DISUSUN OLEH:
- Kevin (1812120001)
- Miranda Putri Sania (1812120053)
- Gloria Sekar Arum (1812120048)
- Priska Imanuela (1812120016)
- Ni Made Padma Jurita (1812120017)
- Olivia Ocha Naftali (1812120019)
- Stefanie Elizabeth Budianto (1812120004)
- Dewi Ayu Wulandari (1812120068)
PRODI AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
INSTITUT INFORMATIKA DAN BISNIS DARMAJAYA
BANDAR LAMPUNG
2021
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Alternative Dispute Revolution dalam Sengketa Bisnis” ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas dari Ibu Anggawidia Wibaselppa,S.E., MM pada mata kuliah Hukum
Bisnis. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang
Altenative Dispute Revolution dalam sengketa bisnis bagi para pembaca dan juga
bagi penulis.
Meski kami telah menyusun makalah ini dengan maksimal,tidak menutup
kemungkinan masih banyak kekurangan. Oleh karena itu sangat diharapkan kritik
dan saran yang konstruktif dari pembaca sekalian.
Akhir kata,kami berharap makalah ini dapat membantu para pembaca dan
bisa bermanfaat untuk perkembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan.
Penulis,
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................... i
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
Bisnis ................................................................................................... 14
iii
2.3 Arbitrase ............................................................................................... 16
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Alternative Dispute Resolution yang di dalam Bahasa Indonesia disebut
penyelesaian sengketa alternatif terdiri dari 3 buah kata jadian yaitu “Penyelesaian”,
“Sengketa”, dan “Alternatif”.Dalam bahasa inggris, kata-kata sengketa, percekcokan,
pertentangan sama dengan “conflict” atau “disagrement” atau “dispute”.
Ronny Hanitijo Soemitro (1990 : 35), Menulis bahwa yang dimaksud dengan konflik
adalah :
“Situasi (Keadaan) di mana 2 orang atau lebih pihak-pihak memperjuangkan tujuan
mereka masing-masing yang tidak dapat dipersatukan dan dimana tiap-tiap pihak
mencoba menyakinkan pihak lain mengenai kebenaran tujuannya sendiri masing-
masing”
Dari pengertian konflik diatas, maka dapat ditarik unsur dari konflik atau
perselisihan adalah sebagai berikut :
1. Adanya beberapa pihak (dua orang atau lebih)
2. Para pihak tersebut mempunyai tujuan yang tidak dapat dipersatukan
3. Masing-masing saling menyakinkan akan kebenaran tujuannya sendiri.
M.Huseiyn Umar (1996 : 1), pada dasarnya mengelompokkan penyelesaian atau
konflik itu ke dalam :
1. Penyelesaian Masalah dalam Pengadilan
2. Penyelesaian tidak melalui Pengadilan
Secara umum alternatif penyelesaian sengketa adalah penyelesaian sengketa atau
beda pendapat melalui prosedur yang dikehendaki para pihak, yakni dapat dilakukan
dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, penilaian ahli dan arbitrase
(Pasal 1 huruf 1 UU No.30 tahun 1999)
1. Konsultasi
Suatu tindakan yang bersifat personal antara satu pihak tertentu yang disebut
dengan klien dengan pihak lain yang merupakan konsultan yang memberikan
pendapat kepada klien untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan klien
tersebut.
1
2. Negosiasi
Suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa melalui proses peradilan
dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerjasama yang
lebih harmonis dan kreatif.
3. Mediasi
Upaya penyelesaian sengketa melalui perundingan dengan bantuan pihak
ketiga netral (Mediator) guna mencari bentuk penyelesaian yang dapat
disepakati para pihak
4. Konsiliasi
Upaya penyelesaian sengketa melalui perundingan dengan melibatkan pihak
ketiga netral untuk membantu para pihak yang bersengketa dalam
menemukan bentuk-bentuk penyelesaian yang dapat disepakati para pihak.
Namun perbedaan antara konsiliasi dengan mediasi bahwa pada konsiliasi
seorang konsiliator dalam proses konsiliasi hanyalah memainkan peran pasif,
sedangkan pada mediasi, mediator memainkan peran aktif dalam membantu
para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka.
5. Penilaian Ahli
Salah satu pola yang dapat digunakan dalam menyelesaikan sengketa perdata.
Ahli dalam pihak ketiga yang memiliki pengetahuan tentang ruang lingkup
sengketa yang dihadapi para pihak atau oleh salah satu pihak. Disini para
pihak yang bersengketa atau salah satu pihak yang terlibat sengketa pada
umumnya mendatangi ahli untuk meminta pendapat, petunjuk dan
pertimbangan untuk menyelesaikan sengketa yang dihadapi.
6. Arbitrase
Cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa.
Di samping penggolongan penyelesaian sengketa di atas, ada pula dua bentuk
alternatif penyelesaian nya yang mirip dengan arbitrase,sebagai berikut :
1. Mini-Trial. Bentuk ini dalam bahasa indonesia dapat di sebut “peradilan
mini” yang berguna bagi perusahaan yang bersangkutan dalam sengketa-
2
sengketa besar.Para pihak yang bersengketa mengadakan dan membentuk
cara-cara hearing. Sedangkan ahli-ahli hukum mengajukan argumen-
argumen hukumnya pada suatu panel yang khusus dalam rangka mini-trial
ini,yang keanggotaannya terdiri dari eksekutif-eksekutif bonafit dari pihak
yang bersengkata dan diketuai oleh seseorang yang netral.
