Disusun oleh:
Kelompok 1
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2019
BAB 1
Kasus Posisi
1.1 Kronologi Kasus
Para pihak yang bersengketa dalam putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor
12/PDT.G/2012/PN.MBO adalah Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik
Indonesia, sebagai Pejabat Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan
hidup Sebagai Penggugat, melawan PT. Kalista Alam, badan hukum telah memperoleh
Izin Usaha Perkebunan Budidaya yang diberikan Gubernur Aceh, sesuai dengan Surat
Izin Gubernur Aceh Nomor 525/BP2T/5322/2011 tanggal 25 Agustus 2011 dengan luas
wilayah kurang lebih 1.605 hektar, berlokasi di Desa Pulo Kruet, Kecamatan Darul
Makmur, Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh (“Izin Usaha”), yang berkedudukan
sebagai Tergugat.
Sesuai dengan peta kawasan yang menjadi lampiran tidak terpisahkan dari Izin
Usaha, seluruh perkebunan milik Tergugat, yaitu seluas 1.605 hektar berada dalam
kawasan yang disebut dengan Kawasan Ekosistem Leuser (“KEL”). KEL ditetapkan
sebagai kawasan konservasi (kawasan yang dilindungi oleh undang-undang) berdasarkan
Surat Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1998 tentang Kawasan Ekosistem Leuser
(Bukti P-5), yang batas-batasnya ditentukan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan Surat
Keputusan Nomor 190/Kpts-II/2001 Tanggal 29 Juni 2001 tentang Pengesahan Batas
Kawasan Ekosistem Leuser di Provinsi Daerah Istimewa Aceh (Bukti P-6). Berdasarkan
Bukti P-6, luas KEL meliputi areal 2.255.577 hektar. Berdasarkan titik-titik koordinatnya
diketahui bahwa wilayah perkebunan Tergugat masuk ke dalam kawasan yang disebut
“KEL” tersebut, dimana KEL berada pada koordinat 96°18'7" - 98°32'30" BT dan
2°14'44" - 4°55'26" LU, sedangkan areal perkebunan Tergugat berada pada koordinat
96°32'0" - 98°32'21" BT dan 3°47'8" - 3°51'22" LU, tepatnya wilayah Tergugat in casu
masuk dalam wilayah APL seluas 1.986 hektar.
Kemudian ditemukan fakta-fakta yang mengindikasikan terjadinya kebakaran atau
dugaan pembakaran lahan di wilayah perkebunan Tergugat:
1. Laporan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan
atau disingkat dengan “UKP4” tanggal 11 April 2012 serta tanggal 26 Juli 2012
kepada Penggugat menyebutkan bahwa terdapat titik panas (hotspot) yang
mengindikasikan terjadinya kebakaran/dugaan pembakaran lahan di wilayah
perkebunan Tergugat seluas 1.605 hektar yang berada dalam KEL (Bukti P-9 dan
Bukti P-10).
2. Laporan dan data tersebut telah dikonfirmasi oleh ahli kebakaran hutan dan lahan
dari Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Prof. Dr. Ir. Bambang Hero
Saharjo, M.AGR, yang menyebutkan bahwa titik panas (hotspot) yang merupakan
indikasi terjadinya kebakaran terjadi pada sekitar bulan-bulan Januari 2011 hingga
November 2011 dan Pebruari 2012 hingga Juni 2012 pada areal HGU lama dan di
bakal areal baru tanpa HGU milik Tergugat (Vide Butir 11 – 27 Bukti P-12 – Surat
Keterangan Ahli Bambang Hero).
Hal tersebut dijadikan landasan bagi Kementerian Lingkungan Hidup (“KLH”) untuk
membentuk dan menugaskan suatu Tim Lapangan yang beranggotakan para ahli dan staf
KLH serta perwakilan Pemerintah Provinsi Aceh untuk melakukan pengamatan dan
verifikasi lapangan di lokasi dimana titik-titik panas tersebut terlihat, yaitu di lokasi
perkebunan Tergugat.
Berdasarkan Berita Acara Verifikasi Lapangan pada tanggal 5 Mei 2012 dan
tanggal 15 Juni 2012, Tim Lapangan menemukan fakta bahwa terbukti benar titik
koordinat lokasi lahan bekas terbakar berada di wilayah usaha Tergugat setelah dicek
dengan peralatan Global Positioning System (“GPS”) (Bukti 15 – Data GPS). Selain itu,
sesuai keterangan karyawan Tergugat, kebakaran di lahan gambut telah terjadi selama 3
(tiga) hari berturut-turut salah satunya di afdeling Blok A4 dan disaksikan oleh karyawan
Tergugat tersebut, bahwa luas areal terbakar pada blok A4 itu saja seluas 29.5 ha
sementara yang dilaporkan terbakar oleh Sdr Sujandra kepada Tim Verifikasi hanya 5
hektar serta diakuinya hanya dipadamkan oleh karyawan Tergugat yang berjumlah 8
(delapan) orang. Selain itu, hasil penelitian oleh anggota Tim Lapangan yakni Prof. Dr.
Ir. Bambang Hero Saharjo, M.AGR, Ahli Kebakaran Hutan dan Lahan, IPB juga
menemukan adanya tanda-tanda fisik bekas kebakaran.
1.2 Gugatan
1.2.1 Dalam Provisi
1. Memerintahkan Tergugat untuk tidak mengusahakan lahan gambut yang telah
terbakar untuk usaha budidaya perkebunan termasuk kelapa sawit;
2. Memerintahkan Tergugat dan/atau Para Kuasanya atau Pihak yang
mewakilinya atau pihak yang menerima pengalihan hak dan wewenang
darinya, atau pihak manapun agar sebelum perkara ini mempunyai kekuatan
hukum mengikat (inkcracht van gewisjde) agar Tergugat untuk tidak
melakukan tindakan apapun (status quo) baik melalui tindakan hukum perdata
atau kepailitan terhadap Penggugat yang bertujuan menjual atau mengalihkan
baik secara di bawah tangan maupun melalui pelelangan umum atau lelang
negara atau lelang swasta di dalam negeri atau di luar negeri atau
menjaminkan dalam bentuk apapun menjual / mengalihkan dalam bentuk
apapun atau tindakan dalam bentuk apapun di dalam atau luar negeri alas harta
kekayaan Penggugat termasuk: Sebidang tanah dan bangunan diatasnya yang
terletak di Desa Pulo Kruet, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Aceh Barat
dengan Sertifikat Hak Guna Usaha No. 27 dengan luas 5.769 ha (lima ribu
tujuh ratus enam puluh Sembilan hektar) sebagaimana ternyata dalam Gambar
Situasi No. 18/1998 tanggal 22 Januari 1998 yang diterbitkan oleh Kantor
Pertanahan Kabupaten Aceh Barat, berlokasi di Kabupaten, Provinsi Aceh
(dahulu Nanggroe Aceh Darussalam).
1.2.2 Dalam Pokok Perkara
1. Mengabulkan seluruh gugatan penggugat.
2. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang diletakkan atas tanah,
bangunan dan tanaman di atas nya, setempat terletak di Desa Pulo Kruet, Alue
Bateng Brok Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Aceh Barat dengan
Sertifikat Hak Guna Usaha No. 27 dengan luas 5.769 (lima ribu tujuh ratus
enam puluh sembilan hektar) sebagaimana ternyata dalam Gambar Situasi No.
18/1998 tanggal 22 Januari 1998 yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan
Kabupaten Aceh Barat, berlokasi di Kabupaten, Provinsi Aceh (dahulu
Nanggroe Aceh Darussalam).
3. Menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan melanggar hukum.
Menghukum Tergugat membayar ganti rugi materiil secara tunai kepada
Penggugat melalui rekening Kas Negara sebesar Rp114.303.419.000,00
(seratus empat belas milyar tiga ratus tiga puluh tiga juta empat ratus sembilan
belas ribu rupiah).
4. Memerintahkan Tergugat untuk tidak menanam di lahan gambut yang telah
terbakar seluas kurang lebih 1000 hektar yang berada di dalam wilayah Izin
Usaha untuk usaha budidaya perkebunan kelapa sawit.
5. Menghukum Tergugat untuk melakukan tindakan pemulihan lingkungan
terhadap lahan yang terbakar seluas kurang lebih 1000 hektar dengan biaya
sebesar Rp251.765.250.000,00 (dua ratus lima puluh satu milyar tujuh ratus
enam puluh lima juta dua ratus lima puluh ribu rupiah) sehingga lahan dapat
difungsikan kembali sebagaimana mestinya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
6. Menghukum Tergugat untuk membayar bunga denda sebesar 6% (enam
persen) per tahun terhitung sejak didaftarkannya perkara ini.
7. Menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar
Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta Rupiah) per hari atas keterlambatan dalam
melaksanakan putusan dalam perkara ini.
8. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara.
9. Menyatakan Putusan ini dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun ada
banding atau kasasi atau upaya hukum lainnya (uit voorbaar bij voorrad).
1.3 Jawaban Tergugat (Eksepsi)
Terhadap gugatan tersebut Tergugat mengajukan eksepsi yang pada pokoknya
sebagai berikut:
1. Penggugat tidak lengkap
Penggugat dalam perkara a quo telah mengambil keputusan dengan tidak
berkoordinasi dengan instansi daerah yang juga berwenang untuk mengajukan
gugatan. Penggugat hanya mengajukan gugatan berdasarkan kepatuhannya
pada UKP4 sebagaimana didalilkannya sendiri pada butir 3.1. Gugatan tanpa
memperhatikan ketentuan pasal 90 UULH dengan baik dan benar
2. Tergugat kurang pihak
Penggugat hanya menggugat Tergugat tanpa menyertakan pihak lain;
Pelestarian lingkungan merupakan kewajiban banyak pihak dan tidak hanya
dibebankan pada Tergugat. Apabila Penggugat mendalilkan Tergugat telah
melakukan pencemaran/perusakan lingkungan hidup, maka sesuai dengan
ketentuan di atas sudah seharusnya Penggugat juga menggugat
Gubernur/Bupati karena tidak menjalankan fungsinya berkaitan dengan
Lingkungan Hidup sebagaimana mestinya’ maka gugatan perkara a quo
dilakukan secara kurang pihak dan oleh karenanya gugatan harus dinyatakan
tidak dapat diterima.
3. Gugatan kabur atau tidak jelas (Obscuur Libel)
a. Rangkaian koordinat perkebunan yang disebutkan dalam gugatan
bukan areal perkebunan tergugat
Gugatan perkara a quo adalah gugatan kabur karena Penggugat
sendiri tidak tahu di lokasi mana tuduhan terhadap Tergugat akan
dijabarkan. Dalil Penggugat yang menyebutkan lokasi tersebut tidak
bisa dijamin kebenarannya, apakah merupakan lokasi perkebunan
tergugat atau bukan.
b. Petitum gugatan tidak berdasarkan posita gugatan
Petitium yang dimintakan Penggugat bertentangan dengan
dalikl-dalil yang diajukan dalam posita oleh karena Penggugat dalam
posita sama sekali tidak dapat menjelaskan luas areal yang terbakar
namun pada petitumnya memohon agar Majelis Hakim memerintahkan
Tergugat tidak menanam dan menghukum Tergugat melakukan
tindakan pemulihan lingkungan terhadap lahan yang dipahami
Penggugat sebagai lahan yang terbakar dengan total luas kurang lebih
1000 hektar
c. Posita gugatan mendalilkan kesengajaan dan kelalaian dalam satu
gugatan
Penggugat ragu dalam menentukan perbuatan Tergugat apakah
didasarkan atas perbuatan melawan hukum atau kelalaian sehingga
mengakibatkan gugatan kabur.
1.4 Putusan Hakim PT
Di dalam putusannya, Pengadilan Tinggi mengeluarkan putusan berikut:
1. Menerima permohonan banding dari pembanding, semula Tergugat.
2. Memperbaiki pertimbangan hukum dan susunan amar putusan Pengadilan
Negeri Meulaboh tanggal 8 Januari 2014, Nomor 12 /Pdt.G/2012/PN. MBO
yang dimohonkan banding tersebut sehingga amarnya berbunyi sebagai
berikut:
a. Dalam Provisi
Menyatakan gugatan provisi tidak dapat diterima
b. Dalam Eksepsi
Menolak eksepsi Pembanding/dahulu Tergugat untuk seluruhnya
c. Dalam Pokok Perkara
1. Mengabulkan gugatan Terbanding/dahulu Penggugat sebahagian;
2. Menyatakan Pembanding/ dahulu Tergugat telah melakukan
Perbuatan Melanggar Hukum.
3. Menghukum Pembanding/dahulu Tergugat membayar ganti rugi
materiil secara tunai kepada Terbanding /dahulu Penggugat melalui
rekening Kas Negara sebesar Rp. 114.303.419.000,00;
4. Memerintahkan Pembanding/ dahulu Tergugat untuk tidak menanam
di lahan gambut yang telah terbakar seluas kurang lebih 1000 hektar
yang berada di dalam wilayah Izin Usaha berdasarkan Surat Izin
Gubernur Aceh tanggal 25 Agustus 2011/25 Raramadhan 1432 H No.
525/BP2T/5322/2011 seluas 1.605 Hektar yang terletak di Desa Pulo
Kruet Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya, Provinsi
Aceh untuk usaha budidaya perkebunan kelapa sawit;
5. Menghukum Pembanding/dahulu Tergugat untuk melakukan tindakan
pemulihan lingkungan hidup terhadap lahan yang terbakar seluas
kurang lebih 1000 hektar dengan biaya sebesar Rp. 251.765.250.000,
00 sehingga lahan dapat difungsikan kembali sebagaimana mestinya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
6. Menghukum Pembanding/dahulu Tergugat untuk membayar uang
paksa (dwangsom) sebesar Rp. 5.000.000,- per hari atas
keterlambatan dalam melaksanakan putusan dalam perkara ini;
7. Memerintahkan Lembaga/Dinas Lingkungan Hidup/Pemerintah
Kabupaten Aceh Barat dan Kabupaten Nagan Raya untuk melakukan
“ tindakan tertentu ”mengawasi, pelaksanan pemulihan lingkungan,
karena lokasi lahan meliputi 2 (dua) Kabupaten Aceh Barat dan
Kabupaten Nagan Raya, Propinsi Aceh.
8. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang diletakkan di atas
tanah, bangunan dan tanaman di atasnya, setempat terletak di desa
Pulo Kruet, Alue Bateng Brok Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten
Aceh Barat dengan Sertifikat Hak Guna Usaha Nomor 27 dengan luas
5.769 (lima ribu tujuh ratus enam puluh sembilan hektar)
sebagaimana ternyata dalam gambar situasi No. 18/1998 tanggal 22
Januari 1998 yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten
Aceh Barat, berlokasi di Kabupaten, Provinsi Aceh (dahulu Nanggroe
Aceh Darussalam);
9. Menghukum Pembanding / dahulu Tergugat untuk membayar ongkos
perkara yang timbul dalam dua tingkat peradilan yang dalam tingkat
banding sebesar Rp 150.000,00.
10. Menolak gugatan Terbanding /dulu Penggugat selebihnya;
1.5 Putusan Hakim MA Tingkat Kasasi
Dalam menentukan sebab akibat antara aktifitas Tergugat dengan terjadinya
kebakaran lahan, antara kebakaran lahan dan kerugian lingkungan hidup yang timbul saat
ini dan akibat-akibatnya di masa datang memang harus mendasarkan pada doktrin in
dubio pro naturayang mengandung makna bahwa jika dihadapkan pada ketidakpastian
sebab akibat dan besaran ganti rugi, maka pengambil keputusan, baik dalam bidang
kekuasaan eksekutif maupun hakim dalam perkara-perkara perdata dan administrasi
lingkungan hidup harus lah memberikan pertimbangan atau penilaian yang
mengutamakan kepentingan perlindungan dan pemulihan lingkungan hidup. Penggunaan
doktrin "in dubio pro natura" dalam penyelesaian perkara lingkungan hidup keperdataan
dan administrasi bukan suatu pertimbangan yang mengada-ada karena ternyata sistem
hukum Indonesia telah mengenal doktrin ini yang bersumber pada asas-asas yang
tercantum dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yaitu kehati-hatian
(precautionary) , keadilan lingkungan (environmental equity), keanekaragaman hayati
(bio diversity) dan pencemar membayar (polluter pays principle) . Oleh sebab itu,
keberatan Pemohon Kasasi tentang soal sebab akibat antara kegiatan Pemohon Kasasi
dan kerugian lingkungan yang timbul serta ganti rugi lingkungan hidup yang harus
ditanggung Pemohon Kasasi ini harus ditolak. Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan di atas, ternyata Putusan Judex Facti/Pengadilan Tinggi Banda Aceh
dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka
permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi PT. KALLISTA ALAM,
tersebut harus ditolak. Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi dari Pemohon
Kasasi ditolak dan Pemohon Kasasi ada di pihak yang kalah, maka Pemohon Kasasi
dihukum untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini. Berikut adalah putusan
Mahkamah Agung:
1. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT. KALLISTA tersebut;
2. Menghukum Pemohon Kasasi/Tergugat/Pembanding untuk membayar biaya
perkara dalam tingkat kasasi ini sejumlah Rp. 500.000,00.
