Disusun Oleh:
Kelas : 2EB13
NPM : 20219930
FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN AKUNTANSI
UNIVERSITAS GUNADARMA
2021
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan penulis kemudahan
dalam menyelesaikan makalah tepat waktu. Tanpa rahmat dan pertolongan-Nya,
penulis tidak akan mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Penulis
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
1.3 Tujuan.......................................................................................................................... 2
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Sengketa biasanya bermula dari suatu situasi di mana ada pihak yang merasa dirugikanoleh
pihak lain. Perasaan tidak puas akan muncul ke permukaan apabila terjadi conflict ofinterest.
Pihak yang merasa dirugikan akan menyampaikan ketidak puasannya kepada pihakkedua,
apabila pihak kedua dapat menanggapi dan memuaskan pihak pertama, selesailah
konfliktersebut, sebaliknya jika reaksi pihak kedua menunjukkan perbedaan pendapat atau
memiliki nilai - nilai yang berbeda, akan terjadilah apa yang dinamakan sengketa.
sengketa dapat terjadi pada siapa saja, baik dari karakter dan sifat seseorang, juga dapat
terjadi oleh adanya faktor-faktor eksternal berupa aturan-aturan yang berlaku bagi setiap orang.
“Aturan-aturan yang diberlakukan dan prosedur yang tertulis dan tidak tertulis dapat
menyebabkan konflik, jika penerapannya terlalu kaku dan keras”. Karena suatu peraturan yang
kaku menyebabkan seseorang tidak dapat bergerak ataupun bertindak. Selain itu bagi orang-
orang yang terjun di dunia bisnis, perselisihan akan selalu ada, baik dengan relasi, klien,
Adanya usaha dari para pihak untuk mencapai tujuannya masing-masing, tentunya akan
berdampak pada persaingan yang tidak sehat. Persaingan yang tidak sehat tentu akan
menimbulkan kerugian baik dari salah satu pihak, maupun pada kedua belah pihak. Maka dari
itu sengketa dapat bersifat publik maupun bersifat keperdataan dan dapat terjadi baik dalam
lingkup nasional maupun internasional. Timbulnya suatu perselisihan tersebut mempunyai arti
penting agar manusia selalu dapat memelihara tingkah laku yang menimbulkan tata tertib
dalam hidup bersama tersebut , dan juga terjadinya suatu sengketa harus dapat diselesaikan
1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian sengketa?
1.3 Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
Sengketa dapat terjadi pada siapa saja dan dimana saja. Sengketa dapat
terjadi antara individu dengan individu, antara individu dengan kelompok, antara
kelompok dengan kelompok, antara perusahaan dengan perusahaan, antara perusahaan
dengan negara, antara negara satu dengan yang lainnya, dan sebagainya. Dengan kata
lain, sengketa dapat bersifat publik maupun bersifat keperdataan dan dapat terjadi baik
dalam lingkup lokal, nasional maupun internasional.
Sengketa adalah suatu situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan oleh
pihak lain, yang kemudian pihak tersebut menyampaikan ketidakpuasan ini kepada pihak
kedua. Jika situasi menunjukkan perbedaan pendapat, maka terjadi lah apa yang
dinamakan dengan sengketa. Dalam konteks hukum khususnya hukum kontrak, yang
dimaksud dengan sengketa adalah perselisihan yang terjadi antara para pihak karena
adanya pelanggaran terhadap kesepakatan yang telah dituangkan dalam suatu kontrak,
baik sebagian maupun keseluruhan. Dengan kata lain telah terjadi wanprestasi oleh pihak-
pihak atau salah satu pihak (Nurnaningsih Amriani, 2012: 12).
3
2.2 Cara – Cara Penyelesaian Sengketa
Prosedur dalam jalur litigasi ini sifatnya lebih formal dan teknis,
menghasilkan kesepakatan yang bersifat menang kalah, cenderung menimbulkan
masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak
responsif dan menimbulkan permusuhan diantara para pihak yang bersengketa.
Kondisi ini menyebabkan masyarakat mencari alternatif lain yaitu penyelesaian
sengketa di luar proses peradilan formal. Penyelesaian sengketa di luar proses
peradilan formal ini lah yang disebut dengan “Alternative Dispute Resolution” atau
ADR.
