Anda di halaman 1dari 12

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN

USAHA PASCA BERLAKUNYA UU CIPTA KERJA

TUGAS AKHIR MAGANG BATCH II 2022 KPPU KANWIL IV

Diajukuan Kepada Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) Kantor Wilayah IV RI

Oleh :

AVIKA SHINTA NURFADILA

NIM :

031911133018

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA

MARET 2022
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN
USAHA PASCA BERLAKUNYA UU CIPTA KERJA

Abstrak

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja memiliki 11 (sebelas)


klaster yang diatur di dalamnya. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
memuat beberapa perubahan terhadap Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat atau yang disebut dengan UU Anti
Monopoli (selanjutnya disebut UU No. 5 Tahun 1999). Perubahan terhadap beberapa pasal
dari UU No. 5 Tahun 1999 pada UU Cipta Kerja diatur dalam Bab VI tentang Kemudahan
Berusaha, yaitu pada Bagian Kesebelas tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat dalam Pasal 118. Terdapat 4 (empat) hal penting terkait penegakan hukum
persaingan usaha yang secara garis besar diubah oleh UU Cipta Kerja, yakni upaya keberatan
yang kini menjadi kompetensi dari Pengadilan Niaga, tidak adanya jangka waktu pembacaan
putusan keberatan oleh Pengadilan Niaga dan kasasi oleh Mahkamah Agung, tidak adanya
batasan denda maksimal, dan dihapusnya beberapa pasal ketentuan pidana dalam UU No. 5
Tahun 1999.

Kata kunci: UU No. 5 Tahun 1999, UU No. 11 Tahun 2020, penegakan hukum.
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Jargon Latin “ubi societas ibi ius” yang artinya di mana ada masyarakat di situ
ada hukum sudah seringkali didengar apabila berbicara persoalan hukum. Hukum
yang berlaku di masyarakat menjadi tolok ukur setiap orang baik sebagai individu
maupun sebagai bangsa untuk berperilaku. Mengingat peran hukum sangat penting,
maka undang-undang sebagai salah satu bentuk regulasi yang mengatur kehidupan
bernegara harus dibentuk serta digunakan untuk kepentingan rakyat agar dapat
dijamin kesejahterannya. Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, pada pelantikan
di Gedung MPR/DPR mengemukakan gagasan mengenai salah satu bentuk terobosan
dalam konsep pembentukan Hukum Perundang-undangan yang disebut Omnibus
Law. Pada saat itu, Presiden Joko Widodo mengungkapkan rencananya untuk serta
mengajak DPR membahas undang-undang yang akan menjadi Omnibus Law. Salah
satunya ialah Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja.1
Kebijakan Omnibus Law biasanya diambil karena dirasa ada terlalu banyak
produk hukum yang digunakan untuk mengatur satu urusan yang sama (over regulasi)
atau digunakan untuk menyelesaikan masalah yang ditimbulkan oleh beberapa produk
hukum yang wewenang dan penggunaanya saling tumpang tindih (overlapping).
Dalam rangka memperpendek waktu penguraian 2 (dua) akar permasalahan tersebut,
ditambah dinamika politik pembentukan regulasi baru lainnya, maka Omnibus Law
biasanya menjadi solusi hukum yang dipertimbangkan untuk mengatasi 2 (dua)
permasalahan tadi, yaitu over regulasi dan overlapping regulasi.2 Keberadaan
Omnibus Law diharapkan dapat mengatasi persoalan dalam berbagai undang-undang
yang dapat diselesaikan tanpa harus merevisi undang-undang yang substansinya
terkait, yaitu dengan cukup membuat 1 (satu) undang-undang baru yang
mengamandemen pasal dalam beberapa undang-undang.