BAB 2
Isu Hukum
1. Bagaimana para pihak mengartikan serta membuktikan unsur-unsur PMH dan Strict
liability?
2. Bagaimana hakim (PN, PT, dan MA) menafsirkan strict liability?
3. Berikan kritik saudara atas didalilkannya unsur kesengajaan. Berikan pula komentar
saudara atas pertimbangan hakim mengenai kesengajaan/kelalaian.
4. Mengapa penggugat meminta agar hakim merujuk pada Putusan Mandalawangi?
Bagaimana pendapat hakim atas hal ini? Bagaimana pendapat anda?
5. Berikan kritik anda terkait penggunaan dan penafsiran doktrin res ipsa loquitur.
6. Berikan kritik anda terkait penggunaan dan penafsiran precautionary principle dalam
kasus ini.
7. Berikan tanggapan Anda mengenai in dubio pro natura. Bagaimana konsep ini terkait
dengan precautionary principle (persamaan dan perbedaan)? Apakah penerapan
konsep in dubio pro natura dalam kasus ini tepat?
8. Berikan komentar anda terkait penghitungan kerugian.
BAB 3
Analisis Kasus
3.1 Bagaimana para pihak mengartikan serta membuktikan unsur-unsur PMH dan
Strict liability?
Secara umum, dalam pertanggungjawaban perdata dapat diberlakukan dengan dua
cara, berdasarkan perbuatan melawan hukum (PMH) dan berdasarkan strict liability.1
Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dalam hal keperdataan diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) Pasal 1365 terjemahan oleh R.Subekti yang
berbunyi sebagai berikut:
“Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian
tersebut”
Dari pengertian tersebut dapat kita uraikan unsur-unsur PMH, dimana menurut
Hoffman, untuk menentukan adanya suatu perbuatan melawan hukum terdapat empat unsur
yang harus dibuktikan secara kumulatif, dengan kata lain harus dibuktikan secara
keseluruhan, yakni:2 petitum hal.49, putusan menimbang hakim 179
1. Adanya suatu perbuatan
Perbuatan yang dimaksud disini masuk cakupannya berbuat sesuatu dalam
arti aktif (melakukan sesuatu) maupun berbuat sesuatu dalam arti pasif (tidak
berbuat sesuatu).
2. Melawan hukum
Adanya unsur melawan hukum disini maksudnya adalah perbuatan nya
bukan saja bertentangan dengan hukum tertulis namun juga hukum tidak tertulis
seperti nilai-nilai kesusilaan.
3. Adanya suatu kesalahan
Dalam adanya suatu unsur kesalahan haruslah memenuhi syarat sebagai
berikut:
a. Adanya unsur kesengajaan, atau
1
Andri G. Wibisana dan Laode M. Syarif, “Hukum Lingkungan Teori, Legislasi dan Studi Kasus”,
hal.582
2
Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2007, hlm. 8
b. Adanya unsur kelalaian (culpa), dan
c. Tidak memiliki alasan pembenar atau alasan pemaaf.
Pembuktian kesalahan pada perbuatan melawan hukum dibebankan
pembuktiannya kepada pihak penggugat.
4. Adanya suatu kerugian
Dalam perbuatan melawan hukum, haruslah terdapat kerugian dimana
kerugian tersebut dapat berupa kerugian secara materiil seperti sesuatu yang dapat
dihitung serta kerugian secara immateriil seperti persoalan psikologis.
Pembuktian unsur PMH oleh penggugat di pengadilan perdata ini berlandaskan pada
peraturan perundang-undangan, SPK tergugat, foto keadaan lapangan, keterangan saksi dan
ahli. Unsur Melawan Hukum yang dituju oleh penggugat adalah pembakaran lahan oleh PT.
Kallista Alam yang menggunakan dasar hukum Pasal 69 ayat (1) huruf h UULH yang
diperkuat dengan PP 4/2001 Pasal 11, Permen LH 10/2010 Pasal 3, serta Pasal 26 UU
Perkebunan, dimana pembukaan lahan menggunakan cara pembakaran itu melanggar norma
undan-undang dan dapat dikualifiir sebagai PMH sebagai mana dimaksud dalam PMH.
Menurut keterangan tergugat, penggugat tidak dapat menguraikan perbuatan mana
saja yang masuk kedalam unsur-unsur PMH serta penggugat tidak dapat merumuskan apakah
perbuatan yang didalilkan tersebut merupakan suatu kesengajaan atau kelalaian. Pendalilan
penggugat mengenai suatu kerusakan tidak dapat dibuktikan secara nyata menggunakan baku
mutu sehingga tergugat beranggapan bahwa dengan begitu tidak ada jatuh korban. Karena
tidak terbuktinya suatu perbuatan maka tidak terjadi suatu kerugian
Unsur kesengajaan oleh tergugat ditandai dengan pembakaran lahan gambut dan penggugat
mendalilkan pula bahwa terjadi kelalaian dalam pencegahan penanggulangan kebakaran, dan
membawa bukti P-28/SPK yang isinya menunjuk pihak lain sebagai kontraktor pembukaan
lahan di areal sekitar 1.200, lalu menggunakan Hotspots yang dilakukan oleh NASA yang
menunjukkan titik panas di areal perkebunan PT.Kallista. Pada unsur kerugian, penggugat
mendalilkan bahwa dengan adanya pembakaran lahan tersebut sudah barang pasti
menyebabkan kerugian lingkungan
Strict liability merupakan suatu doktrin mengenai pertanggungajwaban perdata yang
mana tanggung jawab muncul tanpa didasarkan pada adanya suatu kesalahan (liability
without fault). Dasar hukum pengaturan tentang Strict Liability diatur dalam UU No 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selanjutnya, konsep ini diatur pula
dalam Pasal 88 UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
“Pasal 88: Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya
menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan
ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang
terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.”
Strict Strict liability akan muncul apabila terdapat seseorang yang sedang menjalankan usaha
yang tergolong kedalam extra hazardous atau ultra hazardous atau normally dangerous.
Beban kewajiban semua berada pada yang menjalankan usaha meskipun telah bertindak
dengan hati-hati untuk mencegah adanya kerusakan lingkungan. Meskipun beban pembuktian
untuk membuktikan bahwa tergugat bersalah atau tidak terdapat pada pihak tergugat, namun
penggugat masih harus membuktikan kerugian apa saja yang diderita serta hubungan
kausalitas antara kerugian dengan perbuatan sebagaimana dimaksud.3
Berkaitan dengan kasus PT. Kallista, penggugat menyatakan PMH yang dilakukan PT
kallista berkaitan dengan lingkungan, dan pertanggungjawabannya dapat dituntut
menggunakan prinsip Strict Liability seperti yang dianut dalam UU Lingkungan Hidup pasal
88 karena akibat usahanya tersebut dapat menimbulkan ancaman serius bagi lingkungan.
Penggugat juga mendalilkan kewajiban tergugat untuk mempunyai sarana dan prasarana
penanggulangan kebakaran yang memadai serta upaya menanggulangi kebakaran tidak
dilakukan oleh Tergugat.
Tergugat membuktikan bahwa mengenai kebakaran yang didalilkan oleh Penggugat
bukan disebabkan karenanya, melainkan karena perusahaan lain yang berada di areal yang
berdekatan dengan perkebunan Tergugat. Tergugat juga membuktikan bahwa perusahaanya
tidak pernah melakukan pembakaran untuk membuka lahan melainkan menggunakan cara
yang tidak melanggar aturan perundang-undangan.
3.2 Bagaimana hakim (PN, PT, dan MA) menafsirkan strict liability?
Gugatan biasanya diajukan untuk membuktikan adanya kelalaian yang dilakukan.
Tetapi ada pula gugatan yang diajukan tanpa perlu membuktikan adanya unsur kesalahan
dalam tindakan yang dilakukan seseorang, yang perlu dibuktikan hanyalah perbuatan dan
3
Andri G. Wibisana dan Laode M. Syarif,..hal. 584.
akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut. Hal itulah yang disebut strict liability atau
pertanggungjawaban mutlak.4 Menurut Munir Fuady, dalam hal strict liability tidak perlu
melihat adanya unsur kesalahan atau tidak, meskipun perbuatannya dilakukan dengan sengaja
dan tidak mengandung unsur kelalaian, kurang hati-hati, atau ketidak patutan.
