Disusun Oleh:
Assalammu`alaikum Wr.Wb
Puji syukur kami penjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah dari salah satu tugas yang
diberikan oleh dosen Hj. Tri Hidayati, MH., dalam mata kuliah Hukum Perikatan
dengan judul “Syarat Sah Perjanjian Menurut KHUperdata”. Tidak lupa
Shalawat serta salam, kami sampaikan kepada baginda Besar Nabi Muhammmad
Saw., beserta keluarga, sahabat dan para pengikut beliau hingga akhir zaman.
Adapun maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini, untuk memenuhi tugas
tahun ajaran 2022/2023 dan untuk menambah wawasan serta pengetahuan bagi
pembaca. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu
kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi makalah yang
lebih baik lagi.
Akhir kata, kami ucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak terutama
kepada dosen pengampu mata kuliah Hukum Perikatan, yakni Ibu Hj. Tri Hidayati,
M.H, serta kepada segenap teman-teman Hukum Ekonomi Syariah yang turut
memberikan dukungan dan semangat kepada kami. Dan kami berharap, semoga
makalah yang kami buat ini bisa bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.
Wassalammu`alaikum Wr.Wb
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN….…………………………………..
……………………………..1
B. Rumusan Masalah…..…………………………………………………………2
C. Tujuan..….……….…………………………………………………………....2
D. Manfaat ……………..………………………………………………………..2
. Kesimpulan…………………………….…………………………………….11
Daftar Pustaka
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia hidup dan berkembang dalam suatu susunan masyarakat
sosial yang mana di dalamnya terdapat saling ketergantungan satu sama lain, seorang
manusia tidak akan dapat hidup sendiri dan akan selalu membutuhkan orang yang
lain untuk mendampingi hidupnya.
Berbicara mengenai kehidupan masyarakat tentu tidak terlepas dari yang
namanya kehidupan sosial, dalam struktur kehidupan bermasyarakat tentu terdapat
berbagai hal yang dianggap sebagai pengatur yang bersifat kekal, mengikat dan
memiliki sanksi yang tegas bagi para pelanggarnya. Hal tersebut dapat dikatakan
sebagai hukum. Hukum yang kini akan kita bahas merupakan hukum yang mengatur
segala bentuk tindakan antar perseorangan atau antar sesama manusia, hukum ini
dapat kita sebut sebagai hukum perdata.
Dalam hukum perdata ini banyak sekali hal yang dapat menjadi
cangkupannya, salah satunya adalah perikatan. Perikatan adalah suatu hubungan
hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak
yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan
hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari
suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan.
Di dalam hukum perikatan setiap orang dapat mengadakan perikatan yang
bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimana pun, baik itu yang
diatur dengan undang-undang atau tidak,inilah yang disebut dengan kebebasan
berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar
hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang. Di dalam perikatan
ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud
1
dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya
positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian.
Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan
perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian.
Dalam perikatan terdapat beberapa pokok bahasan diantaranya: Ketentuan
Umum Perikatan, Prestasi dan Wanprestasi, Jenis-Jenis Perikatan, Perbuatan
Melawan Hukum, Perwakilan Sukarela, Pembayaran Tanpa Utang dan Hapusnya
Perikatan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Saja Syarat Subjektif dan akibat Hukumnya ?
2. Apa Saja Syarat Objektif dan akibat Hukumnya ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui dan memahami tentang Syarat Subjektif dan akibat
Hukumnya.
2. Untuk mengetahui dan memahami tentang Syarat Objektif dan akibat
Hukumnya.
D. Metode Penulisan
Menggunakan metode pustaka yang dilakukan dengan mempelajari dan
mengumpulkan data dari pustaka yang berhubungan dengan judul baik berupa
buku, jurnal maupun informasi internet.
2
BAB II
PEMBAHASAN
1
Komar Andasasmita, Notaris II Contoh Akta Otentik Dan Penjelasannya, cet. 2,(Bandung :
Ikatan Notaris Indonesia Daerah Jawa Barat, 1990), hlm.430.
