Anda di halaman 1dari 17

KONFLIK ANTAR AGAMA

Oleh: Braham Maya Baratullah

Pendahuluan

Pada akhir Orde Baru dan Pasca Reformasi justru konflik antar agama ditunjukkan dengan
Konflik adalah suatu bagian dari kehidupan sehari-hari.1Sedangkan konflik agama adalah suatu yang
dibenarkan dari adanya perbedaan keberagamaan.2 Oleh karenanya konflik sebagai gejala yang tidak
mungkin dihindari dalam masyarakat.3 Sehingga, pada gilirannya masyarakat beragama akan
menghadapi konflik, yang suatu saat muncul kepermukaan (manifes). Atau meminjam istilah Islam,
bahwa konflik adalah Sunnatullah.

Terjadinya konflik antar agama seolah-olah menggambarkan wajah keagamaan dari sisi yang
berbeda, secara diametral sangat kontradiktif, berlawanan seperti siang dan malam, yang satu
mengajarkan kasih dan sayang, yang lain benci dan dendam.4Meskipun setiap agama mengajarkan
perdamaian, kebersamaan sekaligus menebar misi kemaslahatan bagi lingkungan disekitarnya.
Namun dalam tataran sosiologis, wajah agama tidak seideal seperti yang diharapkan dalam
kerangka normative tersebut. Kerap kali raut wajah agama tampak bopeng, tercoreng dan ternoda
dalam kecamuk konflik sosial, budaya, dan politik. Demikian itu sebenarnya bukan kesalahan ajaran
agama itu sendiri, namun lebih diakibatkan human error, yakni sikap sebagian para pemeluknya yang
kadangkala menafsirkan ajaran teologis-normatif secara serampangan.5

Indonesia yang didalamnya memeluk beberapa kepercayaan agama yang berbeda,6 kerap
kali penganutnya menampakkan hubungan yang tidak harmonis, ini disebabkan karena lebih
didukung dengan sikap prejudice ketimbang sikap saling menghargai diantara pemeluknya. Arief
Budiman menjelaskan bahwa konflik sosial dan kelas yang terjadi di Indonesia seringkali
diartikulasikan dalam bentuk perseteruan ras dan keagamaan.7 Ada sebab yang memang sangat pelik,
mengapa konflik antar agama di Indonesia sering terjadi, terutama antara Muslim-Kristen, hal ini
tidak lepas dari sejarah yang memang sudah mengalami hubungan yang tidak harmonis diantara
kedua umat beragama.

Setelah masa kemerdekaan, hubungan antara Muslim-Kristen memasuki fase baru. Undang-
undang Dasar 1945 menjamin hak-hak umat Kristen, sebagaimana pula anggota-anggota dari
berbagai kelompok keagamaan yang lain, untuk menjalankan tugas keagamaan mereka. Umat
Kristen sudah mulai mendapat tempat dalam pemerintahan. Namun, karena posisi ekonomi yang
tertinggi dikuasai oleh keturunan Tionghoa-Kristen, maka para pribumi-Muslim menekan pemerintah
untuk membatasi dominasi tersebut. Sebagai hasilnya Soekarno memperkenalkan Politik Benteng
yang membatasi importer keturunan Tionghoa.8 Ditambah konflik ideology diawal peletakkan dasar
Negara, bahwa Sokarno-Hatta merubah 7 kata dalam Sila Pertama Pancasila,9 Ada alasan kuat
mengapa Hatta mengajukan perubahan tersebut. Dalam buku karya Hatta dengan judul, "Sekitar
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang dikutip oleh Anshari (1981), Hatta mengatakan;
bahwa ia didatangi oleh seorang perwira Jepang, yang ia sendiri lupa namanya, pada tanggal 17
Agustus 1945 petang. Perwira itu membawa pesan bahwa orang Kristen di kawasan Kaigun sangat
berkeberatan atas tujuh kata dalam Pembukaan UUD 45. Walaupun mereka mengakui bahwa tujuh
kata itu tidak mengikat mereka, namun mereka memandang hal itu sebagai diskriminasi terhadap
golongan minoritas.10 Namun, sekali lagi patut dicatat bahwa konflik periode ini tidak menyaksikan
pertempuran fisik yang intensif antara Muslim-Kristen tersebut.

Hal ini tidak berhenti, hubungan antara Muslim-Kristen berlanjut pada masa kegagalan – apa
yang sering disebut sebagai - kudeta Komunis tahun 1965. Kudeta yang gagal ini mengakibatkan
sejumlah besar bangsa Indonesia, termasuk anggota Partai Komunis Indonesia dan kelompok non-
Muslim (kaum abangan), untuk memeluk agama Kristen.11 Selain itu hubungan keduanya semakin
terpuruk dengan adanya isu kristenisasi. Kristenisasi dianggap sebagai salah satu sebab utama
perusak hubungan tersebut. Lebih dari itu, kesenjangan antara kaum miskin, yang kebanyakan
adalah Pribumi-Muslim, dan kaum kaya, yang kebanyakan adalah keturunan Tionghoa-Kristen,
semakin melebar. Hubungan Muslim-Kristen dalam hal ini, pertama memang lebih melihat sebab-
sebab yang bersifat ekonomi-politis, hal itu ditunjukkan dengan kesenjangan ekonomi yang terjadi di
masyarakat ditambah dengan ambisi para elit untuk merebut kekuasaan dengan menghalalkan
berbagai cara, merupakan sebab yang ampuh untuk bentuk yang sangat mengerikan. Apakah Negara
dalam keadaan tidak setabil? Atau pemerintah sengaja membiarkan karena keran-keran pasca-
reformasi sulit dibendung dan diatasi, apalagi sudah membawa atas nama keagamaan. Lalu
bagaimana peran pemerintah dalam hal tersebut. Makalah ini hendak membahas konflik antar agama
yang berdampak kekerasan dan bagaimana peran pemerintah Indonesia.