1
Jawahir Gustav Rizal, “Jejak Omnibus Law: Dari Pidato Pelantikan Jokowi hingga Polemik RUU Cipta Kerja” <
https://www.kompas.com/tren/read/2020/10/05/090200165/jejak-omnibus-law-dari-pidato-pelantikan-jokowi-hingga-
polemik-ruu-cipta?page=all > diakses pada 9 Maret 2022.
2
Antoni Putra, Penerapan Omnibus Law Dalam Upaya Reformasi Regulasi, Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 17 No. 1,
Maret 2020.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja memiliki 11
(sebelas) klaster yang diatur di dalamnya.3 Namun, pada sisi lain, pemberlakuan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja juga mendapat penolakan
dan menyebabkan adanya opini ketidakpuasan dari sebagian besar masyarakat
Indonesia dengan persepsi hukum yang berbeda-beda. Meskipun demikian, Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah berupaya untuk membenahi
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja memuat beberapa
perubahan terhadap Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat atau yang disebut dengan UU Anti
Monopoli (selanjutnya disebut UU No. 5 Tahun 1999). Perubahan terhadap beberapa
pasal dari UU No. 5 Tahun 1999 pada UU Cipta Kerja diatur dalam Bab VI tentang
Kemudahan Berusaha, yaitu pada Bagian Kesebelas tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam Pasal 118. Terdapat 4 (empat) hal
penting terkait penegakan hukum persaingan usaha yang secara garis besar diubah
oleh UU Cipta Kerja, yakni upaya keberatan yang kini menjadi kompetensi dari
Pengadilan Niaga, tidak adanya jangka waktu pembacaan putusan keberatan dan
kasasi, tidak adanya batasan denda maksimal, dan dihapusnya beberapa pasal
ketentuan pidana dalam UU No. 5 Tahun 1999. Kesemuanya itu memiliki
konsekuensi masing-masing yang akan diuraikan dalam penulisan ini.

