Anda di halaman 1dari 31

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS PERKARA PT KALLISTA ALAM DALAM PUTUSAN NOMOR :


12/PDT.G/2012/PN.MBO

MATA KULIAH HUKUM LINGKUNGAN


KELAS PARALEL A

KELOMPOK 6
MOLLYNDA ARA SAFIA 1906318634
YUSTICA LABORA 1906318685
OLIVIA RACHEL A. S. 1906318722
SALSABILA WISRIANSYAH 1906318760
ZAHWA NAMORA SIREGAR 1906318792
AZRI ATHIRAH PUTERI G. 1906318930
SULTHAN ARIB FIDIANTO 1906319044
ERIKA LEONY 1906319100
RIZKYA KINANTI NASTITI 1906385720

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM SARJANA
DEPOK
NOVEMBER 2021
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pertanggungjawaban perdata pada dasarnya merupakan suatu upaya yang bertujuan


untuk memulihkan kerugian yang diderita oleh warga negara akibat adanya hak-hak yang
telah dilanggar. Secara teoritis, fungsi gugatan dan pertanggungjawaban dapat dilihat secara
ex ante (sebelum kerugian terjadi) dan ex post (setelah kerugian terjadi). Dimana,
berdasarkan ex ante maka gugatan dan pertanggungjawaban memiliki fungsi pencegahan,
sebab dengan adanya kemungkinan seseorang akan bertanggungjawab berdasarkan PMH atau
strict liability, maka seseorang cenderung akan berhati-hati dalam bertindak, sebaliknya bila
seseorang akan tidak bertanggunggung jawab atas perbuatannya, maka insentif untuk berhati-
hati akan berkurang.1

Selanjutnya apabila berdasar kepada ex post, maka gugatan dan pertanggungjawaban


berfungsi untuk (a) memberikan kesempatan bagi penyebab terjadinya kerugian untuk
bertanggungjawab kepada korban, (b) memberikan korban kesempatan untuk meminta
putusan pengadilan agar dilakukannya pemulihan oleh pencemar, (c) berfungsi sebagai
pengakuan dan kepuasan, bahwa dalam hal ini seseorang telah bersalah dan
bertanggungjawab atas suatu kerugian, dan (d) sebagai hukuman (punishment) khususnya
bagi perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan sehingga pada akhirnya akan
mengakibatkan efek jera.2

Pada dasarnya, pertanggungjawaban perdata dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun


2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, terdapat pada Pasal 87 dan
88 UU Nomor 32 Tahun 2009. Dimana dalam Pasal 87 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2009,
dinyatakan bahwa, setiap pelaku yang telah menyebabkan kerusakan lingkungan hidup
sehingga menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar
ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu. 3 Selanjutnya pada Pasal 88 UU Nomor 32

1 Andri. G. Wibisana, Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Pertanggungjawaban perdata (Depok:


BP FHUI, 2017), hal 1.
2 Ibid.
3 Indonesia, Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 32 Tahun 2009, LN No. 140
Tahun 2009, TLN No.5059, Ps. 87 ayat (1).
Tahun 2009, dinyatakan bahwa, setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau
kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang
menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup, tanpa perlu pembuktian unsur
kesalahan, maka ia bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi. 4 Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa dasar pertanggungjawaban perdata dalam sebuah gugatan adalah
PMH atau strict liability.

Adapun terkait dengan hukuman atau bentuk pertanggungjawaban yang dapat


diberikan dalam gugatan perdata, apabila mengacu kepada Pasal Pasal 87 ayat (1) UU Nomor
32 Tahun 2009 adalah ganti rugi dan atau tindakan tertentu. Lebih lanjut, terkait dengan
tindakan tertentu berdasarkan penjelasan Pasal 87 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2009,
merupakan tindakan yang dibebani oleh hakim terhadap pencemar dan/atau perusak
lingkungan hidup berupa misalnya perintah untuk (a) memasang atau memperbaiki unit
pengolahan limbah sehingga limbah sesuai dengan baku mutu lingkungan hidup yang
ditentukan, (b) memulihkan fungsi lingkungan hidup; dan/atau (c) menghilangkan atau
memusnahkan penyebab timbulnya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.5
Dengan demikian, maka tindakan pemerintah merupakan tindakan “pemulihan” dan
“penanggulangan” pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan
kerugian.

Oleh karenanya, pemberian hukum baik berupa ganti rugi dan atau tindakan hukum
tertentu untuk melakukan atau tidak melakukan kegiatan tertentu, selaras dengan pendapat
yang dikemukakan oleh Van Dam yang menyatakan bahwa sistem pertanggungjawaban
perdata hanya efektif apabila pertanggungjawaban tersebut memberikan obat (remedy) baik
dalam bentuk ganti rugi maupun perintah pengadilan (injunction) untuk melakukan atau tidak
melakukan perbuatan tertentu.6

Salah satu permasalahan terkait dengan pertanggungjawaban perdata di Indonesia


terkait lingkungan yang sering kita jumpai adalah terkait dengan kebakaran lahan. Hal ini
dikarenakan wilayah negara Republik Indonesia berada pada garis khatulistiwa, yang
menyebabkan Indonesia rawan untuk terkena kebakaran baik hutan maupun lahan. Makalah
dibawah ini, yaitu putusan Nomor: 12/ PDT.G/ 2012/ PN.MBO, akan membahas mengenai
4 Indonesia, Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 32 Tahun 2009, Ps 88
5 Indonesia, Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 32 Tahun 2009, Penjelasan
Pasal 87 ayat (1)
6 Andri. G. Wibisana, Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Pertanggungjawaban Perdata (Depok: BP FHUI,
2017), hal 2
penggugat dalam hal ini Menteri Negara Lingkungan Hidup, melawan PT. Kallista Alam
sebagai tergugat. Dimana kasus ini merupakan salah satu kasus dengan permasalahan utama
berupa kebakaran lahan yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan kerusakan tidak
hanya terhadap lingkungan hidup namun juga udara yang pada akhirnya menyebabkan
kerugian besar terhadap lingkungan. Dengan demikian, penyusunan makalah ini bertujuan
untuk menguraikan secara komprehensif, terkait dengan dasar kesalahan hingga
pertanggungjawaban PT. Kalista Alam sebagai tergugat, khususnya dalam
pertanggungjawaban perdata, disertai dengan dasar legislasi, teori dan doktrin yang memadai.

B. Identitas Para Pihak


a. Penggugat

Dalam putusan Nomor 12/ PDT.G/ 2012/ PN.MBO, penggugat merupakan Menteri
Negara Lingkungan Hidup selaku pejabat pemerintah yang bertanggungjawab di bidang
lingkungan hidup, berkedudukan di Jalan D.I Panjaitan Kav 24 Kebon Nanas Jakarta Tim.
Dalam hal ini telah diwakili oleh (1) Basrief Arief, selaku Jaksa Agung Republik Indonesia
yang berkedudukan di Jalan Sultan Hasanuddin Nomor 1, Kabupaten Kebayoran Baru Jakarta
Selatan berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 01/MEN LH/09/2012, (2) Fauzul Abrar, SH
dan Bobby Rahman, SH, LLM, selaku advokat yang berkedudukan di Menara Palma, Lantai
7 Jalan HR Rasuna Said Blok X-2 Kav 6 Jakarta Selatan 12950, (3) Cicilia Sulastri, SH, Msi
selaku asisten Deputi Bidang Penyelesaian Sengketa Lingkungan, Kementerian Lingkungan
Hidup Republik Indonesia, (4) Umar Sujudi, SH, MM, selaku Kepala Bidang Penyelesaian
Sengketa Lingkungan melalui Pengadilan Kementerian Lingkungan Hidup berdasarkan Surat
Kuasa Khusus Nomor : 02/MENLH/09/2012, (5) Johanis Tanale, SH, MH., selaku Jaksa
Pengacara Negara yang berkedudukan di Jl. Sultan Hasanuddin No. 1 kebayoran Baru Jakarta
Selatan Sultan Hasanudin No. 1, Kebayoran Baru Jakarta Selatan, (6) M.P Yusuf, SH Lamcot
Batoh, yang berkedudukan di Banda Aceh, (7) Cak Yaning Nuratik W, SH, MH., Tati Vaim
Sitanggang, SH, MH., Abdul Kadir, SH, MH., Abdul Mubin, ST, SH., Riyan Palasai, SH,
selaku Jaksa Pengacara Negara, yang berkedudukan di Jalan Sultan Hasanuudin No. 1
Kebayoran Baru Jakarta Selatan, (8) Askari, SH., selaku Jaksa Pengacara Negara yang
berkedudukan di Jalan dr. Mohammad Hasan Desa Lamcot Batah Banda Aceh, berdasarkan
Surat Kuasa Substitusi tanggal 11 Oktober 2012, dan (9) Syarifuddin, SH dan M. Zuhri
Hasibuan, SH, MH., berdasarkan Surat Kuasa Substitusi tanggal 14 November 2012.

b. Tergugat
Penggugat dalam hal ini melawan tergugat, yaitu PT. Kallista Alam, yang
berkedudukan di Jalan Gampong Kuala Seumayam Kecamatan Dahrul Makmur Kabupaten
Nagan Raya, Provinsi Aceh, dalam hal ini diwakili oleh Kuasanya DR. Luhut M. P.
Pangaribuan, SH, LLM., Firman Azuar Lubis ,SH., Irianto Subiakto, SH, LLM., dan Imelda
Napitupulu, SH. MH., Dimas Satrioprojo, SH., LLM., Alfian E,Sarumaha, SH., Reinhard S.C
Situmorang, SH., Rebecca F. Elizabeth, SH., Grabiel Lase, SH., Karisa Utami, SH., Andi
Mackulau, SH., berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 3 Desember 2012.

