Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH

HUKUM BISNIS
HAPUSNYA PERIKATAN

Disusun oleh:

LUH ASTIKA PRAMESTY


KELAS: 4AC
NPM: 062030501314

POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA


FAKULTAS HUKUM
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan kasih
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat pada waktunya.
Dengan judul makalah “Hapusnya Perikatan” dapat terselesaikan dengan baik dan lancar.

Pertama kami ucapkan terima kasih kepada Bapak/Ibu yang telah membimbing kami
dalam menyusun makalah ini. Makalah yang kami buat ini mengangkat tema atau judul tentang
“Hapusnya Perikatan”. Makalah ini bertujuan untuk memenuhi tanggung jawab yang ditugaskan
oleh dosen mata kuliah yang bersangkutan. Dan tidak lupa makalah ini bertujuan agar para
pembaca dapat lebih memahami lebih dalam lagi tentang bagaimana cara perikatan itu dapat
berakhir.

Penulis mohon maaf apabila dalam pembuatan makalah ini masih terdapat kesalahan,
oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan penulis dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini. Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.

Palembang, 12 Januari 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................................2
DAFTAR ISI...................................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang...................................................................................................................................4
Rumusan Masalah..............................................................................................................................5
Tujuan Masalah.................................................................................................................................6

BAB II PEMBAHASAN
Hapusnya Perikatan...........................................................................................................................7

Berakhirnya Suatu Perikatan Menurut Pasal 1381 KUHPer...........................................................10


Pembayaran (Betaling)....................................................................................................................10

Penawaran bayar tunai diikuti penyimpanan/penitipan (Consignatie)............................................18

Pembaharuan Utang (Novasi)..........................................................................................................18

Kompensasi atau Imbalan (Vergerlijking)......................................................................................20

Pencampuran Utang (Schuldvermenginng)....................................................................................22

Pembebasan Utang (Kwitjschelding der schuld).............................................................................22

Hilangnya benda yang diperjanjikan (Het vergaan der verschuldigde zaak).................................23

Batal dan Pembatalan (Nietigheid ot te niet doening).....................................................................24

Timbul syarat yang membatalkan (Door werking ener ontbindende voorwaarde)........................25

Kedaluwarsa...........................................................................................................................25

Hapusnya Perjanjian........................................................................................................................27

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan......................................................................................................................................29
Saran 30

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................31

3
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Perikatan pada dasarnya merupakan hubungan hukum yang artinya hubungan yang di
atur dan di akui oleh hukum, baik yang dapat dinilai dengan uang maupun tidak, yang di
dalamnya terdapat paling sedikit adanya terdapat satu dan kewajiban, misalnya suatu
perjanjian pada dasarnya menimbulkan atau melahirkan satu atau beberapa perikatan,
keadaan ini tentu tergantung pada jenis perjanjian yang diadakan, demikian juga halnya suatu
perikatan dapat saja dilahirkan karena adanya ketentuan undang-undang, dalam arti, undang-
udanglah yang menegaskan, di mana dengan terjadinya suatu peristiwa atau perbuatan telah
melahirkan perikatan atau hubungan hukum, misalnya, dengan adanya perbuatan melanggar
hukum.
Perikatan berasal dari bahasa Belanda “Verbintenis” atau dalam bahasa Inggris
“Binding”. Verbintenis berasal dari perkataan bahasa Perancis “Obligation” yang terdapat
dalam “code civil Perancis”, yang selanjutnya merupakan terjemahan dari kata “obligation”
yang terdapat dalam Hukum Romawi ”Corpusiuris Civilis”.
Subekti memberikan definisi dari Perikatan sebagai suatu hubungan antara dua orang
atau dua pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak
yang lain dan pihak yang lainnya berkewajiban untuk memenuhi prestasi tersebut.
Menurut Hofmann, Perikatan atau ”Verbintenis” adalah suatu hubungan hukum antara
sejumlah terbatas subjek-subjek hukum, sehubungan dengan itu, seseorang mengikatkan
dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak atas
sikap yang demikian itu1, sedangkan menurut Pitlo, perikatan adalah suatu hubungan hukum
yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu
berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi.
Tindakan atau perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihaklah yang menimbulkan
hubungan hukum perjanjian, sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak lain untuk
memperoleh prestasi, sedangkan pihak yang lain itupun menyediakan diri dibebani dengan

4
1
L.C. Hoffman, sebagaimana dikutip dari R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Putra Abardin, 1999, hal. 2.

5
kewajiban untuk menunaikan prestasi.2 Prestasi merupakan obyek (voorwerp) dari perjanjian.
Tanpa prestasi, hubungan hukum yang dilakukan berdasarkan tindakan hukum, tidak akan
memiliki arti apapun bagi hukum perjanjian. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1234 KUH
Perdata, maka prestasi yang diperjanjikan itu adalah untuk menyerahkan sesuatu, melakukan
sesuatu, atau untuk tidak melakukan sesuatu.
Dalam suatu perikatan, satu pihak berhak atas suatu prestasi, tetapi mungkin juga pihak
yang berkewajiban memenuhi prestasi itu di samping kewajiban tersebut juga berhak atas
suatu prestasi. Sebaliknya pula, pihak lain itu di samping berhak atas suatu prestasi juga
berkewajiban memenuhi suatu prestasi. Jadi kedua belah pihak memiliki hak dan kewajiban
timbal balik3. Debitur memiliki kewajiban untuk menyerahkan prestasi kepada kreditur, oleh
sebab itu debitur memiliki kewajiban untuk membayar hutang (schuld). Di samping itu,
debitur juga memiliki kewajiban lain, yaitu bahwa debitur berkewajiban untuk memberikan
harta kekayaannya diambil oleh kreditur sebanyak hutang debitur, guna pelunasan hutang
tadi, apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya membayar hutang tersebut4.
Maka dari itu, kami membahas mengenai hapusnya perikatan dalam makalah ini. Perihal
hapusnya perikatan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1381 menyebutkan
sepuluh macam cara hapusnya perikatan yaitu Pembayaran, Penawaran pembayaran diikuti
dengan penitipan, Pembaharuan utang (inovatie), Perjumpaan utang (kompensasi),
Percampuran utang, Pembebasan utang, Musnahnya barang yang terutang, Kebatalan dan
pembatalan perikatan-perikatan.

Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dalam makalah ini
adalah:
1. Apakah sebab-sebab hapusnya suatu perikatan?
2. Bagaimanakah Pembayaran dan Kedaluwarsa dapat membatalkan suatu perikatan?

2
M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal. 7.
3
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1992, hal. 8.
4
Mariam Darus Badrulzaman, Kerangka Dasar Hukum Perjanjian, dalam Hukum Kontrak Indonesia, ELIPS, Jakarta,
1998, hal. 4.

6
Tujuan Masalah
Berdasarkan pernyataan masalah maka tujuan yang ingin dicapai oleh penulisan makalah ini
adalah:
1. Untuk mengetahui mengenai sebab-sebab hapusnya suatu perikatan;
2. Untuk mengetahui mengenai pembayaran dan kedaluwarsa dapat membatalkan suatu
perikatan.

