Anda di halaman 1dari 20

PERBEDAAN WANPRESTASI DENGAN PENIPUAN

Pendahuluan

Manusia adalah mahluk sosial, yang mana manusia sesuai dengan seorang filusuf
yunani Aristoteles yang mengungkapkan bahwa manusia adalah “ zoon politicon”
manusia adalah mahluk sosial. yang mana sebagai mahluk sosial manusia sehari-
harinya membutuhkan interaksi satu sama lainnya secara umumnya, karena
Masyarakat sesuai kodratnya tidak bisa hidup sendiri, tetapi adanya saling
berhubungan. Berinteraksi semacam itu berarti melibatkan dua pihak dalam arti
masing-masing pihak berkeinginan untuk memperoleh manfaat atau keuntungan.
Hal ini disebabkan kedua belah pihak menjadi saling terikat karenanya, dengan
demikian yang dilakukan segenap kelompok Sudah barang tentu adanya suatu
perikatan ikatan yang muncul akan memerlukan aturan. Sebab jika tidak ada aturan
yang jelas akan menimbulkan benturan kepentingan yang dapat mengakibatkan
ketidakteraturan dalam kehidupan berkelompok.

Manusia sebagai subjek hukum yang berinteraksi sehingga menimbulkan ikatan di


antara satu sama lain jelas kegiatan ini bersifat privat.Setiap anggota masyarakat
dalam kesehariannya akan selalu terikat dengan pihak lain bisa karena undang-
undang tetapi juga karena perjanjian. Jika seseorang terikat dengan yang lainnya
dikarenakan oleh undang-undang, maka unsur kehendak dari mereka yang terikat
tidak mengambil peran.1

Namun kadang kala ada pihak-pihak tertentu yang menghendaki suatu perjanjian itu
dan memanfaatkannya tanpa mempedulikan kepentingan pihak lain yang harus
dipenuhinya sebagai bentuk perjanjian yang sah. Dan bahwa para pihak ini sadar
sedari awal dan sengaja menghendaki untuk memperoleh manfaat dan keuntungan
yang sudah sejak awal diketahuinya dan diperhitungkannya agar memperoleh
keuntungan dengan cara yang tidak wajar.

Dalam kontrak sering terjadi di antara para pihak pihak yang melakukan suatu
kontrak ialah ingkar janji Atau tidak melaksanakan hak dan kewajibannya Sesuai
dengan kesepakatan awal di antara kedua belah pihak tersebut akibatnya yang
terjadi adalah menimbulkan tidak terlaksananya prestasi antara salah satu pihak
dengan pihak yang lainnya titik Dengan demikian, maka akan menimbulkan suatu
permasalahan hukum bahkan penyelesaiannya tidaklah semudah dan cepat bahkan
akan berlarut-larut dan kemudian akan berujung pada pengadilan dan memerlukan
suatu putusan hakim.

1
ibid, hlm. 3.
Namun pada saat ini mudah sekali seseorang di pidana. Padahal perkara yang
menjeratnya Sebenarnya bukan kasus pidana pada dasarnya kasus tersebut adalah
kasus perdata yang berbasis suatu perjanjian atau kontrak bisnis komersial antara
dua pihak yang saling menimbulkan ikatan dan kemudian memicu lahirnya
wanprestasi titik akan tetapi wanprestasi ini sering disalah tafsirkan sebaliknya oleh
pihak yang merasa dirugikan. Bahkan sangat disayangkan, aparat penegak hukum
malah mendukung dalam artian kesalahan penafsiran tersebut yang mengakibatkan
perkara wanprestasi tak lagi diseret ke dalam ranah perdata malah dianggap sebagai
sebuah tindak pidana penipuan.

Konsep wanprestasi dan penipuan seperti ‘pisau bermata dua’. Keduanya saling
terkait jika dilihat secara sekilas. Bahkan dalam praktik penegakan hukum, hampir
sulit dibedakan. Namun, apabila dilihat lebih detail lagi, ada perbedaan di dua
konsep tersebut. Untuk itu, perlu ada pemahaman yang baik mengenai konsep
wanprestasi dan penipuan sehingga melahirkan kepastian hukum dalam praktiknya. 2

Rumusan Masalah

1. Apa itu Wanprestasi yang asing di dengar di masyarakat?


2. Apa beda Wanprestasi dengan Penipuan?
3. Apakah Wanprestasi termasuk perbuatan tindak pidana?

Pengertian Wanprestasi dan Penipuan

Untuk memahami suatu istilah atau kata tentulah pentingnya untuk menelusuri dari
sisi etimologi suatu kata, agar tidak terjadinya salah tafsir. Wanprestasi adalah
bentuk kata serapan dari bahasa Belanda yaitu “wanprestatie” yang mana berarti
tidak dipenuhinya prestasi atau kewajiban yang telah ditetapkan terhadap pihak-
pihak tertentu di dalam suatu perikatan, baik perikatan yang dilahirkan dari suatu
perjanjian ataupun perikatan yang timbul karena undang-undang. Namun dalam
KBBI memiliki arti pemahaman tersendiri yaitu kedaan salah satu pihak (biasanya
perjanjian) berprestasi buruk karena kelalaian dan prestasi buruk. 3

Sedangkan penipuan yaitu berasal dari kata “ tipu” yang di sebutkan dalam KBBI
adalah sebuah unsur yang mana adalah sebuah perbuatan atau perkataan yang
tidak jujur atau bohong. Sedangkan penipuan adalah cara ataupun proses seseorang
dalam mengecoh atau menipu

Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban


sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan

2
Jurnal Hukum Online.com
3
KBBI
debitur.4 Wanprestasi atau tidak dipenuhinnya janji dapat terjadi baik karena
disengaja maupun tidak disengaja.5

Pengertian Wanprestasi Menurut Ahli

Mengenai pengertian dari wanprestasi, menurut Ahmadi Miru wanprestasi itu dapat
berupa perbuatan :

1. Sama sekali tidak memenuhi prestasi.


2. Prestasi yang dilakukan tidak sempurna.
3. Terlambat memenuhi prestasi.
4. Melakukan apa yang dalam perjanjian dilarang untuk dilakukan. 6

Sedangkan menurut A. Qirom Syamsudin Meliala wanprestasi itu dapat berupa:

1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali


Sehubungan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasi maka dikatakan
debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.
2. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.
Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka
debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktu, sehingga dapat
dikatakan wanprestasi.
3. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.
Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru
tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi
prestasi sama sekali.7

Abdul kadir Muhammad, menyatakan wanprestasi terjadi dikarenakan adanya 2


(dua) kemungkinan yaitu:

1. Keadaan memaksa (overmach / force mejeur).


2. Karena kesalahan debitur, baik karena kesengajaan maupun lalai.

Menurut Sri Soedewi Masyehoen Sofwan, debitur dinyatakan wanprestasi apabila


memenuhi 3 (tiga) unsur, yaitu:

1. Perbuatan yang dilakukan debitur tersebut dalam disesalkan.


2. Akibatnya dapat diduga lebih dahulu baik dalam arti yang objektif yaitu orang
yang normal dapat menduga bahwa keadaan itu akan timbul. Maupun dalam
arti yang subjektif, yaitu sebagai orang yang ahli dapat menduga keadaan
demikian akan timbul.

