Anda di halaman 1dari 33

MAKLAH

BATAS-BATAS WANPRESTASI DAN PERBUAATAN MELAWAN HUKUM

DISUSUN OLEH :

HENDRIK SYAHPUTRA

NIM. 2074201011

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LANCANG KUNING PEKANBARU


BAB I

A. Batas-batas Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dibedakan dengan jelas antara

perikatan yang lahir dari perjanjian dan perikatan yang lahir dari undang-

undang. Akibat hukum suatu perikatan yang lahir dari perjanjian memang

dikehendaki oleh para pihak, karena memang perjanjian dibuat didasarkan atas

kesepakatan yaitu persesuaian kehendak antara para pihak yang membuat

perjanjian. Sedangkan akibat hukum suatu perikatan yang lahir dari undang-

undang mungkin tidak dikehendaki oleh para pihak, tetapi hubungan hukum dan

akibat hukumnya ditentukan oleh undang-undang.

Untuk lebih memahami arti dari perikatan tersebut berikut pendapat beberapa ahli

mengenai defenisi perikatan.

Menurut Hoffmann :

“Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-

subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya

(debitur atau para debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-

cara tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian

itu”.

Menurut Pitlo :

“Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua

orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak yang

lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi”.

Dari defenisi-defenisi tersebut dapatlah disimpulkan bhawa dalam suatu

perikatan paling sedikit terdapat satu hak atau satu kewajiban, suatu persetujuan

dapat menimbulkan satu atau beberapa perikatan, tergantung daripada jenis


persetujuannya. Apabila atas perjanjian yang disepakati terjadi pelanggaran,

maka dapat dikatakan telah terjadi wanprestasi, karena adanya suatu hubungan

kontraktual antara pihak yang menimbulkan kerugian dan pihak yang menderita

kerugian. Namun bila tidak ada ditemukan hubungan kontraktual antara pihak

yang menimbulkan kerugian dengan pihak yang menderita kerugian, maka dapat

dikatakan telah terjadi perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad). Teori

klasik membedakan antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum.

Menurut teori klasik tujuan daripada seseorang atau badan hukum mengajukan

gugatan wanprestasi adalah untuk menempatkan penggugat pada posisi

seandainya perjanjian tersebut terpenuhi (put the plaintift to the position if he

would have been in had the contract been performed) atau dengan kata lain

ganti rugi tersebut adalah berupa kehilangan keuntungan yang diharapkan atau

disebut dengan istilah expectation loss atau winstderving. Sedangkan tujuan

gugatan perbuatan melawan hukum adalah untuk menempatkan posisi

penggugat kepada keadaan semula sebelum terjadinya perbuatan melawan

hukum.

Masalah-masalah tidak memenuhi kewajiban perikatan-perikatan mengingatkan

kepada masalah wanprestasi, sehingga kalau dikaitkan keduanya, maka timbul

pertanyaan, “Apakah setiap kali orang tidak memenuhi kewajiban prestasi

perikatannya melakukan wanprestasi?”. Atas pertanyaan ini timbullah jawaban

dari para sarjana, yaitu,“Orang melakukan wanprestasi kalau tidak

melakukan/memenuhi kewajiban perikatannya dan tindakan atau sikapnya itu

dapat dipersalahkan kepadanya.”

Oleh sebab itu, dapat dikemukakan bahwa “tidak memenuhi kewajiban

perikatan-perikatan merupakan tindakan yang bertentangan dengan kewajiban

orang untuk memperhatikan kepentingan hartanya orang lain dalam pergaulan


hidup dan karenanya onrechtmatigedaad”. Jadi, kesimpulannya baik

wanprestasi maupun onrechtmatigedaad, kedua-duanya merupakan

tindakan/sikap yang onrechtmatige. Wanprestasi adalah onrechtmatigedaad

yang dilakukan seseorang dalam kualitasnya sebagai debitur terhadap

krediturnya. Sehingga ada yang menganggap wanprestasi sebagai bagian dari

onrechtmatigedaad. Pertanyaan kemudian yang timbul, mengapa dalam KUH

Perdata diberikan pengaturannya sendiri-sendiri?. Walaupun harus diakui,

bahwa wanprestasi masuk ke dalam bagian onrechtmatigedaad.

Namun, dari sejarah dan sistematika yang dianut oleh KUH Perdata orang

menyimpulkan, bahwa wanprestasi tidak termasuk dalam pengertian tindakan

melawan hukum/onrechtmatigedaad. Demikian pula pendapat pengadilan, yang

disimpulkan dalam keputusan hogeraad 13 Juli 1913, yang mana menyatakan,

bahwa kalau yang dilanggar adalah semata-mata suatu kewajiban kontraktual,

maka tidak ada dasar untuk tuntutan atas dasar perbuatan melawan hukum.

Namun ada juga yang menyatakan bahwa atas dasar pertimbangan praktis,

akibat hukum tidak tertutup kemungkinan, bahwa untuk peristiwa yang

sama terbuka kemungkinan tuntutan baik atas dasar wanprestasi maupun atas

dasar perbuatan melawan hukum, karena suatu tindakan mungkin sekali

melanggar kewajiban kontraktual dan sekaligus juga tidak sesuai dengan tata

krama atau tidak patut.

