ِه اَل‬ِ ‫ول اللَّ ِه ص لَّى اللَّه علَي ِه وس لَّم َغ زا نَيِب ِمن اأْل َنْبِي ِاء َف َق َال لَِقوم‬ ُ ‫َع ْن أَيِب ُهَر ْي َر َة َر ِض َي اللَّهُ َعْن هُ قَ َال قَ َال َر ُس‬
ْ َ ْ ٌّ َ َ َ َ ْ َ ُ َ
‫َح ٌد َبىَن بُيُوتً ا َومَلْ َي ْرفَ ْع ُس ُقو َف َها َواَل‬ ‫هِب‬ ‫هِب‬
َ ‫يد أَ ْن َيْبيِن َ َا َولَ َّما َينْب ِ َا َواَل أ‬ ُ ‫ض َع ْام َرأ ٍَة َو ُه َو يُِر‬ ْ ُ‫ك ب‬ َ َ‫َيْتَب ْعيِن َر ُج ٌل َمل‬
ٍ ِ
‫لِك َف َق َال‬َ َ‫ص ِر أ َْو قَ ِريبً ا ِم ْن ذ‬ ْ ‫ص اَل ةَ الْ َع‬
ِ ِ
َ ‫ِر ِواَل َد َه ا َفغَ َزا فَ َدنَا م ْن الْ َق ْريَة‬ ُ ‫اش َتَرى َغنَ ًم ا أ َْو َخل َف ات َو ُه َو َيْنتَظ‬ ْ ‫َح ٌد‬ َ‫أ‬
ِ ِ
ْ َ‫ت َحىَّت َفتَ َح اللَّهُ َعلَْيه فَ َج َم َع الْغَنَ ائ َم فَ َج اء‬ ْ ‫احبِ ْس َها َعلَْينَا فَ ُحبِ َس‬ ِ ِ ِ ‫لِلشَّم‬
‫ت َي ْعيِن‬ ْ ‫ور اللَّ ُه َّم‬ ٌ ‫ورةٌ َوأَنَا َمأْ ُم‬
َ ‫س إنَّك َمأْ ُم‬ ْ
‫ت يَ ُد َر ُج ٍل بِيَ ِد ِه َف َق َال فِي ُك ْم‬ ٍ ِ ِ
ْ َ‫َّار لتَأْ ُكلَ َها َفلَ ْم تَطْ َع ْم َها َف َق َال إِ َّن في ُك ْم ُغلُواًل َف ْليُبَايِ ْعيِن م ْن ُك ِّل قَبِيلَة َر ُج ٌل َفلَ ِزق‬
ِ ‫الن‬
َ
‫ول فَ َج اءُوا ب َِرأْ ٍس ِمثْ ِل َرأْ ِس َب َق َر ٍة ِم ْن‬ ُ ُ‫ت يَ ُد َر ُجلَنْي ِ أ َْو ثَاَل ثَ ٍة بِيَ ِد ِه َف َق َال فِي ُك ْم الْغُل‬ْ َ‫ك َفلَ ِزق‬ َ ُ‫ول َف ْليُبَايِ ْعيِن قَبِيلَت‬
ُ ُ‫الْغُل‬
‫ (رواه‬. ‫َحلَّ َه ا لَنَ ا‬ ِ ِ ‫ال َّذ َه‬
َ ‫ض ْع َفنَا َو َع ْجَزنَ ا فَأ‬َ ‫َح َّل اللَّهُ لَنَ ا الْغَنَ ائ َم َرأَى‬ َ ‫َّار فَأَ َكلَْت َه ا مُثَّ أ‬
ُ ‫ت الن‬ ْ َ‫وها فَ َج اء‬ َ ُ‫ض ع‬ َ ‫ب َف َو‬
)‫البخاري و مسلم وأمحد‬
Artinya:
(Hadis diriwayatkan) dari Abu Hurairah ra., ia berkata, Rasulullah
saw. bersabda: “Seorang Nabi (hendak pergi) berperang, lalau
berkata kepada kaumnya, ‘Tidak ada yang bermaksud (aku tidak
mengajak) dari seseorang yang telah menikah dengan seorang
perempuan, ketika ia hendak tidur dengan istrinya akan tetapi ia
belum tidur bersamanya, tidak juga seseorang yang sedang
membangun rumah dan ia belum mengangkat atapnya, tidak juga
seseorang yang sedang membeli kambing yang hamil dan ia sedang
menunggu kelahirannya.’ Lalu nabi tersebut pergi berperang.
Kemudian ia mendekati sebuah desa pada waktu Shalat Ashar atau
dekat dari waktu tersebut, maka ia berkata kepada matahari,
‘Sesungguhnya engkau diperintah begitu pun juga akupun diperintah.
Ya Allah, tahanlah matahari itu di atas kami, Maka matahari tersebut
ditahan sampai Allah memberikan kemenangan untuknya. Ia pun
mengumpulkan harta rampasan perang, lallu datanglah-yakni api-
untuk melahapnya, namun api itu tidak mau melahapnya. Maka nabi
tersebut berkata, ‘Di antara kalian ada yang melakukan ghulul,
hendaklah seorang dari setiap kabilah berbaiat kepadaku.’ Maka
tangan dua atau tiga orang melekat dengan tangannya. Kemudian ia
berkata, ‘Di antara kalian ada yang melakukan ghulul.’ Lalu mereka
datang membawa emas seperti sebesar kepala sapi, kemudian mereka
meletakkannya. Lalu api itu pun datang untuk melahapnya. Kemudian
Allah menghalalkan untuk kita harta rampasan perang, Allah telah
melihat kelemahan dan ketidakmampuan kita, maka Ia menghalalkan
harta rampasan perang untuk kita.”(H.R. Al-Bukhariy, Muslim dan
Ahmad).

b. Takhrij al-Hadits

1. Al-Bukhariy, kitab furudh al-khamsa, bab qaul al-Nabiy saw. uhiltu


lakum al-ghana’im, hadis no. 2892.
2. Muslim, kitab al-jihad wa al-sir, bab tahlil al-ghana’im li hadzihi
ummah khashah, hadis no. 3287.
3. Ahmad bin Hanbal, kitab baqi musnad al-muktsirin, bab baqi musnad
al-sabiq, hadis no. 7890.

c. Biografi Singkat Sahabat Nabi Periwayat hadis

(ABU HURAIRAH)

Nama lengkap Abu Hurairah ialah’ Abd al-Rahman bin Shakhr al-
Dausi al-Yamani. Nama ‘Abd al-Rahman adalah nama pemberian Rasulullah
saw. Namanya sebelum memeluk Islam, ada yang menyatakan ‘Abd al-

319
Syams dan ada yang menyebut nama lain. Setelah memeluk Islam, dia
lebih dikenal dengan sapaan (kuniyah-nya) Abu Hurairah (arti harfiahnya
bapak seekor anak kucing). Menurut suatu riwayat, sebutan itu
diperolehnya dari Nabi. Dia di sapa begitu karena dia sering terlihat
membawa seekor anak kucing betina. Nabi pernah melihat anak kucing itu
berada di lengan baju Abu Hurairah. Bila malam hari, anak kucing tersebut
ditaruhnya di sebatang pohon.