1.2. Rumusan Masalah

3
Adapun 11 klaster yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
sebagai berikut:
1. Penyederhanaan perizinan tanah;
2. Persyaratan investasi;
3. Ketenagakerjaan;
4. Kemudahan dan perlindungan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM);
5. Kemudahan berusaha;
6. Dukungan riset dan inovasi;
7. Administrasi pemerintah;
8. Pengenaan sanksi;
9. Pengendalian lahan;
10. Kemudahan proyek pemerintah;
11. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
1.2.1. Bagaimana perubahan terhadap pengaturan hukum persaingan usaha pasca
berlakunya UU Cipta Kerja?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Perubahan Penegakan Hukum Persaingan Usaha dalam UU No. 5 Tahun 1999
Sebelum dan Pasca Berlakunya UU Cipta Kerja
Perubahan terkait penegakan hukum anti monopoli dalam UU Cipta Kerja
adalah berkaitan dengan upaya keberatan dari Pengadilan Negeri ke Pengadilan
Niaga. Pada mulanya, Pasal 44 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999 mengatur bahwa
apabila pelaku usaha tidak puas dengan putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU), maka ia dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri selambat-
lambatnya 14 (empat belas) hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.
Namun setelah berlakunya UU Cipta Kerja, pelaku usaha tidak lagi mengajukan
keberatan kepada Pengadilan Negeri, melainkan Pengadilan Niaga sebagaimana yang
diatur oleh UU Cipta Kerja dalam ketentuan Pasal 44 UU No. 5 Tahun 1999 yang
diubah. Adanya perubahan perihal kompetensi pengadilan tersebut memberikan
konsekuensi pada 2 (dua) sisi. Keberatan terhadap putusan KPPU yang diajukan
kepada Pengadilan Niaga dapat menjadikan kualitas pembuktian di pengadilan
meningkat karena para hakim di Pengadilan Niaga pada umumnya telah terbiasa
untuk berurusan dengan persoalan-persoalan bisnis dan komersil. Kemungkinan besar
proses persidangan di Pengadilan Niaga juga akan lebih komprehensif karena para
hakim berpengalaman dalam bidang usaha atau bisnis.
Akan tetapi, di sisi lain perubahan upaya keberatan dari Pengadilan Negeri ke
Pengadilan Niaga tersebut juga cukup menyulitkan karena jumlah Pengadilan Niaga
di Indonesia terbatas, sehingga hal ini juga bisa berimbas pada biaya yang harus
dikeluarkan oleh para pelaku usaha yang mengajukan keberatan ke Pengadilan Niaga
akan sedikit lebih mahal. Namun, permasalahan tersebut dapat diatasi dengan
diadakannya persidangan secara daring/online, sehingga keterbatasan jumlah
Pengadilan Niaga dapat dihadapi.
Perubahan kedua adalah terkait dengan dihapusnya jangka waktu pembacaan
putusan keberatan dan kasasi oleh Pengadilan Niaga serta Mahkamah Agung.
Sebelumnya, Pasal 45 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999 mengatur bahwa Pengadilan
Negeri harus memberikan putusan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak dimulainya
pemeriksaan keberatan. Sedangkan, Pasal 45 ayat (4) UU No. 5 Tahun 1999 mengatur
bahwa Mahkamah Agung harus memberikan putusan dalam waktu 30 (tiga puluh)
hari sejak permohonan kasasi diterima. Akan tetapi, UU Cipta Kerja menghapuskan
ketentuan jangka waktu pembacaan putusan keberatan dan kasasi tersebut. Hal ini
cukup mengkhawatirkan karena dihapusnya ketentuan itu dapat menimbulkan potensi
adanya ketidakpastian bagi para pelaku usaha terhadap penyelesaian upaya keberatan
yang diajukan.
UU Cipta Kerja dalam ketentuan Pasal 45 ayat (3) yang diubah hanya
mencantumkan bahwa ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan di Pengadilan Niaga
dan Mahkamah Agung Republik Indonesia dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Berdasarkan bunyi dari pasal dalam tersebut, maka
upaya keberatan ini bisa mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun
2019 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan terhadap Putusan KPPU (selanjutnya
disebut Perma No. 3 Tahun 2019). Pasal 8 ayat (4) jo. Pasal 13 ayat (1) Perma No. 3
Tahun 2019 mengatur bahwa Majelis Hakim membacakan putusan paling lambat 30
(tiga puluh) hari sejak dimulainya pemeriksaan keberatan. Sayangnya, pengaturan
dalam Perma No. 3 Tahun 2019 masih menggunakan istilah Pengadilan Negeri, bukan
Pengadilan Niaga sebagaimana pengaturan dalam UU Cipta Kerja saat ini. Hal
tersebut harus menjadi perhatian karena persoalan ini berhubungan dengan kesesuaian
antar peraturan perundang-undangan yang saling berkaitan. Meskipun demikian,
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha (selanjutnya disebut PP No. 44 Tahun 2021)
berupaya untuk mengatasi persoalan tersebut. Pasal 19 ayat (3) PP No. 4 Tahun 2021
mengatur bahwa pemeriksaan keberatan di Pengadilan Niaga dilakukan dalam jangka
waktu paling cepat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan. Hal ini
memang dapat menyebabkan multitafsir karena istilah yang digunakan tersebut lama
waktu pemeriksaan keberatan saja, bukan pembacaan putusan keberatan.
Namun, kini telah ada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2021
tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum terhadap Putusan KPPU (selanjutnya
disebut Perma No. 3 Tahun 2021) yang berlaku sejak tanggal 17 September 2021.
Sebagai salah satu turunan peraturan dari UU Cipta Kerja, Perma No. 3 Tahun 2021
telah menjawab persoalan terkait pembacaan putusan keberatan. Pasal 14 Perma No. 3
Tahun 2021 mengatur bahwa pemeriksaan dilakukan dalam jangka waktu paling cepat
3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan, tetapi apabila Majelis Hakim
telah merasa cukup, pemeriksaan dapat dilakukan kurang dari jangka waktu 3 (tiga)
