Anda di halaman 1dari 10

PENDAPAT HUKUM (LEGAL OPINION)

TENTANG KETENTUAN UU CIPTAKER NOMOR


11/2020 BERKAITAN DENGAN LINGKUNGAN
DAN
PERKEMBANGAN EKONOMI DALAM PENYERAPAN
TENAGA KERJA

Oleh :

Jihan Nur Taqiyyah


------------------------------------------

PERMASALAHAN (Problem Statement)

1. Bahwa UU yang telah di tekan tersebut mengandung pasal yang dapat mengandung
makna ganda “multi tafsir”, selain itu UU ini juga dalam substansinya lebih menitik
beratkan pada kemudahan proyek pemerintah dan kawasan ekonomi, Yang dalam hal
ini UU ini dapat mempermudah pihak pemerintah dalam berinvestasi tanpa membela
kepentingan buruh.

2. Peraturan perundag-undangan pertama yang menggunakan Format Omnibuslwa,


selain itu, Pembuatan Peraturan perundang-undangan ini juga dilaksanakan dalam
jangka waktu yag sangat singkat, tertutup, dan terkesan terburu-buru.

3. Penyimpangan dalam regulasi pembuatan RUU CIPTAKER bersesuaian dengan


pasal 15 tahun 2019 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan
Soroako, 11 November 2020

Lamp  : 9 ( sembilan) lembar


Perihal: Penyampaian Legal Opinion Terkait Omnibuslaw CIPTAKER

Kepada Yth ;

Muhammad Ikhsan
Presbem Fakultas Hukum UNHAS 2019/2020
Jl. Perintis Kemerdekaan Km.10 Makassar,
Di Tempat

Dengan Hormat,

Bersama saya Jihan Nur Taqiyyah, menyampaikan Pendapat Hukum (Legal Opinion) tentang
ketentuan UU CIPTAKER Nomor 11/20 berkaitan dengan Lingkungan dan perkembangan ekonomi
dalam penyerapan tenaga kerja, sebagai berikut :

A. KASUS POSISI (Case Position)

Adapun kronologis singkat tentang adalah sebagai berikut :

1. Pada rancangan awal, undang-undang yang ada yakni sejumlah 79 undang-undang, yang pada
akhirnya mengalami pengurangan menjadi 76 undang-undang. Namun secara pokok beberapa
undang-undang yang selama ini mendapat kritik tetap menjadi bagian dalam Undang-Undang tentang
Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).
2. Dalam pengesahan RUU CIPTAKER menjadi UU CIPTAKER terdapat perbedaan jumlah draf
yang disahkan pada siding paripurna yaitu sebanyak 905 halaman sedangkan yang diberikan kepada
pemerintah yaitu sebanyak 812 halaman.

3. Pada Pasal 61 UU No. 11 tahun2020 menjelaskan mengenai pemanfaatan keruangan yang


bersesuaian dengan pasal 70 menjelaskan mengenai hukuman kumulatif yang akan didapatkan
ketika melanggar pasal 61 tersebut. Akan tetapi terjadi kejanggalan pada pasal 70 ayat 3 yang
meniadakan penggunaan sanksi kumulatif ketika pada pelaku pidana yang mengakibatkan kematian
pada orang lain.

4. Pengesahan UU CIPTAKER yang tidak transparan, terkesan tergesa-gesa. Selain itu, UU ini juga
bersifat terlalu sentralis, dan lebih mengakomodir kepentingan penguasa dan perusahaan. Serta,
ketidaksesuaian proses pembuatan UU ini dengan Pasal 15 tahun 2019.

B. ISU HUKUM (Legal Issues)

Adapun yang menjadi permasalahan hukum antara lain :

1. Penbentukan UU Cipta Kerja melanggar ketentuan dalam Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dan UU Nomor 15 tahun 2019. Dalam
pembentukan UU CIPTAKER.

2. Bagaimana Penerpan ketentuan UU No.32 Tahun 2009 yang secara tegas mengatur sanksi
administratif, antara lain pembekuan atau pencabutan izin lingkungan?

3. Apakah Omnibuslaw CIPTAKER secara rigid dapat merampingkan regulasi dan meningkatkan
mutu pertumuhan ekonomi negara dan bukan malah menjadi over rule?

