Anda di halaman 1dari 18

PELAKSANAAN RESTRORATIVE JUSTICE

DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA ANAK

1. Pembaharuan Hukum Pidana (legal reform) dalam Sistem Peradilan


Anak di Indonesia
Secara umum diketahui bahwa arus pembaharuan hukum pidana dimulai seiring
dengan bergulirnya fase reformasi tahun 1998 bersamaan dengan pembaharuan di
bidang politik, ekonomi, serta bidang-bidang lainnya. Sebagaimana telah Penulis
ungkapkan sebelumnya bahwa wacana pembaharuan hukum pidana telah dimulai
semenjak pelaksanaan Seminar Hukum Nasional Tahun 1964 dengan diusulkannya
perubahan KUHP dan HIR.
Rasanya sudah tidak sedikit para pakar hukum baik dalam bidang akademisi maupun
praktisi hukum,dalam hal ini diwakilkan oleh unsur Advokat/Pengacara, yang
melontarkan ide pembaharuan hukum pidana. KUHP Nasional merupakan sesuatu
yang sangat diidam-idamkan oleh berbagai kalangan. Harapan adanya KUHP yang
diciptakan sendiri oleh potensi anak bangsa merupakan suatu terobosan kebuntuan
antara law in book dan law in action. Implementasi KUHP versi Belanda, walaupun
telah disahkan melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946, namun secara substansi
adalah merupakan produk bangsa penjajah. Soedarto menjelaskan bahwa tidaklah
banyak Sarjana Hukum bahkan Guru Besar yang paham secara benar berkaitan
dengan bahasa Asli dari KUHP versi Belanda yang merupakan induk dari KUHP yang
saat ini digunakan oleh Indonesia. Sehingga menimbulkan pemahaman yang berbeda-
beda dikalangan para sarjana baik akademisi maupun praktisi. Dikarenakan
minimnya akademisi dan praktisi serta penegak hukum yang menguasai teks asli dari
KUHP sehingga menimbulkan penfasiran yang berbeda-beda, yang pada akhirnya
tercipta ketidakpraktisan dan ketidak-efesiensi-an dalam penegakan hukum. Yang
akhirnya menimbulkan ketidakseragaman pelayanan hukum di berbagai wilayah.
Soedarto menjelaskan lebih lanjut bahwa urgensinya KUHP Nasional dilandaskan
kepada alasan sosiologis dimana W.v.S berdasarkan substansi/materi muatan bukan
merupakan cerminan Bangsa Indonesia. Menurut Soedarto, bahwa suatu KUHP pada
dasarnya adalah pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan dari suatu bangsa, karena ia
memuat perbuatan-perbuatan yang tidak ia kehendaki dan mengikatkan kepada
perbuatan-perbuatan itu suatu sanksi (yang negatif) yaitu berupa pidana. Ukuran
untuk menentukan perbuatan mana yang dilarang itu tentunya tergantung dari
pandangan kolektif yang terdapat dalam masyarakat tentang apa yang baik, yang
benar dan sebaliknya.[71]
Dari alasan-alasan diatas, bahwa urgensi keberadaan KUHP nasional menjadi sangat
menentukan dalam law enforcement. Namun pada kenyataannya, proses
pembaharuan hukum berjalan sangat lambat. Bahkan di era reformasipun politicall
will pembentuk Undang-undang sama sekali tidak nampak. Hal tersebut dapat
dicermati dengan kualitas pembentukan Undang-undang atau peraturan hukum yang
saling bertabrakan satus sama lainnya. Pelayanan hukum terhadap masyarakat tidak
dilaksanakan dalam satu atap, sehingga masyarakat harus berhadapan dengan,
bahkan terjebak dalam, pusaran setan sistem koordinasi antar institusi penegak
hukum.
Nampaknya baik legislatif maupun eksekutif banyak yang tidak memahami secara
hakiki, tingkat seberapa pentingnya melakukan pembaharuan hukum, khususnya
hukum pidana. DPR tak lebih jauh berbeda dengan penonton pertandingan sepak
bola, yang selalu mengkritik bagaimana seharusnya Pemerintah bertindak dalam
melaksanakan law enforcement.
1. Yahya Harahapmenyatakan, sistem peradilan pidana yang digariskan KUHAP
merupakan sistem terpadu (integrated criminal justice system)yang diletakkan
di atas landasan prinsip diferensiasi fungsional di antara aparat penegak
hukum sesuai dengan tahap proses kewenangan yang diberikan undang-
undang kepada masing-masing. Berdasarkan kerangka landasan dimaksud,
maka aktifitas pelaksanaan criminal justice system merupakan fungsi
gabungan (collection of function) dari legislator, dalam hal ini adalah DPR;
Eksekutif, dalam hal ini adalah Pemerintah yang diwakilkan oleh organ
Pemerintah yaitu Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan, dan Lembaga
Pemasyarakatan (LAPAS), dan Yudikatif yaitu Mahkamah Agung beserta
pengadilan yang berada dibawah koordinasinya, serta badan-badan yang
berkaitan, baik yang ada di lingkungan pemerintahan atau di luar.[72]
Nampaknya pembentuk Undang-undang, dalam hal ini adalah legislatif, kurang
memahami betapa pentingnya posisi mereka sebagai legislator dalam sistem
peradilan pidana berdasarkan kajian politik hukum pidana. Bahwa
ketidakharmonisan dan ketidaksinkronan dalam sistem peradilan pidana saat ini
merupakan kontribusi para legislator pula di DPR. Sehingga sangat tidak etis ketika
DPR sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah sistem, justru mengkritik
tanpa solusi.
Sebelum menjelaskan lebih jauh, perlu Penulis sampaikan mengenai perisitilah Politik
Hukum Pidana atau Kebijakan Pidana atau Penal Policy. Sebagaimana diungkapkan
oleh Barda Nawawi Arief[73], bahwa Penal Policy adalah sebagai berikut:
Suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk
memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk
memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada
pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara
atau pelaksana putusan pengadilan.
Sedangkan Sudarto mempergunakan istilah Politik Kriminal, dimana beliau
mengartikan Politik kriminal ke dalam 3 (tiga) pengertian yaitu:[74]
1. Dalam pengertian yang sempit, dimana politik kriminal digambarkan sebagai
keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap
pelanggaran hukum yang berupa pidana;
2. Dalam arti luas adalah dimana politik kriminal merupakan keseluruhan fungsi
dari aparatur penegak hukum termasuk di dalamnya cara kerja dari polisi dan
pengadilan;
3. Dalam arti paling luas adalah dimana politik kriminal merupakan keseluruhan
kebijakan yang dilakukan melalui peraturan perundang-undangan dan badan-
badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari
masyarakat.
Dari pengertian penal policy tersebut, maka diketahui bahwa dalam legal
drafting tidak hanya diperlukan kecakapan dalam merancang kata-kata dalam bentuk
undang-undang semata. Bahwa undang-undang seyogyanya bukan hanya dibuat
untuk memberantas suatu tindak pidana semata, namun hendaknya juga mampu
memunculkan upaya pencegahan sebelum terjadinya suatu tindak pidana. Dan bukan
hanya itu saja, dalam membentuk sebuah Undang-undang, sisi kelemahan yang paling
fatal di Indonesia, tidak pernah ada sinkronisasi dalam tingkat Undang-undang.
Seolah-olah, pembentuk Undang-undang hanya terfokus dengan Rancangan Undang-
Undang yang akan bahasnya tanpa ada pengkajian lebih mendalam.
Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Marc Ancel, sebagai berikut:[75]
Di antara studi mengenai faktor-faktor kriminologis di satu pihak dan studi mengenai
tehnik perundang-undangan di lain pihak, ada tempat bagi suatu ilmu pengetahuan
yang mengamati dan menyelidiki fenomena legislatif dan bagi suatu seni yang rasional,
di mana para sarjana dan praktisi, para ahli kriminologi dan sarjana hukum dapat
bekerja sama tidak sebagai pihak yang saling berlawanan atau saling berselisih, tetapi
sebagai kawan sekerja yang terikat di dalam tugas bersama, yaitu terutama untuk
menghasilkan suatu kebijakan pidana yang realistic, humanis dan berpikiran maju
(progresif) lagi sehat.
Berdasarkan pendapat tersebut, maka diketahui bahwa pembentukan sistem
peradilan pidana yang baik hendaknya melewati tahap sinkronisasi antara Undang-
undang yang terkait. Namun pada kenyataannya, Pembentuk Undang-undang
khususnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), kurang memperhatikan keselarasan
