Anda di halaman 1dari 2

ABSTRAK

Tindak Pidana Insider Trading di bidang pasar modal ini kerap kali dikaitkan dengan
tindak pidana penggelapan maupun tindak pidana pencucian uang (TPPU). Pencucian uang
merupakan kejahatan yang bersifat follow up crime atau kejahatan lanjutan atas hasil
kejahatan utama (core crime / predicate crime). Perdagangan dengan informasi orang
dalam (insider trading) adalah tindakan berbahaya dan merugikan bagi pasar modal,
insider trading itu sendiri dapat diartikan juga dengan “kolusi”. Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) harus aktif dalam menggalang kekuatan untuk menangkal terjadinya tindak pidana
di pasar modal. Salah satu langkahnya adalah dengan menyiapkan perangkat hukum.
Dalam melakukan penegakan hukum seharusnya perangkat hukum yang ada mengacu pada
tujuan hukum itu sendiri yaitu keadilan hukum, kemanfaatan hukum, dan kepastian hukum.
Dalam hal menegakkan hukum tentunya OJK mengalami banyak hambatan dalam
pembuktian tindak pidana insider trading di bidang pasar modal sebagai predicate crime
on money laundering dan bagaimana penanggulangan tindak pidana insider trading di
bidang pasar modal tersebut. Dengan menggunakan metode penilitian yang bersifat
empiris dan menggunakan data primer serta sekunder seperti data-data yang didapat dari
hasil wawancara dengan pihak OJK serta bahan-bahan hukum lainnya seperti UU TPPU,
UU Pasar Modal, dan UU OJK, yang dilengkapi dengan bahan hukum seperti buku,
jurnal, artikel yang berhubungan dengan penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa
Hambatan yang ditemukan adalah adanya kelemahan UU Pasar Modal dalam hal
menjangkau pelaku insider trading di luar pengertian yang diberikan oleh UU Pasar
Modal. Pembuktian pada kasus insider trading sebagai predicate crime on money
laundering sulit dilakukan karena tidak dapat di akomodir hanya dengan pasal 184
KUHAP tentang alat bukti, hal ini disebabkan praktek insider trading biasanya
dilakukan secara lisan. Hambatan lainnya adalah tidak adanya batasan waktu yang
diperlukan oleh orang dalam untuk melakukan suatu transaksi perdagangan setelah suatu
fakta material dibuka untuk umum. Pengaturan mengenai tindak pidana perdagangan
orang dalam (insider trading) diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UU Pasar
Modal), mengatur mengenai sanksi yang diberikan dan pertanggungjawaban pelakunya.
Sanksi yang diatur oleh UU Pasar Modal lebih menitikberatkan pada sanksi administrasi
sedangkan KUHP mengatur sanksi pidana. Dengan adanya kepastian hukum dalam pasar
modal maka investor akan datang untuk menanamkan modalnya dalam pasar modal
Indonesia. OJK harus berkoordinasi dengan lembaga-lembaga penegakkan hukum
lainnya. OJK harus berusaha agar perluasan wewenang dan amandemen Undang-Undang
Nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Tindak pidana insider trading yang sifatnya adalah membuka rahasia perusahaan dapat
di akomodir dan dilanjutkan ke arah pidana agar terdapat efek jera bagi pelaku tindak
pidana insider trading di bidang pasar modal. Perlu adanya peningkatan profesionalitas
dari regulator, self regulatory organization (SRO), dan para pelaku pasar secara
berkesinambungan. Selain itu OJK harus terus proaktif melakukan investigasi indikasi
kejahatan pasar modal dan menerapkan civil penalty.
Pada dasarnya proses pencucian uang dapat dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) tahap kegiatan,
yakni placement, layering dan integration.
a. Placement merupakan fase menempatkan uang yang dihasilkan dari suatu
aktivitas kejahatan misalnya dengan pemecahan sejumlah besar uang tunai
menjadi jumlah kecil yang tidak mencolok untuk ditempatkan dalam sistem
keuangan baik dengan menggunakan rekening simpanan bank, atau
dipergunakan untuk membeli sejumlah instrumen keuangan (misalnya cek
atau giro) yang akan ditagihkan dan selanjutnya didepositokan di rekening
bank yang berada di lokasi lain. Placement dapat pula dilakukan dengan
pergerakan fisik dari uang tunai, baik melalui penyelundupan uang tunai dari
suatu negara ke negara lain, dan menggabungkan antara uang tunai yang
berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang
sah.
b. Layering, diartikan sebagai memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya
yaitu aktivitas kejahatan yang terkait melalui beberapa tahapan transaksi
keuangan. Dalam hal ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa
rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ke tempat lainnya
melalui serangkaian transaksi yang kompleks yang didesain untuk
menyamarkan/menyembunyikan sumber uang “haram” tersebut.
c. Integration, yaitu upaya untuk menetapkan suatu landasan sebagai suatu
’legitimate explanation' bagi hasil kejahatan. Disini uang yang ‘dicuci’
melalui placement maupun layering dialihkan ke dalam kegiatan-kegiatan
resmi sehingga tampak tidak berhubungan sama sekali dengan aktivitas
kejahatan sebelumnya yang menjadi sumber dari uang yang di-laundry. Pada
tahap ini uang yang telah dicuci dimasukkan kembali ke dalam sirkulasi
dengan bentuk yang sejalan dengan aturan hukum.

Beberapa modus pencucian uang yang banyak dilakukan oleh pelaku pencucian uang adalah :
- Smurfing, yaitu upaya untuk menghindari pelaporan dengan memecah-mecah
transaksi yang dilakukan oleh banyak pelaku.
- Structuring, yaitu upaya untuk menghindari pelaporan dengan memecah-mecah
transaksi sehingga jumlah transaksi menjadi lebih kecil.
- Pembelian aset/barang-barang mewah, yaitu menyembunyikan status kepemilikan
dari aset/barang mewah termasuk pengalihan aset tanpa terdeteksi oleh sistem
keuangan.
- Pertukaran barang (barter), yaitu menghindari penggunaan dana tunai atau instrumen
keuangan sehingga tidak dapat terdeteksi oleh sistem keuangan.
- Penggunaan pihak ketiga, yaitu transaksi yang dilakukan dengan menggunakan
identitas pihak ketiga dengan tujuan menghindari terdeteksinya identitas dari pihak
yang sebenarnya merupakan pemilik dana hasil tindak pidana.
- Mingling, yaitu mencampurkan dana hasil tindak pidana dengan dana dari hasil
kegiatan usaha yang legal dengan tujuan untuk mengaburkan sumber asal dananya.
- Penggunaan identitas palsu, yaitu transaksi yang dilakukan dengan menggunakan
identitas palsu sebagai upaya untuk mempersulit terlacaknya identitas dan
pendeteksian keberadaan pelaku pencucian uang.

Anda mungkin juga menyukai