Anda di halaman 1dari 5

Essay Asas-Asas Hukum Dagang

Esther Melinia Sondang


1706023971

Syarat Sahnya Business Contract

Kontrak adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih yang saling mengikatkan
diri untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu, yang pelaksanaannya dapat
dipaksakan melalui perangkat hukum (lembaga peradilan). 1 Kontrak adalah suatu lembaga
hukum (legal institution) yang menjadi dasar dari hampir sebagian besar hubungan bisnis
(business relationship), termasuk perdagangan. Di dalam suatu kontrak terdapat unsur janji
(promise), persetujuan (agreement), kewajiban timbal balik (mutual obligation), dan yang dapat
dipaksakan pelaksanaannya melalui perangkat hukum (legally enforceable).2

Suatu kontrak yang sah adalah kontrak yang memenuhi syarat-syarat yang diatur oleh
undang-undang. Kontrak yang diakui sah akan mendapat akibat hukum (legally concluded
contract).3 Hal-hal yang menjadi persyaratan dari sahnya suatu kontrak diatur dalam Bagian 2
Bab II Buku Ketiga KUHPerdata tentang “Syarat-syarat yang diperlukan untuk sahnya
perjanjian”, dimulai dari Pasal 1320 sampai dengan Pasal 1337 KUHPerdata. Syarat-syarat yang
ada dalam pasal-pasal tersebut bersifat subjektif dan objektif. Syarat-syarat yang bersifat
subjektif adalah syarat yang menyangkut orang-orang atau pihak-pihak yang membuat kontrak.
Orang-orang atau pihak-pihak ini adalah subjek hukum yang membuat kontrak. Sedangkan
syarat-syarat yang bersifat objektif adalah syarat yang menyangkut objek hukum yang
diperjanjikan oleh orang-orang atau subjek hukum yang membuat kontrak.

Jika syarat subjektif tidak dipenuhi, maka kontrak itu dapat dibatalkan (cancelling) oleh
satu pihak yang tidak cakap. Dapat dibatalkan oleh satu pihak, artinya satu pihak atau dua pihak
dapat melakukan pembatalan atau tidak melakukan pembatalan. Jika satu pihak tidak
membatalkan kontrak itu, maka kontrak yang telah dibuat tetap sah. Jika syarat objektif tidak
terpenuhi, maka kontrak tersebut batal demi hukum (null and void), artinya kontrak yang dibuat
1
Agus Sardjono dkk, Pengantar Hukum Dagang, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014, hlm. 8.
2
Ibid, hlm. 5.
3
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 228.
para pihak tersebut sejak awal dianggap tidak pernah ada. Jadi, para pihak tidak terikat dengan
kontrak itu, sehingga masing-masing pihak tidak dapat menuntut pemenuhan kontrak, karena
kontrak sebagai dasar hukum tidak ada sejak semula.4

Dimulai dari syarat yang bersifat subjektif, yaitu contractual capacity atau the ability to
agree. Salah satu hal yang paling esensial dalam suatu kontrak adalah adanya persetujuan
(kesepakatan) di antara pihak-pihak yang mengikatkan diri di dalam kontrak tersebut. Dengan
demikian, mutual assent menjadi persyaratan utamanya. Without mutual assent there can be no
agreement.5 Menurut ketentuan Pasal 1320 Ayat (1) KUHPerdata, para pihak dalam suatu
kontrak harus menyetujui semua hal yang diperjanjikan dan memang bermaksud untuk
mengikatkan diri dalam hubungan hak dan kewajiban sebagaimana dirumuskan dalam janji-janji
yang dikemukakan dalam tahapan pra-kontrak.6

Kesepakatan juga mengandung arti apa yang dikehendaki pihak yang satu juga
dikehendaki pihak yang lainnya. Jadi, pihak-pihak dalam kontrak harus mempunyai kehendak
yang bebas untuk mengikatkan diri dan kehendak itu harus dinyatakan secara tegas atau diam. 7
Menurut Reizel dkk, sebuah penawaran biasanya mengandung beberapa hal, salah satunya
adalah mengindikasikan adanya pertukaran ‘consideration’. Consideration adalah unsur yang
harus ada di dalam kontrak, karena kontrak merupakan kesepakatan timbal balik, tidak seperti
hibah dalam sistem Anglo Saxon yang hanya merupakan penyerahan hak kebendaan.8

Sepakat juga berarti ada kebebasan para pihak dan tidak ada unsur tekanan yang
mengakibatkan adanya cacat dari kebebasan itu. Kesepakatan yang terjadi tidak boleh
mengandung unsur kekhilafan, paksaan, maupun penipuan. Kekhilafan dalam suatu kesepakatan
dapat terjadi pada subjek maupun objek. Kekhilafan yang menyangkut subjek terjadi jika para
pihak yang saling berjanji sebenarnya bukanlah orang yang seseungguhnya dimaksudkan untuk
membuat perjanjian itu.9 Contoh dari kekhilafan yang menyangkut subjek ialah A yang
membutuhkan jasa servis elektronik untuk membetulkan televisinya yang rusak, lalu kemudian ia