3
1.2 Rumusan Masalah
a. Apakah yang dimaksud dengan Negosiasi?
b. Apakah yang dimaksud dengan Mediasi dan Konsilidasi?
c. Apakah yang dimaksud dengan Arbitrase?
1.3 Tujuan
a. Untuk mengetahui pengertian negosiasi
b. Untuk mengetahui pengertian mediasi dan konsilidasi
c. Untuk mengetahui pengertian arbitrase
4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Negosiasi
5
tawaran ?. Apabila kita menyampaikan tawaran awal dan perundingan
lawan tidak siap terdapat kemungkinan tawaran pembuka kita
mempengaruhi persepsi tentang reservation price dariperundingtawaran.
c. TahapPemberianKonsesi :dalamtahap ini seorang perunding harus dengan
tepat melakukan kalkulasi tentang agresivitas serta harus bersikap
manipulatif. Agresivitaskitasangatbergantung atas berbagai faktor seperti
seberapa jauh kita menjaga hubungan baik dengan perundingan lawan
empati kita terhadap kebutuhanlawandan fairness.
d. Tahap Akhir Permainan (End Play): tahap akhir permainan adalah
pembuatan komitmen atau memberikan komitmen yang telah dinyatakan
sebelumnya.
6
negosiasi seperti ini akan menguntungkan perunding yang bersifat keras
serta menghasilkan kesepakatan yang berpola menang atau kalah.
D. Teknik Interest Based Negotiation
Sebagaimana tanggapan atas kategori keras lunak,Harvard Project
mengembangkan suatu teknik yang disebut interest based Negotiation.
Teknik ini merupakan jalan tengah yang ditawarkan atas pertentangan
teknik keras lunak. Teknik ini dipilih karena pemilihan teknik keras
berpotensi menemui kebuntuan dalam negosiasi, terlebih apabila bertemu
dengan sesame perunding yang bersifat keras,sedangkan perunding lunak
berpotensi sebagai pecundang (loser). Potensi risiko lain adalah
kesepakatan yang dicapai (bila ada) bersifat semu sehingga sangat
mungkin salah satu pihak dikemudian hari menyadari ketidakwajaran
dalam proses negosiasi dan tidak mau melaksanakan perjanjian yang telah
disepakati.
SOFT (LUNAK) HARD (KERAS)
1. Negosiasi adalah teman 1. Negosiasi dipandang sebagai musuh
lawan
2. Tujuan perundingan adalah 2. Tujuan untuk kemenangan
kesepakatan
3. Memberikan konsensi untuk 3. Menuntut konsensi sebagai prasyarat
menjaga hubungan baik dari Pembina hubungan
4. Mencari perundingan lawan 4.Keras terhadap orang maupun masalah
5. Mudah mengubah posisi 5.Tidak percaya perundingan lawan dan
memperkuat posisi
6. Mengemukakan tawaran 6. Membuat ancaman
7. Mengalah untuk mencapai 7. Menuntut perolehan sepihak sebagai
kesepakatan harga kesepakatan (win-lose)
8. Mencari satu jawaban yang dapat 8.Mencari jawaban yang harus ditentang
diterima secara menyenangkan oleh lawan.
oleh pihak lawan
7
9.Bersikeras terhadap perlunya 9. Bersikeras terhadap posisi
kesepakatan
10.Mencegah untuk berlomba 10. Sedapat mungkin memenangkan
kehendak(contet of will) keinginan
11.Menerima untuk ditekan 11. Menerapkan tekanan
8
2. Model Negosiasi
1. Model Pendekatan Kooperatif
Model pendekatan ini sering disebut sebagai model pemecahan
masalah secara bersamaan yaitu “menang sama menang”. Menurut
Scoomaker yang dikutip dari Mufid A. Busyairi (1997), negosiasi
menang-menang layak dilakukan jika masalah yang dinegosiasikan
menyangkut kepentingan bersama antar pihak yang melakukan
negosiasi, dan terdapat hubungan yang saling mempercayai. Oleh
karena itu, tindakan yang dilakukan dengan pendekatan menang-
menang adalah:
a. Memastikan bahwa pihak lain juga memilih pendekatan model
menang-menang (bukan mau sendiri)
b. Mengenai masalah yang dihadapi (dan tidak akan membahas
pemecahan masalah sbelum mengenal masalah)
c. Menangani masalah yang berpotensi mempunyai pemecahan yang
menghasilkan menang-menang
d. Saling berbagi informasi
e. Memberi tanda-tanda positif kepada pihak lain seperti memberi
hadiah-hadiah
f. Menghindari sikap bertahan dan memberikan persetujuan jika
iklimnya sesuai
g. Memberi sedapat mungkin pendekatan legalistik
Model pendekatan ini merupakan model negosiasi yang
lebih berpeluang besar keberhasilannya dari pada model negosiasi
menag-kalah. Kemenangan yang diperoleh adalah kemenangan
bersama yang tidak berdasar pada posisi masing-masing pihak.
