Oleh:
DEPOK 2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum Acara Perdata di Indonesia yang diatur oleh HIR telah mengatur mengenai
prosedur beracara di hukum acara perdata. Salah satunya mengenai hak setiap orang untuk
mengajukan gugatan. Gugatan dapat diajukan oleh satu orang maupun beberapa orang
penggugat. Dalam gugatan dapat terjadi penggabungan gugatan dan kumulasi gugatan.
Penggabungan gugatan dilakukan apabila dalam dua register perkara yang berbeda dalam
satu pengadilan, pihak penggugat atau tergugat ialah orang yang sama. Penggabungan
gugatan terjadi pada saat perkara sudah berjalan dan sudah ada nomer register perkara.
Sedangkan, kumulasi gugatan dibagi menjadi dua, yaitu gugatan kumulasi objektif dan
gugatan kumulasi subjektif. Gugatan kumulasi objektif merupakan penggabungan
beberapa tuntutan dalam satu gugatan, sedangkan gugatan subjektif adalah gugatan yang
melibatkan lebih dari satu orang penggugat atau tergugat. Namun, terdapat beberapa kasus
yang melibatkan ratusan atau ribuan penggugat yang mengalami kerugian dan ingin
menuntut haknya. Dalam hal terdapat ada ratusan atau ribuan penggugat, gugatan kumulasi
subjektif akan berjalan tidak efektif dan efisien. Kemudian, Pemerintah mengadopsi
prosedur gugatan dengan class action.
Menurut Black’s Law Dictionary, Class Action digambarkan sebagai suatu
pengertian di mana sekelompok besar orang yang berkepentingan dalam suatu perkara, satu
atau lebih dari mereka dapat dituntut mewakili kelompok besar orang tersebut tanpa harus
menyebutkan satu per satu anggota kelompok yang diwakili.1 Gugatan perwakilan
kelompok telah dikenal pertama kali pada abad ke-18 Inggris dan meluas penerapannya di
abad ke--19 di negara lainnya, terutama di negara-negara dengan common law system.2
Dalam makalah ini, akan diuraikan mengenai perbandingan pengajuan gugatan secara
Class Action di Indonesia dengan Australia.
Di Indonesia, pengajuan gugatan secara class action merupakan prosedur gugatan
yang sejalan dengan prinsip peradilan yang murah, praktis, cepat dan efisien sebagaimana
diatur dalam UU no. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.3 Adapun hukum acara
perdata positif di Indonesia, yakni HIR. dan RBg., tidak mengatur mengenai acara gugatan
perwakilan kelompok. Meskipun konsep pengajuan gugatan perwakilan telah
dimungkinkan dalam UU Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Perlindungan Konsumen,
dan UU Kehutanan, dan UU Jasa Konstruksi, namun mengenai bagaimana acara
1
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, (St. Paul Minnesota: West Publishing Co.,1991), hlm.
170.
2
Mas Achmad Santosa, Pedoman Penggunaan Gugatan Perwakilan (Class Action), (Jakarta: ICEL, 1999),
hlm. 1.
3
UU No. 4 tahun 2004 ini merupakan perubahan dari UU No. 14 tahun 1970 yang telah diubah dengan UU
No. 35 tahun 1999 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman pasal 4 ayat (2) - Peradilan dilakukan
dengan sederhana, cepat, dan biaya murah.
pelaksanaannya tidak diatur dalam undang-undangnya. Penerbitan Peraturan Mahkamah
Agung RI No. 1 Tahun 2002 tentang “Tata Cara Penerapan Gugatan Perwakilan
Kelompok” lah yang akhirnya mengisi kekosongan hukum tersebut. Dalam pasal 1 sub a
PERMA No. 1 tahun 2002, gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action) didefinisikan
sebagai suatu prosedur pengajuan gugatan, di mana satu orang atau lebih yang mewakili
kelompok mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok
orang yang jumlahnya banyak, memiliki kesamaan fakta atau kesamaan dasar hukum
antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya.4
Di Australia sendiri, prosedur gugatan class action diakui pertama kali oleh negara
bagian New South Wales dan diatur di dalam New South Wales Supreme Court, 1970.
Kemudian, Peradilan Federal Australia memperkenalkan class action dalam Part IV
Federal Court of Australian Act (FCAA), 1976, tentang representative proceedings,
sebagaimana diamandemen pada tahun 1992. Maka, untuk perkara-perkara yang masuk
yurisdiksi pengadilan federal, gugatan class action dapat diajukan ke pengadilan federal
dengan menggunakan ketentuan yang diatur dalam FCAA tersebut. Adapun untuk perkara
yang termasuk kewenangan negara bagian dapat diajukan di negara bagian yang
bersangkutan, yang pada umumnya telah diatur dalam acara perdata masing-masing negara
bagian.5
B. Pokok Permasalahan
1. Bagaimana perbandingan antara gugatan class action di Indonesia dan
Australia?
2. Bagaimana penerapan class action di Indonesia dalam Putusan
No.104/Pdt.G/2012/Pn.Jr?
3. Bagaimana penerapan class action di Australia dalam Judgement No. NG
421 of 1993?
4
Indonesia, Mahkamah Agung. Peraturan Mahkamah Agung tentang Acara Gugatan Perwakilan
Kelompok, Perma No. 1 Tahun 2002, Ps. 1 bagian a.
