Anda di halaman 1dari 18

Makalah Kelompok 7

PERIKATAN YANG LAHIR DARI PERJANJIAN

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas


Mata Kuliah : Hukum Perdata
Dosen Pembimbing : Ibu Novita Mayasari

Disusun oleh :
NAMA : Ahmad Miski Madani
Dony Octa H
NIM.2012110172
2012110114

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA


FAKULTAS SYARIAH
PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM PALANGKARAYA
2021

i
KATA PENGANTAR
Assalaamu’alaikum wr.wb.
Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
hidayah-nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Saya
juga berterima kasih kepada bapak Dosen pengampu Ibu Novita Mayasari,
M.H.I . yang telah memberikan tugas karena membuat kami semakin memahami
materi ini. Makalah ini membahas tentang “PERIKATAN YANG LAHIR
DARI PERJANJIAN”.
Terima kasih penulis ucapkan untuk semua pihak yang telah membantu
dalam penulisan makalah ini.
Kami sadar makalah ini masih banyak kekurangannya baik dari segi isi
maupun penulisannya. Sehingga kami sangat berharap kritik dan sarannya agar
pembuatan makalah berikutnya menjadi lebih sempurna. Dan saya harap makalah
ini bermanfaat bagi pembaca untuk menambah wawasan.

Palangka Raya, Mei 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii

Palangka Raya, Mei 2021........................................................................................ii

DAFTAR ISI..........................................................................................................iii

BAB I.......................................................................................................................1

PENDAHULUAN...................................................................................................1

A. Latar Belakang..........................................................................................1

B. Rumusan Masalah.....................................................................................1

C. Tujuan Penulisan.......................................................................................1

BAB II......................................................................................................................2

PEMBAHASAN......................................................................................................2

A. Pengetian Perjanjian..................................................................................2

B. Asas-asas perjanjian..................................................................................4

C. Jenis-jenis Perjanjian.................................................................................5

1. Perjanjian Timbal Balik dan Perjanjian Sepihak.........................................6

2. Perjanjian Tanpa Pamrih atau dengan Cuma-Cuma (om niet) dan


Perjanjian Dengan Beban.................................................................................6

3. Perjanjian Nominaat dan Perjanjian Innominaat.........................................6

4. Perjanjian Kebendaan dan Perjanjian Obligatoir.........................................7

5. Perjanjian Konsesual dan Perjanjian Riil.....................................................7

6. Perjanjian Formil – Jenis jenis Perjanjian....................................................7

7. Perjanjian Campuran (Contractus sui generis).............................................7

8. Perjanjian Penanggungan (Bortocht)...........................................................8

9. Perjanjian Standar / Baku – Jenis jenis Perjanjian.......................................8

iii
iv

10. Perjanjian Garansi dan Derden Beding – Jenis jenis Perjanjian................8

D. Syarat-syarat sah perjanjian.......................................................................8

E. Akibat hukum perjanjian yang sah..........................................................10

BAB III..................................................................................................................13

PENUTUP..............................................................................................................13

A. Kesimpulan..............................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................14
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dilihat dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1313 ayat (1) KUH
Perdata, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang
lain atau dimana terdapat dua orang atau lebih saling berjanji untuk melaksanakan
suatu hal. Dengan adanya peristiwa tersebut, maka timbul-lah suatu hubungan
antara dua orang atau lebih yang dinamakan perikatan. Meskipun dalam
pengertian di atas terlihat bahwa perjanjian merupakan sumber lahirnya perikatan,
akantetapi ada hal lain lagi yang dapat melahirkan suatu perikatan, yaitu Undang-
Undang.
Perbedaan antara perikatan yang lahir dari perjanjian dan perikatan yang lahir dari
Undang-Undang adalah sebagai berikut:
Perikatan yang lahir dari perjanjian menimbulkan hubungan hukum yang
memberikan hak dan meletakkan kewajiban kepada para pihak yang membuat
perjanjian berdasarkan atas kemauan atau kehendak sendiri dari para pihak yang
bersangkutan yang mengikatkan diri tersebut.
 Perikatan yang lahir dari Undang-Undang merupakan perikatan yang terjadi
karena adanya suatu peristiwa tertentu sehingga melahirkan hubungan hukum
yang menimbulkan hak dan kewajiban di antara para pihak yang bersangkutan,
tetapi bukan berasal dari kehendak para pihak yang bersangkutan melainkan telah
diatur dan ditentukan oleh undang-undang.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja yang dimaksud perikatan yang lahir dari perjanjian.
2. Apa saja yang mencakup perikatan yang lahir dari perjanjian.