Abu Hurairah masuk Islam menurut suatu sumber sekitar tahun 7


Hijriyah, bertepatan dengan saat perang Khaibar. Sejak saat itu dia
berusaha untuk selalu berada di sisi Nabi saw. Sampai Nabi wafat. Dengan
demikian, Abu Hurairah bersama-sama dengan Nabi sekitar tiga sampai
empat tahun. Selama bergaul dengan Nabi, Abu Hurairah berusaha
keras untuk menimbah ilmu pengetahuan secara langsung dari Nabi. Dia
tinggal di samping masjid bersama sekitar 70 orang. Mereka ini kemudian
dikenal dengan sebutan ahlu al-shuffah.

Dari segi ekonomi, Abu Hurairah hidup dalam keadaan sangat


miskin. Tidak jarang dia harus mengganjal perutnya dengan batu karena
menahan lapar. Menurut pengakuan Abu Hurairah sendiri, pernah suatu
ketika dia dikira sedang hilang ingatan oleh orang-orang disekitar, padahal
sesungguhnya waktu itu dia sedang mengalami rasa lapar yang luar biasa.

Karena dorongan iman dan keadaan ekonominya, maka tidaklah


mengherankan Abu Hurairah lalu sering melakukan ibadah puasa. Bila
suatu hari ketika berpuasa dia hanya memiliki 15 biji kurma, maka yang
lima biji digunakan untuk berbuka, yang lima biji lagi untuk sahur, dan
yang lima biji sisanya untuk berbuka besoknya.

Walaupun buta huruf, Abu Hurairah tidak mengalami kesulitan untuk


menimbah pengetahuan dari Rasulullah. Pada permulaan masuk Islam,
hafalan Abu Hurairah lemah. Akan tetapi setelah Nabi mendoakannya
kepada Allah agar hafalannya menjadi kuat. Atas permintaannya, maka dia
didoakan oleh Rasulullah agar memiliki hafalan yang baik. Ternyata doa
Nabi terkabul, sehingga Abu urairah termasuk sahabat yang kuat
hafalannya. Al-Bukhariy, Muslim, dan al-Turmudziy mentakhrijkan sebuah
hadis yang berasal dari Abu Hurairah. Dia pernah berkata: “Saya pernah
mengadukan kelemahan hafalanku kepada Nabi.” Nabi bersabda
kepadaku, “Bentangkan selendangmu,” saya pun membentangkanya.Lalu
Nabi menceritakan kepadaku banyak hadis, dan saya tidak pernah lupa apa
yang beliau ceritakan. Menurut pengakuan Abu Hurairah, waktunya sehari-
hari dibagi menjadi tiga bagian; sepertiga bagian untuk salat malam,
sepertiga bagian lagi untuk menghafal hadis, dan sepertiga bagian yang
sisa untuk istirahat.

Di bidang periwayatan hadis Nabi, Abu Hurairah menduduki


peringkat pertama dalam kelompok para sahabat Nabi yang digelari al-
Muktsiruna fi al-hadits (Bendaharawan hadis), yakni para sahabat yang
telah meriwayatkan hadis sebanyak lebih dari seribu buah.

Menurut hitungan Baqi bin Makhlad (201-276 H), jumlah hadis yang
telah diriwayatkan oleh Abu Hurairahj sebanyak 5374 buah (menurut al-
Kirmani : 5364). Dari jumlah tersebut, yang periwayatannya disepakati
oleh al-Bukhari dan Muslim (muttafaq ‘alaih) sebanyak 325 buah hadis;
yang diriwayatkan oleh al-Bukhari sendiri sebanyak 93 buah, dan yang
diriwayatkan oleh Muslim saja sebanyak 189 buah hadis.
Para sahabat Nabi pernah menegur Abu Hurairah karena dia begitu
banyak meriwayatkan hadis Nabi sedangkan dia bergaul dengan Nabi
relatif tidak lama (sekitar 3 tahun). Abu Hurairah menjawab: “Ketika
orang-orang muhajirin sibuk dengan barang-barang perniagaan di pasar

321
dan orang-orang Anshar sibuk dengan urusan kebun-kebun mereka, maka
saya menyibukkan diri pada kegiatan belajar menghafal hadis Nabi.

Abu Hurairah selain menerima hadis langsung dari Nabi saw.


meriwayatkan juga melalui Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan lain-lain.
Sedangkan yang meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah ada sekitar 800
orang yang terdiri dari sahabat dan tabiin. Di antara mereka dari kalangan
sahabat, yaitu ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Umar, Anas bin Malik,
dan Jabir bin ‘Abdullah. Adapun dari kalangan tabiin, adalah Sa’id bin al-
Musayyab, Ibn Sirrin, ‘Ikrimah, dan lain-lain.152

Sanad hadis yang paling sahih yang berpangkal dari Abu Hurairah,
yaitu al-Zuhriy dari Sa’id bin al-Musayyab dari Abu Hurairah. Adapun
sanad hadis yang paling lemah adalah al-Sari bin Sulaiman bi Abi Dawud
bin Yazid al-Awdi dari bapaknya (Yazid al-Awdi) dari Abu Hurairah. Jadi,
kekuatan hadis yang berasal dari Abu Hurairah, disamping dari ketekunan
Abu Hurairah sendiri, juga karena didukung oleh kekuatan para periwayat
yang menersukan hadis dari Abu Hurairah.