5
Peter Cashman and Maurice Blackburn Cashman, Class Action Law & Practice in Australia, 2002, hlm. 8
BAB II
ISI
A. Persyaratan Gugatan
Di Indonesia, persyaratan gugatan perwakilan kelompok diatur dalam Pasal 2 sub
a, b dan c Perma No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Pasal 2
sub a, b dan c yang menyatakan bahwa Gugatan dapat diajukan dengan mempergunakan
tata cara Gugatan Perwakilan Kelompok apabila:
a. Jumlah anggota kelompok sedemikian banyak sehingga tidaklah efektif dan
efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara
bersama-sama dalam satu gugatan;
b. Terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar hukum yang
digunakan yang bersifat substansial, serta terdapat kesamaan jenis tuntutan
diantara wakil kelompok dengan anggota kelompoknya;
c. Wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi
kepentingan anggota kelompok yang diwakilinya.
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa persyaratan gugatan perwakilan kelompok
dapat diajukan jika jumlah anggota kelompok sedemikian banyak, terdapat kesamaan fakta
atau peristiwa dan kesamaan dasar hukum yang digunakan, kesamaan jenis tuntutan
diantara wakil kelompok dengan anggota kelompok dan wakil kelompok harus memiliki
kejujuran dan kesungguhan.
Dalam Part IV 33C(1) FCAA, diatur bahwa class action mempersyaratkan adanya
7 orang atau lebih yang memiliki tuntutan gugatan yang sama terhadap pihak yang sama.
Gugatan tersebut didasarkan pada adanya kesamaan permasalahan fakta dan hukum dan
dijadikan dasar tuntutan, dan yang terbit dari keadaan atau situasi yang sama atau berkaitan
satu sama lain, dan diajukan melalui seseorang atau lebih yang mewakili sebagian atau
seluruh dari mereka.6
6
Australia, Federal Court of Australian Act, Part IV 33C
7
Ibid.
menentukan untuk meneruskan proses perkara atau sebaliknya menghentikan dan
memerintahkan agar gugatan diajukan secara individual atau joinder (kumulasi gugatan).8
Hal ini berbeda dengan Indonesia yang tidak menentukan berapa jumlah minimal
dan jumlah maksimal anggota kelompok agar gugatan dapat diperiksa berdasarkan class
action. Pada Pasal 2 sub a Perma No. 1 Tahun 2002 hanya disebutkan bahwa jumlah
anggota kelompok sedemikian banyak sehingga tidaklah efektif dan efisien apabila
gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dalam satu gugatan.
Dalam Pasal 3 sub e menyatakan bahwa jika jumlah anggota kelompok sedemikian banyak
dapat dibagi ke dalam subkelompok, demikian pula jika nilai kerugian dan sifat kerugian
yang dialami masing-masing anggota kelompok berbeda.
8
Australia, Federal Court of Australian Act, Part IV 33L
9
Susanti Adi Nugroho, Class Action & Perbandingannya dengan Negara Lain,(Jakarta:Kencana, 2010),
hlm 92.
kredibilitas yang baik.10 Di samping itu, juga tidak ada konflik kepentingan dengan anggota
kelompok yang lain dan memiliki kemampuan finansial untuk membiayai gugatan.
Berbeda dengan di Indonesia, dalam FCAA tidak diatur mengenai syarat kelayakan
perwakilan pada class action. Namun dalam Pasal 33T, disebutkan apabila didapati bahwa
wakil yang maju ke pengadilan tidak mewakili kepentingan seluruh anggota kelompok
yang diwakilinya, atas permohonan anggota kelompok yang diwakili, pengadilan dapat
mengganti wakil tersebut.11
10
Ibid., hlm 113.
11
Australia, Federal Court of Australian Act, Part IV 33T
12
Sri Laksmi Anindita, “Pelaksanaan Hak Gugat Perwakilan (Class Action) di Pengadilan Negeri
Indonesia Khususnya di Jakarta,” (Tesis Magister Universitas Indonesia, Jakarta, 2003), hlm 47.
13
Indonesia, Mahkamah Agung. Peraturan Mahkamah Agung tentang Acara Gugatan Perwakilan
Kelompok, Perma No. 1 Tahun 2002, Ps. 3.
pendistribusian ganti kerugian kepada keseluruhan anggota
kelompok termasuk usulan tentang pembentukan tim atau panel
yang membantu memperlancar pendistribusian ganti kerugian.
● Berdasarkan permohonan pengajuan gugatan class action tersebut, hakim
kemudian melakukan sertifikasi mengenai gugatan class action tersebut.
Apabila hakim menyatakan sah maka gugatan class action tersebut
dituangkan dalam penetapan pengadilan dan hakim memerintah penggugat
mengajukan usulan model pemberitahuan untuk memperoleh persetujuan
hakim.
● Setelah usulan model pemberitahuan disetujui, penggugat dengan jangka
waktu yang ditentukan oleh hakim melakukan pemberitahuan/notifikasi
kepada anggota kelompok.
● Pelaksanaan proses opt-out
Di Australia, secara umum format dan muatan tuntutan gugatan class action diatur
dalam Pasal 33H FCAA. Secara lengkap proses pengajuan gugatan class action harus
memenuhi tahapan;14
a. Pengajuan statement of claims serta memerinci identifikasi group members
(wakil kelas dan anggota kelompoknya) dan kaitannya dengan perkara ini.
