Anda di halaman 1dari 10

Tindak Pidana Pencucian Uang adalah proses atau perbuatan yang

menggunakan uang hasil tindak pidana. Dengan perbuatan itu, uang disembunyikan
atau dikaburkan asal usulnya oleh si pelaku, sehingga kemudian seolah-olah muncul
uang yang sah atau yang halal dengan kata lain, pencucian uang adalah proses untuk
menyembunyikan atau menyamarkan harta kekayaan yang diperoleh dari hasil
kejahatan untuk menghindari penuntutan dan penyitaan. Pencucian uang merupakan
salah satu kejahatan yang sering dibicarakan dewasa ini, perbuatan pencucian uang
sangat merugikan masyarakat, juga negara, karena dapat mempengaruhi atau merusak
stabilitas perekonomian nasional khususnya keuangan negara.
Dana-dana yang berasal dari berbagai macam kejahatan pada umumnya tidak langsung
dibelanjakan atau digunakan oleh para pelaku kejahatan. Sebab konsekuensinya akan
mudah dilacak oleh aparat penegak hukum mengenai sumber memperolehnya.
Biasanya, dana yang terbilang besar dari hasil kejahatan dimasukkan terlebih dahulu
ke dalam sistem keuangan, terutama dalam sistem perbankan. Model perbankan inilah
yang sangat menyulitkan untuk dilacak oleh penegak hukum, para pelaku kejahatan
tersebut seringkali menanamkan uang hasil kejahatannya ke dalam berbagai macam
bisnis legal, seperti cara-cara membeli saham perusahaan-perusahaan besar di bursa
efek yang tentu memiliki keabsahan yuridis dalam operasionalnya seolah-olah terlihat
bahwa kekayaan para penjahat yang diputar melalui proses-proses sepertinya menjadi
sah adanya.

Perubahan dalam UU No. 25 Tahun 2003 antara lain meliputi :


a) Pengertian Penyedia Jasa Keuangan yang diperluas meliputi jasa lainnya yang
terkait dengan keuangan guna mengantisipasi pelaku tindak pidana pencucian uang
yang memanfaatkan bentuk penyedia jasa keuangan yang ada di masyarakat namun
belum diwajibkan menyampaikan laporan transaksi keuangan dan munculnya bentuk
penyedia jasa keuangan baru.
Hal ini tampak dari ketentuan Pasal 1 angka 4 UU No. 15 Tahun 2002:
Penyedia Jasa Keuangan adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang
keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan
efek, pengelola reksa dana, kustodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan
penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, dan perusahaan asuransi, yang
kemudian diubah menjadi Pasal 1 angka 5 UU No. 25 Tahun 2003 :
Penyedia Jasa Keuangan adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang
keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan termasuk tetapi tidak
terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana,
custodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta
asing, dana pensiun, perusahaan asuransi, dan kantor pos.
b) perluasan definisi Transaksi Keuangan Mencurigakan, yakni:
Pasal 1 angka 6 UU No. 15 Tahun 2002:
Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah transaksi yang menyimpang dari profil dan
karakteristik serta kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan, termasuk
transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan
untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh
Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini, menjadi:
Pasal 1 angka 7 UU No. 25 Tahun 2003:
Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah:
transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan
pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan;
transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan
untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh
Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini; atau
transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan
Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.
c) Pembatasan jumlah hasil tindak pidana yang diperoleh dari tindak pidana
dihapus karena penentuan suatu perbuatan dapat dipidana tidak bergantung besar
kecilnya hasil tindak pidana yang diperoleh, sebagaimana diatur berdasarkan:
Pasal 2 UU No. 15 Tahun 2002:
Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang berjumlah Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah) atau lebih atau nilai yang setara, yang diperoleh secara langsung atau
tidak langsung dari kejahatan:
a. korupsi;
b. penyuapan;
c. penyelundupan barang;
d. penyelundupan tenaga kerja;
e. penyeludupan imigran;
f. perbankan;
g. dll
yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara
Republik Indonesia dan kejahatan tersebut merupakan tindak pidana menurut hukum
Indonesia, menjadi Pasal 2 UU No. 25 Tahun 2003, yakni: (1) Hasil tindak pidana
adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana:
a. korupsi;
b. penyuapan;
c. penyelundupan barang;
d. penyelundupan tenaga kerja;
e. penyelundupan imigran;
f. di bidang perbankan;
g. di bidang pasar modal;
h. dll atau
y. tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4(empat) tahun atau
lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara
Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut
hukum Indonesia.
(2) Harta Kekayaan yang dipergunakan secara langsung atau tidak langsung untuk
kegiatana terorisme dipersamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf n.
d) Ruang lingkup tindak pidana asal (predicate crime) diperluas untuk mencegah
berkembangnya tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan dimana pelaku
tindak pidana berupaya menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul hasil tindak
pidana namun perbuatan tersebut tidak dipidana. Berbagai peraturan perundang-
undangan yang terkait yang mempidana tindak pidana asal antara lain:
UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika;
UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika;
UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU
No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
e) Jangka waktu penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan
dipersingkat, dengan tujuan agar harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak
pidana dan pelaku tindak pidana pencucian uang dapat segera dilacak, sebagaimana
diatur berdasarkan:
Pasal 13 UU No. 15 Tahun 2002 : (2) Penyampaian Laporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan sebagaimanadimaksud dalam ayat (1) huruf a dilakukan paling lambat
14 (empat belas) hari kerja setelah diketahui oleh Penyedia Jasa Keuangan, menjadi:
Pasal 13 UU No. 25 Tahun 2003 : (2) Penyampaian laporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan sebagaimanadimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan paling lambat 3
(tiga) hari kerja setelah Penyedia Jasa Keuangan mengetahui adanya unsure Transaksi
Keuangan Mencurigakan.
f) Terdapat ketentuan baru yang menjamin adanya kerahasiaan penyusunan dan
penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang disampaikan kepada
PPATK atau penyidik (anti-tipping off) bahkan dengan disertai sanksi pidana penjara,
dengan tujuan untuk mencegah berpindahnya hasil tindak pidana dan lolosnya pelaku
tindak pidana pencucian uang, sebagaimana diatur berdasarkan:

Pasal 10A UU No. 25 Tahun 2003:


(1) Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan siapapun juga
yang memperoleh dokumen dan/atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya
menurut Undang-Undang ini, wajib merahasiakan dokumen dan/atau keterangan
tersebut kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut Undang-Undang ini.
(2) Sumber keterangan dan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan wajib
dirahasiakan dalam persidangan pengadilan.
(3) Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan siapapun juga
yang karena kelalaiannya melanggar ketentuan pada ayat (1) dan ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun.
(4) Jika pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) dilakukan dengan sengaja, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.
g) Penjabaran lebih rinci dan lebih tegas dalam beberapa pasal mengenai ketentuan
kerja sama bantuan timbal balik di bidang hukum (mutual legal assistance), merupakan
bukti bahwa Pemerintah Indonesia memberikan komitmennya bagi komunitas
internasional untuk bersama-sama mencegah dan memberantas tindak pidana
pencucian uang.
Pengaturan Tindak Pidana Pencucian Uang Berdasarkan UU No. 15 Tahun 2002
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003

Dimuat dalam : Pasal 3 ( 1 ) Setiap orang yang dengan sengaja:


a. menempatkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana ke dalam Penyedia Jasa Keuangan, baik atas nama
sendiri atau atas nama pihak lain;
b. mentransfer Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan
hasil tindak pidana dari suatu Penyedia Jasa Keuangan ke Penyedia Jasa Keuangan
yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain;
c. membayarkan atau membelanjakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya sendiri
maupun atas nama pihak lain;
d. menghibahkan atau menyumbangkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun
atas nama pihak lain;
e. menitipkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan
hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
f. membawa ke luar negeri Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana; atau
g. menukarkan atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga
lainnya, dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta
Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana,
dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima
belas milyar rupiah). (2) Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau
permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang dipidana dengan
pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 6 (1) Setiap orang yang menerima atau menguasai:
1. penempatan;
2. pentransferan;
3. pembayaran;
4. hibah;
5. sumbangan;
6. penitipan; atau
7. penukaran,
Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama
15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi Penyedia Jasa
Keuangan yang melaksanakan kewajiban pelaporan transaksi keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13. Pasal 7 Setiap Warga Negara Indonesia dan/atau korporasi
Indonesia yang berada di luar wilayah Negara Republik Indonesia yang memberikan
bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana
pencucian uang dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana
pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. Dari pasal-pasal di atas,
ditunjukkan adanya pengaturan terhadap jenis-jenis tindak pidana sebagai berikut :
1. Tindak pidana pencucian uang : yaitu tindakan untuk menempatkan,mentransfer,
membayar/membelanjakan, menghibahkan atau menyumbangkan, menitipkan,
membawa ke luar negeri, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga lainnya,
atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan
hasil tindak pidana dengan tujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal
usul harta kekayaan tersebut.
2. Tindak pidana percobaan, pembantuan atau permufakatan jahat untuk melakukan
tindak pidana pencucian uang.
3. Tindak pidana menerima atau menguasai penempatan, pentransferan,
pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, atau penukaran atas harta kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana. Selain itu juga
ditemukan adanya pengaturan yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang :
penyedia jasa keuangan yang sengaja tidak menyampaikan laporan yang
diwajibkan kepada PPATK atas transaksi keuangan mencurigakan atau transaksi
keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif sebesar
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau yang nilainya setara, bila
dilakukan dalam 1 (satu) kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam 1 (satu)
hari kerja;
setiap orang yang membawa uang tunai ke dalam atau keluar wilayah Negara
Republik Indonesia berupa rupiah sejumlah Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
atau lebih untuk melapor kepada Dirjen Bea dan Cukai;
bagi direksi, pejabat atau pegawai penyedia jasa keuangan yang
memberitahukan kepada pengguna jasa keuangan atau orang lain baik secara langsung
atau tidak langsung dengan cara apapun mengenai laporan transaksi keuangan
mencurigakan yang sedang disusun atau telah disampaikan kepada PPATK;
larangan bagi saksi, penuntut umum, hakim, dan orang lain yang bersangkutan
dengan tindak pidana pencucian uang yang sedang dalam pemeriksaan di sidang
pengadilan untuk menyebut nama atau alamat pelapor atau hal-hal lain yang
memungkinkan dapat terungkapnya identitas pelapor.
2.2 Proses Pencucian Uang

1. Sekalipun terdapat berbagai macam modus operandi pencucian uang, namun pada
dasarnya proses pencucian uang dapat dikelompokkan ke dalam tiga tahap kegiatan,
yaitu:

a. Placement adalah upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu kegiatan
tindak pidana ke dalam sistem keuangan. Bentuk kegiatan ini antara lain:

Menempatkan dana pada bank. Kadang-kadang kegiatan ini diikuti dengan


pengajuan kredit/pembiayaan.
Menyetorkan uang pada PJK sebagai pembayaran kredit untuk
mengaburkan audit trail.
Menyelundupkan uang tunai dari suatu negara ke negara lain.
Membiayai suatu usaha yang seolah-olah sah atau terkait dengan usaha yang
sah berupa kredit/pembiayaan, sehingga mengubah kas menjadi
kredit/pembiayaan.
Membeli barang-barang berharga yang bernilai tinggi untuk keperluan pribadi,
membelikan hadiah yang nilainya mahal sebagai penghargaan/hadiah kepada
pihak lain yang pembayarannya dilakukan melalui PJK.

b. Layering adalah memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya yaitu tindak
pidananya melalui beberapa tahap transaksi keuangan untuk menyembunyikan atau
menyamarkan asal-usul dana. Dalam kegiatan ini terdapat proses pemindahan dana
dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ke tempat lain
melalui serangkaian transaksi yang kompleks dan didesain untuk menyamarkan dan
menghilangkan jejak sumber dana tersebut. Bentuk kegiatan ini antara lain:

Transfer dana dari satu bank ke bank lain dan atau antar wilayah/negara.
Penggunaan simpanan tunai sebagai agunan untuk mendukung transaksi yang sah.
Memindahkan uang tunai lintas batas negara melalui jaringan kegiatan usaha yang
sah maupun shellcompany.
c. Integration adalah upaya menggunakan harta kekayaan yang telah tampak sah,
baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam berbagai bentuk kekayaan
material maupun keuangan, dipergunakan untuk membiayai kegiatan bisnis yang sah,
ataupun untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana.
Dalam melakukan pencucian uang, pelaku tidak terlalu mempertimbangkan hasil yang
akan diperoleh, dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan, karena tujuan utamanya
adalah untuk menyamarkan atau menghilangkan asal-usul uang sehingga hasil
akhirnya dapat dinikmati atau digunakan secara aman.
Ketiga kegiatan tersebut di atas dapat terjadi secara terpisah atau simultan, namun
umumnya dilakukan secara tumpang tindih.
2. Modus operandi pencucian uang dari waktu ke waktu semakin kompleks dengan
menggunakan teknologi dan rekayasa keuangan yang cukup rumit. Hal itu terjadi baik
pada tahap placement, layering, maupun integration, sehingga penanganannyapun
menjadi semakin sulit dan membutuhkan peningkatan kemampuan (capacity building)
secara sistematis dan berkesinambungan. Pemilihan modus operandi pencucian uang
tergantung dari kebutuhan pelaku tindak pidana.
2.3 Sanksi Tindak Pidana Pencucian Uang

Berdasarkan Pasal 3 Undang-undang No. 8 Tahun 2010 setiap Orang yang


menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan,
menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan
dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena
tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Berdasarkan Pasal 4 Undang-undang No. 8 Tahun 2010 setiap orang yang
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan,
pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dipidana karena
tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan dendapaling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
Berdasarkan Pasal 5 Undang-undang No. 8 Tahun 2010 setiap orang yang menerima
atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan,
penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
2.4 Kewajiban Penyedia Jasa Keuangan

Penyedia Jasa Keuangan terbagi menjadi :


Perbankan
Perbankan merupakan suatu bentuk usaha yang memiliki keleluasaan dalam
menghimpun dan menyalurkan dana, sehingga sangat strategis untuk digunakan
sebagai sarana pencucian uang baik melalui placement,layering maupun integration.
Selain itu transfer dana secara elektronis juga dapat dimanfaatkan oleh pencuci uang
untuk mengalihkan dana secara cepat dan relatif murah serta aman ke rekening pihak
lain, baik di dalam maupun di luar negeri.
Lembaga Keuangan Non Bank

Perhatian terhadap PJK yang berbentuk asuransi dan usaha investasi lainnya
diperlukan sebagai upaya untuk memastikan tidak dimanfaatkannya produk dan jasa
PJK tersebut untuk kegiatan pencucian uang.
Perusahaan Efek, Pengelola Reksa Dana dan Bank Kustodian
Selain perbankan, asuransi dan usaha investasi lainnya, bentuk PJK lainnya dalam
pedoman ini adalah perusahaan efek, pengelola reksa dana dan bank kustodian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-undang No. 15 Tahun 2002.
Perusahaan efek, pengelola reksa dana dan bank kustodian wajib memiliki prosedur
yang memadai untuk membuktikan dan memverifikasi identitas nasabah/calon
nasabah, beneficial owner atau beneficiary nasabahnya. Apabila perusahaan efek,
pengelola reksa dana dan bank kustodian tidak mengetahui secara pasti identitas
nasabah/calon nasabah, maka hubungan usaha dengan nasabah/calon nasabah
tersebut dapat ditolak.
Penyedia Jasa Keuangan Lainnya

PJK lainnya misalnya pedagang valuta asing (money changer) serta lembaga
penyimpanan dan penyelesaian wajib menyampaikan laporan kepada PPATK untuk
hal-hal sebagai berikut:

a. Transaksi keuangan mencurigakan;

b. Transaksi yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif sebesar Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau yang nilainya setara, baik
dilakukan dalam satu kali transaksi maupun beberapa transaksi dalam 1 (satu) hari
kerja

sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat (1) jo. Pasal 1 angka 4 Undang-undang No. 15
Tahun 2002, Bab 3 huruf C angka 3 pedoman ini dan ketentuan lainnya yang
ditetapkan oleh masing-masing lembaga pengawas.

