Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

Bentuk-Bentuk Alternatif Penyelesaian Sengketa


Makalah Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Mediasi & Arbitase
Dosen Pengampu : Muhammad Nasrudin, M.H

Disusun Oleh :
Rakha Ghaniyyu Mega (1902010028)
Dian Apriyana (1902011009)

FAKULTAS SYARI’AH
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) METRO
TAHUN AKADEMIK 2021/2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb

Alhamdulillah segala puji syukur selalu kami haturkan atas kehadirat Allah SWT yang
senantiasa melimpahkan rahmat, hidayah, serta inayah-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas penyusunan makalah tentang “Bentuk-Bentuk Alternatif Penyelesaian
Sengketa ”.
Saya selaku penyusun makalah menyampaikan ucapan terimakasih kepada Pak Muhammad
Nasrudin selaku dosen pengampu mata kuliah Mediasi & Arbitase yang telah memberikan
arahan dan bimbingan dalam pembuatan makalah ini.

Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kami tidak menutup diri dari para pembaca akan saran dan kritik yang sifatnya
membangun demi perbaikan dan peningkatan kualitas penyusunan makalah dimasa yang
akan datang.

Dan kami berharap, semoga makalah ini bisa memberikan suatu kemanfaatan bagi kami
penyusun dan para pembaca semuanya.aamiin.

Walaikumsalam wr.wb.

Metro, 29 September 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................................... iii

BAB I : PENDAHULUAN

A.Latar Belakang ....................................................................................................... 1

B.Rumusan Masalah .................................................................................................. 2

C.Tujuan ..................................................................................................................... 2

BAB II : PEMBAHASAN

A. Binding Dispute Resolution (Susanti) .................................................................... 3

B. Nonbinding Dispute Resolution .............................................................................. 4

C. Perdamaian / Rekosiliasi (Shulh) ............................................................................ 4

D. Musyawarah dan Negosiasi (Syura) ........................................................................ 5

E. Mediasi ................................................................................................................... 7

F. Arbitase (Tahkim) .................................................................................................... 8

BAB III : PENUTUP

A.Kesimpulan .............................................................................................................. 10

B.Saran ........................................................................................................................ 10

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 11


BAB I
Pendahuluan

A.Latar Belakang
Terjadinya suatu perselisihan yang terjadi diantara satu pihak dengan pihak lainnya
yang disebabkan karena suatu ketidaksetujuan pada salah satu pihak, menyebabkan
terjadinya suatu sengketa yang bisa dibawa ke ranah Meja Hijau (Hukum). Dimana di
indonesia menggunakan Bentuk Hukum Civil Law yang secara singkat peraturan-
peraturan yang digunakan untuk mengadili suatu kasus haruslah tercatat di dalam Kitab
Undang-Undang / Peraturan yang tertulis, sehingga peraturan-peraturan yang tidak tertulis
tidak bisa digunakan di dalam pengadilan. Akibat dari dampak penggunaan Hukum Civil
Law tersebut penyelesaian perselisihan di dalam pengadilan bisa tidak efektif yang
menyebabkan kedua belah pihak yang sudah mengeluarkan biaya yang banyak tetapi
mendapatkan hasil yang tidak memuaskan.
Sehingga disarankan untuk kepada para pihak yang berselisih sebelum memilih jalur
hukum untuk menyelesaikan masalahnya agar supaya mengambil jalur APS (Alternaitf
Penyelesaian Sengketa) sebagai langkah untuk menyelesaikan permasalahan tanpa harus
mengeluarkan biaya yang banyak dan dapat menngambil suatu kesepakatan yang
memuaskan kedua belah pihak yang berselisih yang menyelesaikan perselisihan tersebut.
Dikarenakan kemudahan dan keringanan yang diberikan dari APS,maka kasus perselisihan
yang sukses untuk diselesaikan rata-rata berasal dari APS. Bahkan jika kasus perselisihan
yang terjadi sudah masuk ke jalur hukum sekalipun, hal yang disarankan oleh hakim
sebelum kasus berlanjut lebih jauh adalah untuk mengambil APS sebagai jalan keluar
permasalahan.
Tetapi di dalam APS itu sendiri terdapat berbagai macam tipe-tipe APS yang digunakan
untuk menyelesaikan suatu kasus perselisihan yang didasarkan atas bentuk kasus yang
ingin diurus, cara penyelesaian yang digunakan dalam penyelesaiannya, sampai dengan
bentuk-bentuk kesepakatan yang diambil di dalam menyelesaikan kasus penyelisihan
tersebut. Yang dimana tujuan dari adanya tipe-tipe APS yaitu untuk dapat menyelesaikan
kasus perselisihan yang terjadi tanpa adanya suatu permasalahan yang masih
dipermasalahahkan setelah APS sudah selesai dilaksanakan dan dianggap kasus
perselisihan tersebut sudah diberikan jalan keluar. Sehingga, jalur APS dapat dianggap
sebagai suatu cara permasalahan perselisihan sengketa yang lebih baik dibandingkan
menyelesaikan dengan masuk ke jalur hukum.
B.Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari Blinding Dispute Resolution (Susanti)?
2. Apakah pengertian dari Nonblinding Dispute Resolution?
3. Apakah pengertian dari Pedamaian / Rekosiliasi (Shulh)?
4. Apakah pengertian dari Musyawarah dan Negosiasi (Syura)?
5. Apakah pengertian dari Mediasi?
6. Apakah pengertian dari Arbitrase (Tahkim)?

