KELOMPOK 6
MOLLYNDA ARA SAFIA 1906318634
YUSTICA LABORA 1906318685
OLIVIA RACHEL A. S. 1906318722
SALSABILA WISRIANSYAH 1906318760
ZAHWA NAMORA SIREGAR 1906318792
AZRI ATHIRAH PUTERI G. 1906318930
SULTHAN ARIB FIDIANTO 1906319044
ERIKA LEONY 1906319100
RIZKYA KINANTI NASTITI 1906385720
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM SARJANA
DEPOK
NOVEMBER 2021
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Oleh karenanya, pemberian hukum baik berupa ganti rugi dan atau tindakan hukum
tertentu untuk melakukan atau tidak melakukan kegiatan tertentu, selaras dengan pendapat
yang dikemukakan oleh Van Dam yang menyatakan bahwa sistem pertanggungjawaban
perdata hanya efektif apabila pertanggungjawaban tersebut memberikan obat (remedy) baik
dalam bentuk ganti rugi maupun perintah pengadilan (injunction) untuk melakukan atau tidak
melakukan perbuatan tertentu.6
Dalam putusan Nomor 12/ PDT.G/ 2012/ PN.MBO, penggugat merupakan Menteri
Negara Lingkungan Hidup selaku pejabat pemerintah yang bertanggungjawab di bidang
lingkungan hidup, berkedudukan di Jalan D.I Panjaitan Kav 24 Kebon Nanas Jakarta Tim.
Dalam hal ini telah diwakili oleh (1) Basrief Arief, selaku Jaksa Agung Republik Indonesia
yang berkedudukan di Jalan Sultan Hasanuddin Nomor 1, Kabupaten Kebayoran Baru Jakarta
Selatan berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 01/MEN LH/09/2012, (2) Fauzul Abrar, SH
dan Bobby Rahman, SH, LLM, selaku advokat yang berkedudukan di Menara Palma, Lantai
7 Jalan HR Rasuna Said Blok X-2 Kav 6 Jakarta Selatan 12950, (3) Cicilia Sulastri, SH, Msi
selaku asisten Deputi Bidang Penyelesaian Sengketa Lingkungan, Kementerian Lingkungan
Hidup Republik Indonesia, (4) Umar Sujudi, SH, MM, selaku Kepala Bidang Penyelesaian
Sengketa Lingkungan melalui Pengadilan Kementerian Lingkungan Hidup berdasarkan Surat
Kuasa Khusus Nomor : 02/MENLH/09/2012, (5) Johanis Tanale, SH, MH., selaku Jaksa
Pengacara Negara yang berkedudukan di Jl. Sultan Hasanuddin No. 1 kebayoran Baru Jakarta
Selatan Sultan Hasanudin No. 1, Kebayoran Baru Jakarta Selatan, (6) M.P Yusuf, SH Lamcot
Batoh, yang berkedudukan di Banda Aceh, (7) Cak Yaning Nuratik W, SH, MH., Tati Vaim
Sitanggang, SH, MH., Abdul Kadir, SH, MH., Abdul Mubin, ST, SH., Riyan Palasai, SH,
selaku Jaksa Pengacara Negara, yang berkedudukan di Jalan Sultan Hasanuudin No. 1
Kebayoran Baru Jakarta Selatan, (8) Askari, SH., selaku Jaksa Pengacara Negara yang
berkedudukan di Jalan dr. Mohammad Hasan Desa Lamcot Batah Banda Aceh, berdasarkan
Surat Kuasa Substitusi tanggal 11 Oktober 2012, dan (9) Syarifuddin, SH dan M. Zuhri
Hasibuan, SH, MH., berdasarkan Surat Kuasa Substitusi tanggal 14 November 2012.
b. Tergugat
Penggugat dalam hal ini melawan tergugat, yaitu PT. Kallista Alam, yang
berkedudukan di Jalan Gampong Kuala Seumayam Kecamatan Dahrul Makmur Kabupaten
Nagan Raya, Provinsi Aceh, dalam hal ini diwakili oleh Kuasanya DR. Luhut M. P.
