Sebelumnya, UU Pengadilan Anak tidak membedakan kategori Anak Korban dan Anak
Saksi. Konsekuensinya, Anak Korban dan Anak Saksi tidak mendapatkan perlindungan
hukum. Hal ini mengakibatkan banyak tindak pidana yang tidak terselesaikan atau
bahkan tidak dilaporkan karena anak cenderung ketakutan menghadapi sistem
peradilan pidana.
2. Penjatuhan Sanksi
Menurut UU SPPA, seorang pelaku tindak pidana anak dapat dikenakan dua jenis
sanksi, yaitutindakan, bagi pelaku tindak pidana yang berumur di bawah 14 tahun
(Pasal 69 ayat (2) UU SPPA) dan Pidana, bagi pelaku tindak pidana yang berumur 15
tahun ke atas.
a. Sanksi Tindakan yang dapat dikenakan kepada anak meliputi (Pasal 82 UU SPPA):
Pengembalian kepada orang tua/Wali;
Penyerahan kepada seseorang;
Perawatan di rumah sakit jiwa;
Perawatan di LPKS;
Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh
pemerintah atau badan swasta;
Pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau
Perbaikan akibat tindak pidana.
b. Sanksi Pidana
Sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada pelaku tindak pidana anak terbagi
atasPidana Pokok dan Pidana Tambahan (Pasal 71 UU SPPA):
Pidana Pokok terdiri atas:
Pidana peringatan;
Pidana dengan syarat, yang terdiri atas: pembinaan di luar lembaga, pelayanan
masyarakat, atau pengawasan;
Pelatihan kerja;
Pembinaan dalam lembaga;
Penjara.
Selain itu, UU SPPA juga mengatur dalam hal anak belum berumur 12 (dua belas)
tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing
Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan untuk:
(lihat Pasal 21 UU SPPA)
a. menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau
b. mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan
di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan
sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.
7. Lembaga Pemasyarakatan
Dalam Pasal 86 ayat (1) UU SPPA, anak yang belum selesai menjalani pidana di
Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dan telah mencapai umur 18 (delapan
belas) tahun dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan pemuda. Pengaturan tersebut
tidak ada dalam Pasal 61 UU Pengadilan Anak.
A. PENDAHULUAN
Anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun dan belum pernah
menikah. Anak tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana secara penuh,
karena seorang anak masih mempunyai keterbatasan kemampuan berpikir dan
berada dalam pengawasan orang tua atau walinya. Menurut UU No.3 Tahun 1997
pengertian anak yang dapat dimasukkan dalam sistem peradilan pidana adalah anak
yang telah mencapai usia 8 tahun dan belum mencapai 18 tahun dan belum pernah
menikah.
Arus Globalisasi yang diikuti oleh perkembangan ekonomi, ilmu pengetahuan
dan teknologi dapat menimbulkan dampak positif dan negative terutama bagi anak.
Dampak positif pesatnya antara lain terciptanya berbagai macam produk yang
berkualitas dan berteknologi, terbukanya informasi yang diperoleh melalui satelit dan
meningkatnya pendapat masyarakat. Sedang dampak negative nya antara lain
semakin meningkatnya krisis moral dimasyarakat yang berpotensi meningkatnya
jumlah orang yang melawan hukum pidana dalam berbagai bentuk. Hal ini sangat
mempengaruhi kehidupan anak-anak.
Sejak dahulu sampai sekarang , permasalahan pidana telah menyerap banyak
energy para anak bangsa untuk membangun rekontruksi sosial. Peningkatan aktivitas
kriminal dalam berbagai bentuk menuntut kerja keras dalam membangun pemikiran-
pemikiran baru mengenai arah kebijakan hokum dimasa depan.
Arah kebijakan hukum betujuan menjadikan hukum sebagai aturan yang
memberikan perlindungan bagi hak-hak warga negara dan menjamin kehidupan
generasi dimasa depan. Oleh karena itu, sistem hukum tiap negara dalam praktiknya
terus mengalami modernisasi dan tidak ada satu negara pun yang dapat menolaknya.