Dalam kasus antara PT. Kallista Alam melawan Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Republik Indonesia dalam putusan pada di tingkat pertama di Pengadilan Negeri,
tingkat banding di Pengadilan Tinggi, tingkat kasasi dan peninjauan kembali di Mahkamah
Agung tersebut, adanya ketidaksesuaian atas penafsiran hakim terhadap strict liability. Hakim
menyatakan bahwa Tergugat melakukan perbuatan melakukan perbuatan hukum, namun
Hakim mengaitkan dengan sifat strict liability.
Pada putusan di tingkat pertama, ditemukan fakta-fakta bahwa Tergugat melakukan
pembukaan lahan dengan cara membakar dan tidak melakukan upaya-upaya yang dapat
mencegah terjadinya kebakaran lahan ke wilayah lain. Hakim menafsirkan strict liability
mengacu pada ketentuan dalam Pasal 1365 KUHPerdata, “Tiap perbuatan melanggar hukum
yang membawa kerugian kepada seorang lain mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut”. Selain itu, juga dengan
menggunakan Pasal 87 UUPPLH yang mengatur mengenai perbuatan melanggar hukum
berupa pencemaran dan/atau perusakan Lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada
orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan
tertentu.
Pada tingkat banding, Hakim menafsirkan strict liability mengacu pada Pasal 2 UU
No. 32 tahun 2009 bahwa sistem pertanggungjawaban perdata berdasarkan kesalahan dan
ganti kerugian akan diberikan sepanjang kerusakan dapat dibuktikan berasal dari perbuatan
melawan hukum. Selain itu, Hakim juga menggunakan Pasal 88 UU No. 32 tahun 2009 yang
mengatur bahwa kesalahan tidak harus dibuktikan oleh Penggugat dan pembuktian tidak
hanya menjadi beban Penggugat untuk membuktikan ada atau tidaknya perbuatan melawan
hukum. Sementara, strict liability bukan merupakan beban pembuktian terbalik tetapi beban
pertanggungjawaban pelaku.
Pada tingkat Kasasi dan Peninjauan Kembali, Hakim menafsirkan strict liability
sebagai bentuk pertanggungjawaban dalam perbuatan melawan hukum atas kerusakan
lingkungan yang menimbulkan ancaman serius bagi lingkungan.
4
Vivienne Harpwood, Principles Of Tort Law, 4th Ed. (London: Cavendish Publishing, 2000), Hlm. 10
Dari uraian tersebut, dengan Hakim menafsirkan bahwa perbuatan melanggar hukum
yang merugikan lingkungan, maka pertanggungjawaban Tergugat sebagai pemilik lahan
perkebunan dapat dituntut sesuai dengan prinsip tanggungjawab mutlak (strict liability).
Sehingga dapat dilihat adanya ketidaksesuaian konsep karena strict liability terlihat seperti
bagian dari gugatan Perbuatan Melawan Hukum dan Penggugat harus membuktikan
kesalahan tergugat, padahal strict liability bukanlah beban pembuktian terbalik.5 Disini
Hakim menyatakan bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Tergugat terbukti telah
melakukan Perbuatan Melawan Hukum dengan terbuktinya unsur-unsur kesengajaan.
Dimana, ketidaksesuaian konsep ini terlihat pada strict liability yang tidak harus terpenuhinya
unsur kesalahan dan pada perbuatan melawan hukum yang harus terpenuhinya unsur
kesalahan.6 Penulis beranggapan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Tergugat cenderung
bersifat Perbuatan Melawan Hukum. Sebab, tidak bisa dipungkiri bahwa berdasarkan
fakta-fakta hukum yang ditemukan selama di persidangan pada tingkat pertama hingga
tingkat kasasi, Tergugat memenuhi unsur kesalahan dan perbuatannya memang dilakukan
dengan kesengajaan.
3.3 Berikan kritik saudara atas didalilkannya unsur kesengajaan. Berikan pula
komentar saudara atas pertimbangan hakim mengenai kesengajaan/kelalaian.
Menteri Negara Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut sebagai Menteri LH atau
Penggugat, mendalilkan bahwa PT. Kallista Alam yang selanjutnya disebut sebagai PT
Kallista atau Tergugat telah dengan sengaja berdasarkan bukti SPK yang ditetapkan oleh
Tergugat memerintahkan pihak ke-2 atau Kontraktor untuk melakukan land
clearing(pembukaan lahan) dengan cara pembakaran lahan. Namun kemudian dalil yang
didasarkan pada bukti SPK ini dikesampingkan oleh Majelis Hakim(Majelis) dikarenakan
kata “pembakaran” dalam SPK tersebut merupakan kesalahan pengetikan dan bertolak
belakang dengan makna dari keseluruhan kalimat yang mengandungnya. Pendalilan
kesengajaan Tergugat berdasarkan SPK ini adalah dalil yang lemah dikarenakan hanya
menggunakan sepatah kata dari sebuah dokumen yang lebih besar sebagai dasar penafsiran
5
Andri G. Wibisana, Penegakkan Hukum Lingkungan Melalui Pertanggungjawaban Perdata, (Depok: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018), Hlm. 113.
6
Lihat Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1365
akan niat dari Tergugat dalam cara pembukaan lahan, yang dimana seperti pada kalimat
sebelumnya dan sesuai dengan pendapat Majelis hanya merupakan sebuah kesalahan ketik.
Unsur kesengajaan atau kelalaian didalilkan oleh Penggugat dalam rangka pemenuhan
unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang dimana PMH merupakan
gugatan/tuduhan pokok dari Penggugat. Namun pemenuhan unsur kesengajaan dalam perkara
sengketa lingkungan hidup(LH) ini tidak dilakukan dengan dasar dan pembuktian pada
umumnya yaitu oleh sang Penggugat, melainkan unsur kesengajaan dalam gugatan ini
seolah-olah lekat dalam strict liability yang dianut oleh UU no.32 Th.2009 tentang
Penyelamatan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup(UU PPLH). Sehingga dalam sengketa LH
antara Menteri LH dan PT Kallista terdapat asumsi bahwa untuk PMH mengenai LH dapat
diterapkan strict liability dengan akibat bahwa unsur kesengajaan atau kelalaian Tergugat
secara demi hukum telah terpenuhi/terbukti, sehingga hanya perlu pembuktian unsur lainnya
yaitu unsur: melawan hukum, adanya kerugian, hubungan kausalitas perbuatan dengan
kerugian. Namun perlu diketahui bahwa strict liability bukan merupakan bagian dari PMH
pada hakikatnya dan terdapat perbedaan fundamental dan konflik bila diterapkan asumsi yang
sebelumnya disebutkan, PMH timbul saat dapat di buktikannya bahwa Tergugat melakukan
perbuatan yang melawan hukum dan pada dasarnya merupakan perbuatan yang timbul karena
adanya kerugian yang ditimbulkan oleh tindakan yang secara sengaja atau lalai dilakukan
oleh Tergugat, sedangkan strict liability tidaklah peduli sama sekali akan tentang adanya
PMH yang dilakukan oleh Tergugat atau setidaknya unsur kesalahan secara subjektif yang
ada didalam PMH untuk menentukan pertanggungjawaban Tergugat7 sehingga selama
terjadinya penyimpangan dari standar peraturan perundang-undangan atau kerugian yang
timbul dalam ranah Tergugat yang bersifat strict liability maka Tergugat dapat dimintakan
pertanggungjawabannya. Berangkat dari pemaparan sebelumnya mengenai strict liability d an
PMH, seharusnya unsur kesengajaan tidak dikombinasikan dengan strict liability dalam
pendalilan Penggugat dikarenakan sifat PMH dan strict liability y ang berbeda secara hakikat
dan memiliki cara pembuktian yang berbeda serta sifat pertanggungjawaban yang berbeda.
Hakim dalam pertimbangan kesengajaan/kelalaian sepertinya lebih berkutat pada
pembuktian kesengajaan/kelalaian PMH secara umumnya diterapkan yaitu mencari kesalahan
secara subjektif oleh Tergugat, hal ini terlihat bahwa hakim secara teliti memeriksa
7
Andri Gunawan Wibisana,, Draft 2019 Buku Prinsip-prinsip Hukum Lingkungan, Depok:2019, hlm.