C. Kasus Posisi

1. Berdasarkan laporan “UKP4” yang diberikan kepada Penggugat, di nyatakan bahwa


terdapat titik panas yang ditandai dengan meningkatnya suhu permukaan bumi di
koordinat wilayah perkebunan milik PT Kallista Alam yang mengindikasikan terjadinya
kebakaran/dugaan pembakaran lahan di wilayah perkebunan tergugat seluas 1.605 hektar
yang berada dalam KEL (Kawasan Ekosistem Leuser).

2. Data dan informasi tersebut kemudian dijadikan landasan bagi Kementerian


Lingkungan Hidup (KLH), melalui Deputi V Penegakan dan Penaatan Hukum
Lingkungan, untuk membentuk dan menugaskan suatu tim lapangan untuk melakukan
pengamatan dan verifikasi lapangan (ground check) di lokasi titik-titik panas (hotspots)
tersebut terlihat, yaitu pada perkebunan tergugat yang berlokasi di Pulo Kruet dan Suak
Bahung, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh.

3. Bahwa dengan berita acara lapangan verifikasi tanggal 5 Mei 2012 dan 15 Juni 2012,
ditemukan fakta-fakta yang pada intinya antara lain, ditemukan tanda-tanda fisik telah
terjadi kebakaran, yaitu (1) terdapat log pohon bekas terbakar yang telah ditanami kelapa
sawit di Blok A-4, yang merupakan lokasi bekas lahan terbakar dan merupakan kawasan
gambut yang dilindungi (kawasan konservasi), (2) adanya log pohon bekas tebangan
hutan alam yang terbakar dan tersusun dalam rumpukan, (3) areal lahan kebun kelapa
sawit tidak dilengkapi dengan papan peringatan tentang larangan penggunaan api dan
peralatan (pencegahan maupun pemadaman) sebagai perlindungan dari ancaman bahaya
kebakaran, (4) ditemukan pola pengeringan air pada lahan gambut dengan sistem
bertingkat menggunakan saluran tersier (kanal), dan (5) adanya log-log bekas pohon yang
ditebang berjumlah sekitar 60 ton/hektar yang digunakan sebagai bahan bakar untuk
membakar atau membuat terbakar, pada Blok E.
4. Dengan berdasar kepada fakta-fakta berita acara lapangan verifikasi lapangan
tersebut, maka penggugat mendalilkan bahwa (1) telah terjadi kebakaran di lokasi
perkebunan milik tergugat (2) dengan sengaja membuka lahan dengan cara pembakaran
lahan atau setidak-tidaknya lalai mencegah dan menanggulangi terjadinya kebakaran
tersebut.

5. Dengan demikian, maka tergugat telah terbukti memiliki maksud untuk dengan
sengaja membuka lahan dengan cara membakar yang dengan demikian membuktikan
unsur kesengajaan atau setidak-tidaknya tergugat telah sengaja membiarkan lahannya
terbakar karena terbukti tidak dimilikinya sarana, prasarana, SOP dan petugas untuk
mencegah dan menanggulangi kebakaran sehingga tidak ada upaya-upaya pencegahan
dan penanggulangan kebakaran. Bahwa dengan demikian terdapat unsur perbuatan
melawan hukum yang didasarkan kepada prinsip tanggungjawab mutlak (strict liability)
sebagaimana diuraikan dalam Pasal 88 UU Nomor 32 Tahun 2009 dan tergugat dapat
dituntut ganti ruginya berdasarkan Pasal 90 UU Lingkungan Hidup dan Pasal 1365 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.

6. Bahwa akibat kebakaran lahan tersebut, timbul kerugian berupa kerusakan


lingkungan, sebab struktur tanah gambut menjadi rusak dan tidak bisa diperbaiki lagi,
sehingga keseimbangan ekosistem di lahan bekas terbakar tersebut terganggu. Selain itu,
pencemaran udara juga terjadi sebab selama pembakaran berlangsung telah dihasilkan
gas-gas rumah kaca yang terlepas ke udara.

7. Hal ini menimbulkan tanggung jawab tergugat untuk melakukan pemulihan lingkungan
hidup atas kerusakan tanah seluas 1000 ha, dengan parameter kerusakan ekologis, antara
lain, (1) biaya pembuatan reservoir, biaya pemeliharaan reservoir, pengaturan tata air,
pengendalian erosi, pembentuk tanah, pendaur ulang unsur hara, dan pengurai limbah.
Kemudian terkait dengan (2) kerugian hilangnya keanekaragaman hayati dan sumberdaya
genetika, yaitu biaya pemulihan keanekaragaman hayati dan biaya pemulihan sumberdaya
genetika. Selanjutnya terkait (3) kerugian akibat terlepasnya karbon ke udara (carbon
release), maka biaya yang dibutuhkan adalah biaya pengembalian karbon, perosot karbon
(carbon reduction). Kemudian terkait kerugian ekonomis yang meliputi hilangnya umur
pakai lahan akibat kebakaran. Terkait dengan biaya pemulihan tanah gambut seluas 1000
ha yang rusak, maka biaya yang dibutuhkan antara lain biaya pembelian kompos, biaya
angkut, biaya penyebaran kompos, dan biaya pemulihan. Dengan demikian, total kerugian
dalam bentuk biaya yang harus dikeluarkan untuk mengembalikan fungsi lahan gambut
seluas 1000 hektar seperti peruntukannya semula adalah sebesar Rp. 251.765.250.000,00

D. Kutipan Putusan

a. Dalam Provisi

Menyatakan gugatan provisi tidak dapat diterima

b. Dalam Ekesepsi

Menolak eksepsi tergugat untuk seluruhnya

c. Dalam Pokok Perkara


1. Mengabulkan gugatan Penggugat sebahagian
2. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang diletakkan di atas tanah, bangunan
dan tanaman di atasnya, setempat terletak di Desa Pulo Kruet, Alue Bateng Brok
Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Aceh Barat dengan Sertifikat Hak Guna Usaha
No. 27 dengan luas 5.769 (lima ribu tujuh ratus enam puluh sembilan hektar)
sebagaimana ternyata dalam Gambar Situasi No. 18/1998 tanggal 22 Januari 1998
yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Aceh Barat, berlokasi di
Kabupaten, Provinsi Aceh (dahulu Nanggroe Aceh Darussalam)
3. Menyatakan Tergugat telah melakukan Perbuatan Melanggar Hukum dan
menghukum tergugat membayar ganti rugi materiil secara tunai kepada penggugat
melalui rekening Kas Negara sebesar Rp. 114.303.419.000,00 (seratus empat belas
milyar tiga ratus tiga juta empat ratus sembilan belas ribu rupiah)
4. Memerintahkan Tergugat untuk tidak menanam di lahan gambut yang telah terbakar
seluas kurang lebih 1000 hektar yang berada di dalam wilayah Izin Usaha berdasarkan
Surat Izin Gubernur Aceh tanggal 25 Agustus 2011 / 25 Ra Ramadhan 1432 H no.
525/BP2T/5322/2011 seluas 1.605 hektar yang terletak di Desa Pulo Kruet
Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh untuk usaha
budidaya perkebunan kelapa sawit ;
5. Menghukum Tergugat untuk melakukan tindakan pemulihan lingkungan terhadap
lahan yang terbakar seluas kurang lebih 1000 hektar dengan biaya sebesar Rp.
251.765.250.000,00 (dua ratus lima puluh satu milyar tujuh ratus enam puluh lima
juta dua ratus lima puluh ribu rupiah) sehingga lahan dapat difungsikan kembali
sebagaimana mestinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
6. Menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp.
5.000.000,00 (lima juta Rupiah) per hari atas keterlambatan dalam melaksanakan
putusan dalam perkara ini
7. Menghukum Tergugat untuk membayar ongkos perkara yang timbul dalam perkara
ini sejumlah Rp. 10.946.000,- (Sepuluh juta sembilan ratus empat puluh enam ribu
rupiah ) ;
8. Menolak gugatan Penggugat selebihnya.

E. Rumusan Masalah

1. Bagaimana para pihak mengartikan serta membuktikan unsur-unsur PMH dan Strict
liability?
2. Bagaimana hakim (PN, PT, dan MA) menafsirkan strict liability?
3. Bagaimana kritik atas didalilkannya unsur kesengajaan, beserta komentar atas
pertimbangan hakim mengenai kesengajaan/kelalaian.
4. Mengapa penggugat meminta agar hakim merujuk pada Putusan Mandalawangi?
Bagaimana pendapat hakim atas hal ini?
5. Bagaimana kritik terkait penggunaan dan penafsiran doktrin res ipsa loquitur.
6. Bagaimana kritik terkait penggunaan dan penafsiran precautionary principle dalam
kasus ini.
7. Bagaimanakah prinsip in dubio pro natura dalam kasus ini. Bagaimana kaitannya
dengan konsep precautionary principle (persamaan dan perbedaan)? Apakah
penerapan konsep in dubio pro natura dalam kasus ini tepat
BAB II
ANALISIS KASUS