antara peraturan satu dengan peraturan yang lain.
Di dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011[76] dijelaskan bahwa dalam
membentuk peraturan perundang-undangan maka harus di dasarkan pada kepada
asas kesesuaian antara jenis, hierarkhi dan materi muatan. Dimana dalam membentuk
suatu peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi
muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki dari Peraturan Perundang-
undangan. Undang-undang pun mensyaratkan bahwa keserasian tersebut hendaknya
memperhatikan asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan dalam setiap materi
muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan
kepentingan bangsa dan negara.
Permasalahan pokok yang terkait dengan insinkronisasi dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan, terutama adalah masih terjadinya tumpang tindih
dan pertentangan antara peraturan perundang-undangan bukan hanya di tingkat
pusat dan daerah, namun juga terhadap peraturan setingkat Undang-undang. Sebagai
contoh, Departemen Keuangan hampir tiap hari membatalkan sekitar 5 hingga 10
usulan Peraturan Daerah (PERDA) tentang usulan pajak dan retribusi daerah yang
disampaikan oleh pemerintah daerah. Pertimbangan pembatalan perda tersebut,
antara lain, karena dinilai melanggar ketentuan umum, peraturan daerah yang semula
dibuat untuk kepentingan daerah. Namun dalam pelaksanaannya, seringkali bersifat
diskriminatif dan tidak berperspektif gender, tidak ramah investasi, tidak ramah
lingkungan, serta tidak berperspektif hak asasi manusia. Hal itu mengakibatkan
terjadi ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban dari subjek yang diatur sehingga
belum dapat memberikan upaya perlindungan serta menjamin hak-hak setiap warga
negara untuk setara dan adil di hadapan hukum.[77]
Permasalahan sinkronisasi bukan hanya terbatas dengan insinkronisasi antar
peraturan perundang-undangan semata, namun terkait dengan keseluruhan sistem
hukum yang berlaku di Indonesia. Berbicara mengenai legal policy dalam kaitannya
dengan kerangka pembaharuan hukum, maka perlu diteliti keseluruhan
sistem[78] hukum yang terkait.
Dalam konteks ini sistem hukum nasional sebagai suatu himpunan bagian hukum atau
subsistem hukum yang saling berkaitan yang membentuk satu keseluruhan yang
rumit atau kompleks tetapi merupakan satu kesatuan.[79] Menurut Friedmann,
bahwa Menurut Friedmann, sistem hukum terdiri atas struktur hukum (structure),
substansi/materi hukum (substance), dan budaya hukum (legal culture).[80] Sehingga
ketika berbicara pembaharuan sistem peradilan pidana dalam kajian legal policy,
tidak hanya kebijakan Undang-undang, namun juga kebijakan yang berkaitan dengan
struktur dan budaya hukum yang berkembang baik secara struktural maupun di
masyarakat.
Sebenarnya pembaharuan hukum pidana tidak identik dengan pembaharuan KUHP.
Pembaharuan hukum pidana lebih bersifat komprehensif dari pada sekedar
mengganti KUHP. Pembaharuan hukum pidana meliputi pembaharuan dalam bidang
struktur, kultur dan materi hukum. Sedangkan pembaharuan KUHP hanya berarti
pembaharuan materi hukum pidana.[81]
Barda Nawawi Arief menyebutkan bahwa tidak ada artinya hukum pidana (KUHP)
diganti/diperbaharui, apabila tidak dipersiapkan atau tidak disertai dengan
perubahan ilmu hukum pidananya. Dengan kata lain criminal law reform atau legal
substance reform harus disertai pula dengan pembaharuan ilmu pengetahuan tentang
hukum pidananya (legal/criminal science reform).
Bahkan harus disertai pula dengan pembaharuan budaya hukum masyarakat (legal
culture reform) dan pembaharuan struktur atau perangkat hukumnya (legal structure
reform).[82] Sedangkan menurut Sudarto, pembaharuan hukum pidana yang
menyeluruh itu harus meliputi pembaharuan hukum pidana material, hukum pidana
formal dan hukum pelaksanaan pidana.[83]
Kenyataan inilah yang menyebabkan kebutuhan untuk melakukan pembaharuan
hukum pidana (penal reform) di Indonesia. Kebutuhan untuk melakukan
pembaharuan hukum pidana sejalan dengan hasil dari Kongres PBB tahun 1976
tentang pencegahan kejahatan dan perlakuan kepada pelaku kejahatan. Dalam
kongres tersebut dinyatakan bahwa hukum pidana yang ada selama ini di berbagai
negara yang sering berasal dari hukum asing dari zaman kolonial yang pada umumnya
telah asing dan tidak adil (obsolete and unjustice) serta ketinggalan zaman dan tidak
sesuai dengan kenyataan (outmoded and unreal) karena tidak berakar dan pada nilai-
nilai budaya dan bahkan ada diskrepansi dengan aspirasi masyarakat serta tidak
responsif terhadap kebutuhan sosial masa kini.[84]
Kondisi perubahan hukum yang adil dan sesuai dengan kenyataan yang berakar dari
nilai-nilai yang ada dalam masyarakat kemudian secara tegas juga dinyatakan dalam
konsideran Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang
menyatakan bahwa materi hukum pidana nasional harus disesuaikan dengan politik
hukum, keadaan, dan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa
Indonesia. Sementara tujuan penyusunan hukum pidana dinyatakan sebagai
perwujudan upaya pembaharuan hukum nasional Negara Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, serta untuk menghormati dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.
Menurut Penulis, munculnya wacana law reform merupakan reaksi atas lemahnya law
enforcement dalam sistem hukum pidana di Indonesia. KUHAP sebagai Undang-
undang yang merupakan hukum acara bagi pelaksanaan hukum pidana materiil justru
berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) melalui institusi penegak hukum
(impunitas). Impunitas merupakan salah satu pelanggaran HAM yang terjadi karena
selama ini pembangunan hukum di Indonesia selalu menggunakan Security
Approach[85].
Pemerintah melalui tangan-tangan institusi penegak hukum dipergunakan untuk
melancarkan jalannya pembangunan. Hal ini merupakan suatu kewajaran yang terjadi
pada Negara-Negara Dunia Ketiga seperti di Indonesia. Dengan adanya kebutuhan
seperti hal tersebut, sehingga political will dari Pembentuk Undang-Undang, hingga
saat ini masih belum terbentuk untuk melakukan pembaharuan terhadap sistem
hukum di Indonesia.
Terkait dengan legal reform, dalam ranah Hukum Perlindungan Anak, pembentuk
Undang-undang mencoba mengakomodir berbagai masukan dari berbagai pihak
terkait dengan kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam UU Pengadilan Anak,
sehingga disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Anak (UU SPA).
UU SPA ini merupakan salah satu wujud dari hukum sebagai sarana perubahan sosial
(law as a tools of social engineering), dimana semua pihak harus mulai mereformasi
pola pikirnya ketika berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh Anak.
Pemberlakuan lembaga divertion (diversi) menjadi tolak ukur utama dalam
melakukan proses pemeriksaan terhadap anak sebagai pelaku, pun konsep
keseimbangan antara kebutuhan korban turut diatur sebagai wujud dari asas
keseimbangan.
Pembaharuan yang mendasar terlihat pula pada batasan usia dari anak sebagai pelaku
tindak pidana, dimana pada UU Pengadilan Anak batasan usia dimulai dari usia 8
tahun hingga 18 tahun, namun pasal terkait telah dilakukan uji materiil melalui
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 1/PUU-VIII/2010 Tahun 2010 yang menaikkan
batas minimal usia anak yang dapat dituntut pertanggung jawaban pidana menjadi 12
Tahun.
Pembaharuan lainnya adalah berkaitan dengan stigma Anak Nakal yang termuat di
dalam UU Pengadilan Anak, pada UU SPA diubah menjadi Anak yang Berhadapan
dengan Hukum (ABH). Ini merupakan pembaharuan yang sangat signifikan dalam
konsep Hukum Perlindungan Anak. Anak sebagai bagian dari kelompok yang rentan
dan labil, wajib dihindakan dari stigmatisasi negatif sehingga diharapkan tidak
mengganggu perkembangan mental dari si Anak.