12.
bukti-bukti persidangan dan keterangan para saksi dan saksi ahli untuk menentukan
rangkaian yang sebenarnya terjadi di lapangan, yang dimana disimpulkan bahwa Tergugat
bersalah. Namun disisi lain hakim juga mengaitkan Tergugat bersalah atas
kesengajaan/kelalaiannya dengan pelanggaran terhadap ketentuan UU PPLH dan peraturan
perundang-undangan lainnya, yang dimana memiliki sifat strict liability sehingga
disimpulkan bahwa terdapat PMH.
3.4 Mengapa penggugat meminta agar hakim merujuk pada Putusan Mandalawangi?
Bagaimana pendapat hakim atas hal ini? Bagaimana pendapat anda?
Karena penggugat berpendapat bahwa dalam perkara Mandalawangi terdapat unsur
yang hampir serupa dengan perkara PT. Kallista Alam dalam perbuatan yang melawan
hukum. Unsur tersebut yaitu tidak adanya data hasil kajian ilmiah yang dapat
menggambarkan akibat yang timbul dari suatu kegiatan. Majelis Hakim memutus perkara PT.
Kallista Alam dengan mempertimbangkan rechtsvinding y ang dibuat oleh Majelis Hakim
yang memutus perkara Mandalawangi. Rechtsvinding t ersebut berupa penerapan prinsip
kehati-hatian (precautionary principle) terhadap pelaku usaha yang memanfaatkan
hutan/lahan untuk maksud melindungi lingkungan sebagaimana dalam putusan
Mandalawangi Nomor 1794K/Pdt/2004. Perlu diketahui bahwa precautionary principle dapat
diberlakukan apabila adanya ketidakpastian ilmu pengetahuan dalam memperkirakan dampak
lingkungan. Pertimbangan Majelis Hakim tingkat pertama pada halaman 101 dalam perkara
Mandalawangi menggunakan Precautionary Principle s ebagai pedoman, walaupun pada
saat putusan tersebut dibuat Precautionary Principle b elum menjadi hukum positif, tetapi
karena Indonesia sebagai anggota dalam konferensi Rio tanggal 12 Juni 1992 maka prinsip
ini dapat digunakan sebagai pedoman dan penguatan dalam mengisi kekosongan hukum
dalam praktik penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Kemudian dalam perkembangannya,
Precautionary Principle t ermaktub dalam pasal 2 huruf f UUPPLH 2009.
Dalam perkara PT Kallista Alam Majelis hakim menyebutkan pertimbangannya
bahwa permasalahan dalam gugatan ini adalah perbuatan melawan hukum.8 Kemudian,
hakim memberikan beban pembuktian kepada tergugat dalam hal ini Hakim menerapkan
precautionary principle.9 Pada perbuatan melawan hukum yang dilakukan yaitu melakukan
8
Putusan Mahakamah Agung No. 12/PDT.G/20120/PN.MBO, hlm. 169.
9
ibid., hlm 172.
pembakaran lahan gambut dan dengan tidak adanya upaya pencegahan dan tidak memiliki
sarana dan prasarana pencegahan yang memadai untuk peristiwa kebakaran hutan. Perbuatan
melawan hukum menurut Pasal 1365 KUHPerdata yaitu “Tiap perbuatan melanggar hukum
yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Menurut penulis dalam perkara ini, walaupun Hakim pemutus perkara PT Kallista
Alam memasukan rechtsvinding dalam putusan perkara Mandalawangi Nomor
1794K/Pdt/2004 sebagai pertimbangannya namun pada fakta dalam persidangan, Majelis
Hakim lebih menitikberatkan pada perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh PT
Kallista Alam. Walaupun begitu, kemudian beban pembuktian diberikan kepada penggugat
dalam hal ini yaitu PT Kallista Alam. Dengan demikian, precautionary principle telah
diimplementasikan. Implementasi Precautionary principle d alam penyelesaian perkara ini
pertanggungjawaban menjadi mutlak “strict liability” y ang kemudian mendorong munculnya
asas in dubio pro natura dimana Hakim harus memilih hukum yang paling menguntungkan
bagi lingkungan.
3.5 Berikan kritik anda terkait penggunaan dan penafsiran doktrin res ipsa loquitur
Pada banyak kasus, Penggugat memiliki sebuah tanggung jawab untuk
mengumpulkan dan dan membuktikan sebuah kejadian kepada Tergugat untuk mengukur
kemungkinan di antara keduanya, akan tetapi hal ini terkadang cukup sulit untuk dibuktikan
dan tidak sedikit kasus yang berujung untuk tidak dilanjutkan, akan tetapi dalam beberapa
kejadian, pengadilan sudah menyiapkan cara bahwa bila suatu kasus dibuktikan telah terjadi
kelalaian, maka terdakwa juga dapat menunjukkan bahwa tidak ada kelalaian dalam situasi
tersebut, dan inilah yang disebutkan sebagai res ipsa loqutoir (sebuah situasi akan berbicara
dengan sendirinya).10 Situasi inilah yang akan membuat sebuah permasalahan akan lebih
mudah bagi Penggugat. Dalam kasus Scott v London and St Katherine’s Docks (1865)
dikeluarkan sebuah unsur-unsur bahwa suatu kejadian akan cocok menggunakan res ipsa
loqutoir b ila:11
10
Vivienne Harpwood, Principle of Tort Law, 4th edition, ( London: Cavendish Publishing Limited,
2000), hlm 144-145
11
Ibid, hlm 144.
1. Sebuah kecelakaan yang terjadi merupakan kecelakaan yang tidak mudah
dijelaskan dan diketahui penyebab pastinya
Apabila terjadi sebuah kecelakaan, itu merupakan tugas dari Penggugat
untuk membuktikan kelalaian dari Tergugat, akan tetapi Penggugat berada
pada posisi yang tidak diuntungkan apabila sebuah penyebabnya tidak
diketahui dan adanya doktrin res ipsa loqutoir menempatkan tanggung jawab
pembuktian dan penjelasan kepada Tergugat. Maka apabila tidak ada yang
benar-benar tahu penyebab dari suatu kejadian, maka Tergugat-lah yang harus
diberikan tanggung jawab untuk memberikan penjelasan, karena merekalah
pihak yang bertanggung jawab dan memiliki pengetahuan untuk menolak
gugatan dari Penggugat.
2. Insiden tersebut tidak akan terjadi jika bukan karena kurangnnya perawatan
yang layak
Kasus-kasus yang menggambarkan kurangnya perawatan yang tepat
akan berbicara dengan sendirinya.
3. Terdakwa seharusnya dapat mengendalikan situasi
Jika terdakwa memiliki kendali atas suatu situasi, dan penuntut
memiliki sedikit atau ketidaktahuan tentang informasi kejadian, maka masuk
akal bila terdakwa harus dibuat untuk memberikan penjelasan, dan bahwa res
ipsa loquitur akan berlaku.
Maka dengan demikian apabila dikaitkan dengan kasus ini maka agar dapat
diterapkannya doktrin res ipsa loqutoir s ebuah kejadian harus memenuhi ketiga unsur tadi.
Pada unsur pertama haruslah sebuah kecelakaan yang terjadi merupakan kecelakaan yang
tidak mudah dijelaskan dan diketahui penyebab pastinya, akan tetapi di dalam gugatannya
Penggugat sudah dapat mengetahui penyebab sebuah kebakaran tersebut yaitu adalah dengan
tindakan yang sengaja dilakukan oleh Tergugat dengan mengeringkan wilayah lahan tersebut,
menaruh bahan bakar berupa log-log kayu, dan tidak terdapatnya prasarana pencegahan yang
memadai untuk memadamkan kebakaran. Maka dengan demikian unsur ini tidak terpenuhi.
Unsur kedua adalah insiden tersebut tidak akan terjadi apabila bukan karena
kurangnya perawatan yang layak. Pada kasus ini dijelaskan bahwa PT. Kallista Alam
memang tidak melakukan perawatan yang layak pada lahannya, ini terbukti bahwa memang
PT. Kallista Alam memang sengaja mengabaikan pengaturan mengenai pelarangan
pembakaran lahannya karena, lahan terbakar merupakan kawasan gambut yang dilindungi
(kawasan konservasi) karena ketebalan gambut mencapai lebih dari 3 (tiga) meter, dimana
yang terkena dampak berada pada kedalaman 20 – 30 centimeter. Sementara fakta lapangan
menunjukkan bahwa pada lahan gambut dengan bagian tunggak pohon hutan alam yang
kering, kedalaman gambut yang terbakar dapat mencapai lebih dari 50 centimeter, kemudian
areal lahan kebun kelapa sawit tidak dilengkapi dengan papan peringatan tentang larangan
penggunaan api, kelengkapan peralatan sebagai perlindungan dari ancaman bahaya kebakaran
baik pencegahan maupun pemadaman. Maka dengan demikian unsur ini tidak terpenuhi.