Misalnya, sebuah contoh sederhana dimana seorang karyawan perusahaan yang

membocorkan rahasia perusahaan yang secara tegas diperjanjikan dalam

perjanjian kerja kepada perusahaan saingannya. Membocorkan rahasia

perusahaan dalam kasus diatas, terang melanggar kewajiban kontraktual si

karyawan, karena diantara karyawan dan perusahaan hubungan kontraktual

didasarkan pada perjanjian perburuhan. Tetapi disamping itu juga merupakan


perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad).

Lalu, dimana letak batasnya? dengan kata lain, kapan dikatakan bahwa suatu

perbuatan dapat dikategorikan kepada wanprestasi dan kapan suatu perbuatan

itu merupakan onrechtmatigedaad?. Oleh pertanyaan itu, timbullah

permasalahan hukum dalam hal adanya hubungan kontraktual antara para pihak

dan terjadi wanprestasi, dapatkah juga diajukan gugatan perbuatan melawan

hukum? Untuk itu berikut akan dibahas beberapa putusan pengadilan dimana

perbuatan melawan hukum (pasal 1365 KUH Perdata) digunakan sebagai dasar

gugatan padahal ada hubungan kontraktual antara para pihak.

Sudah dijelaskan sebelumnya, mengenai perkembangan perbuatan melawan

hukum yang mana semua pengertian melawan hukum hanya diartikan secara

sempit yaitu perbuatan yang melanggar undang-undang saja.

A. Pengertian Wanprestasi

Dalam Bahasa Belanda istilah wanprestasi adalah “wanprestatie” yang artinya

tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan, baik

perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena

Undang-Undang.

Tidak terpenuhinya suatu kewajiban itu dapat disebabkan oleh dua

kemungkinan, yaitu :

1. Karena kesalahan debitur, baik karena kesengajaannya maupun karena

kelalaian;

2. Karena keadaan memaksa (force majeur), hal ini terjadi diluar kemampuan

debitur
Pengertian wanprestasi ini sendiri belum mendapatkan keseragaman, masih

terdapat bermacam-macam istilah yang dipakai untuk wanprestasi, sehingga

tidak terdapat kata sepakat untuk menentukan istilah mana yang hendak

dipergunakan. Istilah mengenai wanprestasi ini terdapat beberapa istilah yaitu :

ingkar janji, cidera janji, melanggar janji dan lain sebagainya.

Dalam membicarakan “wanprestasi”, tidak bisa terlepas dari masalah

“pernyataan lalai” (ingebrekke stelling) dan “kelalaian” (verzuim). Adapun

pengertian umum mengenai wanprestasi ini adalah pelaksanaan kewajiban yang

tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Kalau begitu

seorang debitur disebutkan dan berada dalam keadaan wanprestasi, apabila dia

telah lalai sehingga terlambat dari jadwal waktu yang ditentukan atau dalam

melaksanakan prestasi tidak menurut sepatutnya/selayaknya.

“Menurut Marhainis Abdulhay, pengertian wanprestasi adalah apabila pihak-

pihak yang seharusnya berprestasi tidak memenuhi prestasinya.”

B. Sebab- sebab Wanprestasi

Seperti diketahui dalam setiap persetujuan tidak selamanya pihak debitur dapat

memenuhi prestasi seperti yang diperjanjikan. Keadaan wanprestasi ini tidak

selalu bahwa tidak dapat memenuhi sama sekali prestasi yang diperjanjikannya,

melainkan dapat juga dalam seorang debitur tidak tepat waktunya dalam

memenuhi prestasinya, akan tetapi tidak dengan baik sebagaimana dikehendaki

oleh pihak kreditur.

Dari uraian di atas, maka dapat dikatakan wanprestasi meliputi 3 hal,yaitu:

1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali;

2. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya;

3. Memenuhi prestasi tetapi tidak dengan baik.


Alasan mengapa seorang debitur tidak memenuhi kewajiban seperti yang

diperjanjikan dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu :

a. Adanya kesalahan pada diri si debitur;

b. Adanya keadaan memaksa.

C. Wujud Wanprestasi dalam Perikatan

Dalam suatu perikatan yang dibuat dua pihak yang terikat yaitu debitur dan

kreditur dimana dalam hal ini menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak

sesuai dengan apa yang disepakati bersama. Debitur diwajibkan untuk

menyerahkan prestasi kepada kreditur dimana prestasi berupa memberikan,

berbuat, atau tidak berbuat sesuatu (pasal 1234 KUH Perdata). Selain itu debitur

juga berkewajiban untuk memberikan harta kekayaannya diambil oleh kreditur

sebagai pelunasan atas hutang debitur yang tidak memenuhi kewajibannya.

Adapun wujud atau bentuk wanprestasi itu adalah sebagai berikut :

“ 1.Debitur tidak memenuhi perikatan atau sama sekali tidak

melaksanakan prestasi;

2. Debitur terlambat memenuhi prestasi/perikatan;

3. Debitur melaksanakan prestasi tetapi tidak baik, atau debitur keliru

atau tidak pantas dalam memenuhi perikatan.”

Dari ketiga bentuk wanprestasi tersebut diatas, maka yang menjadi masalah

adalah pada saat mana debitur dikatakan terlambat memenuhi prestasi dan pada

saat mana pula debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali.

