Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PERBANKAN
SYARI’AH
Tentang
Penyelesaian Sengketa Perbankan Syari’ah

Disusun Oleh Kelompok :14

DODI NOFRIZON : 1913040010

DESI RAHMADANI NST : 1913040025

SOFIA SATRIA NINGSIH :1913040049

Dosen Pembimbing:

Muhammad Hamzah, ME

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

IMAM BONJOL PADANG

1443 H / 2021 M
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
senantiasa melimpahkan rahmad dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini guna memenuhi tugas kelompok dan bahan pembelajaran mata kuliah “Perbankan Syari’ah”
dengan judul “Penyelesaian Sengketa Perbankan Syari’ah”.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari
sempurna dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena
itu, kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari
berbagai pihak. Dan kami sangat berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Padang, 10 Desember 2021

Pemakalah
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................

DAFTAR ISI................................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................................

A.LATAR BELAKANG...................................................................................................

B.RUMUSAN MASALAH..............................................................................................

C.TUJUAN PENULIS......................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN............................................................................................................

A. PENGERTIAN DAN MACAM-MACAM SENGKETA.............................................

B. PENYEBAB SENGKETA DI PERBANKAN SYARI’AH........................................

C. BENTUK-BENTUK PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARI’AH......

BAB III PENUTUP.................................................................................................................

A.KESIMPULAN........................................................................................................

B.DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Perkembangan Sistem Ekonomi Syari’ah di Indonesia saat ini Semakin pesat. Kondisi ini
terjadi melalui pembangunan berkelanjutan, Indonesia diharapkan mampu dan bisa bersaing di
dunia, baik dari sektor perdagangan maupun perindustrian. Bermodalkan pengalaman pahit
Reformasi 1998 Indonesia diharapkan mampu menjadi negara yang lebih kuat dan unggul
dalam mengatasi gejolak perekonomian yang muncul di Indonesia.

Sejalan dengan berkembangnya bidang perekonomian, di bidang perbankan juga


diharapkan mampu mendongkrak pembangunan yang mulai dirintis oleh Pemerintah untuk
memudahkan masyarakat bertransaksi. Berbagai banyak perbankan yang muncul di Indonesia
menjadikan masalah yang muncul lebih kompleks. Tidak hanya perbankan milik negara yang
muncul, tetapi juga milik swasta, adapula perbankan berbasis Syari’ah.

Kata “Sengketa” menurut bahasa Inggris adalah disebut dengan “conflict” dan “dispute”,
keduanya mengandung pengertian tentang adanya perselesihan atau percekcokan atau perbedaan
kepentingan antara dua pihak atau lebih. Kata “conflict” sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia
manjadi “konflik”, sedangkan dispute dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi
“Sengketa”.

Setiap masyarakat memiliki berbagai macam cara untuk memperoleh kesepakatan dalam
proses perkara atau untuk menyelesaikan sengketa dan konflik. Cara yang dipakai pada
suatusengketa tertentu jelas memiliki konsekuensi, baik bagi para pihak yang bersengketa maupun
masyarakat melebihi penyelesaian sengketa tersebut. Mengingat konsekuensi tersebut, maka sangat
diperlukan untuk menyalurkan sengketa-sengketa tertentu kepada suatu mekanisme penyelesaian
sengketa yang paling tepat bagi mereka1

Hakikatnya penyelesaian sengketa masuk dalam ranah hukum perjanjian sehingga asas
yang berlaku adalah asas kebebasan berkontrak (freedom of contract). Artinya para pihak bebas
melakukan pilihan hukum dan pilihan forum penyelesaian sengketa yang akan dipakai manakala
terjadi sengketa keperdataan di antara mereka.2

1
Gunawan Widjaya, 2000, Hukum Arbitrase, Jakarta: Rajawali Pers, hal 3
2
Anshori, Abdul Ghofur. 2010. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah. Yogyakarta: Graha Indonesia, hal. 10.
Pada dasarnya para pihak yang berhadapan menginginkan konflik yang dihadapi dapat
selesai secepat mungkin, namun kadangkala untuk mencapai kesepakatan tersebut, banyak kendala
yang dihadapi oleh para pihak. Oleh karena itu oleh karena itu, beberapa strategi dan cara
penyelesaian konflik dapat kita terapkan untuk menyelesaikan masalah yang kita hadapi3