Abu Hurairah mendapat penilaian para periwayat hadis dengan


penilaian yang sangat baik, antara lain :
1) Thalhah bin Ubaidillah: Tidak diragukan lagi Abu Hurairah mendengar
hadis dari Rasulullah apa yang kami tidak mendengarnya.
2) ‘Abdullah bin ‘Umar : Abu Hurairah lebih baik dariku dan lebih
mengetahui.153
3) Imam Al-Syafi’i : Abu Hurairah penghafal riwayat hadis pada zamannya.
4) Tergolong sahabat Nabi yang berada pada tingkat keadilan yang kuat.154
152
Lihat al-Hafidz Abi al-Fadhl Ahmad bin ‘Ali bin Hajr Syihab al-Din al-Syafi’iy al-
Asqalaniy, Tahdzib al-Tahdzib, juz VII, (([t.tp : Muassah al-Risalah, [tth], h. 524.
153
Lihat Ibrahim Dasuqi al-Sahawi, Mushthalah al-Hadits, (Al-Azhar : Syirkat al-Funiyah al-
Muttahidah, [tth] ) h. 180-181.
154
Lihat Ibn Hajr al-Asqalani , op.cit., h. 523-527, Ibn Hajr al-Asqalaniy, Al-Ishabah fi
Tamyis al-Shahabah, jilid IV, (Kairo : Mushthafa Muhammad, 1385/1939 M), h. 202; ‚Izz al-Din
bin Atsir, Usud al-Ghabah fi Ma’rifah al-Shahabah, Jilid IV, (Beirut : Dar al-Kutb al-Ilmiyah, 1415
Dengan demikian, kapasitas Abu Hurairah sebagai periwayat dari
tingkat sahabat yang adil tidak diragukan lagi.
Ketika ‘Umar bin al-Khaththab menjadi khalifah, Abu Hurairah
diangkat menjadi pejabat di Bahrain, tetapi kemudian dicopot. Pada zaman
Mu’awiyah menjadi khalifah Bani Umayyah, Abu Hurairah diangkat
menjadi Gubernur Madinah.

Tahun meninggalnya tidak disepakati oleh ahli sejarah. Sebagian ahli


mengatakan tahun 57 H, sebagian mengatakan 58 H, dan sebagian lagi
mengatakan 59 H. Kalangan sahabat Nabi lain yang hadir pada saat
wafatnya antara lain Abdullah bin Umar dan Abu Sa’id al-Khudriy.155

d. Arti Kosakata dan Syarahan Hadits

Adapun arti beberapa kosakata hadis ini, dapat dikemukakan, antara


lain:
1. Kalimat ‫ي ِم ْن اأْل َ ْنبِيَا ِء‬
ٌّ ِ‫ َغ َزا نَب‬, ghazza artinya berperang. Bentuk ismnya ‫غ زو‬
‫ة‬jamaknya ‫ مغازي‬. Maksudnya ada seorang Nabi yang pergi berperang.
2. Kalimat ‫اَل يَ ْتبَ ْعنِي‬, Nabi tersebut berkata kepada kaumnya, aku tidak
menyuruh untuk berperang.
3. Kalimat ‫ُض َع ا ْم َرأَ ٍة‬
ْ ‫ َر ُج ٌل َملَ كَ ب‬, seseorang yang baru menikah dengan
seorang wanita.
4. Kalimat ِ ‫ َوهُ َو ي ُِري ُد أَ ْن يَ ْبنِ َي بِهَا َولَ َّما يَب‬dan dia ingin bermalam dengan
‫ْن بِهَا‬
istrinya dan ia belum bermalam untuk menyalurkan hasratnya.

H/1993 M), h. 321;.


155
Lihat Ibn Hajr al-Asqalaniy, Tahdzib al-Tahdzib, op.cit, VII, h.525. Khalid Muhammad
Khalid, Rijal Hawla al-Rasul, (Beirut : Dar al-Fikr, [tth.]), h. 425.

323
ُ ‫ َواَل أَ َح ٌد بَنَى بُيُوتًا َولَ ْم يَرْ فَ ْع‬, tidak juga aku menyuruh seseorang
5. Kalimat ‫سقُوفَهَا‬
yang membangun rumah padahal ia belum sempat mengangkat
atapnya.
ِ ‫ت َوه َُو يَ ْنت‬
6. Kalimat ‫َظ ُر ِواَل َدهَا‬ ٍ ‫ َواَل أَ َح ٌد ا ْشتَ َرى َغنَ ًما أَوْ خَ لِفَا‬, tidak juga aku menyuruh
salah seorang yang baru membeli kambing atau binatang yang hamil,
dan dia sedang menunggu hewan itu melahirkan
7. Kalimat ‫ريبًا ِم ْن َذلِك و‬ ِ َ‫ص ِر أَوْ ق‬ ْ ‫ص اَل ةَ ْال َع‬َ ‫فَ َغ َزا فَ َدنَا ِم ْن ْالقَرْ يَ ِة‬maka dia pun pergi
berperang, kemudian dia mendekati suatu desa pada waktu shalat
ashar, atau dekat dengan terbenamnya matahari.
8. Kalimat ‫ورةٌ َوأَنَا َمأْ ُمو ٌر‬
َ ‫ك َمأْ ُم‬ ِ ‫فَقَا َل لِل َّش ْم‬, Nabi itu berkata kepada matahari,
ِ َّ‫س إِن‬
sessunguhnya engkau diperintah Allah dan aku juga dperintah Allah.
9. Kalimat ‫ت‬ ْ ‫ اللَّهُ َّم احْ بِ ْس هَا َعلَ ْينَا فَ ُحبِ َس‬, dia pun berdoa : Ya Allah tahanlah
matahari itu untuk kami, lalu tertahanlah matahari itu.
10. Kalimat ‫ج َم َع ْال َغنَ ائِ َم‬ َ َ‫ َحتَّى فَتَ َح هَّللا ُ َعلَ ْي ِه ف‬, sampai Allah memberikan
kemenangan kepadanya, lalu banyak terkumpul harta rampasan perang
ْ ‫ت يَ ْعنِي النَّا َر لِتَأْ ُكلَهَا فَلَ ْم ت‬
11. Kalimat ‫َط َع ْمهَا‬ ْ ‫فَ َجا َء‬, kemudian datanglah, yakni api
untuk memakan harta rampasan itu, tapi dia tidak jadi memakannya.
12. Kalimat , ‫غلُواًل‬
ُ ‫فَقَا َل إِ َّن فِي ُك ْم‬, nabi itu merasa ada yang berbuat ghulul.
Ghulul diartikan dengan curang, yakni ada di antara anggota
pasukannya yang mencuri harta ghanimah itu.
13. Kalimat ‫ج ٍل بِيَ ِد ِه‬ ُ ‫ت يَ ُد َر‬ ْ َ‫ فَ ْليُبَايِ ْعنِي ِم ْن ُك ِّل قَبِيلَ ٍة َر ُج ٌل فَلَ ِزق‬lalu nabi itu menyuruh
setiap qabilah untuk membai’atnya, maka seseorang meletakkan
tangannya, tanda mau berbai’at.
14. Kalimat ‫ْن أَوْ ثَاَل ثَ ٍة بِيَ ِد ِه‬
ِ ‫ت يَ ُد َر ُجلَي‬ ْ َ‫فَقَ ا َل فِي ُك ْم ْال ُغلُ و ُل فَ ْليُبَ ايِ ْعنِي قَبِيلَتُ كَ فَلَ ِزق‬, dia pun
berkata, siapa yang melakukan pencurian (ghulul), Maka tangan dua
atau tiga orang melekat dengan tangannya.
ْ ٍ ‫ال فِي ُك ْم ْال ُغلُو ُل فَ َج ا ُءوا بِ َر ْأ‬
15. Kalimat ‫ت النَّا ُر‬ ْ ‫ض عُوهَا فَ َج ا َء‬ َ ‫ب فَ َو‬ِ َ‫س بَقَ َر ٍة ِم ْن ال َّذه‬ِ ‫س ِم ْث ِل َرأ‬ َ َ‫فَق‬
َ‫فَأ َ َكلَ ْت ه‬, Kemudian ia berkata, ‘Di antara kalian ada yang melakukan
ghulul. Lalu datanglah beberapa orang membawa emas sebesar kepada
sapi, kemudian meletakkan di depan api, lalu api itu pun memakan
harta ghanimah itu.
16. Kalimat ‫ح َّل هَّللا ُ لَنَا ْال َغنَائِ َم‬
َ َ‫ ثُ َّم أ‬Selanjutnya Allah telah menghalalkan kepada
kami harta ghanimah.
َ َ ‫ض ْعفَنَا َو َعجْ زَ نَا فَأ‬
17. Kalimat ‫حلَّهَا لَنَا‬ َ ‫ َرأَى‬karena Allah melihat kelemahan dan
ketidakmampuan kita maka Allah pun menghalalkan kepada kita harta
ghanimah.