C.Tujuan
1. Dapat memahami pengertian dari Blinding Dispute Resolution (Susanti).
2. Dapat memahami pengertian dari Nonblinding Dispute Resolution?
3. Dapat memahami pengertian dari Pedamaian / Rekosiliasi (Shulh)?
4. Dapat memahami pengertian dari Musyawarah dan Negosiasi (Syura)?
5. Dapat memahami pengertian dari Mediasi?
6. Dapat memahami pengertian dari Arbitrase (Tahkim)?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Binding Dispute Resolution (Susanti)
Binding Dispute Resoluton (Susanti) adalah Suatu metode penyelesaian sengketa yang
dimana para pihak yang bersengketa menunjuk seorang ahli hukum yang ahli dalam pokok
sengketa di luar pengadilan untuk mengurusi perkara yang tidak memihak dan keputusan
yang dihasilkan akan mengikat kepada pihak yang bersengketa.
Dimana sebelum dilakukannya Binding Dispute Resolution, para pihak yang
bersengketa sepakat sebelumnya apakah mereka akan terikat atau tidak dengan keputusan
ahli tersebut. Ini memberikan cara yang informal, cepat dan efektif untuk menyelesaikan
perselisihan, khususnya perselisihan yang bersifat teknis tertentu atau jenis khusus.
Metode Binding Dispute Resoluton sangat cocok digunakan untuk perselisihan dan
masalah penilaian dan/atau yang terutama bergantung pada masalah teknis misalnya
barang yang tidak sesuai dengan manufaktur, penilaian saham, ulasan sewa dan masalah
kinerja kontrak.1 Selain itu dapat dengan mudah digunakan di banyak bidang lain seperti
perselisihan asuransi, perselisihan penjualan barang, kesesuaian untuk tujuan dan
perselisihan batas.Selain itu ,Meskipun Binding Dispute Resoluton merupakan proses
Alternatif Penyelesaian Sengketa, dapat juga digunakan ketika tidak ada perselisihan,
tetapi perbedaan yang perlu diselesaikan misalnya penilaian bisnis swasta.
Ahli Hukum yang mengurus Binding Dispute Resolution merupakan seorang yang
memiliki pengetahuan spesialis atau teknis yang relevan dengan sengketa, dimana
Pengalaman dan pengetahuan profesionalnya diharapkan dapat membantu menyelesaikan
sengketa karena arbiter hukum atau majelis arbitrase seringkali tidak dapat menyelesaikan
masalah teknis bahkan dengan bantuan saksi ahli. Tidak seperti arbitrase, tidak semua
bukti yang dianggap ahli harus diajukan dalam sidang di hadapan para pihak.
Binding Dispute Resoluton memiliki 2 keunggulan yang membuatnya menjadi fleksibel
dibandingkan dengan metode-metode hukum lainnya yaitu prosesnya cepat yang dimana
jadwal dapat diatur oleh para pihak yang bersengketa dan keputusan hukumnya
dikendalikan oleh para pihak bukan oleh pengadilan atau arbitrase.
Selain itu Binding Dispute Resoluton memiliki jamgka waktu untuk menyelesaikan
perkara yang pendek daripada metode-metode lainnya yaitu 1 minggu sampai 3 bulan
untuk menyelesaikan yang tergantung dari kasusnya, dimana metode lain seperti arbitase
menyelesaikan dimana dalam menyelesaikan perkara dibutuhkan waktu 1 bulan sampai 1
tahun untuk menyelesaikan kasusnya tergantung dari kasusnya.
Dikarenakan alasan fleksibilitasnya tersebut, Binding Dispute Resoluton sangat cocok
untuk perselisihan multi-pihak yang dimana sering digunakan dalam wilayah yang dimana
lembaga-lembaga hukum yang kompleks belum berkembang, atau tidak tersedia, (Papua,
Nusa Tenggara, Maluku) seperti masyarakat suku dan organisasi kriminal.