Peraturan perundang-undangan mewajibkan Penyedia Jasa Keuangan (PJK)


untuk:
1) Melaksanakan prosedur identifikasi nasabah, atau biasa disebut Prinsip Mengenal
Nasabah (know your customer principles), merupakan hal yang sangat penting. Setiap
PJK harus menerapkan prinsip mengenal nasabah sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan oleh lembaga pengawas masing-masing PJK.
2) Menyimpan catatan dan dokumen mengenai identitas nasabah sampai dengan 5
(lima) tahun sejak berakhirnya hubungan usaha dengan PJK. Dalam hal ini yang
dimaksud dengan identitas antara lain adalah nama, alamat, jenis kelamin, umur dan
pekerjaan. Dokumen ini diluar dokumen keuangan yang telah diatur dalam Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan.
3) Menyampaikan laporan kepada PPATK untuk hal-hal sebagai berikut:
Transaksi keuangan mencurigakan;
Transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif sebesar
Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau nilai yang setara, baik
dilakukan dalam satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam 1 (satu)
hari kerja.
Kewajiban pelaporan bagi PJK tersebut di atas berlaku sejak Oktober 2003 dengan
mengacu pada pedoman pelaporan yang akan dikeluarkan oleh PPATK.
4) Bagi PJK yang berbentuk bank, kewajiban pelaporan tersebut di atas dikecualikan
dari ketentuan rahasia bank, sehingga bank dan petugas pelapor tidak melanggar
ketentuan rahasia bank.
2.5 Peranan PPATK

PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) adalah sebuah lembaga
independen yang terbentuk bersamaan dengan UU No. 15 tahun 2002 tentang tindak
pidana pencucian uang.
Peranan PPATK yakni:
Dalam UU No. 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang, ppatk memiliki peranan strategis Dalam rangka mencegah dan
memberantas tindak pidana pencucian uang termasuk berbagai tindak pidana yang
menghasilkan harta kekayaan yang tidak sah.
Untuk menunjang peranan tersebut ppatk memiliki tugas pokok adalah
membantu penegak hukum dalam mencegah dan memberantas tindak pidana
pencucian uang dan tindak pidana berat lainnya dengan cara menyediakan informasi
intelijen yang dihasilkan dari analisis terhadap laporan-laporan yang disampaikan
kepada PPATK.
Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, PPATK berkewajiban antara lain
membuat pedoman bagi Penyedia Jasa Keuangan (PJK) dalam mendeteksi perilaku
pengguna jasa keuangan yang melakukan transaksi keuangan mencurigakan. Dalam
pedoman ini yang dimaksud dengan PJK adalah setiap orang yang menyediakan jasa di
bidang keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan,
perusahaan efek, pengelola reksa dana, bank kustodian, pedagang valuta asing, dana
pensiun dan perusahaan asuransi.

2.6 Perlindungan Pelapor dan Saksi

1. Perlindungan bagi Pelapor


Pelaksanaan pelaporan oleh PJK yang berbentuk bank, dikecualikan dari
ketentuan rahasia bank sebagaimana diatur oleh Undang-undang Perbankan.
Pelapor tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana atas
pelaksanaan kewajiban pelaporannya.
PPATK, penyidik, penuntut umum atau hakim wajib merahasiakan identitas
pelapor.
Setiap orang yang melaporkan terjadinya dugaan tindak pidana pencucian uang,
wajib diberi perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinan ancaman yang
membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya termasuk keluarganya.
Disidang pengadilan, saksi, penuntut umum, hakim, dan orang lain yang
bersangkutan dengan tindak pidana pencucian uang yang sedang dalam pemeriksaan
dilarang menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memungkinkan
dapat terungkapnya identitas pelapor.

2. Perlindungan bagi Saksi


Setiap orang yang memberikan kesaksian dalam pemeriksaan tindak pidana
pencucian uang wajib diberi perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinan
ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya termasuk keluarganya.
Saksi tidak dapat dituntut baik secara perdata atau pidana atas kesaksian yang
diberikan oleh yang bersangkutan.