Pangaribuan, SH, LLM., Firman Azuar Lubis ,SH., Irianto Subiakto, SH, LLM., dan Imelda
Napitupulu, SH. MH., Dimas Satrioprojo, SH., LLM., Alfian E,Sarumaha, SH., Reinhard S.C
Situmorang, SH., Rebecca F. Elizabeth, SH., Grabiel Lase, SH., Karisa Utami, SH., Andi
Mackulau, SH., berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 3 Desember 2012.
C. Kasus Posisi
3. Bahwa dengan berita acara lapangan verifikasi tanggal 5 Mei 2012 dan 15 Juni 2012,
ditemukan fakta-fakta yang pada intinya antara lain, ditemukan tanda-tanda fisik telah
terjadi kebakaran, yaitu (1) terdapat log pohon bekas terbakar yang telah ditanami kelapa
sawit di Blok A-4, yang merupakan lokasi bekas lahan terbakar dan merupakan kawasan
gambut yang dilindungi (kawasan konservasi), (2) adanya log pohon bekas tebangan
hutan alam yang terbakar dan tersusun dalam rumpukan, (3) areal lahan kebun kelapa
sawit tidak dilengkapi dengan papan peringatan tentang larangan penggunaan api dan
peralatan (pencegahan maupun pemadaman) sebagai perlindungan dari ancaman bahaya
kebakaran, (4) ditemukan pola pengeringan air pada lahan gambut dengan sistem
bertingkat menggunakan saluran tersier (kanal), dan (5) adanya log-log bekas pohon yang
ditebang berjumlah sekitar 60 ton/hektar yang digunakan sebagai bahan bakar untuk
membakar atau membuat terbakar, pada Blok E.
4. Dengan berdasar kepada fakta-fakta berita acara lapangan verifikasi lapangan
tersebut, maka penggugat mendalilkan bahwa (1) telah terjadi kebakaran di lokasi
perkebunan milik tergugat (2) dengan sengaja membuka lahan dengan cara pembakaran
lahan atau setidak-tidaknya lalai mencegah dan menanggulangi terjadinya kebakaran
tersebut.
5. Dengan demikian, maka tergugat telah terbukti memiliki maksud untuk dengan
sengaja membuka lahan dengan cara membakar yang dengan demikian membuktikan
unsur kesengajaan atau setidak-tidaknya tergugat telah sengaja membiarkan lahannya
terbakar karena terbukti tidak dimilikinya sarana, prasarana, SOP dan petugas untuk
mencegah dan menanggulangi kebakaran sehingga tidak ada upaya-upaya pencegahan
dan penanggulangan kebakaran. Bahwa dengan demikian terdapat unsur perbuatan
melawan hukum yang didasarkan kepada prinsip tanggungjawab mutlak (strict liability)
sebagaimana diuraikan dalam Pasal 88 UU Nomor 32 Tahun 2009 dan tergugat dapat
dituntut ganti ruginya berdasarkan Pasal 90 UU Lingkungan Hidup dan Pasal 1365 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.
7. Hal ini menimbulkan tanggung jawab tergugat untuk melakukan pemulihan lingkungan
hidup atas kerusakan tanah seluas 1000 ha, dengan parameter kerusakan ekologis, antara
lain, (1) biaya pembuatan reservoir, biaya pemeliharaan reservoir, pengaturan tata air,
pengendalian erosi, pembentuk tanah, pendaur ulang unsur hara, dan pengurai limbah.
Kemudian terkait dengan (2) kerugian hilangnya keanekaragaman hayati dan sumberdaya
genetika, yaitu biaya pemulihan keanekaragaman hayati dan biaya pemulihan sumberdaya
genetika. Selanjutnya terkait (3) kerugian akibat terlepasnya karbon ke udara (carbon
release), maka biaya yang dibutuhkan adalah biaya pengembalian karbon, perosot karbon
(carbon reduction). Kemudian terkait kerugian ekonomis yang meliputi hilangnya umur
pakai lahan akibat kebakaran. Terkait dengan biaya pemulihan tanah gambut seluas 1000
ha yang rusak, maka biaya yang dibutuhkan antara lain biaya pembelian kompos, biaya
angkut, biaya penyebaran kompos, dan biaya pemulihan. Dengan demikian, total kerugian
dalam bentuk biaya yang harus dikeluarkan untuk mengembalikan fungsi lahan gambut
seluas 1000 hektar seperti peruntukannya semula adalah sebesar Rp. 251.765.250.000,00
D. Kutipan Putusan
a. Dalam Provisi
b. Dalam Ekesepsi
E. Rumusan Masalah
1. Bagaimana para pihak mengartikan serta membuktikan unsur-unsur PMH dan Strict
liability?