4
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: 2008) h.180
5
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, (Jakarta:Rajawali Pers, 2007),h. 74
6
Ahmadi Miru, Op, Cit, h.74
7
A. Qirom Syamsuddin Meliala, Pokok-pokok Hukum Perjanjian, (Yogyakarta: Liberty, 1985), h.26
3. Dapat diminta untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya, artinya
bukan orang gila atau lemah ingatan.8

Menurut pendapat yang paling banyak dianut, bukanlah kelalaian debitur yang
menyebabkan batal, tetapi putusan hakim yang membatalkan perjanjian, sehingga
putusan itu bersifat “constitutief” dan tidak “declaratoir”. Malahan hakim itu
mempunyai suatu kekuasaan “discretionair” artinya ia berwenang menilai
wanprestasi debitur. Apabila kelalaian itu dianggapnya terlalu kecil hakim berwenang
untuk menolak pembatalan perjanjian, meskipun ganti rugi yang diminta harus
diluluskan.9

Syarat Sah suatu Kontrak

Untuk sahnya suatu perjanjian KUHPerdata pasal 1320 di perlukan empat syarat
yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya


2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian
3. Mengenai suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal

Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subjektif karena mengenai


orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat
yang terakhir yang bukan syarat-syarat objektif karena mengenai perjanjiannya
sendiri atau objek perbuatan hukum yang di lakukan itu.

Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subjek
yang mengadakan perjanjian itu harus sepakat, setuju atau segata mengenai hal-hal
yang tokoh dari perjanjian yang diadakan itu titik Apa yang hendak I oleh pihak
yang satu, juga yang dihendaki oleh pihak yang lainnya titik mereka menghendaki
suatu yang sama secara timbal balik: sepertinya si penjual menginginkan sejumlah
uang sedangkan si pembeli menginginkan suatu barang dari si penjual.

Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum nya pada
asasnya setiap orang yang sudah dewasa atau akil baligh dan sehat pikirannya
adalah cakap menurut hukum. Dalam pasal 1330 kitab undang-undang hukum
perdata disebutkan bahwa sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat
suatu perjanjian

1. Orang-orang yang belum dewasa

2. Mereka yang ditaruh dibawah Pengampuan

8
Sri Soedewi Masyohen Sofwan, Hukum Acara Perdata Indonesia dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta:
Liberty, 1981), h.15
9
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT.Intermasa, 1982), h. 148.
3. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan semua
orang kepada siapa undang-undang Telah melarang membuat perjanjian tertentu.

Dari sudut rasa keadilan perlu bahwa orang membuat suatu perjanjian dan nanti
akan terikat oleh perjanjian tersebut mempunyai cukup kemampuan untuk
menganalisis dengan benar-benar akan tanggung jawabnya yang dipikul kelak
dengan perbuatan itu Sedangkan dari sudut ketertiban hukum, karena seseorang
yang membuat suatu perjanjian berarti mempertaruhkan kekayaannya pada sebuah
perjanjian tersebut, maka orang tersebut haruslah seorang yang sungguh-sungguh
berhak bebas berbuat dengan harta kekayaan yang itu tidak terkekang oleh pihak-
pihak tertentu.

Orang-orang yang tidak sehat pikirannya dan tidak mampu mengerti arti sebuah
tanggung jawab yang dipikul oleh seorang yang mengadakan suatu perjanjian dan
juga orang-orang yang ditaruh dibawah Pengampuan menurut hukum tidak dapat
berbuat bebas dengan harta kekayaannya. Kedudukannya, sama saja seperti dengan
anak-anak yang belum cakap secara hukum yaitu anak-anak yang belum dewasa
dan belum mampu berpikir tentang arti sebuah tanggung jawab dalam sebuah
perjanjian dan menguasai menguasai hartanya secara keseluruhan karena harta
yang ia kuasai adalah harta yang ditaruh di bawah Pengampuan dan kontrol dari
orang dewasa diatasnya atau orang tuanya ataupun pengasuhnya.

Menurut kitab undang-undang hukum perdata seseorang perempuan yang telah


bersuami atau telah menikah untuk mendapatkan atau mengadakan suatu
perjanjian memerlukan bantuan atau izin dalam bentuk kuasa tertulis dari suaminya
pasal tersebut yaitu pasal 108 kitab undang-undang hukum perdata.

Kecil yang dapat di maksudkan dalam pengertian keperluan rumah tangga dianggap
si istri telah dikuasakan oleh suaminya titik Dengan demikian Seorang Istri
dimasukkan dalam golongan orang-orang yang tidak cakap membuat suatu
perjanjian titik perbedaannya dengan seorang anak yang belum dewasa ialah bahwa
seorang anak yang belum masuk usia dewasa harus diwakilkan oleh orang tuanya
atau walinya, Sedangkan istri harus dibantu oleh sang suami kalau seseorang dalam
pembuatan suatu perjanjian diwakili oleh orang lain maka ia tidak dapat membuat
perjanjian itu sendiri tetapi yang tampil ke depan adalah wakilnya yang dalam hal ini
Jika seorang wanita yaitu suaminya titik tapi kalau seseorang dibantu ini berarti ia
bertindak sendiri hanyalah ia didampingi oleh orang-orang lain yang membantunya
bantuan tersebut dapat diganti dengan surat kuasa atau izin tertulis.

Ketidakcakapan seorang perempuan yang bersuami dalam kitab undang-undang


hukum perdata, ada hubungannya dengan sistem yang dianut dalam hukum perdata
Barat di negeri Belanda yang menyerahkan kepemimpinan dalam keluarga itu
kepada sang suami titik kekuasaan suami sebagai pimpinan keluarga, dinamakan
maritale macht. Oleh karena ketentuan tentang ketidakcakapan seorang perempuan
yang bersuami di negeri Belanda sendiri sudah dicabut karena dianggap telah tidak
sesuai dengan kemajuan zaman, maka sebaiknya Ketentuan tersebut di Indonesia
juga dihapuskan. Dan memang dalam praktek para notaris sekarang sudah mulai
mengizinkan seorang istri yang tunduk kepada hukum perdata barat membuat suatu
perjanjian dihadapannya, tanpa bantuan suaminya. Juga dari surat edaran
Mahkamah Agung No. 3/1963 tanggal 4 Agustus 1963 kepada ketua pengadilan
negeri dan pengadilan tinggi di seluruh Indonesia ternyata, bahwa Mahkamah Agung
menganggap pasal 108 dan 110 kitab undang-undang hukum perdata tentang
wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap
di depan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya, sudah tidak berlaku
lagi.10

Sebagai syarat ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal
tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak
jika timbul suatu perselisihan barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling
sedikit harus ditentukan jenisnya titik bahwa barang itu sudah ada atau sudah
berada di tangan sih yang berhutang pada waktu perjanjian dibuat, tidak diharuskan
oleh undang-undang titik juga jumlahnya tidak perlu disebutkan, asal saja Kemudian
dapat dihitung atau ditetapkan. Misalnya suatu perjanjian mengenai panen padi dari
suatu lahan pertanian dalam 1 tahun yang akan datang adalah sah, tetapi suatu
perjanjian itu jual-beli misalnya nya Teh untuk seperupiahnya dengan tidak memakai
penjelasan lebih terang lagi, harus dianggap tidak cukup jelas.