Dalam statement of claims tersebut, termuat posita (nature of the claims)
dan petitum (the relif claimed) yang mencakup kepentingan seluruh anggota
kelas. Termuat pula penjelasan secara spesifik adanya permasalahan yang
sama dengan bukti-bukti dukungan dalam bentuk affidavit;
b. First case management hearing, dimana para pihak akan melakukan pre-
trial di hadapan hakim mengenai garis besar sengketa dan tuntutan, ,
pengajuan alat bukti, dan menentukan jangka waktu pembuatan settlement;
c. Pengadilan kemudian memerintahkan secara khusus mengenai siapa yang
harus melakukan pemberitahuan dan cara pemberitahuan dilakukan;
d. Notifikasi pada class member
e. Pelaksanaan proses opt-out.
F. Ganti Rugi
Di Indonesia tuntutan tentang ganti rugi harus dikemukakan secara jelas dan rinci,
memuat usulan tentang mekanisme atau tata cara pendistribusian ganti kerugian kepada
keseluruhan anggota kelompok termasuk usulan tentang pembentukan tim atau panel yang
membantu memperlancar pendistribusian ganti kerugian.15 Di Indonesia, tuntutan ganti
kerugian harus ditentukan secara individual terhadap korban yang menderita kerugian atas
fakta dan dasar hukum yang sama.
14
Susanti Adi Nugroho, Class Action & Perbandingannya dengan Negara Lain,(Jakarta:Kencana, 2010),
hlm 157.
15
Ibid.
Di Australia, berdasarkan Pasal 33Z FCAA ganti kerugian dapat ditetapkan secara
spesifik kepada setiap anggota kelas atau subkelas atau individu tertentu.16 Administrasi
pelaksanaan ganti rugi tidak diatur secara eksplisit dalam undang-undang. Mengenai ganti
kerugian biasanya disarankan agar para pihak sendiri melakukan perundingan, pendekatan
konsensus dalam waktu yang ditentukan oleh hakim, dan hasilnya dilaporkan dalam
persidangan yang terbuka untuk umum.17 Maka umumnya dalam putusan penetapan ganti
kerugian, pengadilan secara tegas menetapkan juga cara pembayaran dan
pendistribusiannya; seperti cara anggota kelompok melakukan klaim terhadap tuntutan
ganti rugi tersebut.18
Kemudian, pengaturan di Federal Court of Australia memperbolehkan adanya
tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada perjanjian yang terpisah. Berdasarkan Pasal
33C(2b) FCAA, gugatan class action dapat diajukan terhadap gugatan yang didasarkan
pada perjanjian yang terpisah antara masing-masing anggota dan tergugat.19
16
Australia, Federal Court of Australian Act, Part IV 33Z
17
E. Sundari. Pengajuan Gugatan Secara Class Action, Suatu Studi Perbandingan & Penerapannya di
Indonesia, (Yogyakarya: Universitas Atma Jaya Yogyakarta), 2002
18
M. J. Legg, “Judge's Role in Settlement of Representative Proceedings: Lessons from United States
Class Actions.” Australian Law Journal 78 (2002)
19
Australia, Federal Court of Australian Act, Part IV 33C 2(b)
20
Susanti Adi Nugroho, Class Action & Perbandingannya dengan Negara Lain, (Jakarta:Kencana, 2010),
hlm. 117.
21
Ibid., hlm. 251
sengketa, pengajuan alat bukti (discovery), dan perdamaian.22 Biasanya dalam pre-trial
tersebut ditentukan jangka waktu untuk para pihak melakukan settlement. Setelah
melakukan settlement, akan dilakukan fairness hearing.23 Dalam fairness hearing,
umumnya kedua belah pihak (penggugat dan tergugat) bersatu untuk meyakinkan hakim
mengenai settlement yang telah mereka negosiasikan sebelumnya agar mendapat
persetujuan hakim.24 Settlement harus mendapatkan persetujuan hakim sebagaimana
tercantum pada Pasal 33V FCAA25. Jika perdamaian tidak berhasil, maka pemeriksaan
perkara diteruskan pada substansi perkaranya mengacu pada General Practice Note. Tahap
persidangan / trial kemudian dilakukan untuk melakukan proses pembuktian melalui
hearing.26
H. Mekanisme Sertifikasi
Di Indonesia, sertifikasi dilakukan oleh hakim dengan memeriksa apakah wakil
kelompok tersebut diijinkan untuk menjadi wakil kelompok, apakah syarat-syarat untuk
mengajukan gugatan class action sudah terpenuhi, dan apakah class action merupakan
prosedur yang tepat dalam melakukan gugatan dengan kepentingan yang sama tersebut.
Apabila hakim menyatakan sertifikasi tersebut sah maka gugatan class action dituangkan
dalam penetapan pengadilan dan segera dilakukan notifikasi. Apabila hakim menyatakan
sertifikasi tersebut tidak sah maka pemeriksaan gugatan dihentikan dengan suatu putusan
hakim.
