Anda di halaman 1dari 5

Nama : WAHYUDI CHANDRA

NIM : 197005153

Kelas : A

Soal:

1. Mengapa money laundering dikateogrikan sebagai tindak pidana.


2. Mengapa money laundering disebut sebaga independen crime.
3. Jelaskanlah bahwa money laundering merupakan lex specialis.
4. Mengapa money laundering menggunakan beban pembuktian terbalik.

JAWAB:

1. Mengapa money laundering dikateogrikan sebagai tindak pidana:


Money laundering atau disebut sebagai pencucian uang, dan diatur dalam UU No. 8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
(“UU No. 8/2010”). Menurut pasal 1 ayat (1) UU No. 8/2010, yang dimaksud dengan
pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana
sesuai ketentuan UU No. 8/2010 ini. Adapun perbuatan-perbuatan yang menjadi tindak
pidana menurut UU No. 8/2010 adalah:
Menempatkan, mentransfer, mengalihkan membelanjakan, membayarkan,
menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan
dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan (pasal 3)
Menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntkan, pengalihan
hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduganya merupakan hasil tindak pidana (pasal 4)
Menerima, menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan,
penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana (pasal 5)  
Dari rumusan-rumusan di atas, hal-hal penting yang perlu diperhatikan adalah:
a. Adanya harta kekayaan yang diketahui/patut diduga merupakan hasil tindak pidana;
b. Untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan.  

Dasar hukum:
Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang

2. Mengapa money laundering disebut sebaga independen crime:


Pernyataan bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan tindak pidana yang berdiri
sendiri (independent crimes) dapat ditunjukkan diantaranya dengan adanya perbedaan
objek antara tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian uang. Umumnya, objek dari
tindak pidana asal adalah perbuatan dan pembuat (pelaku), sedangkan objek tindak pidana
pencucian uang adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana. Perbedaan objek
kedua tindak pidana tersebut berdampak terhadap pembuktian secara normatif, dimana
pembuktian atas tindak pidana asal adaiah terhadap perbuatan dan kesalahan pada
pembuatnya, sedangkan pembuktian atas harta kekayaan dalam tindak pidana pencucian
uang mensyaratkan dulu pada perolehan harta kekayaan yang diduga berasal dari tindak
pidana.
Kongkritisasi dari pemaknaan bahwa Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan sebuah
Independent Crimes dapat dipahami jika dibuat penafsiran secara sistematis pada Pasal 3,
4, dan 5, dan Pasal 69 UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
TPPU. Bahwa pasal 3, 4 dan 5 UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan TPPU merupakan pasal-pasal yang mengkriminalisasi TPPU yang masing-
masing pasal tersebut memuat unsur “diketahui atau patut diduga berasal dari hasil
tindak pidana”.
Hal tersebutlah yang menurut penulis merepresentasikan bahwa unsur tersebut merupakan
unsur esensial dari delik pencucian uang. Adapun dengan merujuk pada pengertian
“diketahui atau patut diduganya bahwa kekayaannya tersebut berasal dari hasil
kejahatan”, maka dapat dipahami bahwa kejahatannya itu sendiri tidak wajib untuk selalu
dibuktikan terlebih dahulu, sedangkan unsur diketahui atau patut diduganya dapat
disimpulkan oleh Majelis Hakim melalui fakta-fakta yang diperoleh di persidangan.6
Penjelasan tersebutlah yang merepresentasikan kedudukan TPPU sebagai independent
crimes berkaitan dengan unsur esensial delik TPPU.