7
BAB II

PEMBAHASAN

Hapusnya Perikatan
Hapusnya perikatan dalam kontrak yang timbul dari persetujuan maupun dari undang-
undang diatur dalam bab ke-IV buku ke-III KUH Perdata,yaitu pasal 1381. Dalam pasal
tersebut, terdapat beberapa cara hapusnya suatu perikatan, yaitu:
a. Pembayaran
b. Penawaran pembayaran diikuti oleh penyimpanan
c. Pembaruan utang (inovati)
d. Perjumpaan utang (konvensasi)
e. Percampuran utang
f. Pembebasan utang
g. Musnahnya barang yang terutang
h. Kebatalan dan pembatalan perikatan-perikatan
i. Syarat yang membatalkan (diatur dalam BAB I)
j. Kedaluarsaan (diatur dalam buku ke IV, BAB 7)
Jadi didalam KUH Perdata, ada sepuluh cara yang mengatur tentang hapusnya perikatan.
Cara-cara lainnya yang belum disebutkan, yaitu “ berakhirnya suatu ketetapan waktu
(terjamin) dalam suatu atau meninggalnya salah satu pihak dalam beberapa macam
perjanjian”, seperti meninggalnya seorang persero dalam suatu perjanjian firma dan pada
umumnya dalam perjanjian-perjanjian yang di dalamnya prestasi hanya dapat dilaksanakan
oleh orang lain.Selain sebab-sebab hapusnya perikatan yang ditentukan oleh Pasal 1381
KUH Perdata tersebut, ada beberapa penyebab lain untuk hapusnya suatu perikatan, yaitu:
1. Berakhirnya suatu ketetapan waktu dalam suatu perjanjian;
2. Meninggalnya salah satu pihak dalam perjanjian, misalnya meninggalnya pemberi kuasa
atau penerima kuasa (Pasal 1813 KUH Perdata);
3. Meninggalnya orang yang memberikan perintah;
4. Karena pernyataan pailit dalam perjanjian maatschap;
5. Adanya syarat yang membatalkan perjanjian.

8
Menurut pasal 1313 KUHPerdata: “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Apabila
diperhatikan, adapun unsur-unsur dari perjanjian itu adalah:
a. Terdapat para pihak sedikitnya 2 (dua) orang;
b. Ada persetujuan antara para pihak yang terkait;
c. Memiliki tujuan yang akan dicapai;
d. Memiliki prestasi yang akan dilaksanakan;
e. Dapat berbentuk lisan maupun tulisan;
f. Memiliki syarat-syarat tertentu sebagai isi dari perjanjian
Sedangkan di dalam buku Yahya Harahap disebutkan menurut Sudikno Mertokusumo:
“Perjanjian adalah hubungan hukum/ rechtshandeling dalam hal mana satu pihak atau lebih
mengikat diri terhadap satu atau lebih pihak lain”. Istilah perjanjian berkaitan dengan
perikatan (verbintenis). Menurut Subekti perikatan adalah suatu pengertian abstrak
sedangkan perjanjian adalah suatu peristiwa konkret.
Menurut Sudikno Mertokusumo, asas-asas hukum dalam perjanjian adalah pikiran dasar
yang umum sifatnya, dan merupakan latar belakang dari peraturan hukum yang konkrit yang
terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum
positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat dalam peraturan konkrit tersebut.
Asas-asas hukum perjanjian yang dikemukakan meliputi:
1. Asas konsensualisme, diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan: “Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”
2. Asas kebebasan berkontrak, pada dasarnya manusia bebas mengadakan hubungan dengan
orang lain. Termasuk di dalamnya adalah hubungan kerja sama maupun mengadakan
suatu perjanjian.
3. Asas kekuatan mengikat suatu perjanjian, perjanijan yang telah dibuat dan disepakati oleh
para pihak yang terlibat mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang bagi para
pihak.

9
4. Asas itikad baik, pada Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata dinyatakan: “Suatu perjanjian
harus dilaksanakan dengan itikad baik”
5. Asas kepribadian, pada Pasal 1315 KUHPerdata berbunyi: “Pada umumnya tak seorang
dapat mengikatkan dirinya atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji
daripada untuk dirinya sendiri”.
Di dalam pasal 1320 KUHPerdata juga dimuat tentang syarat sah nya suatu perjanjian,
yaitu:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
Suatu perjanjian bisa terlaksana apabila terdapat kata sepakat antara para pihak
mengenai obyek yang diperjanjikan, memiliki kesesuaian paham dan kehendak atas
perjanjian.
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
Yang dimaksud dalam syarat ini adalah cakap menurut hukum sesuai yang diatur oleh
KUHPerdata, yang dewasa, dan sehat akal pikirannya.
c. Suatu hal tertentu;
Merupakan hal- hal yang diperjanjikan yang dituangkan dalam perjanjian, mulai dari
hak dan kewajiban, obyek perjanjian, dan penyelesaian apabila terjadi sengketa
nantinya.
d. Suatu sebab yang halal;
Dalam perjanjian, klausula yang dituangkan harus bersifat halal, artinya tidak
bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, peraturan perUndang-Undangan,
maupun kebiasaan norma masyarakat yang telah diakui.
Memperjelas keempat syarat itu, Subekti menggolongkannya ke dalam 2 (dua) bagian,
yakni:
a. Mengenai subjek perjanjian, adalah orang yang cakap atau mampu melakukan perjanjian
sesuai peraturan perUndang-Undangan. Adapun sepakat (konsensus) adalah dasar dari
terbentuknya perjanjian, dimana para pihak memiliki kebebasan dalam menentukan
kehendaknya tanpa ada paksaan.
b. Mengenai objek perjanjian, adalah apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak yang
tertuang dengan jelas di dalam perjanjian, dimana objek tersebut tidak bertentangan
dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.

10
Pada Pasal 1338 KUHPerdata dikatakan:
“Perjanjian dibuat secara berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”

Jenis-jenis perjanjian itu sendiri terdiri dari beberapa aspek:


a. Berdasarkan cara lahirnya:
1. Perjanjian Konsensuil
2. Perjanjian Formal
3. Perjanjian Riil
b. Berdasarkan pengaturannya:
1. Perjanjian Bernama
2. Perjanjian Tidak Bernama
c. Berdasarkan sifat perjanjian:
1. Perjanjian Pokok
2. Perjanjian Accesoir
d. Berdasarkan prestasi yang diperjanjikan:
1. Perjanjian Sepihak
2. Perjanjian Timbal Balik
e. Berdasarkan akibat yang ditimbulkan:
1. Perjanjian Obligatoir
2. Perjanjian Kebendaan

Berakhirnya Suatu Perikatan Menurut Pasal 1381 KUHPer


Menurut ketentua Pasal 1381 KUHper, sesuatu perikatan baik yang lahir dari perjanjian
maupun undang-undang dapat berakhir karena, beberapa hal antara lain:
Pembayaran (Betaling)
Pembayaran (betaling) yaitu jika kewajibannya terhadap perikatan itu telah dipenuhi (pasal
1382 KUHPerdata).5
Istilah ‘pembayaran’ dalam hukum perikatan berbeda dengan istilah dalam kehidupan
sehari-hari, yaitu pembayaran sejumlah uang, tetapi pembayaran adalah setiap tindakan,

5
Dr. Titik Triwulan Titik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Kencana Prenadmedia Group,
2008, hlm. 243.

11
pemenuhan prestasi, walau bagaimanapun sifat dari prestasi itu. penyerahan baraang oleh
penjual, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu adalah merupakan pemenuhan prestasi
pun disebut pembayaran. Pada umumnya, dengan dilakukannya pembayaran, perikatan
menjadi hapus, tetapi adakalanya bahwa perikatannya tetap ada dan pihak ketiga
menggantikan kedudukan kreditor semula (Subrogasi, pasal 1400 KUHPer).6
Dalam subrogasi, apabila pihak ketiga melunasi utang seorang debitor kepada
kreditornya yang asli, maka lenyaplah hubungan hukum antara debitor, dengan kreditor asli.
Dengan pembayaran itu maka perikatan itu sendiri tidak lenyap, tetapi yang terjadi adalah
pergeseran kedudukan kreditur kepada orang lain. Subrogasi dapat lahir karena perjanjian
maupun karena undang-undang. Subrogasi karena perjanjian terjadi antara kreditur dengan
pihak ketiga atau debitur dengan pihak ketiga.7
Yang dimaksud oleh undang-undang dengan perkataan ”pembayaran” ialah pelaksanaan
atau pemenuhan tiap perjanjian secara sukarela, artinya tidak dengan paksaan atau eksekusi.
Jadi perkataan pembayaran itu oleh undang-undang tidak melulu ditujukan pada penyerahan
uang saja tetapi penyerahan tiap barang menurut perjanjian, dinamakan pembayaran. Bahkan
si pekerja yang melakukan pekerjaannya untuk majikannya dikatakan ”membayar”.
Pembayaran Yang dimaksud dengan pembayaran dalam hukum perikatan adalah setiap
pemenuhan prestasi secara sukarela. Dengan dipenuhinya prestasi itu perikatan menjadi
terhapus. Pembayaran merupakan pelaksanaan perikatan dalam arti yang sebenarnya, dimana
dengan dilakukannya pembayaran ini tercapailah tujuan perikatan/perjanjian yang diadakan.
Pihak yang wajib memenuhi prestasi adalah debitur. Namun, menurut Pasal 1382 BW selain
daripada debitur sendiri, orang-orang lain juga dapat memenuhi prestasi itu, yaitu:
a. Mereka yang berkepentingan, misalnya orang yang turut terutang dan seorang
penanggung jawab hutang (borg); dan
b. Mereka yang tidak berkepentingan, asal saja mereka bertindak atas nama debitur atau
atas namanya sendiri, asal ia tidak menggantikan kedudukan kreditur.
Pengecualian pembayaran oleh pihak ketiga disebutkan di dalam Pasal 1383 BW yang
menentukan bahwa pada perikatan untuk berbuat sesuatu, tidak dapat dipenuhi oleh pihak