Selama ini sengketa yang terjadi dalam praktek ekonomi syariah diselesaikan melalui
lembaga arbitrase atau lewat lembaga peradilan lainnya. Dalam penyelesaian melalui lembaga
arbitrase harus ada persetujuan antara kedua belah pihak yang bersengketa, jika salah satu pihak
tidak setuju dengan jalur tersebut maka tidak bisa dibawa ke badan arbitrase. Akan tetapi ketika
permasalahan sengketa Perbankan Syariah tersebut diselesaikan melalui lingkungan Peradilan
Umum kurang tepat, karena Peradilan umum tidak menggunakan prinsip syariah sebagai dasar
hukum dalam penyelesaian sengketa melainkan dengan hukum perdata barat.

B.Rumusan Masalah

1.Apa Pengertian dan Macam-macam Sengketa

2.Apa Penyebab Sengketa di Perbankan Syari’ah

3.Apa Bentuk-bentuk Penyelesaian Sengketa di Perbankan Syari’ah

C.Tujuan Penulis

1. Untuk Menjelaskan Pengertian dan Macam-macam Sengketa

2.Untuk Mengetahui Penyebab Sengketa di Perbankan Syari’ah

3.Untuk Mengetahui Bentuk-bentuk Penyelesaian Sengketa di Perbankan Syari’ah

3
Mujahidin Ahmad, 2010, Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, Bogor: Ghalia
Indonesia, hal 55
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Macam-macam Sengketa

Sengketa dapat terjadi pada siapa saja dan dimana saja. Sengketa dapat terjadi antara
individu dengan individu, antara individu dengan kelompok, antara kelompok dengan
kelompok, antara perusahaan dengan perusahaan, antara perusahaan dengan negara, antara
negara satu dengan yang lainnya, dan sebagainya. Dengan kata lain, sengketa dapat bersifat
publik maupun bersifat keperdataan dan dapat terjadi baik dalam lingkup lokal, nasional
maupun internasional.

Sengketa adalah suatu situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain,
yang kemudian pihak tersebut menyampaikan ketidakpuasan ini kepada pihak kedua. Jika
situasi menunjukkan perbedaan pendapat, maka terjadi lah apa yang dinamakan dengan
sengketa. Dalam konteks hukum khususnya hukum kontrak, yang dimaksud dengan sengketa
adalah perselisihan yang terjadi antara para pihak karena adanya pelanggaran terhadap
kesepakatan yang telah dituangkan dalam suatu kontrak, baik sebagian maupun keseluruhan.
Dengan kata lain telah terjadi wanprestasi oleh pihak-pihak atau salah satu pihak (Nurnaningsih
Amriani, 2012: 12).

Menurut Nurnaningsih Amriani (2012: 13), yang dimaksud dengan sengketa adalah
perselisihan yang terjadi antara pihak-pihak dalam perjanjian karena adanya wanprestasi yang
dilakukan oleh salah satu pihak dalam perjanjian. Hal yang sama juga disampaikan oleh
Takdir Rahmadi (2011: 1) yang mengartikan bahwa konflik atau sengketa merupakan situasi
dan kondisi di mana orang-orang saling mengalami perselisihan yang bersifat faktual maupun
perselisihan- perselisihan yang ada pada persepsi mereka saja.

Dengan demikian, yang dimaksud dengan sengketa ialah suatu perselisihan yang terjadi
antara dua pihak atau lebih yang saling mempertahankan persepsinya masing-masing, di mana
perselisihan tersebut dapat terjadi karena adanya suatu tindakan wanprestasi dari pihak-
pihak atau salah satu pihak dalam perjanjian.

