PENDIDIKAN ISLAM
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
A. PENDAHULUAN
Tumbangnya Orde Baru yang dipandang telah memasung kehidupan
berdemokrasi, mengantarkan bangsa Indonesia ke era Reformasi. Datangnya era
Reformasi telah membawa warna baru dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.
Aspirasi yang telah sekian lama terpasung, seolah lepas bagaikan kuda liar. Tuntutan
akan kekebasan berekspresi seolah tak terbendung. Setiap orang merasa berhak berbuat
apa saja tanpa perlu mengindahkan aturan dan norma. Aturan dan norma yang dianggap
sebagai produk Orde Baru dipandang tidak patut lagi untuk diindahkan. Pada gilirannya,
kebebasan yang “tak terbatas” yang dituntut oleh setiap individu ini ketika dihadapkan
dengan tuntutan kebebasan individu lainnya, tentu menimbulkan perselisihan. Rasa saling
percaya sudah sedemikian terkikis baik dalam hubungan social yang bersifat horizontal
maupun vertical. Hampir pada setiap kesempatan berkumpulnya massa, selalu
menimbulkan kecemasan akan timbulnya konflik.
Konflik menjelang PEMILU, pemilihan kepala daerah hingga kepala desa, baik
yang mengatasnamakan panji-panji partai maupun kelompok-kelompok pendukung para
calon juga terus mewarnai lembaran suram kehidupan berdemokrasi bangsa ini. Masing-
masing kelompok nampaknya tidak siap menerima kekalahan atau tidak mau mengalah.
Kekerasan seringkali dihadapi dengan kekerasan, seolah sudah tidak ada lagi ruang untuk
duduk bersama menemukan titik temu secara kekeluargaan. Hal ini menunjukkan bahwa
sikap reaktif dan balas dendam telah sedemikian sulit dipadamkan, karena terkait dengan
emosi dan primordialisme. Luapan emosi biasanya diekspresikan dalam bentuk
kerusuhan, perusakan, pembalasan, penganiayaan bahkan pembunuhan. Tindakan
tersebut dimaksudkan untuk mencapai tujuan yang diinginkan yang menjadi tuntutannya.
Selama tuntutannya belum tercapai, maka tindak kekerasanpun sulit untuk diredakan,
bahkan memiliki tendensi lebih besar dan akan memusnahkan siapa saja yang dipandang
menjadi penghalang tercapainya target tersebut. Sikap emosional menjadi sedemikian
dominan dibandingkan dengan pertimbangan-pertimbangan rasionalnya. Akibat dari
fenomena tersebut, sudah tak terhitung korban jiwa, materi maupun non-materi.
Di sisi lain, fenomena tersebut tentunya bisa juga dikatakan berbanding terbalik
dengan sikap religius yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Asumsi yang berlaku
mestinya, sikap religius dapat mencegah timbulnya konflik yang semestinya tidak perlu.
Atau jika konflik berkembang pada skala kecil tentunya religiusitas ini bisa menjadi
penyejuk dan unsur pendamai pertikaian antar kelompok tersebut. Namun yang terjadi di
lapangan tidaklah demikian. Banyak konflik yang terjadi justru dibangun dengan
mengatasnamakan agama.
Fenomena ini tentu merupakan gejala yang sudah mencemaskan dan menjadi
“pekerjaan rumah” bagi para pemuka masyarakat, khususnya para ulama. Bagaimana
menciptakan pendidikan agama yang dapat menjadi landasan moral yang kuat dalam
membangun kehidupan berbangsa dan bermasyarakat yang lebih santun?
B. PEMBAHASAN
I. AGAMA DAN KERAGAMAN SOSIAL
Dalam konteks hidup bermasyarakat, keragaman sosial atau yang sering
disebut dengan pluralisme, seringkali menjadi persoalan sosial yang dapat
mengganggu integritas masyarakat. Beberapa pandangan menunjukkan,
pluralisme dipahami sebagai salah-satu faktor yang menimbulkan konflik-konflik
sosial, baik bertolak demi satu kepentingan (vested-interst) keagamaan yang
sempit, maupun bertolak dari supremasi budaya kelompok masyarakat tertentu.
Pandangan demikian ada benarnya, karena di banyak negara terjadi kasus
kekerasan masa yang dilatarbelakangi oleh persoalan-persoalan pluralisme ini.