2. Bagaimana hakim (PN, PT, dan MA) menafsirkan strict liability?
3. Bagaimana kritik atas didalilkannya unsur kesengajaan, beserta komentar atas
pertimbangan hakim mengenai kesengajaan/kelalaian.
4. Mengapa penggugat meminta agar hakim merujuk pada Putusan Mandalawangi?
Bagaimana pendapat hakim atas hal ini?
5. Bagaimana kritik terkait penggunaan dan penafsiran doktrin res ipsa loquitur.
6. Bagaimana kritik terkait penggunaan dan penafsiran precautionary principle dalam
kasus ini.
7. Bagaimanakah prinsip in dubio pro natura dalam kasus ini. Bagaimana kaitannya
dengan konsep precautionary principle (persamaan dan perbedaan)? Apakah
penerapan konsep in dubio pro natura dalam kasus ini tepat
BAB II
ANALISIS KASUS
7 Andri G. Wibisana, Hukum Lingkungan Teori, Legislasi dan Studi Kasus, hlm. 582.
8 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007.
Hlm. 8
Pada Strict Liability, tanggung jawab muncul dengan tanpa adanya suatu
kesalahan atau biasa dikenal sebagai liability without fault. Pada Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur mengenai
Strict Liability. Selain itu, pada Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, menjelaskan bahwa
“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3,
menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman
serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang
terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan”. Dalam hal ini, Penggugat harus
membuktikan mengenai kerugian apa saja yang diderita.
Menurut Penggugat, Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum
yang berkaitan dengan lingkungan. Sehingga Tergugat dapat dituntut untuk
melakukan pertanggungjawaban dengan prinsip Strict Liability. Hal ini dikarenakan
akibat dari usahanya tersebut telah menimbulkan suatu ancaman serius terhadap
lingkungan. Selain itu, Tergugat juga memiliki kewajiban untuk memiliki sarana dan
prasarana dalam penanggulangan kebakaran yang memadai. Namun, Tergugat tidak
melakukan upaya dalam menanggulangi kebakaran tersebut.
Namun, Tergugat kemudian membuktikan bahwa kebakaran tersebut bukan
disebabkan oleh Tergugat tetapi dikarenakan oleh perusahaan lain yang ada di areal
dekat dengan perkebunan milik Tergugat. Lebih lanjut Tergugat membuktikan bahwa
perusahaannya telah mengikuti peraturan yang ada dalam perundang-undangan,
sehingga PT Kalista Alam tidak pernah membuka lahan dengan melakukan
pembakaran.
Penggugat dalam mendalilkan suatu kerusakan tidak dapat dibuktikan secara
nyata menggunakan baku mutu. Menurut Tergugat, dalam hal tersebut maka tidak ada
jatuh korban karena perbuatan tersebut tidak dapat dibuktikan. Sehingga tidak adanya
suatu kerugian. Sehingga dalam hal ini, Tergugat beranggapan bahwa Penggugat
tidak dapat menguraikan perbuatan mana saja yang termasuk dalam perbuatan
melawan hukum. Selain itu juga Penggugat tidak bisa merumuskan bahwa perbuatan
yang didalilkan tersebut merupakan tindakan suatu kesengajaan atau kelalaian.