4
a. Arbitrase
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa menjelaskan bahwa arbitrase (wasit) adalah
cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak
yang bersengketa. Arbitrase digunakan untuk mengantisipasi perselisihan yang
mungkin terjadi maupun yang sedang mengalami perselisihan yang tidak dapat
diselesaikan secara negosiasi/konsultasi maupun melalui pihak ketiga serta untuk
menghindari penyelesaian sengketa melalui Badan Peradilan yang selama ini
dirasakan memerlukan waktu yang lama.
b. Negosiasi
Menurut Ficher dan Ury sebagaimana dikutip oleh Nurnaningsih Amriani (2012:
23), negosiasi merupakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai
kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang
sama maupun yang berbeda. Hal ini selaras dengan apa yang diungkapkan oleh
Susanti Adi Nugroho bahwa negosiasi ialah proses tawar menawar untuk
mencapai kesepakatan dengan pihak lain melalui proses interaksi, komunikasi
yang dinamis dengan tujuan untuk mendapatkan penyelesaian atau jalan keluar
dari permasalahan yang sedang dihadapi oleh kedua belah pihak.
c. Mediasi
Mediasi pada dasarnya adalah negosiasi yang melibatkan pihak ketiga yang
memiliki keahlian mengenai prosedur mediasi yang efektif, dapat membantu
dalam situasi konflik untuk mengkoordinasikan aktivitas mereka sehingga dapat
lebih efektif dalam proses tawar menawar. Mediasi juga dapat diartikan sebagai
upaya penyelesaian sengketa para pihak dengan kesepakatan bersama melalui
mediator yang bersikap netral, dan tidak membuat keputusan atau kesimpulan
bagi para pihak tetapi menunjang fasilitator untuk terlaksananya dialog antar
pihak dengan suasana keterbukaan, kejujuran, dan tukar pendapat untuk
tercapainya mufakat.
5
d. Konsiliasi
e. Penilaian ahli
Penilaian ahli merupakan cara penyelesaian sengketa oleh para pihak dengan
meminta pendapat atau penilaian ahli terhadap perselisihan yang sedang terjadi.
f. Pencari fakta
(fact finding) Pencari fakta adalah sebuah cara penyelesaian sengketa oleh para
pihak dengan meminta bantuan sebuah tim yang biasanya terdiri atas para ahli
dengan jumlah ganjil yang menjalankan fungsi penyelidikan atau penemuan
fakta-fakta yang diharapkan memperjelas duduk persoalan dan dapat mengakhiri
sengketa.
Pada umumnya, jika terjadi sengketa maka para pihak yang sedang
berkonflik akan memulai suatu komunikasi terlebih dahulu, komunikasi dilakukan oleh
para pihak untuk dapat mengetahui pokok permasalahan. Setelah terjalin komunikasi di
antara para pihak selanjutnya adalah menegosiasikan masalah yang sedang dihadapi.
Dari ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999 rumusan tentang
negosiasi pada prinsipnya adalah memberikan kepada pihak-pihak terkait suatu alternatif
untuk menyelesaikan sendiri masalah yang timbul di antara mereka secara kesepakatan
dimana hasil dari kesepakatan tersebut dituangkan dalam bentuk tertulis sebagai
komitmen yang harus dilaksanakan kedua belah pihak.
6
Dalam kenyataannya negosiasi merupakan cara pertama yang akan
ditempuh para pihak guna menghindari atau mengatasi suatu sengketa, karena merupakan
cara termurah dan paling tertutup dari pihak lain dibandingkan cara-cara lainnya.
Negosiasi adalah proses konsensual yang digunakan para pihak untuk memperoleh
kesepakatan di antara mereka yang bersengketa.
solusi pemecahan masalah yang mereka hadapi tanpa melibatkan pihak ketiga sebagai
penengah. Negosiasi biasanya digunakan dalam kasus yang tidak terlalu pelik, dimana
para pihak beritikad baik untuk secara bersama memecahkan persoalannya. Negosiasi
dilakukan jika komunikasi antara pihak masih terjalin dengan baik, masih ada rasa saling
percaya, dan ada keinginan baik untuk mencapai kesepakatan serta menjalin hubungan
baik. Penyelesaian Negosiasi tidak win-lose, tetapi win-win. Karena itu pula cara
penyelesaian melalui cara ini memang dipandang yang memuaskan para pihak. Batasan
waktu penyelesaian yang paling lama 14 hari, dan penyelesaiannya langsung oleh pihak
yang bersengketa.
