Anda di halaman 1dari 5

Hukumnya bagi Polisi yang Minta Uang

untuk Stop Proses Pidana


Monnachu Wemonicha Lovina, S.H.PERSADA UB
Bacaan 7 Menit

Pertanyaan
Polisi saat melakukan penangkapan masalah narkotika meminta sejumlah uang untuk
menghilangkan barang bukti. Kemudiaan saat masuk kantor polisi diminta lagi sejumlah uang
untuk tidak diproses, bisakah dilaporkan?

Atasan polisi tersebut juga tahu akan hal ini dan membiarkan terjadi. Apa yang bisa saya
lakukan? Mungkinkah saya dianggap sebagai whistle blower? Apa imbasnya bagi saya dan
pelaku yang ditangkap?

Kejadian sudah terjadi kurang lebih 2 bulan lalu, saya takut dan ragu melaporkan ini. Mohon
pencerahannya, terima kasih.

Intisari Jawaban

Ulasan Lengkap
 

Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata
untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya).
Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung
dengan Konsultan Mitra Justika.

Tindakan polisi yang meminta uang untuk menghilangkan barang bukti serta menghentikan
proses pidana dapat dilaporkan atas dasar dugaan manipulasi atau rekayasa perkara.

Proses penangkapan merupakan salah satu bagian dari upaya paksa pada tahap penyelidikan
yang menjadi wewenang penyelidik atas dasar perintah dari penyidik.[1] Penangkapan
dilakukan untuk mencapai tujuan penyelidikan yakni agar dapat ditentukan apakah suatu
peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana benar-benar merupakan suatu tindak pidana dan
dapat dilakukan proses penyidikan terhadapnya atau tidak.[2]
Tindakan penyimpangan dengan cara memanipulasi perkara dalam proses penyelidikan akan
mempengaruhi isi laporan hasil penyelidikan yang menjadi dasar pertimbangan dalam proses
gelar perkara, yakni untuk menentukan apakah kasus dugaan tindak pidana tersebut dapat
dilanjutkan ke tahap penyidikan atau tidak.

Terlebih lagi, sebagaimana Anda ceritakan, polisi tersebut meminta uang untuk
menghilangkan barang bukti. Padahal, keberadaan barang bukti dalam laporan hasil
penyelidikan akan sangat berpengaruh dan memperkuat keyakinan penyidik bahwa memang
telah terjadi suatu tindak pidana narkotika.

Tidak hanya itu, tindakan meminta uang untuk menghilangkan barang bukti dan
menghentikan proses pidana adalah tidak sesuai dengan prosedur hukum dan bertentangan
dengan beberapa ketentuan seperti KUHP, UU Narkotika, Peraturan Disiplin Polri, serta
Kode Etik Profesi Polri (“KEPP”).

Jerat Pidana bagi Polisi yang Meminta Uang

Pertama, tindakan polisi yang meminta uang tersebut dapat diancam pidana pemerasan
berdasarkan Pasal 368 ayat (1) KUHP yang berbunyi:

Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk
memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu
atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam
karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Unsur-unsur dalam pasal di atas telah terpenuhi dengan adanya tindakan polisi yang meminta
uang secara “melawan hak” untuk keuntungan pribadinya dan keuntungan pelaku yakni
tidak ditangkap dan diproses. Berkaitan dengan unsur “melawan hak”, R. Soesilo dalam
bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal demi Pasal memaknai “melawan hak” berarti melawan hukum, tidak berhak
atau bertentangan dengan hukum (hal. 256).

Lebih lanjut, KUHP juga memberikan ancaman pidana yang diperberat sepertiga terhadap
oknum polisi yang telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum
menggunakan jabatan dan kewenangannya. Hal tersebut diatur dalam Pasal 52 KUHP:
Bilamana seorang pejabat karena melakukan perbuatan pidana melanggar suatu
kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai
kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena
jabatannya,  pidananya dapat ditambah sepertiga.

Sehingga perbuatan polisi tersebut dapat diancam pidana berdasarkan Pasal 368 jo. Pasal 52


KUHP.