Di Australia, tidak ada mekanisme sertifikasi oleh pengadilan. Dalam hal ini,
Australian Law Comission Reform menganggap certification hearing akan membuang
lebih banyak waktu dan biaya dalam proses penyelesaian sengketa. 27 Oleh sebab itu, dalam
mensahkan gugatan class action hakim cukup berlandaskan pada tata cara gugatan
perwakilan yang diatur dalam pasal 33C ayat (1) dan (2) FCAA dan pasal 33H ayat (1) dan
(2), yaitu cukup menentukan adanya satu persamaan fakta dan dasar hukum yang
substansial, dan siapa anggota kelasnya, maka penggunaan mekanisme class action sudah
dapat dikabulkan.
22
J.L.B Allsop Chief Justice, “Class Action Practice Note & General Practice Note”,
https://www.fedcourt.gov.au/law-and-practice/practice-documents/practice-notes/gpn-ca diakses 13 Oktober 2019
23
Vince Morabito, “An Australian Perspective on Class Action Settlements” The Modern Law Review, Vol.
69, No. 3 (May 2006), hlm. 357
24
J. R. Macey and G.P. Miller, “The Plaintiffs’ Attorney’s Role in Class Action and Derivative Litigation:
Economic Analysis and Reccomendations for Reform.” University of Chicago Law Review,
https://digitalcommons.law.yale.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=2724&context=fss_papers diakses 14 Oktober
2019
25
Australia, Federal Court of Australian Act, Part IV 33V
26
Beverly Newbold, “Class / Collective Actions in Australia: Overview”
https://uk.practicallaw.thomsonreuters.com/3-617-6440? diakses 13 Oktober 2019
27
Australian Law Commission Report, Grouped Proceedings in the Federal Court (Report no 46; 1988)
no. 456
Notifikasi yang dimaksud dalam Perma No. 1 Tahun 2002 adalah notifikasi yang
perlu diadakan setelah hakim memutuskan bahwa penggunaan tata cara gugatan
perwakilan kelompok dinyatakan sah, pada tahap penyelesaian dan pendistribusian ganti
rugi ketika gugatan dikabulkan, untuk memberikan kesempatan bagi anggota kelas yang
ingin menyatakan keluar dari kelompok tersebut, cara pemberitahuan dibuat seefektif atas
persetujuan hakim dengan tujuan agar anggota kelas mengetahui adanya prosedur class
action.28
Australia mempunyai ketentuan yang tercantum dalam Pasal 33X(1) FCAA, bahwa
pada dasarnya pemberitahuan kepada seluruh anggota kelompok yang diwakili harus
dilakukan dalam gugatan class action. Pemberitahuan atau notifikasi diberikan kepada
anggota kelompok terkait tanggal dimulainya sidang dan hak anggota kelompok untuk
memilih keluar dari persidangan sebelum tanggal yang ditentukan sebagaimana tercantum
dalam Pasal 33J(1), adanya permohonan dari penggugat untuk penghentian sidang, atau
adainya permohonan dari pihak perwakilan untuk mundur dari pihak perwakilan
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 33W. 29 Dalam Pasal 33Y juga diatur bahwa
pengadilan dalam hal ini juga wajib untuk dengan jelas mengatur tentang cara pemberian
notifikasi tersebut. Notifikasi umumnya dilakukan oleh publikasi melalui iklan, radio,
siaran televisi, koran nasional, dengan pengiriman notifikasi secara langsung kepada
anggota kelompok yang teridentifikasi, atau dengan cara lain yang dipilih oleh
pengadilan.30
28
Sri Laksmi Anindita, “Pelaksanaan Hak Gugat Perwakilan (Class Action) di Pengadilan Negeri
Indonesia Khususnya di Jakarta,” (Tesis Magister Universitas Indonesia, Jakarta, 2003), hlm 55-56.
29
Australia, Federal Court of Australian Act, Part IV 33X
30
Vince Morabito, “An Australian Perspective on Class Action Settlements.” The Modern Law Review,
Vol. 69, No. 3 (May 2006)
31
Indonesia, Mahkamah Agung. Peraturan Mahkamah Agung tentang Acara Gugatan Perwakilan
Kelompok, Perma No. 1 Tahun 2002, Ps. 1 bagian F.
Dalam pasal 33E(1) FCAA, persetujuan (consent) atau identifikasi dari setiap
anggota kelas (class members) tidak dipersyaratkan. Dalam Pasal 33H FCAA, undang-
undang federal tersebut hanya mensyaratkan identifikasi anggota kelompok secara umum,
menjelaskan secara spesifik tuntutan dan permasalahan hukum dan fakta yang serupa di
antara penggugat secara keseluruhan. Tidak ada persyaratan untuk mencantumkan nama
anggota (class member) atau penyebutan secara spesifik jumlah anggota kelas pada saat
originating application. Akan tetapi, terdapat pengecualian akan hal ini dalam Pasal 33E(2)
FCAA, dimana pihak-pihak yang tercantum dalam pasal tersebut harus memberikan
persetujuan tertulis (written consent) untuk dapat diikutsertakan sebagai anggota kelas.
