Anda di halaman 1dari 11

TUGAS MATA KULIAH

PAPER

WILDA RIZKI
NPM. 2020010261023

UNIVERSITAS JAYABAYA
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM

2022
KATA PENGANTAR

Assalammu’alaikum Wr. Wb.


Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang mana telah
memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
paper ini yang berjudul “Pertanggungjawaban pidana Korporasi dalam
Tindak Pidana Kebakaran Hutan”, sebagai tugas perkuliahan Metode
Penelitian Hukum.
Terima kasih saya ucapkan kepada dosen mata kuliah Metode Penelitian
Hukum yang telah membimbing kami serta, tidak lupa saya ucapkan terima kasih
kepada teman-teman yang telah membantu penulis dalam proses penyusunan
paper ini.
Dalam penyusunan paper ini terdapat banyak kesulitan. Oleh karena itu,
penulis, mohon maaf apabila terdapat banyak kesalahan dalam penyusunan paper
ini. Kritik dan saran yang membangun selalu penulis nantikan, demi perbaikan
dan pembangunan penyusunan paper selanjutnya.

( Penulis )
A. Pendahuluan
Pelaksanaan hubungan hukum jual beli mengacu pada hukum perdata yang
dalam prakteknya juga dibuat dalam bentuk surat perjanjian. Menurut Pasal 1313
KUHPerdata, perjanjian adalah suatu perbuatan yang mana satu orang atau lebih
mengikat dirinya terhadap satu orang atau lebih. Selanjutnya menurut Pasal 1338
Kitab Undang-undang Hukum Perdata menentukan bahwa: “semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Sehingga suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan
kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan
cukup untuk itu.
Salim H.S menerangkan bahwa yang dimaksud perjanjian jual beli adalah:
Suatu perjanjian yang dibuat antara pihak penjual dan pembeli. Di dalam
perjanjian itu pihak penjual berkewajiban untuk menyerahkan objek jual beli
kepada pembeli dan berhak menerima harga dan pembeli berkewajiban
untuk membayar harga dan berhak menerima objek tersebut.1
Hubungan hukum yang diadakan oleh penjual dengan pembeli dalam hal
jual beli produk/jasa yang diwujudkan dalam suatu perjanjian sehingga sudah barang
tentu perjanjian tersebut menimbulkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak,
yang di antaranya hak yang diperoleh pembeli adalah produk/jasa yang dibelinya
sesuai dengan jumlah, ukuran dan kualitas yang telah disepakati. Sedangkan
kewajibannya adalah membayar biaya pembelian barang tersebut. Kemudian hak dari
pada penjual adalah menerima pembayaran atas penjualan yang dilakukan. Adapun
kewajibannya adalah melaksanakan penyerahan barang sesuai dengan ke tempat
tujuan yang telah ditentukan.
Pelaksanaan hubungan hukum yang diwujudkan dalam perjanjian jual beli tidak
selamanya terlaksana tentunya tidak menutup kemungkinan tidak terlaksana dengan
baik dan benar sesuai dengan yang diperjanjikan. Permasalahan tersebut bisa saja
timbul di antara para pihak baik itu penjual maupun pembeli. Permasalahan itu
mengacu pada tidak diterimanya hak dan dijalankannya kewajiban yang telah
disepakati dalam perjanjian. Dengan kata lain tidak adanya pemenuhan prestasi
(wanprestasi).