6
Ibid., hlm. 244.
7
Ibid., hlm. 245.

12
ketiga yang berlawanan dengan kemauan kreditur, jika kreditur berkepentingan supaya
perbuatan tersebut dilakukan sendiri oleh debitur.
Agar pembayaran yang dilakukan itu sah, orang yang membayar tersebut harus pemilik
atas barang yang dibayarkan dan berwenang untuk mengasingkannya. Meskipun demikian,
pembayaran sejumlah uang atau barang yang dipakai habis, tidak dapat diminta kembali dari
orang yang dengan itikad baik telah menghabiskan barang yang dibayarkan itu, sekalipun
pembayaran itu telah dilakukan oleh orang yang bukan pemilik atau orang yang tidak
berwenang mengasingkan barang tersebut (Pasal 1384 KUH Perdata).
Pembayaran harus dilakukan kepada kreditur, atau kepada orang yang telah dikuasakan
olehnya, atau kepada orang yang telah dikuasakan oleh hakim atau undang-undang untuk
menerima pembayaran tersebut. Pembayaran yang dilakukan kepada orang yang tidak
berkuasa menerima pembayaran bagi kreditur adalah sah apabila kreditur menyetujuinya atau
nyata-nyata telah mendapat manfaat karenanya (Pasal 1385 KUH Perdata). Demikian pula
pembayaran dengan itikad baik yang dilakukan kepada orang yang memegang surat piutang
adalah sah (Pasal 1386 KUH Perdata). Pembayaran yang dilakukan kepada kreditur yang
tidak cakap untuk menerimanya adalah tidak sah, terkecuali apabila debitur membuktikan
bahwa kreditur sungguh-sungguh mendapat manfaat dari pembayaran itu (Pasal 1387 KUH
Perdata). Kreditur tidak boleh dipaksa menerima sebagian pembayaran suatu barang yang
lain daripada barang tertentu yang diperjanjikan, meskipun barang yang ditawarkan itu sama
atau bahkan lebih harganya (Pasal 1389 KUH Perdata). Sebaliknya, meskipun tidak
disebutkan dalam undang-undang harus dianggap bahwa debitur tidak boleh dipaksa untuk
menyerahkan barang yang lain daripada yang diperjanjikan, walaupun barang yang diminta
untuk diserahkan itu sama bahkan kurang harganya.8 Selanjutnya, debitur tidak dapat
memaksa kreditur untuk menerima pembayaran hutangnya, meskipun hutang itu dapat
dibagi (Pasal 1390 KUH Perdata). Sebaliknya, meskipun tidak disebut dalam undang-
undang– kreditur juga tdak dapat memaksa debitur untuk melakukan pembayaran hutangnya
sebagian demi sebagian, meskipun
hutangnya itu juga dapat dibagi.9
Mengenai tempat pembayaran diatu pada Pasal 1393 KUH Perdata yang menentukan
bahwa pembayaran dilakukan di tempat yang ditetapkan dalam perjanjian. Jika dalam

8
Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 2000, hal. 101.
12
9
Ibid.,

12
perjanjian tidak ditetapkan, pembayaran mengenai suatu barang tertentu, harus di tempat
dimana barang berada sewaktu perjanjian dibuat. Di luar kedua hal tersebut, pembayaran
harus dilakukan di tempat tinggal kreditur selama ia terus menerus berdiam dalam kabupaten
dimana ia berdiam sewaktu perjanjian dibuat, dan dalam hal-hal lainnya di tempat tinggal
debitur.
Mengenai pembayaran uang harga pembelian dalam perjanjian jual-beli, Pasal 1514
KUH Perdata menentukan lain daripada Pasal 1393 KUH Perdata, dimana pembayaran itu
tempat digantungkan pada tempat dimana barang yang dibeli harus diserahkan, kecuali
diperjanjian di tempat lain.
Kalau orang melakukan pembayaran, ia seringkali mendapat tanda pembayaran berupa
kuitansi (kwijting artinya tanda pembayaran). Dengan menerima kuitansi tersebut orang
merasa bebas dari penagihan di kemudian hari, meskipun kuitansi itu hanya tanda belaka dari
pembayaran, bukan pembayarannya sendiri. Meskipun undang-undang tidak ada
menetapkan, tetapi dapat dianggap sebagai hukum tidak tertulis, bahwa debitur yang telah
melakukan pembayaran berhak meminta kuitansi kepada kreditur.10
Mengenai pembayaran yang dilakukan secara berkala, misalnya sewa rumah, cicilan atau
angsuran, bunga uang pinjaman dan lain sebagainya, Pasal 1394 KUH Perdata memuat
pengaturan yang memudahkan pihak debitur untuk membuktikan pembayaran
cicilan/angsuran yang telah dilakukan, yaitu dengan menunjukkan 3 lembar tanda
pembayaran (kuitansi) berturut-turut, ia dianggap telah membuktikan pula cicilan/angsuran
sebelumnya, kecuali kreditur dapat membuktikan sebaliknya.
Dalam Pasal 1382 KUH Perdata disebutkan tentang kemungkinan pembayaran yang
dilakukan oleh pihak ketiga. Pembayaran yang dilakukan pihak ketiga kepada kreditur
mengakibatkan terjadinya penggantian kedudukan kreditur yang dinamakan sibrogasi. Jadi,
setelah pihak ketiga tersebut melakukan pembayaran, lenyaplah hubungan hukum antara
debitur dan kreditur lama. Akan tetapi, pada saat yang sama terjadilah hubungan hukum
antara debitur dengan kreditur baru yang menggantikan kedudukan kreditur lama.
Dengan terjadinya subrogasi, piutang dan hak-hak accessoirnya atau janji-janji yang
menyertai perikatan pokok seperti hipotik, gadai, borg tocht dan lain sebagainya beralih
kepada pihak ketiga yang menggantikan kedudukan kreditur lama.

13
10
Ibid., hlm. 101.

