Anda di halaman 1dari 6

Cara Memaknai Keberlakuan UU Cipta

Kerja Pasca Putusan MK

Dr. Fitriani Ahlan Sjarif, S.H., M.H.Indonesian Center for Legislative Drafting
Bacaan 6 Menit
Pertanyaan

Saya kurang memahami maksud dari isi putusan MK tentang UU Cipta


Kerja ini. Apakah berarti UU Cipta Kerja tidak bisa berlaku sepenuhnya
karena peraturan pelaksana tidak lagi bisa dibuat atau bagaimana
keberlakuan dari UU Cipta Kerja ini?

Intisari Jawaban

Ulasan Lengkap
 

Putusan MK UU Cipta Kerja Inkonstitusional Bersyarat

Pasca Mahkamah Konstitusi (“MK”) memberikan Putusan MK Nomor 91/PUU-


XVIII/2020, UU Cipta Kerja terbukti inkonstitusional.[1] Namun, untuk menghindari
ketidakpastian hukum dan dampak lebih besar yang ditimbulkan, MK menyatakan
UU Cipta Kerja masih tetap berlaku secara bersyarat.[2] Hal tersebut terdapat pada
isi amar Putusan MK atas UU Cipta Kerja angka 3 yang menyebutkan:
Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak
dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak
putusan ini diucapkan”.

Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya


Terjangkau
Mulai Dari
Rp 149.000
Lihat Semua Kelas 
Selengkapnya mengenai penjelasan bagaimana permasalahan pembentukan UU
Cipta Kerja yang terbukti dilanggar pembentuk UU dan kritik terhadap Putusan MK,
dapat Anda simak dalam Babak Baru UU Cipta Kerja: Babak Belur Perundang-
undangan?
 

Amar Putusan MK UU Cipta Kerja

Makna inkonstitusional bersyarat dalam Putusan MK tersebut adalah dalam 2 tahun


sejak putusan tersebut diucapkan yaitu tanggal 25 November 2021 hingga 25
November 2023, UU Cipta Kerja masih berlaku dengan syarat DPR dan pemerintah
harus melakukan perubahan sesuai dengan perintah dari Putusan MK Nomor
91/PUU-XVIII/2020 di antaranya adalah:

1. Menyusun kembali UU Cipta Kerja sesuai dengan asas pembentukan


peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam Lampiran II UU
12/2011;
2. Membuka seluas-luasnya partisipasi masyarakat yang mau mengkritisi dan
memberikan masukan terhadap revisi UU Cipta Kerja; dan
3. Menghindari adanya perubahan substansi yang ‘mendadak’ di sela-sela
proses persetujuan bersama Presiden dan DPR dan pengesahan.

Apabila UU Cipta Kerja tidak diubah sesuai dengan Putusan MK tersebut, maka
secara hukum UU Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen (tidak
berlaku).[3] Sehingga, UU atau substansi UU lama yang sudah dicabut atau diubah
oleh UU Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali.[4]
Baca juga: Pengertian Konstitusional Bersyarat dan Inkonstitusional Bersyarat  
Putusan tersebut pun mengatur bahwa peraturan pelaksana yang sudah ada tetap
berlaku. Hanya saja pemerintah tidak boleh membuat peraturan pelaksana baru dari
UU Cipta Kerja.
Peraturan pelaksana dari UU Cipta Kerja yang masih berlaku salah satunya
adalah PP 5/2021 yang diundangkan pada tanggal 2 Februari 2021. PP tersebut
mengatur sistem perizinan terintegrasi melalui Online Single Submission (OSS)
yang masih tetap berlaku dan mengikat masyarakat.
 