9
a. Menjalankan komitmen kita secara tegas tentang apa yang
diinginkan
b. Menunjukan akibat-akibat yang akan terjadi jika keinginan
tersebut tidak tercapai
c. Menunjukan jalan keluar yang bisa menyelamatkan “muka” lawan
dengan menawarkan konsensi penghibur
d. Menghadang lawan untuk mencapai keinginannya
Model menang-kalah ini tidak selalu berbentuk seperti
kekerasan seperti menggunakan ancaman, terror, pembunuhan,
sampai dengan perang atau kekerasan lainnya. Model ini
menandakan adanya sikap bahwa pihak lawan tidak bisa diajak
berkawan (kawan bermasyarakat, bernegara, berpolitik) tetapi
telah menempatkan lawan negosiasi sebagai musush atau sebagai
pihak yang harus dikuasai.
10
Peraturan Mahkamah Agung No. 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi
di Pengadilan, Pasal 1 angka 7 menentukan mediasi adalah cara penyelesaian
sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan pra pihak
dengan dibantu oleh seorang mediator. Dengan demikian mediasi adalah upaya
penyelesaian sengketa para puihak dengan kesepakatan pertama melalui mediator
yang bersifat netral, dan tidak membuat keputusan atau kesimpulan bagi para
pihak tetapi menunjang fasiliaator untuk terlaksananya dialog antara pihak
dengan suasana keterbukaan, kejujuran, dan tukar pendapat untuk tercapainya
mufakat. Dalam mediasi ini yang menjadi peran utama adalah pihak-pihak yang
bertikai. Pihak ketiga adalah mediator yang berperan sebagai pendamping dan
penassihat, menyediakan fasilitas bagi pihak pihak dalam ngosiasi untuk
mencapai kesepakatannya.
11
2. Biaya murah
3. Bersifat rahasia
4. Penyelesaian bersifat fair melalui kompromi
5. Hubungan kooperatif
6. Sama-sama menang
7. Tidak emosional
Dengan memperhatikan unsur-unsur tersebut maka Mahkamah Agung
menentukan bahwa semua kasus atau perkara yang diajukan ke pengadilan
negeri harus diupayakan terlebih dahulu secara mediasi sebgaimana ditentukan
oleh peraturan Mahkamah Agung No. 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di pengadilan.
2.2.1 Penunjukan dan Pengangkatan Mediator dan Konsiliator
Penunjukan mediator atau konsiliator dapat terjadi karena beberapa hal yaitu:
a. Kehendak sendiri/mencalonkan diri
b. Ditunjuk oleh penguasa (misalnya oleh wakil dari ra pihak yang berselisih)
c. Diminta oleh para pihak
d. Terdorong keinginan membantu teman
e. Ada aturan yang menugaskan
Untuk menjadi mediator Peeraturan Mahkamah Agung No. 01 tahun 2008
menentukan, bahwa mediator adalah setiap orang yang menjalankan fungsi
mediator pada asasnya wajib memiliki sertifikat mediator yang diperoleh
setelah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan peleh lembaga yang telah
memperoleh akreditasi dari Mahkamah Agung Republik Indonesia. Untuk
memperolehh akreditasi, lembaga tersebut harus memenuhi syarat-syarat
berikut:
a. Mengajukan permohonan kepada ketua Mahkamah Agung Repubik
Indonesia
b. Memiliki instruktur atau peelath yang memiliki sertifikat telah mengikuti
pendidikan atau pelatihan mediasi dan pendidikan atau pelatihan sebagai
instruktur untuk pendidikan atau pelatihan mediasi
c. Sekurang kurangnya telah dua kali melaksanakan pelatihan mediasi
12
d. Memiliki kurikulum pendidikan atau pelatihan mediasi di pengadilan yang
di sahkan oeh Mahkamah Agung Republik Indonesia
Jika dalam sebuah pengadilan tidak ada hakim, advokat, akademisi hukum dan
profesi bukan hukum yang memenuhi syarat diatas tidak bersertifikat mediator,
hakim-hakim di lingkungan penggadilan yang bersangkutan berwenang
menjalankan fungsi mediator atau bertindak sebgai mediator. Para pihak
mengajukan perkara ke pengadilan negeri berhak memilih mediator di antara
pilihan pilihan berikut:
a. Hakim bukan pemeriksa perkara pada pengadilan yang berssangkutan
b. Advokat atau akademisi hukum
c. Profesi bukan hukum yang dianggap para pihak menguasai atau
berpengalaman dalam pokok sengketa
d. Hakim majelis pemeriksa perkara
e. Gabungan antara mediator yang disebut dalam butir a, dan d, atau
gabungan butir b dan d, atau gabungan c dan d.
13
2.2.2 Cara Kerja Mediator dan Konsiliator dalam Penyelesaian
Sengketa Bisnis
Sudah dikemukakan bahwa antara mediasi dan konsiliasi sering digunakan saling
menggantikan, karena keduanya mempunyai ciri-ciri dan pedoman yang sama.
Ciri-ciri antara mediasi dan konsiliasi adalah merupakan cara penyelesaian
sengketa di mana para pihak secara sukarela mencari penyelesaian dengan jalan
merundingkan suatu kesepakatan tentang penyelesaian yang mengikat dengan
bantuan pihak ketiga yang tidak berpihak.