14
Subrogasi dapat terjadi karena perjanjian (yaitu antara kreditur dengan pihak ketiga atau
antara debitur dengan pihak ketiga) maupun karena undang-undang.
Subrogasi terjadi karena perjanjian disebut dalam Pasal 1401 KUH Perdata adalah:
(1) Apabila kreditur dengan menerima pembayaran dari seorang pihak ketiga menetapkan
bahwa orang ini akan menggantikan hak-haknya, gugatan-gugatannya, hakhak
istimewanya dan hipotik yang dipunyainya terhadap debitur. Subrogasi ini dinyatakan
secara tegas dan dilakukan tepat pada waktu pembayaran.
(2) Apabila debitur meminjam uang untuk melunasi hutangnya dan menetapkan orang yang
meminjami uang itu akan menggantikan hak-hak kreditur. Agar subrogasi ini sah, baik
perjanjian pinjam uang maupun tanda pelunasan harus dibuat dengan akta otentik dan
dalam perjanjian pinjam uang tersebut harus diterangkan, bahwa uang itu dipinjam untuk
mlunasi hutang tersebut. Selanjutnya, surat tanda pelunasan harus menerangkan bahwa
pembayaran dilakukan dengan uang yang untuk itu dipinjamkan oleh kreditur baru.
Subrogasi ini dilakukan tanpa bantuan kreditur lama.
Sedangkan subrogasi yang terjadi karena undang-undang menurut Pasal 1402 KUH
Perdata adalah sebagai berikut:
(1) Untuk seorang yang ia sendiri sedang berpiutang melunasi seorang berpiutang lain, yang
berdasarkan hak- hak istimewanya atau hipotik, mempunyai suatu hak yang lebih tinggi.
(2) Untuk seorang pembeli suatu benda tidak bergerak, yang telah memakai uang harga
benda tersebut untuk melunasi piutang orang-orang kepada siapa benda itu diperikatkan
dalam hipotik.
(3) Untuk seorang yang bersama-sama dengan orang lain atau untuk orang-orang lain,
diwajibkan membayar suatu hutang, berkepentingan untuk melunasi hutang itu.
(4) Untuk seorang ahli waris yang sedang menerima suatu warisan dengan hak istimewa
guna mengadakan pencatatan keadaan harga peninggalan, telah membayar hutang-hutang
warisan dengan uangnya sendiri.
Dari apa yang telah diuraikan di atas ini ternyata jika seseorang membayarkan hutang
orang lain, pada umumnya tidak menimbulkan subrogasi, artinya tidak menggantikan
kedudukan kreditur. Subrogasi hanyalah terjadi jika diperjanjikan atau ditentukan undang-
undang seperti diuraikan di atas. Selain yang disebut Pasal 1402 KUH Perdata subrogasi
dapat juga terjadi seperti tersebut dalam Pasal 1106, 1202, 1840 KUH Perdata.

15
Subrogasi harus dibedakan dengan cessie (pemindahan suatu piutang). Dalam subrogasi,
hutang telah dibayar lunas oleh pihak ketiga, tetapi perikatan hutang-piutang measih tetap
ada antara pihak ketiga dengan debitur, sedangkan cessie adalah suatu perbuatan pemindahan
suatu piutang kepada orang yang telah membeli piutang itu. Selanjutnya dalam cessie harus
ada akta otentik atau akta di bawah tangan, sedangkan dalam subrogasi akta itu tidak perlu
ada. Kemudian cessie baru berlaku bagi debitur apabila sudah diberitahukan kepadanya atau
sudah diakuinya, sedangkan dalam subrogasi pemberitahuan atau persetujuan ini tidak perlu.
Ada beberapa hal yang harus diketahui mengenai pembayaran yaitu:
a) Siapa yang harus melakukan pembayaran
Perikatan selain dapat dibayar oleh debitur, juga oleh setiap orang, baik ia
berkepentingan atau tidak. Menurut ketentuan KUH Perdata pasal 1382 ayat 1 bahwa
perikatan dapat dibayar oleh yang berkepentingan seperti orang yang turut berutang
atau seorang penanggung utang dan menurut ayat duanya bahwa pihak ketiga yang
tidak berkepntingan dalam melakukan pembayaran dapat bertindak atas nama si
berutang atau atas nama sendiri. Dalam hal pembayaran dilakukan atas nama si
berutang berarti pembayaran dilakukan oleh si berutang sendiri, sedangkan
pembayaran yang dilakukan atas nama sendiri berarti pihak ketigalah yang
membayarnya. Kesimpulannya adalah pihak yang berwajib membayar yaitu:
1) Debitur, Pasal 1382 KUH Perdata mengatur tentang orang-orang selain dari
debitur sendiri. Mereka yang mempunyai kepentingan, misalnya kawan
berutang (mede schuldenaar) dan seorang penanggung (borg).
2) Seorang pihak ketiga yang tidak mempunyai kepentingan, asal saja orang
pihak ketiga itu bertindak atas nama dan untuk melunasi utangnya debitur atau
pihak ketiga itu bertindak atas namanya sendiri, asal ia tidak menggantikan
hak-hak kreditur
b) Syarat untuk debitur yang membayar
Pada suatu perjanjian penyerahan hak milik menurut pasal 1384 KUH Perdata
maka agar penyerahan itu sah diperlukan syarat-syarat sebagai berikut: Orang yang
membayarkan harus pemilik mutlak dari benda yang diserahkan. Orang yang
menyerahkan berkuasa memindah tangankan benda tersebut. Apabila yang

16
menyerahkan bukan pemilik benda yang bersangkutan, maka kedua belah pihak dapat
menyangkal pembayaran tersebut.
Kepada siapa pembayaran harus dilakukan Pembayaran menurut ketentuan dalam
Pasal 1385 KUH Perdata harus dilakukan kepada:
1) Kreditur, pertama-tama adalah kreditur yang berhak untuk menerima prestasi.
Adakalanya prestasi khusus harus disampaikan atau ditujukan kepada kreditur,
seperti pengobatan atau jika hal tersebut diperjanjikan. Jika kreditur tidak cakap
(onbekwaam), maka pembayaran harus dilakukan kepada wakilnya menurut
undang-undang. Dalam hal ia tidak mempunyai wakil, debitur dapat menunda
pembayaran, mengingat tdak adanya orang kepada siapa ia dapat melakukan
pembayaran secara sah.
2) Orang yang dikuasakan oleh kreditur, Pembayaran debitur kepada kuasa kreditur
adalah sah. Jika kreditur menghendaki agar debitur membayar kepadanya, maka
debitur harus memenuhinya, demikian juga jika kreditur menghendaki agar
pembayaran dilakukan kepada kuasanya.
3) Orang yang dikuasakan oleh hakim atau undang-undang untuk menerima
pembayaran tersebut, Wewenang yang diberikan oleh undang-undang untuk
menerima pembayaran bagi kreditur adalah misalnya, curator.
Dalam tiga hal pembayaran yang tidak ditujukan kepada kreditur atau
kuasanya tetap dianggap sah, yaitu : (1) kreditur menyetujuinya, (2) kreditur
endapatkan manfaat, (3) debitur membayar dengan itikad baik. Sekalipun
ketentuan tersebut di atas bersifat umum, akan tetapi tidak berlaku bagi semua
pembayaran yang tidak dilakukan kepada atau diterima oleh kreditur atau
kuasanya.
c) Obyek Pembayaran
Apa yang harus dibayar adalah apa yang terutang. Kreditur boleh menolak jika ia
dibayar dengan prestasi yang lain dari pada yang terutang, sekalipun nilainya sama
atau melebihi nilai piutangnya. Pembayaran sebagian demi sebagaian dapat ditolak
oleh kreditur. Undang-undang membedakan pembayaran atas Utang barang species,
Utang barang generic dan Utang uang.

17
d) Tempat pembayaran
Pada asasnya pembayaran dilakukan di tempat yang diperjanjikan. Apabila di
dalam perjanjian tidak ditentukan ”tempat pembayaran” maka pembayaran terjadi:
1) Di tempat di mana barang tertentu berada sewaktu perjanjian dibuat apabila
perjanjian itu adalah mengenai barang tertentu.
2) Di tempat kediaman kreditur, apabila kreditur secara tetapbertempat tinggal di
kabupaten tertentu.
3) Di tempat debitur apabila kreditur tidak mempunyai kediaman yang tetap. Bahwa
tempat pembayaran yang dimaksud oleh pasal 1394 KUH Perdata adalah bagi
perikatan untuk menyerahkan sesuatu benda bukan bagi perikatan untuk berbuat
atau tidak berbuat sesuatu.
e) Waktu dilakukannya pembayaran
Undang-undang tidak mengatur mengenai waktu pembayaran dan persetujuanlah
yang menentukannya. Jika waktunya tidak ditentukan, maka pembayaran harus
dilakukan dengan segera setelah perikatan terjadi.
f) Subrogasi
Penggantian kreditur dalam suatu perikatan sebagai akibat adanya pembayaran
disebut subrogasi. Atau dengan kata lain subrogasi adalah penggantian kedudukan
kreditur oleh pihak ketiga. Menurut Pasal 1400 KUH Perdata subrogasi terjadi karena
adanya pembayaran oleh pihak ketiga kepada kreditur.
Ketentuan ini sebenarnya tidak sesuai dengan terjadinya subrogasi tersebut dalam
Pasal 1401 ayat 2 KUH Perdata, di mana yang membayar adalah debitur sekalipun
untuk itu ia meminjamuang dari pihak ketiga. Pihak ketiga dapat saja merupakan
pihak dalam perikatan, misalnya sama-sama menjadi debitur dalam perikatan
tanggung renteng.
Dengan terjadinya subrogasi, maka piutang dengan hak-hak accessoirnya beralih
pada pihak ketiga yang menggantikan kedudukan kreditur. menurut Pasal 1403 KUH
Perdata subrogasi tidak dapat mengurangi hak-hak kreditur jika pihak ketiga hanya
membayar sebagian dari piutangnya. Bahkan untuk sisa piutangnya itu kreditur
semula masih dapat melaksanakan hak-haknya dan mempunyai hak untuk
didahulukan daripada pihak ketiga tersebut.