1
Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika,
Mataram, 2003, hlm. 49.
Menurut Subekti yang menyatakan bahwa:
Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitur dapat berupa empat
macam:
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana
dijanjikan
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.2
Resiko yang seringkali timbul dalam pelaksanaan jual beli antara penjual
dengan pembeli ini adalah terjadinya wanprestasi terhadap hak dan kewajiban penjual
dan pembeli. Dengan terjadinya hal di atas tersebut sudah barang tentu salah satu
pihak akan merasa dirugikan. Kasus yang berkenaan dengan wanprestasi atas
perjanjian jual beli dapat dikemukakan pada kasus di bawah ini:
Sdri. Juliana Maharani berkeinginan membeli perusahaan PT. Mitra Bukit
Sentul milik Rakan Mahardika. Keduanya kemudian menyepakati harga perusahaan
perusahaan tersebut sebesar 7,5 Milyar rupiah. Lalu, kedua belah pihak itu
mendatangi notaris kemudian membuat akta jual beli perusahaan. Di dalam akta
tersebut, ada pernyataan kesepakatan jual beli, harga yang disepakati serta cara
pembayarannya. Untuk pembayarannya, Juliana Maharani telah membayar 1 Milyar
Rupiah dan sisanya sebesar 6,5 Milyar dibayar dengan tiga lembar cek, masing-
masing dari cek tersebut senilai 1,5 Milyar rupiah, 2,5 Milyar dan 2,5 Milyar rupiah.
Akan tetapi, ketiga cek yang diberikan Juliana tidak dapat dicairkan. Lalu, Rakan
menanyakan dan menagih sisa pembayaran perusahaannya. Akan tetapi,
pembayarannya tidak segera dilakukan oleh Juliana.
B. Aspek Filosofis
Dalam hukum kontrak dikenal tiga asas yang satu dengan lainnya saling
berkaitan, yakni asas konsensualisme (the principle of consensualism, het
consensualisme), asas kekuatan mengikatnya kontrak (the principle of the binding
force of contract, de verbindende kracht van de overeenkomst), dan asas kebebasan
berkontrak (principle of freedom of contract, de contractsvrijheid).3
Asas konsensualisme dan asas kebebasan berkontrak terletak pada periode
prakontrak. Dengan konsensualisme, kontrak dikatakan telah lahir jika telah ada kata
2
Subekti, Hukum Perjanjian Cet XI, PT. Internusa, Jakarta, 2001, hlm. 45.
3
Fred B.G. Tumbuan, “Kekuatan Mengikat Perjanjian dan Batas-Batasnya”. Makalah,
Jakarta, Juli 2007, hlm. 1.
sepakat atau persesuaian kehendak di antara para pihak yang membuat kontrak
tersebut. Dengan adanya janji timbul kemauan bagi para pihak untuk saling
berprestasi, ada kemauan untuk saling mengikatkan diri. Kewajiban kontraktual
tersebut menjadi sumber bagi para pihak secara bebas menentukan isi kontrak dengan
segala akibat hukumnya. Berdasarkan kehendak tersebut, para pihak secara bebas
mempertemukan kehendak mereka masing-masing. Kehendak para pihak inilah yang
menjadi dasar kontrak. Terjadinya perbuatan hukum itu ditentukan berdasar kata
sepakat (konsensualisme). Dengan asas kebebasan berkontrak setiap orang diakui
memiliki kebebasan untuk membuat kontrak dengan siapapun juga, menentukan isi
kontrak, menentukan bentuk kontrak, memilih hukum yang berlaku bagi kontrak yang
bersangkutan.
Dengan adanya konsensus dari para pihak, maka kesepakatan itu
menimbulkan kekuatan mengikat perjanjian sebagaima layaknya undang-undang
(pacta sunt servanda). Apa yang dinyatakan seseorang dalam suatu hubungan hukum
menjadi hukum bagi mereka (cum nexum faciet mancipiumque, uti lingua
mancuoassit, ita jus esto). Asas inilah yang menjadi kekuatan mengikatnya perjanjian.
Ini bukan saja kewajiban moral, tetapi juga kewajiban hukum yang pelaksanaannya
wajib ditaati.4
Sebagai konsekuensinya, hakim maupun pihak ketiga tidak boleh mencampuri
isi perjanjian yang dibuat para pihak tersebut. Asas ini terletak periode pelaksanaan
kontrak. Asas kekuatan mengikatnya kontrak ini yang menjadi dasar penting di dalam
hukum kontrak bahwa orang harus mematuhi janji. Dengan perkataan lain, asas inilah
yang menjadi landasan bahwa para pihak di dalam kontrak terikat atau wajib
melaksanakan perjanjian.
C. Aspek Teoretis Hukum
Sesuai dengan permasalahan hukum yang telah dikemukakan dalam latar
belakang, maka landasan teori yang akan penulis gunakan adalah teori perjanjian, teori
keadilan dan teori kepastian hukum.
1. Teori perjanjian
Subekti mengatakan: “Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang
berjanji kepada seseorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal”.5