bulan tersebut. Majelis Hakim dapat mengucapkan putusan tanpa harus menunggu 3
(tiga) bulan, tetapi Majelis Hakim wajib menuangkan alasan dan pertimbangan
mengapa pemeriksaan diselesaikan dalam jangka waktu kurang dari 3 (tiga) bulan
sebagaimana ketentuan tersebut telah tercantum dalam Pasal 15 Perma No. 3 Tahun
2021. Artinya, pembacaan putusan keberatan dapat dilakukan apabila Majelis Hakim
telah menyelesaikan pemeriksaan perkaranya. Dengan demikian, pelaku usaha yang
mengajukan keberatan patut mempertanyakan penyelesaian dari pengajuan keberatan
tersebut apabila hingga 12 (dua belas) bulan pemeriksaan masih belum dilakukan
pembacaan putusan oleh Majelis Hakim.
Perubahan ketiga adalah dihapusnya batasan denda maksimal terhadap pelaku
usaha yang melanggar UU Anti Monopoli. Pasal 47 ayat (2) huruf g UU No. 5 Tahun
1999 mengatur bahwa tindakan admnisitratif dapat berupa pengenaan denda serendah-
rendahnya Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya
Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah). Namun, ketentuan Pasal 47 ayat
(2) huruf g yang diubah oleh UU Cipta Kerja mengatur bahwa pengenaan denda
paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Berdasarkan ketentuan
tersebut, UU Cipta Kerja tidak mencantumkan denda maksimal dari tindakan
administratif untuk pelaku usaha, melainkan hanya denda minimal. Akan tetapi, PP
No. 44 Tahun 2021 memberikan jawaban atas persoalan tersebut. Pasal 12 ayat (1) PP
No. 44 Tahun 2021 mengatur bahwa pengenaan tindakan administratif berupa denda
oleh KPPU dilakukan berdasarkan:
a. Paling banyak sebesar 50% (lima puluh persen) dari keuntungan bersih
yang diperoleh Pelaku Usaha pada Pasar Bersangkutan, selama kurun
waktu terjadinya pelanggaran terhadap Undang-Undang; atau
b. Paling banyak sebesar 10% (sepuluh persen) dari total penjualan pada
Pasar Bersangkutan, selama kurun waktu terjadinya pelanggaran terhadap
Undang-Undang.
Lebih lanjut, Pasal 12 ayat (2) PP No. 44 Tahun 2021 mengatur bahwa sebagai
jaminan pemenuhan atas putusan Komisi yang memuat tindakan administratif berupa
denda, terlapor wajib menyerahkan jaminan bank yang cukup, paling banyak 20%
(dua puluh persen) dari nilai denda, paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah
menerima pemberitahuan putusan Komisi. Penentuan besaran denda yang telah
dijelaskan sebelumnya didasarkan atas beberapa hal, yaitu dampak negatif yang
ditimbulkan akibat pelanggaran, durasi waktu terjadinya pelanggaran, faktor yang
meringankan, faktor yang memberatkan, dan kemampuan pelaku usaha untuk
membayar. Selanjutnya, kriteria untuk menilai faktor-faktor tersebut juga telah diatur
dalam PP No. 44 Tahun 2021.
Perubahan terakhir oleh UU Cipta Kerja terhadap UU No. 5 Tahun 1999
adalah dihapusnya ketentuan pidana yang sebelumnya berlaku dalam Pasal 48 ayat (1)
dan ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999. UU Cipta Kerja hanya menerapkan sanksi pidana
dalam pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 UU No. 5 Tahun 1999 dengan pidana
denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) atau pidana kurungan
paling lama 1 (satu) tahun sebagai pengganti pidana denda. Sementara pelanggaran
pasal lainnya tidak lagi dikenai sanksi pidana, melainkan sanksi administratif
sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 47 yang telah diubah oleh UU Cipta
Kerja dan pelaksanannya diatur lebih lanjut dalam PP No. 44 Tahun 2021. Dengan
kata lain, hapusnya ketentuan pidana tidak menjadikan pelanggaran pasal dalam UU
No. 5 Tahun 1999 tidak lagi mendapat sanksi karena Pasal 7 sampai dengan Pasal 11
PP No. 44 Tahun 2021 telah mengatur mengenai jenis sanksi yang dikenakan terhadap
pelanggaran-pelanggaran pasal terkait. Selain itu, ketentuan pidana tambahan dalam
Pasal 49 UU No. 5 Tahun 1999 juga telah dihapus oleh UU Cipta Kerja. Hal ini
dikarenakan dalam penerapannya, pidana tambahan tidak terlalu diperlukan karena
sudah ada ketentuan mengenai sanksi dalam bentuk tindakan administratif.
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Perubahan terhadap beberapa pasal dari UU No. 5 Tahun 1999 pada UU Cipta
Kerja diatur dalam Bab VI tentang Kemudahan Berusaha, yaitu pada Bagian
Kesebelas tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
dalam Pasal 118. Terdapat 4 (empat) hal penting terkait penegakan hukum persaingan
usaha yang secara garis besar diubah oleh UU Cipta Kerja, yakni upaya keberatan
yang kini menjadi kompetensi dari Pengadilan Niaga, tidak adanya jangka waktu
pembacaan putusan keberatan dan kasasi, tidak adanya batasan denda maksimal, dan
dihapusnya beberapa pasal ketentuan pidana dalam UU No. 5 Tahun 1999.
Berdasarkan hal tersebut, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. UU Cipta Kerja mengatur bahwa pengajuan keberatan oleh pelaku usaha tidak
lagi kepada Pengadilan Negeri, melainkan Pengadilan Niaga. Di satu sisi,
ketentuan tersebut dapat meningkatkan kualitas pembuktian di pengadilan, tetapi
di sisi lain jumlah Pengadilan Niaga di Indonesia terbatas.
2. Jangka waktu pembacaan putusan keberatan dan kasasi oleh Pengadilan Niaga
dan Mahkamah Agung belum diatur secara jelas oleh UU Cipta Kerja, tetapi kini
telah berlaku Perma No. 3 Tahun 2021.
3. Batasan denda maksimal untuk tindakan administratif dalam UU No. 5 Tahun
1999 telah dihapus, tetapi pengaturan mengenai pengenaan denda telah diatur
secara lengkap dalam PP No. 44 Tahun 2021.
4. UU Cipta Kerja hanya menerapkan sanksi pidana dalam pelanggaran terhadap
ketentuan Pasal 41 UU No. 5 Tahun 1999 dan menghapus ketentuan Pasal 49 UU
No. 5 Tahun 1999.