17 Andri G. Wibisana, Penegakkan Hukum Lingkungan Melalui Pertanggungjawaban Perdata, (Depok: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018), hlm. 113.
yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Beberapa unsur perbuatan melawan hukum diantaranya:18
a. Harus ada yang melakukan perbuatan
b. Perbuatan itu harus melawan hukum
c. Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian pada orang lain
d. Perbuatan itu karena kesalahan yang dapat dicelakakan kepadanya
Suatu tindakan yang mengandung unsur kesalahan dapat dimintakan
pertanggungjawaban secara hukum jika terdapat unsur kelalaian (culpa) atau tidak
adanya alasan pembenar atau pemaaf (rechtvaardigingsgrond). Unsur kesalahan pada
perbuatan melawan hukum berkaitan dengan unsur kesengajaan. Sehingga unsur
kesengajaan harus dibuktikan dalam hal pembuktian perbuatan melawan hukum.
Pada kasus PT Kalista Alam, terdapat beberapa hal yang dapat dikritik atas
didalilkannya unsur kesengajaan. Penggugat, dalam hal ini adalah Menteri
Lingkungan Hidup, mendalilkan bahwa Tergugat, yaitu PT Kalista Alam, telah
memerintahkan ke pihak kedua atau kontraktor dengan sengaja untuk melakukan
pembukaan lahan. Pembukaan lahan tersebut dilakukan dengan cara pembakaran
lahan. Hal ini didasarkan dengan bukti SPK yang kemudian bukti tersebut
dikesampingkan oleh Majelis Hakim karena kata “pembakaran” dalam SPK tersebut
merupakan kesalahan dalam pengetikan. Selain itu juga bertolak belakang dengan
pengertian atau makna atas keseluruhan kalimat yang mengandungnya. Dalil ini
merupakan dalil yang lemah dalam kesengajaan Tergugat. Hal ini dikarenakan hanya
menggunakan sepatah kata yang dijadikan sebagai dasar penafsiran dari niat Tergugat
dalam melakukan pembukaan lahan dimana menurut Majelis Hakim merupakan
kesalahan dalam pengetikan.
Penggugat berpendapat bahwa Tergugat telah melakukan unsur kesengajaan
dalam melakukan pembakaran untuk pembukaan lahan. Hal ini dibuktikan dengan
SPK. Dalam hal ini, Penggugat berpendapat bahwa terdapat kausalitas pada terjadi
kebakaran tersebut dengan maksud untuk melakukan pembukaan lahan. Dimana Pada
Pasal 1365 KUHPerdata, perbuatan tersebut dapat dikualifisir sebagai perbuatan
melanggar hukum. Selain itu, Penggugat juga memberikan beberapa bukti lain yang
menyatakan bahwa Tergugat telah membiarkan lahan yang terbakar tersebut yang
kemudian menyebabkan timbulnya kerugian. Penggugat juga menggugat dengan dalil
E. Berikan kritik anda terkait penggunaan dan penafsiran doktrin res ipsa
loquitur.
Pembuktian merupakan tahapan yang cukup penting dalam suatu pemeriksaan
perkara karena pada proses inilah akan diperiksa setiap dalil dari penggugat dan
tergugat untuk menentukan akhir dari putusan tersebut. Dalam perkara perdata pada
umumnya, penggugat berusaha membuktikan bahwa tergugat telah melakukan
kesalahan. Penggugat memiliki beban tersebut karena penggugatlah yang merasa
kepentingannya terganggu sehingga harus membuktikan kesalahan tergugat. Namun,
dalam beberapa kasus, pembuktian yang demikian tidak dapat diterapkan. Pembuktian
yang dilakukan justru dengan membebani tergugat untuk membuktikan bahwa dirinya
25 Elizabeth van Schilgaarde,”Negligence under the Netherlands Civil Code: And Economic Analysist”,
California Western International Law Journal, Vol.21 (1991), hlm, 269.
26 William K. Jones, “Strict Liability for Hazardous Enterprise,” Columbia Law Review,Vol. 927 (November
1992), hlm. 1732-1733.
tidak bersalah. Pembuktian ini merupakan pembuktian terbalik atau yang dikenal
dengan doktrin res ipsa loquitur.