Penjelasan hadis tersebut di atas dapat dilihat dari penjelasan


penggalan hadis sebagai berikut:

‫َغ َزا نَبِ ٌّي ِم ْن اأْل َ ْنبِيَا ِء فَقَا َل لِقَوْ ِم ِه اَل يَ ْتبَ ْعنِي َر ُج ٌل َملَكَ بُضْ َع ا ْم َرأَ ٍة َوه َُو ي ُِري ُد أَ ْن يَ ْبنِ َي بِهَا َولَ َّما يَب ِْن بِهَا َواَل‬
‫ت َوهُ َو يَ ْنت َِظ ُر ِواَل َدهَا‬ ٍ ‫أَ َح ٌد بَنَى بُيُوتًا َولَ ْم يَرْ فَ ْع ُسقُوفَهَا َواَل أَ َح ٌد ا ْشتَ َرى َغنَ ًما أَوْ خَ لِفَا‬

(Seorang Nabi (hendak pergi) berperang, lalau berkata kepada kaumnya,


‘Tidak ada yang bermaksud (aku tidak mengajak) dari seseorang yang
telah menikah dengan seorang perempuan, ketika ia hendak tidur dengan
istrinya akan tetapi ia belum tidur bersamanya, tidak juga seseorang yang
sedang membangun rumah dan ia belum mengangkat atapnya, tidak juga
seseorang yang sedang membeli kambing yang hamil dan ia sedang
menunggu kelahirannya.)

Hadis ini menceritakan suatau kisah seorang Nabi yang tidak


memaksakan kepada umatnya untuk mengikutinya dalam setiap
peperangan, terutama kalau memang dia tahu, di antara umatnya
mempunyai kepentingan yang berbeda-beda dan mendesak. Ada yang
karena baru melangsungkan pernikahan dan belum sempat tidur bersama
istrinya. Ada yang karena alasan sedang membangun rumah dan belum

325
sempat meletakkan atap rumahnya, ada juga yang baru membeli kambing
yang sedang hamil dan dia sedang menunggu kambing itu melahirkan.
Menurut suatu riwayat bahwa Nabi yang dimaksudkan adalah Nabi
Dawud as. Kalihatannya, nabi ini tidak ingin umatnya yang ikut berperang
pikirannya, terbagi dengan kepentingan lain.

‫ورةٌ َوأَنَ ا َم أْ ُمو ٌر اللَّهُ َّم احْ بِ ْس هَا َعلَ ْينَ ا‬


َ ‫ك َم أْ ُم‬
ِ َّ‫س إِن‬ َ ِ‫صاَل ةَ ْال َعصْ ِر أَوْ قَ ِريبً ا ِم ْن َذل‬
َّ ِ‫ك فَقَ ا َل ل‬
ِ ‫لش ْم‬ َ ‫فَ َدنَا ِم ْن ْالقَرْ يَ ِة‬
‫ت َحتَّى فَتَ َح هَّللا ُ َعلَ ْي ِه فَ َج َم َع ْال َغنَائِ َم‬ ْ ‫فَ ُحبِ َس‬
(Lalu nabi tersebut pergi berperang. Kemudian ia mendekati sebuah desa
pada waktu Shalat Ashar atau dekat dari waktu tersebut, maka ia berkata
kepada matahari, ‘Sesungguhnya engkau diperintah begitu pun juga
akupun diperintah. Ya Allah, tahanlah matahari itu di atas kami, Maka
matahari tersebut ditahan sampai Allah memberikan kemenangan
untuknya. Ia pun mengumpulkan harta rampasan perang)

Suatu ketika ia pun pergi berperang dan sampai akhirnya,


pertempuran sedang berkecamuk di suatu desa pada waktu ashar atau
sore hari, yang berarti matahari mau terbenam, hari mulai malam. Nabi
itu pun berdoa agar Allah menahan dahulu matahari agar tidak terbenam
dahulu. Dia berseru kepada matahari bahwa matahari juga makhkluk yang
sedang menjalankan perintah Allah sebagaimana halnya seorang Nabi.
Ketika selesai dia berdoa, maka matahari pun tertahan. Sampai akhirnya
atas izin Allah Nabi itu dan pasukannya memperoleh kemenangan dan
mengumpulkan harta rampasan perang yang banyak sekali.

