Anda di halaman 1dari 4

RIZKYA KINANTI NASTITI

1906385720
HUKUM LINGKUNGAN A PARAREL

Opini Mengenai Lima Poin Perubahan Dalam UU PPLH Yang Terdapat Pada UU
Cipta Kerja

1. Mengenai Perubahan Izin Lingkungan Menjadi Persetujuan Lingkungan


Pasal 40 UU PPLH yang mengatur mengenai izin lingkungan dihapus dan dilakukan
perubahan pada UU Cipta Kerja dengan klasula baru pengintegrasian “Izin
Lingkungan” ke dalam persetujuan lingkungan. Hal tersebut tentu berdampak pada
proses dan perlindungan pengelolaan lingkungan hidup, sebab pengintegrasian
persetujuan lingkungan tersebut memudahkan bagi pelaku usaha untuk memperoleh
izin usaha tanpa harus mengurus banyak perizinan terutama izin lingkungan yang
sebelumnya dianggap sulit didapatkan. Dengan lebih mudahnya pelaku usaha untuk
mendapatkan izin lingkungan tentu akan meningkatkan risiko terjadinya pelanggaran
pengelolaan lingkungan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dengan hanya adanya
persetujuan lingkungan akan lebih sulit menghentikan para pelaku usaha yang nakal
ketimbang dengan adanya ketentuan izin lingkungan. Hal itu dikarenakan dahulu
apabila izin lingkungan dicabut lantas izin usaha tidak dapat berjalan yang mana
mampu menghentikan pelanggaran yang dilakukan oleh para pelaku usaha yang
nakal, sedangkan dengan hanya adanya persetujuan usaha penghentian atas kegiatan
yang dilakukan pelaku usaha yang nakal akan lebih sulit dilakukan.

2. Mengenai Perubahan Ketentuan Terkait Peran Serta Masyarakat dan Akses


Publik Terhadap Informasi dalam proses AMDAL, Izin Lingkungan, dan Izin
Usaha.
Perubahan terkait ketentuan pembentukan AMDAL dan proses pembentukannya yang
terdapat dalam Pasal 24 dan 30 UU PPLH yang diubah pada UU Cipta Kerja menjadi
sesuatu yang menuai kontroversi antara pemerintah dengan masyarakat karena telah
melimitasi akses masyarakat untuk turut mempengaruhi dalam pengambilan
keputusan. Padahal seharusnya pendapat dari masyarakat menjadi poin penting yang
harus dipertimbangkan dalam analisis lingkungan terutama bagi mereka yang
terdampak langsung atas kerusakan lingkungan. Tidak hanya itu akses public semakin
diperkecil dengan adanya Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup sebagai petugas
yang menilai AMDAL namun tanpa melibat masyarakat sedikitpun. Kekhawatian
menjadi muncul apabila suara masyarakat kini semakin di batasi yang mana
keputusan mengenai AMDAL berpotensi tidak sesuai dengan keadaan masyarakat
sesungguhnya sebab masyarakat tidak turut serta dalam melakukan penilaian tersebut.

Selanjutnya mengenai izin usaha yang tidak lagi diatur secara tegas dalam UU Cipta
Kerja tentu saja akan berimplikasi pada penegakan hukum administrasi khususnya
dalam hal keterbukaan bagi masyarakat dalam penerbitan perizinan lingkungan yang
nantinya akan hilang dan tidak diimplikasikan dalam ketentuan mengenai Perizinan
Berusaha karena tidak diatur secara tegas di dalam UU Ciptaker. Oleh karen itu solusi
yang dapat dilakukan agar masyarakat tetap dapat memberikan pengaruhnya terhadap
penerbitan izin usaha, masyarakat bisa memberikan usul/keberatan terhadap rencana
usaha atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak buruk terhadap
lingkungan hidup sebagaimana ditentukan pada Pasal 65 UU PPLH. Selain itu hak
bagi masyarakat untuk berperan aktif dalam pengawasan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup juga masih terbuka lebar sebagai Pasal 70 UU PPLH
mengatur demikian.