A. Bagaimana para pihak mengartikan serta membuktikan unsur-unsur PMH dan


Strict liability?
Perbuatan Melawan Hukum atau PMH diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata,
yang menjelaskan bahwa “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa
kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Secara umum, dalam
pertanggungjawaban perdata dapat diberlakukan dengan dua cara, berdasarkan
perbuatan melawan hukum (PMH) dan berdasarkan strict liability.7 Menurut
Hoffman, untuk menentukan adanya suatu perbuatan melawan hukum terdapat empat
unsur yang harus dibuktikan secara kumulatif, dengan kata lain harus dibuktikan
secara keseluruhan, yakni (1) adanya suatu perbuatan, (2) melawan hukum, (3)
adanya suatu kesalahan, (4) adanya suatu kerugian. 8 Dalam adanya suatu kesalahan,
harus memenuhi beberapa syarat yaitu terdapat unsur kesengajaan atau unsur
kelalaian (culpa) dan tidak adanya alasan pembenar atau pemaaf.
Pada kasus ini, Penggugat dalam melakukan pembuktian unsur perbuatan
melawan hukum berdasarkan pada peraturan perundang-undangan, bukti SPK, foto
keadaan lapangan, keterangan saksi serta keterangan ahli. Unsur melawan hukum
tersebut menggunakan dasar hukum pada Pasal 69 ayat 1 huruf h UU PPLH yang
diperkuat dengan Pasal 11 PP Nomor 4 Tahun 2001, Pasal 3 Permen LH No 10 tahun
2010 dan Pasal 26 Undang-Undang Perkebunan dimana pembukaan lahan dengan
cara pembakaran tersebut merupakan pelanggaran norma undang-undang serta dapat
dikualifisir sebagai perbuatan melawan hukum.
Unsur kesengajaan yang dilakukan Tergugat adalah melakukan pembakaran
lahan. Selain itu, Penggugat mendalilkan bahwa Tergugat telah melakukan kelalaian
dalam pencegahan penanggulan kebakaran. Dalam hal ini, Penggugat memberikan
bukti SPK. Dalam unsur kerugian, Penggugat memberikan dalil bahwa dengan adanya
pembakaran lahan tersebut maka akan menimbulkan kerugian terhadap lingkungan.

7 Andri G. Wibisana, Hukum Lingkungan Teori, Legislasi dan Studi Kasus, hlm. 582.
8 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007.
Hlm. 8
Pada Strict Liability, tanggung jawab muncul dengan tanpa adanya suatu
kesalahan atau biasa dikenal sebagai liability without fault. Pada Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur mengenai
Strict Liability. Selain itu, pada Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, menjelaskan bahwa
“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3,
menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman
serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang
terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan”. Dalam hal ini, Penggugat harus
membuktikan mengenai kerugian apa saja yang diderita.
Menurut Penggugat, Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum
yang berkaitan dengan lingkungan. Sehingga Tergugat dapat dituntut untuk
melakukan pertanggungjawaban dengan prinsip Strict Liability. Hal ini dikarenakan
akibat dari usahanya tersebut telah menimbulkan suatu ancaman serius terhadap
lingkungan. Selain itu, Tergugat juga memiliki kewajiban untuk memiliki sarana dan
prasarana dalam penanggulangan kebakaran yang memadai. Namun, Tergugat tidak
melakukan upaya dalam menanggulangi kebakaran tersebut.
Namun, Tergugat kemudian membuktikan bahwa kebakaran tersebut bukan
disebabkan oleh Tergugat tetapi dikarenakan oleh perusahaan lain yang ada di areal
dekat dengan perkebunan milik Tergugat. Lebih lanjut Tergugat membuktikan bahwa
perusahaannya telah mengikuti peraturan yang ada dalam perundang-undangan,
sehingga PT Kalista Alam tidak pernah membuka lahan dengan melakukan
pembakaran.
Penggugat dalam mendalilkan suatu kerusakan tidak dapat dibuktikan secara
nyata menggunakan baku mutu. Menurut Tergugat, dalam hal tersebut maka tidak ada
jatuh korban karena perbuatan tersebut tidak dapat dibuktikan. Sehingga tidak adanya
suatu kerugian. Sehingga dalam hal ini, Tergugat beranggapan bahwa Penggugat
tidak dapat menguraikan perbuatan mana saja yang termasuk dalam perbuatan
melawan hukum. Selain itu juga Penggugat tidak bisa merumuskan bahwa perbuatan
yang didalilkan tersebut merupakan tindakan suatu kesengajaan atau kelalaian.

B. Bagaimana hakim (PN, PT, dan MA) menafsirkan strict liability? `


Strict Liability atau dalam Bahasa Indonesia disebut dengan istilah "tanggung
jawab mutlak” adalah salah satu bentuk pertanggungjawaban perdata. Strict liability
dalam peraturan yang berlaku di Indonesia diatur dalam Pasal 88 Undang-Undang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Pasal tersebut
mengatur bahwa:
“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya
menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau
yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung
jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur
kesalahan.”9
Jika diartikan, seseorang yang melanggar ketentuan dalam Pasal tersebut dapat
tetap bertanggung jawab atas kerugian tanpa perlu membuktikan adanya unsur
kesalahan. Hal tersebut tentunya kontra dengan unsur-unsur pada Perbuatan Melawan
Hukum (PMH) yang diatur di dalam Pasal 1356 Kitab Undang-Undang Perdata
(KUHPer), yaitu adanya suatu perbuatan; perbuatan tersebut melawan hukum; adanya
kesalahan dari pihak pelaku; adanya kerugian bagi korban; dan adanya hubungan
kausal antara perbuatan dengan kerugian10. Dengan adanya perbedaan unsur antara
Strict Liability dan PMH, maka strict liability diartikan sebagai bentuk
pertanggungjawaban yang tidak saja menghilangkan unsur kesalahan subjektif (mens
rea), tetapi juga kesalahan secara objektif (melawan hukum) 11. Menurut The
Restatement of Torts, orang atau badan hukum yang “melakukan kegiatan yang
dikategorikan berbahaya (abnormally dangerous)” akan tetap bertanggung jawab atas
kerugian yang diakibatkan oleh kegiatan tersebut, walaupun orang atau badan hukum
tersebut sudah sangat berhati-hati untuk dapat mencegah terjadinya kerugian12.
Dalam hal Putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor
12/PDT.G/2012/PN.MBO, Penggugat menyatakan bahwa dari perbuatan Tergugat
yang mengakibatkan dampak kerusakan lingkungan yang besar, Tergugat dapat
dimintai pertanggungjawaban atas dasar strict liability. Kemudian, menanggapi
Penggugat, Tergugat mengajukan eksepsi yang menyatakan bahwa penggabungan
kesengajaan dan kelalaian dalam satu gugatan menyebabkan gugatan tersebut kabur
(obscuur libel)13. Dari hal tersebut, Hakim dalam pertimbangan hukumnya
9 Indonesia, Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 32 Tahun
2009, LN No. 140 Tahun 2009, TLN No. 5059, Ps. 88 dan Penjelasan Ps. 88.
10 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, terjemahan Subekti, Ps. 13655 (nnt gue bnrin)
11 Vernon Palmer, “a General Theory of the Inner Structure of Strict Liability: Common Law, Civil
Law, and Comparative Law”, Tulane Law Review, Vol. 62 (1988), hlm. 1305.
12 William K. Jones, “Strict Liability for Hazardous Enterprise”, Columbia Law Review, Vol. 92,
1705-1779 (1992), hlm. 1705.
13 Putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor 12/PDT.G/2012/PN.MBO, hlm. 25 dan 59.
menimbang bahwa dengan adanya penggabungan kesengajaan dan kelalaian dalam
satu gugatan tidak menyebabkan gugatan tersebut kabur karena kelalaian dan
kesengajaan merupakan bagian dari perbuatan melawan hukum disamping itu tidak
ada ketentuan yang membatasi penggabungan14. Dengan begitu, Hakim beranggapan
bahwa eksepsi yang diajukan Tergugat tersebut tidak beralasan hukum dan harus
dikesampingkan. Dapat dilihat dari pertimbangan Hakim tersebut bahwa Hakim tetap
mengacu pada unsur-unsur dari PMH dan dalam pertimbangannya tidak mengacu
kepada Pasal 88 UU PPLH sebagaimana yang diajukan oleh Penggugat. Lebih lanjut,
dari pertimbangan Hakim juga diputuskan bahwa Hakim mengadili Tergugat terbukti
melanggar hukum dengan mengacu pada Pasal 1365 KUHPerdata15.
Dari pertimbangan Hakim dan amar putusannya, dapat diartikan bahwa Hakim
masih menggunakan Pasal 1365 KUHPer sebagai dasar hukum dari perbuatan
Tergugat dan masih beranggapan bahwa ada unsur kesalahan yang harus dibuktikan.
Sebagaimana yang sebelumnya dijelaskan juga bahwa Hakim tidak mengacu pada
Pasal 88 UU PPLH dalam mengadili Tergugat. Oleh karena itu, hakim dalam putusan
tingkat pertama di Pengadilan Negeri Meulaboh ini memberikan penafsiran bahwa
strict liability adalah bagian dari perbuatan melawan hukum sebagaimana yang diatur
di dalam Pasal 1365 KUHPer dan bukan Pasal 88 UU PPLH. Hakim juga tidak
mempertimbangkan konsep strict liability yang merupakan pertanggungjawaban
perdata yang berdiri sendiri dan tidak perlunya ada pembuktian unsur kesalahan
subjektif sebagaimana dalam suatu tindakan perbuatan melawan hukum. Dengan
demikian, pertimbangan Hakim yang tentang unsur kesalahan yang tidak perlu
dibuktikan dalam strict liability di Putusan tingkat pertama ini, bertentangan dengan
Pasal 88 UU PPLH sehingga pertimbangan Hakim ini menjadi multitafsir.
Kemudian, melihat dari Putusan Banding Nomor 50/PDT/2014/PT.BNA yang
diajukan oleh PT. Kalista Alam sebagai Penggugat dan Menteri Negara Lingkungan
Hidup Republik Indonesia sebagai Tergugat. Pada halaman 15 Putusan tersebut
menyatakan bahwa menurut Penggugat, Tergugat dapat dituntut dengan prinsip
tanggung jawab mutlak (strict liability) sesuai dengan UU PPLH 16. Kemudian, pada
halaman 55 Hakim menimbang bahwa terhadap perkara perusakan lingkungan sesuai
ketentuan Pasal 88 UU PPLH juga mengatur pertanggungjawaban mutlak (Strict