Pihak-pihak tersebut adalah: Persemakmuran; baik negara bagian atau teritorial, menteri
atau menteri negara bagian, lembaga publik, atau pegawai pemerintahan.32
32
Australia, Federal Court of Australian Act, Part IV 33E (2)
33
Australia, Federal Court of Australian Act, Part IV 33J
Permasalahan berawal pada tanggal 15 Agustus 2005, pasar Kencong di Desa
Kencong, Kecamatan Kencong, Kabupaten Jember dilanda kebakaran. Sebanyak 699
orang pedagang pasar Kencong menjadi korban kebakaran. Para pedagang kemudian
menempati penampungan sementara di tanah PTPN XI yang terletak di Desa Wonorejo.
Pada Oktober 2009, dimulai pembangunan pasar Kencong baru di atas tanah PTPN XI.
Para pedagang terkejut, karena para pedagang tidak pernah sama sekali diberi informasi
mengenai adanya rencana pembangunan tersebut, serta pembangunan tersebut tidak sesuai
dengan keinginan pedagang yang menginginkan dibangunnya pasar Kencong di lokasi
pasar lama.
Rencana pembangunan pasar Kencong ini semakin menambah beban bagi para
pedagang. Para pedagang sudah puluhan tahun menempati pasar tersebut dan sudah
berkontribusi dalam peningkatan PAD Jember melalui pembayaran retribusi harian dan
bulanan. Namun, Bupati MZA Djalal malah menawarkan kepada investor untuk
membangun pasar Kencong baru di tanah HGB PTPN XI dengan model pinjam pakai.
Tanpa persetujuan dari DPRD Kabupaten Jember, Bupati MZA Djalal mengadakan
pernjajian dengan CV. Bintang Suroyya sebagai investor. DPRD Kabupaten Jember juga
tidak melakukan teguran ataupun permintaan pertanggungjawaban secara langsung kepada
Bupati MZA Djalal terkait dengan hal ini.
Atas perlakuan Bupati MZA Djalal, para pedagang tidak tinggal diam. Para
pedagang melakukan berbagai upaya, seperti mendatangi Pemkab Jember, mengirim surat
kepada Direksi PTPN XI, bahkan menemui Bupati MZA Djalal secara langsung. Namun,
upaya-upaya tersebut tidak kunjung membuahkan hasil. Akhirnya pada tanggal 12
November 2012, para pedagang mencoba mencari keadilan dengan menempuh jalur
hukum dan mengajukan gugatan terhadap Bupati MZA Djalal dan DPRD Kabupaten
Jember secara class action, dengan Azizi, Maeran, Martin Alamsah Kamal, Mohammad
Basir, Cholilur Rohman, dan Moh. Sholeh sebagai perwakilan kelompok.
Pengadilan telah melakukan pemeriksaan pendahuluan terhadap layak tidaknya
para penggugat mengajukan gugatan perwakilan kelompok ini dan telah memberikan
Putusan Sela tertanggal 9 Januari 2013 yang amarnya sebagai berikut:
1. Menerima gugatan Para Penggugat sebagai gugatan Perwakilan;
2. Menyatakan Para Penggugat sebagai pihak dalam perkara untuk
kepentingannya sendiri maupun sebagai wakil dari kelompok pedagang
korban kebakaran pasar Kencong yang berjumlah 699 orang;
3. Memerintahkan juga kepada Para Penggugat untuk membuktikan
kedudukan mereka sebagai wakil yang sah dari masing-masing kelompok
yang diwakilinya itu ;-
4. Menangguhkan biaya perkara sampai dengan putusan akhir.
Pengadilan juga menerima usulan notifikasi yang diajukan oleh Para Penggugat dengan
Penetapan tertanggal 20 Februari 2013.
Terdapat beberapa hal yang perlu ditinjau lebih lanjut terkait dengan penerapan
class action dalam Putusan No.104/Pdt.G/2012/Pn.Jr, antara lain:
1. Persyaratan Jumlah Anggota Kelompok
Dalam Putusan No.104/Pdt.G/2012/Pn.Jr, anggota kelompok ialah pedagang
korban kebakaran pasar Kencong yang berjumlah 699 orang, sehingga tidak efektif
dan efisien jika gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama
dalam satu gugatan. Dengan demikian, pengajuan gugatan class action dalam kasus
ini sudah tepat dan sesuai dengan ketentuan Pasal 2 huruf a Perma No. 1 Tahun
2002.
2. Persamaan Kepentingan Para Penggugat
Pasal 2 ayat (2) Perma No. 1 Tahun 2002 menyatakan bahwa persyaratan
kepentingan yang sama antara para penggugat ditandai dengan:
a. Terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar hukum
yang digunakan yang bersifat substansial
Para penggugat dalam Putusan No.104/Pdt.G/2012/Pn.Jr memiliki
kesamaan fakta dan kesamaan dasar hukum yang digunakan yang bersifat
substansial, dikarenakan para penggugat dalam putusan merupakan
sekumpulan orang dari kelompok pedagang yang menjadi korban
kebakaran di pasar Kencong, yang sama-sama menderita kerugian akibat
kebakaran yang terjadi.
b. Terdapat kesamaan jenis tuntutan di antara wakil kelompok dengan
anggota kelompoknya
Para penggugat dalam Putusan No.104/Pdt.G/2012/Pn.Jr memiliki
kesamaan jenis tuntutan yang tertera dalam petitum, antara lain menuntut
atas ganti rugi kepada para pedagang sebesar Rp 75.492.000.000. dengan
rincian Rp 50.000 x 1 bulan x 1 tahun x 6 tahun x 699 pedagang serta
mengembalikan pembayaran retribusi selama pedagang menempati
penampungan sementara yang terhitung sejak 1 Januari 2006 sampai 11
Januari 2012 sebesar Rp 2.264.760.000.