1
Tan, Joyce (2018). WIPO Guide on Alternative Dispute Resolution (ADR) Options for Intellectual Property
Offices and Courts. WIPO. p. 29.
B. Nonbinding Dispute Resolution
Nonbinding Dispute Resolution adalah Suatu metode penyelesaian sengketa yang
dimana pihak sengketa menunjuk seorang ahli hukum yang ahli dalam pokok sengketa
untuk mempertimbangkan sekaligus menilai kasus sengketa dan memberikan saran
mengenai fakta sengketa, hukum, hasil yang diinginkan. Yang bertujuan untuk dapat
diambilnya suatu titik terang dapat dicapai untuk menyelesaikan sengketa.2
Nonbiding Dispute Resolution hampir sama dengan Binding Dispute Resolution, mulai
dari penunjukan ahli hukum sampai dengan proses penanganan kasus yang diperkarakan
oleh ahli hukum.
Perbedaan antara Nonbinding Dispute Resolution dengan Binding Dispute Resolution
yaitu terletak pada keputusan ahli. Dimana keputusan ahli mengenai kasus sengketa yang
diurusi bersifat tidak mengikat, para pihak yang bersengketa tidak harus menerima dan
melaksanakan keputusan hakim. Sehingga keputusan hakim dianggap sebagai suatu
pandangan pihak ketiga yang tidak memihak (Nasihat) yang dapat membantu para pihak
yang bersengketa untuk mengevaluasi kembali posisi mereka sendiri dan kemudian
menyelesaikan perselisihan itu sendiri.
Nonbiding Dispute Resolution juga dapat digunakan bukan hanya pada keseluruhan
kasus sengketa, melainkan bisa juga mengurusi pada beberapa aspek permasalahan pada
kasus sengketa yang oleh pihak yang bersengketa.
Apabila jika penyelesaian tidak tercapai, maka Nonbinding Dispute Resolution tidak
menghalangi salah satu pihak untuk memulai litigasi atau mengejar bentuk ADR lainnya
untuk menyelesaikan atau meringankan perselisihan yang terjadi.

C. Perdamaian / Rekonsiliasi (Shulh)


Perdamaian / Rekonsiliasi (Shulh) adalah Suatu metode penyelesaian sengketa yang
dimana kedua pihak yang bersengketa dipertemukan oleh ahli hukum yang tidak memihak
dalam prosesnya untuk mencapai persetujuan yang berkaitan dengan kasus perkaranya dan
menyelesaikan perselisihan sengketa.3
Dimana dalam rekonsiliasi untuk dapat dilaksanakan perlu adanya kesepakatan yang
dibuat secara tertulis, dimana kesepakatan tertulis itu harus didaftarkan di pengadilan
negeri untuk ditandatangani dan dilaksanakan, dimana hasil dari rekonsiliasi yang
diputuskan bersifat final dan mengikat para pihak yang bersengketa untuk
melaksanakannya.