Pada pasal 1320 kitab undang-undang hukum perdata disebutkan diatas ditetapkan
sebagai syarat keempat untuk suatu perjanjian yang sah adanya suatu sebab yang
halal. Ini dimaksudkan tiada lain daripada isi perjanjian sebagai sebabnya. Dengan
segera harus dihilangkan suatu kemungkinan salah sangka bahwa sebab itu adalah
sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian yang termaksud. Bukan
itu yang dimaksudkan oleh undang-undang dengan sebab yang halal itu titik sesuatu
yang menyebabkan seseorang membuat suatu perbuatan dalam sebuah perjanjian
atau dorongan jiwa untuk membuat suatu perjanjian pada asasnya tidak dipedulikan
oleh undang-undang. Hukum pada asasnya tidak menghiraukan apa yang berada
dalam gagasan seseorang atau apa yang dicita-citakan seseorang ataupun
diinginkan seseorang itu yang terpenting oleh hukum atau undang-undang hanyalah
tindakan orang dalam masyarakat tidak menyalahi aturan aturan yang telah berlaku.
Misalnya, seseorang membeli rumah ah karena seseorang tersebut mempunyai
simpanan uang dan takut jikalau dalam waktu singkat ataupun akan datang
pemerintah ah atau nilai uang akan turun dan menurun. Atau juga menjual mobil
milik seseorang karena harga sebuah mobil sudah sangat mahal.

Jadi yang dimaksudkan dalam sebuah sebab ataupun kausa dari sebuah perjanjian
anne-marie dalah isi perjanjian itu sendiri dalam suatu perjanjian jual-beli isinya
10
Prof.Subekti, Hukum Perjanjian. Penerbit intermasa, hlm. 18
adalah pihak yang satu menghendaki uang dalam perjanjian sewa-menyewa satu
pihak menginginkan kenikmatan suatu barang yang disewanya, Pihak lain yang
menghendaki uang dari barang yang disewakan nya.

Dalam hal ini harus dibedakan antara syarat subjektif dengan syarat objektif. Dalam
hal syarat objektif, kalau syarat itu tidak dipenuhi, perjanjian itu batal demi hukum.
Artinya nya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah
ada ada suatu perikatan titik tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian
tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Dengan demikian
maka tiada dasar untuk saling menuntut di depan Hakim. Dalam bahasa Inggris
dikatakan bahwa perjanjian yang demikian itu null and void.

Dalam hal lain suatu syarat subjektif, jika syarat itu tidak dipenuhi, perjanjiannya
Bukan batal demi hukum tetapi salah satu pihak nya mempunyai hak untuk meminta
supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah
pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberi sepakat nya (perizinan) secara
tidak bebas titik jika perjanjian yang telah dibuat itu mengikat juga selama tidak
dibatalkan(oleh Hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan
tadi. Dengan demikian, nasib suatu perjanjian seperti itu tidaklah pasti dan
tergantung pada kesediaan suatu pihak untuk menaatinya. Perjanjian yang demikian
itu dinamakan voidable (dalam bahasa Inggris) atau vernietigbaar (dalam bahasa
Belanda) yang dapat meminta pembatalan dalam hal seorang anak yang belum
dewasa adalah anak itu sendiri apabila sudah ah dewasa atau orang tua walinya titik
dalam hal seseorang yang berada dibawah Pengampuan. Dalam hal seseorang yang
telah memberi kan and1 padat atau perizinannya secara tidak bebas, orang itu tidak
sendiri. Bahaya pembatalan itu diancam selama 5 tahun dalam pasal 1454 kitab
undang-undang hukum perdata jika dibatasi juga oleh undang-undang. Memang
segala sesuatu yang tidak ditentukan itu selalu dibatasi oleh undang-undang demi
untuk keamanan dan ketertiban hukum seterusnya.

Asas Asas Hukum Dalam Suatu Perjanjian

1. Asas Kebebasan Berkontrak (Freedom of Contract)


Asas ini memiliki pengertian bahwa setiap orang dapat secara bebas
membuat atau terikat dalam suatu perjanjian dan bebas menyepakati apa
saja sepanjang itu tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan dan
kepentingan umum.  Asas ini adalah manifestasi dari pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata, dimana disebutkan bahwa: “Semua perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang – undang bagi mereka yang
membuat”. Kata semua perjanjian pada pasal tersebut bermakna perjanjian
apa saja dan oleh siapa saja. Kemudian perjanjian yang sah menurut hukum
harus memenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana ditentutkan oleh undang –
undang, yakni pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:
 Adanya kata sepakat antara para pihak
 Adanya kecakapan berbuat dari para pihak
 Adanya perihal tertentu
 Adanya kausa yang diperbolehkan atau halal.

2. Asas Pacta Sunt Servanda


Asas ini juga dikenal dengan istilah asas kepasatian hukum. Seperti halnya
Kebebasan Berkontrak, Asas Pacta Sunt Servanda juga menrupakan
manifestasi dari pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Makna dari asas ini adalah
bahwa para pihak yang membuat perjanjian terikat untuk melaksanakan isi
perjanjian tersebut sebagaimana keterikatannya untuk melaksanakan
perintah undang – undang.  Dengan kata kata lain perjanjian tersebut adalah
hukum yang memaksa bagi para pihak.
3. Asas Konsensualisme atau Kesepakatan
Kesepakatan atau kesamaan kehendak dari para pihak merupakan syarat
mutlak yang harus terpenuhi untuk menjamin keabsahan suatu perjanjian.
Konkritisasi asas ini adalah pasal 1320 KUH Perdata. Adapun makna dari asas
ini adalah bahwa tercapainya kata sepakat dari para pihak, maka pada
prinsipnya perjanjian tersebut telah sah, mengikat dan sudah memiliki
kekuatan hukum, meskipun perjanjian itu tidak dibuat dalam bentuk tertulis.
Dengan kata lain perjanjian itu sudah memiliki konsekuensi yuridis, yakni
terbitnya hak dan kewajiban para pihak.
4. Asas Kepribadian (Personality)
Maksud dari asas ini adalah bahwa sebuah perjanjian hanya mengikat para
pihak secara personal dan tidak mengikat pihak lain yang tidak memberikan
kesepakatannya. Dengan kata lain s seorang yang akan melakukan kontrak
hanya untuk kepentingan perorangan. Asas ini dapat ditelusuri pada pasal
1315 KUH Perdata, bahwa “Pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan
diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada
untuk dirinya sendiri”  dan pasal 1340 menegaskan “perjanjian hanya berlaku
antara para pihak yang membuatnya.”