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk memahami isi dari perikatan yang lahir dari perjanjian

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengetian Perjanjian
Perjanjian adalah salah satu sumber perikatan. Dalamkehidupansehari-
hari, manusia sering melakukan perjanjian baik disengaja maupun tidak disengaja
dilakukanya. Perjanjian pada dasarnya adalah suatu hubungan yang terjadi antara
pihak yang terlibat.
Dalam pasal 1313 KUH  Pedata dijelaskan bahwa perjanjian adalah “Suatu
perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”
Banyak ahli berpendapat bahwa definisi dari pengertian perjanjian yang
terkandung dalam pasal 1313 KUH  Perdata masih tidak jelas dan masih terlalu
luas pengertian dari perjanjian tersebut tidak lengkap karena hanya mengenai
perjanjian sepihak saja, diketahui dalam perumusan kalimat “satu orang  atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Pengertian yang
terpapar atau yang bias ditangkap dalam perumusan tersebut bias dimasukkan
perjanjian kawin, yang mana perjanjian kawin tersebut dalam bidang hokum
kekeluargaan, sedangkan pasal 1313  KUH Perdata ini bermaksud atau bertujuan,
hubungan antara kreditur dan debitur yang saling mengikatkan diri dalam bidang
hokum kekayaan. Perjanjian dalam pasal ini hanya bersifat kebendaan dan bukan
perjanjian terhadap perorangan.
Dari kelemahan-kelemahan atau pengertian perjanjian yang masih belum terlalu
jelas dan masih terlalu luas, dapat dikatakan, bahwa seharusnya rumusan
perjanjian tersebut adalah suatu perbuatan hokum dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya ataupun saling mengikatkan diri untuk melakukan
suatu hal yang menimbulkan akibat hukum yang berupa hubungan hokum bagi
para pihak.
Karena kelemahan-kelemahan dalam pengertian perjanjian menurut pasal  1313
KUH Perdata tersebut, maka para ahli juga ikut memberikan pengertian mengenai
perjanjian yaitu sebagai berikut :

1. R. Subekti

2
3

Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada


orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu
perjanjian.

1. WirjonoProdjodikoro

Perjanjian adalah suatu hubungan hokum mengenai harta benda antara dua
pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji melakukan sesuatu
hal.

1. M. YahyaHarahap

Perjanjian adalah suatu hubungan hokum kekayaan atau harta benda antara
dua orang atau lebih yang  memberikan kekuasaan hak pada satu pihak untuk
memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk melunasi
prestasi.
Istilah perancangan kontrak berasal dari bahasa Inggris, yaitu contract drafting.
Kontrak adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata
sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.
Akibat hukum, yaitu timbulnya hak dan kewajiban.
Berdasarkan pengertian tersebut diberikan pengertian perancangan kontrak
merupakan suatu proses atau cara merancang kontrak. “Merancang kontrak adalah
mengatur dan merencanakan struktur, anatomi, dan substansi kontrak yang dibuat
oleh para pihak.”
Sebelum mengetahui lebih jauh tentang kontrak, terlebih dahulu perlu adanya
penegasan pemahaman pemakaian istilah dari kontrak tersebut, karena dalam
konsep teoritis dan prakteknya, kedua istilah dimaksud terkadang digunakan
secara bersamaan. Sebagai contoh dalam kontrak yang diadakan para pihak,
sering juga terdapat kata-kata perjanjian demikian juga kata kontrak itu sendiri.
“Biasanya dalam suatu kontrak, kalimat akhirnya atau klausulanya berbunyi
“demikian perjanjian ini di buat dengan sesungguhnya dan memiliki kekuatan
mengikat setelah ditandatangani oleh kedua belah pihak dan seterusnya”. Padahal
4

kepala atau judul kontraknya juga berbunyi tentang “Kontrak Sewa Menyewa
Rumah” dan lain-lain.”1