18
Subrogasi dapat pula terjadi jika debitur meminjam uang dari pihak ketiga untuk
dibayarkan kepada kreditur, dengan janji bahwa pihak pihak ketiga akan
menggantikan kedudukan kreditur tersebut. Untuk ini undang-undang menentukan
syarat-syarat yaitu: (1) dibuat dua akta otentik, yaitu persetujuan meminjam uang dan
tanda pelunasan utang, (2) mengenai isinya masing-masing akta tersebut harus
memenuhi apa yang diatur dalam Pasal 1401 ayat 2 KUH Perdata.
Penawaran bayar tunai diikuti penyimpanan/penitipan (Consignatie)
Penawaran bayar tunai diikuti penyimpanan/penitipan (consignatie), yaitu pembayaran
tunai yang diberikan oleh debitor, namun tidak diterima kridior kemudian oleh debitor
disimpan pada pengadilan (pasal 1404 KUH Perdata).11
Jika kreditur menolak pembayaran dari debitur, debitur dapat melakukan penawaran
pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan (consignatie). Caranya diatur pada Pasal
1404
s.d. 1402 KUH Perdata yang dapat diuraikan sebagai berikut:
Barang atau uang yang akan dibayarkan itu ditawarkan secara resmi oleh seorang
notaris atau juru sita pengadilan disertai dua orang saksi. Notaris atau juru sita
membuat perincian barang-barang atau uang yang akan dibayarkan tersebut dan pergi
ke tempat dimana menurut perjanjian pembayaran harus dilakukan, dan jika tidak ada
perjanjian khusus mengenai hal ini, kepada kreditur pribadi atau di tempat tinggalnya.
Notaris atau juru sita kemudian memberitahukan bahwa ia atas permintaan debitur
datang untuk membayarkan hutang debitur tersebut, pembayaran mana dilakukan
dengan menyerahkan barang atau uang yang dirinci itu.

Pembaharuan Utang (Novasi)


Pembaruan utang (novasi), yaitu apabila utang yang lama digantikan oleh utang yang
baru (Pasal 1416 dan 1417 KUH perdata). 12 Pembaharuan utang (novasi) adalah suatu
perjanjian yang menghapuskan perikatan lama, tetapi pada saat yang sama menimbulkan
perikatan baru yang menggantikan perikatan lama. Menurut Pasal 1413 KUH Perdata ada 3
macam novasi, yaitu (1) novasi obyektif, (2) novasi subyektif pasif, dan (3) novasi subyektif
aktif.

19
11
Op.Cit., Titik Triwulan, hlm. 243.
12
Ibid., hlm. 244.

20
Novasi obyektif dapat terjadi dengan mengganti atau mengubah isi daripada perikatan.
Penggantian isi perikatan terjadi jika kewajiban debitur untuk memenuhi suatu prestasi
tertentu diganti dengan prestasi yang lain. Misalnya, kewajiban menyerahkan sejumlah
barang. Novasi obyektif juga dapat terjadi dengan mengubah sebab daripada perikatan.
Misalnya, ganti rugi atau dasar onrechtmatige daad diubah menjadi hutang piutang.
Novasi subyektif pasif dapat terjadi dengan cara expromissie dimana debitur semua
diganti oleh debitur yang baru tanpa bantuan debitur lama. Misalnya, A (debitur) berhutang
kepada B (kreditur), B membuat perjanjian dengan C (debitur baru) bahwa C akan
menggantikan kedudukan A (debitur lama) dan A dibebaskan B dari hutangnya. Selain itu,
novasi subyektif pasif ini dapat terjadi dengan cara delegatie dimana terjadi perjanjian antara
debitur, kreditur, dan debitur baru. Misalnya, A (debitur) berutang kepada B (kreditur).
Kemudian A mengajukan C sebagai debitur baru kepada B. Antara B dan C dibuat perjanjian
bahwa C akan melakukan apa yang harus dilakukan/dipenuhi oleh A.
Novasi subyektif aktif selalu merupakan perjanjian bersegi tiga, karena debitur perlu
mengikatkan dirinya dengan kreditur baru. Misalnya, A terhutang Rp 100.000,00 kepada B;
sedangkan B terhutang Rp 100.000,00 kepada C. Dengan perjanjian segi tiga antara A, B,
dan C, A menjadi terhutang kepada C, sehingga A tidak lagi terhutang kepada B dan B tidak
lagi terhutang kepada C.
Menurut Pasal 1414 KUH Perdata novasi hanya dapat terjadi antara orang-orang yang
cakap untuk membuat perikatan. Jadi, novasi yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap
untuk membuat perikatan, novasi itu dapat dibatalkan. Selanjutnya, Pasal 1415 BW
menentukan bahwa kehendak untuk mengadakan novasi harus tegas ternyata dari
perbuatannya.
Oleh karena itu, pembaharuan hutang (novasi) pada hakikatnya merupakan perikatan
baru yang menggantikan perikatan lama, segala sesuatu yang mengikuti perikataan lama
(seperti hak-hak istimewa, hipotik dan gadai) tidak ikut berpindah/beralih kepada perikatan
baru, kecuali jika diperjanjikan bahwa hak-hak istimewa, hipotik dan gadai yang menjadi
jaminan dari perikatan lama tidak hapus, tetapi ikut berpindah pada perikatan baru.
Meskipun pada novasi subyektif aktif terjadi pergantian kreditur seperti halnya subrogasi
dan cessie, namun ketiga macam penggantian kreditur ini tidak sama.

21
Perbedaan novasi subyektif aktif dengan subrogasi adalah:
a) Novasi hanya dapat terjadi dengan persetujuan dari kreditur yang bersangkutan,
sedangkan subrogasi juga dapat terjadi menurut undang-undang.
b) Subrogasi yang berdasarkan perjanjian harus dilakukan secara tegas (uitdrukkelijk),
sedangkan bagi novasi cukup apabila maksud pada pihak dapat terang disimpulkan
dari perbuatan mereka (Pasal 1415 KUH Perdata)
c) Pada subrogasi semua hak istimewa dan hipotik dari perikatan lama selalu berpindah
kepada kreditur baru, sedangkan pada novasi tidak tentu.
Perbedaan antara novasi subyektif aktif dengan cessie adalah sebagai berikut:
a. Cessie memerlukan suatu surat otentik atau di bawah tangan, sedangkan novasi dapat
terjadi secara kesimpulan perbuatan mereka.
b. Novasi memerlukan turut sertanya debitur dalam menentukannya, sedangkan pada
cessie cukup suatu pemberitahuan kepada debitur.
c. Pada cessie semua hak-hak istimewa dan hipotik berpindah kepada kreditur baru,
sedangkan pada novasi tidak tentu.