3. Bahwa money laundering merupakan lex specialis:

Lex specialis derogat legi generalis adalah salah satu asas hukum, yang mengandung makna
bahwa aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum.
Menurut Bagir Manan dalam bukunya yang berjudul Hukum Positif Indonesia (hal. 56), sebagaimana
kami kutip dari artikel yang ditulis A.A. Oka Mahendra berjudul Harmonisasi Peraturan
Perundang-undangan, ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas lex specialis
derogat legi generalis, yaitu:   
a.  Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali
yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut;
b. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex
generalis (undang-undang dengan undang-undang);
c. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang
sama dengan lex generalis. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata sama-sama termasuk lingkungan hukum keperdataan.
Menerapkan asas umum hukum pidana lex specialis derogate lege generali, yang berarti
aturan yang khusus lebih dikedepankan daripada aturan yang bersifat umum. Maksud
pembentukan undang-undang memasukkan ketentuan pasal 68 adalah jika dalam undang-
undang ini diatur ketentuan hukum acara yang berbeda atau menyimpang dari ketentuan
hukum pidana, maka yang diberlakukan adalah ketentuan yang ada pada UU TPPU 2010,
bukan hukum acara pidana umum. Hal ini mengisyaratkan bahwa ketentuan lex specialis
lebih di utamakan daripada lex generali, oleh karenanya lebih didahulukan ketentuan yang
ada di dalam UU TPPU. Ketentuan yang menyimpang dari ketentuan hukum acara pidana,
sebagaimana yang dimaksud pada pasal 68 yang kemudian adalah pasal 69 terkait
pembuktian tindak pidana asal, pasal 70 terkait penundaan transaksi, pasal 71 terkait
pemblokiran, pasal 74 terkait penyidikan, pasal 77 dan 78 terkait pembuktian terbalik, pasal
79 terkait perkara in absentia dan pasal 81 terkait perampasan harta kekayaan yang belum
disita. Pasal 69 menegaskan bahwa tindak pidana asal dengan dugaan kuat telah terjadi
TPPK, tidak perlu dibuktikan oleh penuntut. Ketentuan ini untuk menegaskan bahwa sasaran
UU TPPU 2010 adalah bukan perbuatan atau kesalahan terdakwa, melainkan pada harta
kekayaan yang diduga berasal atau terkait dengan tindak pidana asal. Pada UU TPPU, harta
kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana merupakan subjek dari TPPU.

Jadi, kedudukan KUHP dalam peraturan perundang-undangan Indonesia disetarakan


dengan undang-undang sehingga baik perubahan maupun pencabutannya harus melalui
undang-undang. Penggunaan UU Tipikor untuk menghukum pelaku tindak pidana korupsi
tidak bertentangan dengan asas lex superior derogat legi inferior karena KUHP dan UU
Tipikor setingkat dan dalam hal ini UU Tipikor harus didahulukan karena merupakan
aturan hukum yang lebih khusus.