Dalam kehidupan moderen sekarang ini, masalah pluralisme harus mendapat
perhatian yang serius. Keragaman sosial, baik dalam kelompok budaya maupun
pemikiran (perbedaan pendapat) adalah bagian dari “sunnat Allah” Bahkan dapat
dikatakan, bahwa kehidupan ini ada karena dibangun di atas keragaman. Oleh
karena itu penyelesaian implikasi negatif dari pluralisme tidak mungkin
mengingkari pluralisme itu sendiri. Tetapi yang harus dilakukan adalah
membangun pemahaman yang utuh dan mengembangkan sikap arif dalam
menyikapi perbedaan. Sehingga perbedaan akan menjadi kekuatan yang sinergis,
saling mengisi dan melengkapi dalam membangun peradaban masa depan.
Konflik sosial bisa dikatakan telah setua peradaban manusia itu sendiri.
Setiap benturan antar kepentingan terjadi, disitulah muncul peluang konflik
sosial. Banyak pakar ilmu social telah mengulas masalah konflik social ini
berdasarkan sudut pandang yang beragam. Agus Maladi Irianto dan Mudjahirin
Thohir dalam penelitiannya yang dibukukan dengan judul “Membangun Rasa
damai di Atas Bara” mengklasifikasikan konflik sosial di Indonesia menjadi dua
tipe, yaitu konflik vertical dan horizontal. Kedua tipe ini bisa berjalan sendiri-
sendiri , namun terkadang juga bisa saling terkait.
Konflik vertical dan horizontal dapat terjadi atas dua alasan. Pertama,
ketidakmampuan Negara mengelola berbagai kepentingan masyarakat Indonesia
yang majemuk. Kedua, keterlibatan Negara (pemerintah) bersikap berat sebelah
dalam rangka memaknai konstalasi kepentingan mereka ketika berlawanan
dengan kepentingan publik.
Para pemikir lain yang menyumbangkan pandangannya tentang upaya
penanganan konflik atau kekerasan, dalam buku “Kekerasan dalam Perspektif
Pesantren” melihat penyelesaian kekerasan sebagai buah konflik dalam dua
aspek sekaligus. Pertama, penghentian kekerasan harus dilihat secara serentak
dalam struktur masyarakat, seperti adanya ketidakadilan dan penyimpangan
kekuasaan. Semakin tidak adil struktur masyarakat dan semakin kuat tingkat
represi kekuasaan akan makin tinggi pula skala dan frekuensi kekerasan dan
konflik.
Maka penanganan dan penyelesaian konflik haruslah bersifat simultan
dengan peningkatan rasa keadilan dalam masyarakat dan tingkat kesejahteraan
mereka. Pemicu kekerasan dan konflik dapat berangkat dari berbagai aspek
seperti; ekonomi, politik, tanah, pemilu, perbedaan paham dan sebagainya. Aspek
kedua adalah menyangkut cara atau metode penanganan kekerasan. Apakah
penyelesaian kekerasan boleh dilakukan dengan kekerasan pula? Secara tegas
tentu jawabannya adalah “tidak”. Setiap tindak kekerasan sudah pasti tidak akan
melahirkan kedamaian, namun justru akan memperluas dan memperbesar skala
konflik.
Toleransi dan pemahaman Muslim di Indonesia tentunya juga diilhami oleh
ayat Firman Allah SWT;:
Artinya:“ Untukmu Agamamu dan untukku agamaku” (Q.S. Al Kafirun, 109: 6).
Al Quran juga menyebutkan bahwa di dalam masyarakat yang pluralistik,
semua agama dapat hidup damai secara berdampingan, dengan sikap saling
menerima dan kreatif melebihi toleransi semata. Yang tak kalah menariknya
adalah, bahwa sikap eksklusivisme agama tidak sesuai dengan jiwa dan
pandangan Islam.
Pandangan Al Qur’an menyangkut dialog sebagai cara yang diperlukan
untuk berhubungan dengan dunia secara keseluruhan, juga bertanggungjawab atas
penghormatan dan toleransi Muslim Indonesia terhadap agama maupun
kelompok lain sungguh patut dikembangkan.
Terjadinya kontradiksi antara dua kekuatan agama dan politik bisa jadi
karena perbedaan misi dari keduanya. Agama membawa misi moral dan politik
bertujuan mencari kekuasaan. Agama memperjuangkan tegaknya nilai-nilai
kemanusiaan yang universal, sedangkan politik boleh jadi mempolarisasi manusia
berdasarkan kepantingan individu dan kelompok. Keduanya selalu berkompetisi
menjadi yang terkuat, jika agama kuat maka politik menjadi kuda tunggangan dan
sebaliknya.