4. Bagaimana nasib pekerja dan UMKM setelah pengesahan UU ini?


C. SUMBER HUKUM (Source of Law)

Adapun yang menjadi sumber hukum dalam opini hukum (legal opinion) adalah sebagai berikut :

1. UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atau
Persetujuan Lingkungan.

2. Pasal 44 UU No.41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian.

3. UU No.41 Tahun 1999 dan UU No.18 Tahun 2013 tentang Pencegahan Pemberantasan Perusakan
Hutan.

4. UU No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

5. Pasal 10 UU No.41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

6. Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan
Perseroan Terbatas.

7. Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003.

8. Pasal 33 UUD 1945


D. ARGUMENTASI HUKUM (Legal Arguments)

 Omnibus Law merupakan sebuah Undang-undang yang dianggap kurang sesuai untukdisahkan di
Negara kita karena mementingkan kepentingan Suatu Kaum dibanding kepentingan bersama dan dari
undangundang tersebut kita mengetahui bahwa beberapa Pasal atau Aturan yang disahkan ditemukan
unsur aturan ataupun pasal yang tidak mensejahterakan rakyat. Sehingga, hal ini yang menyebabkan
Para Mahasiswa dan orang-orang diluar sana melakukan demonstrasi untuk menuntut pembatalan
ataupun pencabutan Undang-undang yang dianggap tidak sesuai ini.

1. “Penbentukan UU Cipta Kerja melanggar ketentuan dalam Undang Undang Nomor 12


Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dan UU Nomor 15 tahun
2019. Dalam pembentukan UU CIPTAKER.”

Penyusunan UU Cipta Kerja ini memang melanggar apa yang sudah tertera dalam undang-undang
dan ketika dikaji didalam UU Cipta kerja tersebut akan menuai berbagai pertanyaan dan Setidaknya
terdapat dua asas dalam UU No. 12 Tahun 2011 yang dilanggar dalam penyusunan UU Cipta Kerja,
yakni asas keterbukaan dan asas dapat dilaksanakan. Berkaitan dengan asas keterbukaan, asas ini
mewajibkan proses perencanaan hingga pengundangan suatu peraturan perundang-undangan perlu
untuk bersifat transparan dan terbuka agar seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang
seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Akan tetapi baik RUU Cipta Kerja dan Naskah Akademiknya baru dapat diakses secara resmi setelah
Surat Presiden diserahkan pada DPR. Dalam tahap ini, tahap penyusunan RUU sebenarnya sudah
selesai dan dengan diserahkannya Surat Presiden, maka RUU tersebut akan dilanjutkan ke tahap
pembahasan.

Selain itu, masyarakat juga tidak memiliki akses untuk dapat memberikan masukan secara lisan
dan/atau tertulis dalam proses penyusunannya. Selain itu, berkaitan dengan asas dapat dilaksanakan,
asas ini menyatakan bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus
memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik
secara fifilosofifis, sosiologis, maupun yuridis. Jika kita melihat pada materi UU Cipta Kerja, justru
UU ini memandatkan hal-hal yang sangat mendasar yang sebelumnya diatur dalam tataran Undang-
Undang untuk diatur di dalam Peraturan Pemerintah, seperti terkait dengan pembagian kewenangan.

Adapun penyusun UU berargumen bahwa penghapusan pengaturan-pengaturan prinsipil yang


sebelumnya menjadi materi muatan UU ini adalah untuk memberikan flfleksibilitas bagi Pemerintah
Pusat dalam mengambil kebijakan mengikuti dinamika masyarakat dan global yang semakin cepat.
Sebagai konsekuensi dari pandangan tersebut, UU Cipta Kerja justru memandatkan 454 peraturan
yang didelegasikan untuk mengimplementasikan peraturan ini.2 Melihat hal ini, justru dikhawatirkan
UU Cipta Kerja tidak dapat langsung di operasionalisasikan dengan baik sebelum Peraturan
pelaksana yang dimandatkan diselesaikan.

Disamping itu, UU Cipta Kerja juga mengamanatkan agar peraturan pelaksanaan dari UU yang telah
mengalami perubahan dalam UU Cipta Kerja agar disesuaikan paling lama 3 (tiga) bulan setelah UU
Cipta Kerja disahkan. Hal ini tentu tidak realistis dalam pelaksanaannya, mengingat tidak mudah
untuk menyesuaikan peraturan pelaksana dari 76 UU.

2. “Bagaimana Penerpan ketentuan Pasal 88 UU No.32 Tahun 2009 yang secara tegas
mengatur sanksi administratif, antara lain pembekuan atau pencabutan izin lingkungan?”