B. Asas-asas perjanjian
Terdapat 5 ( lima) asas perjanjian yang dikenal menurut ilmu hukum perdata.
Yaitu asas kebebasan berkontrak ( Freedom  Of
Contract ). Asas Konsensualisme(Consensualism), Asas Kepastian hukum ( pacta
sunt servanda), Asas itikad baik ( good faith ) dan asas kepribadian ( personality).

Asas Kebebasan Berkontrak  ( Freedom of contract)

Asas ini merupakan  suatu asas yang memberikan kebebasan para pihak untuk :

1. Membuat atau tidak membuat perjanjian


2. Mengadakan  perjanjian dengan siapapun
3. Menentukan isi perjanjian ,pelaksanaan, dan persyaratannya.
4. Menentukan bentuk perjanjiannya , apakah berbentuk tulis atau lisan.

Setiap orang dapat secara bebas membuat perjanjian selama memenuhi syarat
sahnya perjanjian dan tidak melanggar hukum,kesusilaan ,serta ketertiban umum.

Asas Konsensualisme ( Concensualism)

Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam pasal 1320 ayat (1) KUHPer.
Dalam pasal tersebut salah satu syarat sahnya perjanjian antara kedua belah pihak.
Perjanjian sudah lahir sejak tercapainya  kata sepakat. perjanjian telah mengikat
ketika kata sepakat dinyatakan atau diucapakan, sehingga tidak perlu lagi
formalitas tertentu. Kecuali dalam hal undang-undang memberikan syarat
formalitas tertentu  terhadap suatu perjanjian yang mensyaratkan  harus tertulis.

Asas Kepastian Hukum ( Pacta Sunt Servanda)

1
Agamkab hal 1
5

Menurut Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata ” Semua perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Jika terjadi
sengketa dalam pelaksanaan perjanjian ,maka  hakim dengan keputusannya dapat
memaksa agar pihak yang melanggar itu  melaksanakan hak dan kewajibannya
sesuai dengan perjanjian,bahkan hakim dapat meminta pihak yang lain membayar
ganti rugi. Putusan pengadilan itu merupakan jaminan bahwa hak dan kewajiban 
para pihak dalam perjanjian memiliki kepastian hukum ,sehingga secara pasti
memiliki perlindungan hukum.

Asas Itikad baik ( Good Faith)

Asas ini tercantum dalam pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, ” Perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik”. Dalam asas ini para pihak yaitu pihak kreditur
dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau
keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Dengan itikad baik
berarti keadaan batin para pihak  dalam membuat dan melaksanaan perjanjian
haruslah jujur, terbuka dan saling percaya . Keadaan batin para pihak itu tidak
boleh dicemari oleh maksud untuk melakukan tipu daya atau menutup-tutupi
keadaan sebenarnya.

Asas Kepribadian ( Personality)

Asas kepribadian berarti isi perjanjian hanya mengikat  para pihak secara personal
dan tidak mengikat pihak-pihak lain yang tidak memberikan kesepekatanannya.
Seseorang  hanya dapat mewakili orang lain dalam membuat perjanjian yang
dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.2

C. Jenis-jenis Perjanjian
Jenis jenis Perjanjian. Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang
atau satu pihak berjanji kepada seorang atau pihak lain atau dimana dua orang
atau dua pihak itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.

Oleh karenanya, perjanjian itu :

2
http://mh.uma.ac.id/2021/01/asas-asas-perjanjian/
6

 berlaku sebagai suatu undang undang bagi pihak yang mengikatkan diri,
 mengakibatkan timbulnya suatu hubungan antara dua orang atau dua pihak
tersebut .