Dalam peraturan Mahkamah Agung No.01 Tahun 2008 tahap-tahap proses
mediasi adalah sebagai berikut:
a. Dalam waktu paling lama lima hari kerja setelah para pihak menunjuk mediator
yang disepakati, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada
satu sama lain dan kepada mediator. Dalam hal para pihak gagal memilih
mediator resume perkara diserahkan kepada hakim mediator yang ditunjuk.
b. proses mediasi berlangsung paling lama empat puluh hari kerja sejak mediator
dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim. Jangka waktu ini
mediasi dapat diperpanjang paling lama empat belas hari kerja sejak berakhir
masa empat puluh hari atas dasar kesepakatan para pihak.
c. atas persetujuan para pihak atau kuasa hukum, mediator dapat mengundang
seseorang atau lebih ahli dalam pihak tertentu untuk memberikan penjelasan atas
pertimbangan yang dapat membantu menyelesaikan perbedaan perdapat di antara
para pihak. Semua biaya untuk kepentingan seorang ahli atau lebih dalam proses
mediasi ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan.
d. Mediator berkewajiban menyatakan mediasi telah gagal jika salah satu pihak
atau para pihak atau kuasa hukumnya telah dua kali berturut-turut tidak
menghadiri pertemuan mediasi yang telah disepakati atau telah dua kali berturut-
turut tidak menghadiri pertemuan mediasi tanpa alasan setelah dipanggil secara
patut
e. Sebaliknya jika mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian, para pihak
dengan bantuan moderator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang
dicapai dan ditandatangani oleh para pihak dan mediator. Sebelum para pihak
14
menandatangani kesepakatan, mediator memeriksa materi kesepakatan perdamian
untuk menghindari ada kesepakatan yang tidak dapat dilaksanakan atau yang
memuat iktikad tidak baik.
f. Para pihak dapat mengajukan kesepakatan perdamaian kepada hakim untuk
dikuatkan dalam brentuk akta perdamian. Jika para pihak tidak menghendaki
kesepakatan perdamiannya itu harus memuat klausula pencabutan gugatan atau
klausula yang menyatakan perkara telah selesai.
g. Jika setelah proses mediasi berjalan, mediator memahami bahwa dalam
sengketa yang sedang dimediasi melibatkan aset atau harta kekayaan atau
kepentingan yang berkaitan dengan pihak lain (pihak ketiga) yang tidak
disebutkan dalam surat gugatan, mediator dapat menyampaikan kepada para pihak
dan hakim pemeriksa bahwa perkara yang bersangkutan tidak layak untuk
dimediasi dengan alasan para pihak tidak lengkap.
h. Dalam melaksanakan mediasi di pengadilan atau di luar pengadilan, mediator
berkewajiban:
1). Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi kepada para
pihak untuk dibahas dan disepakati.
2). Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam
proses mediasi.
3). Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus. Maksudnya adalah
pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak tanpa dihadiri pihak lainnya.
4). Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali
kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi
para pihak.
Jika setelah batas waktu maksimal empat puluh hari kerja, para pihak tidak
mampu menghasilkan kesepakatan mediator wajib menyatakan secara tertulis
bahwa proses mediasi telah gagal dan memberitahukan kegagalan kepada hakim
di pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Sebaliknya jika mediator menghasilkan kesepakatan, maka para pihak dengan
bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang ditanda
tangani oleh para pihak. Kesepakatan tersebut harus memuat:
15
a. Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak
b. Nama lengkap dan tempat tinggal mediator
c. Uraian singkat masalah yang disengketakan
d. Pendiri para pihak
e. Pertimbangan dan kesimpulan dari mediator
f. Pernyataan kesediaan untuk melaksanakan kesepakatan
g. Pernyataan kesediaan dari salah satu pihak atau kedua belah pihak
bersedia menanggung semua biaya mediasi ( bila mediator berasal dari
luar pengadilan)
h. Larangan pengungkapan dan/ atau pernyataan yang menyinggung atau
menyerang pribadi
i. Kehadiran pengamat atau tenaga ahli (bila ada)
j. Larangan pengungkapan catatan dari proses serta hasil kesepakatan
k. Tempat para pihak melaksanakan perundingan (kesepakatan)
l. Batas waktu pelaksanaan kesepakatan dan
m. Klausul pencabutan perkara atau pernyataan perkara sudahselesai.
2.3 Arbitrase
Perkataan arbitrase berasal dari kata arbitrare (bahasa latin) yang berarti
kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Dihubungkannya
arbitrase dengan kebijaksanaan itu, dapat menimbulkan salah pengertian tentang
arbitrase, karena dapat menimbulkan kesan seolah-olah seorang arbiter atau suatu
majelis arbitrase dalam menyelesaikan suatu sengketa tidak mengindahkan
norma-norma hukum lagi dan menyadarkan pemutusan sangketa tersebut hanya
pada kebijaksanaan. Kesan tersebut keliru, karena arbiter atau majelis tersebut
juga menerapkan hukum seperti yang dilakukan oleh hakim atau pengadilan.