2
https://www.artslaw.com.au/information-sheet/alternative-dispute-resolution-binding-expert-dermination-
and-non-binding-e/
3
Gunawan Widjaja, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2001, hlm 3.
Prosedur dari rekonsiliasi dilaksanakan dengan adanya persetujuan antara kedua belah
pihak dan pelaksanaan rekonsiliasi dilaksanakan dengan rahasia antara para pihak yang
berkaitan dalam rekonsiliasi.
Dalam rekonsiliasi para pihak yang bersengketa dapat dilaksanakan rekonsiliasi setiap
saat dan para pihak dapat juga mengakhiri rekonsiliasi apabila gagal dalam mencapai titik
terang penyelesaiannya.
Dalam melaksanaan rekonsiliasi para pihak tidak harus mengadakan pertemuan dan
pembicaraan di suatu tempat, dapat juga dilaksankan dalam bentuk Negosiasi Antar
Jemput (Shuttle Negogiation) dimana para pihak akan memberikan pemikiran, perasaan,
dan pengalaman terkait konflik sengketa yang terjadi, dimana dilaksanakan melalui ahli
hukum yang mengurusi rekonsiliasi.
Untuk rekonsiliasi dapat dilaksanakan, maka terdapat unsur-unsur yang harus dipenuhi
dalam melaksanakan rekosiliasi,4 yaitu antara lain :
1. Adanya persetujuan diantara para pihak
2. Menyerahkan suatu barang untuk mengakhiri perkara
3. Rekonsiliasi diajukan ke pengadilan
4. Adanya akta tertulis sebagai suatu bekti Rekonsiliasi

D. Musyawarah dan Negosiasi (Syura)

Musyawarah mufakat merupakan falsafah masyarakat Indonesia dalam setiap


pengambilan keputusan, termasuk juga dalam penyelesaian sengketa. Musyawarah
mufakat sebagai nilai filosofi bangsa diterjemahkan dalam dasar negara, yaitu Pancasila.
Dalam sila keempat Pancasila disebutkan, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Nilai tertinggi ini kemudian
dijabarkan lebih lanjut dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan di bawahnya.
Prinsip musyawarah mufakat merupakan nilai dasar yang digunakan pihak bersengketa
dalam mencari solusi terutama di jalur luar pengadilan. Nilai musyawarah mufakat ini
terdapat dalam sejumlah bentuk penyelesaian seperti mediasi dan arbitrase. Dalam sejarah
perundang-undangan Indonesia prinsip musyawarah mufakat yang berujung damai dalam
penyelesaian sengketa perdata. Hal ini terlihat dari sejumlah peraturan perundang-
undangan sejak masa Kolonial Belanda sampai sekarang masih memuat asas musyawarah
damai sebagai salah satu asas peradilan perdata di Indonesia.5