4
Ibid., hlm. 2.
5
Subekti, Hukum Perjanjian Cet XI, PT. Internusa, Jakarta, 2001, hlm.1.
Perjanjian dapat menimbulkan wanprestasi, tidak terkecuali dalam
perjanjian kredit. Wanprestasi artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah
ditetapkan dalam perikatan, baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun
perikatan yang timbul karena Undang-undang. Tidak terpenuhinya kewajiban itu
ada dua kemungkinan alasannya yaitu:
1. Karena kesalahan debitur, baik kesengajaan maupun kelalaian.
2. Karena keadaan memaksa, jadi di luar kemauan debitur, debitur tidak bersalah. 6
2. Teori Keadilan
Aristoteles sebagaimana dikutip oleh Suteki dan Galang Taufani,
mengemukakan adanya perbedaan antara antara keadilan “distributive” dengan
keadilan “korektif” atau “remedial” yang merupakan dasar bagi semua pembahasan
teoritis terhadap pokok persoalan. Keadilan distributif mengacu kepada pembagian
barang dan jasa kepada setiap orang sesuai dengan kedudukannya dalam
masyarakat, dan perlakuan yang sama terhadap kesederajatan dihadapan
hukum (equality before the law).7
Dalam Ethica Niconzachea, misalnya, Aristoteles melihat keadilan antara
pihak-pihak yang bersengketa merupakan prasyarat dasar tata kehidupan yang baik
dalam polis. Dalam rangka itu, ia membedakan 3 (tiga) macam keadilan, yaitu
distributif, pemulihan, dan komutatif. Prinsip keadilan komutatif mengatur urusan
transaksi antara pihak-pihak yang terlibat dalam pertukaran atau perdagangan.
Misalnya: Pertama, harus ada kesetaraan perbandingan antara barang yang
dipertukarkan, dan kedua, harus terjadi kesalingan; semua barang yang
dipertukarkan harus sebanding. Untuk tujuan itulah uang digunakan, dan dalam arti
tertentu menjadi perantara. Jumlah sepatu yang ditukarkan dengan sebuah rumah
(atau dengan sejumlah makanan) dengan demikian harus setara dengan rasio
seorang pembangun rumah terhadap seorang pembuat sepatu.8
Aristoteles mengungkapkan keadilan dengan ungkapan “untuk hal-hal
yang sama diperlakukan secara sama, dan yang tidak sama juga diperlakukan tidak
sama, secara proporsional” (justice consists in treating equals equally and
unequalls unequally, in proportion to their inequality”. Selanjutnya keadilan
menurut John Rawls bahwa keadilan pada dasarnya merupakan prinsip dari

6
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hlm. 20.
7
Suteki dan Galang Taufani, Metodologi Penelitian Hukum (Filsafat, Teori dan Praktik),
Rajawali Pers, Depok, 2018, hlm. 98-102.
8
Ibid.
kebijakan rasional yang diaplikasikan untuk konsepsi jumlah dari kesejahteraan
seluruh kelompok dalam masyarakat. Untuk mencapai keadilan tersebut, maka
rasional jika seseorang memaksakan pemenuhan keinginannya sesuai dengan
prinsip kegunaan, karena dilakukan untuk memperbesar keuntungan bersih dari
kepuasan yang diperoleh oleh anggota masyarakatnya.9
3. Teori Kepastian Hukum
Terkait dengan kepastian hukum dikatakan oleh Radbuch dalam Budi
Agus Riswandi yang mengatakan “ adanya tiga cita (idée) dalam hukum yaitu
keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum”. 10
Dikatakan juga oleh Achmad Ali:
Keadilan menuntut agar hukum selalu mengedepankan keadilan,
kemanfaatan menuntut agar hukum selalu mengedepankan manfaat,
sedangkan kepastian hukum menuntut terutama adanya peraturan
hukum. Kepastian hukum dalam artian undang-undang maupun suatu
peraturan setelah diperundangkan akan dilaksanakan dengan pasti oleh
pemerintah. Kepastian hukum berarti setiap orang dapat menuntut agar
hukum dilaksanakan dan tuntutan itu pasti dipenuhi, dan bahwa setiap
pelanggaran hukum akan ditindak dan dikenakan sanksi hukum juga.
Dalam perspektif hukum, tema kepastian pada prinsipnya selalu dikaitkan
dengan hukum. 11
Selanjutnya Sudikno Mertokusumo juga mengatakan “menjelaskan,
kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-
wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang
diharapkan dalam keadaan tertentu”.12 Diungkapkan juga oleh Fence M. Wantu:
Tema kepastian hukum sendiri, secara historis, merupakan tema yang
muncul semenjak gagasan tentang pemisahan kekuasaan dinyatakan oleh
Montesquieu, bahwa dengan adanya pemisahan kekuasaan, maka tugas
penciptaan undang-undang itu ada di tangan pembentuk undang-undang,