2 Sri Soesilowati Mahdi, SuriniAhlan sjarif, dan Akhmad Budi Cahyono, Hukum Perdata
(Suatu Pengantar), (Jakarta : CV. Gitama Jaya, 2005), hlm. 150.
3
dari pihak lainnya.2 Prestasi juga terdapat dalam perjanjian yang bersifat
timbal balik atau bilateral (or reciprocal agreement), dimana dalam bentuk
perjanjian ini masing-masing pihak yang berjanji mempunyai prestasi atau
kewajiban yang harus dipenuhi terhadap pihak yang lainnya. 3
B. Teori Kesepakatan
3
Ibid
4
pihak terlebih dahulu melakukan suatu bentuk penawaran mengenai bentuk
perjanjian yang akan dibuat kepada lawan pihaknya. Isi dari penawaran
tersebut adalah kehendak salah satu pihak yang disampaikan kepada lawan
pihaknya guna disetujui oleh lawan pihak tersebut. Apabila pihak lawan
menerima penawaran itu, maka tercapailah kata sepakat antara para pihak
tersebut. Dalam hal pihak lawan tidak menyetujui penawaran tersebut, maka
pihak yang mengajukan penawaran tadi dapat mengajukan penawaran lagi
yang memuat ketentuanketentuan yang dianggap dapat dipenuhi atau yang
sesuai dengan kehendaknya yang dapat dilaksanakan dan diterima olehnya.
Menurut perjanjian konsensuil kesepakatan terjadi pada saat diterimanya
penawaran terakhir yang diajukan. KUH-Perdata menyatakan bahwa dalam
perjanjian konsensuil dengan adanya kesepakatan maka lahirlah perjanjian
yang pada saat bersamaan juga melahirkan perikatan, karena perjanjian
merupakan sumber dari perikatan. Dengan lahirnya perikatan tersebut maka
menimbulkan hak dan kewajiban antara debitur dengan kreditur. Pasal 1236
KUH-Perdata menegaskan bahwa debitur wajib memberi penggantian
berupa biaya, ganti rugi dan bunga dalam hal debitur itu tidak memenuhi apa
yang telah diperjanjikan. Lahirnya kesepakatan harus didasari dengan
adanya kebebasan oleh para pihak dalam perjanjian tersebut. Pasal 1321
KUH-Perdata menyatakan bahwa suatu kesepakatan itu sah apabila
diberikan tidak karena kekhilafan, atau tidak dengan paksaan, ataupun tidak
karena penipuan.4.
Kecakapan (bekwaamheid) untuk membuat suatu perjanjian Setiap
orang yang sudah dewasa dan memiliki pikiran yang sehat adalah cakap
menurut hukum. Kedewasaan tersebut menurut Pasal 330 KUH-Perdata
yaitu sudah berumur 21 tahun atau telah menikah. Dengan demikian orang-
orang yang belum berusia 21 tahun tetapi sudah menikah dan pernikahannya
tersebut putus maka orang itu tidak akan kembali ke dalam keadaan belum
4
I. G. Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak, (Bekasi : Megapoin, 2004), hlm. 47
5
dewasa. Seseorang yang pernah menikah meskipun usianya belum genap 21
tahun tetap dianggap sebagai orang dewasa. Dengan dewasanya seseorang
maka ia dianggap cakap (bekwaam, capable) untuk melakukan perbuatan
hukum seperti perjanjian, membuat wasiat, menikah dan lain-lain. Cakap
disini menurut hukum seseorang memiliki kewenangan untuk melakukan
suatu tindakan hukum, baik untuk dan atas namanya sendiri yang berkaitan
dengan kecakapanya bertindak dalam hukum, kewenangan bertindak selaku
kuasa dari orang lain, yang tunduk pada ketentuan yang diatur dalam Bab
XVI KUH-Perdata dan kewenangan bertindak dalam kapasitasnya sebagai
wali dari pihak lain. Melakukan tindakan hukum untuk kepentingan orang
lain disini misalnya kewenangan seorang Direksi untuk mewakili suatu
badan hukum atau Perseroan Terbatas (PT).