Apabila debitur tidak memenuhi perikatan atau melakukan perbuatan

wanprestasi maka dalam hal ini kreditur dapat meminta ganti rugi atau ongkos

kerugian dan bunga yang dideritanya. Hal ini menurut ketentuan yang diatur

dalam pasal 1246 KUH Perdata bahwa oleh kreditur dapat dituntut :

a. Kerugian yang diderita kreditur;


b. Keuntungan yang seharusnya akan diterima.

Menurut Mariam Darus wujud dari tidak memenuhi perikatan ada 3 macam

yaitu :

1) Debitur sama sekali tidak memenuhi perikatan,

2) Debitur terlambat memenuhi perikatan

3) Debitur keliru atau tidak memenuhi perikatan.

Dalam kenyataannya, sukar menentukan saat debitur dikatakan tidak memenuhi

perikatan, karena ketika mengadakan perjanjian pihak-pihak tidak menentukan

waktu untuk melaksanakan perjanjian tersebut. Bahkan dalam perikatan, waktu

untuk melaksanakan prestasi ditentukan, sehingga cidera janji tidak terjadi

dengan sendirinya. Wanprestasi itu tidak terjadi dengan sendirinya, maka untuk

menentukan seseorang itu wanprestasi tergantung kepada waktu yang

diperjanjikan, yang mudah untuk menentukan saat debitur wanprestasi yaitu

mulai saat orang itu melakukan perbuatan yang dilarang dalam perjanjian dan

tidak memenuhi perikatan, maka dikatakanlah wanprestasi.


BAB II

A. Akibat hukum Wanprestasi dan Cara Penyelesaiannya

Apabila seorang debitur sudah diperingatkan atau sudah dengan tegas ditagih

janjinya, seperti yang telah diterangkan diatas, maka jika tetap tidak memenuhi

prestasi yang diperjanjikan, maka berada dalam keadaan lalai atau alpa dan

terhadap debitur yang lalai dapat dikenakan empat macam sanksi, yaitu :

a. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat

dinamakan ganti rugi ;

b. Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian ;

c. Peralihan resiko ;

d. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan dimuka hakim.

Sanksi-sanksi tersebut akan dibicarakan satu-persatu dibawah ini.

Ganti rugi sering diperinci dalam tiga unsur : Biaya (kosten), rugi (schaden), dan

bunga (interesten). Ketentuan tentang ganti rugi ini diatur dalam pasal 1248 KUH

Perdata sampai dengan 1251 KUH Perdata, yang dimaksudkan dengan biaya adalah

segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh suatu

pihak. Jika seorang sutradara mengadakan suatu perjanjian dengan seorang artis

untuk mengadakan suatu pertunjukkan dan pemain ini kemudian tidak datang,

pertunjukan terpaksa dibatalkan, maka yang termaksud biaya adalah ongkos cetak

iklan, sewa gedung, sewa kursi dan lain-lain.

Yang dimaksud dengan istilah rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-

barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian debitur. Sedang

yang dimaksud dengan bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan

keuntungan yang sudah dibayangkan dan dihitung oleh kreditur.

Dalam soal penuntutan ganti rugi, oleh undang-undang diberikan ketentuan

tentang apa yang dimaksud dalam ganti rugi tersebut. Boleh dikatakan,
ketentuan-ketentuan itu merupakan pembatasan dari apa yang boleh dituntut

sebagai ganti rugi. Dengan demikian seorang debitur yang lalai, masih juga

dilindungi oleh undang-undang terhadap kesewenang-wenangan si kreditur.

Pasal 1274 KUH Perdata menentuka : Si berhutang hanya diwajibkan mengganti

biaya rugi dan bunga yang nyata telah atau sedianya harus dapat diduga

sewaktu perjanjian dilahirkan, kecuali jika hal itu dipenuhinya perjanjian itu

disebabkan olehnya.

Pasal 1248 KUH Perdata menentukan : Bahkan jika hal tidak dipenuhinya

perjanjian itu disebabkan karena tipu daya si berhutang, penggantian biaya, rugi

dan bunga, sekedar mengenai kerugian yang diderita oleh si berhutang,dan

keuntungan yang terhilang baginya yang merupakan akibat langsung dan tidak

dipenuhinya perjanjian.

Persyaratan dapat diduga dan akibat langsung dari wanprestasi erat

hubungannya satu sama lain. Lazimnya apa yang tidak dapat diduga juga bukan

suatu akibat langsung dari kelalaian debitur.

Suatu pembatasan lagi dalam pembayaran ganti rugi terdapat dalam peraturan

mengenai bunga moratoir yaitu bunga yang harus dibayar (sebagai hukuman)

karena debitur itu alpa atau lalai membayar hutangnya. Besarnya bunga moratoir

menurut ketentuan undang-undang yang dimuat dalam Lembaran Negara tahun

1848 No. 22 ditetapkan sebesar 6 % setahun. Menurut pasal 1250 KUH Perdata

bunga yang dapat dituntut tidak boleh melebihi persenan yang ditetapkan

undang-undang tersebut. Jadi pasal 1247 KUH Perdata, 1248 KUH Perdata, dan

1250 KUH Perdata, yang dibicarakan di atas dapat dipandang sebagai

serangkaian pasal-pasal yang bertujuan membatasi ganti rugi yang dapat dituntut

terhadap seorang debitur yang lalai.