9
Ibid.
10
Budi Agus Riswandi, Aspek Hukum Internet Banking, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2005, hlm. 167.
11
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) termasuk interpretasi undang- undang (legisprudence), Jakarta. Kencana
Prenada Media Group. 2009, hlm. 79.
12
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta,
1999, hlm. 145.
sedangkan hakim (peradilan) hanya bertugas menyuarakan isi undang-
undang. 13
D. Analisa Hukum
Peristiwa hukum yang terjadi antara Sdri. Juliana Maharani dengan Rakan
Mahardika mengenai wanprestasi yang dilakukan oleh Sdri. Juliana Maharani selaku
pembeli yang belum membayar lunas pembelian perusahaan PT. Mitra Bukit Sentul
milik Rakan Mahardika, yang disepakati harga perusahaan perusahaan tersebut
sebesar 7,5 Milyar rupiah, yang mana dalam perjanjian tersebut tercantum Sdri.
Juliana Maharani belum membayar sisa kekurangan pembayaran sisanya sebesar 6,5
Milyar dibayar dengan tiga lembar cek, masing-masing dari cek tersebut senilai 1,5
Milyar rupiah, 2,5 Milyar dan 2,5 Milyar rupiah. Oleh karena itu dalam hal ini Rakan
Mahardika menuntut pelunasan atas pembelian perusahaan PT. Mitra Bukit Sentul;
Bahwa perbuatan Sdri. Juliana Maharani merupakan wanprestasi. Wanprestasi
dikaitkan dengan adanya resiko dalam setiap pelaksanaan perjanjian. Bahwa dalam
setiap perbuatan selalu dihadapkan pada risiko. Hal ini sudah merupakan suatu yang
biasa, di mana saja berada selalu terdapat adanya risiko. Demikian juga halnya dalam
suatu perjanjian. Mengenai risiko tersebut R. Subekti menyatakan bahwa: “Risiko
ialah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian di luar
kesalahan salah satu pihak”.14
Berdasarkan pengertian risiko di atas dapat dikemukakan bahwa persoalan
risiko itu berpangkal pada terjadinya suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu
pihak yang mengadakan perjanjian. Dengan kata lain pokok pangkal kejadian itu yang
dalam hukum perjanjian dinamakan keadaan memaksa atau overmacht. Dimaksud
dengan keadaan memaksa ini adalah keadaan memaksa yang absolut, yaitu suatu
peristiwa yang sama sekali tidak dapat dihindarkan lagi, sehingga barang yang
menjadi objek itu menjadi musnah tidak dapat dimanfaatkan sama sekali.
Mengenai tanggung jawab risiko dalam perjanjian, pada bagian umum Buku III
Kitab Undang Undang Hukum Perdata diatur pada Pasal 1237, yang menentukan
bahwa dalam hal adanya perikatan untuk memberikan sesuatu barang tertentu, maka
barang itu semenjak perikatan dilahirkan adalah atas tanggungan si pembeli. Secara