Pasal 1329 KUH-Perdata dikatakan, bahwa “setiap orang adalah cakap”
(bevoegd) untuk membuat perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak
dinyatakan tidak cakap.5 “Kecakapan bertindak” menunjuk kepada
kewenangan yang umum, kewenangan umum untuk menutup perjanjian
lebih luas lagi, untuk melakukan tindakan hukum pada umumnya sedangkan
“Kewenangan bertindak” menunjuk kepada yang khusus, kewenangan untuk
bertindak dalam peristiwa yang khusus.6 Kewenangan hanya menghalang-
halangi untuk melakukan tindakan hukum tertentu.7 Orang yang dinyatakan
tidak cakap adalah orang yang secara umum cakap untuk bertindak, tetapi
untuk hal-hal tertentu “tidak”.8Orang yang tidak cakap untuk bertindak
adalah pasti orang yang tak cakap, sedang orang yang tak cakap adalah
orang yang pada umumnya cakap untuk bertindak, tetapi pada peristiwa
tertentu tidak dapat melaksanakan tindakan hukum, dalam hubungannya
5
J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang lahir dari Perjanjian Buku II, cet. 1, (Bandung : Citra
Aditya Bakti, 1995), hlm. 2.
6
Ibid. , hlm. 2.
7
Ibid. , hlm. 3.
8
Ibid. , hlm. 3.
6
dengan pembicaraan kita, tidak cakap menutup perjanjian tertentu (secara
sah).9 Dengan demikian, kata “kewenangan” dalam Pasal 1329 KUH-Perdata
yang tertuju kepada kewenangan umum, harus dibaca “kecakapan”sedang
Pasal 1330 sub 3 anak kalimat terakhir, kata “kecakapan bertindak” yang
tertuju kepada kewenangan khusus harus dibaca “kewenangan bertindak”.10
C. Teori Cacat Kehendak
Mengenai suatu hal tertentu atau cacat kehendak Untuk menimbulkan
kepastian maka setiap perjanjian harus mencantumkan secara jelas dan tegas
apa yang menjadi obyek perjanjian. Ketegasan obyek perjanjian tersebut
dapat diartikan bahwa obyek perjanjian dapat dihitung dan dapat ditentukan
jenisnya. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 1333 KUH-Perdata yang
berbunyi : “Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian
berupa suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah
menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu, asal saja jumlah itu
kemudian dapat ditentukan atau dihitung.” Berdasarkan rumusan Pasal 1333
KUH-Perdata tersebut di atas menjelaskan bahwa semua jenis perjanjian
pasti melibatkan keberadaan dari suatu kebendaan tertentu. Pada perikatan
untuk memberikan sesuatu, maka benda yang diserahkan tersebut harus
dapat ditentukan secara pasti. Pada perikatan untuk melakukan sesuatu,
dalam pandangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hal yang wajib
dilakukan oleh satu pihak dalam perikatan tersebut (debitor) pastilah juga
berhubungan dengan suatu kebendaan tertentu, baik itu berupa kebendaan
berwujud.11 Dalam hal perjanjian penanggungan utang, hak tagih kreditur
merupakan kebendaan yang harus dapat ditentukan terlebih dahulu.
Alasannya karena pada perjanjian penanggungan utang, kewajiban pihak
penanggung adalah menanggung utang debitur, dimana penanggung akan
9
Ibid. , hlm. 3.
10
Ibid. , hlm.3
11
Muljadi dan Gunawan Widjaja, op. cit., hlm. 156.