Cara Memaknai Putusan MK atas UU Cipta Kerja

Lebih lanjut, UU Cipta Kerja yang telah diundangkan serta tidak dibatalkan
mengindikasikan bahwa UU Cipta Kerja masih memiliki daya laku dan daya ikat.
Keberlakuan suatu UU didasarkan pada pengundangannya sebagaimana diatur
dalam Pasal 87 UU 12/2011 yang berbunyi:
Peraturan Perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan
mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam
Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.
Dengan demikian, suatu UU tetap berlaku atau keberlakuannya tidak terpengaruh
oleh ada atau tidaknya peraturan pelaksana. Kendati demikian, kondisi tersebut
memiliki kelemahan yakni kurang efektifnya pelaksanaan UU di masyarakat.
Menurut Prof. Maria Farida Indrati keberlakuan suatu peraturan perundang-
undangan didasarkan pada keabsahan secara formil. Keabsahan ini disebut juga
sebagai daya laku (validitas). Daya laku dari suatu peraturan perundang-
undangan ada apabila suatu norma dibentuk oleh norma yang lebih tinggi dan
dibentuk oleh lembaga yang berwenang membentuknya.[5] Setiap orang pun
akan mulai terikat dan dianggap telah mengetahui suatu peraturan apabila peraturan
tersebut telah diundangkan dalam lembaran negara.
Selain membutuhkan daya laku, peraturan perundang-undangan juga membutuhkan
daya guna (efficacy) yang berhubungan dengan efektivitas suatu norma untuk
berlaku di masyarakat. UU yang belum memiliki peraturan pelaksana belum
sepenuhnya memiliki daya guna. Padahal daya laku dan daya guna seharusnya
berjalan beriringan, sebab daya guna berhubungan erat dengan manfaat
dirumuskannya suatu UU yang akan menjadi solusi atas permasalahan dan
kebutuhan hukum masyarakat.[6]
Jika dihubungkan dengan kondisi UU Cipta Kerja pasca Putusan MK, maka kondisi
ini dapat dikatakan bahwa UU Cipta Kerja tetap berlaku meskipun kondisi norma
tidak berdaya guna secara efektif.[7]
Di sisi lain, Putusan MK atas UU Cipta Kerja masih memiliki sisi multi tafsir karena
dalam amar angka 7 putusan a quo, MK tidak memberikan kejelasan pada makna
“tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas”.
Hal ini tentunya akan menimbulkan kebingungan pada pemerintah yang hendak
melaksanakan UU Cipta Kerja dan masyarakat pada umumnya. Ahli Hukum Tata
Negara UGM Zainal Arifin Mochtar pun turut berpendapat bahwa tidak ada
penjelasan lebih lanjut mengenai makna sebenarnya dalam menentukan suatu yang
termasuk dalam tindakan/kebijakan yang tergolong strategis dan berdampak luas.[8]
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:

1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-Undangan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan
Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.

 
Putusan:
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
 
Referensi:

1. Maria Farida Indrati S. Ilmu Perundang-undangan. Yogyakarta: PT Kanisius,


2007;
2. Tjondro Tirtamulia. Peraturan Perundang-undangan dalam Sistem Hukum
Nasional. Surabaya: Universitas Surabaya, 2016;
3. Zainal Arifin Mochtar dalam Diskusi Constitutional Law Society Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada. “Membaca Arah Putusan Mahkamah
Konstitusi dalam Uji Formil UU Cipta Kerja: Bagaimana Selanjutnya?” pada
Minggu, 5 Desember 2021.

[1] Putusan Mahkamah Konstitusi (“MK”) Nomor 91/PUU-XVIII/2020, hal. 416


[2] Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, hal. 413
[3] Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, hal. 416-417
[4] Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, hal. 417
[5] Maria Farida Indrati S. Ilmu Perundang-undangan. Yogyakarta: PT Kanisius,
2007, hal. 39
[6] Tjondro Tirtamulia. Peraturan Perundang-undangan dalam Sistem Hukum
Nasional. Surabaya: Universitas Surabaya, 2016, hal. 32-34
[7] Tjondro Tirtamulia. Peraturan Perundang-undangan dalam Sistem Hukum
Nasional. Surabaya: Universitas Surabaya, 2016, hal. 32-34
[8] Zainal Arifin Mochtar dalam Diskusi Constitutional Law Society Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada. “Membaca Arah Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Uji
Formil UU Cipta Kerja: Bagaimana Selanjutnya?” pada Minggu, 5 Desember 2021

Anda mungkin juga menyukai