Unsur ketiga adalah bila terdakwa memiliki kendali atas suatu situasi, dan penuntut
memiliki sedikit atau ketidaktahuan tentang informasi kejadian, maka masuk akal bila
terdakwa harus dibuat untuk memberikan penjelasan, dan bahwa res ipsa loquitur akan
berlaku. Dan di dalam kasus ini, Penggugat, yaitu Menteri Lingkungan Hidup telah
mengetahui banyak informasi terkait pembakaran lahan yaitu lewat data hotspot (titik panas)
yang bersumber dari MODIS yang dikeluarkan oleh NASA untuk periode 1 Januari 2011
hingga 30 Desember 2011 dan periode Februari hingga Juni 2012 yang merekam persebaran
titik panas di Provinsi Aceh menunjukkan bahwa titik panas (indikasi peningkatan suhu di
permukaan)memang terlihat muncul di koordinat wilayah perkebunan yang dimiliki PT
Kallista Alam/Tergugat, keterangan saksi tentang pengeringan lahan dengan tidak dialirinya
air di wilayah yang terbakar, dan ditemukannya log-log kayu yang ditumpuk untuk
digunakan sebagai bahan bakar pembakaran lahan tersebut. Maka dengan demikian unsur ini
tidak terpenuhi.
Maka dengan demikian penggunaan doktrin res ipsa loqutoir o leh hakim telah terjadi
salah persepsi, karena pada pertimbangan hukumnya, hakim mengatakan bahwa dengan
terdapat fakta bahwa keberadaan lahan yang terbakar yang berada di wilayah Tergugat,
terdapat jejak-jejak kebakaran yang disebabkan oleh tindakan manusia, tidak adanya upaya
pencegahan serta tidak dimilikinya sarana dan prasarana pencegahan yang memadai sudah
menjadi bukti yang sumir atas kelalaian Tergugat berdasarkan doktrin ini, dan bahwa
menurut ajaran hukum ini, kelalaian tergugat dianggap telah terbukti dengan terpenuhinya
unsur pelanggaran terhadap kewajiban yang seharusnya atau sewajarnya dilakukan.
Sedangkan seharusnya doktrin tersebut baru dapat diberlakukan apabila Penggugat tidak
memiliki bukti yang cukup dari terjadinya suatu kejadian, Insiden tersebut tidak akan terjadi
jika bukan karena kurangnnya perawatan yang layak, dan terdakwa tidak dapat
mengendalikan situasi, maka dengan demikian berlakulah doktrin res ipsa loqutoir ini
diberlakukan untuk memberikan beban pembuktian tersebut kepada Tergugat atau PT.
Kallista Alam. Kemudian di pertimbangan hukumnya, lebih lanjut hakim juga menuliskan
bahwa doktrin ini dapat digunakan untuk menerapkan prinsip kehati-hatian dan memohon
agar dapat diterapkan doktrin ini sebagai interpretasi lebih lanjut dari prinsip kehati-hatian.
Padahal dua hal ini merupakan kedua hal yang berbeda.
Dengan demikian kelompok kami menyimpulkan bahwa hakim menjelaskan
seolah-olah doktrin res ipsa loqutoir sebagai sebuah dasar atau ajaran hukum untuk
membuktikan bahwa Tergugat telah lalai dalam melakukan pembakaran lahan tersebut dan
untuk interpretasi lebih lanjut dari prinsip kehati-hatian. Padahal seharusnya doktrin res ispa
loqutoir ditempatkan menjadi sebuah dasar agar Tergugat dapat memberikan penjelasan lebih
lanjut terkait kronologis apa yang telah terjadi karena ketiga unsur yang dijelaskan di atas tadi
tidak terpenuhi. Sehingga, hakim kurang tepat dalam mengimplementasikan penggunaan dan
penafsiran doktrin hukum res ipsa loqutoir ini.
3.6 Berikan kritik anda terkait penggunaan dan penafsiran precautionary principle
dalam kasus ini.
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang menjadi kewajiban negara,
pemerintah, dan seluruh elemen masyarakat menjadi hal penting sebagai upaya mencegah
terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Upaya tersebut dilakukan melalui tindakan
perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pengawasan, serta penegakan hukum. Pengelolaan
lingkungan hidup memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya serta perlu
dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan, desentralisasi, serta
pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal dan kearifan lingkungan, sehingga
lingkungan hidup Indonesia harus dilindungi dan dikelola dengan baik. Penerapan prinsip
kehati-hatian (precautionary principle) terhadap pelaku usaha yang memanfaatkan
hutan/lahan untuk maksud melindungi lingkungan sebagaimana dalam putusan
Mandalawangi Nomor 1794K/Pdt/2004. Perlu diketahui bahwa precautionary principle dapat
diberlakukan apabila adanya ketidakpastian ilmu pengetahuan dalam memperkirakan dampak
lingkungan. Pertimbangan Majelis Hakim tingkat pertama pada halaman 101 dalam perkara
Mandalawangi menggunakan Precautionary Principle s ebagai pedoman, walaupun pada saat
putusan tersebut dibuat Precautionary Principle belum menjadi hukum positif, tetapi karena
Indonesia sebagai anggota dalam konferensi Rio tanggal 12 Juni 1992 maka prinsip ini dapat
digunakan sebagai pedoman dan penguatan dalam mengisi kekosongan hukum dalam praktik
penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Kemudian dalam perkembangannya, Precautionary
Principle t ermaktub dalam pasal 2 huruf f UUPPLH 2009.
3.7 Berikan tanggapan Anda mengenai in dubio pro natura. Bagaimana konsep ini
terkait dengan precautionary principle (persamaan dan perbedaan)? Apakah
penerapan konsep in dubio pro natura dalam kasus ini tepat?
Konsep in dubio pro natura awalnya merupakan bagian dari prinsip
kehati-hatian (precautionary principle)12 yang dirumuskan dalam Deklarasi Rio. Asal
prinsip kehati-hatian ini dapat dipisahkan dalam 3 (tiga) kelas, yaitu:
1. Gagasan untuk berjaga-jaga secara umum;
2. Kode spesifik (non-litigasi ) pelaksanaan dan ide tindakan pencegahan, dan;
3. Dokumen resmi.13
Pandangan ini mencerminkan suatu pemahaman yang luas berkenaan dengan
prinsip kehati-hatian ini, tidak hanya terbatas pada masalah lingkungan dan kesehatan.
Kehati-hatian telah memainkan peran penting dalam tradisi di seluruh dunia, dimana hal ini
menuntun kita untuk tidak menyakiti sesuatu dengan tindakan kita. Selanjutnya, inti dari
prinsip kehati-hatian dipandang sebagai suatu aturan praktis untuk pengambilan keputusan
yang formal dan terbentuk menjadi asas hukum. Tujuan dari prinsip kehati-hatian adalah
perlindungan yang memadai untuk lingkungan, baik demi lingkungan itu sendiri maupun
untuk kebaikan umat manusia. Pernyataan klasik prinsip ke 15 dari Deklarasi Rio tahun
1992, misalnya, merancangkan penerapan prinsip yang secara luas oleh negara-negara
demi untuk melindungi lingkungan. Secara umum, prinsip kehati-hatian menuntut
adanya tindakan pada tahap awal sebagai respon terhadap ancaman bahaya lingkungan,
termasuk pada situasi ketidakpastian. Dengan menerapkan prinsip ini berarti memberi
manfaat dari keraguan pada lingkungan yakni di sebut in dubio pro natura. Jika ada
12
Marko Ahteensuu, In Dubio Pro Natura? A Philosophical Analysis of the Precautionary
Principle in Environmental and Health Risk Governance, Finland, University of Turku, 2008, hlm. 24.
Lihat juga Helmi, Hukum Lingkungan Dalam Negara Hukum Kesejahteraan Untuk Mewujudkan
Pembangunan Berkelanjutan. Inovatif: Jurnal Ilmu Hukum. Vol 4. No. 5, 2011.