Perihal pembatalan perjanjian, bertujuan membawa kedua belah pihak kembali


kepada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Kalau satu pihak sudah menerima

sesuatu dari pihak yang lain, baik uang maupun barang, maka itu harus

dikembalikan.

Masalah pembatalan perjanjian karena kelalaian pihak debitur ini dalam KUH

Perdata terdapat pengaturannya pada pasal 1266 KUH Perdata yang antara lain

menganggap bahwa syarat batal selamanya dianggap tercantum dalam

perjanjian timbal balik. Meskipun untuk harus dimintakan pembatalannya oleh

hakim.

Jadi, menurut pasal 1266 KUH Perdata diatas, maka pembatalan suatu perikatan

tidak terjadi dengan sendirinya harus dimintakan kepada hakim dan hakimlah

yang akan membatalkan perjanjian itu dengan keputusannya.

Dengan demikian wanprestasi hanyalah sebagai alasan hakim menjatuhkan

keputusannya yang membatalkan perjanjian itu. Karenanya hakim menurut

keadaan berwenang untuk memberikan tenggang waktu kepada debitur untuk

memenuhi prestasinya.

Dalam memberikan waktu tersebut sudah tentu hakim harus mempertimbangkan

apakah debitur dapat memenuhi prestasinya, dan apakah prestasi itu masih ada

manfaatnya bagi kreditur.

Tenggang waktu yang diberikan untuk memenuhi prestasinya ini disebut dengan

“terme de grace” (jangka waktu pengampunan).

Apabila jangka waktu yang ditentukan dalam mana pihak debitur harus

memenuhi kewajibannya telah lampau dan debitur masih juga dalam keadaan

wanprestasi, maka hal ini berakibat harta milik debitur akan dieksekusi (dilelang

untuk memenuhi tuntutan dari krediturnya). Apabila ternyata si berhutang ada

menjaminkan sebagian harta bendanya baik dalam bentuk gadai, fiducia,

creditverband, maupun hipotik, maka eksekusinya pertama-tama dilaksanakan


terhadap barang jaminan tersebut.

Sanksi ketiga yaitu peralihan resiko atas kelalaian seorang debitur disebut dalam

pasal 1237 ayat 2 KUH Perdata. Resiko mempunyai pengertian kewajiban untuk

memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak,

yang menimpa objek barang yang menjadi objek perjanjian.

Tentang pembayaran ongkos biaya perkara sebagai sanksi keempat bagi seorang

debitur yang lalai adalah tersimpul dalam suatu peraturan Hukum Acara, bahwa

pihak yang dikalahkan wajib membayar biaya perkara (pasal 181 ayat 1

HIR). Seorang debitur yang lalai tentu akan dikalahkan sampai terjadi

perkaradimuka hakim.

B. Pegertian Perbuatan Melawan Hukum

Akibat dari suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum diatur juga oleh

hukum, walaupun akibat itu memang tidak dikehendaki oleh yang melakukan

perbuatan tersebut. Siapa yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan

hukum harus mengganti kerugian yang diderita oleh yang dirugikan karena

perbuatan tersebut. Jadi, dapat dikatakan karena perbuatan melawan hukum maka

timbullah suatu ikatan (verbintenisen) untuk mengganti kerugian yang diderita oleh

yang dirugikan. Asas ini terdapat dalam pasal 1365 KUH Perdata, yang berbunyi :

Tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain,

mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti

kerugian tersebut. Utrecht, berpendapat bahwa :

Penafsiran dalam pasal 1365 KUHPerdata dalam yurisprudensi Belanda

(yurisprudensi Indonesia mengikuti yurisprudensi Belanda) ada sejarahnya.

Dalam abad ke-19 ketika aliran logisme masih kuat, yang menjadi perbuatan

melawan hukum hanyalah suatu perbuatan yang bertentangan dengan undang-

undang saja. Perbuatan yang bertentangan dengan kebiasaan bukanlah perbuatan


melawan hukum, jadi sesuai aliran logisme yang berpendapat diluar undang-

undang tidak ada hukum. Pada akhr abad ke-19 pendapat aliran logisme ini

mendapat tantangan dari berbagai pihak. Telah diketahui bahwa molengraf-lah

yang mula-mula mengatakan bahwa penafsiran yang sempit itu tidak dapat

dipertahankan dan diteruskan.

Dalam sebuah karangan yang ditempatkan di majalah Rechtsgeleerd Magazine

(tahun 1887) oleh Molengraf dikemukakan :

Bahwa pengertian perbuatan melawan hukum seperti yang disebut pada pasal

1365 KUH Perdata, tidak hanya suatu perbuatan yang bertentangan dengan

suatu peraturan perundang-undangan, melainkan juga meliputi perbuatan-

perbuatan yang bertentangan dengan segala sesuatu yang ada diluar undang-

undang yang memuat kaedah-kaedah sosial. Anggapan ilmu hukum ini diterima

dalam yurisprudensi tahun 1919.

Dari penjelasan diatas dapat kita ketahui bahwa setelah tahun 1919 perbuatan

melawan hukum seperti tercantum dalam pasal 1365 KUH Perdata bukan saja yang

bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga bertentangan dengan kaedah-

kaedah norma sosial dan norma-norma yang lain.