5. Asas Iktikad Baik (geode trouw/good faith)


Makna iktikat baik pada asas ini adalah para pihak harus jujur dan saling
percaya serta tidak ada niat untuk menipu pihak lainnya sehubungan
perjanjian yang mereka sepakati. Asas Iktikad tersebut juga disebutkan dalam
pada pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, bahwa “perjanjian harus dilaksanakan
dengan iktikad baik.”11

11
Jurnal idlegal.id
Akibat dari sebuah Wanprestasi

Apabila yang berhutang(Debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikannya maka


dikatakan Ia melakukan wanprestasi. Dia Alfa atau lalai atau ingkar janji Atau Dia
juga melanggar perjanjian, bila Ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh
dilakukan. Kata wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti presentasi
yang buruk.

Wanprestasi(kelalaian atau kealpaan) seorang debitur dapat berupa empat macam

a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya


b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang
dijanjikannya
c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Terhadap kelalaian atau kealpaan pihak yang berhutang ( yang berhutang atau
debitur sebagai pihak yang wajib melakukan sesuatu), diancamkan beberapa sanksi
atau hukuman.

Hukuman atau akibat yang tidak enak bagi debitur yang lalai ada 4 macam yaitu:

a. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat


dinamakan ganti rugi
b. Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian
c. Peralihan resiko
d. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan Hakim.

Karena wanprestasi (kelalaian) mempunyai akibat-akibat yang begitu penting, maka


harus ditetapkan lebih dahulu Apakah sebutan melakukan wanprestasi atau lalai,
dan kalau hal itu disangkal olehnya harus dibuktikan dibuka Hakim kadang juga
tidak mudah untuk mengatakan bahwa seorang lalai atau Alfa, karena seringkali
juga tidak dijanjikan dengan tepat Kapan sesuatu pihak diwajibkan melakukan
prestasi yang dijanjikan dalam jual beli barang misalnya tidak di tetapkan Kapan
Barangnya harus diantar ke rumah si pembeli atau kapan Si pembeli ini harus
membayar uang harga barang tadi titik dalam hal Seseorang meminjam uang, sering
juga tidak ditentukan Kapan uang itu harus dikembalikan titik yang penting mudah
untuk menetapkan seseorang melakukan wanprestasi ialah dalam perjanjian yang
bertujuan untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan. Apabila orang itu melakukan
nya berarti ia melanggar perjanjian. Ia melakukan wanprestasi begitu pula kalau
seseorang memasang pakaian untuk seorang lainnya untuk dipakai pada Perayaan
Hari Kemerdekaan, maka menjahit pakaian itu lalai bila pada tanggal 17 Agustus
pakaian tersebut belum selesai.
Mengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu
perbuatan, jika dalam perjanjian tidak ditetapkan batas waktunya tetapi seseorang
yang berhutang akan dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan,
pelaksanaan prestasi itu harus lebih dahulu ditagih. Kepada debitur itu harus di
diperingatkan bahwa kreditur menghendaki pelaksanaan perjanjian. Kalau prestasi
dapat di seketika dilakukan, misalnya dalam jual beli suatu barang tentu yang sudah
ditangan penjual maka prestasi dapat ditentukan juga dapat dituntut seketika
apabila prestasi tidak seketika dapat dilakukannya maka seseorang yang berhutang
perlu diberikan waktu yang pantas misalnya dalam jual beli barang yang belum
berada di tangan seorang penjual pembayaran kembali uang pinjaman dan lain
sebagainya.

Bagaimana cara memperingatkan seorang debitur, agar Jika ia tidak memenuhi


teguran dapat dikatakan lalai, diberikan petunjuk oleh pasal 1238 kitab undang-
undang hukum perdata Pasal itu berbunyi sebagai berikut:"si berutang adalah lalai,
bila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan
lalai atau demi perikatannya dengan lewatnya waktu yang ditentukan "

Maksud dengan surat perintah itu tanda tanya yang dimaksud dengan surat perintah
itu ialah suatu peringatan resmi oleh seorang juru sita pengadilan titik perkataan
atau sejenis itu sebenarnya oleh undang-undang dimaksudkan suatu peringatan
tertulis. Sekarang sudah lazim di tafsirkan suatu peringatan atau teguran yang juga
boleh dilakukan secara lisan, asal cukup tegas menyatakan dengan desakan kepada
pihak yang berhutang supaya prestasi yang dilakukan nya dengan setrika atau
dalam waktu yang singkat. Hanyalah, tentu saja sebaiknya dilakukan secara tertulis,
dan seyogyanya dengan surat tercatat agar nanti di muka Hakim tidak mudah di
pungkiri oleh pihak yang berhutang.

Apabila seorang debitur sudah diperingatkan atau sudah dengan tegas ditagih
janjinya, seperti yang diterangkan di atas maka jika ia tetap tidak melakukan
prestasinya, ia berada dalam keadaan lalai atau Alfa dan terhadap dia dapat diberi
perlakuan sanksi-sanksi sebagaimana disebutkan yaitu ganti rugi, pembatalan
perjanjian dan peralihan risiko.

Sanksi-sanksi tersebut akan kita bicarakan satu persatu dibawah ini

Ganti rugi sering diperinci dalam tiga unsur: biaya, rugi dan bunga (dalam bahasa
Belanda: kosten, schaden en interesten). Apakah yang dimaksudkan dengan unsur-
unsur ini? Yang dimaksudkan dengan biaya adalah segala pengeluaran atau
perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh suatu pihak. Jika seorang
sutradara mengadakan suatu perjanjian dengan seorang pemain sandiwara untuk
mengadakan suatu pertunjukan dan pemain ini kemudian tidak datang sehingga
pertunjukan terpaksa dibatalkan maka termasuk biaya adalah ongkos cetak iklan,
sewa gedung sewa kursi-kursi dan lain-lain.
Yang dimaksudkan dengan istilah rugi adalah kerugian karena kerusakan barang
kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian seorang debitur. Misalnya, dalam
hal jual beli seekor sapi jikalau seekor sapi yang dibeli itu mengandung suatu
penyakit yang menular kepada sapi-sapi yang lain milik si pembeli hingga sapi sapi
pembeli ini mati karena penyakit tersebut. Ataupun rumah yang baru diserahkan ke
pemborong ambruk karena salah kontruksinya hingga merusakkan segala perabot
rumah dan menimbulkan kerugian korban jiwa.