1. Penerapan Konsep Keadilan Restorasi (Restorative Justice) Dalam


Peradilan Anak
Semenjak diterapkannya Sistem Pemasyarakatan dalam melakukan pembinaan
terhadap pelaku-pelaku kejahatan yang sudah divonis bersalah melalui Pengadilan,
tingkat kejahatan tidak juga menurun, justru semakin bertambah dan terus
bertambah. Tidak sedikit pelaporan tindak pidana yang dilaporkan ke Kepolisian di
seluruh wilayah Indonesia.
Perimbangan antara jumlah SDM Polisi dengan pelaporan yang masuk menjadi salah
satu faktor terlukainya nilai-nilai keadilan di negeri ini. Pemerintah belum mampu
untuk memberikan dana operasional yang memadai bagi para Penyidik POLRI guna
menyelesaikan permasalahan yang dilaporkan, sehingga memunculkan kebiasaan-
kebiasaan yang kurang pantas di dalam proses penyidikan, misalnya dengan meminta
biaya tambahan kepada si pelapor, bahkan juga kepada Terlapor. Sehingga tak heran
jika terdapat perkara-perkara sepele yang dilaporkan namun tetap akan diproses
karena si Pelapornya termasuk golongan orang-orang ber-Uang.
Namun, perilaku tersebut tidak bisa disalahkan sepenuhnya kepada POLRI, hal ini
merupakan satu kesatuan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan.
Dimana sistem hukum di Indonesia, memang telah menciptakan aparat penegak
hukum hanya sebagai toa masjid saja. Apa isi undang-undang, itulah yang mereka
jalankan. Dan dapat dimaklumi, bahwa tidak semua polisi adalah lulusan sarjana
hukum pada awalnya. Sehingga sangat susah untuk diharapkan penanganan perkara
yang humanis.
Problematika tersebut bukan hanya ditingkat Kepolisian saja, bahkan hingga sampai
kepada tingkat Mahkamah Agung. Kewenangan untuk mengambil langkah-langkah
yang humanis, pada saat ini, telah diamanatkan oleh masing-masing payung
hukumnya. Namun kultur budaya di masing-masing institusi yang susah untuk
dirubah.
Kepolisian dan Kejaksaan telah diberikan kewenangan untuk melakukan diskresi
terhadap permasalahan-permasalahan yang bisa diselesaikan tanpa memperpanjang
konflik atau sengketa, namun sangat jarang digunakan kecuali ada keuntungan
finansial yang nyata. Hakim-hakim telah memiliki kewenangan untuk melakukan
penemuan dan penciptaan hukum, baik melalui Undang-undangnya maupun melalui
asas-asas ilmu hukum, namun sangat jarang Hakim mempergunakannya.
Pembahasan mengenai konsep restorative justice telah disinggung sedikit pada bab-
bab awal, dimana pengertian Restorative Justice (Keadilan Restoratif) adalah suatu
pendekatan keadilan yang memfokuskan kepada kebutuhan daripada para korban,
pelaku kejahatan, dan juga melibatkan peran serta masyarakat, dan tidak semata-
mata memenuhi ketentuan hukum atau semata-mata penjatuhan pidana. Dalam hal
ini korban juga dilibatkan di dalam proses, sementara pelaku kejahatan juga didorong
untuk mempertanggungjawabkan atas tindakannya, yaitu dengan memperbaiki
kesalahan-kesalahan yang telah mereka perbuat dengan meminta maaf,
mengembalikan uang telah dicuri, atau dengan melakukan pelayanan
masyarakat. Pendekatan Restorative justice memfokuskan kepada kebutuhan baik
korban maupun pelaku kejahatan. Di samping itu, pendekatan Restorative
Justice (Keadilan Restoratif) membantu para pelaku kejahatan untuk menghindari
kejahatan lainnya pada masa yang akan datang.
Hal ini didasarkan pada sebuah teori keadilan yang menganggap kejahatan dan
pelanggaran, pada prinsipnya adalah pelanggaran terhadap individu atau masyarakat
dan bukan kepada negara. Restorative Justice (Keadilan Restoratif)
menumbuhkan dialog antara korban dan pelaku akan menunjukan tingkat tertinggi
kepuasan korban dan akuntabilitas pelaku.
Konsep Restorative Justice (Keadilan Restoratif) pada dasarnya sederhana. Ukuran
keadilan tidak lagi berdasarkan pembalasan setimpal dari korban kepada pelaku (baik
secara fisik, psikis atau hukuman); namun perbuatan yang menyakitkan itu
disembuhkan dengan memberikan dukungan kepada korban dan mensyaratkan
pelaku untuk bertanggungjawab, dengan bantuan keluarga dan masyarakat bila
diperlukan.
Dalam ke-Indonesia-an, maka diartikan bahwa Restorative Justice sendiri berarti
penyelesaian secara adil yang melibatkan pelaku, korban, keluarga dan pihak lain
yang terkait dalam suatu tindak pidana dan secara bersama mencari penyelesaian
terhadap tindak pidana dan implikasinya dengan menekankan pemulihan kembali
pada keadaan semula.
Pengenalan Restorative Justice (Keadilan Restoratif) di dalam sistem hukum Indonesia
masih bersifat parsial dan tidak komprehensif. Hal tersebut sebagaimana
diungkapkan oleh DS. Dewi sebagai berikut:
Penerapan Retorative Justice (keadilan restoratif) juga terlihat pada beberapa
kebijakan penegak hukum, diantaranya:
1. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 6 Tahun 1959, menyebutkan
bahwa persidangan anak harus dilakukan secara tertutup.
2. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 6 Tahun 1987, tanggal 16
November 1987 tentang Tata Tertib Sidang Anak.
3. Surat Edaran Jaksa Agung RI SE-002/j.a/4/1989 tentang Penuntutan terhadap
Anak
4. Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum B-532/E/11/1995, 9 Nov 1995
tentang Petunjuk Teknis Penuntutan Terhadap Anak
5. MOU 20/PRS-2/KEP/2005 DitBinRehSos Depsos RI dan DitPas DepKumHAM
RI tentang pembinaan luar lembaga bagi anak yang berhadapan dengan
hukum
6. Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung RI MA/Kumdil/31/I/K/2005 tentang
kewajiban setiap PN mengadakan ruang sidang khusus & ruang tunggu khusus
untuk anak yang akan disidangkan
7. Himbauan Ketua MARI untuk menghindari penahanan pada anak dan
mengutamakan putusan tindakan daripada penjara, 16 Juli 2007
8. Peraturan KAPOLRI 10/2007, 6 Juli 2007 tentang Unit Pelayanan Perempuan
dan Anak (PPA) dan 3/2008 tentang pembentukan RPK dan tata cara
pemeriksaan saksi&/korban TP
9. TR/1124/XI/2006 dari Kabareskrim POLRI, 16 Nov 2006 dan
TR/395/VI/2008 9 Juni 2008, tentang pelaksaan diversi danrestorative
justice dalam penanganan kasus anak pelaku dan pemenuhan kepentingan
terbaik anak dalam kasus anak baik sebagai pelaku, korban atau saksi
10. Kesepakatan Bersama antara Departemen Sosial RI Nomor : 12/PRS-
2/KPTS/2009, Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI
Nomor : M.HH.04.HM.03.02 Th 2009, Departemen Pendidikan Nasional RI
Nomor 11/XII/KB/2009, Departemen Agama RI Nomor : 06/XII/2009, dan
Kepolisian Negara RI Nomor : B/43/ XII/2009 tentang Perlindungan dan
Rehabilitasi Sosial Anak Yang Berhadapan dengan Hukum , tanggal 15
Desember 2009
11. Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung RI, Kepala
Kepolisian Negara RI, Menteri Hukum Dan HAM RI, Menteri Sosial RI, Menteri
Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak
RI, NO.166/KMA/SKB/XII/2009, NO.148 A/A/JA/12/2009, NO.
B/45/XII/2009, NO.M.HH-08 HM.03.02 Tahun 2009, NO. 10/PRS-
2/KPTS/2009, NO. 02/Men.PP dan PA/XII/2009 tanggal 22 Desember 2009
tentang Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum.
12. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak
Dalam hal ini, justru Penulis melihat bahwa penerapan Restorative Justice juga terlihat
dari Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Dimana Sistem
Pemasyarakatan bertujuan untuk mengembalikan Warga Binaan Pemasyarakatan
sebagai warga yang baik dan untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan
diulanginya tindak pidana oleh warga binaan serta merupakan penerapan dan bagian
yang tak terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Namun, dari seluruh ketentuan yang ada, tidak lah merupakan satu kesatuan yang
utuh dan terkesan berdiri sendiri, serta tidak menyeluruh pada setiap tingkatan
pemeriksaan pada proses perkara pidana. Dimana hanya pada tindak pidana tertentu
saja ditekankan pendekatan Restorative Justice tersebut, dalam hal ini adalah
permasalahan hukum yang berkaitan dengan subyek hukumnya adalah Anak.
Salah satu wujud dari Restorative Justice adalah dimunculkannya lembaga penal
mediation, yaitu penyelesaian perkara pidana melalui jalur mediasi. Namun demikian,
tidaklah semua jenis tindak pidana yang dapat diselesaikan melalui penal mediation.
Penal Mediation sebagai konsekuensi dianutnya konsep reastorative justice lebih
memfokuskan kepada penyelesaian perkara pidana di luar persidangan yang berskala
kecil atau memiliki nominal yang kecil. Hal ini pada dasarnya juga sudah berlaku
namun hanya pada perkara-perkara yang tergolong kepada tindak pidana ringan,
namun hingga saat ini, dalam praktek yang termasuk ke dalam tindak pidana ringan
hanyalah pelanggaran lalu lintas. Dimana Polri cq Polantas, lebih sering menggunakan
diskresi dalam menyelesaikan pelanggaran lalu lintas.
Penal mediation juga nampak pada perkara-perkara yang bersifat aduan atau delik
aduan. Dimana pencabutan pengaduan oleh pihak Pelapor, tak jarang, pihak Penyidik
memberikan saran agar tercipta perdamaian, sehingga laporan dapat dicabut.
Walaupun inisiatif tersebut tetap dilatarbelakangi oleh nilai nominal yang diharapkan