Beberapa sarjana dan peraturan perundang-undangan serta prosedur Badan
Arbitrase yang ada, memberikan definisi arbitrase sebagai berikut:
Subekti (1992:1) menyatakan, bahwa arbitrase adalah:
16
“Penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim
berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau mentaati
keputusan yang diberikan oleh hakim yang mereka pilih.”
HMN. Poerwosutjipto (1992:1), yang mempergunakan istilah perwasitan untuk
arbitrase ini, menyatakan bahwa:
“Perwasitan adalah suatu peradilan perdamaian, dimana para pihak
bersepakat agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka
kuasai sepenuhnya, diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak, yang
ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi kedua belah
pihak.”
Sedangkan menurut UU No. 30 Tahun 1999 tentang abritrase dan Alternatif
penyelesaian sengketa umum, pasal 1 angka 1, arbritase adalah:
“Cara penyelesaian suatu sangketa perdata di luar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa.”
Berbagai pengertian arbitrase di atas menunjukkan adanya unsur-unsur yang
sama, yaitu:
1. Adanya kesepakatan untuk menyerahkan penyelesaian sengketa-sengketa,
baik yang akan atau telah terjadi, kepada seorang atau beberapa orang pihak
ketiga di luar peradilan umum untuk diputuskan.
2. Penyelesaian sengketa yang bisa di selesaikan adalah sengketa yang
menyangkut hak pribadi yang dapat di kuasai sepenuhnya, khususnya di sini
dalam bidang perdagangan, industri dan keuangan.
3. Putusan tersebut akan merupakan putusan akhir dan mengikat (final
andbinding)
17
Ada beberapa alasan yang dapat di kemukakan sebagai berikut: ( H. Sudiarto dan
Zaeni Asyhadie, 2004:35)
a. Ketidakpercayaan para pihak pada Pengadilan Negeri, sebagaimana
diketahui, penyelesaian sengketa dengan membuat suatu gugatan melalui
pengadilan, akan menghabiskan jangka waktu yang relatif panjang. Hal ini
disebabkan karena biasanya melalui Prengadilan Umum akan melalui
berbagai tingkatan, yaitu Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, bahkan
bisa sampai ke Mahkamah Agung. Apabila di peroleh putusan dari
Pengadilan Negeri (tingkat pertama) pihak yang merasa tidak puas dengan
putusan itu akan naik banding dan kasasi sehingga akan memakan waktu
yang panjang dan berlarut-larut.
b. Prosesnya cepat, sebagai suatu proses pengambilan keputusan, arbitrase
seringkali lebih cepat atau tidak terlalu formal, dan lebih murah dari pada
proses litigasi di pengadilan. Pada umumnya prosedur arbitrase ditentukan
dengan memberikan batas waktu penyelesaian dalam pemeriksaan
sengketa.
c. Dilakukan secara rahasia, suatu keuntungan bagi dunia bisnis untuk
menyerahkan suatu sengketa kepada badan/majelis arbitrase, yaitu bahwa
pemeriksaan maupun pemutusan sengketa oleh suatu majelis arbitrase
selalu dilakukan secara tertutup sehingga tidak ada publikasi dan para
pihak terjaga kerahasiaannya.
d. Bebas memilih arbiter, para pihak yang bersengketa dapat bebas
memilih arbiter yang akan menyelesaikan persengketaan mereka. Jika
dalam hal ini para pihak tidak bersepakat dalam memilih arbiter maka
dalam pasal 13 (1) UU No. 30 Tahun 1999, “apabila tidak
tercapaikesepakatan mengenai pemilihan arbiter atau tidak ada ketentuan
mengenai pengangkatan arbiter, Ketua Pengadilan Negeri dapat
menunjuk arbiter atau majelis arbitrase.” Di samping adanya
kemungkinan penunjukan arbiter yang dilakukan oleh hakim, penunjukan
arbiter juga bisa dilakukan oleh badan arbitrase tertentu. Badan arbitrase
18
mana yang akan berwenang menentukannya tergantung pada perjanjian
arbitrasenya.
e. Diselesaikan oleh ahlinya (expert), menyelesaikan penyelisihan di
pengadilan kadangkala memerlukan biaya tambahan. Hal ini karena
seringkali dijumpai hakim kurang mampu menangani kasus/perselisihan
yang bersifat teknis. Saksi ahli ini dapat di perintah untuk memberikan
keterangan bahwa sumpah tentang apa saja yang bersifat teknis yang ingin
di ketahui oleh hakim guna menyelesaikan kasus yang dia periksa. Dalam
hal penyelesaian melalui arbitrase, saksi ahli tidak perlukan, karena para
pihak yang bersengketa dapat menunjuk para ahli untuk menjadi arbiter,
yang serba mengetahui masalah yang dipersengketakan, dengan demikian,
para pihak memilih arbitrase ini, karena mereka memiliki kepercayaan
yang lebih besar pada keahlian arbiter terhadap persoalan yang di
persengketakan, dibandingkan mereka menyerahkan kepada Pengadilan
Negeri.
f. Merupakan putusan akhir (final) dan mengikat (binding), putusan
arbitrase pada umumnya dianggap final dan biding ( tidak ada upaya untuk
banding).
g. Biaya lebih murah, biaya arbitrase biasanya terdiri dari biaya
pendaftaran, biayaadministrasi dan biaya arbiter yang sudah ditentukan
tarifnya.
h. Bebas memilih hukum yang diberlakukan, para pihak dapat memilih
hukum yang akan diberlakukan, yang ditentukan oleh para pihak sendiri
dalam perjanjian.