Contohnya negara Indonesia yang menuntut dilakukannya perubahan disegala bidang,
diantaranya perubahan bidang hukum dengan memunculkan pemikiran-pemikiran
baru untuk mereformasi hukum yang ada saat ini.
B. PEMBAHASAN
1. Pengayoman
2. Persamaan perlakuan dan pelayanan
3. Pendidikan
4. Pembimbingan
5. Penghormatan harkat dan martabat manusia
6. Kehilangan Kemerdekaan
7. Terjamin hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang
tertentu.
Sesuai dengan tugas dan fungsi lembaga melaksanakan pembinaan terhadap para
terpidana agar siap untuk dapat berintegrasi kembali dengan masyarakat dan menjadi
masyarakat yang baik dan taat hukum. Program pemasyarakatan bagi narapidana
anak bertujuan agar anak dapat terhindar dari mengulangi perbuatan pidana yang
pernah dilakukannya dan tetap dapat menjalani kehiduan secara normal. Program
yang dibuat dalam lembaga pemasyarakatan lebih mengutamakan kerja sosial dan
aktivitas yang dapat mengembangkan kemampuan anak dimasa depan.
Para pelaku anak yang melakukan tindak pidana serius yang berada dilembaga
pemasyarakatan anak tetap disediakan fasilitas pengembangan kemampuan seperti
hobi, pelatihan keterampilan, bimbingan/konseling dan kegiatan mental lainnya
semaksimal sesuai dengan kemampuan lembaga. Untuk pendidikan disediakan
sekolah khusus didalam lembaga. Tujuannya agar anak tetap dapat melanjutkan
sekolahnya dan mempersiapkan keterampilan kerja untuk bekal selesai menjalani
pembinaan.
Di Indonesia anak yang dibina dilembaga khusus, anak dapat dibagi menjadi 3
golongan yaitu:
a. Anak pidana, yakni anak yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan dijatuhi
pidana perampasan kemerdekaan
b. Anak negara, yakni seorang anak yang diputus bersalah oleh pengadilan yang
diserahkan pada negara untuk dididik sampai dengan usia 18 tahun.
c. Anak sipil, yakni anak yang berdasarkan permintaan orang tua/walinya
memperoleh penetapan dari pengadilan negeri, dititipkan ke lembaga
pemasyarakatan khusus anak.
3.1 Tahapan Pembinaan Narapidana atau Tahanan Anak
Pembinaan terhadap anak sesuai dengan keputusan menteri kehakiman N0.2-
PK04.10 tahun 1990 tentang pola pembinaan narapidana atau tahanan anak
dilakukan dalam 4 tahap yaitu:
Tahap Pertama
Tahap ini merupakan tahap maximum security yaitu 0-1/3 masa pidana.
Pengawasan pada tahap ini cukup ketat dikarenakan pembina belum mengetahui
akan sifat, watak dan perilaku dari narapidana tersebut. Tahap ini diawali dengan
tahap admisi dan orientasi. Tahap admisi dan orientasi dimulai sejak seorang anak
memasuki lembaga yang dilengkapi dengan surat lengkap (vonis), lama pidananya
dan untuk penentuan tanggal bebasnya. Kegiatan yang dilakukan dalam tahapan ini
adalah pengenalan lembaga, pengenalan petugas lembaga, penjelasan mengenai hak
dan kewajiban anak didik dilembaga dan penyidikan mengenai identitas pribadi
narapidana, pendidikan narapidana yang terakhir, pekerjaan, keadaan lingkungan
rumah tempat tinggal, lingkungan masyarakat, lingkungan keluarga dan lingkungan
sekolah dan motif pidana (sebs-sebab mengapa melakukan tindakan pidana yang
diancam oleh UU). Hasil penelitian yang dilakukan oleh pihak pembina tersebut
penting dalam upaya penyusunan program pembinaan dan pekerjaan apa yang sesuai
dengan diri narapidana anak tersebut. Waktu tahap admisi untuk anak tahanan
1(satu) minggu sedangkan untuk anak negara, anak didik, dan anak sipil adalah
1(satu) bulan. Pada pelaksanaan tahap ini sangat diperlukan social inquiry reports
yang dibuat oleh Bapas sehingga tidak perlu penelitian ulang. Namun dalam
kenyataannya terkadang ada narapidana yang pada saat putusan pengadilan tidak
melampirkan penelitian dari bapas dan hal ini merupakan kendala sehingga pembina
harus melakukan pendataan ulang.