Secara harfiah, res ipsa loquitur berarti fakta berbicara sendiri.27 Doktrin ini
merupakan pembuktian terbalik unsur kesalahan atau praduga bersalah. 28 Penggugat
tidak dibebani kewajiban untuk membuktikan bahwa tergugat telah melakukan
kesalahan. Yang dibebani pembuktian adalah tergugat. Tergugat harus dapat
membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah dan apabila ia berhasil membuktikan hal
tersebut maka tergugat akan lepas dari pertanggungjawaban.
Menurut Goldberg dan Zipursky, res ipsa loquitur merupakan suatu praduga
bahwa tergugat telah melakukan pelanggaran hukum, hal ini terlihat dari adanya
kerugian yang timbul. Dari pernyataan tersebut, dapat dimaknai bahwa dengan adanya
kerugian yang timbul maka kesalahan dari tergugat diasumsikan sudah ada, sehingga
tergugatlah yang dibebani untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah.
Dalam putusan ini, penggugat menggunakan doktrin res ipsa loquitur dalam
dalilnya. Penggugat menyatakan bahwa kelalaian tergugat sudah terbukti dengan
adanya fakta-fakta yang menyatakan adanya tindakan-tindakan yang dilakukan
manusia dan tidak adanya sarana prasarana pencegahan kebakaran, yang kemudian
menyebabkan adanya kebakaran pada wilayah usaha tergugat.
Menurut Harpwood, terdapat beberapa syarat untuk menerapkan doktrin res
ipsa loquitur, yakni:29
1. Kerugiannya haruslah kerugian yang sulit dibuktikan penyebabnya;
2. Kerugian hanya akan terjadi karena kurangnya kehati-hatian;
3. Tergugat haruslah orang yang sepenuhnya memiliki kontrol atas situasi yang
terjadi.
Agar doktrin res ipsa loquitur dapat digunakan maka ketiga unsur diatas
haruslah terpenuhi. Merujuk pada unsur pertama, dalam kasus Menteri LHK vs PT
Kallista Alam, penyebab dari kebakaran lahan yang terjadi pada lahan tergugat sudah
diketahui penyebabnya. Dalam putusan disebutkan bahwa tergugat sengaja membuka
lahan untuk membuka lahan perkebunan kelapa sawit dengan cara membakar. Hal
tersebut membuktikan bahwa penyebab terjadinya kebakaran di lahan usaha tergugat
33 Arya Rema Mubarak, “Conflict of Interest antara Usaha Perlindungan Lingkungan Hidup dengan
Kemudahan Berinvestasi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018,” Jurnal Hukum Lingkungan
Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019 (April 2019), hlm. 288.
membiarkan kebakaran tersebut terjadi guna menekan biaya dalam pembukaan lahan
perkebunan mereka.
Menurut hemat kami penggunaan dan penafsiran precautionary principle
pada perkara PT Kalista Alam ini kurang tepat karena pada dasarnya
precautionary principle baru diterapkan apabila terdapat ketidakpastian ilmiah atas
ancaman kerusakan yang akan terjadi. Sedangkan dalam kasus ini, terdapat kepastian
akan kerusakan lingkungan, yaitu kepastian akan terjadinya suatu kebakaran.
Disebarnya log-log kering di atas lahan, serta tidak adanya peringatan tentang
larangan penggunaan api di lahan yang bersangkutan, dan tidak disediakannya
peralatan guna mencegah terjadinya kebakaran maupun memadamkan. Oleh karena
itu terdapat kepastian dalam hal tersebut.
Dengan begitu menurut Kami penggunaan preventive principle pada kasus ini
lebih cocok diterapkan ketimbang precautionary principle. Hal ini dikarenakan
preventive principle digunakan dalam mencegah kerusakan yang pasti terjadi,
seperti kebakaran lahan akibat log-log kering yang disebar di atas lahan. Terdapat
perbedaan dari penerapan preventive principle dengan precautionary principle yaitu,
precautionary principle dilakukan pada bahaya yang belum pasti ada sedangkan
preventive principle dilakukan pada bahaya yang sudah pasti. 34 Dengan demikian,
pada seharusnya Penggugat dalam perkara ini menggunakan argumen preventive
principle dalam menjelaskan kelalaian PT Kalista Alam karena terdapat kepastian
ancaman kerusakan berupa kebakaran karena PT Kalista Alam tidak
menyediakan sarana prasarana pencegahan kebakaran.