3. Syarat Kelayakan Perwakilan
Berdasarkan Pasal 2 huruf c Perma No. 1 Tahun 2002, wakil kelompok harus
memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan anggota
kelompok yang diwakilinya. Tidak ada penjelasan mengenai kriteria kejujuran dan
kesungguhan dalam Perma No. 1 Th. 2002. Kriteria untuk wakil yang dianggap
jujur dan benar-benar mewakili kepentingan kelompoknya sepenuhnya menjadi
wewenang hakim/judge made law.34 Dalam putusan ini, yang menjadi perwakilan
kelompok adalah Azizi, Maeran, Martin Alamsah Kamal, Mohammad Basir,
Cholilur Rohman, Moh. Sholeh, yang menandakan bahwa mereka telah dianggap
34
Bambang Sugeng Ariadi Subagyono, “Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Gugatan Kelompok,”
Jurnal Yuridika Volume 25 No. 2 (Mei 2010), hlm. 121.
Hakim sebagai wakil kelompok yang memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk
melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakilinya.
4. Ganti Rugi
Dalam posita gugatan, diatur mengenai mekanisme pendistribusian ganti rugi, yaitu
dengan cara sebagai berikut:
1. Dalam hal ganti kerugian yang berupa keuangan, dibentuk sebuah tim yang
terdiri dari unsur Pemerintah, yaitu Dinas Pasar Jember, Kecamatan
Kencong, dan perwakilan pedagang
2. Pendistribusian dilakukan di Kantor Kecamatan Kencong
3. Pendistribusian dilakukan dengan cara pakai nomor antrian agar tertib dan
terkendali
Dengan demikian, hal ini telah sesuai dengan Pasal 3 huruf f Perma No. 1 Tahun
2002 yang mensyaratkan bahwa mekanisme ganti kerugian harus dikemukakan
secara jelas dan terperinci dalam surat gugatan perwakilan kelompok.
5. Tahap Pemeriksaan dan Pembuktian serta Mekanisme Sertifikasi
Dalam putusan ini, tidak dijelaskan banyak mengenai proses pemeriksaan dan
pembuktian yang dilakukan oleh Hakim. Namun, Hakim telah melakukan
pemeriksaan terhadap layak tidaknya para penggugat dalam mengajukan gugatan
perwakilan kelompok dan telah memberikan sertifikasi serta mengeluarkan Putusan
Sela dengan amar ke-1 yang berbunyi: “Menerima gugatan Para Penggugat
sebagai gugatan Perwakilan” dan amar ke-2 yang berbunyi: “Menyatakan Para
Penggugat sebagai pihak dalam perkara untuk kepentingannya sendiri maupun
sebagai wakil dari kelompok pedagang korban kebakaran pasar Kencong yang
berjumlah 699 orang”. Dengan demikian, hal ini telah sesuai dengan ketentuan
Pasal 5 ayat (1) dan (3) Perma No. 1 Tahun 2002.
6. Kewajiban Memberitahukan Kepada Seluruh Anggota Kelompok / Notifikasi
Dalam posita gugatan, diatur mengenai cara pemberitahuan kepada anggota
kelompok atau notifikasi, yaitu dengan cara sebagai berikut:
1. Para wakil kelompok akan menghubungi secara langsung kepada anggota
kelompok
2. Melalui media cetak dan elektronik berupa koran atau radio
3. Melalui papan pengumuman yang akan dipasang di Kantor Pengadilan
Negeri Jember, Kantor Kecamatan Kencong, dan Kantor Desa Kencong.
Berdasarkan Pasal 5 ayat (4) Perma No. 1 Tahun 2002, usulan model
pemberitahuan diajukan setelah Hakim memutuskan penggunaan prosedur gugatan
perwakilan kelompok dinyatakan sah. Dalam hal ini, Hakim telah menerima usulan
notifikasi yang diajukan oleh para penggugat dengan penetapan tertanggal 20
Februari 2013, sehingga hal ini telah sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (4)
Perma No. 1 Tahun 2002.
7. Persetujuan atau Identifikasi dari Setiap Anggota Kelas
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Indonesia menganut mekanisme opt-out.
Setiap anggota kelompok dianggap setuju terhadap pengajuan gugatan kelompok
kecuali ia menyatakan pernyataan keluar sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Perma
No. 1 Tahun 2002. Dalam hal ini, pedagang korban kebakaran pasar Kencong yang
berjumlah 699 pedagang yang merupakan anggota kelompok tidak ada yang
memberikan pernyataan keluar, sehingga seluruh anggota kelompok dianggap
setuju terhadap pengajuan gugatan kelompok.
III. Penerapan Class Action di Australia dalam Judgement No. NG 421 of 1993
Pada tahun 1993, Tropical Shine Holding, importir, pedagang grosir dan eceran
dari produk furnitur, atas nama sendiri dan semua orang yang menderita kerugian akibat
iklan menuntut para perusahaan mebel yang lain yang tergabung sebagai federasi furnitur,
atas dasar perlakuan yang menyesatkan dan memperdaya dari federasi tersebut, yang telah
mengumumkan iklan ‘obral likuidasi’ di surat kabar lokal dengan mengklaim harga yang
murah serta kualitas yang bagus.