Ada baiknya apabila sudah mencapai suatu kesepakatan antara para pihak
dibuat tenggat waktu pelaksanaan atas kesepakatan tersebut bagi masing-masing pihak
dilaksanakannya kesepakatan tersebut. Oleh karena itu untuk dapat menjamin adanya
ataupun akta perdamaian di antara para pihak yang bersifat mengikat para pihak untuk
taat dan tunduk terhadap segala hal yang telah disepakati bersama. Adanya nota
kesepakatan atau akta perdamaian tentu dapat dijadikan bukti oleh para pihak apabila
terjadi tindakan wanprestasi dari salah satu pihak dalam pelaksanan kesepakatan
7
2.4 Pengertian Mediasi
Mediasi merupakan kosakata atau istilah yang berasal dari kosakata Inggris
yaitu mediation. Mediasi sering diungkapkan dalam berbagai definisi, diantaranya
sebagai berikut :
a. Menurut Takdir Rahmadi, mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa antara
dua pihak atau lebih melalui perundingan atau cara mufakat dengan bantuan pihak
netral yang tidak memiliki kewenangan memutus (Takdir Rahmadi, 2011 :12).
b. Menurut Christopher W. Moore (1986) yang dikutip oleh Susanti Adi Nugroho
(2009:24), mediasi adalah intervensi terhadap suatu sengketa atau negosiasi oleh
pihak ketiga yang dapat diterima, tidak berpihak dan netral yang tidak mempunyai
kewenangan untuk mengambil keputusan dalam membantu para pihak yang
berselisih dalam upaya mencapai kesepakatan secara sukarela dalam penyelesaian
permasalahan yang disengketakan.
c. Sedangkan menurut Folberg dan Taylor (1986) sebagaimana dikutip oleh Susanti
Adi Nugroho (2009: 24), mediasi adalah suatu proses dimana para pihak dengan
bantuan seseorang atau beberapa orang, secara sistematis menyelesaikan
permasalahan yang disengketakan untuk mencari alternatif dan mencapai
penyelesaian yang dapat mengakomodasi kebutuhan mereka.
8
2.5 Pengertian Arbitrase
a. Subekti : merupakan suatu penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang wasit
atau para wasit yang berdasarkan persetujuan bahwa mereka akan tunduk kepada
atau menaati keputusan yang akan diberikan wasit atau para wasit yang mereka pilih.
b. Abdulkadir Muhamad : peradilan yang dipilih dan ditentukan sendiri secara sukarela
oleh pihak-pihak yang bersengketa.
c. Pasal 3 ayat 3 UU No 14 tahun 1970 menyatakan bahwa penyelesaian perkara di luar
pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrsase tetap diperbolehkan tetapi
putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin
atau perintah untuk dieksekusi dari pengadilan.
UU arbitrase nasional : UU No 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa. Berdasarkan UU tersebut, Arbitrase merupakan cara
penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan umum, yang didasarkan perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Penjanjian
arbitrase tidak batal meskipun :
a. Arbitrase ad hoc atau arbitrase volunter : merupakan arbitrase yang dibentuk secara
khusus untuk menyelesaikan atau memutuskan perselisihan tertentu.
b. Arbitrase institusional : merupakan suatu lembaga yang bersifat permanen sehingga
arbitrase institusional tetap berdiri untuk selamanya, meskipun perselisihan telah
selesai.
9
2.6 Perbandingan Antara Perundingan, Arbitrase, dan Ligitasi
10
C. Litigasi
Litigasi adalah sistem penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan. Sengketa yang
terjadi dan diperiksa melalui jalur litigasi akan diperiksa dan diputus oleh hakim.
Melalui sistem ini tidak mungkin akan dicapai sebuah win-win solution (solusi yang
memperhatikan kedua belah pihak) karena hakim harus menjatuhkan putusan dimana
salah satu pihak akan menjadi pihak yang menang dan pihak lain menjadi pihak yang
kalah.
Kebaikan dari sistem ini adalah :
1. Ruang lingkup pemeriksaannya yang lebih luas (karena sistem peradilan di
Indonesia terbagi menjadi beberapa bagian yaitu peradilan umum, peradilan agama,
peradilan militer dan peradilan Tata Usaha Negara sehingga hampir semua jenis
sengketa dapat diperiksa melalui jalur ini)
2. Biaya yang relatif lebih murah (salah satu azas peradilan Indonesia adalah
sederhana, cepat dan murah)
Kelemahan dari sistem ini adalah:
a. Kurangnya kepastian hukum (karena terdapat hierarki pengadilan di Indonesia yaitu
Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung dimana jika
Pengadilan Negeri memberikan putusan yang tidak memuaskan salah satu pihak,
pihak tersebut dapat melakukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi atau
kasasi ke Mahkamah Agung sehingga butuh waktu yang relatif lama agar bisa
berkekuatan hukum tetap)
b. Hakim yang "awam" (pada dasarnya hakim harus paham terhadap semua jenis
hukum, namun jika sengketa yang terjadi terjadi pada bidang yang tidak dikuasai
oleh hakim, maka hakim tersebut harus belajar lagi.
11
DAFTAR PUSTAKA
Hutagalung, Sophar Maru, S.H., M.H., “Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif
12