13
Marko Ahteensuu. Op, cit, hlm. 25
kecurigaan kuat bahwa suatu kegiatan tertentu kemungkinan memiliki konsekuensi yang
berbahaya terhadap lingkungan, maka lebih baik bertindak sebelum terlambat daripada
menunggu sampai bukti ilmiah lengkap. Dengan kata lain, prinsip kehati-hatian
merupakan tindakan pencegahan.14 Manfaat yang diharapkan dari prinsip ini adalah
menghindari kemungkinan kerusakan yang makin parah.
Hakim pada kasus ini menerapkan prinsip kehati-hatian (precautionary principle)
yang berlandaskan Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Nomor 32 Tahun 2009 dan prinsip ke-15 dari Deklarasi Rio. Hal tersebut bisa disimpulkan
bahwa hakim lebih memihak kepada lingkungan hidup, Hakim Agung menyatakan
penggunaan precautionary principle t idak melanggar hukum jika sudah dianggap sebagai ius
cogen (diakui bangsa-bangsa beradab). Keberpihakan hakim atau pertimbangan hakim
demikian inilah yang kemudian secara lebih mendalam dikonsepsikan sebagai sebuah
pemikiran yang menepati asas in dubio pro natura. Konsepsi mengenai asas in dubio pro
natura sejatinya bersinggungan dengan asas in dubio pro reo bahwa ketika hakim mengalami
keragu-raguan mengenai suatu hal maka hakim menjatuhkan hukuman yang ringan terhadap
terdakwa tersebut namun demikian pada konteks lingkungan hidup asas in dubio pro reo
bertransformasi dari homo-centris ke eco-centris menjadi asas in dubio pro natura artinya
ketika hakim mengalami suatu keragu-raguan terhadap alat bukti yang ada maka hakim
mengedepankan perlindungan lingkungan dalam putusannya.
Putusan ini merupakan penerapan prinsip in dubio pro natura. Prinsip in dubio pro
natura adalah prinsip dalam kasus-kasus lingkungan hidup. Yaitu jika dihadapkan pada
ketidakpastian sebab akibat dan besaran ganti rugi, pengambil keputusan, baik dalam bidang
kekuasaan eksekutif maupun hakim dalam perkara-perkara perdata dan administrasi
lingkungan, haruslah memberikan pertimbangan atau penilaian yang mengutamakan
kepentingan perlindungan dan pemulihan lingkungan hidup. Kasus ini bermula saat hutan di
Rawa Tripa terbakar hebat pada 2012. Pemerintah bergerak dan menggugat PT Kallista Alam
selaku pemegang izin atas pembukaan sawit di atas lahan itu. PT Kallista Alam kemudian
dihukum me-recovery hutan dengan nilai denda Rp 366 miliar. Putusan itu diketuk oleh PN
Meulaboh, banding, kasasi, dan PK. PT Kallista Alam tidak habis akal. Mereka meminta
14
Jans, Jan H, European Environmental Law, Amsterdam: Europa InstitutUniversity of Amsterdam,
Ed. Ke-2, Oxford, England, 2000, diakses dari http://ssrn.com/abstract=2082895
permohonan perkara itu tidak bisa dieksekusi. Anehnya, PN Meulaboh mengabulkan dan
membatalkan putusan-putusan sebelumnya. KLHK tidak terima, lalu mengajukan banding
dan dikabulkan.
3.8 Berikan komentar anda terkait penghitungan kerugian.
Tanggung jawab hukum dalam KUHPerdata diatur dalam Pasal 1365, dimana
menurut Pasal 1365 KUHPerdata, tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian
kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut. Berdasarkan bunyi pasal tersebut, maka ditentukan bahwa si
pelaku perbuatan melawan hukum berkewajiban memberi ganti rugi kerugian pada seorang
penderita kerugian karena perbuatan hukum yang dilakukan orang tersebut.15
Dalam kasus ini, Majelis Hakim melalui Putusan Nomor 12/PDT.G/2012/PN.MBO
mengadili dalam pokok perkara dan menyatakan bahwa Tergugat telah melakukan Perbuatan
Melawan Hukum dan menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi materiil kepada
Penggugat melalui rekening Kas Negara serta menghukum Tergugat untuk melakukan
tindakan pemulihan lingkungan terhadap lahan yang terbakar dengan membayar biaya
pemulihan agar lahan dapat difungsikan kembali sebagaimana mestinya.
Untuk menetapkan besaran ganti kerugian yang harus dibayar oleh Tergugat akibat
Perbuatan Melawan Hukum, maka perlu diperhatikan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai hal tersebut secara khusus. Berdasarkan Pasal 90 ayat (1) UUPPLH,
instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup berwenang untuk
mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha yang menyebabkan
kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup. Pengaturan
lebih lanjut mengenai kerugian lingkungan hidup berdasarkan Pasal 90 ayat (2)
diatribusikan kepada Menteri yang bersangkutan untuk diatur dalam peraturan Menteri.
Atas dasar hal tersebut, maka dikeluarkanlah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2011 tentang Ganti Kerugian Akibat Pencemaran
dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup (“Permen LH Nomor 13 Tahun 2011”). Dalam
Pasal 2 Permen LH Nomor 13 Tahun 2011 dijelaskan mengenai tujuan Peraturan Menteri ini,
yaitu untuk memberikan pedoman bagi para pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa
lingkungan hidup untuk mencapai kesepakatan dalam melakukan perhitungan dan
15
Moegni Djodjodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1982), hlm 51.
pembayaran ganti kerugian akibat kerusakan lingkungan hidup. Berdasarkan tujuan ini, sudah
jelas bahwa untuk melakukan perhitungan ganti kerugian dalam kasus ini perlu
memerhatikan segala ketentuan dalam Permen LH Nomor 13 Tahun 2011.
Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Permen LH Nomor 13 Tahun 2011, perhitungan ganti
kerugian harus dilakukan oleh ahli yang memenuhi salah satu kriteria berikut:
a. Memiliki sertifikat kompetensi, atau
b. Telah melakukan penelitian ilmiah dan/atau berpengalaman di bidang pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup; dan/atau valuasi ekonomi lingkungan hidup.
Ayat (2) mengatur lebih lanjut bahwa dalam hal ahli yang dimaksud dalam ayat (1) hanya
memenuhi kriteria dalam huruf b, maka ahli yang melakukan perhitungan ganti kerugian
harus berdasarkan penunjukkan Menteri, gubernur, atau bupati/walikota.
Dalam putusan ini, diketahui bahwa yang menaksir perhitungan ganti kerugian yang
harus dibayar Tergugat adalah ahli Penggugat, yaitu Prof. DR. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.
AGR. Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim berpendapat bahwa ahli Penggugat telah
memenuhi ketentuan dalam Pasal 6 Permen LH Nomor 13 Tahun 2011 sehingga ahli tersebut
berwenang untuk melakukan ganti rugi (Vide hlm. 200). Namun disini tidak dijelaskan
apakah Prof. DR. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.AGR telah memenuhi kriteria ahli
berdasarkan Permen LH Nomor 13 Tahun 2011, dimana tidak dijelaskan apakah ia telah
memiliki Sertifikat Kompetensi atau telah melakukan penelitian ilmiah dan telah ditunjuk
oleh Menteri/Gubernur/Bupati/Walikota.
Mengenai besaran ganti rugi yang harus dibayar Tergugat, Majelis Hakim telah
menetapkan besaran ganti rugi berdasarkan dengan perhitungan kerugian yang telah
dilakukan oleh Prof. DR. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.AGR dengan mengacu pada Permen
LH Nomor 13 Tahun 2011 dalam Bukti P-7.1 yang pada intinya mengajukan beberapa jenis
kerugian dan biaya-biaya pemulihan, sebagai berikut:
1) Kerugian ekologis, yaitu kerugian yang ditimbulkan dengan hilangnya fungsi
penyimpan air akibat terbakarnya tanah gambut seluas 1000 hektar yaitu sebesar
Rp.63.500.000.000,00., (enam puluh tiga milyar lima ratus juta rupiah)
2) Untuk mengganti fungsi gambut yang rusak dibutuhkan pembangunan tempat
penyimpanan air buatan dengan cara membuat reservoir buatan. Untuk itu dibutuhkan
biaya-biaya sebagai berikut: biaya pembuatan reservoir, biaya pemeliharaan reservoir,
biaya pengaturan tata air, biaya pengendalian erosi, biaya pembentuk tanah, biaya
pendaur ulang unsur hara, biaya pengurai limbah.