Yang dimaksudkan dengan bunga adalah kerugian yang yang berupa kehilangan
keuntungan yang sudah dibayarkan atau dihitung oleh kreditur misalnya, dalam hal
jual beli barang jika barang tersebut sudah mendapatkan tawaran yang lebih tinggi
dari harga pembeliannya. Kode

Code civil kelinci ganti rugi itu dalam dua unsur yaitu, dommages et interests.
Dommages Meliputi apa yang kita namakan biaya dan rugi sebagaimana
dibicarakan, sedangkan interest adalah sama dengan bunga dalam arti kehilangan
keuntungan.

Dalam soal penuntutan ganti rugi, oleh undang-undang diberikan ketentuan-


ketentuan tentang apa yang dapat dimasukkan dalam ganti rugi tersebut. boleh
dikatakan, ketentuan-ketentuan itu merupakan pembatasan dari apa yang boleh
dituntut sebagai ganti rugi. Dengan demikian, seorang debitur yang lalai atau alpa,
masih juga dilindungi oleh undang-undang terhadap kesewenang-wenangan
kreditur. Seperti juga ketika kreditur sudah dilindungi oleh undang-undang (pasal
1338 ayat 3) dalam soal pelaksanaan perjanjian.

Pasal 1267 kitab undang-undang hukum perdata menentukan: " Si berutang hanya
diwajibkan mengganti biaya rugi dan bunga yang nyata telah atau sedianya harus
dapat diduga suatu perjanjian dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya
perjanjian itu disebabkan karena suatu tipu daya yang dilakukan olehnya ".

Pasal 1248 kitab undang-undang hukum perdata menentukan: " bahkan jika hal
tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena tipudaya si berutang,
penggantian biaya, rugi dan biaya, sekedar mengenai kerugian yang diderita oleh si
berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang
merupakan akibat langsung dari tak dipenuhinya perjanjian".

Jadi dapat kita lihat bahwa ganti rugi itu dibatasi maka meliputi kerugian yang dapat
diduga dan yang merupakan akibat langsung dari sebuah wanprestasi.

Persyaratan dapat diduga dan an-naml kibat langsung dari wanprestasi memang
sangat rapat hubungannya satu sama lain. Lazimnya, apa yang tak dapat diduga,
juga bukan suatu akibat langsung dari kelalaian si debitur. Menurut teori tentang
sebab dan akibat, yang lazim dianut (adaequat), suatu peristiwa dianggap sebagai
akibat dari suatu peristiwa lain apabila peristiwa yang pertama secara langsung
diakibatkan oleh peristiwa yang kedua dan menurut pengalaman masyarakat dapat
diduga akan terjadinya. Seorang penjual dapat menduga bahwa pembeli akan
menderita kerugian kalau barang yang dibelinya tidak datang atau barang yang
dibelinya dalam keadaan yang tidak sesuai dengan keinginan. Seorang aktor seorang
aktor yang kita sebut juga dapat menduga bahwa sutradara akan menderita ganti
rugi kalau iya tidak datang. karena kemungkinan besar pertunjukan akan tidak
diajarkan tetapi kalau sampai sutradara jatuh sakit karena serangan jantung tentu
itu suatu hal yang tidak dapat diduga.

apakah persyaratan dapat diduga hanya di tunjukkan pada kemungkinan timbulnya


kerugian saja ataukah juga meliputi jumlahnya atau besarnya kerugian? Menurut
yurisprudensi, persyaratan dapat di duga itu, juga meliputi besarnya kerugian, tidak
boleh di timpakan kepada debitur untuk Membayarnya, kecuali jika ia menyatakan
telah berbuat secara licik, melakukan tipu daya yang dimaksudkan oleh pasal 1247
tersebut. Tetapi, juga masih dalam batas-batas yang terletak pada persyaratan
akibat langsungnya yang ditimbulkan oleh pasal 1248 kitab undang-undang hukum
perdata.

Suatu pembatasan lagi dalam pembayaran ganti rugi terdapat dalam peraturan
mengenai bunga moratoir. Apabila prestasi itu berupa pembayaran sejumlah uang,
maka kerugian yang diderita oleh kreditur kalau pembayaran itu berasal dari kata
latin"mora" yang berarti Kealpaan atau kelalaian. Jadi, bunga moratoir berarti
bunga yang harus dibayar (sebagai hukuman) karena debitur itu Alfa atau lalai
membayar uang utangnya. Oleh suatu undang-undang yang dimuat dalam lembaran
negara tahun 1848 No. 22 bunga tersebut ditetapkan 6% per tahun, dan menurut
pasal 1250 kitab undang-undang hukum perdata, bunga yang dapat dituntut itu
tidak boleh melebihi persenan yang ditetapkan dalam undang-undang tersebut. Juga
ditentukan bahwa bunga tersebut baru dihitung sejak dituntutnya perkara tersebut
ke dalam ranah pengadilan. Jadi di sejak dimasukkannya surat gugatan. satu dan
lainnya kalau oleh para pihak tidak mengadakan perjanjian tersendiri mengenai
bunga itu. jadi pasal 1247, 1248, dan 1250 kitab undang-undang hukum perdata
yang dibicarakan dapat dipandang sebagai serangkaian pasal-pasal yang bertujuan
membatasi ganti rugi yang dapat dituntut terhadap seorang debitur yang Alpa
ataupun lalai.

mengenai pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan Perjanjian,


sebagai saksi kedua atas kelalaian seseorang debitur, Mungkin ada orang yang tidak
dapat melihat sifat pembatalannya atau pemecahan tersebut sebagai suatu hukum.
Dapat disangka, debitur akan tidak bersalah dengan dibatalkannya perjanjian karena
ia akan terbebas dari segala bentuk Kewajiban melakukan prestasinya. Jikalau,
adanya suatu pembatalan dirasa sebagai bentuk pembebasan tetapi pembatalan
akan dirasa Sangat memberatkan dapat juga dibayangkan seperti jika Seorang
penjahit yang mendapatkan pesanan untuk membuat pakaian seragam satu
Batalyon prajurit, kalau kontraknya dibatalkan pada waktu itu ia sudah memotong
bahan pakaian yang ratusan meter untuk keperluan pemesanan di awal namun
karena pembatalan Berapakah biaya yang dikeluarkan nya Kerugian apa yang
ditimpa nya. Atau au contoh lain ketika seorang pemborong pesta yang telah
menerima banyaknya pesanan masakan makanan untuk suatu pesta lalu pesanan itu
dibatalkan sedangkan bahan-bahan sudah dimasak.

Pembatalan perjanjian, bertujuan membawa kedua belah pihak kembali kepada


keadaan sebelumnya sebelum diadakan suatu perjanjian tersebut jikalau satu pihak
sudah menerima sesuatu dari pihak yang lainnya baik uang maupun barang maka
itu harus dikembalikan yang menjadikan perjanjian itu harus tetap ditiadakan.