Melihat naskah akademik RUU Cipta Kerja mengubah Pasal 88 UU No.32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, khususnya frasa “bertanggung jawab
mutlak” menjadi “bertanggung jawab” dan “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” menjadi
“berdasarkan pembuktian yang sah.” Alasan yang digunakan untuk menghapus konsep
pertanggungjawaban mutlak Sstrict liability)

Strict Liability tidak berkaitan dengan pidana, tapi perdata, ini bukti kesalahan fatal naskah
akademik RUU Cipta Kerja. Strict Liability sudah diadopsi banyak negara dan diakui dalam hukum
lingkungan di Indonesia sejak 1982. Selain itu, RUU Cipta Kerja menghapus sanksi administratif
yang diatur Pasal 76 ayat (2) UU No.32 Tahun 2009. Sanksi paksaan pemerintah sebagaimana diatur
dalam Pasal 80 No.32 Tahun 2009 masih dipertahankan. Mengingat RUU Cipta Kerja menghapus
izin lingkungan dan menggantinya dengan persetujuan lingkungan, kemungkinan tidak akan terjadi
sanksi pencabutan izin lingkungan.

Berbeda dengan ketentuan UU No.32 Tahun 2009 yang secara tegas mengatur sanksi
administratif, antara lain pembekuan atau pencabutan izin lingkungan. dampak yang ditimbulkan
RUU Cipta Kerja karena mengubah banyak pasal pidana dalam UU No.32 Tahun 2009 yakni tidak
mungkin lagi menerapkan pidana korporasi. Dan membuat penegakan hukum pidana menjadi tidak
konsisten, misalnya Pasal 100, 101, 105, 106, 107, 108 UU No.32 Tahun 2009 yang tidak diubah
RUU Cipta Kerja, ketentuan ini tetap dapat dikenakan pertanggungjawaban korporasi. RUU Cipta
Kerja mempersempit opsi untuk memilih sanksi karena yang diutamakan administratif. Seharusnya
diatur secara proporsional antara sanksi administratif dan pidana. Pengaturan sanksi dalam RUU
Cipta Kerja membuat pengenaan sanksi menjadi terbatas apakah administratif atau pidana.

Begitu pula pertanggungjawaban perdata yang diatur RUU Cipta Kerja menunjukan beleid ini
nanti tak hanya memberikan kemudahan berusaha (perizinan) bagi investor, tapi juga memberi
jaminan tidak ada konsekuensi hukum bila kegiatan usaha yang dilakukan nanti menimbulkan
pencemaran dan kerusakan. Jika pemerintah dan DPR tetap ngotot mengutamakan sanksi
administratif dalam RUU Cipta Kerja,

3. “Apakah Omnibuslaw CIPTAKER secara rigid dapat merampingkan regulasi dan


meningkatkan mutu pertumuhan ekonomi negara dan bukan malah menjadi over rule?”

Menurut saya secara pribadi Omibulaw CIPTAKER berkemungkinan memperumit jalannya


regulasi yang ada. Karena dalam rangka penyesuaikan UU CIPTAKER dan UU yang telah ada saat
ini maka diperlukan adanya singkronisasi peraturan dari pusat ke berbagai daerah. Sehingga,
undang undang CIPTAKER sebelum ini sebelum digunakan secara efektif dan efisien perlu melalu
berbagai macam tahapan lagi. Dilain pihak saya menilai Omnibuslaw CIPTAKER sebagai aturan
yang over rule atau aturan di atas peraturan. Yang dapat dilihat dari besarnya kekuasaan yang akan
di pegang oleh pemerintah pusat. Dalam hal ini saya melihat pemerintah Indonesia ingin
menguatkan inverstasi asing (Foreign Direct Investment) di dalam Indonesia dalam membangun
investasi yang pada dasarnya akan menjadi Industri padat modal yang dalam implementasinya
menyebabkan pertumbuhan yang tidak berkualitas karena kurangnya penyerapan tenaga kerja
dalam negeri yang tidak bersesuaian dengan pasal 33 UUD 1945.

4. “Bagaimana nasib pekerja dan UMKM setelah pengesahan UU ini?”