14 Ibid., hlm. 168.


15 Ibid., hlm. 231.
16 Putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh Nomor 50 / PDT / 2014 / PT.BNA, hlm. 15.
Liability), yaitu unsur kesalahan tidak harus dibuktikan oleh Terbanding/Penggugat
sebagai dasar pembayaran tetapi dibebankan kepada Pembanding/Tergugat untuk
membuktikan tidak adanya perbuatan melawan hukum.
Mengenai kutipan pertimbangan hakim tersebut, dapat dilihat bahwa Hakim
pada dasarnya mengacu sepenuhnya kepada UU PPLH, yaitu Pasal 2 dan Pasal 88, di
mana sistem pertanggungjawaban perdata berdasarkan kesalahan dan ganti kerugian
akan diberikan sepanjang kerusakan dapat dibuktikan berasal dari perbuatan melawan
hukum. Selain itu, dapat dilihat juga bahwa unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan
oleh Terbanding/Penggugat terkait Strict Liability. Namun, di sini Hakim juga
berpendapat bahwa Pembanding/Tergugat tetap dibebankan untuk membuktikan tidak
adanya perbuatan melawan hukum. Perlu diingat bahwa Strict Liability bukanlah
beban pembuktian terbalik, tetapi beban pertanggungjawaban pelaku. 17 Dengan
demikian, konsep Strict Liability dalam putusan banding ini abu-abu.
Selanjutnya, dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 651 K/Pdt/2015,
Hakim menafsirkan Strict Liability sebagai bentuk pertanggungjawaban dalam
perbuatan melawan hukum atas kerusakan lingkungan yang menimbulkan ancaman
serius bagi lingkungan. Mengacu kepada hal tersebut, maka pertanggungjawaban
Tergugat sebagai pemilik lahan dari perkebunan dapat dituntut sesuai dengan prinsip
Strict Liability. Jika diperhatikan, maka Hakim dalam hal ini seperti memasukkan
Strict Liability sebagai bagian dari Perbuatan Melawan Hukum serta Penggugat harus
membuktikan adanya kesalahan dari Tergugat, padahal dalam Strict Liability tidak
berlaku beban pembuktian terbalik. Ketidaksesuaian konsep terlihat dari penafsiran
Hakim bahwa Tergugat terbukti telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum dengan
terbuktinya unsur kesengajaan, di mana seharusnya Strict Liability tidak harus
terpenuhinya unsur kesalahan.

C. Berikan kritik saudara atas didalilkannya unsur kesengajaan. Berikan pula


komentar saudara atas pertimbangan hakim mengenai kesengajaan/kelalaian.
Pada Pasal 1365 KUHPerdata, menjelaskan bahwa “Tiap Perbuatan
Melanggar Hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang

17 Andri G. Wibisana, Penegakkan Hukum Lingkungan Melalui Pertanggungjawaban Perdata, (Depok: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018), hlm. 113.
yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Beberapa unsur perbuatan melawan hukum diantaranya:18
a. Harus ada yang melakukan perbuatan
b. Perbuatan itu harus melawan hukum
c. Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian pada orang lain
d. Perbuatan itu karena kesalahan yang dapat dicelakakan kepadanya
Suatu tindakan yang mengandung unsur kesalahan dapat dimintakan
pertanggungjawaban secara hukum jika terdapat unsur kelalaian (culpa) atau tidak
adanya alasan pembenar atau pemaaf (rechtvaardigingsgrond). Unsur kesalahan pada
perbuatan melawan hukum berkaitan dengan unsur kesengajaan. Sehingga unsur
kesengajaan harus dibuktikan dalam hal pembuktian perbuatan melawan hukum.
Pada kasus PT Kalista Alam, terdapat beberapa hal yang dapat dikritik atas
didalilkannya unsur kesengajaan. Penggugat, dalam hal ini adalah Menteri
Lingkungan Hidup, mendalilkan bahwa Tergugat, yaitu PT Kalista Alam, telah
memerintahkan ke pihak kedua atau kontraktor dengan sengaja untuk melakukan
pembukaan lahan. Pembukaan lahan tersebut dilakukan dengan cara pembakaran
lahan. Hal ini didasarkan dengan bukti SPK yang kemudian bukti tersebut
dikesampingkan oleh Majelis Hakim karena kata “pembakaran” dalam SPK tersebut
merupakan kesalahan dalam pengetikan. Selain itu juga bertolak belakang dengan
pengertian atau makna atas keseluruhan kalimat yang mengandungnya. Dalil ini
merupakan dalil yang lemah dalam kesengajaan Tergugat. Hal ini dikarenakan hanya
menggunakan sepatah kata yang dijadikan sebagai dasar penafsiran dari niat Tergugat
dalam melakukan pembukaan lahan dimana menurut Majelis Hakim merupakan
kesalahan dalam pengetikan.
Penggugat berpendapat bahwa Tergugat telah melakukan unsur kesengajaan
dalam melakukan pembakaran untuk pembukaan lahan. Hal ini dibuktikan dengan
SPK. Dalam hal ini, Penggugat berpendapat bahwa terdapat kausalitas pada terjadi
kebakaran tersebut dengan maksud untuk melakukan pembukaan lahan. Dimana Pada
Pasal 1365 KUHPerdata, perbuatan tersebut dapat dikualifisir sebagai perbuatan
melanggar hukum. Selain itu, Penggugat juga memberikan beberapa bukti lain yang
menyatakan bahwa Tergugat telah membiarkan lahan yang terbakar tersebut yang
kemudian menyebabkan timbulnya kerugian. Penggugat juga menggugat dengan dalil

18 Shidarta, Mengungkit Kembali Konsep Dasar “Perbuatan Melawan Hukum”, https://business-


law.binus.ac.id/2015/01/27/mengungkit-kembali-konsep-dasar-perbuatan-melawan-hukum/
Strict Liability yang merujuk pada Pasal 88 UU PPLH. Namun, Tergugat berpendapat
bahwa Penggugat tidak dapat merumuskan apakah perbuatan yang dilakukan
Tergugat merupakan unsur kesengajaan atau kelalaian sehingga gugatan tersebut
kabur. Dalam hal ini, Majelis Hakim tidak menyetujui anggapan gugatan kabur.
Majelis Hakim merumuskan bahwa perbuatan Tergugat merupakan bagian dari
perbuatan melawan hukum.
Pada kasus tersebut, Penggugat sudah benar dalam melakukan pembuktian
atas salahnya perbuatan Tergugat dan Tergugat telah melakukan unsur kesengajaan.
Namun, perbuatan melawan hukum dan Strict Liability tidak dapat disatukan.
Sehingga, tidak perlu melakukan pembuktian atas kesalahan pada Tergugat. Majelis
Hakim dalam menjatuhkan putusan juga harus mempertimbangkan mengenai bukti-
bukti yang terkait. Dalam mempertimbangkan unsur kesengajaan atau kelalaian,
Majelis Hakim dengan melihat kesalahan Tergugat secara subjektif. Majelis Hakim
juga telah memeriksa seluruh bukti serta keterangan saksi dan ahli dimana telah
terbukti bahwa Tergugat bersalah. Majelis Hakim menyimpulkan bahwa terdapat
perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Tergugat dengan mengaitkan unsur
kesengajaan atau kelalaian atas pelanggaran yang dilakukan tersebut.