Tahap Kedua
Tahap ini dilaksanakan pada saat 6 bulan pertama untuk anak negara dan sipil
dan untuk anak narapidana anak dilakukan antara 1/3 sampai masa hukuman.
Tahapan ini merupakan tahap medium security, karena pengawasan pada tahap kedua
ini tidak seketat pada tahap pertama. Pada tahap kedua ini pengawasan dilakukan
hanya untuk mengetahui bagaimana narapidana anak menyesuaikan dirinya dengan
lingkungan dan peraturan yang berlakudalam lembaga. Untuk itu dalam tahapan ini
telah diadakan evaluasi terhadap program tahap pertama. Tahap kedua ini narapidana
telah memperoleh pendidikan umum, pendidikan mental, pendidikan sosbud,
pendidikan kepribadian, pendidikan kepribadian, pendidikan keterampilan, dan
bekerja dalam lapas.
Tahap Ketiga
Tahap ketiga dikenal dengan tahap asimilasi yaitu narapidana mendapatkan
pembinaan dengan kesempatan untuk melakukan kerja pada tempat latihan milik
lapas diluar lingkungan lapas seperti kegiatan perkebunan diluar lapas.
Usia anak negara dan anak sipil yang berada pada tahap ketiga ini adalah dimulai 6
(enam) bulan kedua, sedangkan untuk anak narapidana saat menjalani sampai 2/3
masa hukuman. Pada tahap ini anak dididik diperkenalkan dengan jati diri anak itu
sendiri secara lebih mendalam meliputi kecerdasan mental dan iman. Mulai
diperkenalkan dengan masyarakat sekeliling lembaga melalui jalan olah raga,
pramuka dan sebagainya.
Tahap Keempat
Tahap ini disebut tahap integrasi, dilaksanakan terhadap anak negara dan anak
sipil pada 6 (enam) bulan keempat, sedangkan pada anak narapidana dlaksanakan
setelah menjalani 2/3 masa hukumannya sampai habis masa pidananya. Pada tahap
ini pengawasan sangat kurang (minimum security) dan bagi anak didik yang betul-
betul telah sadar dan berkelakuan baik berdasarkan pengamatan tim pengamat
pemasyarakatan, mereka dapat mengusulkan:
a. Cuti Biasa
Yaitu cuti yang diberikan kepada anak didik, baik anak narapidana maupun anak
negara selama 2 (dua) minggu atau permohonan dari orang tua/wali didik anak,
setelah waktu tersebut , mereka harus kembali masuk lembaga.
b. Cuti Menjelang Bebas
Yaitu cuti yang diberikan pada anak sipil atau anak negara menjelang anak tersebut
berusia 17 tahun enam bulan sampai dengan 18 tahun, sedangkan pada anak pidana
setelah 2/3 ke atas masa hukumannya sampai habis pidananya.
c. Pelepasan Bersyarat
Diperuntukkan bagi anak narapidana dilaksanakan dengan ketentuan pasal 15 sampai
dengan pasal 17 KUHP. Bagi anak didik yang memperoleh cuti menjelang lepas
ataupun pelepasan bersyarat, berada dibawah pengawasan ketat dari Bispa
disamping pernyataan orang tua/wali untuk benar-benar mendidik dan mengawasi
mereka. Hal ini dilakukan untuk menghindari anak didik kembali ke lembaga sebagai
residivis, inilah pentingnya pembinaan sesuai pasal 277 dan 280 KUHAP.