Masalah pembatalan perjanjian karena kelalaian atau wanprestasi pihak debitur


dalam kitab undang-undang hukum perdata terdapat peraturannya pada pasal 1226,
yaitu suatu pasal yang yang terdapat dalam bagian kelima bab 1, buku 3, yang
mengatur tentang perikatan Bersyarat.

Suatu pertanyaan yang akan timbul, Mengapa soal pembatalan perjanjian karena
kelalaian debitur ini diatur dalam suatu bagian yang mengatur perikatan perikatan
Bersyarat? Apa hubungannya perikatan bersyarat itu? Maka dapat di tarik
jawabannya nya" undang-undang memandang kelalaian debitur itu sebagai suatu
syarat batal yang dianggap dicantumkan dalam setiap perjanjian ". Dengan kata
lain, dalam tiap perjanjian dianggap pada suatu janji (klausula) yang berbunyi
demikian " apabila kamu debitur lalai maka perjanjian ini akan dibatalkan ".
Pandangan tersebut sekarang dianggap tidak sangat tidak tepat. kelalaian atau
wanprestasi tidak secara otomatis membuat batal atau membatalkan suatu
perjanjian seperti halnya dengan suatu syarat batal sebagaimana yang telah
dijelaskan dalam perikatan bersyarat.

pada pasal 1266 yang berbunyi: " syarat batal dianggap selamanya dicantumkan
dalam Perjanjian perjanjian yang timbal balik manakala salah satu pihak tidak
memenuhi kewajibannya.

Dalam demikian perjanjian tidak batal demi hukum tetapi pembatalan harus Diminta
kepada hakim.

Permintaan ini juga harus dilakukan meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhi
kewajiban itu dinyatakan dalam perjanjian.

Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian, Hakim leluasa menentukan
keadaan atas perizinan tergugat, untuk memberikan suatu jangka waktu guna
kesempatan memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana tidak boleh lebih dari 1
bulan".
dengan adanya ketentuan-ketentuan tersebut, maka bahwasanya pembatalan
perjanjian itu tu harus Diminta kepada hakim dan tak mungkin perjanjian itu ketika
sudah batal secara otomatis pada waktu seorang debitur telah dibuktikan dengan
sebenar-benarnya melalaikan kewajibannya. Kalau itu memungkinkan, permintaan
pembatalan kepada hakim tidak ada ada artinya. Dan disebutkan secara jelas,
bahwa perjanjian itu tidak batal demi hukum.

Dapat dikatakan, pada saat ini tidak ada ada bentuk keraguan-keraguan lagi bahwa
tentang anggapan undang-undang tentang debitur yang lalai adalah salah satu
syarat batal berdasarkan sebuah kekeliruan, bukan kelalaian atau wanprestasi dari
seorang debitur yang membatalkan sebuah perjanjian, tetapi putusan hakim lah
yang bersifat declaratoir tetapi constitutif, secara aktif membatalkan perjanjian itu.
Amar (dictum) putusan hakim itu tidak berbunyi sebagaimana berikut " menyatakan
batalnya perjanjian antara penggugat dan tergugat " melainkan, " membatalkan
perjanjian ". Akan tetapi malah, menurut ajaran sekarang yang dianut, Hakim itu
mempunyai kekuasaan discretionair, artinya: kekuasaan untuk menilai besar kecilnya
kelalaian debitur dibandingkan dengan beratnya akibat pembatalan perjanjian yang
mungkin menimpa seorang debitur itu. jikalau Hakim menimbang kelalaian seorang
debitur itu terlalu "sepele" (terlalu kecil, atau tidak berarti), sedangkan pembatalan
perjanjian akan membawa kerugian yang terlalu besar bagi seorang debitur, maka
permohonan Untuk membatalkan perjanjian akan ditolak oleh Hakim. Contohnya,
dalam hal Seorang penjahit yang telah menerima pekerjaan borongan untuk satu
Batalyon tentara yang telah diuraikan di awal, apabila kelalaian penjahit itu hanya
berupa kurang baik kancing-kancing yang dipakainya, maka makin besar
kemungkinan akan menolak segala bentuk tuntutan dan membatal pembatalan yang
diajukan oleh pihak pemesan pakaian-pakaian tersebut.

Dapat juga dikatakan, bahwa wa-nya menuntut pembatalan hanya berdasarkan


kesalahan kecil saja, merupakan suatu sikap yang bertentangan dengan norma yang
mengharuskan pelaksanaan suatu perjanjian dengan itikad baik. Lagipula, batalnya
suatu perjanjian secara otomatis, tidak sesuai dengan ketentuan dalam ayat terakhir
pasal 1266 bahwa Hakim dapat memberikan jangka waktu kepada debitur untuk
masih menentukan kewajibannya. Jangka waktu ini sering disebut dengan nama
"terme de grace" dalam bahasa Perancis yang berarti jangka waktu Pengampuan.

Dalam suatu hal perjanjian yang dibatalkan maka kedua belah pihak dalam keadaan
sebelum perjanjian diadakannya. Dapat dikatakan pula, pembatalan itu berlaku surut
sampai pada detik dilahirkannya perjanjian yang baru. Apa yang sudah terjadi di
terima oleh satu pihak harus dikembalikan lagi kepada pihak yang lainnya.

Dalam hal orang-orang yang menghadapi kesulitan dalam menghadapi pembatalan


suatu perjanjian sewa-menyewa. Apakah jika perjanjian sewa-menyewa itu
dibatalkan pemilik barang harus mengembalikan uang sewanya yang telah
diterimanya dan apakah berhak menuntut pembayaran tunggakan uang sewa, kalau
perjanjian itu dianggap dari semula tidak pernah ada? Untuk menjawab persoalan
ini, ada yang mengungkapkan bahwa berlaku surutnya pembatalan itu, suatu hal
yang dapat dilepaskan oleh penggugat (pemilik barang yang di sewa). Juga
diajarkan bahwa pemilik barang yang disewa itu menuntut pembatalan perjanjian
untuk waktu yang akan datang, untuk untuk kedepannya dengan tidak lihat ke
belakang. Menurut pendapat lain, ajaran-ajaran ini diperlukan dalam suatu alam
pemikiran yang abstrak teoritis. Sebenarnya, persoalan ini Mudah Saja berlaku
surutnya pembatalan itu adalah suatu pedoman yang harus dilaksanakan, jikalau itu
mungkin dilaksanakan.

Dalam hal suatu perjanjian jual beli atau tukar menukar barang, barang hak milik
dapat dengan mudah dikembalikan kepada pemilik aslinya. Akan tetapi dalam hal
sewa-menyewa, Bagaimanakah seorang penyewa dapat mengembalikan kenikmatan
yang sudah diperoleh dari barang yang disewakan itu. Dan karena kenikmatan itu
tidak mungkin dikembalikan, tentunya pemilik barang dapat tetap memiliki uang
sewa yang sudah diterimanya. Begitu pula halnya dalam suatu perjanjian
perburuhan Bagaimanakah tenaga yang sudah diberikan oleh pihak buruh dapat
dikembalikan oleh bosnya.