19
Lembaga arbitrase dikenal ada dua yaitu Arbitrase Ad Hoc dan Arbitrase
Institusional. Jenis lembaga Arbitrase Ad Hoc sering kali di sebut “arbitrase
volunter” karena jenis lembaga arbitrase ini di bentuk khusus untuk
menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu. Dengan demikian, kehadiran
dan keberadaan arbitrase ad hoc hanya bersifat “insidentil” untuk menyelesaikan
kasus tertentu dan keberadaannya hanya untuk satu kali penunjukan. Sedangkan
lembaga Arbitrase Institusional adalah lembaga atau badan arbitrase yang bersifat
permanen.
Ciri dari lembaga arbritrase institusional ini, yang dapat pula dikatakan sebagai
perbedaannya dengan lembaga arbitrase ad hoc, yaitu:
a. Arbitrase Institusional sengaja didirikan untuk bersifat
permanen/selamanya. Sedangkan arbitrase ad hoc sifatnya sementara dan
akan bubar setelah perselisihan selesai diputus.
b. Arbitrase institusional sudah ada/sudah berdiri sebelum suatu
perselisihan timbul, sedangkan arbitrase ad hoc didirikan setelah
perselisihan timbul oleh pihak yang bersangkutan.
c. Karena bersifat permanen/selamanya, maka pendirian arbitrase
institusional didirikan lengkap dengan susunan organisasi, tata cara
pengangkatan arbiter dan tata cara pemeriksaan perselisihan yang pada
umumnya tercantum dalam Anggaran Dasar pendiri lembaga tersebut,
sedangkan arbitrase ad hoc tidak ada sama sekali.
Arbitrase institusional ini ada yang bersifat nasional dan ada pula yang bersifat
internasional. Dikatakan bersifat nasional, karena pendirinya hanya untuk
kepentngan bangsa dari negara yang bersangkutan. Sedangkan dikatakan bersifat
internasional karena merupakan pusat penyelesaian persengketaan antara pihak
yang berbeda kewarganegaraan. Beberapa lembaga arbitrase bersifat nasional
maupun internasional yang dikenal adalah:
a. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
b. Badan Arbitrase Mualamat Indonesia (BAMUI)
c. The International Center for Settlement of Invesment Disputes (ICSID)
20
d. The Count of Arbitrasetion if The International Chamber of Commerce
(ICC)
21
Perjanjian arbitrase yang dimaksudkan disini adalah bagaimana dan kapan
perjanjian arbitrase tersebut dibuat. Secara teoretis bentuk perjanjian arbitrase itu
dikenakan dengan istilah:
a. Akta Kompromitendo adalah suatu klausula dalam perjanjian pokok
dimana ditentukan bahwa para pihak diharuskan mengajukan
perselisihannya kepada seorang atau majelis arbitrase. Akta
kompromitendo atau disebut juga pactumdecompromitendo ini hanya
merupakan sebagian saja dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam
perjanjian pokok. Dengan demikian, pactum de compromitendo ini telah
dibuat sebelum terjadinya perselisihan. Oleh karena itu, jenis ini sering
kali disebut juga denga klausula arbitrase, dan umumnya dibuat bersamaan
atau baersatu dengan perjanjian pokoknya.
b. Akta komromis adalah merupakan perjanjian khusus yang dibuat
setelah terjadinya perselisihan guna mengatur tentang cara mengajukan
perselisihan yang telah terjadi itu kepada seseorang atau beberapa orang
arbiter untuk di selesaikan. Akta kompromis harus dibuat dalam bentuk
tertulis yang harus dibuat dalam bentuk tertulis yang harus ditandatangani
oleh kedua belah pihak, atau bisa juga dibuat di depan notaris.
Masing-masing klausula tersebut, baik Pactum de Compromitendo maupun Akta
Kompromis, masing-masing mempunyai keuntungan dan kelemahan. Pactum de
compromitendo, seperti yang dikemukakan, dibuat bersamaan dengan perjanjian
pokoknya. Oleh karenanya untuk bersepakat menyerahkan permasalah sengketa
pada arbitrase lebih mudah. Akta kompromis karena dibuat setelah terjadinya
sangketa yang menyangkut pelaksanaan perjanjian, maka sudah dapat ditentukan
permasalahan yang harus atau diselesaikan melalui arbitrase. Juga dengan akta
kompromis ini sudah bisa ditentukan arbiter-arbiter yang akan dipilih. Namun,
kelemahan dari akta kompromis karena sengketa telah terjadi, maka para pihak
telah dapat mengetahui posisi masing-masing dalam sengketa tersebut atau
dengan kata lain akan sulit diperoleh persetujuan di antara kedua-belah pihak
untuk menyelesaikan kasus mereka melalui arbitrase.