G. Berikan tanggapan Anda mengenai in dubio pro natura. Bagaimana konsep ini
terkait dengan precautionary principle (persamaan dan perbedaan)? Apakah
penerapan konsep in dubio pro natura dalam kasus ini tepat?
Berdasarkan Oxford Reference, pada dasarnya arti dari In Dubio Pro Natura
adalah “when in doubt, in favor of nature”, apabila diterjemahkan maka artinya adalah
ketika mengalami keraguan, dukunglah alam. Penerapan asas tersebut ditekankan
pada seorang hakim, yang mana ketika hakim mengalami keraguan terkait bukti
dalam suatu perkara lingkungan, maka hakim mengedepankan perlindungan
lingkungan itu sendiri dalam mempertimbangkan putusannya.35 Hal ini dapat dilihat
pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 651 K/PDT/2015 yang dalam
34 Ibid
pertimbangannya menyatakan bahwa “pada ketidakpastian sebab akibat dan besaran
ganti rugi, maka pengambil keputusan, baik dalam bidang kekuasaan eksekutif
maupun hakim dalam perkara-perkara perdata dan administrasi lingkungan hidup
haruslah memberikan pertimbangan atau penilaian yang mengutamakan kepentingan
perlindungan dan pemulihan lingkungan hidup.”36 Sehingga, singkatnya dapat
diketahui bahwa In Dubio Pro Natura adalah asas yang mengedepankan perlindungan
lingkungan.
Pada praktiknya, tentu tidak semua hakim memiliki pemikiran yang merata
terkait penerapan asas In Dubio Pro Natura. Di Indonesia, interpretasi hakim yang
berorientasi pada lingkungan hidup, maupun yang memiliki kompetensi di bidang
lingkungan masih minim.37 Padahal, perubahan paradigma dari homo-centris ke eco-
centris menjadi penting dalam menangani kasus lingkungan hidup.38 Sehingga,
menurut kami, sudah seharusnya asas In Dubio Pro Natura diterapkan oleh hakim
apabila memang terdapat keraguan dalam memutus. Sebab, hal ini harus berkaca
kembali pada tujuan dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu diantaranya adalah menjamin
pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi
manusia serta mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup.
Atas hal tersebut, diharapkan komitmen dan kesadaran atas perlindungan serta
pengelolaan lingkungan hidup dapat terwujud dengan baik sebagaimana yang dicita-
citakan Indonesia.
Pada dasarnya asas In Dubio Pro Natura merupakan bagian dari prinsip
kehati-hatian (precautionary principle) yang dirumuskan dalam Deklarasi Rio.39
Konsep mengenai prinsip kehati-hatian ini telah dikenal lama oleh peradaban
manusia. Suatu konsep yang tidak memberikan suatu makna yang pasti terhadap
pencegahan karena pedoman mengenai ini telah ditemukan sejak lama dalam tradisi
Penduduk Asli Eurasia, Afrika, Amerika, Oceania, dan Australia. 40 Precautionary
35 Wahyu Risaldi, Mujibussalim, M.Gaussyah. Penerapan Asas In Dubio Pro Natura Dan In Dubio
Pro Reo Oleh Hakim Perkara Lingkungan Hidup. “Kanun Jurnal Ilmu Hukum”, Vol.20, No.3, 2018, hlm. 9.
36 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 651 K/PDT/2015, hlm. 72.
37 Rochmani dan Safik Faozi, “Kompetensi Hakim dalam Penanganan Perkara-Perkara Lingkungan Hidup di
Pengadilan”, Prosiding Seminar Nasional Multi DIsiplin Ilmu, hlm. 381.
38 Meda Desi Kartikasari, “Menelisik Akar Pemikiran Asas In Dubio Pro Natura dalam Penegakan Hukum”,
Skripsi, 2019, hlm. 14.
39 Marko Ahteensuu, “In Dubio Pro Natura? A Philosophical Analysis of the Precautionary Principle in
Environmental and Health Risk Governance”, (Finland: University of Turku, 2008), hlm. 24.