4
Ibid
Sementara Negosiasi secara harfiah berarti musyawarah atau berunding. Negosiasi ini
tidak lain adalah suatu bentuk penyelesaian sengketa oleh para pihak sendiri, tanpa
bantuan pihak lain, dengan cara musyawarah atau berunding untuk mencari pemecahan
yang dianggap adil oleh para pihak. Hal yang dicapai dari negosiasi berupa penyelesaian
kompromi atau compromise solution.6 Dalam pengertian lain negosiasi diartikan sebagai
penyelesaian masalah melalui diskusi (musyawarah) secara langsung antara pihak-pihak
yang bersengketa yang hasilnya diterima oleh para pihak tersebut. Jadi, negosiasi tampak
sebagai suatu seni untuk mencapai kesepakatan dan bukan ilmu pengetahuan yang dapat
dipelajari. Dalam praktik, negosiasi dilakukan karena 2 alasan, yaitu : (1) untuk mencari
sesuatu yang baru yang tidak dapat dilakukannya sendiri, misalnya dalam transaksi jual
beli, pihak penjual dan pembeli saling memerlukan untuk menentukan harga, dalam hal ini
tidak terjadi sengketa; dan (2) untuk memecahkan perselisihan atau sengketa yang timbul
diantara para pihak.7
Menurut William ada dua teknik negosiasi yang mungkin dipergunakan oleh seorang
negosiator yaitu teknik negosiasi kompetitif dan negosiasi kooperatif. 5 Pada negosiasi
kompetitif seorang perunding menganggap perunding pihak lain sebagai musuh atau
lawan sehingga dalam melalukan perundingan seorang perunding kompetitif
menggunakan ancaman, bersikap keras, mengajukan permintaan yang tinggi, jarang
memberikan konsesi dan tidak perduli pada kepentingan pihak lain. Kebalikannya, pada
negosiasi kooperatif seorang perunding menganggap pihak lain sebagai mitra kerja yang
akan bekerjasama untuk mencapai kesepakatan bukan musuh atau saingan. Sementara itu,
Fisher dan Ury menyebutkan dua teknik negosiasi yaitu teknik yang bertumpu pada posisi
(positional based negotiation) dan teknik yang bertumpu pada kepentingan (interest based
negotiation). Seorang perunding pada negosiasi yang bertumpu pada posisi akan
mempertahankan apa yang diinginkannya tanpa menunjukkan keinginan untuk
bekerjasama dengan pihak lain. Berbeda dengan perunding yang menggunakan teknik
yang bertumpu pada posisi, perunding dengan teknik yang bertumpu pada kepentingan

5
Nyoman Satyayudha Dananjaya, SH., MKn., Putu Rasmadi Arsha Putra, SH.,MH., and Kadek Agus
Sudiarawan, SH., MH., Buku Ajar Penyelesaian Sengketa Alternatif (Alternative Dispute Resolution) (Fakultas
Hukum Universitas Udayana Denpasar, 2017), 93.
6
Perpustakaan Mahkamah Agung RI, Laporan Penelitian Alternative Despute Resolution (Penyelesaian
Sengketa Alternatif) Dan Court Connected Dispute Resolution (Penyelesaian Sengketa Yang Terkait Dengan
Pengadilan), 2000, 15.
7
Dewi Tuti Muryati and B. Rini Heryani, “Pengaturan Dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Non Litigasi Di
Bidang Perdagangan,” Juenal Dinamika Sosbud 13, no. 1 (June 2013): 49.
dalam meminta dan memberikan konsesi akan berusaha memahami kepentingan pihak lain
di samping kepentingannya sendiri.8

E. Mediasi
Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa antara para pihak yang dilakukan dengan
bantuan pihak ketiga (mediator) yang netral dan tidak memihak sebagai fasilitator, dimana
keputusan untuk mencapai suatu kesepakatan tetap diambil oleh para pihak itu sendiri,
tidak oleh mediator. Para ahli mengemukakan makna mediasi secara etimologi dan
terminologi. Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa latin “ mediare “ yang
berarti berada di tengah. Makna ini menunjuk pada peran yang ditampilkan pihak ketiga
sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa
antara para pihak. “berada di tengah” juga bermakna mediator harus berada pada posisi
netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. Ia harus mampu menjaga
kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan
kepercayaan (trust) dari para pihak yang bersengketa. 9 Kata mediasi juga berasal dari
bahasa Inggris “mediation” yang artinya penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak
ketiga sebagai penengah atau penyelesaian sengketa secara menengahi, dimana yang
menengahinya dinamakan mediator atau orang yang menjadi penengah. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, kata mediasi memberikan arti sebagai proses mengikut sertakan
pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasihat. Pengertian tersebut
mengandung tiga unsur penting, yaitu :
1. Mediasi merupakan proses penyelesaian perselisihan atau sengketa yang terjadi
antar dua pihak atau lebih.
2. Pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa adalah pihak-pihak yang berasal
dari luar pihak bersengketa.
3. Pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa tersebut bertindak sebagai
penasihat dan tidak memiliki kewenangan apa-apa dalam pengambilan keputusan.
Dalam Collins English Dictionary and Thesurus di sebutkan bahwa mediasi
adalah kegiatan menjembatani antara dua pihak yang bersengketa guna menghasilkan
8
Sri Mamudji, “Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan,” Jurnal Hukum Dan
Pembangunan 3 (2004): 192.
9
Nyoman Satyayudha Dananjaya, SH., MKn., Putu Rasmadi Arsha Putra, SH.,MH., and Kadek Agus
Sudiarawan, SH., MH., 78.
kesepakatan (agreement). Penjelasan mediasi secara etimologi ini lebih menekankan
kepada eksistensi pihak ketiga (mediator) sebagai penengah antara kedua belah pihak
yang bersengketa. Pihak ketiga (mediator) bertugas menjembatani para pihak untuk
menyelesaikan sengketanya. Pihak ketiga cenderung bersifat netral di antara kedua
belah pihak yang bersengketa dan memberikan atau menemukan kesepakatan yang
dapat memuaskan para pihak, dan menjelaskan bagaimana sifat mediasi itu.10