22
2.3.6 Prosedur Arbitrase
Bila telah terjadi perselisihan yang perselesaiannya disepakati untuk diselesaikan
melalui arbitrase, maka prosedur yang harus ditempuh adalah sebagai berikut.
a. Permohonan Arbitrase
Dalam tahap pertama berarbitrase harus mulai dengan mengajukan permohonan
arbitrase. Pada surat permohonan itu harus dilampirkan: salinan naskah atau akta
perjanjian yang secara khusus menyerahkan pemutusan sengketa kepada
arbiter/majelis arbitrase (Akta Kompromis); atau perjanjian yang memuat klasula,
bahwa sengketa yang akan timbul dari perjanjian tersebut akan diputus oleh
arbiter/majelis arbitrase (pactum de compromitendo). dalam surat permohonan
paling tidak harus memuat: (pasal 38 UU No. 39 Tahun 1999)
1) Nama lengkap dan tempat tinggal atau tempat kedudukan para pihak
2) Uraian singkat tentang sengketa disertai dengan lampiran bukti-bukti
dan
3) Isi tuntutan yang jelas
Apabila surat permohonan diajukan oleh seorang juru kuasa (penerima kuasa),
maka surat kuasa khusus untuk mengajukan permohonan tersebut harus
dilampirkan pula. Dalam surat permohonan tersebut pemohon dapat menunjuk
(memilih) seorang arbiter, atau menyerahkan penunjukan arbiter itu kepada
lembaga arbitrase yang di pilih.
b. Para Pihak Tidak Menunjuk Arbiter
Apabila para pihak tidak menunjuk seorang arbiter, maka oleh Ketua Lembaga
Arbitrase yang dipilih akan menunjuk (membentuk) suatu tim yang terdiri dari
tiga orang arbiter yang akan memeriksa dan memutus sengketanya. Jika sengketa
itu dianggapnya sederhana dan mudah, akan ditunjuk seorang arbiter tunggal
untuk memeriksa dan memutusnya.
c. Proses Pemeriksaan dan Tenggang Waktu yang Diperlukan
Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 1999, para pihak dalam suatu perjanjian
yang tegas tertulis, bebas untuk menentukan acara (proses pemeriksaan) arbitrase
yang dipergunakan dalam persidangan sepanjang tidak bertentangan dengan UU
No. 30 Tahun 1990 tersebut. Demikian juga para pihak bebas menentukan jangka
23
waktu dan tempat diselenggarakannya pemeriksaan/persidangan, termasuk arbiter
atau majelis arbitrase yang akan memutus.
2.3.7 Pelaksanaan Putusan Arbitrase
Dalam membicarakan pelaksanaan putusan arbitrase akan dibedakan cara
pelaksanaan putusan arbitrase nasional dan putusan arbitrase internasional. Untuk
menentukan apakah suatu putusan arbitrase itu putusan arbitrase nasional dapat
dilihat dari patokan sebagai berikut:
a. Faktor wilayah dimana putusan dikeluarkan.
Dikatakan sebagai putusan arbitrase nasional apabila putusan itu dikeluarkan
di wilayah negara Republik Indonesia.
b. Rules yang dipergunakan untuk menyelesaikan perselisihan.
Dalam hal ini meskipun putusan itu dikeluarkan di wilayah Indonesia,
kemudian para pihak yang berselisih adalah sama-sama warga negara
Indonesia, tetapi rules yang dipergunakan adalah rules internasional (misalnya
rules ICC) maka putusan arbitrase ini adalah putusan arbitrase internasional
(asing). jadi, suatu putusan arbitrase adalah putusan arbitrase nasional apabila
diputuskan di wilayah Indonesia, tanpa mempersoalkan para pihak yang
berselisih. Dengan demikian, maka dapat disimpulkan, bahwa yang
menentukan suatu putusan arbitrase itu adalah putusan arbitrase nasional
apabila putusan tersebut memenuhi dua syarat atau patokan tersebut diatas.
Sedangkan putusan arbitrase internasional adalah sebagaimana tercantum dalam
pasal 1 ayat (1) Konversi New York 1958, yaitu “ Arbitral award made in
territoryof state other that the state where the recognition an enforcement of
suchaward are sought.” jadi putusan arbitrase internasional adalah putusan
yangang dibuat disuatu negara yang pengakuan dan pelaksanaannya di luar negeri.
Dasar hukum eksekusi putusan arbitrase nasional dapat diketemukan dalam
pasal 59 dan seterusnya dari UU No. 30 Tahun 1999, sedangkan dasar hukum
eksekusi putusan arbitrase internasional diatur dalam konvensi New York 1958
yang oleh negara Republik Indonesia telah diratifikasi dengan keputusan
Presiden No 34 Tahun 1981, dan juga dalam konversi ICSID 1968 yang
diratifikasi oleh Republik Indonesia dengan UU No. 5 Tahun 1968, lebih lanjut
24
mengenai pelaksanaan arbitrase asing ini diatur dalam Peraturan Mahkamah
Agung No 1 Tahun 1990, yang kemudian diperbaharui dengan UU No. 30 Tahun
1999.
a. Pelaksanaan Putusan Arbitrase Nasional
Instasi atau perjabat yang berwewenang untuk melaksanakan atau
mengeksekusi putusan arbitrase adalah Pengadilan Negeri, sedangkan majelis
arbitrase yang mengeluarkan atau menjatuhkan putusan tidak memiliki
kewenangan utuk memerintahkan dan menjalankan eksekusi (pelaksanaan
putusan). ketidakadaan kewenangan majelis arbitrase ini disebabkan karena
majelis tersebut tidak bersifat yudisial, dan tidak mempunyai perangkat juru sita
yang bertugas melaksanakan eksekusi. Oleh karena itu maka rangka pelaksanaan
putusan arbitrase nasional ada beberapa tahapan yang akan dilalui, sebagaimana
diuraikan sebagai berikut.