Adapun asas yang tercantum dalam pasal 1365 KUH Perdata yang menegaskan

bahwa tiap perbuatan yang bertentangan dengan hukum (melawan hukum), yang

merugikan orang lain, mewajibkan pihak yang merugikan (yang melakukan)

mengganti kerugian yang diderita oleh pihak yang dirugikan itu. Selanjutnya

dikatakan :

Dalam sejarah hukum perbuatan melawan hukum disebutkan dalam pasal 1365

KUH Perdata telah diperluas pengertiannya menjadi membuat sesuatu dan tidak

membuat sesuatu (melalaikan sesuatu), yang :

1. Melanggar hak orang lain;


2. Bertentangan dengan kewajiban hukum dari yang melakukan

perbuatan itu;

3. Bertentangan dengan kesusilaan, maupun asas-asas pergaulan

kemasyarakatan mengenai kehormatan orang lain atau barang orang lain.

Ini merupakan pegangan yang sangat luas bagi hakim untuk menentukan

perbuatan mana yang merupakan perbuatan melawan hukum.

Wiryono Prodjodikoro mengemukakan :

“Bagi orang Indonesia asli tetap berlaku hukum adat yang juga mengenal hak

hukum, seperti tertulis pada pasal 1365 KUHPerdata, yaitu secara bersalah

melakukan perbuatan melawan hukum dan dengan itu merugikan orang lain,

adalah wajib memberi ganti rugi.”

Menurut Chaidir Ali, bahwa :

Pendapat Wirjono Prodjodikoro tersebut telah mendapat kekuatan hukum yang

pasti didalam Putusan MA No.222 K/Sip/1958 tertanggal 21 November 1958

sebagai berikut : Hukum adat warisan tentang perbuatan melawan hukum,

menurut hukum adat di Jawa Timur setiap sebab yang menimbulkan kerugian

yang menjadi akibat dari sesuatu perbuatan atau

kelalaian seseorang mewajibkan orang yang bersalah tentang timbulnya kerugian itu

untuk memperbaiki kerugian itu.

Seseorang yang melakukan perbuatan melawan hukum yang menimbulkan

kerugian, ada hal-hal tertentu yang membebaskan orang tersebut dari kewajiban

membayar ganti rugi. Hukum adat yang tidak mengenal penyusunan dalam suatu

perundang-undangan tertulis, serta dalam melaksanakan hukum adat tentang hal ini

seorang hakim dapat lebih leluasa untuk meninjau hakekat hukum tersebut darisudut

manapun dan menurut keyakinannya tentang rasa keadilan yang benar-benar hidup
dimasyarakat.

Dalam KUH Perdata hal perbuatan melawan hukum disistematikakan dalam 2

bagian yaitu :

1. Yang merupakan ketentuan umum;

2. Yang merupakan ketentuan khusus.

Ad.1 Yang Merupakan Ketentuan Umum

Adalah pasal 1365 KUH Perdata yang mengatur ketentuan atas syarat- syarat

umum dan berlaku untuk semua perbuatan melawan hukum yang diatur dalam

KUH Perdata dan pasal 1366 KUH Perdata.

Ad.2. Yang Merupakan Ketentuan Khusus

Ketentuan-ketentuan khusus ini pengaturan lebih lanjut tentang :

a. Pertanggungjawaban atas timbulnya perbuatan melawan hukum yaitu :

1. Tanggungjawab orangtua atau wali, guru, atas perbuatan yang dilakukan

oleh orang yang berada dibawah pengampuannya, diatur dalam pasal 1367 KUH

Perdata.

2. Tanggungjawab pemilik binatang atas binatang piaraannya, diatur dalam

pasal 1368 KUH Perdata.

3. Tanggungjawab pemilik gedung atas bangunan yang dalam

pemeliharaannya, diatur dalam pasal 1369 KUH Perdata.

b. Beberapa perbuatan melawan melanggar hukum seperti pasal 1370 KUH

Perdata tentang pembunuhan, pasal 1371 KUH Perdata tentang penganiayaan

dan pasal 1380 KUH Perdata tentang penghinaan.

Dari rumusan pasal-pasal tersebut diatas belum ditemukan pengertian yang baku

dari perbuatan melawan hukum. Memang tidak ditemui baik dalam doktrin,

yurisprudensi tentang pengertian yang baku dari perbuatan melawan hukum,


karena itu para sarjana mempunyai sudut pandang masing-masing yang

berbeda- beda tentang hal ini.

Oleh karena itu dalam putusan 31 Januari 1919, Mahkamah Tinggi merumuskan

pengertian perbuatan melawan hukum, bilamana suatu perbuatan baik karena

sengaja maupun karena kelalaiannya, sehingga perbuatan tersebut bertentangan

dengan hak orang lain atau bertentangan dengan kesusilaan ataupun keharusan

yang diperhatikan dalam peragaulan ditengah-tengah masyarakat dengan orang

lain ataupun benda, sedangkan barang siapa karena salahnya sehingga akibat

perbuatannya itu telah mendatangkan kerugian pada orang lain, maka orang

tersebut bekewajiban membayar ganti rugi.