Peralihan resiko sebagai sanksi ketiga atas kelalaian seorang debitur disebutkan
dalam pasal 1237 ayat 2 kitab undang-undang hukum perdata. Yang dimaksudkan
dengan resiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa
diluar kesalahan salah satu pihak nya, yang menimpa barang yang menjadi objek
perjanjian. Dalam persoalan ini dapat dijelaskan secara mendalam, apabila dalam
keadaan memaksa (overmacht atau force majeur) karena soal resiko ini memang
merupakan persoalan yang annex dengan keadaan memaksa.

Peralihan risiko dapat digambarkan sebagai berikut:

Menurut pasal 1460 kitab undang-undang hukum perdata, maka risiko dalam jual-
beli barang dapat ditentukan dipikul kepada seorang pembeli, meskipun barangnya
belum diserahkan. Jikalau seorang pembeli itu terlambat menyerahkan barangnya,
maka kelalaian ini diancam dengan mengalihkan risiko tadi di dari seorang pembeli
kepada seorang penjual. Jadi dengan kelalaian seorang penjual, resiko ini beralih
kepadanya.

Tentang pembayaran ongkos biaya perkara sebagai sanksi yang keempat bagi
seorang debitur yang lalai adalah dapat disimpulkan dalam suatu peraturan hukum
acara, bahwa pihak yang dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara ( pasal 181
ayat 1 H.I.R). seorang debitur yang lalai tentu akan dikalahkan jikalau sampai
terjadi di di suatu perkara di depan muka Hakim.
Pasal 1267 kitab undang-undang hukum perdata mengatakan: " pihak yang merasa
perjanjian tidak dipenuhi, boleh memilih apakah ia, jika hal itu masih dapat
dilakukan, akan memaksa pihak yang lainnya untuk memenuhi Perjanjian, ataukah
ia akan menuntut pembatalan perjanjian itu disertai penggantian biaya, rugi dan
bunga ". Lagi-lagi suatu ketentuan yang sukar disesuaikan dengan ajaran bahwa
dengan lalainya seorang debitur perjanjian batal secara otomatis. Kalau perjanjian
itu sudah batal atau pecah pada detik terjadinya wanprestasi atau kelalaian seorang
debitur. Maka akan sukar untuk tetap juga menuntut pemenuhan perjanjian itu.

Menurut pasal 1267, pihak kreditur dapat menuntut seorang debitur yang lalai itu:
pemenuhan perjanjian atau pembatalan disertai penggantian biaya, rugi dan bunga (
disingkat ganti rugi). Dengan sendirinya Ia juga dapat menentukan pemenuhan
perjanjian disertai ganti rugi, misalnya penggantian kerugian karena pemenuhan itu
terlambat, atau barang yang diterima kurang dan lain sebagainya. Sangat mungkin
jika dituntut sebagai ganti rugi saja, dalam hal yang dianggap telah melepaskan hak
untuk meminta pemenuhan maupun pembatalan. Dan juga dapat menuntut
pembatalan saja.

Sebagai kesimpulan dapat ditetapkan, bahwa kreditur dapat memilih antara


tuntutan-tuntutan sebagai berikut:

1. Pemenuhan perjanjian

2. Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi

3. Ganti rugi saja

4. pembatalan perjanjian

5. Pembatalan disertai ganti rugi.

Perlu kiranya untuk diperingatkan supaya Jangan menganggap sebuah pemenuhan


Perjanjian sebagai suatu sanksi atas kelalaian, sebab hal itu memang sudah dari
semula memang menjadikan kesanggupan seorang debitur. Suatu persoalan dalam
hal kelalaian seorang debitur. Ialah, Apakah seseorang setelah nya tanya-tanya lalai
(sudah diperingatkan kan an dan tidak dapat menempati, kewajibannya) masih
diperbolehkan juga untuk memenuhi kewajibannya. Persoalan ini lazim dinamakan
persoalan tentang kemungkinan bagi debitur yang lalai untuk membersihkan diri dari
kelalaian itu.

Pemahaman ajaran ini adalah, bahwasanya Hakim mempunyai kekuasaan


"discretionair" dengan ketentuan tentang " terme de grace" sebagaimana telat
tertulis dalam ayat 4 pasal 1266, tentu saja dapat dipahami bahwa persoalan ini
adalah kemungkinan untuk membersihkan diri.
Ada seseorang yang menyatakan tentang kelalaian seorang yang berpiutang sebagai
lawan dari kelalaian seorang yang berhutang"" Mora creditoris". Contohnya, A telah
menjual suatu partai barang prangko gudang kepada B, sehingga B harus
mengambil sendiri barang ini dari gudang. Jika B tidak mengambil barang itu sampai
melampaui batas waktu yang ditentukan, makamaka A menderita kerugian karena ia
terpaksa harus membayar sewa gedung. Dapat dikatakan bahwa B melakukan mora
creditoris atau lalai sebagai seorang berpiutang, tetapi sebenarnya perkataan ini
tidaklah tepat, karena hanya seorang yang berhutang saja(yaitu seorang yang
memikul kewajiban) dapat melalaikan kewajibannya. bahwasanya B sebagai pihak
yang berhak atas penyerahan barang, tetapi mengenai penerimaannya dia
diharuskan tidaklah lain dari seorang yang berkewajiban sebagai yang berhutang
dengan sanksi sanksi bilamana melalaikan kewajibannya, seperti seseorang dengan
berhutang pada umumnya. dengan demikian, jika terdapat adanya alasan, maka
pihak yang berhutang dapat dibuka untuk menggantikan kerugian kepada penjual
barang itu.12

Konsep dan Unsur-Unsur Penipuan dalam Hukum Pidana

Pengertian tindak Pidana Penipuan dengan melihat dari segi hukum sampai sekarang
belum ada, kecuali apa yang dirumuskan dalam KUHP. Rumusan penipuan dalam
KUHP bukanlah suatu definisi melainkan hanyalah untuk menetapkan unsur-unsur
suatu perbuatan sehingga dapat dikatakan sebagai penipuan dan pelakunya dapat
dipidana. Penipuan menurut pasal 378 KUHP oleh Moeljatno sebagai berikut: 13

“Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat (hoednigheid)
palsu dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang
lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang
maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan, dengan pidana penjara
paling lama empat tahun.”