3. Pengintegrasian Persyaratan Lingkungan Yang Terdapat Dalam Persetujuan


Lingkungan ke Dalam Perizinan Berusaha
Dengan adanya pengintegrasian izin lingkungan ke dalam persetujuan lingkungan
pada UU Cipta Kerja telah membuat degradasi izin lingkungan menjadi Persetujuan
Lingkungan sebagai syarat perizinan berusaha, serta tidak mewajibkan semua
kegiatan berusaha harus mendapatkan “izin”, yang mana tergantung pada risiko yang
prasyaratnya belum jelas. Pada akhirnya, dengan berbagai kelonggaran persyaratan
lingkungan hidup bagi pelaku usaha dalam UU Cipta Kerja berpotensi menimbulkan
eksternalitas negatif yang mengancam keadilan bagi generasi mendatang. Pasal yang
mengatur syarat perolehan Perizinan Berusaha tidak lagi memuat kewajiban membuat
Amdal/UKL-UPL, analisis risiko, dan pernyataan kesanggupan penyediaan sarana
prasarana penanggulangan kebakaran hutan dan lahan sebagai syarat, melainkan
hanya menyebutkan akan mengatur lebih lanjut pada PP No. 24 Tahun 2018 tentang
Pelayanan Perizinan 12 Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (PP OSS). Dengan
begitu terlihat bahwa ketentuan pada UU Cipta Kerja mengalami penurunan dalam
hal penegakan hukum administrasi dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan
khususnya mengenai perizinan.

4. Tanggungjawab Kegiatan Pengawasan Kepatuhan dan Daya Ikat Rekomendasi


Pengawasan Kepatuhan untuk Ditindaklanjuti Oleh Pejabat Penanggung Jawab
Perizinan Berusaha
Adanya perubahan ketentuan pada Pasal 71 UU PPLH dengan Pasal 71 UU Cipta
Kerja mengenai siapa yang bertanggung jawab atas pengawasan kepatuhan dari
kegiatan usaha telah membuat peran KLHK maupun dinas-dinas lingkungan saat ini
tidak lagi dapat secara otomatis menindaklanjuti laporan pengawasan kepatuhan
karena kewenangan tersebut berada pada pejabat yang berwenang menerbitkan
perizinan berusaha. Ditambahkan dengan tidaknya konsekuensi hukum bagi pejabat
yang tidak menindaklanjuti hasil kegiatan pengawasan kepatuhan tentu akan
menyulitkan penegakan dua pilar utama hukum administrasi sebagai upaya preventif
yaitu pengawasan dan perizinan. Dengan tidak ada dorongan yang kuat untuk
mewajibkan pejabat yang menerbitkan izin usaha untuk menindak lanjuti laporan
pengawasan kepatuhan akan menimbulkan pengawasan yang lemah dari pejabat
penerbit perizinan usaha serta ketidakpastian penegakan pengawasan oleh pejabat
tersebut. Padahal sebelumnya pada UU PPLH Pasal 111 ayat (2) dimuat ketentuan
mengenai ancaman pidana bagi pejabat yang tidak menindaklanjuti rekomendasi
terkait pengawasan. Dengan begitu dapat disimpulkan ketentuan dalam UU Cipta
Kerja tidak memberikan disinsentif yang kuat bagi pejabat penerbit berusaha untuk
bersungguh-sungguh dalam mendukung daya dukung ekosistem dan fungsi
lingkungan melalui kewenangannya dalam pengawasan kepatuhan. UU Cipta Kerja
jelas tidak mengadaptasi ketentuan Government Officer Criminal Responsibility yang
terdapat dalam UU PPLH

5. Penegasan Hak dan Kewajiban “Step-in” Untuk Memastikan Kepatuhan oleh


Pemerintah Pusat Dalam Rangka Desentralisasi Pemerintah Daerah.
Diketahui bahwa Pasal 73 UUPPLH hanya mengatur sebatas ketentuan oversight atau
pengawasan lapis kedua terhadap Pemerintah Daerah saat terjadi pelanggaran di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pada UU Cipta Kerja,
tepatnya dalam rumusan Pasal 22 angka 27 dilakukan pengaturan yang mengatur
lebih lanjut mengenai syarat-syarat dalam kegiatan oversight yang harus berdasarkan
norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Selanjutnya mengani second-line enforcement diketahui bahwa terdapat perubahan
dalam hal wewenang pihak yang berhak menentukan apakah Pemerintah Daerah
secara sengaja tidak menerapkan sanksi administratif, dari yang sebelumnya adalah
Pemerintah menjadi Menteri. Oleh karena itu dengan diterbitkannya suatu persyaratan
pada kegiatan oversight berupa NSPK diahrapkan mampun menjadi pedoman dan
tolak ukur bagi Menteri dalam menentukan terjadinya suatu pelanggaran di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, sehingga mampu berimplikasi dalam
peningkatan akurasi dan transparansi oversight dan second-line enforcement yang
dilakukan oleh Menteri terhadap Pemerintah Daerah.

Anda mungkin juga menyukai