4
Arfiana Novera dan Meria Utama, Dasar-dasar Hukum Kontrak dan Arbitrase, Tunggal Mandiri Publishing, 2014,
hlm. 26.
5
Daniel V. Davidson et all, Comprehensive Business law, Principles and Case’s, Kent Publishing Company, 1987,
hlm. 155.
6
Agus Sardjono dkk, op. cit., hlm. 13.
7
Arfiana Novera dan Meria Utama, op.cit., hlm. 27.
8
Agus Sardjono dkk, op. cit., hlm. 14.
9
Ibid, hlm. 14.
memanggil B yang ia kira dapat memberikan jasa untuk membetulkan televisinya tersebut.
Namun ternyata B tidak dapat membetulkan televisinya, karena kemampuan B hanya untuk
membetulkan Air Conditioner. Sebaliknya, B mengira bahwa A telah mengetahui bahwa dirinya
hanya menawarkan jasa servis Air Conditioner.

Kekhilafan yang menyangkut objek terjadi jika hal yang dijadikan objek perjanjian itu
sesungguhnya bukan yang dimaksudkan oleh pihak-pihak. Kekhilafan ini terjadi karena adanya
unsur ketidaksengajaan. Contoh dari kekhilafan yang menyangkut objek ialah A yang ingin
membeli tas bermerek dalam suatu bazaar, dan kemudian ia membelinya kepada B tanpa
mengetahui bahwa sebenarnya tas tersebut merupakan tas secondhand. Sebaliknya, B mengira
bahwa A memang sudah mengetahui bahwa tas tersebut adalah tas secondhand dan menerima
apa adanya, karena A tidak menanyakan lebih lanjut mengenai tas tersebut.

Paksaan terjadi jika para pihak menyetujui apa yang diperjanjikan karena suatu ancaman
(duress). Paksaan ini dapat berupa paksaan fisik dan paksaan psikologis. Ancaman harus berupa
ancaman yang bertentangan dengan undang-undang, misalnya diancam dibunuh, diculik, dan
lain-lain. Jika ancaman itu mengenai hal yang diperbolehkan oleh hukum atau tidak bertentangan
dengan undang-undang, misalnya diancam akan digugat ke pengadilan dengan penyitaan yang
tentunya dengan alasan yang sah, maka hal itu tidak dikategorikan sebagai paksaan. 10 Contoh
dari terjadinya paksaan fisik adalah adalah ketika salah satu pihak membawa senjata api dan
memaksa pihak lain untuk menandatangani kontrak, sedangkan contoh dari paksaan psikologis
adalah ketika salah satu pihak diancam akan dihancurkan reputasinya apabila tidak mau
menandatangani kontrak.

Penipuan terjadi jika salah satu pihak sengaja memberikan keterangan-keterangan yang
tidak benar disertai dengan tipu daya atau penyesatan informasi terhadap hal-hal yang
diperjanjikan. Apabila pihak lain menyetujui karena adanya tipu daya ini, maka dikatakan bahwa
persetujuan itu dilakukan karena unsur penipuan. 11 Berbeda dengan kekhilafan yang terjadi
karena ketidaksengajaan, penipuan ini terjadi karena kesengajaan dari salah satu pihak. Contoh
dari terjadinya penipuan adalah ketika A membeli sepasang perhiasan emas dari B, lalu B
menyatakan bahwa perhiasan emas yang ia jual terbuat dari emas asli, padahal faktanya
perhiasan tersebut terbuat dari logam biasa.
10
Ibid, hlm. 15.
11
Ibid, hlm. 15.
Syarat selanjutnya yang bersifat subjektif agar suatu kontrak dapat dinyatakan legally
binding dan legally enforceable adalah contractual capacity atau the ability to agree. Yang
dimaksud dengan contractual capacity adalah bahwa pihak-pihak yang membuat kesepakatan
dalam suatu kontrak harus mempunyai kemampuan untuk memahami setiap perbuatan yang
dilakukannya dan kemampuaan untuk melakukan sesuatu hal. 12

Pihak-pihak yang membuat kesepakatan haruslah dewasa atau tidak di bawah umur, yang
mana dalam KUHPerdata dinyatakan bahwa orang yang telah dewasa adalah orang yang sudah
berumur 21 tahun atau telah menikah, serta dalam UU Perkawinan dinyatakan bahwa batas
kedewasaan seseorang adalah 18 tahun. Seorang penyanyi cilik yang mengadakan kontrak
dengan perusahaan rekaman musik harus diwakilkan oleh orang tuanya yang merupakan wali
dari anak tersebut, karena penyanyi cilik tersebut masih di bawah umur dan dianggap belum
cakap oleh undang-undang. Oleh karena itu, yang berhak untuk melakukan perbuatan hukum
atas nama penyanyi cilik tersebut adalah orang tuanya sebagainya walinya.