Dengan penafsiran luas atas keputusan hogeraad 1919 ini diketahui tentang

rumusan perbuatan melawan hukum. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi

pihak yang dituntut agar tidak dijatuhi hukuman semena-mena untuk membayar

ganti rugi atau dengan kata lain untuk membatasi pertanggungjawaban atas

tuntutan ganti rugi yang dianggap terlalu luas. Hal ini disebut dengan

“Schutznorm Theorie” atau teori perlindungan. Teori ini didukung oleh Telders,

Vander Griten, Molengraf dan juga hogeraad Belanda. Teori perlindungan atau

Schutznorm Theorie menyatakan bahwa tidak semua orang yang menderita

kerugian sebagai akibat perbuatan melawan hukum, berhak menuntut untuk

menerima ganti rugi, dan yang berhak ialah hanya orang-orang yang

berkepentingan yang dilindungi suatu norma yang dilanggar. Ahli hukum yang

lain seperti Meyers, Scholten dan Ribbius menolak teori Schutznorm ini. Mereka

mengatakan dalam prakteknya teori perlindungan ini sangat sulit untuk

diterapkan karena pengertian perbuatan melawan hukum adalah suatu pengertian

yang sangat relatif dan tidak bisa dijadikan pegangan untuk menerapkan batas

ada atau tidaknya onrechtmatigedaad karena mungkin disatu pihak menyatakan


ada sedangkan yang lain menyatakan tidak ada melawan hukum.

Dan Schutznorm theorie hanya dianggap dapat menolong untuk memberikan

pedoman, apa yang harus dianggap dengan perbuatan positif adalah perbuatan

yang dapat dilihat dan menimbulkan akibat, misalnya :

A melempar batu mengenai kaca jendela rumah B dan mengakibatkan kacanya itu

pecah.

C. Unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum

Sebagaimana telah dibicarakan diatas bahwa menurut aliran logisme bahwa

perbuatan melanggar hukum hanyalah perbuatan-perbuatan yang melanggar

hak orang lain atau bertentangan dengan undang-undang atau dengan kewajiban

hukum yang ditentukan dalam undang-undang yang tertulis saja.

Karena aliran ini berpandangan sempit tentang perbuatan melawan hukum maka

banyak kasus yang terjadi dalam masyarakat yang pada dasarnya adalah

perbuatan melanggar hukum tetapi menurut aliran logisme ini tidak digolongkan

dalam onrechtmatigedaad (perbuatan melawan hukum).

Adapun yang dimaksud dengan penafsiran sempit adalah baru dikatakan ada

onrechtmatigedaad, kalau :

1. Ada pelanggaran terhadap hak subjektif seseorang

2. Tindakan tersebut bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku.

Untuk memenuhi rasa keadilan maka pengertian perbuatan melawan hukum

diperluas. Pengertian perbuatan melawan hukum mencakup perbuatan yang

bertentangan dengan kesusilaan dan kepantasan, pertentangan dengan kewajiban

sendiri yang ditentukan undang-undang, bertentangan dengan hak orang lain.

Dari rumusan ini maka penafsiran pengertian perbuatan melawan hukum sudah

sangat luas dan mencakup semua kehidupan masyarakat.


Untuk dapat dipertanggungjawabkan orang yang melakukan perbuatan melawan

hukum, pasal 1365 KUH Perdata menentukan 4 syarat perbuatan melawan

hukum yang sekaligus merupakan unsur-unsur perbuatan melawan hukum. Ke-4

unsur itu antara lain :

1. Adanya suatu pelanggaran hukum

2. Adanya kesalahan

3. Terjadinya kerugian

4. Adanya hubungan kausalitas.

Adapun unsur-unusr yang terdapat dalam pasal 1365 KUH Perdata tersebut,

antara lain :

Ad .1.Adanya Suatu Pelanggaran Hukum

M.A. Moegni Djojodirjo, mengatakan:

Dengan meninjau perumusan luas dari onrechtmatigedaad maka daad atauPerbuatan

haruslah perbuatan melawan hukum apabila :

a. Pertentangan dengan hak orang lain,

b. Pertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri,

c. Pertentangan dengan kesusilaan,

d. Pertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam

pergaulan masyarakat atau benda.

Yang dimaksud dengan bertentangan dengan hak orang lain adalah

bertentangan dengan hak subjektif orang lain yaitu kewenangan yang berasal

dari kaedah hukum, hak-hak yang penting diakui oleh yurisprudensi adalah hak-

hak pribadi, seperti hak atas kebebasan, kehormatan, nama baik dan kekayaan.

Menurut terminologi hukum dewasa ini, kewajiban hukum diartikan sebagai

yang didasarkan pada hukum, baik yang tertulis. Menurut rumusan perbuatan
melawan hukum diatas, yang dimaksud dengan kewajiban hukum adalah

kewajiban menurut undang-undang.

Termasuk dalam kategori ini adalah perbuatan pidana yaitu pencurian,

penggelapan, penipuan, dan pengrusakan. Bertentangan dengan kesusilaan sulit

untuk memberikan pengertian kesusilaan, walaupun demikian dapat dijelaskan

sbagai norma-norma moral sepanjang dalam kehidupan masyarakat diakui

sebagainorma hukum.

Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam lalulintas

masyarakat terhadap diri atau barang orang lain. Itu berarti bahwa setiap

manusia menginsafi bahwa ini merupakan bagian dari kehidupan masyarakat

dan karenanya dalam segala perbuatannya harus memperhatikan segala

kepentingan sesamanya, harus mempertimbangkan kepentingan sendiri dan

kepentingan orang lain dengan mengikuti apa yang dianggap masyarakat

sebagai hal yang layak dan patut. Dapat dianggap bertentangan dengan

kepatutan berupa :

1) Perbuatan yang sangat merugikan orang lain tanpa kepentingan yang layak.

2) Perbuatan yang tidak berguna yang menimbulkan bahaya terhadap orang

lain, dimana menurut manusia yang normal hal tersebut harus diperhatikan.

Ad.2.Terdapat Kesalahan

Untuk dapat seseorang dipertanggungjawabkan atas perbuatan melawan hukum,

pasal 1365 KUH Perdata mengisyaratkan adanya kesalahan. Menurut R.Wirjono

Prodjodikoro, bahwa : “Bahwa pasal 1365 KUH Perdata tidak membedakan antara

kesalahan dalam bentuk kesengajaan (opzet dolus) dan kesalahan dalam bentuk

kekurang hati-hatian (culpa). Jadi berbeda dengan hukum pidana yang membedakan

antara kesengajaan dengan hukum pidana yang membedakan antara kesengajaan dan

kurang hati-hati”.
Oleh karena itu hakimlah yang harus menilai dan mempertimbangkan berat

ringannya kesalahan orang yang melakukan perbuatan melawan hukum itu

sehingga ditentukan ganti rugi yang seadil-adilnya.

Menurut Arrest Hogeraad tanggal 4 Februari 1926 jika orang yang dirugikan

juga mempunyai kesalahan atas timbulnya kerugian maka sebagian dari

kerugian tersebut dibebankan kepadanya. Kecuali jika perbuatan melawan

hukum itu dilakukan dengan sengaja. Seseorang yang menuntut ganti rugi

kepada perusahaan kereta api, karena ditabrak kereta api, dipersilangan rel

dengan jalan usus, lantaran personil perusahaan, tidak seluruhnya dikabulkan

Hogeraad karena juga ada kesalahan yaitu bilamana cukup waspada, maka akan

dapat melihat kereta api berjalan mendekatinya dan dapat menghindarinya.

Dalam kasus yang lain Hogeraad berpendapat bahwa jika kerugian yang terjadi

ialah karena kesalahan yang dilakukan beberapa orang maka setiap orang

bertanggungjawab atas terjadinya kerugian tersebut dapat dituntut untuk

membayar ganti kerugian seluruhnya.

Seseorang tidak dapat dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum, bilamana

melakukan perbuatan itu karena keadaan terpaksa (overmacht), keadaan darurat

(noodweer)

Seseorang juga tidak dapat dipertangungjawabkan atas perbuatan melawan

hukum karena melakukan perintah jabatan dan salah sangka yang dapat

dimaafkan. Tetapi yang disebabkan karena perbuatan kesalahan atau kurang

hati- hati maka bertanggung jawab atas kerugian yang menjadi

tanggungjawabnya, barang-barang yang berada di bawah penguasaannya dan

binatang-binatang miliknya.

Ad.3. Terjadi Kerugian

Kerugian yang disebabkan karena perbuatan melawan hukum dapat


berupa:

a. Kerugian materil

Kerugian materil dapat berupa kerugian yang nyata diderita dari suatu perbuatan

melanggar hukum yang dilakukan oleh orang lain. Misalnya : kebakaran mobil

penumpang akibat perbuatan melawan hukum, mewajibkan si pembuat kerugian

itu tidak hanya membayar biaya perbaikan mobil tersebut, akan tetapi juga

bertanggungjawab untuk mengganti penghasilan mobil penumpang itu yang

akan diperoleh si pemilik sewaktu memperbaiki mobil tersebut.

b. Kerugian immaterial

Yang termasuk dalam kerugian immaterial akibat perbuatan melawan hukum

dapat berupa :

1. Kerugian moral

2. Kerugian ideal

3. Kerugian yang tidak dapat dihitung dengan uang

4. Kerugian non ekonomis.

Untuk menentukan besarnya kerugian yang harus diganti umumnya harus

dilakukan dengan menilai kerugian tersebut. Karena itu pada asasnya yang dirugikan

harus sedapat mungkin ditempatkan dalam keadaan yang sesungguhnya jika tidak

terjadi perbuatan melawan hukum.

Ad.4.Adanya Hubungan Kausalitas

Untuk menentukan ganti rugi terhadap orang yang melakukan perbuatan

melawan hukum selain harus ada kesalahan, disamping itu pula harus ada hubungan

kausalitas antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian tersebut.


BAB III

A. Kesimpulan

1. Ketentuan terhadap pemenuhan wanprestasi dalam suatu perikatan merupakan

hal yang mutlak harus diketahui oleh pihak-pihak yang membuat perikatan.

Pada umumnya tujuan setiap perikatan ialah diakhiri dengan pelaksanaan dan

memang demikianlah seharusnya. Itu berarti bahwa para pihak memenuhi

kesepakatan untuk dilaksanakan berdasarkan persyaratan yang tercantum

dalam perjanjian. Pemenuhan perjanjian atau hal-hal yang harus dilaksanakan

disebut prestasi. Dengan terlaksananya prestasi, kewajiban-kewajiban para

pihak berakhir. Sebaliknya, apabila debitur tidak melaksanakannya, disebut

melakukan wanprestasi.