Terdapat beberapa hal yang perlu ditinjau lebih lanjut terkait dengan penerapan
class action dalam Judgement No. NG 421 of 1993, antara lain:
a. Jumlah anggota kelompok gugatan class action
Pada S.33C(1)(a) FCCA disyaratkan bahwa setidaknya ada tujuh orang yang
menjadi anggota untuk mengajukan gugatan class action. Pada kasus ini, Hakim
menimbang bahwa setidaknya ada tujuh orang anggota kelas dilihat dari penjualan
dengan adanya iklan yang menyesatkan tersebut yang mencapai 68 penjualan.
b. Keadaan yang mirip, sama, atau berhubungan satu sama lain
Pada S.33C(1)(b dan c) FCAA diatur bahwa yang menjadi anggota kelas (class
members) adalah orang yang mengalami atau disebabkan oleh keadaan yang sama,
mirip, atau berhubungan. Pada kasus ini, terdapat perbedaan dalam gugatan antara
wakil kelompok dan anggota kelas. Tropical Shine Holding, sebagai perwakilan,
membeli furnitur dari tergugat dengan tujuan untuk menguji mebel tersebut,
sementara anggota kelas yang lain mengalami kerugian yang disebabkan oleh iklan
yang menyesatkan. Tetapi keduanya saling tumpang tindih dan tidak bertentangan
sehingga memenuhi syarat yang disebutkan pada S.33C(1)(b). Hal ini dilihat dari
gugatan anggota yang mengalami kerugian akibat iklan yang menyesatkan dan
gugatan wakil kelompok bahwa apabila tidak terpengaruh iklan tersebut, pembeli
dari Federation Furniture Company tidak akan menggugat kerugian.
c. Pengunduran Diri
Sebelum dilaksanakan sidang pemeriksaan perkara, Tropical Shine akhirnya
memutuskan untuk tidak menggunakan gugatan class action dan meneruskan
gugatan secara individual, dikarenakan pengaruh iklan pada dirinya berbeda
dengan pengaruh iklan tersebut terhadap anggota kelas lainnya. Pengadilan
kemudian mengabulkan, karena tuntutan secara pribadi tersebut tidak merugikan
kepentingan para anggota kelas.35 Hal ini dimungkinkan pula dengan S.33W yang
mana disebutkan bahwa wakil kelompok diperbolehkan keluar dari gugatan dan
menyelesaikan perkara secara individual.
Maka, walaupun substansi gugatan berbeda, kasus ini tetap dapat diajukan dengan class
action karena gugatan wakil kelompok tidak bertentangan dengan gugatan anggota
kelompok. Serta tidak ada alasan yang menyatakan gugatan tidak bisa diajukan dengan
gugatan class action.
35
E. Sundari, op. cit., hlm. 90.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gugatan perwakilan kelompok diperlukan sebagai sarana yang ditempuh oleh
orang banyak dalam upaya penyelesaian sengketa. Melalui gugatan class action inilah
diharapkan mampu untuk merealisasikan ketentuan-ketentuan yang menyatakan bahwa
peradilan dilakukan secara sederhana, cepat dan biaya ringan atau asas Trilogi Peradilan.
Gugatan perwakilan kelompok dapat diajukan atas dasar adanya kesamaan fakta
atau kesamaan dasar hukum yang digunakan, kesamaan jenis tuntutan diantara wakil
kelompok dengan anggota kelompoknya. Kriteria dan persyaratan untuk mengajukan
gugatan secara class action di Australia dan Indonesia pada dasarnya adalah sama. Namun,
terdapat perbedaan-perbedaan, antara lain perbedaan persyaratan jumlah anggota
kelompok dalam gugatan kelompok. Selain itu, mekanisme sertifikasi di Indonesia hanya
dilakukan berdasarkan penilaian hakim sendiri sedangkan mekanisme sertifikasi tidak
dikenal di dalam Pengadilan Federal Australia.
Secara keseluruhan, penerapan class action dalam Putusan
No.104/Pdt.G/2012/Pn.Jr sudah tepat dan sesuai dengan ketentuan dalam Perma No. 1
Tahun 2002. Dimulai dari persyaratan pengajuan gugatan, yaitu jumlah anggota kelompok,
persamaan kepentingan para penggugat, syarat kelayakan perwakilan, ganti rugi, hingga
penerapan class action oleh hakim, yaitu tahap pemeriksaan dan pembuktian, notifikasi,
pembuatan settlement, semua telah memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan dalam
Perma No. 1 Tahun 2002.
Penerapan class action di Australia pada Judgments No. NG421 of 1993 sesuai
sebagaimana diatur pada Part IVA Federal Court of Australian Act. Kesesuaian tersebut
dilihat dari jumlah anggota yang sesuai, yaitu lebih dari tujuh orang, dan terdapat
kesamaan, kemiripan, atau keadaan yang berhubungan di antara wakil kelompok dengan
anggota kelompoknya.