3.2. Saran
Persoalan yang paling menonjol dari perubahan terhadap UU No. 5 Tahun
1999 adalah dalam hal upaya keberatan atas keputusan KPPU yang awalnya diajukan
pelaku usaha ke Pengadilan Negeri setelah adanya UU Cipta Kerja, upaya keberatan
tersebut diajukan ke Pengadilan Niaga. Meskipun diadakan persidangan secara online
sekalipun, persidangan online tersebut pasti memerlukan penyempurnaan pada
beberapa aspek supaya prinsip due process of law yang seharusnya ada tetap dapat
dilakukan. Selain itu, Mahkamah Agung perlu mempertimbangkan untuk membentuk
semacam tribunal atau hakim khusus persaingan usaha atau bisa juga hakim ad hoc
bagi kasus persaingan usaha tertentu, misalnya dalam kasus yang kompleks di sektor
ekonomi digital. Apabila hal tersebut dapat diwujudkan, hal ini akan meningkatkan
kualitas persidangan di Indonesia dalam ranah persaingan usaha.
Daftar Bacaan

Jurnal
Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 17 No. 1, Maret 2020.

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6573).

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817).

Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Larangan Praktek


Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2021 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6656).

Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengajuan dan
Pemeriksaan Keberatan terhadap Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1060).

Internet
https://www.kompas.com/tren/read/2020/10/05/090200165/jejak-omnibus-law-dari-pidato-
pelantikan-jokowi-hingga-polemik-ruu-cipta?page=al, diakses pada 9 Maret 2022.

Anda mungkin juga menyukai