Demikian juga untuk kepentingan politik, Menurut pandangan Nicollo
Machievelli, politik itu menghalalkan segala cara. Orang umum menyimpulkan
bahwa politik itu indah tapi kotor, licik bagai belut, pisik tapi menarik, dapat
dipegang tapi tidak dapat diduga. Dan masih banyak ungkapan lain yang bernada
sumbang sebagai pembenaran kerajaan politik.
Sulit dibedakan apakah satu peperangan atau konflik sosial muncul karena
faktor agama atau faktor politik. Sebab fenomena sosial sering bersifat kompleks
dan multidimensional. Boleh jadi kepentingan ekonomi atau separatisme
menunggangi agama. Misalnya, perang Iran-Iraq yang berlangsung selama 8
tahun, sebenarnya bukan perang Islam Sunni di Iraq dengan Islam Syi’i di Iran,
melainkan kepentingan pihak ketiga yaitu Amerika. Demikian juga perang Arab-
Israel, perang Vietnam dan sebagainya.
Uraian di atas memberikan pengertian bahwa apabila kemauan politik
(political will) bertentangan dengan ide moral agama, maka ketegangan/konflik
sosial akan terjadi. Idealnya misi agama dan politik dalam suatu masyarakat
bangsa harus bisa berjalan selaras, saling mengisi dan bukan saling menunggangi.
Aksi-aksi kekerasan massa yang bermotifkan agama dan SARA menjadi
tema dan model. Agama-agama memang mengajarkan kepada umatnya
kerukunan dan kedamaian hidup. Tetapi dalam implementasinya, keberagaman
muncul dalam bentuk fanatisme sempit, ditambah dengan upaya-upaya politisasi
agama yang marak pada era Multi partai sekarang ini. Dalam prespektif integrasi
nasional, di samping faktor fanatisme agama tersebut, maka ada beberapa faktor
yang dapat memicu lahirnya konflik dan kekerasan yang harus diperhatikan.
Faktor-faktor tersebut adalah:
Faktor pertama; adanya pertarungan amatir antar kekuatan untuk dapat
masuk ke dalam lingkaran kekuasaan. Faktor kedua; media informasi yang
bebas dan hampir-hampir out of control juga dapat medorong ke arah
disintegrasi. Faktor ketiga; adanya intervensi pihak asing baik langsung
maupun terselubung. Faktor keempat; keresahan masyarakat lapis bawah yang
merasa ditinggalkan oleh para elite politik yang dulu memberi janji-janji
manis, setelah Pemilu usai mereka kecewa. Faktor kelima; adanya fenomena
budaya yang kontradiktif sedang terjadi. Faktor keenam; yakni proses
pemiskinan dan tekanan ekonomi yang kian sulit pada masyarakat kelas
bawah.
Agama dan kekerasan tentu merupakan dua hal yang paradok. Semua
agama tentu mengajarkan kepada umatnya tentang kerukunan, kedamaian,
keadilan, toleransi (tasamuh) dalam keberagaman, saling menghormati dan
menghargai sesame. Ajaran agama memberikan arah untuk mewujudkan
pribadi yang paripurna (insan kamil), berpikir/berprasangka yang positif.
Agama dan akal sehat akan menghindari sejauh mungkin konflik dan
perpecahan dalam umat, terlebih disertai dengan tindak kekerasan.
Ajaran Islam sangat menganjurkan semua pemeluknya untuk senantiasa
hidup rukun, bersatu dan tidak terpecah belah, sebagaimana disebutkan dalam
Al- Quran’
Artinya:”dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu
ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah
mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-
orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu
Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (Q.S. Ali Imran, 3:
103)
C. KESIMPULAN
.
Dalam konteks hidup bermasyarakat, keragaman sosial atau yang sering disebut
dengan pluralisme, seringkali menjadi persoalan sosial yang dapat mengganggu integritas
masyarakat.
Keragaman sosial, baik dalam kelompok budaya maupun pemikiran (perbedaan
pendapat) adalah bagian dari “sunnat Allah” Bahkan dapat dikatakan, bahwa kehidupan
ini ada karena dibangun di atas keragaman
Sikap agama terhadap pluralisme sangat jelas. Ajaran Islam mengakui adanya
pluralisme dalam berbagai aspek. Bahkan memberikan krangka sikap etis yang tegas.
kemauan politik (political will) bertentangan dengan ide moral agama, maka
ketegangan/konflik sosial akan terjadi.
Ajaran Islam sangat menganjurkan semua pemeluknya untuk senantiasa hidup
rukun, bersatu dan tidak terpecah belah, yang ditunjukkan dalam Al Quran :
(Q.S. Hujuraat, 49: 13), (Q.S. Al Kafirun, 109: 6). (Q.S. Ali Imran, 3: 103),
DAFTAR PUSTAKA