Jenis jenis Perjanjian :

1. Perjanjian Timbal Balik dan Perjanjian Sepihak.

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang memberikan hak dan


kewajiban kepada kedua belah pihak, misalnya jual beli, sewa-menyewa,
pemborongan. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban
kepada satu pihak dan hak kepada kepada pihak lainnya, misalnya perjanjian
hibah, hadiah.

2. Perjanjian Tanpa Pamrih atau dengan Cuma-Cuma (om niet) dan


Perjanjian Dengan Beban.

Perjanjian tanpa pamrih :

jika suatu pihak memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain tanpa
imbalan apa pun, misalnya perjanjian pinjam pakai, perjanjian hibah.Perjanjian
dengan beban adalah : perjanjian dalam mana terhadap prestasi dari pihak yang
satu selalu mendapat kontra prestasi dari pihak lainnya, sedangkan antara kedua
prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.

3. Perjanjian Nominaat dan Perjanjian Innominaat.

Perjanjian nominaat adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri.


Maksudnya ialah perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk
undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari.
Perjanjian Nominaat terdapat dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII KUH
Perdata.Perjanjian innominaat yaitu perjanjian yang tidak diatur dalam KUH
Perdata, tetapi terdapat dalam masyarakat. Terciptanya Perjanjian innominaat
7

didasari karena pada hukum perjanjian, berlakunya asas kebebasan mengadakan


perjanjian.

4. Perjanjian Kebendaan dan Perjanjian Obligatoir.

Perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik


dalam perjanjian jual beli. Perjanjian kebendaan ini sebagai pelaksanaan
perjanjian obligatoir. Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang menimbulkan
perikatan, artinya sejak terjadi perjanjian, timbullah hak dan kewajiban pihak-
pihak. Pembeli berhak menuntut penyerahan barang, penjual berhak atas
pembayaran harga.

5. Perjanjian Konsesual dan Perjanjian Riil.

Perjanjian konsensual adalah suatu perjanjian yang hanya memerlukan


persetujuan (consensus) dari kedua pihak. Perjanjian riil adalah perjanjian
disamping ada persetujuan kehendak juga sekaligus masih memerlukan
penyerahan suatu benda, misalnya jual beli barang bergerak.

6. Perjanjian Formil – Jenis jenis Perjanjian

Perjanjian formil adalah perjanjian yang harus dibuat secara tertulis, jika
tidak maka perjanjian ini menjadi batal, misalnya: Perjanjian perdamaian (Pasal
1851 KUH Perdata).

7. Perjanjian Campuran (Contractus sui generis).

Dalam perjanjian ini terdapat unsur-unsur dari beberapa perjanjian


nominaat atau bernama yang terjalin menjadi satu sedemikian rupa, sehingga tidak
dapat dipisah-pisahkan sebagai perjanjian yang berdiri sendiri. Contohnya:
perjanjian antara pemilik hotel dengan tamu. Didalam perjanjian yang sedemikian,
terdapat unsur perjanjian sewa-menyewa (sewa kamar), perjanjian jual beli (jual
8

beli makanan/minuman), atau perjanjian melakukan jasa (penggunaan telepon,


pemesanan tiket, dan lain-lain).

8. Perjanjian Penanggungan (Bortocht).

Perjanjian Penanggungan adalah suatu persetujuan dimana pihak ketiga


demi kepentingan kreditur mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitur,
bila debitur tidak memenuhi perikatannya (Pasal 1820 KUH Perdata).

9. Perjanjian Standar / Baku – Jenis jenis Perjanjian

Perjanjian standar bentuknya tertulis berupa formulir yang isinya telah


distandarisasi (dibakukan) terlebih dulu secara sepihak, serta bersifat massal tanpa
mempertimbangkan perbedaan kondisi pihak yang menyetujui perjanjian tersebut.