oleh Penyidik hanya sebagai penggantian uang lelah dan uang kertas, namun hal-hal
tersebut patut diapresiasi.
Fenomena hukum yang terjadi sepanjang tahun 2010 s/d tahun 2012 ini, dimana
muncul perkara-perkara yang bernilai kecil namun tetap dilanjutkan proses
penyidikannya, dengan dalih pihak pelapor enggan mencabut laporannya, sehingga
tidak dapat diselesaikan dengan damai. Kita tentu masih ingat perkara Sandal Jepit di
Palu, perkara pencurian buah Cacao oleh Nenek Minah ataupun perkara pencurian
piring di Bekasi. Perkara-perkara tersebut tentu sangat berbanding terbalik dengan
perkara-perkara korupsi yang marak dibicarakan. Sangat sedikit orang-orang akan
membicarakan perkara tersebut karena nominalnya sangat kecil, namun dikarenakan
media massa berani meng-ekspose, sehingga ramai dibicarakan oleh banyak pihak.
Penyidik seharusnya dapat menempatkan dirinya sebagai seorang mediator dalam
membangun komunikasi antara pelaku dengan korban demi mencapai rasa keadilan
dan kemanfaatan bagi semua pihak. Namun, Penyidik lebih senang larut dalam emosi
balas dendam (retributive justice theory) dari korban dengan berlindung pada dua hal
yaitu:
1. Apa yang dilakukan oleh Penyidik sudah sesuai dengan amanat Undang-
undang; dan
2. Kewenangan Penyidik dalam menghentikan perkara dibatasi syaratnya oleh
KUHAP
Disertai dalil pembenaran, yaitu:
1. Seberapa seringkah pelaku melakukan tindak pidana secara berulang-ulang?
2. Penal Mediationakan menjadi preseden yang buruk bagi calon pelaku lainnya.
Secara yuridis formal, apa yang dilakukan oleh Penyidik memang memenuhi asas
kepastian hukum. Bahwa baik KUHAP maupun UU Kepolisian tidak memberikan
kewenangan untuk menghentikan perkara, kecuali atas 3 (tiga) syarat, yaitu:
1. Perkara tersebut bukanlah merupakan tindak pidana;
2. Tindak pidana yang terjadi tidak cukup bukti untuk dilanjutkan
pemeriksaannya; dan
3. Tersangka atau Terlapor meninggal dunia.
Namun demikian, baik KUHAP maupun UU Kepolisian memberikan ruang gerak yang
cukup untuk melakukan diskresi dengan dasar demi kepentingan umum.[86]
Kondisi yang sama juga terjadi pada ranah penuntutan yaitu pada lembaga Kejaksaan.
Sebagaimana layaknya lembaga pemerintahan, dalam ranah Hukum Administrasi
Negara, Kejaksaan pun memiliki kewenangan untuk menghentikan penuntutan
dengan alasan demi kepentingan umum, yaitu melalui Surat Keputusan Penghentian
Penuntutan (SKP2).
Karena syarat untuk melakukan diskresi baik pada Penyidikan dan Penuntutan adalah
demi kepentingan umum maka seringkali terjadi penafsiran negatif yang
dilandaskan kepada kepentingan finansial.
Karena hingga saat ini, baik melalui peraturan perundang-undangan nasional maupun
internasional, tidak pernah ada definisi yang mampu menggambarkan secara
gamblang dengan apa yang dimaksud dengan demi kepentingan umum tersebut.
Restorative Justice pada prinsipnya memberikan batasan yang cukup bagi para
penegak hukum untuk mendeskripsikan frase demi kepentingan umum tersebut,
yaitu dengan membangun komunikasi antara pelaku, korban dan penegak hukum
agar menghasilkan output yang bermanfaat bagi semua pihak.
Integrated Criminal Justice System (ICJS) atau dikenal dengan nama Sistem Peradilan
Pidana Terpadu (SPPT) merupakan suatu sistem peradilan pidana yang merupakan
pemukhtahiran Sistem Peradilan Pidana (SPP). Perbedaan antara SPPT dengan SPP
tersebut terletak pada kata Terpadu. Sehingga menunjukkan bahwa SPP yang selama
ini dianut oleh seluruh institusi penegak hukum, tidaklah mampu memberikan akses
kepada pihak-pihak yang terkait.
Di dalam SPP merupakan suatu sistem peradilan perkara pidana yang antara satu
institusi dengan institusi yang lainnya tidak terkoneksi/terhubung, sehingga seolah-
olah masing-masing pihak berjalan sendiri-sendiri berdasarkan platform-nya masing-
masing. Dimana dalam SPP hanya dibatasi kepada institusi penegak hukum secara
formal, yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Mahkamah Agung.
Prinsip-prinsip dasar dari ICJS sebenarnya sudah mulai diperkenal oleh para pakar
hukum masa lampau. Dimana yang paling terkenal adalah pendapat dari Soerjono
Soekanto dengan faktor-faktor yang mempengaruhi law enforcement, yaitu terdiri
dari:
1. Hukum itu sendiri;
2. Sarana dan Prasarana;
3. Institusi Penegak Hukum;
4. Masyarakat; dan
5.
Dari kelima elemen tersebut tidaklah berjalan masing-masing, namun harus
terintegrasi dan saling bekerja sama dalam sistem koordinasi yang dibangun pada
landasan yuridis yang kuat.
Berdasarkan pendapat Beliau, kita sudah jelas melihat adanya susupan dari
teori restorative justice, dimana perlu dibangunanya kerjasama antara intitusi
penegak hukum dengan masyarakat disertai dengan alasan sosiologis (unsur budaya)
yang mempengaruhi proses law enforcement.
Sehingga di dalam ICJS, Penulis melihat adanya penghormatan terhadap budaya lokal
yang hidup dan berkembang di masyarakat yang patut untuk dijadikan bahan
pertimbangan.
Salah satu fenomena hukum yang menarik dalam mewujudkan ICJS melalui
penerapan restorative justice adalah dengan dikeluarkannya Peraturan Mahkamah
Agung RI Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan
Dan Jumlah Denda Dalam KUHP. PERMA ini dikeluarkan atas dasar berbagai
fenomena hukum yang mengusik rasa keadilan masyarakat berkaitan dengan perkara
tindak pidana yang memiliki kualifikasi ringan, namun masih terus diproses
pemeriksaannya.
Namun, jika kita baca PERMA tersebut, maka PERMA tersebut hanya bertitik berat
kepada apakah pelaku dapat dilakukan penahanan atau tidak? PERMA tersebut hanya
mengikat Hakim untuk melakukan penahanan bagi pelaku tindak pidana ringan
(lichte misdrijven). Bahwa Hakim dilarang memberikan perpanjangan penahanan
ataupun menahan. Namun pada pemeriksaan tingkat Penyidikan dan Penuntutan,
masih dapat dilakukan penahanan.
Konsep law enforcement dari Soerjono Soekanto, yang Penulis yakini sebagai
penjabaran dalam bentuk lain dari konsep restoratif justice, pada saat ini hanya
diadopsi secara parsial. Dimana legal reform hanya terjadi pada UU SPA, namun tidak
menyeluruh di dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Hal ini patut dimaklumi,
bahwa merubah sistem peradilan Anak memang nampak lebih mudah dibandingkan
merubah keseluruhan sistem peradilan pidana. Hal tersebut dikarenakan
penerapan restorative justice dan penal mediation, dalam
bentuk divertion (diversi/pengalihan), hanya berkaitan dengan anak baik sebagai
pelaku, korban ataupun saksi. Tidak ada kepentingan yang lebih besar dari tindak
pidana anak, selain menyelamatkan masa depan si anak.
Sehingga Penulis lebih memandang bahwa penerapan restorative justice dalam UU
SPA hanya merupakan bargaining dari tuntutan yang lebih besar, yaitu legal
reform SPP menuju SPPT.
Pada Pasal 1 angka 7 UU SPA ditegaskan bahwa Diversi adalah pengalihan
penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan
pidana. Namun demikian, penerapan lembaga Diversi ini tetap dilakukan secara
terbatas.
Dalam setiap proses pemeriksaan, pada Kepolisian, kejaksaan dan Pengadilan, harus
diterapkan terlebih dahulu proses Diversi. Namun terbatas kepada tindak pidana yang
diancam di bawah 7 (tujuh) tahun. Penerapan lembaga Diversi hanya kepada tiga
lembaga, kecuali Pengadilan Banding dan Kasasi, dapat dimaklumi. Hal tersebut
dikarenakan sifat dari Pengadilan Negeri yang merupakan lembaga judex
facti sedangkan pada tingkat Banding dan Kasasi merupakan lembaga judex jurist.
Namun demikian terdapat kelemahan dari penerapan lembaga Diversi tersebut,
dimana dalam setiap proses nya wajib dilakukan Diversi yang berakibat berlarut-
larutnya pemeriksaan perkara anak. Hal ini akan nampak pada kewajiban melakukan
Diversi dan kemungkinan gagalnya proses Diversi dari tiap-tiap tingkat pemeriksaan.
Penulis lebih sependapat jika proses Diversi hanya ada di dua tingkat proses, yaitu
tingkat Penyidikan Kepolisian dan tingkat Pengadilan Negeri. Hal ini dilandaskan
kepada adanya kewajiban bagi Kejaksaan untuk memantau proses penyidikan di
Kepolisian berdasarkan adanya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP)
dari Penyidik ke Kejaksaan. Sehingga peranan Jaksa dapat ditarik sebagai pihak dalam
proses Diversi dalam proses Penyidikan di Kepolisian.
Sedangkan proses Diversi pada Pengadilan Negeri dapat kita jumpai pula dalam
sistem Hukum Acara Perdata, yang mewajibkan adanya mediasi sebelum perkara
pokok diperiksa. Sehingga karena kemiripan ini, kemudian UU SPA mensyaratkan
pelaksanaan Diversi dilakukan pada ruang mediasi di Pengadilan Negeri.
1. Definisi Anak di Bawah Umur
UU SPPA mendefenisikan anak di bawah umur sebagai anak yang telah berumur 12
tahun tetapi belum berumur 18 tahun, dan membedakan anak yang terlibat dalam
suatu tindak pidana dalam tiga kategori:
a. Anak yang menjadi pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 3 UU SPPA);
b. Anak yang menjadi korban tindak pidana (Anak Korban) (Pasal 1 angka 4 UU
SPPA); dan
c. Anak yang menjadi saksi tindak pidana (Anak Saksi) (Pasal 1 angka 5 UU SPPA)