‫ت يَ ُد َر ُج ٍل بِيَ ِد ِه‬ْ َ‫فَ ْليُبَايِ ْعنِي ِم ْن ُكلِّ قَبِيلَ ٍة َر ُج ٌل فَلَ ِزق‬ ْ ‫ت يَ ْعنِي النَّا َر لِتَأْ ُكلَهَا فَلَ ْم ت‬
‫َط َع ْمهَا فَقَا َل إِ َّن فِي ُك ْم ُغلُواًل‬ ْ ‫فَ َجا َء‬
ْ ٍ ‫ال فِي ُك ْم ْال ُغلُو ُل فَ َج ا ُءوا بِ َر ْأ‬
‫س‬ِ ‫س ِم ْث ِل َرأ‬ َ َ‫ثَ ٍة بِيَ ِد ِه فَق‬ ‫ت يَ ُد َر ُجلَي ِْن أَوْ ثَاَل‬ْ َ‫ك فَلَ ِزق‬َ ُ‫فَقَا َل فِي ُك ْم ْال ُغلُو ُل فَ ْليُبَايِ ْعنِي قَبِيلَت‬
ْ ‫ضعُوهَا فَ َجا َء‬
‫ت النَّا ُر‬ َ ‫ب فَ َو‬ َّ ‫بَقَ َر ٍة ِم ْن‬
ِ َ‫الذه‬
( lallu datanglah-yakni api-untuk melahapnya, namun api itu tidak mau
melahapnya. Maka nabi tersebut berkata, ‘Di antara kalian ada yang
melakukan ghulul, hendaklah seorang dari setiap kabilah berbaiat
kepadaku.’ Maka tangan dua atau tiga orang melekat dengan tangannya.
Kemudian ia berkata, ‘Di antara kalian ada yang melakukan ghulul.’ Lalu
mereka datang membawa emas seperti sebesar kepala sapi, kemudian
mereka meletakkannya. Lalu api itu pun datang untuk melahapnya).

Sudah menjadi ketentuan syariat Nabi tersebut, bahwa apabila


mereka mendapatkan harta rampasan perang, maka harta itu tidak boleh
atau haram dimakan oleh nabi atau pasukannya. Harta itu dibiarkan saja
menunggu sampai datangnya api yang akan melahapnya . Namun, ketika
api itu datang dekat dengan harta ghanimah itu, ternyata api itu tidak mau
memakannya. Nabi itu pun tahu bahwa ada kaumnya yang berbuat curang.
Dia pun bertanya, dengan memanggil mereka, berbaiat mengaku siapa di
anatara mereka yang berbuat ghulul, yakni telah mencuri harta rampasan
perang itu. Mereka pun saling berpegangan tangan tanda bersedia dibaiat.
Beberapa saat kemudian datanglah orang-orang dengan membawa
sebongkah emas yang besarnya sebesar kepala sapi., lalu menyerahkan
emas itu sebagai bagian dari harta ghanimah. Api itu kemudian memakan
habis harta ghanimah itu.

‫ض ْعفَنَا َو َعجْ زَ نَا فَأ َ َحلَّهَا لَنَا‬


َ ‫ثُ َّم أَ َح َّل هَّللا ُ لَنَا ْال َغنَائِ َم َرأَى‬
(Kemudian Allah menghalalkan untuk kita harta rampasan perang, Allah
telah melihat kelemahan dan ketidakmampuan kita, maka Ia menghalalkan
harta rampasan perang untuk kita).

Lalu Nabi saw. menyampaikan inti dari pernyataan beliau, bahwa


khusus ketentuan syariat yang berlaku bagi umat Islam, mereka
dibolehkan memakan harta rampasan perang. Kebolehan penghalalan
memakan harta rampasan perang dengan pertimbangan pasti umat Islam
lebih mudah tergoda untuk berbuat curang pada harta rampasan perang
yang mereka dapatkan. Karena itu, Nabi saw. menegaskan bahwa Allah

327
kini menghalalkan kalian memakan harta ghanimah, karena Allah
mengetahui akan kelemahan dan ketidak mampuan kamu. Kalau tidak
dihalalkan pasti ada anggota pasukan yang akan melakukan pencurian atau
menggelapak harta rampasan itu.

Hadis lain tentang Pembagian Harta Ghanimah

‫ث َس ِريَّةً فِ َيه ا َعْب ُد اللَّ ِه بْ ُن عُ َم َر قِبَ َل‬ َ ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم َب َع‬ ِ َ ‫َن رس‬
َ ‫ول اللَّه‬
ِ
ُ َ َّ ‫َع ْن ابْ ِن ُع َمَر َرض َي اللَّهُ َعْن ُه َما أ‬
‫َح َد َع َشَر بَعِ ًريا َونُ ِّفلُوا بَعِ ًريا بَعِ ًريا‬ ِ ِ َ‫جَنْ ٍد َفغَنِموا إِبِاًل َكثِريةً فَ َكان‬
َ ‫ت س َه ُام ُه ْم ا ْثيَن ْ َع َشَر بَع ًريا أ َْو أ‬
ْ َ ُ
Artinya:
(Hadis diriwayatkan) dari Ibn ‘Umar ra., bahwa sesungguhnya
Rasulullah mengutus pasukan yang di dalamnya ada ‘Abdullah kea rah
Najd. Lalu mereka mendapatkan harta rampasan perang berupa unta
yang banyak. Maka bagian mereka adalah dua belas atau sebelas ekor
unta dan mereka diberi tambahan masing-masing satu ekor.(H.R. Al-
Bukhariy, Muslim dan selainnya)

Takhrij al-Hadits:
1. Al-Bukhariy, kitab furudh al-khamsa, bab wamin al-dalil ‘ala anna al-
khamsa li nawa’ib al-muslimin, hadis no. 2901, kitab al-maghaziy, bab al-
siriyah al-latiy qabl Najd, hadis no. 3993.
2. Muslim, kitab al-jihad wa al-sir, bab al-anfal, hadis no. 3290, 3291, 3292.
3. Abu Dawud, kitab al-jihad, bab fi nafal al-siriyah takhruju mni al-‘askar,
hadis no. 2362, 2363, 2364, 2365.
4. Malik, kitab al-jihad, bab jam’u al-nafal fi al-ghazw, hadis no. 861.
5. Al-Darimiy, kitab al-sir, bab fi anna al-nafal li al-ummam, hadis no. 2370.
6. Ahmad bin Hanbal, kitab musnad al-muktsirin min al-shahabah, bab
musnad ‘Abdullah bin ‘Umar bin al-Khaththab, hadis no. 4351, 4933, bab
baqi musnad al-sabiq, hadis no. 5261, 5649, 6097, 6165.
Arti Kosakata dan Syarahan Hadits

1. Lafadz ً‫ريَّة‬
ِ ‫ َس‬, artinya satu bagian dari sebuah pasukan yang jumlahnya
lima puluh hingga empat ratus orang.
ِ jama’ dari sahm, artinya bagian.
2. Kata ‫سهَا ُمه‬,
3. Lafadz ‫نُفِّلُ وا‬, artinya tambahan bagian dari harta pampasan yang
diberikan kepada prajurit perang.