F. Arbritase (Tahkim)
Sebagaimana ’’good offices”, mediasi dan konsiliasi, arbitrase juga merupakan
mekanisme penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga yang netral. Namun
dibanding ketiga mekanisme tersebut, dalam arbitrase pihak ketiga bertindak sebagai
“hakim” yang diberi wewenang penuh oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa.
Oleh karena itu ia berwenang mengambil putusan (“award”) yang bersifat mengikat.11
Arbitrase, merupakan cara penyelesaian sengketa di luar peradilan, berdasarkan pada
perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak, dan dilakukan oleh arbiter yang dipilih
dan diberi kewenangan mengambil keputusan. Sengketa yang dapat diselesaikan melalui
arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan hak yang menurut hukum dan
peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Istilah
arbitrase berasal dari kata ‘’arbitrare’’ (bahasa Latin) yang berarti “kekuasaan untuk
menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan’’. 12 Definisi secara terminologi
dikemukakan berbeda-beda oleh para sarjana saat ini walaupun sebenarnya mempunyai
makna yang sama, antara lain:
1. Subekti menyatakan bahwa arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan
sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para
pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim yang
mereka pilih.

10
Nyoman Satyayudha Dananjaya, SH., MKn., Putu Rasmadi Arsha Putra, SH.,MH., and Kadek Agus
Sudiarawan, SH., MH., 80.
11
Perpustakaan Mahkamah Agung RI, Laporan Penelitian Alternative Despute Resolution (Penyelesaian
Sengketa Alternatif) Dan Court Connected Dispute Resolution (Penyelesaian Sengketa Yang Terkait Dengan
Pengadilan), 34.
12
Dewi Tuti Muryati and B. Rini Heryani, “Pengaturan Dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Non Litigasi Di
Bidang Perdagangan,” 55.
2. H. Priyatna Abdurrasyid menyatakan bahwa arbitrase adalah suatu proses
pemeriksaan suatu sengketa yang dilakukan yudisial seperti oleh para pihak yang
bersengketa, dan pemecahannya akan didasarkan kepada bukti-bukti yang
diajukan oleh para pihak.

3. H. M. N Poerwosujtipto menggunakan istilah perwasitan untuk arbitrase yang


diartikan sebagai suatu peradilan perdamaian, dimana para pihak bersepakat agar
perselisihan meraka tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya
diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak yang ditunjuk oleh para
pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi kedua belah pihak.13

Pada dasarnya arbitrase adalah suatu bentuk khusus pengadilan. Poin penting yang
membedakan pengadilan dan arbitrase adalah bila jalur pengadilan menggunakan satu
peradilan permanen atau standing court, sedangkan arbitrase menggunakan forum tribunal
yang dibentuk khusus untuk kegiatan tersebut. Dalam arbitrase, arbitrator bertindak
sebagai hakim dalam mahkamah arbitrase, sebagaimana hakim permanen, walaupun hanya
untuk kasus yang ditangani.14