13
Fence M. Wantu, Kepastian Hukum Keadilan dan Kemanfaatan, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2011, hlm. 92-93.
14
R. Suberkti. Hukum Perjanjian. PT. Internasa, Jakarta, 2001, hlm. 59.
rinci ketentuan dari Pasal 1237 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut adalah
sebagai berikut:
Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu,
kebendaan itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si
berpiutang.
Jika si berutang lalai akan menyerahkannya, maka semenjak kelalaian,
kebendaan adalah atas tanggungannya.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa tanggung jawab risiko dalam
perjanjian dibebankan kepada yang pembeli, yaitu pihak yang berhak menerima
barang itu.
Dalam pelaksanaan perjanjian, tidak jarang ditemui adanya suatu wanprestasi.
Wanprestasi itu pada dasarnya adalah suatu perbuatan yang tidak melaksanakan
prestasi yang telah ditentukan dalam perjanjian yang diadakan.
Prestasi itu sendiri dalam suatu perjanjian adalah sebagaimana yang ditentukan
dalam Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu: “Tiap-tiap perikatan
adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat
sesuatu”.
Berdasarkan hal tersebut di atas, diketahui bahwa prestasi itu terbagi atas tiga
jenis, yaitu:
a. Untuk Memberikan Sesuatu atau Menyerahkan Sesuatu Barang
Prestasi yang dilakukan dalam perjanjian adalah salah satu pihak
berkewajiban untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang kepada pihak
lain.
b. Untuk Berbuat Sesuatu
Dalam suatu perjanjian, salah satu pihak berkewajiban untuk berbuat
sesuatu sesuai dengan isi perjanjian yang dibuat terhadap pihak lain.
c. Tidak Berbuat Sesuatu
Dalam perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak, salah satu pihak
berkewajiban untuk tidak berbuat sesuatu dengan kesepakatan yang mereka
lakukan. Untuk melaksanakan prestasi tersebut tidak hanya apa yang telah
ditetapkan secara tegas dan cermat dalam isi perjanjian tetapi juga meliputi segala
apa yang harus dilaksanakan menurut sifat kepatutan, kebiasaan dan undang-
undang dan ini semua harus dilaksanakan dengan itikad baik. Untuk mengetahui
apakah pelaksanaannya telah dilakukan dengan selayaknya atau sepatutnya harus
dilihat pada saat pelaksanaan perjanjian tersebut.
Jadi apabila ada prestasi tersebut di atas tidak dilaksanakan sebagaimana
mestinya oleh pihak yang mengadakan perjanjian, maka perbuatan tidak
melaksanakan itulah dinamakan dengan wanprestasi. Wanprestasi artinya: “tidak
memenuhi sesuatu yang diwajibkan seperti yang telah ditetapkan dalam perikatan”. 15
Untuk menentukan apakah seorang debitur bersalah melakukan wanprestasi,
perlu ditentukan dalam keadaan bagaimana debitur dikatakan sengaja atau lalai tidak
memenuhi prestasi. Ada tiga keadaan, yaitu:
(1) Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.
(2) Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak baik atau keliru.
(3) Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya atau terlambat.
Untuk mengetahui sejak kapan debitur dalam keadaan wanprestasi, perlu
diperhatikan apakah dalam perkataan itu ditentukan tenggang waktu pelakanaan
pemenuhan prestasi atau tidak. Dalam hal tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan
prestasi “tidak ditentukan”, perlu memperingatkan debitur supaya ia memenuhi
prestasi. Tetapi dalam hal telah ditentukan tenggang waktunya, menurut ketentuan
Pasal 1238 KUHPerdata debitur dianggap lalai dengan lewatnya tenggang waktu yang
telah ditetapkan dalam perikatan.
Mengenai bentuk wanprestasi yang dilakukan oleh Sdri. Juliana Maharani
selaku pembeli yang belum membayar lunas pembelian harga perusahaan PT. Mitra
Bukit Sentul sebesar 7,5 Milyar rupiah, yang mana dalam perjanjian tersebut
tercantum Tergugat belum membayar sisanya sebesar 6,5 Milyar dibayar dengan tiga
lembar cek, masing-masing dari cek tersebut senilai 1,5 Milyar rupiah, 2,5 Milyar dan
2,5 Milyar rupiah. Oleh karena itu Rakan Mahardika menuntut pelunasan atas
pembelian harga perusahaan PT. Mitra Bukit Sentul kepada Sdri. Juliana Maharani;
E. Kesimpulan
Pelaksanaan kewajiban Sdri. Juliana Maharani atas pembelian perusahaan PT.
Mitra Bukit Sentul milik Rakan Mahardika kurang sesuai dengan asas-asas ketentuan
KUHPerdata karena Sdri. Juliana Maharani tidak melaksanakan kewajiban
sepenuhnya dalam hal membayar lunas pembelian harga perusahaan PT. Mitra Bukit
Sentul sebesar 7,5 Milyar rupiah. Upaya penyelesaian terhadap permasalahan yang

15
Muhammad, Abdul Kadir. Hukum Perdata Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung
1993. hlm. 203.
berkaitan dengan wanprestasi Sdri. Juliana Maharani bisa dilakukan yaitu dengan
mengadakan ganti rugi dengan terlebih dahulu dengan jalan musyawarah mufakat.
Sedangkan upaya lainnya yaitu melalui proses gugatan sampai persidangan di
Pengadilan.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Abdulkadir Muhammad. 1990. Hukum Perikatan. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Achmad Ali. 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) termasuk interpretasi undang-undang (legisprudence),
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Budi Agus Riswandi. 2005. Aspek Hukum Internet Banking. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Fence M. Wantu. 2011. Kepastian Hukum Keadilan dan Kemanfaatan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi. 2002. Jual Beli. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
R. Subekti. 2001. Hukum Perjanjian Cet XI. Jakarta: PT. Internusa.
Salim H.S. 2003. Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Mataram:
Sinar Grafika.
Sudikno Mertokusumo. 1999. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Yogyakarta:
Liberty.
Suteki dan Galang Taufani. 2018. Metodologi Penelitian Hukum (Filsafat, Teori
dan Praktik). Depok: Rajawali Pers.
Wirjono Prodjodikoro. 2008. Azas-Azas Hukum Perjanjian, Cet. 9. Bandung: Sumur
Bandung.
B. Kamus
Sudarsono. 2005. Kamus Hukum. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Tim Penyusun Kamus. 2010. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud.
C. Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang Undang Hukum Perdata.

Anda mungkin juga menyukai