Penjelasan hadis tersebut di atas dapat dilihat dari penjelasan penggalan


hadis sebagai berikut:

َ ِ‫ث َس ِريَّةً فِيهَا َع ْب ُد هَّللا ِ بْنُ ُع َم َر قِبَ َل نَجْ ٍد فَ َغنِ ُموا إِبِاًل َكث‬
ً‫يرة‬ َ ‫بَ َع‬
)Rasulullah mengutus pasukan yang di dalamnya ada ‘Abdullah kea rah
Najd. Lalu mereka mendapatkan harta rampasan perang berupa unta
yang banyak(

Suatu ketika Rasulullah saw. mengutus satu peleton pasukan perang,


menuju ke Najd yakni setelah Perang Thaif. Salah satu pemimpinnya
adalah ‘Abdullah bin ‘Umar. Pada akhir peperangan mereka membawa
hasil rampasan perang atau ghanimah yang sangat banyak.. Ghanimah itu
berupa unta dan kambing. Harta rampasan itu, mesti dibagikan kepada
anggota pasukan yang ikut berperang.

‫َت ِسهَا ُمهُ ْم ْاثن َْي َع َش َر بَ ِعيرًا أَوْ أَ َح َد َع َش َر بَ ِعيرًا َونُفِّلُوا بَ ِعيرًا بَ ِعيرًا‬
ْ ‫فَ َكان‬
(Maka bagian mereka adalah dua belas atau sebelas ekor unta dan
mereka diberi tambahan masing-masing satu ekor).

Mereka pun membagi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.


Masing-masing orang mendapat dua belas atau sebelas ekor unta dan
329
karena ada lebihnya maka masing-masing juga diberi tambahan satu ekor.
Hadis ini menunjukkan bahwa harta rampasan perang menjadi halal di
makan oleh anggota yang ikut berperang dalam suatu peperangan. Ketika
harta ghanimah itu masih ada yang tersisa maka, dibolehkan memberikan
tambahan kepada para pejuang itu atas bagian yang sudah menjadi
ketentuan bagi mereka.
Hadis ini memerikan hikmah yangh cukup besar dalam member
motivasi kepada umat Islam untuk ikut perang bersama Nabi saw. karena
di samping mendapat janji berupa pahala yang besar, juga dihalalkan bagi
pasukan Islam untuk memakan harta rampasan perang.

Ada ulama yang mempersamakan ghanimah dengan istilah lain,yaitu


al-Anfal, dan ada juga ulama yang membedakan keduanya. Sebagaimana
yang disebutkan dalam QS. al-Anfal: 1 yaitu
            
        
Terjemahnya:
Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan
perang. Katakanlah: "Harta rampasan perang kepunyaan Allah dan
Rasul, oleh sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah
perhubungan di antara sesamamu; dan taatlah kepada Allah dan
Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman."

Ayat ini menurut Quraish Shihab merupakan jawaban atas


pertanyaan para pejuang yang telah selesai berperang dengan hasil yang
gemilang dan perolehan rampasan perang yang cukup banyak, mereka
tidak mengetahui bagaimana cara dan kadar pembagiannya. Bahkan
kelihatannya mereka bertengkar dan berselisih menyangkut hal itu, maka
mereka yakni pasukan yang terlibat dalam perang Badar itu menanyakan
kepada Nabi Muhammad tentang pembagian harta rampasan perang
bagaimana membaginya dan kepada sia[a dibagikan. Jawaban atas
pertanyaan itu, bahwa harta rampasan perang (al-anfal) itu adalah milik
Allah, karena Allah yang menganugerahkan kemenangan itu kepada
kamu, Dia yang mengalahkan kaum musyrikin itu dan Rasul yang
memimpin kamu semua dalam peperangan itu, Allah member wewenang
kepada Rasul untuk membaginya sesuai petunjuk-Nya. Sebab itu
bertakwalah kepada Allah laksanakan perintah-Nya, baik yang
diperintahkan-Nya secara langsung maupun melalui Rasul-Nya demikian
juga tinggalkan larangan-Nya dan jangan kamu bertengkar menyangkut
pembagian masing-masing tetapi perbaikilah hubungan yang dapat
mengeruhkan kemesraan di antara sesama kamu, yang diakibatkan oleh
pertikaian tentang kepemilikan harta rampasan perang, demikian juga
hal-hal lain dan taalah kepada Allah dalam segala perintah dan larangan-
Nya dan demikian juga kepada Rasul-Nya. Jika memang kamu adalah
orang-orang mukmin yang telah mantap keimanan dalam hatinya, maka
laksanakanlah petunjuk di atas.156
Sebagai masyarakat nomaden pada zaman jahiliah masyarakat Arab
sangat gandrung berperang dengan tujuan memperoleh harta rampasan
perang. Islam datang meluruskan motivasi mereka dengan menyatakan
bahwa peperangan hendaknya dilakukan demi karena Allah dan untuk
meninggikan kalimat-Nya. Jangan menjadikan tujuannya untuk
memperoleh kepentingan duniawi. Antara lain karena itulah, maka dalam
jawaban ayat di atas, ditegaskan bahwa harta rampasan perang itu adalah
milik Allah swt. Dan dibagikan oleh Rasul saw.
Kata ‫ األنف ال‬adalah bentuk jamak dari ‫ نفل‬disegi bahasa berarti
kelebihan. Dari sini amal-amal keagamaan yang bukan wajib dinamai
nafilah, karena yang mengamalkannya bagaikan menambah sesuatu atas
dirinya dengan mengikuti tuntunan Rasulullah saw. Selanjutnya kata ini
berkembang maknanya sehingga dipahami dalam arti “pemberian.” Harta
yang diperoleh para pejuang melalui peperangan di jalan Allah
merupakan kelebihan untuk mengisyaratkan sekaligus mengajarkan agar
156
Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,
volume 5, (Jakarta : Lentera Hati, 2008), h. 372-373.
331
tertanam di dalam jiwa para pejuang bahwa tujuan utama mereka
bukanlah harta itu. Harta yang diperoleh itu adalah kelebihan dari niat
utama, serta anugerah dan pemberian Allah setelah perolehan ridha-Nya
dan kemenangan.157
Ulama yang membedakan antara anfal dan ghanimah, menyatakan
bahwa anfal adalah apa yang diperoleh dalam peperangan sebelum
mencapai kemenangan, atau yang diperoleh dari musuh tanpa perang,
sedang ghanimah adalah harta yang diperoleh dari musuh setelah
peperangan. Betapapun, banyak ulama memahami kata al-anfal dalam
ayat ini adalah ghanimah, yakni harta rampasan perang yang diperoleh
setelah memerangi musuh agama yang kafir. Ada juga yang
memahaminya dalam arti harta rampasan perang yang lebih dari hak
mereka. Dalam konteks ini mereka berkata bahwa empat perlima dari
harta rampasan perang dibagi kepada para pejuang, sedang seperlimanya
dibagi oleh Rasul/panglima perang sesuai kebijaksanaanya, baik untuk
orang tertentu maupun untuk kemasalahatan umum.
Ayat di atas menyebut kata Rasul dua kali. Ini memberi kesan betapa
tinggi kedudukan Rasulullah saw. di hadapan Allah swt. Dan betapa besar
peran beliau dalam kehidupan umat Islam, dan secara khusus dalam
pembagian harta al-anfal itu. Sehingga pembagian yang beliau tetapkan
harus diterima dengan penuh suka cita.