7
memenuhi kewajiban debitur dan ia mendapat hak tagih dari kreditur
terhadap debitur. Selanjutnya dalam perikatan untuk tidak melakukan atau
tidak berbuat sesuatu, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, juga
menegaskan kembali bahwa apapun yang ditentukan untuk tidak dilakukan
atau tidak diperbuat, pastilah merupakan kebendaan, baik yang berwujud
maupun tidak berwujud, yang pasti harus telah dapat ditentukan pada saat
perjanjian dibuat. Bertitik tolak dari pasal yang dikemukakan di atas,
12
A. Teori Causa
Teori causalitas menerangkan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini
memiliki sebab (causa). Menurut teori ini ada empat sebab yang mendukung
adanya sesuatu itu. Pertama, causa materialis, atau asal mula atau bahan.
Semua yang ada memiliki asal mula atau bahan.
Selain harus memenuhi ketiga syarat tersebut diatas, maka untuk sahnya
perjanjian para pihak juga harus memuat alasan atau sebab yang halal
kenapa perjanjian itu dibuat. Mengenai sebab yang halal ini diatur dalam
Pasal 1335 hingga 1337 KUH-Perdata. Pasal 1335 KUH-Perdata
menyatakan bahwa : “suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat
karena suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai
kekuatan.” Selanjutnya mengenai pengertian sebab tersebut tidak dijelaskan
12
Ibid. , hlm. 158.
8
lebih terperinci dalam KUH-Perdata. Akan tetapi Pasal 1335 KUH-Perdata
menyatakan bahwa sebab yang halal itu adalah :
Berbeda dengan syarat pertama dan syarat kedua, syarat ketiga dan syarat
keempat merupakan syarat obyektif memiliki akibat hukum dimana
perjanjian tersebut tidak memiliki kekuatan hukum. Tidak memiliki
kekuatan hukum itu sejak semula dan tidak mengikat para pihak yang
membuat perjanjian atau biasa disebut dengan batal demi hukum (null and
void). Akibat batal demi hukumnya perjanjian, maka salah satu pihak tidak
dapat mengajukan tuntutan melalui Pengadilan untuk meminta pemenuhan
13
Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Cet. 2, (Jakarta : Pustaka Sinar
Harapan, 1996), hlm. 99.
9
prestasi dari pihak lain. Hal tersebut disebabkan perjanjian itu tidak
melahirkan hak dan kewajiban yang mempunyai akibat hukum.
10
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Untuk menimbulkan kepastian maka setiap perjanjian harus mencantumkan
secara jelas dan tegas apa yang menjadi obyek perjanjian. Pada perikatan untuk
memberikan sesuatu, maka benda yang diserahkan tersebut harus dapat
ditentukan secara pasti. Pada perikatan untuk melakukan sesuatu, dalam
pandangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hal yang wajib dilakukan
oleh satu pihak dalam perikatan tersebut pastilah juga berhubungan dengan suatu
kebendaan tertentu, baik itu berupa kebendaan berwujud. 37 Dalam hal
perjanjian penanggungan utang, hak tagih kreditur merupakan kebendaan yang
harus dapat ditentukan terlebih dahulu.
Selanjutnya dalam perikatan untuk tidak melakukan atau tidak berbuat
sesuatu, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, juga menegaskan kembali
bahwa apapun yang ditentukan untuk tidak dilakukan atau tidak diperbuat,
pastilah merupakan kebendaan, baik yang berwujud maupun tidak berwujud,
yang pasti harus telah dapat ditentukan pada saat perjanjian dibuat.
Teori causalitas menerangkan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini
memiliki sebab . Menurut teori ini ada empat sebab yang mendukung adanya
sesuatu itu. Semua yang ada memiliki asal mula atau bahan. Selain harus
memenuhi ketiga syarat tersebut diatas, maka untuk sahnya perjanjian para pihak
juga harus memuat alasan atau sebab yang halal kenapa perjanjian itu dibuat.
11
DAFTAR PUSTAKA
Sri Soesilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif, dan Akhmad Budi Cahyono, Hukum
Perdata (Suatu Pengantar), (Jakarta : CV. Gitama Jaya, 2005), hlm. 150
J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang lahir dari Perjanjian Buku II, cet. 1,
(Bandung : Citra Aditya Bakti, 1995), hlm. 2.
Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Cet. 2, (Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan, 1996), hlm. 99.
12