Untuk menentukan macam dan bentuk sengketa tersebut seringkali diperlukan


kemampuan analisis yang mendalam dan dilakukan secara teliti. Mengenai siapa saja yang
dapat
bersengketa, hal ini pun sangat dipengaruhi oleh obyek yang disengketakan. Oleh karena itu,
berdasarkan pihak-pihak yang bersengketa maka sengketa dapat dikelompokan ke dalam
bidang-bidang tertentu. yang batas-batasnya dapat saja bersifat tumpang-tindih, yaitu:

1. Sengketa antarindividu, misalnya perselisihan dalam keluarga akibat perceraian


seperti masalah anak, pembagian harta benda, warisan, dan lain-lain.

2. Sengketa antara individu dan badan hukum, misalya masalah ketenagakerjaan


di mana perselisihan timbul antara pegawai dan perusahaan mengenai upah, jam kerja,
pemberian pesangon, dan lain- lain.

3. Sengketa antarbadan hukum, misalnya perselisihan antarkorporasi di mana


perusahaan yang satu menggugat perusahaan lainnya.

Perlu Anda ketahui bahwa pada dasarnya tidak seorang pun menghendaki
terjadinya sengketa dengan orang lain. Tetapi dalam setiap hubungan, khususnya dalam
kegiatan bisnis, masing-masing pihak harus selalu siap mengantisipasi kemungkinan timbulnya
sengketa yang dapat terjadi setiap saat di kemudian hari. Misalnya dalam suatu perjanjian,
sengketa yang perlu diantisipasi dapat timbul karena perbedaan penafsiran baik mengenai
bagaimana "cara" melaksanakan klausul-klausul perjanjian maupun tentang apa "isi" dari
ketentuan- ketentuan di dalam perjanjian, ataupun disebabkan hal-hal lainnya.

Untuk menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa, Anda memiliki beberapa


pilihan cara penyelesaian. Pada umumnya beberapa cara yang dapat dipilih dibedakan melalui
pengadilan atau di luar pengadilan seperti negosiasi, konsiliasi, konsultasi, penilaian ahli,
mediasi, arbitrase dan lain- lain, yang sering disebut sebagai alternatif penyelesaian sengketa
(APS).4

Untuk cara APS (kecuali arbitrase) biasanya dilakukan dengan mendiskusikan


perbedaan- perbedaan yang timbul di antara para pihak yang bersengketa melalui “musyawarah
untuk mufakat” dengan tujuan mencapai win-win solution. Jadi, apakah sengketa tersebut dapat
diselesaikan atau tidak sangat tergantung pada keinginan dan itikad baik para pihak yang
bersengketa. Artinya, bagaimana mereka mampu menghilangkan perbedaan pendapat di antara
mereka. Apabila penyelesaian secara damai telah disepakati oleh para pihak, mereka terikat

4
Mujahidin Ahmad, 2010, Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, Bogor: Ghalia
Indonesia, hal 49.
pada hasil penyelesaian tersebut. (Lihat Pasal 6 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, selanjutnya disingkat UU No. 30 Tahun 1999)

Namun demikian, terlepas dari perbedaan pengertian APS, pada umumnya cara-cara
yang paling sering digunakan oleh para pihak yang bersengketa adalah negosiasi, mediasi,
arbitrase, dan pengadilan.

B. Penyebab Sengketa di Perbankan Syari’ah

Penyelesaian sengketa pada Perbankan Syaraiah pada hakikatnya masuk ranah hukum
perjanjian sehingga berlaku asas kebebasan berkontrak (freedom of contract). Artinya para
pihak bebas melakukan pilihan hukum dan pilihan forum penyelesaian sengketa yang akan
dipakai manakala terjadi sengketa keperdataan diantara mereka. Klausul penyelesaian sengketa
ini hampir dapat dikatakan selalu ada dalam kontrak- kontrak bisnis dewasa ini, termasuk dalam
kontrak pembiayaan yang dibuat antara pihak nasabah dengan pihak perbankan syariah.