e. Pokok-pokok Kandungan Hukum Hadis

Berdasarkan pembahasan yang dikemukakan, maka kandungan


pokok hadis ini, yaitu :

1. Pengiriman pasukan detasemen yang gunanya untuk melemahkan


pihak musuh dan untuk menghadangnya jika pemimpin pasukan
melihat ada kemenangan di dalamnya.
157
Lihat ibid., h. 374.
2. Di halalkan harta rampasan perang bagi para mujahid yang berhasil
mendapatkan pampasan. Hal ini dikhususkan bagi umat Muhammad
saja.
3. Jika suatu pasukan berdiri sendiri sendiri dan tidak diikuti induk
pasukan, maka harta pampasan yang didapatkannya dikhususkan bagi
anggota pasukan itu.
4. Diperbolehkan member tambahan kepada mujahid atas bagian mereka,
jika pemimpin pasukan melihat ada kemaslahatan atas hal itu.
Tambahan ini dapat diambilkan dari seperlima bagian. Sebagian ulama
berpendapat bahwa tambahan itu diambilkan dari pokok pampasan.

Latihan

Untuk memperdalam pemahaman anda mengenai materi sajian pada Satuan


Bahasan Bagian VIII dipersilahkan mengerjakan latihan berikut:
1. Buat rumusan mengenai perlunya tipu muslihat dalam perang.
2. Buat rumusan mengenai alasan membunuh wanita dan anak-anak dalam
perang dilarang.
3. Buat rumusan persamaan dan perbedaan antara ghanimah dan al-anfal.

Rangkuman

1. Perlunya tipu muslihat dalam perang karena tipuan itu juga sebagai strategi
perang dalam menjebak lawan. Perang yang tidak dilakukan dengan tipu
muslihat sama dengan menyerah tanpa syarat.
2. Alasan mengenai mengapa membunuh wanita dan anak-anak dilarang dalam
perang, yakni apabila wanita dan anak-anak itu tidak melibatkan diri langsung
dalam peperangan, jika mereka ikut terlibat dalam perang maka mereka dapat
dibunuh.
333
3. Pada dasarnya ghanimah dan al-anfal adalah sama yaitu kedua-duanya adalah
harta rampasan perang. Ulama yang membedakan antara anfal dan ghanimah,
menyatakan bahwa anfal adalah apa yang diperoleh dalam peperangan
sebelum mencapai kemenangan, atau yang diperoleh dari musuh tanpa
perang, sedang ghanimah adalah harta yang diperoleh dari musuh setelah
peperangan.

Tes Formatif

1. Tulis hadis tentang tipu muslihat dalam perang. Lengkap dengan artinya.
2. Kandungan pokok apa yang dapat anda pahami dari hadis tersebut.
3. Apa pengertian kosa kata Lafadz ‫ فَأ َ ْن َك َر‬,ً‫ َم ْقتُولَة‬, ‫َازي‬
ِ ‫ َمغ‬, Kalimat ‫قَ ْت َل النِّ َسا ِء‬, dan
Lafadz ‫الصِّ ْبيَان‬.
4. Bagaimana kedudukan hukum ghanimah sebelum dan sesudah Islam datang,
mengapa.

Kunci Jawaban Tes Formatif


1. Hadis tentang tipu muslihat dalam perang, yaitu:

‫ (رواه البخ اري و‬.ٌ‫ص لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َس لَّ َم ْال َح رْ بُ َخ ْد َع ة‬ َ َ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ َما ق‬
َ ‫ال قَ ا َل النَّبِ ُّي‬ ِ ‫ع َْن َجابِ َر ْبنَ َع ْب ِد هَّللا ِ َر‬
)‫مسلم وغيرهما‬
Artinya:(Hadis diriwayatkan) dari Jabir bin ‘Abdullah ra., ia berkata,
Nabi saw. bersabda: “Peperangan itu tipu muslihat.” (H.R. Al-
Bukhariy, Muslim dan selainnya).
2. Kandungan pokok yang dapat dipahami dari hadis ini, yaitu:
Semua bentuk peperangan membutuhkan siasat dan strategi perang untuk
bisa memenangkan peperangan. Peperangan yang tidak dilakukan dengan tipu
muslihat dapat mengakibatkan kekonyolan.
ِ ‫ َمغ‬, jamak dari ‫مغزى‬, berarti tempat
3. Pengertian kosa kata berikut, lafadz ‫َازي‬
atau medan peperangan. Lafadz ً‫ َم ْقتُولَة‬, dari kata dasar ‫ قتل – يقتل – مقتولة‬, artinya
terbunuh. Lafadz ‫فَ أ َ ْن َك َر‬, maka Rasulullah mengingkari, artinya tidak
َ ِّ‫قَ ْت َل الن‬, membunuh wanita, kata al-nisa’ sinonim dengan
menyetujui. Kalimat ‫سا ِء‬
al-mar’ah. Lafadz ‫الصِّ ْبيَا ِن‬, jamak dari kata shabiyu, artinya : anak kecil.
4. Ghanimah pada masa sebelum Islam hukumnya haram di makan oleh siapa
saja termasuk anggota pasukan yang ikut berperang. Harta rampasan perang
yang disebut ghanimah apabila diperoleh di saat perang maka harus
dimusnahkan dengan cara dibakar. Namun setelah Islam datang, ghanimah
atau harta rampasan perang dihalalkan oleh Allah dan boleh dibagikan
kepada semua anggota pasukan yang ikut berperang menurut pengaturan
Nabi saw. Dihalalkan ghanimah bagi umat Islam karena Allah melihat
kelemahan dan ketidakmampuan umat Islam yang kalau tidak dihalakan
mereka akan tergoda untuk berbuat curang atau mengambil secara diam-
diam (ghulul).