Menurut Pasal 1318 K.U.H. Perdata menyatakan jika seorang minta diperjanjikan sesuatu
hal, maka dianggap bahwa itu adalah untuk ahli waris-ahli warisnya dan orang-orang yang
memperoleh hak daripadanya, kecuali jika dengan tegas ditetapkan atau dapat disimpulkan
dari sifat perjanjian, bahwa tidak sedemikianlah maksudnya. Yang artinya adalah bila
ternyata si debitur meninggal dunia padahal perjanjiannya belum berakhir atau belum lunas
sementara kreditnya masih diperlukan untuk usahanya maka ahli waris-ahli warisnya dan
orang-orang yang memperoleh hak daripadanya berkewajiban untuk meneruskan perjanjian
tersebut. Sehingga secara otomatis ahli warisnya berkewajiban untuk meneruskan kreditnya
namun pihak bank tidak serta merta menganggap secara otomatis bahwa ahli warisnya akan
meneruskan kreditnya tetapi bank mensyaratkan diperlukan adanya novasi.13

Kompensasi atau imbalan (Vergerlijking)


Kompensasi atau imbalan (vergerlijking), yaitu apabila kedua belah pihak saling
berutang, maka utang mereka masing-masing diperhitungkan.14 Perjumpaan hutang atau
kompensasi

13
Widyastuti, Indriyani, Tesis Novasi Subjektif Pasif karena meninggalnya debitur pada PT. Bank Mandiri (Persero)
Cabang pemuda Semarang, (Semarang: UNDIP), 2010. Hlm, 24.
22
14
Op.Cit., Titik Triwulan, hlm. 244.

23
adalah salah satu cara hapusnya perikatan yang disebabkan oleh keadaan dimana dua orang
saling mempunyai hutang satu terhadap yang lain, dengan mana hutang-hutang antara kedua
orang tersebut dihapuskan. Perjumpaan hutang terjadi demi hukum, bahkan dengan t idak
setahu orang-orang yang bersangkutan dan kedua hutang saling menghapuskan pada saat
hutang-hutang itu bersama-sama ada, bertimbal balik untuk suatu jumlah yang sama,
demikian Pasal 1424 KUH Perdata memberikan pengaturan. Misalnya, A mempunyai hutang
kepada B sebesar Rp 100.000,00. B mempunyai hutang kepada A sebesar Rp 50.000,00.
Diantara keduanya terjadi kompensasi, sehingga A hanya mempunyai hutang kepada B
sebesar Rp 50.000,00.
Agar kedua hutang dapat diperjumpakan, menurut Pasal 1427 KUH Perdata harus
dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
(1) Kedua hutang harus sama-sama mengenai uang atau barang yang dapat dihabiskan
dari jenis dan kualitas yang sama.
(2) Kedua hutang seketika dapat ditetapkan besarnya atau jumlahnya dan seketika dapat
ditagih. Jika yang satu dapat ditagih sekarang sedangkan yang lain baru dapat ditagih
satu bulan yang akan datang, sehingga kedua barang itu tidak dapat diperjumpakan.
Menurut Pasal 1429 KUH Perdata perjumpaan hutang terjadi dengan tidak dibedakan
dari sumber apa hutang piutang antara kedua belah pihak itu dilahirkan, kecuali:
a. Apabila dituntutnya pengembalian suatu barang yang secara berlawanan dengan
hukum dirampas dari pemiliknya;
b. Apabila dituntut pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan;
c. Terhadap suatu hutang yang bersumber pada tunjangan nafkah yang telah
dinyatakan tidak dapat disita.
Penanggungan hutang (borg) boleh diminta dikompensasikan apa yang harus dibayar
oleh kreditur kepada debitur dengan hutang debitur dimana ia menjadi penanggungnya.
Namun, penanggung hutang (borg) tidak boleh minta dikompensasikan apa yang harus
dibayar kreditur kepadanya dengan hutang debitur kepada kreditur yang dijaminnya.
Ketentuan ini sesuai dengan asas yang dianut undang-undang bahwa perikatan penanggungan
hutang hanyalah accessoir dari perikatan pokok yaitu perjanjian peminjaman hutang antara
debitur dengan kreditur (Pasal 1430 KUH Perdata).

24
Pencampuran Utang (Schuldvermenginng)
Pencampuran utang (Schuldvermenginng), yaitu apabila pada suatu perikatan kedudukn
kreditor dan debitor ada di satu tangan seperti pada warisan (pasal 1436 dan Pasal 1437
KUHPdt).15
Percampuran hutang terjadi karena kedudukan kreditur dan debitur bersatu pada satu
orang. Misalnya, kreditur meninggal dunia sedangkan debitur merupakan satu-satunya ahli
waris. Atau debitur kawin dengan kreditur dalam persatuan harta perkawinan. Hapusnya
perikatan karena percampurang hutang ini adalah demi hukum, artinya secara otomatis (Pasal
1436 KUH Perdata).
Selanjutnya, Pasal 1437 KUH Perdata menentukan bahwa percampuran hutang pada diri
debitur utama berlaku juga untuk keuntungan penanggung hutang. Sebaliknya, percampuran
yang terjadi pada diri penanggung hutang (borg) tidak menghapuskan hutang pokok.
Percampuran hutang yang terjadi pada diri salah seorang dari orang-orang yang berutang
secara tanggung-menanggung, tidak berlaku untuk kepentingan teman-temannya yang
terhutang secara tanggung-menanggung sehingga melebihi bagiannya dalam hutang yang ia
sendiri menjadi terhutang.
Pembebasan Utang (Kwitjschelding der schuld)
Pembebasan utang (kwitjschelding der schuld) yaitu apabila kreditor membebaskan
segala utang-utang dan kewajiban pihak debitor (Pasal 1438-1441 KUHPdt).16 Pembebasan
hutang adalah perbuatan hukum dimana kreditur melepaskan haknya untuk menagih
piutangnya kepada debitur. Undang-undang tidak ada mengatur bagaimana terjadi
pembebasan hutang ini, sehingga menimbulkan persoalan apakah pembebasan hutang itu
terjadi dengan perbuatan hukum sepihak atau timbal balik.
Ada yang berpendapat bahwa pembebasan hutang dapat terjadi dengan perbuatan hukum
sepihak, dimana kreditur menyatakan kepada debitur bahwa ia dibebaskan dari hutangnya.
Sedangkan pendapat lain menyatakan bahwa pembebasan hutang terjadi dengan perbuatan
hukum timbal-balik atau persetujuan yaitu pernyataan kreditur bahwa ia membebaskan
debitur daripada hutangnya dan penerimaan pembebasan tersebut oleh debitur. Pengembalian
sepucuk tanda piutang asli secara sukarela oleh kreditur kepada debitur merupakan suatu
bukti tentang

16
Ibid.,
22
15
Ibid.,

17
Ibid.,
22
pembebasan hutangnya dan orang lain yang turut secara langsung menanggung (Pasal 1439
KUH Perdata).
Namun, pengembalian barang yang digadaikan tidak cukup dijadikan persangkaan
tentang pembebasan hutangnya (Pasal 1441 KUH Perdata). Hal ini juga sesuai dengan sistem
KUH Perdata yang mengatur dan menganggap perjanjian gadai hanya sebagai accessoir dari
perjanjian hutang piutang. Selanjutnya, Pasal 1442 KUH Perdata menentukan bahwa:
a) Pembebasan hutang yang diberikan kepada debitur utama akan membebaskan pula para
penanggungnya;
b) Pembebasan hutang yang diberikan kepada penanggung hutang tidak membebaskan
debitur utama; dan
c) Pembebasan hutang yang diberikan kepada salah seorang penanggung hutang, tidak
membebaskan penanggung hutang yang lain.
Hilangnya benda yang diperjanjikan (Het vergaan der verschuldigde zaak)
Hilangnya benda yang diperjanjikan (het vergaan der verschuldigde zaak) yaitu apabila
benda ang diperjanjkan binasa, hilang atau menjadi tidak dapat diperdagangkan (pasal 1444-
1445 KUHPdt,).17
Jika barang tertentu yang menjadi obyek perjanjian musnah, tidak lagi dapat
diperdagangkan, atau hilang, sehingga sama sekali tidak diketahui apakah barang itu masih
ada, perikatan menjadi hapus asal saja musnah atau hilangnya barang itu bukan karena
kesalahan debitur dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Bahkan, sekalipun debitur lalai
menyerahkan barang itu, misalnya terlambat, perikatan juga hapus jika debitur dapat
membuktikan bahwa musnahnya barang itu disebabkan oleh suatu kejadian yang merupakan
kejadian memaksa dan barang tersebut akan mengalami nasib yang sama meskipun sudah
berada di tangan kreditur (Pasal 1444 KUH Perdata).
Dengan terjadinya peristiwa-peristiwa yang dikemukakan di atas ini, yang
mengakibatkan musnahnya barang debitur, debitur dibebaskan dari kewajiban memenuhi
prestasi terhadap krediturnya. Akan tetapi, apabila debitur mempunyai hak-hak atau tuntutan-
tuntutan ganti rugi mengenai musnahnya barang tersebut (misalnya uang asuransi), debitur
diwajibkan memberikan hak-hak dan tuntutan-tuntutan tersebut kepada kreditur.