D. Mengapa penggugat meminta agar hakim merujuk pada Putusan


Mandalawangi? Bagaimana pendapat hakim atas hal ini? Bagaimana pendapat
anda?
Penggugat dalam surat gugatannya mendalilkan bahwa Mahkamah Agung
Republik Indonesia telah menerapkan rechtsvinding dalam putusan Mandalawangi
Nomor 1794K/Pdt/2004. Putusan ini didasari dari adanya Gugatan Perbuatan
Melawan Hukum atas terjadinya longsor Gunung Mandalawangi yang merugikan
penduduk sekitar dengan hancurnya pemukiman penduduk di sekitar titik longsor.
Penerapan rechtsvinding ini ditandai dengan adanya penerapan prinsip kehati-hatian
terhadap pelaku usaha yang memanfaatkan hutan/lahan dengan tujuan untuk
melindungi lingkungan.19 Penggugat dalam kasus PT Kallista Alam pun memohon
agar Majelis Hakim yang terhormat untuk mengacu pada putusan tersebut.
Penggugat memohon agar Majelis Hakim mengacu putusan Mandalawangi
sebab Penggugat bertujuan agar Majelis Hakim menerapkan Prinsip Kehati-hatian
(Precautionary Principle) pada kasus ini. Precautionary Principle merupakan salah
19 Putusan Mahkamah Agung No. 12/PDT.G/20120/PN.MBO, hlm. 33.
satu dari lima prinsip utama yang merupakan hasil dari United Nations Conference on
Environment and Development (UNCED). Prinsip ini mengandung arti bahwa bila
terdapat ancaman yang berarti atau ancaman adanya kerusakan lingkungan yang tidak
dapat dipulihkan (irreversible), tidak adanya temuan atau pembuktian ilmiah yang
konklusif dan pasti, tidak dapat menjadi alasan untuk menunda upaya-upaya
pencegahan kerusakan lingkungan.20 Prinsip ini pada dasarnya belum tercantum dalam
UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup pada saat kasus
Mandalawangi berjalan, namun kini prinsip tersebut telah terkandung dalam Pasal 2
huruf f UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Dalam Perkara Mandalawangi, penerapan Precautionary Principle dilakukan
sebab Indonesia merupakan bagian dari Konferensi Rio tahun 1992.
Dalam Perkara Mandalawangi, penerapan Precautionary Principle mengubah
penerapan liability based on fault menjadi liability without fault.21 Dengan begitu
maka dalam Perkara Mandalawangi telah diterapkan Strict Liability/
Pertanggungjawaban hukum Mutlak, ketimbang dengan pembuktian unsur-unsur
Perbuatan Melawan Hukum. Perkara Mandalawangi pun telah membuka jalan bagi
penerapan Strict Liability dalam pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup di
Indonesia.22 Sementara dalam Perkara PT Kallista Alam, tidak dapat ditemukan
pertimbangan Majelis Hakim yang secara eksplisit mempertimbangkan Precautionary
Principle, ataupun Putusan Mandalawangi Nomor 1794K/Pdt/2004.
Kami berpendapat bahwa dalam Pertimbangan Hakim dalam Perkara PT
Kallista Alam lebih menekankan pada pembuktian Perbuatan Melawan Hukum. Hal
ini tercermin dalam hal-hal yang harus dibuktikan Penggugat pada putusan halaman
172, khususnya pada bagian “Apakah benar membuka lahan secara membakar
merupakan perbuatan melawan hukum”.23 Bahwa dalam pertimbangan hukum,
Majelis Hakim menilai bahwa Tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum
dengan melakukan pembakaran lahan yang mengakibatkan pencemaran dan
kerusakan lingkungan.24 Sehingga dapat diketahui bahwa dalam Perkara PT Kallista
Alam, Majelis Hakim tidak menerapkan Strict Liability, sebagaimana dilakukan
dalam Perkara Mandalawangi. Penggunaan unsur pembuktian perbuatan melawan
20 Mas Achmad Santosa, Alam pun Butuh Hukum dan Keadilan, (Jakarta : Prima Pustaka, 2016), hlm. 6-7.
21 Andri G. Wibisana, “The many faces of strict liability in Indonesia’s wildfire litigation,” Review of
European, Comparative & International Environmental Law, 2019, hlm. 9.
22 Ibid, hlm. 10.
23 Putusan Mahkamah Agung No. 12/PDT.G/20120/PN.MBO, hlm. 172.
24 Ibid, hlm. 206.
hukum ketimbang strict liability oleh Hakim dalam putusan ini pun dapat dipahami
dengan merujuk jurnal yang berjudul “Negligence under the Netherlands Civil Code:
An Economic Analysist” yang menyatakan bahwa: “The important distinction
between negligence liability and strict liability is that negligence liability requires an
assessment as to whether the defendant acted wrongfully, that is, contrary to what
was required of him or her, while strict liability does not require this inquiry”. 25 Pada
intinya yang membedakan antara kelalaian dan strict liability adalah dalam
pertanggungjawaban atas kelalaian diperlukan pembuktian unsur kesalahan dari
tergugat sedangkan dalam pertanggungjawaban strict liability tidak perlu.
Dikarenakan Hakim dapat melihat jelas unsur kesalahan yang terdapat pada tergugat
maka dipilihlah penerapan pembuktian perbuatan melawan hukum pada kasus ini.
Dalam hal pembakaran lahan, penerapan Strict Liability merupakan prinsip
yang efektif dalam menjamin adanya pertanggungjawaban atas hal tersebut.26
Merujuk pada putusan, bahwa peristiwa pembakaran lahan dalam Perkara PT Kallista
Alam telah menimbulkan banyak kerugian ekonomi dan kerugian ekologis yang
nyata. Atas hal tersebut, seharusnya PT Kallista Alam diberikan tanggung jawab
mutlak sebagaimana Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, seperti halnya dalam Perkara Mandalawangi.
Penerapan dari tanggung jawab mutlak ini pun mencerminkan prinsip Kehati-hatian
yang lebih mengutamakan kepentingan lingkungan hidup.

E. Berikan kritik anda terkait penggunaan dan penafsiran doktrin res ipsa
loquitur.
Pembuktian merupakan tahapan yang cukup penting dalam suatu pemeriksaan
perkara karena pada proses inilah akan diperiksa setiap dalil dari penggugat dan
tergugat untuk menentukan akhir dari putusan tersebut. Dalam perkara perdata pada
umumnya, penggugat berusaha membuktikan bahwa tergugat telah melakukan
kesalahan. Penggugat memiliki beban tersebut karena penggugatlah yang merasa
kepentingannya terganggu sehingga harus membuktikan kesalahan tergugat. Namun,
dalam beberapa kasus, pembuktian yang demikian tidak dapat diterapkan. Pembuktian
yang dilakukan justru dengan membebani tergugat untuk membuktikan bahwa dirinya

25 Elizabeth van Schilgaarde,”Negligence under the Netherlands Civil Code: And Economic Analysist”,
California Western International Law Journal, Vol.21 (1991), hlm, 269.
26 William K. Jones, “Strict Liability for Hazardous Enterprise,” Columbia Law Review,Vol. 927 (November
1992), hlm. 1732-1733.
tidak bersalah. Pembuktian ini merupakan pembuktian terbalik atau yang dikenal
dengan doktrin res ipsa loquitur.
Secara harfiah, res ipsa loquitur berarti fakta berbicara sendiri.27 Doktrin ini
merupakan pembuktian terbalik unsur kesalahan atau praduga bersalah. 28 Penggugat
tidak dibebani kewajiban untuk membuktikan bahwa tergugat telah melakukan
kesalahan. Yang dibebani pembuktian adalah tergugat. Tergugat harus dapat
membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah dan apabila ia berhasil membuktikan hal
tersebut maka tergugat akan lepas dari pertanggungjawaban.
Menurut Goldberg dan Zipursky, res ipsa loquitur merupakan suatu praduga
bahwa tergugat telah melakukan pelanggaran hukum, hal ini terlihat dari adanya
kerugian yang timbul. Dari pernyataan tersebut, dapat dimaknai bahwa dengan adanya
kerugian yang timbul maka kesalahan dari tergugat diasumsikan sudah ada, sehingga
tergugatlah yang dibebani untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah.
Dalam putusan ini, penggugat menggunakan doktrin res ipsa loquitur dalam
dalilnya. Penggugat menyatakan bahwa kelalaian tergugat sudah terbukti dengan
adanya fakta-fakta yang menyatakan adanya tindakan-tindakan yang dilakukan
manusia dan tidak adanya sarana prasarana pencegahan kebakaran, yang kemudian
menyebabkan adanya kebakaran pada wilayah usaha tergugat.
Menurut Harpwood, terdapat beberapa syarat untuk menerapkan doktrin res
ipsa loquitur, yakni:29
1. Kerugiannya haruslah kerugian yang sulit dibuktikan penyebabnya;
2. Kerugian hanya akan terjadi karena kurangnya kehati-hatian;
3. Tergugat haruslah orang yang sepenuhnya memiliki kontrol atas situasi yang
terjadi.
Agar doktrin res ipsa loquitur dapat digunakan maka ketiga unsur diatas
haruslah terpenuhi. Merujuk pada unsur pertama, dalam kasus Menteri LHK vs PT
Kallista Alam, penyebab dari kebakaran lahan yang terjadi pada lahan tergugat sudah
diketahui penyebabnya. Dalam putusan disebutkan bahwa tergugat sengaja membuka
lahan untuk membuka lahan perkebunan kelapa sawit dengan cara membakar. Hal
tersebut membuktikan bahwa penyebab terjadinya kebakaran di lahan usaha tergugat