Lamanya pembinaan anak didikdi lembaga ditentukan anak didik dengan status
anak negara paling lama sampai usia 18 (delapan belas) tahun dan anak didik dengan
status narapidana 21 (dua puluh satu) tahun. Bagi anak narapidana yang belum
selesai menjalani masa hukumannyadi lembaga mengingat saat melakukan hukuman
usia 12 (dua belas) sampai usia 18 (delapan belas) tahun atau dijatuhkan hukuman 4-
15 tahun. Setelah anak berusia 21 tahun, harus menghabiskan sisa masa hukuman di
LP dewasa.
Aparat penegak hokum yang terkait dalam sistem peradilan anak, memikirkan
kembali untuk tidak menghukum akan tetapi mengambil tindakan lainnya. Hukuman
terbaik bagi anak dalam peradilan pidana bukan hukuman penjara, melainkan
tindakan ganti rugi menurut tingkat keseriusan tindak pidananya. Ganti rugi yang
dimaksud adalah sebuah sanksi yang diberikan oleh sistem peradilan
pidana/pengadilan yang mengharuskan pelaku membayar sejumlah uang atau kerja,
baik langsung maupun penggantinya.
Ganti rugi yang paling sesuai untuk anak adalah kerja proyek masyarakat
dibandingkan dalam bentuk ganti rugi uang. Seorang anak yang diputus untuk ganti
rugi oleh pengadilan dapat dimasukkan kedalam program kerja secara berkelompok
dengan teman-teman yang lain. Ganti rugi dengan kerja proyek akan melatih anak
untuk bersikap jujur dan bertanggung jawab atas hukuman yang diberikan
kepadanya. Bentuk dari hukuman berupa sanksi ganti rugi ini sangat diperlukan
dalam pelaksanaan hokum pidana untuk anak dalam rangka perlindungan anak yang
berkonflik dengan hukum.
4. Tanggung Jawab Orang Tua Jika Anak Melakukan Tindak Pidana
Menurut Pasal 1 angka 1Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak), anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Dari segi hukum pidana bagi anak yang mengendarai kendaraan bermotor hingga
menghilangkan nyawa korban sebagaimana yang disebut dalam Pasal 310 ayat
(4) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ):
(3) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya
mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(4) Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
mengakibatkan orang lain meninggal dunia, di pidana dengan pidana penjara paling
lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta
rupiah).
Ancaman pidana tersebut berlaku bagi mereka yang sudah dewasa, sedangkan
ancaman pidana penjara bagi anak yang melakukan tindak pidana adalah setengah
dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang yang sudah dewasa sebagaimana
yang telah diatur dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak (UU Pengadilan Anak). Dengan demikian, anak yang
mengemudikan kendaraan bermotor karena kelalaiannya hingga mengakibatkan
orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara setengah dari ancaman
pidana bagi orang dewasa (enam tahun), yakni paling lama tiga tahun penjara.
Lalu, bagaimana jika dilihat dari sisi orang tua? Apakah orang tua bisa dipidana jika
membiarkan anaknya mengemudi kendaraan? Menurut Pakar Hukum Pidana
Universitas Islam Indonesia (UII) Mudzakkirsebagaimana kami kutip dari
artikel Pakar: Tanggung Jawab Pidana Tak Bisa Dialihkan, asas hukum pidana
secara tegas mengatur bahwa tanggung jawab pidana itu tidak bisa dialihkan kepada
orang lain. Termasuk, jika pengalihan itu diberikan kepada keluarga si pelaku tindak
pidana.