Sebelumnya, UU Pengadilan Anak tidak membedakan kategori Anak Korban dan Anak
Saksi. Konsekuensinya, Anak Korban dan Anak Saksi tidak mendapatkan perlindungan
hukum. Hal ini mengakibatkan banyak tindak pidana yang tidak terselesaikan atau
bahkan tidak dilaporkan karena anak cenderung ketakutan menghadapi sistem
peradilan pidana.

2. Penjatuhan Sanksi
Menurut UU SPPA, seorang pelaku tindak pidana anak dapat dikenakan dua jenis
sanksi, yaitutindakan, bagi pelaku tindak pidana yang berumur di bawah 14 tahun
(Pasal 69 ayat (2) UU SPPA) dan Pidana, bagi pelaku tindak pidana yang berumur 15
tahun ke atas.
a. Sanksi Tindakan yang dapat dikenakan kepada anak meliputi (Pasal 82 UU SPPA):
Pengembalian kepada orang tua/Wali;
Penyerahan kepada seseorang;
Perawatan di rumah sakit jiwa;
Perawatan di LPKS;
Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh
pemerintah atau badan swasta;
Pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau
Perbaikan akibat tindak pidana.

b. Sanksi Pidana
Sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada pelaku tindak pidana anak terbagi
atasPidana Pokok dan Pidana Tambahan (Pasal 71 UU SPPA):
Pidana Pokok terdiri atas:
Pidana peringatan;
Pidana dengan syarat, yang terdiri atas: pembinaan di luar lembaga, pelayanan
masyarakat, atau pengawasan;
Pelatihan kerja;
Pembinaan dalam lembaga;
Penjara.

Pidana Tambahan terdiri dari:


Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau
Pemenuhan kewajiban adat.

Selain itu, UU SPPA juga mengatur dalam hal anak belum berumur 12 (dua belas)
tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing
Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan untuk:
(lihat Pasal 21 UU SPPA)
a. menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau
b. mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan
di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan
sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.

6. Hak Mendapatkan Bantuan Hukum


UU SPPA memperbolehkan anak yang terlibat dalam tindak pidana untuk
mendapatkan bantuan hukum tanpa mempermasalahkan jenis tindak pidana telah
dilakukan.

Anak berhak mendapatkan bantuan hukum di setiap tahapan pemeriksaan, baik


dalam tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, maupun tahap pemeriksaan di
pengadilan (Pasal 23 UU SPPA). Anak Saksi/Anak Korban wajib didampingi oleh
orang tua/Wali, orang yang dipercaya oleh anak, atau pekerja sosial dalam setiap
tahapan pemeriksaan. Akan tetapi, jika orang tua dari anak tersebut adalah pelaku
tindak pidana, maka orang tua/Walinya tidak wajib mendampingi (Pasal 23 Ayat
(3) UU SPPA).

7. Lembaga Pemasyarakatan
Dalam Pasal 86 ayat (1) UU SPPA, anak yang belum selesai menjalani pidana di
Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dan telah mencapai umur 18 (delapan
belas) tahun dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan pemuda. Pengaturan tersebut
tidak ada dalam Pasal 61 UU Pengadilan Anak.

Walaupun demikian, baik UU SPPA dan UU Pengadilan Anak sama-sama mengatur


bahwa penempatan anak di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan dengan
menyediakan blok tertentu bagi mereka yang telah mencapai umur 18 (delapan belas)
tahun sampai 21 (dua puluh satu) tahun (Penjelasan Pasal 86 ayat (2) UU
SPPA dan Penjelasan Pasal 61 ayat (2) UU Pengadilan Anak).

Hukum Pidana Bagi Anak di Bawah Umur

A. PENDAHULUAN
Anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun dan belum pernah
menikah. Anak tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana secara penuh,
karena seorang anak masih mempunyai keterbatasan kemampuan berpikir dan
berada dalam pengawasan orang tua atau walinya. Menurut UU No.3 Tahun 1997
pengertian anak yang dapat dimasukkan dalam sistem peradilan pidana adalah anak
yang telah mencapai usia 8 tahun dan belum mencapai 18 tahun dan belum pernah
menikah.
Arus Globalisasi yang diikuti oleh perkembangan ekonomi, ilmu pengetahuan
dan teknologi dapat menimbulkan dampak positif dan negative terutama bagi anak.
Dampak positif pesatnya antara lain terciptanya berbagai macam produk yang
berkualitas dan berteknologi, terbukanya informasi yang diperoleh melalui satelit dan
meningkatnya pendapat masyarakat. Sedang dampak negative nya antara lain
semakin meningkatnya krisis moral dimasyarakat yang berpotensi meningkatnya
jumlah orang yang melawan hukum pidana dalam berbagai bentuk. Hal ini sangat
mempengaruhi kehidupan anak-anak.
Sejak dahulu sampai sekarang , permasalahan pidana telah menyerap banyak
energy para anak bangsa untuk membangun rekontruksi sosial. Peningkatan aktivitas
kriminal dalam berbagai bentuk menuntut kerja keras dalam membangun pemikiran-
pemikiran baru mengenai arah kebijakan hokum dimasa depan.
Arah kebijakan hukum betujuan menjadikan hukum sebagai aturan yang
memberikan perlindungan bagi hak-hak warga negara dan menjamin kehidupan
generasi dimasa depan. Oleh karena itu, sistem hukum tiap negara dalam praktiknya
terus mengalami modernisasi dan tidak ada satu negara pun yang dapat menolaknya.
Contohnya negara Indonesia yang menuntut dilakukannya perubahan disegala bidang,
diantaranya perubahan bidang hukum dengan memunculkan pemikiran-pemikiran
baru untuk mereformasi hukum yang ada saat ini.