Timbulnya sengketa dalam perbankan syaraiah yang terjadi antara nasabah dengan unit
usaha syariah dalam hal ini perbankan syariah , disebabkan adanya salah satu pihak yang
merasa tidak puas atau merasa dirugikan . Pada prinsipnya pihak-pihak yang bersengketa diberi
kebebasan untuk menentukan mekanisme pilihan penyelesaian sengketa yang dikehendaki
sesuai dengan prinsip syaraiah yaitu prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan
berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan
fatwa di bidang syariah.

Unit Usaha Syariah dalam perbankan syaraiah sebelum melnyalurkan pembiayaan dari
Bank Syariah ke Nasabah diwajibkan untuk membuat kesepakatan tertulis antara Bank Syariah
atau Unit Usaha Syariah dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-
masing pihak sesuai dengan Prinsip Syariah yang selanjutnya disebut akad.

Mengenai bentuk-bentuk sengketa bank syari’ah yang disebabkan karena adanya


pengingkaran atau pelanggaran terhadap perikatan (akad) yang telah dibuat, yaitu disebabkan
karena5:

a. Kelalaian Bank untuk mengembalikan dana titipan nasabah dalam akad wadi’ah

5
Syukri Iska, Sistem Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: Fajar Media Press, 2012), h. 286
b. Bank mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan
dalam akad mudlorobah

c. Nasabah melakukan kegiatan usaha minuman keras dan usaha- usaha lain yang
diharamkan menurut syari’at Islam yang bersumber dari dana pinjaman bank syari’ah, akad
qirah dan lain- lain

d. Pengadilan agama berwenang menghukum kepada pihak nasabah atau pihak


bank yang melakukan wanprestasi yang menyebabkan kerugian riil (real lose).

C. Bentuk-bentuk Penyelesaian Sengketa di Perbankan Syari’ah


Penyelesaian sengketa dibidang Lembaga Ekonomi Syariah (LES) seperti perbankan,
pasar modal dan asuransi syariah belum diatur secara kongkrit dan jelas dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia, padahal dalam melakukan kerjasama atau hubungan
keperdataan tidak terlepas dari kemungkinan timbulnya konflik, oleh karena itu perlu perhatian
pemerintah dan aturan hukumyang mengatur mengenai hal- hal penyelesaian sengketa dalam
Lembaga Ekonomi Syariah (LES) yang di dalamnya termasuk perkara perbankan syariah. Oleh
karena hal tersebut demi untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, maka dalam hal
perjanjian kontrak (akad) Lembaga Ekonomi Syariah sekarang perlu mencantumkan klausul
penyelesaian sengketa baik itu melalui jalan musyawarah, islah, mediasi, atau arbitrase, ataupun
ke lembaga Peradilan Agama sebagai pilihan terakhir.

Pola hubungan yang didasarkan pada keinginan untuk menegakkan sistem syariah di
dalam lembaga ekonomi diyakini sebagai pola hubungan yang kokoh antar bank dan
nasabah. Kalaupun terjadi perselisihan pendapat, baik dalam penafsiran maupun pelaksanaan isi
perjanjian, kedua pihak akan ber- usaha menyelesaikannya secara musyawarah menurut ajaran
Islam. Sungguhpun demikian tetap saja ada kemungkinan perselisihan yang tidak dapat
diselesaikan secara musyawarah. Terjadinya keadaan seperti itu dalam kehidupan sehari-hari
apalagi dalam kehidupan dunia ekonomi haruslah diantisipasi dengan cermat.12

Lembaga Ekonomi Syariah yang dalam operasinya menggunakan prinsip-prinsip


syariah tentunya meng- usahakan agar pelaksanaanya dilakukan secara kaffah (menyeluruh),
sehingga penyelesaian sengketa pada Lembaga Ekonomi Syariah (LES) tentunya juga harus
menggunakan prinsip-prinsip syariah. Penyelesaian sengketa yang paling sesuai adalah
melalui islah ataupun
musyawarah tadi. Jika para pihak memilih cara islah, maka mereka mencoba terlebih dahulu
untuk menyelesai- kan masalah di antara mereka dengan mengadakan pertemuan antara kedua
belah pihak. Hasil pertemuan tersebut dituangkan dalam bentuk tertulis dan jika pertemuan
tersebut gagal untuk mencapai kesepakatan, maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan
dengan bantuan dari seseorang atau lembaga sebagai mediator.

Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui mediator tersebut dengan
memegang teguh kerahasiaan, dalam waktu paling lama 30 hari harus tercapai kesepakatan
dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh kedua belah pihak yang terkait. Apabila usaha
perdamaian seperti yang telah disebutkan di atas itu juga tidak dapat dicapai, maka para pihak
berdasarkan kesepakatan secara tertulis mengajukan usaha penyelesaian melalui lembaga
arbitrase atau arbitrase ad hoc.Tidak seperti arbiter atau hakim, seorang mediator tidak
membuat keputusan mengenai sengketa yang terjadi tapi hanya membantu para pihak untuk
mencapai tujuan mereka dan menemukan pe- mecahan masalah dengan hasil win-win solution.

BASYARNAS sebagai lembaga arbitrase yang didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia
(MUI) berfungsi menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalat yang timbul dalam
hubungan perdagangan, industri, keuangan, dan jasa. Pendirian lembaga ini awalnya dikaitkan
dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah. Gagasan
berdirinya lembaga arbitrase Islam di Indonesia ini, diawali dengan bertemunya para pakar
cendikiawan muslim, praktisi hukum, para ulama untuk bertukar pikiran tentang perlunya
lembaga arbitrase Islam di Indonesia. Pertemuan ini dimotori oleh dewan pemimpin MUI pada
tanggal 22 April 1992, setelah mengadakan rapat beberapa kali penyempurnaan terhadap
rancangan struktur organisasi dan prosedur beracara maka akhirnya lahirlah Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia (BAMUI) yang sekarang berubah menjadi Badan Arbitase Syariah
Nasional (BASYARNAS).6

Penyelesaian sengketa pada LES pada hakikatnya masuk ranah hukum perjanjian
sehingga berlaku asas kebebasan berkontrak (freedom of contract). Artinya para pihak bebas
melakukan pilihan hukum dan pilihan forum penyelesaian sengketa yang akan dipakai
manakala terjadi sengketa keperdataan diantara mereka. Klausula penyelesaian sengketa ini
hampir dapat dikatakan selalu ada dalam kontrak-kontrak bisnis dewasa ini, termasuk dalam
kontrak

6
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunah, (Bandung: al-Ma’rif, 1996), h. 189.
pembiayaan yang dibuat antara pihak nasabah dengan pihak perbankan syariah. Pasal 55 UU
No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menegaskan bahwa:

1) Penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam


lingkungan Peradilan Agama;

2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan pe- nyelesaian sengketa selain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan
dengan prinsip syariah. Kemudian dalam penjelasan pasal 55 ayat (2) ditegaskan bahwa yang
dimaksud dengan“penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad” adalah upaya
melalui musyawarah, mediasi perbankan, badan arbitrase syariah nasional (BASYARNAS)
atau lembaga arbitrase lain, dan melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.

Ada dua jalur pernyelesaian sengketa pada Lembaga Ekonomi Syariah ( LES )
khususnya perbankan syariah. Ertama, penyelesaian sengketa melalui jalur musyawarah
mufakat. Penyelesaian sengketa melalui jalur musyawarah mufakat ini merupakan jalur paling
awal yang dilalui oleh pihak yang bersengkatan sebelum akhirnya masuk pada jalur hukum
atau pengadilan. Berikut ini langkah-langkah dalam penyelesaian sengketa melalui jalur
musyawarah mufakat, yaitu: (1) mengembalikan pada butir-butir akad yang telah ada
sebelumnya; (2) para pihak yakni nasabah dan bank kembali duduk bersama dan fokus kepada
masalah yang dipersengketakan; (3) mengedepankan musyawarah dan kekeluargaan, hal ini
sangat dianjurkan untuk menye- lesaikan sengketa; dan (4) tercapainya perdamaian antara pihak
yang bersengketa.