1. Tahap pertama pendaftaran putusan arbitrase, pasal 59 UU No.30 Tahun
1999, menentukan, bahwa tahap pertama yang harus dilakukan dalam
rangka eksekusi putusan arbitrase adalah tahap pendaftaran/
penyimpangan atau disebut dengan istilah “deponir” pada pengadilan
Negeri dalam wilayah mana putusan tersebut dikeluarkan.kewajiban
mendaftarkan harus dilakukan paling lambat tiga puluh hari terhitung
sejak tanggal putusan diucapkan. Dan yang berkewajiban untuk
mendaftarkan putusan tersebut adalah:
a. Salah seorang anggota arbiter
b. Seorang kuasa untuk dan atas nama para anggota arbiter.
Semua biaya yang menyangkut pendaftaran ini sesuai dengan ketentuan
pasal 59 UU No. 30 Tahun 1999 diatas, ditanggung oleh para pihak yang
bersengketa sendiri bukan arbiter.
2. Tahap Kedua Permohonan Eksekusi
Makna/pengertian eksekusi adalah permohonan kepda ketua Pengadilan
Negeri agar dikeluarkan perintah eksekusi terhadap putusan. Dengan
demikian, tahap kedua dalah mengajukan permohonan eksekusi yaitu
permohonan kepada ketua Pengadilan Negeri agar dikeluarkan pemerintah
25
eksekusi terhadap putusan arbitrase. Perintah eksekusi akan diberikan
dalam jangka waktu paling lama tiga puluh hari sejak permohonan
eksekusi didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri (Pasal 62 ayat
(1)UU No. 30 Tahun 1999). dan selama waktu tersebut, sebelum perintah
eksekusi dikeluarkan Ketua Pengadilan Negeri berwenang untuk
memeriksa terlebih dahulu, apakah putusan arbitrase itu sah atau tidak.
Dikategorikan sebagai putusan arbitrase yang sah apabila:
a. Penyelesaian perselisihan tersebut memang disepakati oleh para
pihak untuk diselesaikan melalui arbitrase.
b. Putusan yang dimintakan eksekusi tersebut adalah putusan arbitrase
yang menyangkut perselisihan bidang perdagangan dan mengenai hak
yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai
sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa.
b. Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional
Sama halnya dengan pelaksanaan putusan arbitrase nasional, pelaksanaan putusan
arbitrase internasional inipun melalui proses yang sama, yaitu tahap pendaftaran,
lalu baru kemudian eksekusi. Dalam pasal 65 UU No. 30 Tahun 1999 dinyatakan
bahwa “ yang berwenang menangani masalah pengakuan pelaksanaan putusan
arbitrase internasional adalah pengadilan Negeri Jakarta Pusat.”
Namun demikian, tidak semua putusan arbitrase internasional dapat diakui atau
dilaksanakan di Indonesia tanpa memandang dari negara mana putusan tersebut
dikeluarkan. Pasal 66 UU No. 30 Tahun 1990 menentukan: putusan arbitrase
internasional hanya diakui dan dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik
Indonesia, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1) Putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis
arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada
perjanjian. Baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan
dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Ini yang disebut asas
Reciprositas.
26
2) Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf (b)
terbatas pada putusan menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk
dalam ruang lingkup hukum perdagangan.
3) Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf (b)
hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak
bertentangan dengan krtertiban umum.
4) Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah
memperoleh eksekusi dari ketua pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
5) Putusan arbitrase internasional sebagaimana maksud dalam huruf (b)
yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak
sengketa hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekusi dari
Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan
kepada pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Untuk keperluan pendaftaran ini maka dokumen yang diperlukan adalah:
1) Lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase internasiona, sesuai
ketentuan perihal otentifikasi/legalisi dokumen asing, dan naskah
terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia.
2) Lembar asli atau salinan autentik perjanjian yang menjadi dasar putusan
arbitrase internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing,
dan naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia.
3) Keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara
tempat putusan arbitrase internasional tersebut ditetapkan, yang
menyatakan bahwa negara pemohon terikat dengan perjanjian, baik secara
bilateral dan multilateral dengan negara Republik Indonesia perihal
pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.
27
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari karya ilmiah ini kita dapat memahami bahwa negosiasi adalah sebagai
suatu upaya penyelesaian sengketa pada pihak tanpa melalui proses peradilan
dengan tujuan untuk mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerjasama yang
lebih harmonis dan kreatif. Yang dibagi dalam beberapa tahapan yaitu yang Tahap
Persiapan, Tahap Tawaran Awal, Tahap Pemberian Konsesi,Tahap Akhir
Permainan.
28
DAFTAR PUSTAKA
Zaeni Asyhadie,S.H.,M.Hum. 2016. Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksanaannya
di Indonesia. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
29