PENUTUP

Dengan dikeluarkannya UU No. 25 tahun 2003 tentang pencucian uang, berarti


menganggap perbuatan pencucian uang sebagai tindak pidana (kejahatan) yang harus
ditindak tegas oleh para penegak hukum yang berwenang.
Dengan adanya perangkat hukum yang tegas hal ini bisa dijadikan sebagai
perwujudan rasa keadilan. Sanksi tindak pidana pencucian uang berupa pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda
paling sedikit Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp.
15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).
Selain itu pihak yang terlibat seperti pelapor dan saksi memiliki perlindungan
hukum dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya
termasuk keluarganya. Dalam kasus money launderingkepolisian dan penuntut umum
juga memiliki kesulitan dalam membuktikan terjadinya tindak pidana pencucian uang
karena modusnya yang bervariasi dan biasanya tidak ditemukan adanya cukup alat
bukti.

Alasan Memerangi Pencucian Uang


Pencucian uang secara potensial dapat menghancurkan ekonomi, keamanan dan
membawa dampak sosial. Pencucian uang menyediakan bahan bakar bagi
penyelundupan narkoba, penyapan dan lainnya untuk menjalankan dan memperluas
perusahaan mereka. Secara faktual kegiatan pencucian uang sulit untuk ditindak dan
diberantas, tetapi pencucian uang harus di persempit ruang geraknya /diperangi,
karena kegiatan itu telah mengganggu sistem ekonomi suatu bangsa dan sistem-sistem
lainnya. Adapun dampak buruk pencucian uang antara lain :
A. Melemahkan sektor swasta yang sah
Pencucian uang dapat mendirikan perusahaan topeng yang bergerak dalam kegiatan
bisnis. Misalnya di Amerika serikat ,misalnya kejahan terorganisasi menggunakan
kedai-kedai pissa untuk menopengi hasil penyelundupan heroin dan kedai pizza
tersebut menjual pissa dengan haraga murah yang membuat pengusaha pissa dan
perusahaan lainnya yang bersih akan akan kalah saing. Bila keadaan ini bertahan
lama perusahaaan yang sah tidak bertahan lama dan kejahatan akan semakin sulit
diberantas.[29]
B. Merusak intregitas Pasar keuangan
Jika pencucian uang hasil kejahatan masuk kedalam ranah negara (yang biasanya
masuk dalam jumlah besar maka hampir dipastikan akan menimbulkan likuiditas
.Institusi keuangan yang menerima hasil kejahatan memiliki tantangan tambahan
dalam mengelola aset ,liabilitas dan operasi mereka .Contoh sejumlah besar uang hasil
kejahatan yang telah dicuci mungkin ada di institusi keuangan ,tetapi menghilang tiba-
tiba tanpa pemberitahuan ,melalui transfer elektronek sebagai respons terhadap faktor
non pasar mseperti penegakan hukum .Hal ini dapat berdampak pada bank itu sendiri
yag menimbulkan masalah likuiditas .Penarikan uang yang telah dicuci menyebabkan
krisis likuiditas dan kegaglan bannk ,karena bank mengelola sebagian besar hasil
kejahatan .Hal ini akan menimbulakan krisis keuangan dan bank akan tutup sperti
Europa Bank union dan BCCI.[30]
C. Berisiko Pada Reputasi Negara
Pencucian uang dapat merudsak reputasi negara .Tidak stu negara pun di dunia
,terlebih di era global saat ini ,yang bersedia kehilangan reputasinya akibat pencucian
uang. Kepercayaan pasar akan terkikis karena kegiatan jahat tersebut . Kemudian
negara akan kehilangan kexempatan yang sah untuk memperoleh keuntungan dari
industri keuangannya.[31]
D. Menimbulakan Biaya Sosial
Pencucian uang merupakan proses yang paling penting dalam organisasi sehingga
dapat melaksanakan kejahatan mereka .Pencucian uang memungkinkan para penjua
dan pengedar narkoba ,penyelundup dan lainnya akan memperluas kegiatannya .Hal
ini dapat berakibat pada pemberantasan kejahatan tersebut /penanganan dan
penegakan hukum .Pencucian uang bisa-bisa memindahkan ekonomi pasar
,pemerintah ,dan warga negar kepada para penjahat .Tidak mustahil ,bila terus
menerus meluas ,dalam kasus ekstrim hal ini dapat mengakibatkan terjadinya
pengambilalihan kekuasaan pemerintah yang sah

KESIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan sejumlah putusan hukum yang telah berkekuatan hukum tetap, TPPU
telah didakwakan dan dibuktikan terkait tindak pidana korupsi yang menghasilkan
seluruh atau sebagian dari harta kekayaan yang dirampas. Dalam perkara TPPU yang
berasal dari Tindak Pidana Korupsi, TPPU sebagai kejahatan yang berdiri sendiri
belum diterapkan secara murni, mengingat suatu dugaan TPPU, pembuktiannya
dilakukan bersamaan dengan pembuktian adanya suatu tindak pidana korupsi yang
menghasilkan baik sebagian atau seluruh harta kekayaan yang akan di rampas.
Berdasarkan hal tersebut adanya suatu tindak pidana korupsi yang menghasilkan
suatu harta kekayaan telah memberikan keyakinan kepada penyidik, penuntut umum
dan hakim bahwa atas harta kekayaan lainnya yang tidak wajar merupakan suatu hasil
tindak pidana. Keyakinan tersebut diperkuat dengan proses pembuktian terbalik yang
menunjukkan bahwa tersangka dinilai tidak dapat dalam membuktikan asal-usul yang
legal atas harta kekayaannya yang dinilai tidak wajar.
Penerapan azas pembuktian terbalik oleh terdakwa dalam proses persidangan, pada
satu sisi, dapat merugikan proses penuntutan apabila terdakwa dapat meyakinkan
hakim mengenai asal usul harta kekayaannya berasal dari suatu aktifitas bisnis.
Padahal pelaku melakukan rekayasa informasi transaksi keuangan yang dibantu oleh
gatekeepers. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan penguatan alat bukti dalam
perkara TPPU khususnya yang berasal dari Tindak Pidana Korupsi.
Penguatan alat bukti ini juga sejalan dengan teori pembuktian dan alat bukti yang
menyatakan bahwa alat bukti merupakan segala hal yang dapat digunakan untuk
membuktikan perihal kebenaran suatu peristiwa di pengadilan, yang bersifat langsung
maupun tidak langsung dengan suatu tindak pidana sepanjang dapat dinilai
merupakan alat bukti yang relevan mendukung proses pembuktian.
Dalam sejumlah putusan perkara TPPU yang berasal dari tindak pidana korupsi alat
bukti yang digunakan mengacu kepada unsur dalam Pasal 3, 4, 5 UUPPTPPU berupa
alat bukti yang menguatkan adanya perbuatan mengalihkan, menitipkan, mengubah
bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga, menyembunyikan atau
menyamarkan asal-usul, dan lainnya.
Penggunaan alat bukti dan pembuktian untuk menilai kebenaran dan keabsahan suatu
kepemilikan bisnis perlu didorong sebagai alat bukti yang terkait dengan perbuatan
menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul (Pasal 4 UUPPTPPU) oleh penyidik,
penuntut umum dan hakim. Sifat pembuktian atas kebenaran suatu kepemilikan bisnis
menggunakan azas-azas yang biasa digunakan dalam perkara perdata, dalam hal ini
yang dicari adalah kebenaran formal. Dalam pembuktian formal, keberadaan dokumen
resmi dan melalui sarana yang dapat diverifikasi perlu didorong menjadi alat bukti
untuk menilai keabsahan atau validasi suatu kepemilikan usaha bisnis atau transaksi
bisnis.
Dalam menilai keabsahan atau validasi suatu kepemilikan usaha bisnis atau transaksi
bisnis, setidaknya terdapat 3 alat bukti yang perlu digunakan yakni:
a. ada/tidaknya registrasi perusahaan/bisnis pada suatu database resmi
pemerintah;
b. ada/tidaknya (termasuk besarnya) pajak yang dilaporkan atas PPh dan PPn;
dan
c. ada/tidaknyya dokumen legalitas lainnya berkaitan dengan eksistensi atau
perizinan umum suatu usaha.
Rekomendasi lain yang dapat disampaikan bahwa kita juga perlu mendorong
pembatasan transaksi tunai dalam aktifitas bisnis serta mendorong adanya suatu
database yang terintegrasi, mudah dan dapat diakses mengenai kepemilikan usaha,
dan dokumen legalitas lainnya.

Anda mungkin juga menyukai