Selain berdasarkan faktor usia, kecapakan juga dilihat berdasarkan faktor kesehatan
mental, sehingga dibutuhkan tes untuk menentukan apakah seseorang dapat dianggap mentally
competent atau tidak. Mengenai hal ini, KUHPerdata menentukan secara berbeda dalam Pasal
1330 Ayat (2) yang menyatakan bahwa orang yang tidak cakap adalah orang yang ditaruh di
bawah pengampuan. Ketetuan ini mengandung kelemahan, karena penentuan apakah seseorang
ditaruh di bawah pengampuan atau tidak bergantung ada tidaknya putusan hakim mengenai hal
13
tersebut. Dengan kata lain, tidak semua orang yang tidak sehat secara mental diletakkan di
bawah pengampuan. Contohnya seseorang yang mengalami gangguan mental akibat tertekan
menghadapi banyak pekerjaan, walaupun tidak ada putusan hakim yang menyatakan bahwa ia
ditaruh di bawah pengampuan, namun orang tersebut harus tetap dianggap sebagai orang yang
tidak cakap.

Kecapakan juga ditentukan oleh kewenangan yang diberikan oleh undang-undang.


Seorang Direksi Perseroan Terbatas adalah subjek yang diberi kewenangan oleh UU Perseroan
Terbatas untuk mewakili Perseroan Terbatas dalam melakukan tindakan hukum. Ketentuan
semacam ini mengandung arti bahwa selain dari Direktur PT, tidak ada orang lain yang
berwenang melakukan tindakan hukum atas nama PT yang bersangkutan. Luasnya wewenang
12
Ibid, hlm. 15.
13
Ibid, hlm. 16.
atau kecakapan seorang Direktur perusahaan ditentukan oleh ketentuan dalam hukum
perusahaan. Jika seorang Direktur perusahaan bertindak melampaui wewenang yang diberikan
kepadanya berdasarkan undang-undang atau Anggaran Dasar perusahaan yang bersangkutan,
maka dikatakan bahwa ia telah melakukan tindakan yang melampaui wewenang (ultra vires).14

Contoh lainnya adalah seorang debitor yang jatuh pailit, hal ini membuatnya tidak cakap
lagi dalam melakukan perbuatan hukum, karena ditentukan dalam undang-undang bahwa
putusan pernyataan pailit mengubah status hukum seseorang menjadi tidak cakap untuk
melakukan perbuatan hukum, menguasai, dan mengurus harta kekayaannya, sehingga yang
berwenang untuk mengurus segala harta kekayaannya adalah kurator.

Selanjutnya, dalam persyaratan sahnya suatu kontrak terdapat juga persyaratan yang
menyangkut objek atau syarat objektif. Syarat objektif yang pertama adalah bahwa objek yang
diperjanjikan adalah hal yang dapat diperdagangkan dengan bebas sesuai dengan ketentuan Pasal
1332 KUHPerdata. Hal yang dimaksud sini adalah kebendaan yang berupa benda berwujud dan
hak yang tidak berwujud yang dapat ditentukan. Yang menjadi objek dalam kontrak haruslah
clearly identified, seperti dalam halnya kontrak jual beli, harus ditentukan jenis barangnya,
warna barangnya, dan jumlahnya barangnya. Misalkan seseorang yang menjual barang-barang
antik harus memberikan rincian kepada pembeli mengenai jenis barangnya, yaitu pajangan
keramik berbentuk guci, berwarna merah, dan berjumlah 3 buah.

Syarat objektif selanjutnya adalah bahwa hal yang diperjanjikan itu tidak dilarang oleh
undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan yang baik, dan tidak melanggar ketertiban
umum sebagaimana diatur dalam Pasal 1337 KUHPerdata. Syarat ini yang sering disebut dengan
istilah “sebab yang halal” dalam literatur dan juga tertera dalam Pasal 1320 KUHPerdata butir
ke-4. Contoh dari kontrak yang melanggar undang-undang ialah jual beli organ tubuh yang
dilarang oleh UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Contoh dari kontrak yang bertentangan
dengan kesusilaan adalah kontrak antara seorang artis dengan sebuah entertainment management
untuk membuat blue film. Contoh dari kontrak yang melanggar ketertiban umum adalah kontrak
pengangkutan barang yang melebihi daya muat alat pengangkut yang dapat membahayakan
ketertiban.

14
Ibid, hlm. 17.

Anda mungkin juga menyukai