Secara sederhana wanprestasi adalah tidak memenuhi prestasi, atau melakukan

prestasi tapi tidak tepat waktu dan tidak sesuai dengan yang seharusnya. Jadi,

debitur telah melakukan wanprestasi karena ia tidak atau terlambat melakukan

prestasi dari waktu yang telah ditentukan, atau tidak sesuai dengan apa yang

semestinya, dan ini merupakan suatu pelanggaran hukum atau tindakan

melawan hukum terhadap hak kreditur yang lebih dikenal dengan istilah

onrechtmatigedaad .

Akibat yang ditimbulkan, debitur diharuskan membayar ganti rugi, atau pihak

kreditur dapat meminta pembatalan perjanjian. Walau demikian, bahwa

ketidaklaksanaan debitur terhadap kewajiban yang harus dilakukan olehnya

dapat terwujud karena kesengajaan maupun kelalaian debitur. Sehingga, tidak

selayaknyalah jika seorang debitur yang telah wanprestasi tidak dimungkinkan

untuk memenuhi kembali perikatannya.

Prestasi adalah sesuatu yang dapat dituntut. Jadi dalam suatu perjanjan suatu
pihak (biasanya kreditur/berpiutang), menuntut prestasi pada pihak lainnya

(biasanya debitur/berutang). Apabila pihak debitur melakukan wanprestasi,

maka pihak kreditur yang menuntut/mengajukan gugatan, namun sebelumnya

pihak kreditur telah melakukan somattie/Ingebrekestelling kepada debitur.

2. Ketentuan mengenai perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) diatur

dalam pasal 1365 KUH Perdata sampai dengan pasal 1380 KUH Perdata. Tiap

perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian pada orang lain,

mewajibkan pembuat yang bersalah untuk mengganti kerugian (pasal 1365

KUH Perdata).

Dinamakan perbuatan melawan hukum apabila perbuatan itu bertentangan

dengan hukum pada umumnya. Hukum bukan saja berupa ketentuan undang-

undang, tapi juga aturan-aturan hukum yang tidak tertulis,yang harus ditaati

dalam hidup bermasyarakat. Kerugian yang ditimbulkan harus disebabkan

perbuatan melawan hukum. Antara lain kerugian dan perbuatan itu harus ada

hubungannya secara langsung. Kerugian itu disebabkan karena kesalahan atau

schuld pembuat. Kesalahan adalah apabila pada pelaku ada kesengajaan atau

kealpaan (kelalaian).

3. Penerapan batas-batas antara wanprestasi dan perbuatan melawan hukum

dalam suatu perikatan tentunya akan menghadapkan pada hal yang

menentukan bahwa suatu perbuatan merupakan suatu perbuatan melawan

hukum atau wanprestasi. Hal ini terjadi karena mungkin saja hal yang dinilai

sebagai perbuatan melawan hukum merupakan wanprestasi semata. Untuk itu,

perlu diingat bahwa wanprestasi hanya dapat terjadi apabila seseorang yang

telah ditetapkan atau dibebani dengan prestasi sesuai dengan perjanjian yang

telah dibuat tidak melaksanakan atau tidak memenuhi prestasi sesuai dengan

ketentuan yang berlaku. Sedangkan perbuatan melawan hukum dapat terjadi


tanpa melalui perjanjian. Dalam hal ini, apabila seseorang telah melakukan

perbuatan yang melawan hukum dan mengandung unsur kesalahan yang

mengakibatkan timbulnya kerugian bagi orang lain.

B. Saran

1. Perlu diketahui sebaiknya setiap individu yang melakukan perikatan harus

memenuhi perikatan yang dibuatnya sehingga tidak terjadi cidera janji,

ingtkar janji, atau wanprestasi. Walaupun sebenarnya wanprestasi adalah hal

yang tidak diinginkan terjadi dalam suatu perikatan, namun dalam setiap

perikatan yang dibuat haruslah memuat ketentuan-ketentuan mengenai

wanprestasi dengan jelas dan tegas. Hal ini tentunya akan lebih memudahkan

kedua belah pihak yang melakukan perikatan untuk menentukan seseorang

telah melakukan wanprestasi dalam suatu perikatan.

2. Perlu bagi pihak yang melakukan perikatan untuk mengetahui perbuatan-

perbuatan apa saja yang dapat diklasifikasikan sebagai perbuatan melawan

hukum, dengan demikian pihak-pihak yang melakukan perikatan, dapat lebih

hati-hati dalam memenuhi suatu perikatan, karena walaupun perbuatan yang

dilakukannya tidak tergolong dalam suatu perbuatan wanprestasi, namun

barangkali memenuhi unsur-unsur perbuatan melawan hukum.

3. Perlunya pemahaman mengenai wanprestasi dan perbuatan melawan hukum

bagi pelaku bisnis maupun masyarakat awam, karena dengan mengetahui hal

ini tentu saja akan memudahkan kreditur untuk meminta ganti rugi dari

kerugian yang disebabkan debitur, karena dalam pengajuan gugatan kreditur

dapat dengan mudah membedakan yang merupakan wanprestasi dan

perbuatan melawan hukum, dan memperkecil kemungkinan terhjadinya salah

gugatan.

Anda mungkin juga menyukai