Berdasarkan unsur-unsur tindak pidana penipuan yang terkandung dalam rumusan


Pasal 378 KUHP di atas. Maka R. Sugandhi mengemukakan pengertian penipuan
bahwa:14

“Penipuan adalah tindakan seseorang dengan tipu muslihat rangkaian kebohongan,


nama palsu dan keadaan palsu dengan maksud menguntungkan diri sendiri dengan
12
Subekti, Hukum Perjanjian
13
Moeljatno, KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), Bumi Aksara, Jakarta, 2007
14
Sugandhi, R., Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya, 1980,
hal.396-397
tiada hak. Rangkaian kebohongan ialah susunan kalimat-kalimat bohong yang
tersusun demikian rupa yang merupakan cerita sesuatu yang seakan-akan benar.”

Pengertian penipuan sesuai pendapat tersebut di atas tampak jelas bahwa yang
dimaksud dengan penipuan adalah tipu muslihat atau serangkaian perkataan bohong
sehingga seseorang merasa terpedaya karena omongan yang seakan-akan benar.
Biasanya seseorang yang melakukan penipuan, adalah menerangkan sesuatu yang
seolah-olah betul atau terjadi, tetapi sesungguhnya perkataannya itu adalah tidak
sesuai dengan kenyataannya, karena tujuannya hanya untuk meyakinkan orang
yang menjadi sasaran agar diakui keinginannya, sedangkan menggunakan nama
palsu supaya yang bersangkutan tidak diketahui identitasnya, begitu pula dengan
menggunakan kedudukan palsu agar orang yakin akan perkataannya. Penipuan
sendiri dikalangan masyarakat merupakan perbuatan yang sangat tercela namun
jarang dari pelaku tindak kejahatan tersebut tidak dilaporkan kepihak kepolisian.
Penipuan yang bersifat kecilkecilan dimana korban tidak melaporkannya menurut
pelaku penipuan terus mengembangkan aksinya yang pada akhirnya pelaku
penipuan tersebut menjadi pelaku yang berskala besar.

Untuk dapat menyatakan seseorang sebagai pelaku kejahatan penipuan, Majelis


Hakim Pengadilan harus melakukan pemeriksaan dan membuktikan secara sah dan
meyakinkan apakah benar pada diri dan perbuatan orang tersebut telah terbukti
unsur-unsur tindak pidana penipuan baik unsur subyektif maupun unsur obyektifnya.
Hal ini dalam konteks pembuktian unsur subyektif misalnya, karena pengertian
kesengajaan pelaku penipuan, secara teori adalah mencakup makna willen en wites
(menghendaki dan mengetahui), maka harus dapat dibuktikan bahwa terdakwa
memang benar telah:

a. Bermaksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan
hukum.
b. Menghendaki atau setidaknya mengetahui atau menyadari bahwa
perbuatannya sejak semula memang ditujukan untuk menggerakkan orang
lain agar orang lain tersebut menyerahkan suatu benda atau memberi utang
atau menghapuskan piutang kepadanya
c. Mengetahui atau menyadari bahwa yang ia pergunakan untuk menggerakkan
orang lain, sehingga menyerahkan suatu benda atau memberi hutang atau
menghapuskan piutang kepadanya itu adalah dengan memakai nama palsu,
martabat palsu atau sifat palsu, tipu muslihat atau rangkaian kebohongan.

Disamping itu, karena sifat atau kualifikasi tindak pidana penipuan adalah
merupakan kasus formil – materil, maka secara yuridis teoritis juga diperlukan
pembuktian bahwa korban penipuan dalam menyerahkan suatu benda dan
seterusnya kepada pelaku tersebut, haruslah benar-benar kausaliteit (berhubungan
dan disebabkan oleh cara-cara pelaku penipuan) sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 378 KUHP. Dan hal demikian ini tentu tidak sederhana dalam praktek
pembuktian di Pengadilan. Oleh karenanya pula realitas suatu kasus wanprestasi
pun seharusnya tidak bisa secara simplifistik (sederhana) ditarik dan dikualifikasikan
sebagai kejahatan penipuan.

Seiring dengan perkembangan hukum pidana dan pertanggungjawaban pidana


berkaitan dengan tindak pidana penipuan ex Pasal 378 KUHP, dewasa ini telah
mengalami perubahan dan pergeseran. Kegiatan bisnis dan usaha yang dilakukan
senantiasa bersinggungan dengan hubungan hukum, yaitu hubungan hukum kontrak
atau perjanjian. Kontrak yang dibuat oleh kedua belah pihak, kadangkala
kewajibannya tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, sehingga timbul kerugian di
salah satu pihak. Maka pihak yang tidak melaksanakan kewajibannya akan
dimintakan pertanggungjawaban pidana. Ketentuan umum dalam KUHP Indonesia
masih menganut asasasas umum bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana
akan mendapat sanksi pidana melalui proses peradilan pidana. Dalam praktik sering
dijumpai kasus-kasus yang berkaitan dengan hubungan kontraktual yang ditangani
oleh Polri.

Setelah dilakukan penyidikan berpedoman Pasal 184 Undangundang Nomor 8 Tahun


1981 tentang Hukum Acara Pidana, perbuatan tersebut dapat dibuktikan unsur-
unsurnya sebagai tindak pidana penipuan ex Pasal 378 KUHP. Sedangkan dalam
perjalanan proses penanganan, sebelum berkas perkara diserahkan kepada Jaksa
Penuntut Umum selaku Penuntut, pelapor atau korban telah mencabut
laporan/pengaduannya kepada penyidik dengan atasan bahwa, kerugian yang
dialami sudah dipenuhi oleh pelaku. Antara korban dan pelaku telah melakukan
perdamaian, terkadang perdamaian dibuat secara Akta Notariil di depan Notaris, ada
kalanya dibuat di bawah tangan. Pelapor/korban tidak menghendaki kasusnya untuk
dilanjutkan ke tingkat proses penuntutan dan peradilan. Model penyelesaian ini tidak
dikenal dalam KUHP Indonesia, model ini merupakan suatu pergeseran konsep
untuk mewujudkan hukum pidana yang dicita-citakan (ius constituendum).

Kasus-kasus yang di akibatkan Wanprestasi

1. Jefri Nichol Terjerat Kasus Wanprestasi, Digugat Rp 4,2 Miliar, Diduga


Langgar Kontrak 4 Film.15
2. Ninja Xpress Digugat Perkara Wanprestasi : Ninja Xpress digugat karena
melakukan wanprestasi terhadap kliennya, PT Digital Commerce Indonesia.
Total gugatan hingga Rp33,9 miliar. 16

15
https://www.kompas.com/hype/read/2020/02/27/100738866/jefri-nichol-terjerat-kasus-wanprestasi-
digugat-rp-42-miliar-diduga-langgar?page=all
16
https://www.bisnis.com/topic/45949/wanprestasi
3. wanprestasi, Hannien Tour dihukum bayar ganti rugi Rp 4,88 miliar ke
jamaah.17

Kesimpulan

17
https://nasional.kontan.co.id/news/terbukti-wanprestasi-hannien-tour-dihukum-bayar-ganti-rugi-rp-488-
miliar-ke-jamaah

Anda mungkin juga menyukai