Jika diulas lebih mendalam, secara spesifik tindakan penghilangan barang bukti juga
menyimpangi Pasal 140 ayat (2) UU Narkotika yang berisi tentang ancaman pidana bagi
polisi yang tidak melakukan tindakan tertentu sesuai hukum terkait penyitaan kasus
narkotika, dengan ancaman pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 10 tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp1 miliar.[3]

Pelanggaran KEPP dan Peraturan Disiplin Polri

Bentuk dugaan pelanggaran lain yang juga dapat dijadikan jerat bagi oknum polisi tersebut
ialah pelanggaran KEPP yang pada dasarnya mengikat bagi seluruh anggota kepolisian tanpa
terkecuali.[4]

Tindakan polisi tersebut setidaknya dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran KEPP,
khususnya Pasal 10 ayat (2) KEPP yaitu merekayasa dan memanipulasi perkara yang
menjadi tanggung jawabnya dalam rangka penegakan hukum.

Selain itu, dalam kronologis juga disebutkan atasan polisi yang juga mengetahui dan
membiarkan tindakan tersebut terjadi. Dengan sikap diamnya, atasan telah melanggar Pasal
11 ayat (1) huruf c KEPP yaitu menghalangi dan/atau menghambat proses penegakan
hukum terhadap bawahannya yang dilaksanakan oleh fungsi penegakan hukum.

Ketentuan KEPP lainnya yang dapat menjerat kedua oknum atasan dan bawahan polisi
tersebut ialah Pasal 10 ayat (1) huruf f KEPP tentang melakukan pemufakatan pelanggaran
KEPP.

Selain melanggar KEPP, tindakan polisi juga melanggar Pasal 6 PP Disiplin Polri yaitu
larangan memanipulasi perkara dan/atau mempengaruhi proses penyidikan untuk kepentingan
pribadi sehingga mengubah arah kebenaran materil perkara.[5]
Atas perbuatan polisi yang meminta uang ini, kami menyarankan kepada Anda untuk
melaporkan yang bersangkutan ke Divisi Propam Polri.

Baca juga: Berita Terkini – Justice Collaborator

Whistle Blower dan Justice Collaborator

Dalam kasus dugaan tindak pidana pemerasan yang dilakukan oleh polisi sebagaimana Anda
tanyakan, penanya dapat berkedudukan sebagai whistle blower. Istilah whistle blower dalam
hukum positif di Indonesia dimaknai sebagai pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak
pidana tertentu dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya.

Pihak penanya dapat melaporkan dugaan tindak pidana pemerasan dan ia sebagai pelapor
telah dijamin perlindungannya berdasarkan hukum. Ketentuan kedudukan dan jaminan
perlindungan hukum bagi whistle blower ini tercantum dalam Angka 6 SEMA 4/2011, yang
merujuk pada Pasal 10 ayat (1) UU 31/2014 yaitu saksi korban dan pelapor tidak dapat
dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan,
sedang atau yang telah diberikannya.

Kemudian terkait imbas atau dampak jika Anda melaporkan hal ini, proses pidana narkotika
tersebut tentu akan diproses kembali sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

Namun apabila Anda ikut terlibat dalam tindakan polisi meminta uang ini, maka Anda selaku
saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana
apabila ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksian Anda dapat
dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana (justice collaborator).[6]

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;


2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia;
4. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;
5. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia;
7. Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode
Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia;
8. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi
Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice
Collaborators) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.

Referensi:

R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya


Lengkap Pasal demi Pasal. Bogor: Politea, 1988.

[1] Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara


Pidana (“KUHAP”)

[2] Pasal 1 angka 5 KUHAP jo. Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002


tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (“UU 2/2002”)

[3] Pasal 140 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

[4] Pasal 34 ayat (1) UU 2/2002

[5] Pasal 6 huruf k dan n Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan
Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia

[6] Angka 6 Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi
Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice
Collaborators) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu

Anda mungkin juga menyukai