10. Perjanjian Garansi dan Derden Beding – Jenis jenis Perjanjian

Perjanjian garansi adalah suatu perjanjian dimana seseorang berjanji pada


pihak lainnya, bahwa pihak ketiga akan berbuat sesuatu (Pasal 1316 KUH
Perdata). Derden Beding yaitu janji untuk orang ketiga merupakan pengecualian
dari asas yang menentukan bahwa suatu perjanjian hanya mengikat pihak-pihak
yang mengadakan perjanjian itu (Pasal 1317 KUH Perdata)3

D. Syarat-syarat sah perjanjian


Dalam berbisnis atau bahkan dalam menjalankan rutinitas pekerjaan sehari-
hari, kita sering diminta untuk membuat perjanjian. Salah satu
contohnya perjanjian bisnis. Tapi, tahukah kamu apa saja syarat sah perjanjian
menurut hukum di Indonesia? 
Perjanjian dibuat sebagai bukti bahwa telah terjadi kesepakatan antara kita dan
rekan bisnis atau pihak perusahaan.

3
https://www.hukum.xyz/jenis-jenis-perjanjian/
9

Perjanjian sering dibuat dalam kegiatan sewa-menyewa, jual beli, pinjam-


meminjam, atau jenis transaksi lainnya. Perjanjian merupakan sesuatu yang lazim
di dunia bisnis atau kegiatan usaha pada saat ini.
Dasar hukum perjanjian dalam syarat sah perjanjian
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai syarat sah perjanjian, ada baiknya
untuk kamu mengerti dulu apa sih arti dari sebuah perjanjian? Apa ada dasar
hukum di Indonesia yang membahas tentang perjanjian? 
Pengertian perjanjian 
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), perjanjian
adalah perbuatan yang melibatkan satu orang atau lebih yang mengikat diri
mereka dengan orang lain atau lebih. Dalam perjanjian tersebut termuat hak dan
kewajiban masing-masing pihak.
Karena sifatnya yang mengikat, maka perjanjian bisa juga disamakan dengan
Undang-Undang, bedanya hanya lingkupnya saja. 
Kalau undang-undang harus ditaati semua warga negara, perjanjian ditaati pihak
yang bersepakat. 
Selain untuk pengikat hak dan kewajiban masing-masing pihak, perjanjian juga
memiliki fungsi sebagai alat bukti yang sah untuk menyelesaikan sengketa.
Tak bisa dipungkiri bahwa setiap hubungan bisa saja mengalami perselisihan atau
konflik. Nah, perjanjian bisa dijadikan sebagai alat untuk menyelesaikan
perselisihan tersebut.
Dasar hukum perjanjian
Dasar hukum di Indonesia telah memuat banyak hal tentang perjanjian, termasuk
syarat sah perjanjian. Pengertian perjanjian itu sendiri telah tercantum dalam Pasal
1313 KUHPerdata. 
Pasal tersebut menyebut “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”
Sementara untuk syarat sah perjanjian dicantumkan dalam Pasal 1320
KUHPerdata. Berdasarkan pasal tersebut, kesepakatan harus memenuhi empat
syarat agar bisa sah menjadi perjanjian, di antaranya: 
syarat kesepakatan, 
kecakapan, 
10

objek, 
halal. 
Ini 4 syarat sah perjanjian yang wajib dipenuhi
Dalam praktiknya, perjanjian memiliki sejumlah syarat supaya dianggap sah
secara hukum. Syarat sah perjanjian itu diatur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata, khususnya Pasal 1320. Syarat-syarat sah tersebut, antara lain:
Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
Suatu pokok persoalan tertentu.
Suatu sebab yang tidak terlarang.
Syarat pertama dan kedua disebut sebagai syarat subjektif karena berkaitan
dengan para subjek yang membuat perjanjian. 
Sementara itu, syarat kedua dan ketiga disebut syarat objektif karena berkaitan
dengan objek dalam perjanjian.4

E. Akibat hukum perjanjian yang sah


Menurut ketentuan pasal 1338 KUHPdt, perjanjian yang dibuat secara sah,
yaitu memenuhi syarat-syarat pasal 1320 KUHPdt berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya, tidak dapat ditarik kembali tanpa
persetujuan kedua belah pihak atau karena alasan- alasan yang cukup menurut
undang- undang, dan harus dilaksanakan dengan itikad baik.