Kedua, penyelesaian sengketa melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa


(alternative dispute resolution). Ada empat lembaga dan cara dalam penyelesaian perdata
perbankan. Pertama, melalui jalur Lembaga pengaduan nasabah. Lembaga pengaduan nasabah
disebutkan dalam pasal 1 angka 4 PBI No. 7/7/ PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan
Nasabah, pe- ngaduan didefinisikan sebagi ungkapan ketidakpuasan nasabah yang disebabkan
oleh adanya potensi kerugian finansial pada nasabah yang diduga karena kesalahan atau
kelalaian Bank. Kemudian menurut pasal 2 PBI No.7/7/PBI/2005 bank diwajibkan menetapkan
kebijakan dan memiliki prosedur tertulis tentang penerimaan pe- ngaduan, penanganan dan
penyelesaian pengaduan serta pemantauan penanganan dan penyelesaian pengaduan. Prosedur
penyelesaian sengketa melaui lembaga pe- ngaduan nasabah yang berada dalam internal bank
yang
bersangkutan berdasarkan ketentuan mengenai kebijakan dan prosedur tertulis dalam Surat
Edaran Bank Indoensia (SEBI) No.7/4/24/DPNP tertanggal 18 Juli 2005 antara lain, sebagai
berikut: (1) kewajiban bank untuk menyelesaikan pengaduan mencakup kewajiban
menyelesaikan pengaduan yang diajukan secara lisan dan atau tertulis oleh nasabah dan atau
perwakilan nasabah termasuk yang diajukan oleh suatu lembaga, badan hukum, dan atau bank
lain yang menjadi nasabah bank tersebut; (2) setiap nasabah, termasuk walk in costumer
memiliki hak untuk mengajukan pengaduan; dan (3) pengajuan pengaduan dapat dilakukan oleh
perwakilan nasabah yang bertindak untuk dan atas nama nasabah berdasarkan surat kuasa dari
nasabah.

Dalam pasal 10 PBI No. 7/7/PBI/2005 disebutkan bahwa bank wajib menyelesaikan
pengaduan paling lambat 20 hari kerja setelah tanggal penerimaan pengaduan tertulis, kecuali
terdapat kondisi tertentu yang menyebabkan bank dapat memperpanjang jangka waktu, yaitu:
(1) kantor bank yang menerima pengaduan tidak sama dengan kantor bank tempat terjadinya
permasalahan yang diadukan dan terdapat kendala komunikasi diantara kedua kantor Bank
tersebut; (2) transaksi keuangan yang diadukan oleh nasabah atau perwakilan nasabah
memerlukan penelitian khusus terhadap dokumen dokumen bank; dan (3) terdapat hal hal lain
yang berada di luar kendali bank, seperti adanya keterlibatan pihak ketiga di luar bank dalam
transaksi keuangan yang dilakukan nasabah. Adanya perpanjangan jangka waktu penyelesaian
pengaduan dimaksud wajib diberitahukan secara tertulis kepada nasabah dan/atau perwakilan
nasabah yang mengajukan pengaduan sebelum jangka waktu yang seharusnya berakhir.

Kedua, melalui jalur BI (Bank Indonesia)/mediasi perbankan. Mediasi menurut


peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 adalah proses penyelesaian sengketa yang
melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai
penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sekarela terhadap sebagian atau seluruh permasalahan
yang disengketakan. Pelaksanaan fungsi mediasi perbankan oleh Bank Indonesia ini dilakukan
dengan mempertemukan nasabah dan bank untuk mengkaji kembali pokok permasalahan yang
menjadi sengketa guna mencapai kesepakatan tanpa adanya rekomendasi maupun keputusan
dari Bank Indonesia. Dalam rangka melaksanakan fungsi mediasi perbankan tersebut Bank
Indonesia menunjuk Mediator. Mediator yang ditunjuk harus memenuhi syarat sebagai berikut:
(1) memiliki pengetahuan di bidang perbankan, keuangan dan hukum; (2) tidak memiliki
hubungan
sedarah dengan nasabah atau Perwakilan Nasabah Bank; dan (3) tidak mempunyai kepentingan
finansial atau kepentingan lain atas penyelesaian sengketa.