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim
Buku-Buku Hadis, Kutub al-Tis’ah.
Buku-Buku Syarh Hadits.
‘Imarah Muhammad ‘Imarah, 100 Mauqif Buthuli al-Nisa’, diterjemahkan oleh
Nashirul Haq, Lc, dan Fatkhurrozi, Lc., dengan judul Ketika Wanita
lebih Utama dari Pria, 100 Kisah Wanita Mengesankan, (Jakarta :
Maghfirah Pustaka, 2005),

Ali Bassam, Abdullah bin ‘Abd al-Rahman, Taisir al-Allam Syarh ‘Umdat al-
Ahkam, diterjemahkan oleh Kathur Suhardi dengan judul Syarah Hadits
Pilihan Bukhari-Muslim, (Cet. VII; Jakarta : Dar al-Falah, 1429 H/2008
M).

Al-Asqalaniy, al-Hafidz Abi al-Fadhl Ahmad bin ‘Ali bin Hajr Syihab al-Din al-
Syafi’iy. Tahdzib al-Tahdzib, juz VII, (([t.tp : Muassah al-Risalah, [tth].

335
Al-Asqalaniy, Ibn Hajr. Tahdzib al-Tahdzib, op.cit, VII, h.525. Khalid Muhammad
Khalid, Rijal Hawla al-Rasul, (Beirut : Dar al-Fikr, [tth.]).
.
Al-Asqalaniy, Ibn Hajr. Fath al-Bari bi Syarh Shahih Al-Bukhari, Juz IX Cet. I;
Riyadh : Dar Tayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1426 H/2005.

Al-Asqalaniy, Ibn Hajr. Al-Ishabah fi Tamyis al-Shahabah, jilid IV, (Kairo :


Mushthafa Muhammad, 1385/1939 M.

Al-Asqalany, Al-Hafidz Ibn Hajr. Bulugh al-Maram, naskah diteliti dan diberi
notasi oleh Muhammad Hamid al-Faqy, (Semarang : PT. Toha Putra,
[ tth.]).

CD Hadis al-Mausu’ah al-Hadits al-Syarif, Kutub al-Tis’ah.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Cet. III, Jakarta : PT.
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h.
Hadimulyo, “Memerangi Kemiskinan”, Republika,17 April 1993.

Hosen, KH. Ibrahim. Taqlid dan Ijtihad Beberapa Pengertian Dasar, dalam Budhy
Munawar Rachman (Editor), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam
Sejarah, Cet. I; Jakarta : Yayasan Paramadina, 1994.

Ibn Atsir ‚Izz al-Din, Usud al-Ghabah fi Ma’rifah al-Shahabah, Jilid IV, (Beirut :
Dar al-Kutb al-Ilmiyah, 1415 H/1993 M.

Ibn Hamzah, Al-Sayyid al-Syarif Ibrahim bin Muhammad bin Kamal al-Din, al-
Hanafy al-Dimasyqy, Al-Bayan wa al-Ta’rif fiy Asbab Wurud al-Hadits al-
Syariyf, Juz I, (Kairo : Dar al-Turast li Thaba’ah wa al-Nasyr, [tth.] .
.
Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Juz I, (Singapura : I-Hararn.in, [t.th.].

Ibn Zakariya, Abu al-Husain Ahmad bin Faris. Mu’jam Maqayis al-Lughah, Juz I,
(Bairut : Dar al-Fikr, 1399 H/1979 M.).
Ismail, M. Syuhudi, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, Telaah Ma’ani
al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal,
(Jakarta : Bulan Bintang, 1994)

Ismail, M. Syuhudi Diktat Hadis Ahkam II, Bagian Pertama, (Ujungpandang: IAIN
Alauddin, 1995.

Jiddan,, Khalid Ibrahim, Teori Politik Islam, (Surabaya; Risalah Gusti, 1995),.

Madjid, Nurcholish. Taqlid dan Ijtihad: Masalah Kontnuitas dan Kreativitas


Dalam Memahami Pesan Agama, dalam dalam Budhy Munawar
Rachman (Editor), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Cet. I;
Jakarta : Yayasan Paramadina, 1994).

al-Maraghiy, Ahmad Mushthafa, Tafsir al-Maraghi, Juz IV, (Beirut : Dar al-Fikr,
1974)

al-Mizziy, Jamal al-Din Abi al-Hajjaj Yusuf, Tahdzib al-Kamal fi Asma’ al-Rijal, Juz
X, (Bairut : Dar al-Fikr, 1994 M

al-Mubarakfuri, Imam al-Hafizh Ab Ali Muhammad bin ‘Abd al-Rahman bin ‘Abd
al-Rahim. Tuhfat al-Ahwazi bi Syarh Sunan al-Turmudzi,

al-Mundzir, Zakiy al-Din. al-Targhib wa al-Tarhib, Jilid III (Bairut : Dar al-Fikr,
[trth.]).

Nada, Abdul Aziz bin Fathi al-Sayyid, Ensiklopedi Etika Islam : Begini
Semestinya Muslim Berperilaku, Penerjemah Muhammad Isnaini dkk.,
(Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2005),

Al-Nawawi , Imam. Sahih Muslim bi Syarh al-Nawawi,

Al-Nawawi, Imam. Sahih Muslim bi Syarh al-Nawawi, ( Mesir : Maktabah al-


Misriyah bi al-Azhar, cet I, 1347 H/1929 M)
337
Al-Sahawi, Ibrahim Dasuqi. Mushthalah al-Hadits, (Al-Azhar : Syirkat al-Funiyah
al-Muttahidah, [tth] )

Al-Shan’aniy,Muhammad bin Ismail. Subul al-Salam, Syarh Bulgh al-Maram,


(Mesir : Mushthafa al-babi al-Halabiy wa Auladuhu, 1379 H/1960 M.),.

Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,


volume 5, (Jakarta : Lentera Hati, 2008)

Suparlan,Parsudi “Kemiskinan”, dalam Manusia Indonesia : Individu, Keluarga,


dan Masyarakat, (Jakarta : Akademika Pressindo, 1986)

Al-Syaukaniy, Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad. Nail al-Authar Syarh


Muntaqa al-Akhbar, juz VIII, (Beirut: Dar al-Jil, 1973)

Wensink A.J.. Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Hadits al-Nabawy, Jilid I,


(Leiden : A. J. Brill, 1962), h. 30, 390.

Anda mungkin juga menyukai