B. PEMBAHASAN

1. Hukum Bagi Anak di Bawah Umur


Pemberian hukuman atau sanksi dan proses hukum yang berlangsung dalam kasus
pelanggaran hukum oleh anak memang berbeda dengan kasus pelanggaran hukum
oleh orang dewasa, karena dasar pemikiran pemberian hukuman oleh negara adalah
bahwa setiap warga negaranya adalah mahkluk yang bertanggungjawab dan mampu
mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. Sementara anak diakui sebagai
individu yang belum dapat secara penuh bertanggungjawab atas perbuatannya. Oleh
sebab itulah dalam proses hukum dan pemberian hukuman, (sebagai sesuatu yang
pada akhirnya hampir tidak dapat dihindarkan dalam kasus pelanggaran hukum),
anak harus mendapat perlakuan khusus yang membedakannya dari orang dewasa.
Di Indonesia, penyelenggaraan proses hukum dan peradilan bagi pelanggaran hukum
oleh anak sudah bukan lagi hal baru. Tetapi karena sampai saat ini belum ada
perangkat peraturan yang mengatur mengenai penyelenggaraan peradilan anak
secara menyeluruh, mulai dari penangkapan, penahanan, penyidikan, dan
pemeriksaan di persidangan, sampai dengan sanksi yang diberikan serta eksekusinya,
maka sampai saat ini pelaksanaannya masih banyak merujuk pada beberapa aturan
khusus mengenai kasus pelanggaran hukum oleh anak dalam KUHP dan KUHAP, serta
pada Undang-Undang No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (UU Pengadilan
Anak). Selain itu, pelaksanaan proses peradilan bagi anak juga harus mengacu pada
Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi ke dalam Keputusan Presiden No. 36 Tahun
1990 (Konvensi Hak Anak), dimana sedikit banyak telah diakomodir dalam UU
Pengadilan Anak.
Khusus mengenai sanksi terhadap anak dalam UU Pengadilan Anak ditentukan
berdasarkan perbedaan umur anak, yaitu bagi anak yang masih berumur 8 (delapan)
sampai 12 (dua belas) tahun hanya dapat dikenakan tindakan, seperti dikembalikan
kepada orang tuanya, ditempatkan pada organisasi sosial, atau diserahkan kepada
Negara, sedangkan terhadap anak yang telah mencapai umur di atas 12 (dua belas)
sampai 18 (delapan belas) tahun dijatuhkan pidana. Dalam kasus, karena anak
tersebut berumur 14 (empat belas) tahun maka sanksi yang dijatuhkan dapat saja
berupa pidana.
Namun pada hakekatnya, segala bentuk penanganan terhadap anak yang melanggar
hukum harus dilakukan dengan memprioritaskan kepentingan terbaik untuk si anak.
Oleh karena itu, keputusan yang diambil Hakim (apabila kasus diteruskan sampai
persidangan) harus adil dan proporsional, serta tidak semata-mata dilakukan atas
pertimbangan hukum, tapi juga mempertimbangkan berbagai faktor lain, seperti
kondisi lingkungan sekitar, status sosial anak, dan keadaan keluarga. Hal-hal ini
dijamin serta diatur dalam UU Pengadilan Anak. Misalnya adalah pada saat polisi
melakukan penangkapan dan pemeriksaan, ia wajib untuk menghubungi dan
mendatangkan seorang petugas Bapas (Balai Pemasyarakatan, biasa juga disebut PK
atau Petugas Kemasyarakatan). Petugas Bapas berfungsi hampir sama seperti
probation officer. Polisi wajib menyertakan hasil Litmas (Penelitian Kemasyarakatan)
yang dibuat oleh petugas Bapas dalam Berita Acara Pemeriksaannya. Tanpa Litmas,
Jaksa harus menolak BAP dan meminta kelengkapannya kembali. Litmas ini berisi
tentang latar belakang anak secara keseluruhan, seperti data diri, keluarga, sekolah,
dan lingkungan sekitar, sampai dengan latar belakang kasus, seperti kronologi
kejadian, motif, gambaran mengenai seriusitas kasus, kondisi tersangka, dll.
Litmas juga berisi kesimpulan petugas Bapas tentang kasus yang bersangkutan dan
rekomendasi mengenai disposisi (untuk kasus dewasa disebut vonis) apa yang terbaik
bagi anak. Rekomendasi yang bisa diberikan mulai dari kembali ke orang tua, pidana
bersyarat, pidana dengan keringanan hukuman, pidana sesuai perbuatan, anak
negara, dan anak sipil.
Dalam kasus ini, jika anak ditahan sebaiknya segera ditanyakan apakah ia telah
ditemui oleh seorang petugas Bapas. Dan apakah padanya telah diberikan haknya
untuk tetap memperoleh penasehat hukum, karena petugas Bapas bukanlah seorang
penasehat hukum. Harus diingat, anak berhak memperoleh dan negara wajib
memberikan proses hukum yang cepat.
Apabila pihak korban akan menarik tuntutannya, penyelesaian di luar proses hukum
sangat mungkin untuk dilakukan karena petugas hukum, dalam hal ini polisi, yang
terlibat dalam proses peradilan anak diberi keleluasaan untuk melakukan diskresi
(sewaktu-waktu menghentikan proses hukum) demi kepentingan anak. Apabila polisi
menolak diskresi, sanksi pidana berupa penjara atau rehabilitasi institusional masih
dapat diupayakan untuk diganti dengan program pembinaan di luar lembaga,
kompensasi, atau restitusi bagi korban, yang bisa diupayakan melalui jalur hukum.
Selama proses hukum berlangsung, pihak orang tua atau wali juga dapat meminta
agar anak diberi tahanan luar dengan memberikan jaminan. Dalam kasus anak,
tahanan luar juga dipertimbangkan mengingat anak masih harus bersekolah.
Belum adanya peraturan yang menyeluruh tentang sistem peradilan anak
sebagaimana disebutkan pada bagian awal membawa implikasi pada belum adanya
polisi khusus anak dan jaksa khusus anak. Yang ada barulah hakim anak, sidang anak,
dan lembaga pemasyarakatan anak. Keterbatasan sistem hukum kita memandang
masalah tindak pidana oleh anak hanya pada urusan pengadilan anak, menyebabkan
pertimbangan yang digunakan oleh petugas yang terlibat masih merupakan
pertimbangan? hukum' semata, yang mendasarkan keputusannya pada apakah si anak
bersalah atau tidak sebagai pelanggar hukum, tingkat seriusitas perbuatannya, dan
catatan kriminal yang dimilikinya. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika sampai
saat ini terdapat kenyataan yang memprihatinkan bahwa sebagian besar kasus
pelanggaran hukum oleh anak yang ditangani polisi, diteruskan ke dalam proses
pidana selanjutnya, dan sebagian besar dari kasus yang diproses tersebut berakhir
dengan keputusan pemenjaraan, dimana seharusnya kedua hal tersebut menjadi
alternatif upaya yang paling terakhir.
2. Proses Peradilan Pidana Anak Nakal
Di dalam menangani anak yang bermasalah dengan hukum, Penangkapan anak
dilakukan sesuai dengan KUHAP dan untuk anak maksimal 1 hari. Berdasarkan bukti
permulaan yang cukup penahanan terhadap anak paling lama 20 hari dan dapat
diperpanjang 10 hari. Penyidik, Jaksa,dan Hakimnya juga khusus, (mendapat SK
Kapolri, Jaksa Agung, Ketua Mahakamah Agung).
Sudah berpengalaman sebagai Penyidik, penuntut umum, dan Hakim, dalam kasus
tindak pidana orang dewasa dan mempunyai minat, perhatian, dedikasi serta
memahami masalah anak(pasal 9, 41, 53 UU No. 3 Peradilan anak).
Penyidik wajib memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan. dan wajib
meminta saran dari Pembimbing Kemasyarakatan jika perlu dari Ahli Agama, Psikiatri
dll (pasal 42 UU No. 3 Tahun 1997).Anak nakal berhak mendapat bantuan satu orang
atau lebih penasihat hukum pada setiap tingkat pemeriksaan.
3. Bagaimana Pembinaan Anak Yang Bermasalah Dengan Hukum.
Pembinaan terhadap anak yang terlanjur melakukan tindak pidana merupakan
tanggung jawab semua pihak. Orang tua mempunyai kewajiban dan tanggung jawab
memperbaiki kondisi anak yang sudah terlanjur masuk ke dalam proses hukum.
Masyarakat berkewajiban mengontrol perbaikan anak sehingga tidak mengulangi
tindakan kriminal lagi atau menjadi kriminal kambuhan. Lembaga-lembaga sosial dan
kemasyarakatan yang sudah berpengalaman dalam menangani permasalahan sosial
cukup efektif untuk menjadi tempat pemidanaan dan pemulihan anak setelah
terlanjur terjerumus kedalam perilaku kriminal sebelumnya. Lembaga-lembaga sosial
dan kemasyarakatan tersebut dapat menjadi pembinaan dan pendidikan serta
bimbingan semua pihak diharapkan agar anak tersebut dapat terus berkembang
kearah yang baik dan tidak mengulangi tindakannya kembali.
Lembaga pemasyarakatan anak sebagai tempat pembinaan narapidana anak, lembaga
tersebut diharapkan dapat memberikan proses pembinaan yang baik agar anak dapat
menjadi anggota masyarakat yang baik setelah selesai menjalankan pembinaan.
Pembentukan dan pengembangan keikut sertaan lembaga-lembaga tersebut dalam
upaya memberikan perlindungan terhadap anak yang bermasalah dengan hukum.
Lembaga-lembaga tersebut diharapkan dapat memberikan perlindungan,
pembinaan, perawatandan pendidikan. Selanjutnya dalam upaya perlindungan
terhadap anak diperlukan adanya kerjasama antara lembaga sosial dan lembaga
pemerintah lainnya yang mempunyai kepedulian terhadap anak. Dalam pasal 5 UU
No.12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan yang menyatakan bahwa pelaksanaan
sistem pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan atas:

1. Pengayoman
2. Persamaan perlakuan dan pelayanan
3. Pendidikan
4. Pembimbingan
5. Penghormatan harkat dan martabat manusia
6. Kehilangan Kemerdekaan
7. Terjamin hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang
tertentu.

Sesuai dengan tugas dan fungsi lembaga melaksanakan pembinaan terhadap para
terpidana agar siap untuk dapat berintegrasi kembali dengan masyarakat dan menjadi
masyarakat yang baik dan taat hukum. Program pemasyarakatan bagi narapidana
anak bertujuan agar anak dapat terhindar dari mengulangi perbuatan pidana yang
pernah dilakukannya dan tetap dapat menjalani kehiduan secara normal. Program
yang dibuat dalam lembaga pemasyarakatan lebih mengutamakan kerja sosial dan
aktivitas yang dapat mengembangkan kemampuan anak dimasa depan.
Para pelaku anak yang melakukan tindak pidana serius yang berada dilembaga
pemasyarakatan anak tetap disediakan fasilitas pengembangan kemampuan seperti
hobi, pelatihan keterampilan, bimbingan/konseling dan kegiatan mental lainnya
semaksimal sesuai dengan kemampuan lembaga. Untuk pendidikan disediakan
sekolah khusus didalam lembaga. Tujuannya agar anak tetap dapat melanjutkan
sekolahnya dan mempersiapkan keterampilan kerja untuk bekal selesai menjalani
pembinaan.
Di Indonesia anak yang dibina dilembaga khusus, anak dapat dibagi menjadi 3
golongan yaitu:
a. Anak pidana, yakni anak yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan dijatuhi
pidana perampasan kemerdekaan
b. Anak negara, yakni seorang anak yang diputus bersalah oleh pengadilan yang
diserahkan pada negara untuk dididik sampai dengan usia 18 tahun.
c. Anak sipil, yakni anak yang berdasarkan permintaan orang tua/walinya
memperoleh penetapan dari pengadilan negeri, dititipkan ke lembaga
pemasyarakatan khusus anak.
3.1 Tahapan Pembinaan Narapidana atau Tahanan Anak
Pembinaan terhadap anak sesuai dengan keputusan menteri kehakiman N0.2-
PK04.10 tahun 1990 tentang pola pembinaan narapidana atau tahanan anak
dilakukan dalam 4 tahap yaitu:

Tahap Pertama
Tahap ini merupakan tahap maximum security yaitu 0-1/3 masa pidana.
Pengawasan pada tahap ini cukup ketat dikarenakan pembina belum mengetahui
akan sifat, watak dan perilaku dari narapidana tersebut. Tahap ini diawali dengan
tahap admisi dan orientasi. Tahap admisi dan orientasi dimulai sejak seorang anak
memasuki lembaga yang dilengkapi dengan surat lengkap (vonis), lama pidananya
dan untuk penentuan tanggal bebasnya. Kegiatan yang dilakukan dalam tahapan ini
adalah pengenalan lembaga, pengenalan petugas lembaga, penjelasan mengenai hak
dan kewajiban anak didik dilembaga dan penyidikan mengenai identitas pribadi
narapidana, pendidikan narapidana yang terakhir, pekerjaan, keadaan lingkungan
rumah tempat tinggal, lingkungan masyarakat, lingkungan keluarga dan lingkungan
sekolah dan motif pidana (sebs-sebab mengapa melakukan tindakan pidana yang
diancam oleh UU). Hasil penelitian yang dilakukan oleh pihak pembina tersebut
penting dalam upaya penyusunan program pembinaan dan pekerjaan apa yang sesuai
dengan diri narapidana anak tersebut. Waktu tahap admisi untuk anak tahanan
1(satu) minggu sedangkan untuk anak negara, anak didik, dan anak sipil adalah
1(satu) bulan. Pada pelaksanaan tahap ini sangat diperlukan social inquiry reports
yang dibuat oleh Bapas sehingga tidak perlu penelitian ulang. Namun dalam
kenyataannya terkadang ada narapidana yang pada saat putusan pengadilan tidak
melampirkan penelitian dari bapas dan hal ini merupakan kendala sehingga pembina
harus melakukan pendataan ulang.

Tahap Kedua
Tahap ini dilaksanakan pada saat 6 bulan pertama untuk anak negara dan sipil
dan untuk anak narapidana anak dilakukan antara 1/3 sampai masa hukuman.
Tahapan ini merupakan tahap medium security, karena pengawasan pada tahap kedua
ini tidak seketat pada tahap pertama. Pada tahap kedua ini pengawasan dilakukan
hanya untuk mengetahui bagaimana narapidana anak menyesuaikan dirinya dengan
lingkungan dan peraturan yang berlakudalam lembaga. Untuk itu dalam tahapan ini
telah diadakan evaluasi terhadap program tahap pertama. Tahap kedua ini narapidana
telah memperoleh pendidikan umum, pendidikan mental, pendidikan sosbud,
pendidikan kepribadian, pendidikan kepribadian, pendidikan keterampilan, dan
bekerja dalam lapas.

Tahap Ketiga
Tahap ketiga dikenal dengan tahap asimilasi yaitu narapidana mendapatkan
pembinaan dengan kesempatan untuk melakukan kerja pada tempat latihan milik
lapas diluar lingkungan lapas seperti kegiatan perkebunan diluar lapas.
Usia anak negara dan anak sipil yang berada pada tahap ketiga ini adalah dimulai 6
(enam) bulan kedua, sedangkan untuk anak narapidana saat menjalani sampai 2/3
masa hukuman. Pada tahap ini anak dididik diperkenalkan dengan jati diri anak itu
sendiri secara lebih mendalam meliputi kecerdasan mental dan iman. Mulai
diperkenalkan dengan masyarakat sekeliling lembaga melalui jalan olah raga,
pramuka dan sebagainya.

Tahap Keempat
Tahap ini disebut tahap integrasi, dilaksanakan terhadap anak negara dan anak
sipil pada 6 (enam) bulan keempat, sedangkan pada anak narapidana dlaksanakan
setelah menjalani 2/3 masa hukumannya sampai habis masa pidananya. Pada tahap
ini pengawasan sangat kurang (minimum security) dan bagi anak didik yang betul-
betul telah sadar dan berkelakuan baik berdasarkan pengamatan tim pengamat
pemasyarakatan, mereka dapat mengusulkan:
a. Cuti Biasa
Yaitu cuti yang diberikan kepada anak didik, baik anak narapidana maupun anak
negara selama 2 (dua) minggu atau permohonan dari orang tua/wali didik anak,
setelah waktu tersebut , mereka harus kembali masuk lembaga.
b. Cuti Menjelang Bebas
Yaitu cuti yang diberikan pada anak sipil atau anak negara menjelang anak tersebut
berusia 17 tahun enam bulan sampai dengan 18 tahun, sedangkan pada anak pidana
setelah 2/3 ke atas masa hukumannya sampai habis pidananya.
c. Pelepasan Bersyarat
Diperuntukkan bagi anak narapidana dilaksanakan dengan ketentuan pasal 15 sampai
dengan pasal 17 KUHP. Bagi anak didik yang memperoleh cuti menjelang lepas
ataupun pelepasan bersyarat, berada dibawah pengawasan ketat dari Bispa
disamping pernyataan orang tua/wali untuk benar-benar mendidik dan mengawasi
mereka. Hal ini dilakukan untuk menghindari anak didik kembali ke lembaga sebagai
residivis, inilah pentingnya pembinaan sesuai pasal 277 dan 280 KUHAP.