40 P.H Martin, "If You Don't Know How to Fix it, Please Stop Breaking it!" The Precautionary Principle and
Climate Change, Italy, Foundations of Science, 1997.
principle mencerminkan pemikiran mengenai tindakan sebelum kerugian terjadi dan
sebelum bukti ilmiah konklusif di dapatkan. Hal tersebut dapat dipahami bahwa
dalam menunggu adanya bukti ilmiah konklusif dan bukti mengenai tingkat risiko
yang pasti seseorang harus tetap mencegah terjadinya pengrusakan pada lingkungan. 41
Tujuan dari prinsip kehatian-hatian ini tidak lain untuk memberikan perlindungan
yang memadai baik bagi lingkungan maupun untuk kebaikan manusia. Seperti yang
dikonsepkan dalam Deklarasi Rio tahun 1992 mengenai prinsip kehati-hatian
(precautionary principle), prinsip ini menuntut adanya tindakan pada tahap awal
sebagai respon terhadap ancaman bahaya lingkungan termasuk dalam kondisi tidak
pasti. Prinsip kehati-hatian (precautionary principle) menghendaki adanya
pertimbangan lingkungan dalam setiap pengambilan keputusan atau kebijakan terkait
pemanfaatan dan pengelolaan lingkungan hidup. Maka dapat dipetik bahwa prinsip
precautionary principle telah menurunkan asas in dubio pro natura, apabila terjadi
ketidakpastian ilmiah mengenai bukti ancaman kerusakan lingkungan hakim harus
mengambil keputusan yang menguntungkan lingkungan hidup.
Diantara precautionary principle dengan asas in dubio pro natura terdapat
persamaan yang mana apabila terdapat ketidakpastian atau keraguan dalam terjadinya
suatu kasus pengrusakan lingkungan tidak dapat dijadikan alasan untuk menunda
upaya pemulihan atau pencegahan pengrusakan lingkungan. Namun pemakaian dua
konsep ini juga terdapat sedikit perbedaan dalam segi konteks ruang lingkup.
Precautionary principle atau prinsip kehati-hatian digunakan dalam konteks apabila
dalam kegiatan pengelolaan atau pemanfaatan lingkungan terjadi suatu ketidakpastian
mengenai dampak lingkungan yang akan timbul atau guna mencegah suatu hal
menjadi menjadi bertambah buruk. Sedangkan asas in dubio pro natura diterapkan
ketika terjadi suatu kasus pengrusakan lingkungan dan pemilih kebijakan hukum ragu
dalam menerapkan hukumnya, maka asas ini mengedepankan untuk lebih
mendahulukan kepentingan lingkungan, jangan sampai karena adanya keraguan
dalam pemilihan hukum oleh hakim pelaku pengrusak lingkungan dapat lolos dan
kembali melakukan tindakannya. Saat ini penerapan asas in dubio pro natura
merupakan asas utama yang menjadi karakteristik dalam proses beracara di
pengadilan terkait sengketa lingkungan hidup. Penerapan asas ini nyatanya cukup
41 M.W.A Schefer, The Precautionary and Prevention Principles, (Leiden: The Vanvollenhoven Institute,
1996). Hlm. 1-5.
membawa perubahan yang mana sebelumnya dalam perkara-perkara lingkungan
hidup tergugat seringkali lolos dari tuntutan ganti rugi karena hakim ketika
menghadapi keraguan selalu mengimplementasikan asas in dubio pro reo. Akan tetapi
seiring terjadi perubahan paradigma dari homo-centris ke eco-centris maka dalam
peradilan lingkungan hidup asas in dubio pro reo berganti menjadi asas in dubio pro
natura.