27 Andri. G. Wibisana, Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Pertanggungjawaban perdata (Depok:


BP FHUI, 2017), hlm 130.
28 Ibid., hal 124.
29 Vivienne Harpwood, Principle of Tort Law, 4th edition, (London: Cavendish Publishing Limited,
2000), hlm 144.
sudah diketahui, yaitu adanya tindakan penebangan pohon dibuktikan dengan adanya
log-log bekas pohon yang ditebang. Log-log bekas pohon tersebut kemudian disusun
dan ditumpuk, kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari dan dapat menjadi
bahan bakar. Dengan adanya penyebab yang diketahui dan tidak sulit untuk
dibuktikan maka unsur ini tidak terpenuhi.
Pada unsur kedua, disebutkan bahwa kerugian hanya akan terjadi jika kurang
kehati-hatian. Dalam kasus ini, tergugat tidak memasang papan peringatan tentang
larangan penggunaan api dan tidak memiliki sarana prasarana kebakaran yang
lengkap. Disebutkan bahwa terdapat log-log bekas pohon yang kemudian ditumpuk
dan dibiarkan di bawah terik matahari untuk dijadikan sebagai bahan bakar supaya
lahannya dapat terbakar. Fakta tersebut membuktikan bahwa sebenarnya tergugat
sengaja membiarkan lahannya terbakar dengan tujuan membuka lahan perkebunan
kelapa sawit. Tidak ada yang hal yang membuktikan bahwa tergugat kurang hati-hati
dalam mencegah kebakaran ini karena dengan tidak dilengkapinya sarana prasarana
sudah membuktikan bahwa tergugat tidak berniat untuk mencegah kebakaran itu
terjadi. Dengan demikian maka unsur kedua juga tidak terpenuhi.
Pada unsur ketiga, disebutkan bahwa tergugat adalah orang yang memiliki
kontrol atas situasi yang terjadi. Dalam kasus ini, tergugat tidak memasang papan
peringatan dan tidak menyiapkan sarana pengendali kebakaran padahal seharusnya
tergugat dapat melakukan hal tersebut sebagai bentuk pencegahan ataupun
penanggulangan kebakaran. Tindakan tersebut dapat dilakukan oleh tergugat karena
tergugat merupakan penanggung jawab usaha perkebunan tersebut. Dalam PP Nomor
4 Tahun 2001 Pasal 12 sampai Pasal 14 secara jelas disebutkan bahwa penanggung
jawab usaha wajib mencegah terjadinya kebakaran atau pencemaran dengan
menyediakan sarana prasarana yang mendukung. Apabila tergugat menyediakan
sarana prasarana pengendali kebakaran maka dapat meminimalisir dampak kebakaran,
namun hal tersebut tidak dilakukan tergugat karena tujuan tergugat sebenarnya adalah
ingin membakar lahan tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sebenarnya
tergugat memiliki kontrol atau kendali atas terjadinya kebakaran di wilayah usahanya
tersebut sehingga unsur ini terpenuhi.
Setelah menelaah satu persatu unsur yang harus dipenuhi untuk
memberlakukan doktrin res ipsa loquitur menurut Harpwood, seperti yang telah
diuraikan di atas, dapat dikatakan bahwa penggunaan dan penafsiran doktrin res ipsa
loquitur dalam gugatan ini kurang tepat karena terdapat unsur yang tidak terpenuhi.
F. Berikan kritik anda terkait penggunaan dan penafsiran precautionary principle
dalam kasus ini.
Precautionary principle merupakan salah satu prinsip hukum internasional,
dan kemudian dirumuskan dalam preamble dalam banyak perjanjian internasional.
Prinsip ini pada dasarnya berkembang seiring dengan perkembangan teknologi yang
sangat pesat, yang tidak dipungkiri, seringkali perkembangan teknologi ini membawa
dampak negatif (berbahaya) yang tidak terduga bagi kesehatan masyarakat dan
lingkungan. Beberapa contoh adanya potensi bahaya dari perkembangan teknologi
antara lain dalam hal mengkonsumsi makanan hasil rekayasa genetik, penggunaan
hormon pertumbuhan dalam pemeliharaan ternak, skandal darah terkontaminasi virus
HIV yang terjadi di Perancis, serta klaim kesehatan terkait dengan adanya kandungan
phthalates pada PVC (polyvinyl chloride) mainan anak- anak. Mencermati akan
adanya potensi bahaya terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan secara luas
yang mungkin ditimbulkan dari perkembangan teknologi dan kegiatan manusia
sebagaimana disebutkan di atas, maka dibutuhkan sikap kehati-hatian bagi para
perumus kebijakan publik. Sikap kehati-hatian ini bukan dipahami sebagai
ketidakmauan untuk bertindak atau kurangnya keberanian untuk menghadapi
tantangan baru, namun sebaliknya, sikap kehati- hatian bagi para perumus kebijakan
publik diperlukan untuk membuat keputusan yang tepat mengenai suatu produk atau
kegiatan khusus di mana di dalamnya terdapat kecurigaan bahwa produk atau
kegiatan tersebut mengandung potensi bahaya bagi masyarakat luas namun di waktu
yang sama bahaya tersebut belum dimengerti karena belum adanya bukti-bukti ilmiah.
Secara umum, precautionary principle dapat diartikan sebagai suatu prinsip tindakan
kehati-hatian yang dilakukan sebelum timbulnya dampak. Bukan perkara yang mudah
untuk memberikan definisi precautionary principle yang berlaku universal dan
bermakna lebih dari “take care” 30 ataupun “better safe than sorry”.31
Pertama kalinya precautionary principle dirumuskan dalam peraturan
perundang-undangan adalah ketika prinsip ini dimasukkan dalam Program
Perlindungan Lingkungan Jerman Tahun 1971 (the German Program of
Environmental Protection of 1971), dengan istilah “vorsorge”. Program ini
menghasilkan berbagi macam peraturan perundang-undangan terkait perlindungan

30 Christopher, D. Stone,” International Environment law 2001”.


31 Frank Cross. “ Environment Law 1996”. Hlm 851.
lingkungan di Jerman, dan precautionary principle menjadi salah satu prinsip yang
digunakan di dalam serangkaian peraturan tersebut. “Vorsorge” berarti “foresight”
(pandangan yang jauh ke depan), sementara “vorsorgeprinzip” artinya “foresight
principle” (prinsip mengenai pandangan jauh ke depan). Konsep awal precautionary
principle di Jerman ini memberi pengertian bahwa masyarakat harus berusaha untuk
menghindari kerusakan lingkungan melalui “sikap hati-hati” dalam hal perencanaan
yang bersifat “looking forward”, dan menghalangi aktivitas yang memiliki potensi
bahaya.
Precautionary principle ini juga merupakan salah satu prinsip yang diadopsi
dalam Deklarasi Rio 1992. Isi mengenai ketentuan prinsip tersebut yaitu: “Untuk
melindungi lingkungan hidup, pendekatan keberhati-hatian harus diterapkan
oleh negara-negara. Jika terdapat ancaman serius atau sungguh-sungguh atau
kerugian yang tidak terpulihkan, ketiadaan kepastian ilmiah tidak bisa dijadikan
alasan untuk tidak membuat putusan yang mencegah penurunan kualitas
lingkungan hidup”. Precautionary principle saat ini pun telah diadopsi dalam
Perundang-Undangan di Indonesia yang terdapat pada Pasal 2 huruf f UU PPLH
yang menyatakan: “Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan
berdasarkan asas kehati-hatian”.32 Dengan begitu dapat dipahami bahwa precautionary
principle ini merupakan suatu prinsip pendekatan kehati-hatian dalam upaya
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang diterapkan jika terdapat
ketidakpastian akan terjadinya suatu ancaman terhadap lingkungan. Maka dari
itu, precautionary principle ini diterapkan jika terdapat “ketidakpastian” akan
dampak terhadap lingkungan.33
Pada kasus PT Kallista Alam diketahui bahwa bukti-bukti seperti log bekas
yang terbakar dan telah ditanami kelapa sawit. Lalu, bukti P-13 dan P-20 mengenai
verifikasi lapangan yang membuktikan bahwa lahan yang bersangkutan tidak
dilengkapi dengan peringatan larangan penggunaan api serta tidak adanya peralatan
kelengkapan guna mencegah terjadinya kebakaran ataupun upaya pemadaman apabila
terdapat api. Dengan melihat beberapa bukti yang disebutkan sebelumnya serta bukti
lainnya yang terdapat dalam putusan layak diduga bahwa PT Kallista Alam sengaja
32 Indonesia, Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No.23 Tahun 1997, LN No.68
Tahun 1997, TLN, No. 3699

33 Arya Rema Mubarak, “Conflict of Interest antara Usaha Perlindungan Lingkungan Hidup dengan
Kemudahan Berinvestasi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018,” Jurnal Hukum Lingkungan
Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019 (April 2019), hlm. 288.
membiarkan kebakaran tersebut terjadi guna menekan biaya dalam pembukaan lahan
perkebunan mereka.
Menurut hemat kami penggunaan dan penafsiran precautionary principle
pada perkara PT Kalista Alam ini kurang tepat karena pada dasarnya
precautionary principle baru diterapkan apabila terdapat ketidakpastian ilmiah atas
ancaman kerusakan yang akan terjadi. Sedangkan dalam kasus ini, terdapat kepastian
akan kerusakan lingkungan, yaitu kepastian akan terjadinya suatu kebakaran.
Disebarnya log-log kering di atas lahan, serta tidak adanya peringatan tentang
larangan penggunaan api di lahan yang bersangkutan, dan tidak disediakannya
peralatan guna mencegah terjadinya kebakaran maupun memadamkan. Oleh karena
itu terdapat kepastian dalam hal tersebut.
Dengan begitu menurut Kami penggunaan preventive principle pada kasus ini
lebih cocok diterapkan ketimbang precautionary principle. Hal ini dikarenakan
preventive principle digunakan dalam mencegah kerusakan yang pasti terjadi,
seperti kebakaran lahan akibat log-log kering yang disebar di atas lahan. Terdapat
perbedaan dari penerapan preventive principle dengan precautionary principle yaitu,
precautionary principle dilakukan pada bahaya yang belum pasti ada sedangkan
preventive principle dilakukan pada bahaya yang sudah pasti. 34 Dengan demikian,
pada seharusnya Penggugat dalam perkara ini menggunakan argumen preventive
principle dalam menjelaskan kelalaian PT Kalista Alam karena terdapat kepastian
ancaman kerusakan berupa kebakaran karena PT Kalista Alam tidak
menyediakan sarana prasarana pencegahan kebakaran.