1. Berlakunya sebagai Undang-undang

Perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak artinya


perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa serta memberi kepastian
hukum kepada pihak-pihak yang membuatnya. Pihak-pihak harus menaati
perjanjian itu sama dengan menaati undang-undang. Jika ada pihak yang
melanggar perjanjian yang mereka buat, ia dianggap sama dengan melanggar
undang-undang, sehingga diberi akibat hukum tertentu yaitu sanksi hukum.

4
https://www.hukum.xyz/jenis-jenis-perjanjian/
11

2. Tidak dapat ditarik kembali secara sepihak

Karena perjanjian itu adalah persetujuan kedua belah pihak, maka jika
akan ditarik kembali atau dibatalkan adalah wajar jika disetujui oleh kedua belah
pihak pula. Tetapi apabila ada alasan yang cukup menurut undang-undang
perjanjian dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak.

Alasan-alasan yang ditetapkan oleh undang-undang itu adalah sebagai berikut :

a. Perjanjian yang bersifat terus-menerus, berlakunya dapat dihentikan secara


sepihak. Misalnya Pasal 1571 KUHPerdata tentang sewa-menyewa yang dibuat
secara tidak tertulis dapat dihentikan dengan pemberitahuan kepada penyewa.

b. Perjanjian sewa rumah Pasal 1587 KUHPerdata setelah berakhir waktu sewa
seperti ditentukan dalam perjanjian tertulis, penyewa tetap menguasai rumah
tersebut. Tanpa ada tegoran dari pemilik yang menyewakan, maka penyewa
dianggap tetap meneruskan penguasaan rumah itu atas dasar sewa menyewa
dengan syarat-syarat yang sama untuk waktu yang ditentukan menurut kebiasaan
setempat. Jika pemilik ingin menghentikan sewa-menyewa tersebut ia harus
memberitahukan kepada penyewa menurut kebiasaan setempat.

c. Perjanjian pemberian kuasa (lastgeving), Pasal 1814 KUHPerdata. Pemberi


kuasa dapat menarik kembali kuasanya apabila ia menghendakinya.

d. Perjanjian pemberian kuasa (lastgeving) Pasal 1817 KUHPerdata, penerima


kuasa dapat membebaskan diri dari kuasa yang diterimanya dengan
memberitahukan kepada pemberi kuasa.

3. Pelaksanaan dengan itikad baik

Yang dimaksud dengan itikad baik (te goeder trouw, in good faith) dalam
pasal 1338 KUHPerdata adalah ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan
12

perjanjian, apakah pelaksanaan perjanjian itu mengindahkan norma-norma


kepatutan dan kesusilaan.5

5
http://www.sangkoeno.com/2015/01/akibat-hukum-perjanjian-yang-sah.html
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari pembahasan di atas yaitu:

Perikatan yang lahir dari perjanjian menimbulkan hubungan hukum yang


memberikan hak dan meletakkan kewajiban kepada para pihak yang membuat
perjanjian berdasarkan atas kemauan atau kehendak sendiri dari para pihak yang
bersangkutan yang mengikatkan diri tersebut.
Perikatan yang lahir dari Undang-Undang merupakan perikatan yang terjadi
karena adanya suatu peristiwa tertentu sehingga melahirkan hubungan hukum
yang menimbulkan hak dan kewajiban di antara para pihak yang bersangkutan,
tetapi bukan berasal dari kehendak para pihak yang bersangkutan melainkan telah
diatur dan ditentukan oleh undang-undang.

13
DAFTAR PUSTAKA

https://www.agamkab.go.id/Agamkab/detailkarya/533/mengenal-
perjanjian-dan-kontrak.html
http://mh.uma.ac.id/2021/01/asas-asas-perjanjian/
https://lifepal.co.id/media/syarat-sah-perjanjian/
http://www.sangkoeno.com/2015/01/akibat-hukum-perjanjian-yang-
sah.html

14

Anda mungkin juga menyukai