18
Ibid.,
23
Batal dan Pembatalan (Nietigheid ot te niet doening)
Batal dan Pembatalan (nietigheid ot te niet doening), yaitu apabila perikatan itu batal atau
dibatalkan; misalnya terdapat paksaan (pasal 1446 KUHPdt.). 18 Meskipun titel IV bagian
kedelapan berjudul kebatalan dan pembatalan perikatan-perikatan, tetapi yang benar adalah
pembatalan saja. Perkataan batal demi hukum pada Pasal 1446 KUH Perdata yang
dimaksudkan sebenarnya adalah dapat dibatalkan. Jika suatu perjanjian batal demi hukum,
tidak ada perikatan hukum yang lahir karenanya. Oleh karena itu, tidak ada perikatan hukum
yang hapus.
Perjanjian yang tidak memenuhi syarat subyektif yaitu tidak ada kesepakatan atau tidak
ada kecakapan mereka yang membuat dapat dibatalkan (Pasal 1446 KUH Perdata jo. 1320
KUH Perdata).
Permintaan pembatalan dilakukan oleh orang tua/wali dari pihak yang tidak cakap atau
oleh pihak yang menyatakan kesepakatan karena paksaan, kehilafan, atau penipuan.
Permintaan pembatalan perjanjian yang tidak memenuhi syarat subyektif dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu:
1. Secara aktif menuntut pembatalan perjanjian itu di muka hakim; dan
2. Secara pasif yaitu sampai digugat di muka hakim untuk memenuhi perjanjian itu dan
disitulah baru mengajukan kekurangan persyaratan perjanjian itu.
Untuk mengajukan tuntutan pembatalan perjanjian secara aktif, undang-undang
sebagaimana termuat dalam Pasal 1454 KUHPerdata, memberikan suatu batas waktu selama
5 tahun yang mulai berlaku:
a. Dalam halnya kebelumdewasaan, sejak hari kedewasaan;
b. Dalam halnya pengampuan sejak hari pencabutan pengampuan;
c. Dalam halnya kehilafan atau penipuan, sejak hari diketahuinya kehilafan atau
penipuan itu.
Sedangkan untuk pembatalan secara pasif tidak ada batas waktunya.
Dalam hubungan ini, hendaknya juga harus diingat bahwa kreditur dapat menuntut
pembatalan perjanjian bilamana debitur melakukan wanprestasi (Pasal 1266 KUH Perdata)
sebagaimana telah diuraikan.

19
Ibid.,
24
Apabila suatu perjanjian dibatalkan, akibat-akibat yang timbul dari perjanjian itu
dikembalikan kepada keadaan semula (Pasal 1451 dan 1452 KUH Perdata). Pihak yang
menuntut pembatalan dapat pula menuntut ganti rugi.
Selanjutnya, berdasarkan woeker ordonnantie (Stb. 1938 No. 524) hakim berkuasa untuk
membatalkan perjanjian jika ternyata kewajiban pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu
tidak seimbang dan salah satu pihak telah berbuat secara bodoh, kurang pengalaman atau
dalam keadaan terpaksa.
Timbul syarat yang membatalkan (door werking ener ontbindende voorwaarde)
Timbul syarat yang membatalkan (door werking ener ontbindende voorwaarde), yaitu
ketentuan yang isi perjanjian yang disetujui kedua belah pihak. 19 Perikatan bersyarat adalah
perikatan yang lahirnya maupun berakhirnya (batalnya) digantungkan pada suatu peristiwa
yang belum dan tidak akan terjadi.
Apabila suatu perikatan yang lahirnya digantungkan kepada terjadinya peristiwa itu
dinamakan perikatan dengan syarat tanggung. Sedangkan apabila suatu perikatan yang sudah
ada yang berakhirnya digantungkan kepada peristiwa itu, perikatan tersebut dinamakan
perikatan dengan syarat batal. Misalnya, perjanjian sewa menyewa rumah antara A dan B
yang sudah ada dijanjikan akan berakhir jika A dipindahkan ke kota lain.
Dalam hukum perikatan pada asasnya suatu syarat batal selama berlaku surut hingga saat
lahirnya perikatan. Dalam Pasal 1265 BW disebutkan bahwa apabila syarat batal dipenuhi,
menghentikan perikatan dan membawa segala sesuatu kembali ke keadaan semula seolah-
olah tidak pernah terjadi perjanjian. Dengan begitu syarat batal tersebut mewajibkan
pihakpihak untuk mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang
dimaksudkan sebagai yang membatalkan perikatan telah terjadi.
Ketentuan Pasal 1265 KUH Perdata itu dalam praktek tidak selamanya bisa dilaksanakan.
Oleh karena itu, berlaku surutnya pembatalan tersebut hanyalah suatu pedoman yang harus
dilaksanakan jika mungkin dilaksanakan.
Kedaluwarsa
Lewat waktu (daluwarsa) menurut Pasal 1946 KUH Perdata adalah suatu sarana untuk
memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu
waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.

19
Ibid.,

25
Daluwarsa untuk memperoleh hak milik atas suatu barang dinamakan daluwarsa
acquisitif, sedangkan daluwarsa untuk dibebaskan dari suatu perikatan (atau suatu tuntutan)
dinamakan daluwarsa extinctif.
Dalam Pasal 1967 KUH Perdata ditentukan bahwa segala tuntutan hukum baik yang
bersifat kebendaan maupun yang bersifat perorangan, hapus karena daluwarsa dengan
lewatnya waktu 30 tahun, sedangkan siapa yang menunjukkan adanya daluwarsa itu tidak
usah mempertunjukkan suatu alas hak, lagi pula tidak dapatlah diajukan terhadapnya sesuatu
tangkisan yang didasarkan kepada itikad yang buruk.
Dengan lewatnya waktu 30 tahun itu, hapuslah perikatan hukum dan tinggallah perikatan
bebas (natuurlijke verbintenis), yaitu suatu perikatan yang boleh dipenuhi oleh debitur, tetapi
tidak dapat dituntut oleh kreditur melalui pengadilan.
Pasal 1381 KUHPer ini mengatur berbagai cara hapusnya perikatan yang lahir dari
perjanjian maupun undang-undang dan cara-cara yang ditunjukan oleh pembentuk undang-
undang terdebut tidaklah bersifat membatasi para pihak untuk menciptakan cara lain untuk
menghapus suatu perikatan.
Menurut ketentuan pasal 1946 KUHPer, daluarsa adalah suatu alat untuk memperoleh
sesuatu atau untuk membebaskan diri dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu
tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.20
Dari ketetuan pasal tersebut dapat diketahui dua macam kedaluwarsa, yaitu: (1) daluarsa
untuk memperoleh hak milik atas suatu barang (acquisitive prescription); dan (2) daluarsa
untuk dibebaskan darisuatu perikatan atau dibebaskan dari tuntutan (extinctive
prescription).21
a. Daluarsa untuk memperoleh hak milik atas suatu barang (acquisitive prescription)
Dari ketentuan pasal 1963 KUHPdt., daluarsa untuk memperoleh hak milik atas
suatu barang dapat dilakukan jika terpenuhi unsure-unsur sebagai berikut:
1) Itikad baik (Pasal 1965 dan Pasal 1966);
2) Ada alas hak yang sah;
3) Menguasai barang tersebut terus-menerus selama 20 tahun atau 30 tahun
tanpa ada yang menggugat.