Mengenai nasib pekerja sedikitnya ada 3 poin yang menjadi kekhawatiran saya pada pekerja
yakni masalah penentuan pengupahan yang dalam hal ini gaji minum pekerja akan di sesuaikan oleh
pusat melalui (Dewan Pengupahan), Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA), dan Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK). Alih-alih memperbaiki investasi rancangan aturan tersebut akan
menimbulkan masalah ketenagakerjaan terutama di masa sekarang ketika kita menghadapi
Globalisasi, Persaingan Dagang, Pandemic COVID-19, Serta automatic technology yang akan
menggantikan manusai. Beberapa hal tersebut membuat jumlah lapanagan kerja yang tersedia
semakin kecil. Yang dalam hal ini pula tenaga kerja Indonesia dibanding dengan tenaga asing itu
jauh berbeda. Terutama dalam segi pendidikan, keahlian, dan keuletan bekerja. Pengaruh dari
Globalisasi, dan masuknya tenaga keja di Indonesia membuat para angkatan kerja mesti berusaha
lebih ektra untuk mendapatkan pekerjaan. Dilain pihak, kondisi perekonomian Indonesia bisa
diperbaiki melalui jalan penguatan UMKM yang telah terbukti dapat menyelamatkan ekonomi
Indonesia pada krisis moneter 1997-1998. Namun saat ini kita melihat bahwa UKM yang ada saat
ini kurang diberikan insentif oleh pemerintah sehingga semakin sulit bagi mereka untuk bertumpuh
padahal sesuai beberapa penelitian ekonomi 10 tahun yanga akan datang tepatnya 2030 keatas 80%
produk di dunia akan dikuasai oleh UKM yang Go Global dan Go Digital.

UU Cipta Kerja tidak menjawab permasalahan pembangunan berkelanjutan yang secara


faktual terjadi. UU Cipta Kerja mengabaikan permasalahan penegakan hukum dan korupsi sebagai
faktor krusial penghambat iklim investasi. indikator lain yang bernilai lebih buruk dibandingkan
indikator regulasi dan perizinan, yaitu enforcing contracts dalam Ease of Doing Business (EODB),5
dan incidence of corruption dalam Global Competitiveness Index (GCI). Padahal, berbagai hasil
penelitian telah menunjukkan bahwa tata kelola pemerintahan (good governance) suatu negara turut
mempengaruhi nilai investasi asing (foreign direct investment/ FDI) maupun pertumbuhan ekonomi
(economic growth), dua hal yang hendak dicapai oleh UU Cipta Kerja. Disisi lain, korupsi juga
menimbulkan kerugian langsung bagi negara sebesar Rp203,9 triliun dalam rentang waktu 2001
hingga 2015

E. KESIMPULAN dan REKOMENDASI (Conclusions and Recommendations)

Berdasarkan uraian atau analisis di atas beberapa masalah dan/atau potensi masalah lebih banyak
dibandingkan temuan positif. Karenanya, kesimpulan yang dapat ditarik adalah:

1. Berkaitan dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, permasalahan utama adalah direduksinya hak masyarakat atas akses dalam mendapatkan hak
atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, baik itu hak atas informasi, hak atas partisipasi, serta
hak atas keadilan. Selain itu, terdapat kesalahan konsep dalam perumusan strict liability yang dapat
berakibat sulitnya menjalankan konsep tersebut. Penghapusan pengecualian larangan membakar
bagi masyarakat peladang tradisional berpotensi terjadinya kriminalisasi dan pemindahan beban
pertanggungjawaban. Diharapkan dalam implemanti kebijakan bersesuaian dengan UU No. 32
Tahun 2009 konsep strict liability dapat berjalan dengan lebih baik dan tetap menjaga dan
melindungu ruang lingkup hidup yang ada.

2. RUU Cipta Kerja memperbesar peluang kriminalisasi dan diskriminasi hak petani dan
masyarakat hukum adat. Menurut Dewi, RUU Cipta Kerja memperlemah UU No.41 Tahun 1999
dan UU No.18 Tahun 2013 tentang Pencegahan Pemberantasan Perusakan Hutan. Padahal, selama
ini kedua regulasi itu sudah terbukti banyak digunakan untuk mengkriminalkan petani dan
masyarakat yang berkonflik dengan kawasan hutan. Salah satunya, RUU Cipta Kerja menghapus
ancaman pidana diganti dengan sanksi administratif, seperti diatur Pasal 82, 83 dan 84 UU No.18
Tahun 2013. Berkaitan dengan hal ini diharapkan adanya pengubahan dalam implemenrtasi pada
UU CIPTEKER yang telah di sahkan agar tidak ada lagi kasus kriminalisasi sepihak pada para
petani dan masyarakat yang memiliki konflik yang memeiliki konflik dengan kawasan hutan.

F. Penutup
Demikian legal opinion ini dibuat, untuk dipergunakan sebagaimana mestinya. Atas perhatiannya
kami ucapkan terima kasih.

Anda mungkin juga menyukai