4. Money laundering menggunakan beban pembuktian terbalik:


Pada ketentuan pasal pasal 35 Undang Undang No. 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah
dengan UU No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Money
Laundering) menerapkan teori pembuktian terbalik, tetapi ketentuan tersebut tidak
mengatur lebih lanjut mengenai bagaimana apabila terdakwa tidak dapat membuktikan
harta kekayaannya yang bukan merupakan hasil tindak pidana serta darimana ia
memperoleh harta kekayaannya tersebut, dan pada pasal 30 pada Undang Undang No. 15
Tahun 2002 sebagaimana diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003 tersebut juga
menyatakan bahwa hukum acara yang dipergunakan dalam penerapan undang undang
tersebut tetap menggunakan hukum acara pidana yang berlaku dalam hal ini adalah
ketentuan dalam KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981 tentang HukumAcara Pidana), maka hal
tersebut dapat dikatakan bahwa penuntut umum masih diwajibkan untuk membuktikan
dakwaannya, sehingga pasal 35 tersebut diatas tidak menerapakan sistem pembuktian
terbalik dalam bentuk murni. Dalam penjelasan pasal 35 dinyatakan bahwa pembalikan
beban pembuktian disini masih dalam kerangka kepentingan pemeriksaan di persidangan 9
dan hanya terbatas mengenai asal usul harta kekayaannya tersebut sehingga beban
pembuktiannya mengenai kegiatan pencucian uangnya dan proses pemeriksaan sidang
terdakwa diatur sesuai dengan KUHAP kecuali ditentukan lain dalam undang undang
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Pasal 30 UU No. 15 Tahun 2002 jo UU No. 25
Tahun 2003. UU No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah UU No. 25 Tahun 2003
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang menganut pandangan bahwa untuk dimulainya
pemeriksaan tindak pidana pencucian uang tidak perlu di buktikan terlebih dahulu tindak
pidana asal. Namun seiring dengan berjalannya waktu, ketentuan UU No. 15 Tahun 2002
dan UU No. 25 Tahun 2003 dirasakan sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan
penegakkan hukum, praktik, dan standar Internasional, sehingga kemudian ditetapkan UU
No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang. Dalam ketentuan sistem pembalikan beban pembuktian UU No. 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam sistem
pembalikan beban pembuktian ini beban pembuktian berada ditangan terdakwa atau
penasehat hukum terdakwa. Pasal 77 UU No 8 tahun 2010 menyebutkan bahwa untuk
kepentingan pemeriksaan pengadilan, maka terdakwa wajib membuktikan bahwa harta
kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Pada penjelasan pasal ini tertera
cukup jelas, sehingga konstruksi hukum pada undang undang ini undang undang
pencucian uang yang baru dibanding undang undang yang lama.4 Sistem pembalikkan
beban pembuktian dalam undang undang sifatnya sangat terbatas, yaitu hanya berlaku
pada sidang pengadilan, tidak dalam tahap penyidikan. Selain itu tidak pada semua tindak
pidana, hanya pada kejahatan yang bersifat serius (serious crime) yang sulit dalam hal
pembuktiannya, misalnya korupsi, penyelundupan, narkotika, psikotropika, atau
penggelapan pajak,dan tindak pidana perbankan. Jika kita bandingkan dengan penerapan
pembalikkan beban pembuktian pada tindak pidana korupsi maka pembalikkan beban
pembuktian UU No. 8 Tahun 2010 bersifat keharusan bagi terdakwa untuk membuktikaan
bahwa harta kekayaannya bukan berasal dari hasil tindak pidana.
Perbedaan yang masih menjadi sebuah konsepsi yang harus dikembangkan dalam
permasalahan beban pembuktian terbalik dalam TPPU adalah pengembalian aset kejahatan
terlebih dalam kejahatan korupsi. Amerika, Inggris dan negara Eropa lainnya sudah
menggunakan jalur keperdataan dalam pengembalian aset hasil dari tindak pidana pencucian
uang. Sedangkan di Indonesia masih berada dalam pengembalian aset hasil dari tindak
pidana pencucian uang, artinya tidak ada pengembalian aset apapun sebelum putusan
pengadilan.
Menurut saya apabila di Indonesia juga mengadopsi pengembalian aset hasil dari tindak
pidana secara perdata maka penerapan dari metode ini dapat berlaku lebih efektif lagi.
Dibutuhkan keberanian dari penegak hukum terkait dalam TPPU dengan menggunakan
beban pembuktian terbalik. Secara filosofi dari penjelasan sebelumnya metode beban
pembuktian terbalik tidaklah menjadi pertentangan besar atas konsep hukum di Indonesia.
Secara sosiologis bahwa keadaan di Indonesia saat ini dari apa yang dikemukakan
sebelumnya telah berada dalam transisi pembenahan permasalahan TPPU dengan berbagai
kejahatan asal. Kebutuhan hukum serta kondisi faktual saat ini adalah konsep baru dari
Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010, dengan penguatan sistem beban pembuktian terbalik
dalam penyelesaian TPPU. Beban pembuktian terbalik secara berimbang yang menjadi
muatan utama konsep di Indonesia merupakan salah satu jalan terbaik untuk mengikis
pergesekan pertentangan. Menurut Oliver Stolpe dalam beban pembuktian terbalik
keseimbangan kemungkinan (Balanced Probability of Principles). Pelaksanaan beban
pembuktian terbalik telah memiliki kepentingan yang mendesak untuk segera di
implementasikan dalam sebuah praktik TPPU. Sekaligus menjawab atas permasalahan
mengakar dalam kejahatan asal TPPU yang tidak kunjung menempati titik terbaik dalam
sejarah bangsa., dalam jurnal ilmiah Beban Pembuktian Terbalik Tindak Pidana Korupsi
dalam Perspektif Juridis Sosiologis, dalam jurnal Tinjauan Yuridis Pembuktian Terbalik
Dalam Tindak Pidana Upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang akan lebih efektif
dengan adanya perundang-undangan mengenai pembuktian terbalik dan keharusan pelaporan
harta kekayaan penyelenggara negara secara terbuka dan terkini. Hal ini untuk mencegah
seberapa besar transaksi yang dimiliki penyelenggara negara.

Anda mungkin juga menyukai