Lamanya pembinaan anak didikdi lembaga ditentukan anak didik dengan status
anak negara paling lama sampai usia 18 (delapan belas) tahun dan anak didik dengan
status narapidana 21 (dua puluh satu) tahun. Bagi anak narapidana yang belum
selesai menjalani masa hukumannyadi lembaga mengingat saat melakukan hukuman
usia 12 (dua belas) sampai usia 18 (delapan belas) tahun atau dijatuhkan hukuman 4-
15 tahun. Setelah anak berusia 21 tahun, harus menghabiskan sisa masa hukuman di
LP dewasa.
Aparat penegak hokum yang terkait dalam sistem peradilan anak, memikirkan
kembali untuk tidak menghukum akan tetapi mengambil tindakan lainnya. Hukuman
terbaik bagi anak dalam peradilan pidana bukan hukuman penjara, melainkan
tindakan ganti rugi menurut tingkat keseriusan tindak pidananya. Ganti rugi yang
dimaksud adalah sebuah sanksi yang diberikan oleh sistem peradilan
pidana/pengadilan yang mengharuskan pelaku membayar sejumlah uang atau kerja,
baik langsung maupun penggantinya.
Ganti rugi yang paling sesuai untuk anak adalah kerja proyek masyarakat
dibandingkan dalam bentuk ganti rugi uang. Seorang anak yang diputus untuk ganti
rugi oleh pengadilan dapat dimasukkan kedalam program kerja secara berkelompok
dengan teman-teman yang lain. Ganti rugi dengan kerja proyek akan melatih anak
untuk bersikap jujur dan bertanggung jawab atas hukuman yang diberikan
kepadanya. Bentuk dari hukuman berupa sanksi ganti rugi ini sangat diperlukan
dalam pelaksanaan hokum pidana untuk anak dalam rangka perlindungan anak yang
berkonflik dengan hukum.
4. Tanggung Jawab Orang Tua Jika Anak Melakukan Tindak Pidana
Menurut Pasal 1 angka 1Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak), anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Dari segi hukum pidana bagi anak yang mengendarai kendaraan bermotor hingga
menghilangkan nyawa korban sebagaimana yang disebut dalam Pasal 310 ayat
(4) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ):
(3) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya
mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(4) Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
mengakibatkan orang lain meninggal dunia, di pidana dengan pidana penjara paling
lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta
rupiah).
Ancaman pidana tersebut berlaku bagi mereka yang sudah dewasa, sedangkan
ancaman pidana penjara bagi anak yang melakukan tindak pidana adalah setengah
dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang yang sudah dewasa sebagaimana
yang telah diatur dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak (UU Pengadilan Anak). Dengan demikian, anak yang
mengemudikan kendaraan bermotor karena kelalaiannya hingga mengakibatkan
orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara setengah dari ancaman
pidana bagi orang dewasa (enam tahun), yakni paling lama tiga tahun penjara.
Lalu, bagaimana jika dilihat dari sisi orang tua? Apakah orang tua bisa dipidana jika
membiarkan anaknya mengemudi kendaraan? Menurut Pakar Hukum Pidana
Universitas Islam Indonesia (UII) Mudzakkirsebagaimana kami kutip dari
artikel Pakar: Tanggung Jawab Pidana Tak Bisa Dialihkan, asas hukum pidana
secara tegas mengatur bahwa tanggung jawab pidana itu tidak bisa dialihkan kepada
orang lain. Termasuk, jika pengalihan itu diberikan kepada keluarga si pelaku tindak
pidana.

Prinsip Tanggung Jawab Pidana, dalam Pasal 55 ayat (1) Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana(KUHP) ditegaskan bahwa pelaku tindak pidana yang bisa
dikenakan pidana adalah:
1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta
melakukan perbuatan;
2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan
menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau
penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja
menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
Dengan demikian, tindak pidana mengendarai kendaraan hingga mengakibatkan
hilangnya nyawa orang lain yang dilakukan oleh anak tidak bisa dialihkan
pertanggungjawaban pidananya kepada orang tuanya. Hal ini didasari prinsip
tanggung jawab pidana dalam KUHP yang kami jelaskan tadi. Jadi, dalam hal ini
perbuatan orang tua yang karena kelalaiannya membiarkan anaknya mengendarai
kendaraan dan menyebabkan kecelakaan, tidak bisa dikenakan sanksi pidana.
Meski demikian, secara perdata orang tua dapat dimintai pertanggungjawaban atas
perbuatan anaknya. Hal ini diatur dalam Pasal 1367 ayat (1) dan ayat (2) Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata(KUHP):
Seorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya
sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang
menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah
pengawasannya.
Orang tua dan wali bertanggung jawab tentang kerugian, yang disebabkan oleh anak-
anak belum dewasa, yang tinggal pada mereka dan terhadap siapa mereka melakukan
kekuasaan orang tua atau wali.
Jadi, dalam konteks hukum pidana berdasarkan prinsip tanggungjawab pidana, tidak
dimungkinkan bagi orang tua untuk turut dipidana atas perbuatan yang dilakukan
oleh anaknya. Akan tetapi, dalam konteks hukum perdata, orang tua bertanggung
jawab atas kerugian yang disebabkan oleh anaknya.

C. PENUTUP
1. Kesimpulan
1. Seorang anak tidak seutuhnya dapat mempertanggung jawabkan semua
perbuatannya karena lingkungan dan masyarakat merupakan suatu kontrol dalam
menilai tindakan yang dilakukannya.
2. Ada beberapa faktor yang menyebabkan seorang anak berurusan dengan aparat
penegak hukum antara lain kurangnya perhatian keluarga, faktor
pergaulan/lingkungan, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, arus globalisasi
dibidang informasi dan komunikasi serta perubahan gaya hidup sebagian orang tua.
3. Hukuman yang terbaik bagi anak dalam peradilan pidana bukanlah hukuman
penjara, melainkan tindakan ganti rugi. Ganti rugi yang sesuai untuk anak adalah
kerja proyek.
4. Pelaksanaan konsep Diversi dan Restorative Justice memberikan dukungan
terhadap proses perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Sesuai
dengan prinsip utama dari Diversi dan Restorative Justice yang mempunyai kesamaan
yaitu menghindarkan pelaku tindak pidana dari sistem peradilan pidana formal dan
memberikan kesempatan anak pelaku untuk menjalankan sanksi alternatif tanpa
pidana penjara.
5. Tujuan dari hukuman adalah untuk membina dan memperbaiki sehingga
terciptalah kehidupan yang harmonis dan stabil. Proses hukum haruslah
mengedepankan aspek kemanusiaan terlebih lagi masalah pidana anak. Hakim, jaksa,
dan polisi diharapkan lebih bisa menggunakan hati nurani ketimbang hanya
berdasarkan pada landasan hukum formil semata.
2. Saran
1. Masa anak-anak adalah masa yang sangat rawan melakukan tindakan, hal ini karena
masa anak-anak suatu masa yang sangat rentan dengan berbagai keinginan dan
harapan untuk mencapai sesuatu ataupun melakukan sesuatu. Seorang anak dalam
melakukan sesuatu tidak /kurang menilai akibat akhir dari tindakan yang di ambilnya.
Oleh karena itu orang tua mempunyai kewajiban untuk membantu anak baik secara
fisik, ekonomi maupun psikis dalam perkembangan kejiwaan anak.
2. Anak yang telah melakukan tindakan pidana harus segera diperbaiki melalui
tindakan yang benar-benar memperhatikan kesejahteraan dan masa depan yang baik
untuk anak. Tindakan yang diberikan kepada anak adalah tindakan yang bersifat
mendidik, guna memulihkan kembali kondisi anak tersebut menjadi anak yang baik,
bukan dengan hukuman pembalasan terhadap mereka setelah menjalani peradilan.

Anda mungkin juga menyukai