21
Ibid.,

26
20
Ibid., hlm. 245

21
Ibid.,

27
b. Daluarsa untuk dibebaskan darisuatu perikatan atau dibebaskan dari tuntutan
(extinctive prescription)
Sesuai dengan Pasal 1967 KUHPdt., ditentukan bahwa segala tuntutan baik yang
bersifat kebendaan maupun yang bersifat perorangan hapus karena daluarsa, dengan
lewat 30 tahun, sedangkan orang yang menunjukkan adanya daluarsaitu tidak usah
menunjukkan alas hak, dan tidakdapat diajukan terhadapnya tangkasan yang
berdasarkan itikad buruk.
Daluarsa tidak dapat berjalan dalam hal-hal sebagai berikut: (1) Terhadap anak yang
belum dewasa, orang dibawah pengampuan (curandus); (2) Terhadap seorang istri selama
perkawinan; (3) Terhadap piutag yang yang digantungkan pada suatu syarat, selama syarat
out tidak terpenuhi; dan (4) Terhadap seorang ahli waris yang telah menerima suatu warisan
dengan hak istimewa untuk membuat pendaftaran harta peninggala mengenai piutang-
piutangnya terhadap harta peninggalan.
Pasal ini mengatur berbagai cara hapusnya perikatan yang lahir dari perjanjian maupun
undang-undang dan cara-cara yang ditunjukkan oleh pembentuk undang-undang tersebut
tidaklah bersifat membatasi para pihak untuk menciptakan cara lain untuk menghapuskan
suatu perikatan. Selain itu, juga tidaklah lengkap, karena tidak mengatur misalnya, hapusnya
perikatan karena meninggalnya seorang dalam suatu perjanjian yang prestasinya hanya dapat
dilaksanaan oleh salah satu pihak.

Hapusnya Perjanjian
Hapusnya perjanjian tidak sama dengan hapusnya perikatan. Suatu perikatan dapat hapus
dengan pembayaran, tetapi perjanjian yang merupakan sumbernya mungkin belum hapus.
Bila x dan y mengadakan jual beli perikatan dapat hapus dengan dibayarnya harga oleh y
selaku pembeli. Tetapi mungkin perjanjiannya (yaitu memiliki barang) harus tercapai dulu.
Jadi jika perikatan-perikatan yang terdapat. Bila perjanjian telah hapus seluruhnya barulah
perjanjian dinyatakan telah berakhir.
Ada beberapa cara hapusnya perjanjian:22
a. Ditentukan dalam perjanjian oleh kedua belah pihak.

22
http://repository.usu.ac.id

27
Misalnya: penyewa dan yang menyewakan bersepakat untuk mengadakan perjanjian
sewa menyewa yang akan berakhir setelah 3 tahun.
b. Ditentukan oleh Undang-Undang.
Misalnya: perjanian untuk tidak melakukan pemecahan harta warisan ditentukan
paling lama 5 tahun.
c. Ditentukan oleh para pihak dan Undang-undang.
Misalnya: dalam perjanjian kerja ditentukan bahwa jika buruh meninggal dunia
perjanjian menjadi hapus.
d. Pernyataan menghentikan perjanjian.
Hal ini dapat dilakukan baik oleh salah satu atau dua belah pihak. Misalnya: baik
penyewa maupun yang menyewakan dalam sewa menyewa orang menyatakan untuk
mengakhiri perjanjian sewanya.
e. Ditentukan oleh Putusan Hakim.
Dalam hal ini hakimlah yang menentukan barakhirnya perjanjian antara para pihak.
f. Tujuan Perjanjian telah tercapai.
Misalnya: dalam perjanjian jual beli bila salah satu pihak telah mendapat uang
dan pihak lain telah mendapat barang maka perjanjian akan berakhir.
g. Dengan Persetujuan Para Pihak.
Dalam hal ini para pihak masing-masing setuju untuk saling menhentikan
perjanjiannya. Misalnya: perjanjian pinjaman pakai berakhir karena pihak yang
meminjam telah mengembalikan barangnya.
Ada beberapa penyebab lain untuk hapusnya suatu perjanjian, yaitu:23
1. Berakhirnya suatu ketetapan waktu dalam perjanjian;
2. Meninggalnya salah satu pihak dalam perjanjian. Misalnya: meninggalnya pemberi
kuasa atau penerima kuasa (Pasal 1813 KUHPer);
3. Meninggalnya orang yang memberikan perintah;
4. Karena pernyataan pailit dalam perjanjian maatschap;
5. Adanya syarat yang membatalkan perjanjian.

23
P.N.H Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2009. Hlm. 234.

28
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Menurut Ketentuan Pasal 1381 KUHPer Hapusnya suatu perikatan itu terjadi karena:
a. Pembayaran yaitu Pelaksanaan atau pemenuhan tiap perjanjian secara sukarela,
artinya tidak dengan paksaan atau eksekusi
b. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan hanya
dimungkinkan pada perikatan untuk membayar sejumlah uang atau menyerahkan
barang-barang bergerak.
c. Pembaharuan utang atau novasi adalah suatu persetujuan yang menyebabkan
hapusnya sutau perikatan dan pada saat yang bersamaan timbul perikatan lainnya
yang ditempatkan sebagai pengganti perikatan semula
d. Perjumpaan utang atau kompensasi yaitu salah satu cara hapusnya perikatan, yang
disebabkan oleh keadaan, dimana dua orang masing-masing merupakan debitur satu
dengan yang lainnya.
e. Pencampuran utang
f. Pembebasan utang
g. Musnahnya barang yang terutang
h. Batal/pembatalan
i. Berlakunya suatu syarat batal yaitu ketentuan isi perjanjian yang disetujui oleh kedua
belah pihak, syarat mana jika dipenuhi mengakibatkan perikatan itu batal, sehingga
perikatan menjadi hapus. Syarat ini disebut ”syarat batal”.
j. Lewatnya waktu (Daluawarsa).
2. Berakhirnya suatu perikatan disebabkan karena pembayaran dan Kedaluwarsa.
Pembayaran yang dimaksud dalam hukum perikatan adalah setiap pemenuhan prestasi
secara sukarela. Dengan dipenuhinya prestasi itu perikatan menjadi terhapus.
Pembayaran merupakan pelaksanaan perikatan dalam arti yang sebenarnya, dimana
dengan dilakukannya pembayaran ini tercapailah tujuan perikatan/perjanjian yang

29
diadakan.

30
Sedangkan lewat waktu (daluwarsa) menurut Pasal 1946 KUH Perdata adalah suatu
sarana untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan
lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undangundang.

Saran
Sebaiknya dalam mengadakan suatu perikatan lebih memperhatikan hal-hal apa saja yang
dapat menyebabkan perikatan tersebut dihapuskan sehingga antara kreditur dan debitur tidak
saling merasa dirugikan.

31
DAFTAR PUSTAKA

Badrulzaman, Mariam Darus. 1981. Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya.


Bandung: Alumni.

R. Setiawan. 1999. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung: Putra Abardin.

Dr. Titik Triwulan Titik. 2008. Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Kencana
Prenadmedia Group.

Wirjono Prodjodikoro. 2000. Azas-azas Hukum Perjanjian. Bandung: Mandar Maju.

P.N.H Simanjuntak. 2009. Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Indriyani Widyastuti. 2010. Tesis Novasi Subjektif Pasif karena meninggalnya debitur pada PT.
Bank Mandiri (Persero) Cabang pemuda Semarang. Semarang: Universitas Diponegoro.

http://repository.usu.ac.id

32

Anda mungkin juga menyukai