3) Kerugian akibat hilangnya keanekargaman hayati untuk lahan yang rusak seluas 1000
ha dibutuhkan biaya Rp. 2.700.000.000,- (dua milyar tujuh ratus juta Rupiah)
4) Kerugian akibat hilangnya sumber daya genetik untuk lahan seluas 1000 ha
diperlukan biaya sebesar Rp. 410.000.000,- (empat ratus sepuluh juta Rupiah)
5) Kerugian akibat terlepasnya karbon ke udara dan biaya pemulihan perosot karbon
sebesar Rp. 1.215.000.000 (satu milyar dua ratus lima belas juta Rupiah) ditambah
dengan Rp 425.250.000 (empat ratus dua puluh lima juta dua ratus lima puluh ribu
Rupiah).
6) Kerugian ekonomis berupa hilangnya umur pakai yaitu sebesar Rp.
38.203.169.000,00 (tiga puluh delapan milyar dua ratus tiga juta seratus enam puluh
sembilan ribu Rupiah)
Berdasarkan uraian tersebut, maka total biaya yang harus dikeluarkan dalam mengganti
kerugian/kerusakan yang terjadi secara ekologis serta hilangnya keuntungan secara ekonomis
adalah : Rp.114.303.419.000,-.
Selain biaya-biaya akibat kerugian tersebut, terdapat biaya pemulihan yang harus
dibayar oleh Tergugat. Biaya pemulihan adalah biaya dalam rangka upaya memulihkan lahan
seluas 1000 ha yang rusak, yang terdiri dari biaya pembelian kompos, biaya angkut, biaya
penyebaran kompos, biaya pemulihan untuk mengaktifkan fungsi ekologis yang hilang,
dimana total seluruh biaya tersebut untuk memulihkan lahan seluas 1000 ha adalah sebesar
Rp. 251.765.250.000,- (dua ratus lima puluh satu milyar tujuh ratus enam puluh lima juta dua
ratus lima puluh ribu rupiah).
Dalam menentukan kerugian-kerugian lingkungan hidup yang harus dibayar oleh
Tergugat, maka perlu diperhatikan pengaturan tentang jenis-jenis kerugian akibat kerusakan
lingkungan hidup yang diatur dalam Pasal 5 Permen LH Nomor 13 Tahun 2011. Berdasarkan
pasal tersebut, kerugian lingkungan hidup meliputi:
a. Kerugian yang bersifat tetap
i. kerugian karena tidak dilaksanakannya kewajiban pengolahan air limbah,
emisi, dan/atau pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun;
ii. kerugian untuk pengganti biaya penanggulangan pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup serta pemulihan lingkungan hidup;
iii. kerugian untuk pengganti biaya verifikasi pengaduan, inventarisasi sengketa
lingkungan, dan biaya pengawasan pembayaran ganti kerugian dan
pelaksanaan tindakan tertentu;
iv. kerugian akibat hilangnya keanekaragaman hayati dan menurunnya fungsi
lingkungan hidup; dan/atau
b. Kerugian yang bersifat tidak tetap
i. kerugian masyarakat akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Jika dikaitkan antara perhitungan kerugian yang dilakukan oleh ahli Penggugat
dengan kerugian yang diatur dalam Pasal 5 Permen LH Nomor 13 Tahun 2011, dapat dilihat
bahwa kerugian-kerugian yang dirinci oleh ahli Penggugat dalam keterangannya merupakan
kerugian yang bersifat tetap yang bertujuan untuk mengganti biaya kerusakan lingkungan
hidup serta untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup. Dalam rincian ahli tersebut juga
dihitung mengenai kerugian akibat hilangnya keanekaragaman hayati. Sedangkan dapat
dilihat bahwa tidak diperhitungkan kerugian yang bersifat tidak tetap, yaitu kerugian
masyarakat akibat pencemaran.
Walaupun perhitungan kerugian sudah dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam
Permen LH Nomor 13 Tahun 2011, nyatanya Tergugat tetap mengajukan permohonan
banding, permohonan kasasi, dan permohonan peninjauan kembali. Dalam hal ini, Tergugat
merasa bahwa besaran ganti rugi yang ditetapkan dalam putusan pengadilan tingkat pertama
tidak adil dan memihak. Namun, setelah dilakukan pemeriksaan sampai dengan tingkat kasasi
dan telah dilakukan peninjauan kembali, dapat diketahui bahwa ahli yang melakukan
perhitungan kerugian merupakan ahli yang telah memenuhi Pasal 6 Permen LH Nomor 13
Tahun 2011 serta perhitungan yang dilakukan sudah mengacu pada jenis-jenis kerugian
dalam Pasal 5 dan tata cara perhitungan ganti kerugian dalam Pasal 7 Permen LH Nomor 13
Tahun 2011. Permen LH Nomor 13 Tahun 2011 sendiri dibuat oleh instansi pemerintah yang
berwenang dalam perumusan kebijakan dan koordinasi pelaksanaan lingkungan hidup dengan
melibatkan para ahli lingkungan hidup. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perhitungan
kerugian dalam kasus ini sudah tepat, karena telah dilakukan berdasarkan Permen LH Nomor
13 Tahun 2011.
BAB 4
Kesimpulan
Pembuktian unsur PMH oleh penggugat mengenai Unsur Melawan Hukum tergugat
berupa pembakaran lahan oleh PT. Kallista Alam yang menggunakan dasar hukum Pasal 69
ayat (1) huruf h UULH yang diperkuat dengan PP 4/2001 Pasal 11, Permen LH 10/2010
Pasal 3, serta Pasal 26 UU Perkebunan, dimana pembukaan lahan menggunakan cara
pembakaran itu melanggar norma undang-undang dan dapat dikualifiir sebagai PMH sebagai
mana dimaksud dalam PMH. Sedangkan oleh Tergugat membuktikan sebaliknya, dimana
menurut keterangan tergugat, penggugat tidak dapat menguraikan perbuatan mana saja yang
masuk kedalam unsur-unsur PMH serta penggugat tidak dapat merumuskan apakah perbuatan
yang didalilkan tersebut merupakan suatu kesengajaan atau kelalaian. Pendalilan penggugat
mengenai suatu kerusakan tidak dapat dibuktikan secara nyata menggunakan baku mutu
sehingga tergugat beranggapan bahwa dengan begitu tidak ada jatuh korban. Karena tidak
terbuktinya suatu perbuatan maka tidak terjadi suatu kerugian.
Dalam putusan dari tingkat pertama hingga kasasi, Hakim memiliki ketidaksesuaian
terhadap penafsiran antara strict liability dan perbuatan melawan hukum. Dimana pada kasus
ini Hakim menyatakan bahwa Tergugat memenuhi kualifikasi PMH dengan terbuktinya unsur
kesalahan, sementara dalam strict liability tidak perlu membuktikan unsur kesalahan. Hakim
juga menyebutkan bahwa dengan terbuktinya unsur kesengajaan dapat dimintakan
pertanggungjawaban mutlak, sementara dalam strict liability tidak ada beban pembuktian
terbalik. Adapun pendalilan kesengajaan memiliki dasar yang lemah, dan disisi lain masih
didalilkan dan dibuktikan dengan cara tradisional pembuktian unsur-unsur PMH. Padahal
seharusnya kesengajaan ini sama sekali tidak perlu dibuktikan karena UU PPLH dan
peraturan LH lainnya memiliki sifat Strict Liability, maka apabila terjadinya pelanggaran
peraturan yang terjadi dalam ranah kuasa Tergugat, secara otomatis Tergugat telah
melakukan PMH. Disisi lain, pertimbangan hakim sepertinya memiki asumsi bahwa Strict
Liability merupakan bagian dari PMH.
Ahli yang melakukan perhitungan kerugian merupakan ahli yang telah memenuhi
Pasal 6 Permen LH Nomor 13 Tahun 2011 serta perhitungan yang dilakukan sudah mengacu
pada jenis-jenis kerugian dalam Pasal 5 dan tata cara perhitungan ganti kerugian dalam Pasal
7 Permen LH Nomor 13 Tahun 2011, sehingga dapat disimpulkan bahwa perhitungan
kerugian dalam kasus ini sudah tepat. Saran dari penulis, oleh karena perhitungan kerugian
diserahkan sepenuhnya oleh Majelis Hakim kepada ahli, maka dalam putusan perlu
dijelaskan bahwa ahli disini telah memenuhi Pasal 6 Permen LH Nomor 13 Tahun 2011 atas
dasar sertifikat yang dimilikinya atau atas dasar penunjukkan oleh
Menteri/Gubernur/Walikota/Bupati, agar para pihak merasa yakin dengan kompetensi yang
dimiliki ahli tersebut telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.