BAB III

13
Anik Entriani, “Arbitrase Dalam Sistem Hukum Di Indonesia,” AN-NISBAH 3, no. 2 (n.d.): 279.
14
Anik Entriani, 280.
PENUTUP

A.Kesimpulan
Binding Dispute Resolution (Susanti) adalah Metode penyelesaian sengketa yang
menunjuk seorang ahli hukum untuk mengurusi perkara yang keputusannya mengikat
kepada pihak yang bersengketa.
Nonbinding Dispute Resolution adalah Metode penyelesaian sengketa yang menunjuk
seorang ahli hukum untuk mengurusi perkara yang memberikan saran / nasihat kepada
para pihak yang bersengketa untuk jalan pemecahan perkara sengketa.
Perdamaian / Rekonsiliasi (Shulh) adalah Metode penyelesaian sengketa yang pihak
bersengketa dipertemukan oleh ahli hukum untuk menyelesaikan perselisihan sengketa.
Musyawarah adalah Metode penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh para pihak
dengan dilakukannya pengambilan keputusan setelah dilakukannya diskusi oleh para pihak
yang bersengketa untuk menyelesaikan perkara sengketa.
Negosiasi (Syura) adalah Metode penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh para
pihak sendiri, tanpa bantuan pihak lain untuk mencari pemecahan yang dianggap adil oleh
para pihak sengketa.
Mediasi adalah Metode penyelesaian sengketa yang dilakukan dengan bantuan pihak
ketiga sebagai Mediator untuk merundingkan permasalahan sengketa yang terjadi antara
kedua belah pihak dan mencapai suatu kesepakatan yang bisa diterima oleh para pihak
sengketa.
Arbitrase adalah Metode penyelesaian sengketa yang dilakukan dengan bantuan pihak
ketiga sebagai hakim berdasarkan peraturan yang berlaku dimana akan mengambil
putusan untuk menyelesaikan sengketa.

B.Saran
Terima Kasih kepada semua yang sudah berpartisipasi terhadap teman-teman yang
sudah membantu dalam proses pembuatan dan tak lupa kepada teman-teman yang sudah
membaca / menyimak makalah yang kami buat. Semoga dapat diambil pelajarannya.

Makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami sebagai penyusun
makalah ini sangat mengharapkan kritik, saran, dan masukan dari pembaca dan dosen
pengampu mata kuliah agar makalah ini jadi lebih sempurna. Semoga makalah ini
membawa manfaat bagi para pembaca.

Daftar Pustaka
Tan, Joyce (2018). WIPO Guide on Alternative Dispute Resolution (ADR) Options for
Intellectual Property Offices and Courts. WIPO.

https://www.artslaw.com.au/information-sheet/alternative-dispute-resolution-binding-expert-
dermination-and-non-binding-e/.

Gunawan Widjaja, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2001.

Ibid.

Perpustakaan Mahkamah Agung RI, Laporan Penelitian Alternative Despute Resolution


(Penyelesaian Sengketa Alternatif) Dan Court Connected Dispute Resolution (Penyelesaian
Sengketa Yang Terkait Dengan Pengadilan), 2000.

Dewi Tuti Muryati and B. Rini Heryani, “Pengaturan Dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa
Non Litigasi Di Bidang Perdagangan,” Juenal Dinamika Sosbud 13, no. 1, 2013.

Sri Mamudji, “Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan,”


Jurnal Hukum Dan Pembangunan 3, 2004.

Nyoman Satyayudha Dananjaya, SH., MKn., Putu Rasmadi Arsha Putra, SH.,MH., and
Kadek Agus Sudiarawan, SH., MH., Buku Ajar Penyelesaian Sengketa Alternatif (Alternative
Dispute Resolution) (Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar, 2017.

Nyoman Satyayudha Dananjaya, SH., MKn., Putu Rasmadi Arsha Putra, SH.,MH., and
Kadek Agus Sudiarawan, SH., MH.
Anik Entriani, “Arbitrase Dalam Sistem Hukum Di Indonesia,” AN-NISBAH 3, no. 2 (n.d.).

Anda mungkin juga menyukai