Prinsip Tanggung Jawab Pidana, dalam Pasal 55 ayat (1) Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana(KUHP) ditegaskan bahwa pelaku tindak pidana yang bisa
dikenakan pidana adalah:
1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta
melakukan perbuatan;
2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan
menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau
penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja
menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
Dengan demikian, tindak pidana mengendarai kendaraan hingga mengakibatkan
hilangnya nyawa orang lain yang dilakukan oleh anak tidak bisa dialihkan
pertanggungjawaban pidananya kepada orang tuanya. Hal ini didasari prinsip
tanggung jawab pidana dalam KUHP yang kami jelaskan tadi. Jadi, dalam hal ini
perbuatan orang tua yang karena kelalaiannya membiarkan anaknya mengendarai
kendaraan dan menyebabkan kecelakaan, tidak bisa dikenakan sanksi pidana.
Meski demikian, secara perdata orang tua dapat dimintai pertanggungjawaban atas
perbuatan anaknya. Hal ini diatur dalam Pasal 1367 ayat (1) dan ayat (2) Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata(KUHP):
Seorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya
sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang
menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah
pengawasannya.
Orang tua dan wali bertanggung jawab tentang kerugian, yang disebabkan oleh anak-
anak belum dewasa, yang tinggal pada mereka dan terhadap siapa mereka melakukan
kekuasaan orang tua atau wali.
Jadi, dalam konteks hukum pidana berdasarkan prinsip tanggungjawab pidana, tidak
dimungkinkan bagi orang tua untuk turut dipidana atas perbuatan yang dilakukan
oleh anaknya. Akan tetapi, dalam konteks hukum perdata, orang tua bertanggung
jawab atas kerugian yang disebabkan oleh anaknya.
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
1. Seorang anak tidak seutuhnya dapat mempertanggung jawabkan semua
perbuatannya karena lingkungan dan masyarakat merupakan suatu kontrol dalam
menilai tindakan yang dilakukannya.
2. Ada beberapa faktor yang menyebabkan seorang anak berurusan dengan aparat
penegak hukum antara lain kurangnya perhatian keluarga, faktor
pergaulan/lingkungan, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, arus globalisasi
dibidang informasi dan komunikasi serta perubahan gaya hidup sebagian orang tua.
3. Hukuman yang terbaik bagi anak dalam peradilan pidana bukanlah hukuman
penjara, melainkan tindakan ganti rugi. Ganti rugi yang sesuai untuk anak adalah
kerja proyek.
4. Pelaksanaan konsep Diversi dan Restorative Justice memberikan dukungan
terhadap proses perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Sesuai
dengan prinsip utama dari Diversi dan Restorative Justice yang mempunyai kesamaan
yaitu menghindarkan pelaku tindak pidana dari sistem peradilan pidana formal dan
memberikan kesempatan anak pelaku untuk menjalankan sanksi alternatif tanpa
pidana penjara.
5. Tujuan dari hukuman adalah untuk membina dan memperbaiki sehingga
terciptalah kehidupan yang harmonis dan stabil. Proses hukum haruslah
mengedepankan aspek kemanusiaan terlebih lagi masalah pidana anak. Hakim, jaksa,
dan polisi diharapkan lebih bisa menggunakan hati nurani ketimbang hanya
berdasarkan pada landasan hukum formil semata.
2. Saran
1. Masa anak-anak adalah masa yang sangat rawan melakukan tindakan, hal ini karena
masa anak-anak suatu masa yang sangat rentan dengan berbagai keinginan dan
harapan untuk mencapai sesuatu ataupun melakukan sesuatu. Seorang anak dalam
melakukan sesuatu tidak /kurang menilai akibat akhir dari tindakan yang di ambilnya.
Oleh karena itu orang tua mempunyai kewajiban untuk membantu anak baik secara
fisik, ekonomi maupun psikis dalam perkembangan kejiwaan anak.
2. Anak yang telah melakukan tindakan pidana harus segera diperbaiki melalui
tindakan yang benar-benar memperhatikan kesejahteraan dan masa depan yang baik
untuk anak. Tindakan yang diberikan kepada anak adalah tindakan yang bersifat
mendidik, guna memulihkan kembali kondisi anak tersebut menjadi anak yang baik,
bukan dengan hukuman pembalasan terhadap mereka setelah menjalani peradilan.