G. Berikan tanggapan Anda mengenai in dubio pro natura. Bagaimana konsep ini
terkait dengan precautionary principle (persamaan dan perbedaan)? Apakah
penerapan konsep in dubio pro natura dalam kasus ini tepat?
Berdasarkan Oxford Reference, pada dasarnya arti dari In Dubio Pro Natura
adalah “when in doubt, in favor of nature”, apabila diterjemahkan maka artinya adalah
ketika mengalami keraguan, dukunglah alam. Penerapan asas tersebut ditekankan
pada seorang hakim, yang mana ketika hakim mengalami keraguan terkait bukti
dalam suatu perkara lingkungan, maka hakim mengedepankan perlindungan
lingkungan itu sendiri dalam mempertimbangkan putusannya.35 Hal ini dapat dilihat
pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 651 K/PDT/2015 yang dalam
34 Ibid
pertimbangannya menyatakan bahwa “pada ketidakpastian sebab akibat dan besaran
ganti rugi, maka pengambil keputusan, baik dalam bidang kekuasaan eksekutif
maupun hakim dalam perkara-perkara perdata dan administrasi lingkungan hidup
haruslah memberikan pertimbangan atau penilaian yang mengutamakan kepentingan
perlindungan dan pemulihan lingkungan hidup.”36 Sehingga, singkatnya dapat
diketahui bahwa In Dubio Pro Natura adalah asas yang mengedepankan perlindungan
lingkungan.
Pada praktiknya, tentu tidak semua hakim memiliki pemikiran yang merata
terkait penerapan asas In Dubio Pro Natura. Di Indonesia, interpretasi hakim yang
berorientasi pada lingkungan hidup, maupun yang memiliki kompetensi di bidang
lingkungan masih minim.37 Padahal, perubahan paradigma dari homo-centris ke eco-
centris menjadi penting dalam menangani kasus lingkungan hidup.38 Sehingga,
menurut kami, sudah seharusnya asas In Dubio Pro Natura diterapkan oleh hakim
apabila memang terdapat keraguan dalam memutus. Sebab, hal ini harus berkaca
kembali pada tujuan dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu diantaranya adalah menjamin
pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi
manusia serta mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup.
Atas hal tersebut, diharapkan komitmen dan kesadaran atas perlindungan serta
pengelolaan lingkungan hidup dapat terwujud dengan baik sebagaimana yang dicita-
citakan Indonesia.
Pada dasarnya asas In Dubio Pro Natura merupakan bagian dari prinsip
kehati-hatian (precautionary principle) yang dirumuskan dalam Deklarasi Rio.39
Konsep mengenai prinsip kehati-hatian ini telah dikenal lama oleh peradaban
manusia. Suatu konsep yang tidak memberikan suatu makna yang pasti terhadap
pencegahan karena pedoman mengenai ini telah ditemukan sejak lama dalam tradisi
Penduduk Asli Eurasia, Afrika, Amerika, Oceania, dan Australia. 40 Precautionary

35 Wahyu Risaldi, Mujibussalim, M.Gaussyah. Penerapan Asas In Dubio Pro Natura Dan In Dubio
Pro Reo Oleh Hakim Perkara Lingkungan Hidup. “Kanun Jurnal Ilmu Hukum”, Vol.20, No.3, 2018, hlm. 9.
36 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 651 K/PDT/2015, hlm. 72.
37 Rochmani dan Safik Faozi, “Kompetensi Hakim dalam Penanganan Perkara-Perkara Lingkungan Hidup di
Pengadilan”, Prosiding Seminar Nasional Multi DIsiplin Ilmu, hlm. 381.
38 Meda Desi Kartikasari, “Menelisik Akar Pemikiran Asas In Dubio Pro Natura dalam Penegakan Hukum”,
Skripsi, 2019, hlm. 14.
39 Marko Ahteensuu, “In Dubio Pro Natura? A Philosophical Analysis of the Precautionary Principle in
Environmental and Health Risk Governance”, (Finland: University of Turku, 2008), hlm. 24.
40 P.H Martin, "If You Don't Know How to Fix it, Please Stop Breaking it!" The Precautionary Principle and
Climate Change, Italy, Foundations of Science, 1997.
principle mencerminkan pemikiran mengenai tindakan sebelum kerugian terjadi dan
sebelum bukti ilmiah konklusif di dapatkan. Hal tersebut dapat dipahami bahwa
dalam menunggu adanya bukti ilmiah konklusif dan bukti mengenai tingkat risiko
yang pasti seseorang harus tetap mencegah terjadinya pengrusakan pada lingkungan. 41
Tujuan dari prinsip kehatian-hatian ini tidak lain untuk memberikan perlindungan
yang memadai baik bagi lingkungan maupun untuk kebaikan manusia. Seperti yang
dikonsepkan dalam Deklarasi Rio tahun 1992 mengenai prinsip kehati-hatian
(precautionary principle), prinsip ini menuntut adanya tindakan pada tahap awal
sebagai respon terhadap ancaman bahaya lingkungan termasuk dalam kondisi tidak
pasti. Prinsip kehati-hatian (precautionary principle) menghendaki adanya
pertimbangan lingkungan dalam setiap pengambilan keputusan atau kebijakan terkait
pemanfaatan dan pengelolaan lingkungan hidup. Maka dapat dipetik bahwa prinsip
precautionary principle telah menurunkan asas in dubio pro natura, apabila terjadi
ketidakpastian ilmiah mengenai bukti ancaman kerusakan lingkungan hakim harus
mengambil keputusan yang menguntungkan lingkungan hidup.
Diantara precautionary principle dengan asas in dubio pro natura terdapat
persamaan yang mana apabila terdapat ketidakpastian atau keraguan dalam terjadinya
suatu kasus pengrusakan lingkungan tidak dapat dijadikan alasan untuk menunda
upaya pemulihan atau pencegahan pengrusakan lingkungan. Namun pemakaian dua
konsep ini juga terdapat sedikit perbedaan dalam segi konteks ruang lingkup.
Precautionary principle atau prinsip kehati-hatian digunakan dalam konteks apabila
dalam kegiatan pengelolaan atau pemanfaatan lingkungan terjadi suatu ketidakpastian
mengenai dampak lingkungan yang akan timbul atau guna mencegah suatu hal
menjadi menjadi bertambah buruk. Sedangkan asas in dubio pro natura diterapkan
ketika terjadi suatu kasus pengrusakan lingkungan dan pemilih kebijakan hukum ragu
dalam menerapkan hukumnya, maka asas ini mengedepankan untuk lebih
mendahulukan kepentingan lingkungan, jangan sampai karena adanya keraguan
dalam pemilihan hukum oleh hakim pelaku pengrusak lingkungan dapat lolos dan
kembali melakukan tindakannya. Saat ini penerapan asas in dubio pro natura
merupakan asas utama yang menjadi karakteristik dalam proses beracara di
pengadilan terkait sengketa lingkungan hidup. Penerapan asas ini nyatanya cukup

41 M.W.A Schefer, The Precautionary and Prevention Principles, (Leiden: The Vanvollenhoven Institute,
1996). Hlm. 1-5.
membawa perubahan yang mana sebelumnya dalam perkara-perkara lingkungan
hidup tergugat seringkali lolos dari tuntutan ganti rugi karena hakim ketika
menghadapi keraguan selalu mengimplementasikan asas in dubio pro reo. Akan tetapi
seiring terjadi perubahan paradigma dari homo-centris ke eco-centris maka dalam
peradilan lingkungan hidup asas in dubio pro reo berganti menjadi asas in dubio pro
natura.
Penerapan asas in dubio pro natura dalam kasus ini menurut Kami belum
tepat. Hal tersebut didasarkan pada konsep dasar dari asas in dubio pro natura itu
sendiri yang mana menentukan apabila terjadi keraguan dalam penerapan hukumnya
maka terapkanlah yang menguntungkan bagi alam. Pada kasus PT Kallista Alam
sejatinya bukti mengenai unsur kesalahan yang dilakukan oleh perusahaan tersebut
sudah jelas yaitu adanya intensi kesengajaan untuk membakar lahan guna pembukaan
lahan dengan cara membakar. Maka terhadap tindakannya tersebut PT Kallista Alam
telah melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365
KUHPerdata. Dalam putusan nomor 12/PDT.G/2012/PN.MBO Hakim juga
memutuskan tergugat dengan rumusan pasal tersebut. Dengan begitu pada dasarnya
tidak terjadi keraguan bagi Hakim dalam menerapkan hukum mana yang tepat dalam
menyelesaikan perkara kasus PT Kallista Alam. Sebab, seyogyanya asas in dubio pro
natura digunakan apabila adanya ketidakpastian hukum, yaitu ketidakpastian yang
berupa adanya dua hukum yang dapat digunakan kemudian hakim memilih hukum
yang sesuai digunakan untuk kepentingan lingkungan. 42 Oleh karena itu menurut
hemat kami penerapan asas in dubio pro natura dalam kasus ini tidak tepat.