B. Saran
Sebaiknya syarat mengenai kelayakan perwakilan kelas dalam Perma, khususnya
unsur ‘jujur dan benar-benar mewakili kepentingan kelompoknya sepenuhnya’ dapat diatur
lebih jelas di dalam peraturan perundang-undangan agar masyarakat dapat lebih
memahami kriteria kelayakan perwakilan kelompok dalam pengajuan gugatan dengan
gugatan perwakilan kelas (class action). Sebab ketidakjelasan kriteria tersebut
menimbulkan potensi tingginya subjektivitas hakim dan tidak disahkannya gugatan dengan
cara class action.
BAB IV
LAPORAN DISKUSI KELAS
A. Pertanyaan
1. Diajukan oleh Sofia Salma - 1706028285:
Bagaimana jika terdapat anggota kelas (class member) yang merasa keberatan
dengan isi settlement yang dibuat antara perwakilan (class representative)
dengan tergugat?
Anggota kelas bisa saja merasa keberatan dengan settlement yang dibuat
antara perwakilan dengan tergugat. Adanya keberatan yang diajukan class member
inilah yang memegang peran signifikan dalam hakim melakukan persetujuan atau
penolakan terhadap settlement tersebut. Pada fairness hearing dalam kasus Tongue
v. Council of the City of Tamworth, Hakim menolak settlement yang dibuat oleh
penggugat dan tergugat. Sebab, dalam hearing tersebut, 23 orang dari 53 orang
mengajukan keberatan terhadap isi kesepakatan tersebut. Hakim menganggap
settlement tersebut tidak layak karena dioposisi oleh banyak class member tersebut
dan tidak merepresentasikan kepentingan seluruh class member. 36
Berdasarkan yurisprudensi lain, yakni Williams v. FAI Home Security Pty
Ltd, hakim bisa juga memerintahkan adanya pemberian notifikasi kepada class
member terkait akan ditetapkannya settlement tersebut. Dalam kasus tersebut,
Hakim Goldberg memerintahkan agar settlement yang akan ditetapkan tersebut
untuk diberitahukan / dinotifikasi kepada class member melalui koran-koran
regional dan metropolitan untuk memberikan kesempatan bagi para class members
dalam mengajukan keberatan terhadap settlement sebelum 28 Maret 2001.
Alternatif lain yang dapat dilakukan hakim terhadap keberatan yang diajukan
sebagian class members terhadap settlement tersebut ialah dengan memberikan
nasihat kepada mereka untuk membentuk sub-class dan membuat settlement
tersendiri dengan tergugat.37
2. Diajukan oleh Syaharani - 1706024362:
Mengapa harus ada minimal 7 orang dalam gugatan yang diajukan dengan
mekanisme class action di Australia?
Sebab hal itu sudah tercantum dalam S.33C(1a) Federal Court of Australian
Act yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Subject to this part, where:
(a) 7 or more persons have claims against the same person
Maka, dapat dilihat bahwa sudah ditentukan di Part IVA Federal Court of
Australian Act yang mengatur tentang prosedur gugatan class action bahwa harus
36
Vince Morabito, “An Australian Perspective on Class Action Settlements.” The Modern Law Review,
Vol. 69, No. 3 (May 2006), hlm. 372
37
Ibid., hlm. 369
ada setidaknya tujuh orang untuk mengajukan gugatan dengan mekanisme class
action.
Adapun sebenarnya The Law Reform Commision di Australia tidak
merekomendasikan adanya jumlah minimal anggota kelas yang ditentukan karena
adanya peraturan S.33H Federal Court of Australian Act yang berbunyi sebagai
berikut:
Australian Law Commission Report 46, Grouped Proceedings in the Federal Court.
Anindita, Sri Laksmi. “Pelaksanaan Hak Gugat Perwakilan (Class Action) di Pengadilan Negeri
Indonesia Khususnya di Jakarta,” Tesis Magister Universitas Indonesia, Jakarta, 2003.
Clack, Henry Campbell. Black’s Law Dictionary. St. Paul Minnesota: West Publishing
Co.,1991.
J.L.B Allsop Chief Justice, “Class Action Practice Note & General Practice Note”,
https://www.fedcourt.gov.au/law-and-practice/practice-documents/practice-notes/gpn-ca
diakses 13 Oktober 2019.
J. R. Macey and G.P. Miller, “The Plaintiffs’ Attorney’s Role in Class Action and
Derivative Litigation: Economic Analysis and Recomendations for Reform.” University of
Chicago Law Review,
https://digitalcommons.law.yale.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=2724&context=fss_pape
rs diakses 14 Oktober 2019.
Grave, Damian. Class Action in Australia, eds 2. Sydney: Thomson Reuters, 2009.
Morabito, Vince. “An Australian Perspective on Class Action Settlements” The Modern Law
Review, Vol. 69, No. 3 (May 2006)
Nugroho, Susanti Adi. Class Action & Perbandingannya dengan Negara Lain. Jakarta: Kencana,
2010.
Peter Cashman and Maurice Blackburn Cashman. Class Action Law & Practice in Australia. 2002.
Santosa, Mas Achmad. Pedoman Penggunaan Gugatan Perwakilan (Class Action). Jakarta: ICEL,
1999.
Sundari, E. Pengajuan Gugatan Secara Class Action, Suatu Studi Perbandingan &
Penerapannya di Indonesia. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2002.