Pengajuan penyelesaian sengketa dalam rangka mediasi perbankan ini kepada Bank
Indonesia dilaku- kan oleh nasabah atau perwakilan nasabah dengan memenuhi persyaratan
sebagai berikut: (1) diajukan secara tertulis dengan disertai dokumen pendukung yang memadai
antara lain bukti transaksi keuangan yang dilakukan nasabah; (2) pernah diajukan upaya
penyelesaian oleh nasabah kepada Bank, dibuktikan dengan bukti penerimaan pengaduan atau
surat hasil penyelesaian pengaduan yang dikeluarkan bank; (3) sengketa yang diajukan tidak
sedang dalam proses atau belum pernah diputus oleh lembaga arbitrase atau peradilan atau
belum terdapat kesepakatan yang difasilitasi oleh lembaga mediasi lainnya; (4) sengketa yang
diajukan merupakan sengketa keperdataan; dan (5) pengajuan penyelesaian sengketa tidak
melebihi 60 hari kerja tanggal surat hasil penyelesaian pengaduan yang disampaikan Bank
kepada nasabah. Setelah persyaratan tersebut diatas terpenuhi, maka mulai dilakukan proses
pemecahan sengketa dengan cara sebagai berikut.

Apabila sengketa itu tidak dapat diselesaikan dengan cara kekeluargaan, maka
diselesaikan melalui seorang mediator dengan kesepakatan tertulis para pihak sengketa.
Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lambat 14 hari dengan bantuan mediator tidak
berhasil juga mempertemukan kedua belah pihak, maka pihak dapat menghubungi lembaga
alternatif penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator, setelah itu proses mediasi
harus sudah dapat dimulai dalam waktu 30 hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk
tertulis yang ditandatangani oleh kedua belah pihak yang terkait.

Kesepakatan penyelesaian sengketa adalah final dan mengikat para pihak untuk
dilaksanakan dengan iktikad baik serta wajib didaftarkan di pengadilan dalam waktu paling
lama
30 hari sejak penandatanganan. Dengan demikian lembaga mediasi perbankan ini baru
mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan sengketa antara nasabah atau perwakilan nasbah
dengan pihak bank, apabila mereka telah menandatangai perjanjian mediasi (agreement to
mediate). Isi dari agreement to mediate ini yaitu kesepakatan untuk memilih mediasi sebagai
alternatif penyelesaian sengketa dan persetujuan untuk patuh dan tunduk pada peraturan
mediasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.7

7
Abdul GhafurAnshori, Tanya JawabPerbankanSyariah, Yogyakarta:UII Press, 2008, h.103.
KESIMPULAN

Adapun proses dan mekanisme penyelesaian sengketa dalam perbankan syraiah


sebagaimana diatur dalam Pasal 55 UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
menegaskan bahwa:

1) Penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam


lingkungan Peradilan Agama;

2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain


sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad

3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan
dengan prinsip syariah.

Kemudian dalam penjelasan pasal 55 ayat (2) ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan
“penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad” adalah upaya melalui musyawarah,
mediasi perbankan, badan arbitrase syariah nasional (BASYARNAS) atau lembaga arbitrase
lain, dan melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
DAFTAR PUSTAKA

Anshori, Abdul Ghafur, Tanya Jawab Perbankan Syariah, Yogyakarta:UII Press,


2008.
Antonio,Muhammad Syafi‘i, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, Jakarta:Gema Insani Press,
2002.
Iska, Syukri, Sistem Perbankan Syariah di Indonesia, Yogyakarta: Fajar Media
Press, 2012.
Karim, Adiwarman A., Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, PT.
Grafindo Persada, Jakarta: 2010.
Muhammad, Manajemen Dana Bank Syariah, Yogyakarta: Jalasutra, 2004.

Anda mungkin juga menyukai