42 Bella Anastasia Pratiwi, “Analisa Terhadap Penerapan Asas In Dubio Pro Natura Dalam Perkara
Lingkungan Hidup Putusan Mahkamah Agung No.651K/PDT/2015,” (Skripsi Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Jakarta, 2017), hlm.18.
BAB III
KESIMPULAN

1. Penggugat melakukan pembuktian unsur PMH didasarkan pada peraturan perundang-


undangan, bukti SPK, foto keadaan lapangan, keterangan saksi dan keterangan ahli.
Penggugat melakukan pembukaan lahan dengan cara pembakaran merupakan
pelanggaran norma undang-undang dan dapat dikualifisir sebagai perbuatan melawan
hukum. Hal ini didasarkan pada Pasal 69 ayat 1 huruf h UU PPLH yang diperkuat
dengan Pasal 11 PP No 4 Tahun 2001, Pasal 3 Permen LH No 10 Tahun 2010 dan
Pasal 26 UU Perkebunan. Sedangkan, Tergugat berpendapat bahwa kebakaran
tersebut bukan disebabkan oleh Tergugat melainkan oleh perusahaan lain yang
dengan dengan areal perkebunan Tergugat. Selain itu, Tergugat juga berpendapat
bahwa Penggugat tidak dapat menguraikan perbuatan mana saja yang termasuk dalam
perbuatan melawan hukum dan Penggugat tidak dapat merumuskan bahwa perbuatan
yang didalilkan tersebut merupakan tindakan suatu kesengajaan atau kelalaian.
2. Dapat dilihat dari pertimbangan hakim pada putusan PN, PT, dan MA bahwa
ketiganya masih menginterpretasikan strict liability tidak sesuai konsepnya
sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 88 UU PPLH. Hakim masih sering
mencampur antara konsep strict liability dan konsep perbuatan melawan hukum,
padahal di antaranya memiliki perbedaan yang sangat signifikan, yakni pada
pembuktian unsur kesalahannya. Oleh karena itu, pertimbangan hakim tentang strict
liability pada ketiga putusan masih belum sesuai dengan konsep strict liability.
3. Penggugat sudah benar dalam melakukan pembuktian atas salahnya perbuatan
Tergugat dan Tergugat telah melakukan unsur kesengajaan. Majelis Hakim dalam
menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan mengenai bukti-bukti yang terkait.
Dalam mempertimbangkan unsur kesengajaan atau kelalaian, Majelis Hakim harus
melihat kesalahan Tergugat secara Subjektif. Majelis Hakim juga telah memeriksa
seluruh bukti serta keterangan saksi dan ahli dimana telah terbukti bahwa Tergugat
bersalah. Majelis Hakim menyimpulkan bahwa terdapat perbuatan melawan hukum
yang dilakukan oleh Tergugat dengan mengaitkan unsur kesengajaan atau kelalaian
atas pelanggaran yang dilakukan tersebut.
4. Bahwa dalam Perkara PT Kallista Alam, tidak dipertimbangkan secara eksplisit
penerapan Precautionary Principle, sebagaimana diterapkan dalam Perkara
Mandalawangi. Atas penerapan prinsip tersebut, dalam Perkara Mandalawangi telah
diterapkan Strict Liability, sementara dalam Perkara PT Kallista Alam, kami
berpendapat bahwa Majelis Hakim lebih menekankan pembuktian unsur Perbuatan
Melanggar Hukum, tidak menerapkan pertanggungjawaban mutlak.
5. Sementara itu, mengenai doktrin res ipsa loquitur, dapat dilihat dengan merujuk pada
unsur-unsur yang dikemukakan oleh Harpwood. Berdasarkan analisis penulis,
terdapat unsur yang terpenuhi dan juga tidak terpenuhi. Unsur yang terpenuhi adalah
bahwa tergugat merupakan orang yang memiliki kontrol terhadap situasi, sementara
unsur yang tidak terpenuhi adalah bahwa penyebab dari kerugian sulit diketahui dan
kerugian ini hanya akan terjadi apabila kurang kehati-hatian. Dengan demikian,
menurut penulis, penggunaan dan penafsiran doktrin res ipsa loquitur dalam kasus ini
kurang tepat.
6. Pada dasarnya, penerapan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) diterapkan
Untuk melindungi lingkungan hidup, pendekatan keberhati-hatian harus
diterapkan oleh negara-negara. Jika terdapat ancaman serius atau kerugian yang
tidak terpulihkan, ketiadaan kepastian ilmiah tidak bisa dijadikan alasan untuk
tidak membuat putusan yang mencegah penurunan kualitas lingkungan hidup.
Sejatinya precautionary principle dilakukan pada bahaya yang belum pasti dan dalam
perkara ini precautionary principle kurang relevan penerapannya. Perkara dalam
kasus ini lebih tepat dengan dikenakan preventive principle dalam menjelaskan
kelalaian PT Kalista Alam karena terdapat kepastian ancaman kerusakan berupa
kebakaran karena PT Kalista Alam tidak menyediakan sarana prasarana
pencegahan kebakaran. Dengan begitu, menurut hemat Kami precautionary principle
tidak tepat diterapkan dalam kasus ini.
7. In Dubio Pro Natura adalah asas yang digunakan apabila hakim mengalami keraguan
dalam memutus perkara lingkungan hidup, pada asas ini yang dikedepankan adalah
perlindungan lingkungan hidup itu sendiri. Berkaca pada tujuan dari UU PPLH, sudah
seharusnya asas ini diterapkan oleh hakim. Hal tersebut dilakukan demi mewujudkan
komitmen dan kesadaran atas perlindungan lingkungan hidup di Indonesia. Sejatinya
asas In Dubio Pro Natura merupakan bagian dari prinsip kehati-hatian (precautionary
principle) yang dirumuskan dalam Deklarasi Rio. Precautionary principle telah
menurunkan asas in dubio pro natura, apabila terjadi ketidakpastian ilmiah mengenai
bukti ancaman kerusakan lingkungan hakim harus mengambil keputusan yang
menguntungkan lingkungan hidup. Pada kasus ini menurut kami penerapan asas in
dubio pro natura tidak tepat digunakan. Sebab unsur kesalahan yang dilakukan oleh
tergugat tersebut sudah jelas yaitu adanya intensi kesengajaan untuk membakar lahan.
Maka sejatinya tidak terjadi keraguan bagi Hakim dalam menerapkan hukum mana
yang tepat dalam menyelesaikan perkara kasus PT Kallista Alam. Asas in dubio pro
natura digunakan apabila adanya ketidakpastian hukum, yaitu ketidakpastian yang
berupa adanya dua hukum yang dapat digunakan kemudian hakim memilih hukum
yang sesuai digunakan untuk kepentingan lingkungan. Dengan begitu asas in dubio
pro natura tidak tepat digunakan dalam kasus ini.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Ahteensuu, Marko. In Dubio Pro Natura? A Philosophical Analysis of the Precautionary
Principle in Environmental and Health Risk Governance. Finland: University of Turku,
2008.
Fuady, Munir. Hukum Kontrak (Dari Pandang Hukum Bisnis). Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2007.
Harpwood, Vivienne. Principle of Tort Law 4th Edition. London: Cavendish Publishing
Limited, 2000.
Santosa, Mas Achmad. Alam pun Butuh Hukum dan Keadilan. Jakarta: Prima Pustaka, 2016.
Schefer, M.W.A. The Precautionary and Prevention Principles. Leiden: The Vanvollenhoven
Institute, 1996.
Wibisana, Andri G. Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Pertanggungjawaban Perdata.
Depok: BP FHUI, 2017.
Indonesia, Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No.23 Tahun 1997, LN
No.68 Tahun 1997, TLN, No. 3699

JURNAL

Jones, William K. “Strict Liability for Hazardous Enterprise.” Columbia Law Review,Vol.
927 (November 1992).

Martin, P.H. “If You Don't Know How to Fix it, Please Stop Breaking it! The Precautionary
Principle and Climate Change”. Italy. Foundations of Science, 1997.

Kartikasari, Meda Desi. “Menelisik Akar Pemikiran Asas In Dubio Pro Natura dalam
Penegakan Hukum,” Skripsi Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2019.

Pratiwi, Bella Anastasia. “Analisa Terhadap Penerapan Asas In Dubio Pro Natura Dalam
Perkara Lingkungan Hidup Putusan Mahkamah Agung No.651K/PDT/2015,” Skripsi
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2017.

Risaldi, Wahyu, Mujibussalim dan M.Gaussyah. “Penerapan Asas In Dubio Pro Natura Dan
In Dubio Pro Reo Oleh Hakim Perkara Lingkungan Hidup.” Kanun Jurnal Ilmu Hukum,
Vol.20, No.3, 2018. Hlm. 9
Rochmani dan Safik Faozi. “Kompetensi Hakim dalam Penanganan Perkara-Perkara
Lingkungan Hidup di Pengadilan,” Prosiding Seminar Nasional Multi DIsiplin Ilmu,
hlm. 381.

Schilfgaarde, Elizabeth van. ”Negligence under the Netherlands Civil Code: And Economic
Analysist.” California Western International Law Journal, Vol.21 (1991).hlm.269.

Vernon Palmer, “a General Theory of the Inner Structure of Strict Liability: Common Law,
Civil Law, and Comparative Law”, Tulane Law Review, Vol. 62 (1988),

Wibisana, Andri G. “The many faces of strict liability in Indonesia’s wildfire litigation.”
Review of European, Comparative & International Environmental Law. 2019.

Wibisana, Andri G. Hukum Lingkungan Teori, Legislasi dan Studi Kasus.

William K. Jones, “Strict Liability for Hazardous Enterprise”, Columbia Law Review, Vol.
92, 1705-1779 (1992)

Fuady, Munir. Hukum Kontrak (Dari Pandang Hukum Bisnis). (PT Citra Aditya Bakti:
Bandung, 2007).

Arya Rema Mubarak, “Conflict of Interest antara Usaha Perlindungan Lingkungan Hidup
dengan Kemudahan Berinvestasi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018,”
Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019 (April 2019), hlm. 288.

PUTUSAN PENGADILAN

Pengadilan Negeri Meulaboh.Putusan No. 12/PDT.G/2012/PN.MBO

Putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh Nomor 50 / PDT / 2014 / PT.BNA

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 651 K/PDT/2015, hlm. 72.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia. Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No.
32 Tahun 2009, LN No. 140 Tahun 2009 , TLN No. 5059.
Indonesia. Pengendalian Kerusakan Dan Atau Pencemaran Lingkungan Hidup Yang
Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan Dan Atau Lahan, PP No. 4 Tahun 2001, LN Tahun
No. 10 2001 , TLN No. 4076.

Anda mungkin juga menyukai