Penerapan asas in dubio pro natura dalam kasus ini menurut Kami belum
tepat. Hal tersebut didasarkan pada konsep dasar dari asas in dubio pro natura itu
sendiri yang mana menentukan apabila terjadi keraguan dalam penerapan hukumnya
maka terapkanlah yang menguntungkan bagi alam. Pada kasus PT Kallista Alam
sejatinya bukti mengenai unsur kesalahan yang dilakukan oleh perusahaan tersebut
sudah jelas yaitu adanya intensi kesengajaan untuk membakar lahan guna pembukaan
lahan dengan cara membakar. Maka terhadap tindakannya tersebut PT Kallista Alam
telah melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365
KUHPerdata. Dalam putusan nomor 12/PDT.G/2012/PN.MBO Hakim juga
memutuskan tergugat dengan rumusan pasal tersebut. Dengan begitu pada dasarnya
tidak terjadi keraguan bagi Hakim dalam menerapkan hukum mana yang tepat dalam
menyelesaikan perkara kasus PT Kallista Alam. Sebab, seyogyanya asas in dubio pro
natura digunakan apabila adanya ketidakpastian hukum, yaitu ketidakpastian yang
berupa adanya dua hukum yang dapat digunakan kemudian hakim memilih hukum
yang sesuai digunakan untuk kepentingan lingkungan. 42 Oleh karena itu menurut
hemat kami penerapan asas in dubio pro natura dalam kasus ini tidak tepat.
42 Bella Anastasia Pratiwi, “Analisa Terhadap Penerapan Asas In Dubio Pro Natura Dalam Perkara
Lingkungan Hidup Putusan Mahkamah Agung No.651K/PDT/2015,” (Skripsi Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Jakarta, 2017), hlm.18.
BAB III
KESIMPULAN
JURNAL
Jones, William K. “Strict Liability for Hazardous Enterprise.” Columbia Law Review,Vol.
927 (November 1992).
Martin, P.H. “If You Don't Know How to Fix it, Please Stop Breaking it! The Precautionary
Principle and Climate Change”. Italy. Foundations of Science, 1997.
Kartikasari, Meda Desi. “Menelisik Akar Pemikiran Asas In Dubio Pro Natura dalam
Penegakan Hukum,” Skripsi Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2019.
Pratiwi, Bella Anastasia. “Analisa Terhadap Penerapan Asas In Dubio Pro Natura Dalam
Perkara Lingkungan Hidup Putusan Mahkamah Agung No.651K/PDT/2015,” Skripsi
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2017.
Risaldi, Wahyu, Mujibussalim dan M.Gaussyah. “Penerapan Asas In Dubio Pro Natura Dan
In Dubio Pro Reo Oleh Hakim Perkara Lingkungan Hidup.” Kanun Jurnal Ilmu Hukum,
Vol.20, No.3, 2018. Hlm. 9
Rochmani dan Safik Faozi. “Kompetensi Hakim dalam Penanganan Perkara-Perkara
Lingkungan Hidup di Pengadilan,” Prosiding Seminar Nasional Multi DIsiplin Ilmu,
hlm. 381.
Schilfgaarde, Elizabeth van. ”Negligence under the Netherlands Civil Code: And Economic
Analysist.” California Western International Law Journal, Vol.21 (1991).hlm.269.
Vernon Palmer, “a General Theory of the Inner Structure of Strict Liability: Common Law,
Civil Law, and Comparative Law”, Tulane Law Review, Vol. 62 (1988),
Wibisana, Andri G. “The many faces of strict liability in Indonesia’s wildfire litigation.”
Review of European, Comparative & International Environmental Law. 2019.
William K. Jones, “Strict Liability for Hazardous Enterprise”, Columbia Law Review, Vol.
92, 1705-1779 (1992)
Fuady, Munir. Hukum Kontrak (Dari Pandang Hukum Bisnis). (PT Citra Aditya Bakti:
Bandung, 2007).
Arya Rema Mubarak, “Conflict of Interest antara Usaha Perlindungan Lingkungan Hidup
dengan Kemudahan Berinvestasi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018,”
Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019 (April 2019), hlm. 288.
PUTUSAN PENGADILAN
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 651 K/PDT/2015, hlm. 72.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia. Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No.
32 Tahun 2009, LN No. 140 Tahun 2009 , TLN No. 5059.
Indonesia. Pengendalian Kerusakan Dan Atau Pencemaran Lingkungan Hidup Yang
Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan Dan Atau Lahan, PP No. 4 Tahun 2001, LN Tahun
No. 10 2001 , TLN No. 4076.