Multiperspektif Atas Konflik Sosial Keagamaan

Jika kita memahami bahwa konflik adalah sesuatu yang wajar ada dalam kehidupan manusia,
begitu juga dengan konflik agama yang didasarkan atas perbedaan, maka tak elak Indonesia yang
masyarakatnya adalah masyarakat majemuk sering terjadi konflik. Oleh karena itu tugas pemerintah
Indonesia adalah membuat dan mewujudkan tatanan sosial-keagamaan yang harmonis, adil, dan
makmur. Hal ini, pernah dilakukan pemerintah Orde Baru dengan program “Kerukunan Umat
Beragama” demi mewujudkan keberagamaan agama yang saling menghargai.

Masyarakat Indonesia, dalam konteks ini adalah masyarakat yang berdasarkan atas
keanekaragaman agama (Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu dan Buddha) tetapi yang
bersifat majemuk sehingga mempunyai system nasional yang askriptif dan primordial secara
keberagamaan. Dalam perspektif ini tidak ada seorangpun yang dapat menjadi orang Indonesia tanpa
harus menjadi anggota dari salah satu keberagamaan yang ada di Indonesia. Kemajemukan
Indonesia juga tercermin dari kesukubangsaannya, Koentjaraningrat menyebutkan bahwa tidak
kurang dari 151 suku bangsa yang ada di Indonesia, dari sabang hingga Merauke (1981).12

Keberagaman agama yang sering ditampakkan dalam berbagai konflik di Indonesia, tidak
lepas dari budaya kesukuan yang melatarbelakanginya. Misalnya suku Dayak sudah memliki sikap
bawaan yang cenderung arogan, terkadang mereka suka memaksakan kehendak, suku Maduru lebih
dikenal dengan berperangai kasar dan berotot,13 sedangkan suku Jawa lebih bersikap
menyembuyikan atau main dibelakang. Hal tersebut sangat memiliki peranan penting dalam konflik
keagamaan, misalnya daerah yang budaya kesukuannya memilki begron budaya yang keras maka
tidak jarang didaerah tersebut lebih terdorong amarah hingga mengunakan kekerasan violence.14

Selain kesukuan sebagai latar adanya konflik antar agama, kemungkinan juga ada beberapa
penyebab yang lain, yaitu: Pertama,fudamentalisme agama yang semakin meningkat menimbulkan
polarisasi masyarakat berdasrkan identitas agama. Individu, kelompok dan masyarakat semakin sadar
dan sensitive dengan nilai-nilai dan identitas agamanya, sehingga dalam interaksinya dengan orang
dan kelompok lain selalu dibentuk oleh kesadaran dan sensitive identitas keagamaan tersebut.
Fudamentalisme menciptakan ekslusivisme yang “dibangun di atas dasar fondasi esensialisme sempit
yang antidialog, anti perubahan, dan antinegosiasi sehingga menciptakan pandangan buruk terhadap
pihak luar yang mengancam.15

Kedua, meningkatnya fudamentalisme dan radikalisme dibarengi oleh menguatnya keyakinan


akan adanya kebenaran dan interpretasi teks agama yang tunggal. Ketiga, kekurangdewasaan
menyebabkan mereka yang mengaku hamba-hamba Allah yang taat terperosok dalam sikap dan
tindakan emosional. Sikap dan tindakan emosional ini mudah sekali menyulut ketegangan,
perpecahan dan konflik. Keempat, tidak adanya atau kurang berkembangnya wadah komunikasi antar
agama. Kelima, berkurangnya public sphere, sejalan dengan semakin meningkatnya fudamentalisme
dan berkurangnya moderisme, maka banyak sekali pembangunan atau pendirian tempat ataupun
organisasi bercirikan agama tertentu yang mengambil ruang lingkup interaksi umum. Bukan hannya
sekolah atau rumah sakit tetapi juga bank dan taksi; organisasi yang berkembang pesat sekarang ini
adalah organisasi keagamaan. Dengan demikian ruang public yang boleh diikuti oleh semua orang
tanpa pandang bulu semakin berkurang, yang berakit berkurangnya interaksi plural. Keenam, adalah
adanya kehausan akan kekuasaan. Ketujuh, tidak adanya pemisahan antara agama dan
Negara. Kedelapan, tidak adanya kebebasan beragama. Kesembilan,kekerasan dan penghakiman atas
nama agama serta kurangnya penegakkan hukum. Kesepuluh, kurangnya penegakan hukum atau
pembentukan hukum yang cenderung sekterian. Kesebelas,kemiskinan dan ketidakadilan ekonomi
dan sosial yang bukan hannya menjadikan kelompok agama tertentu merasa terpinggirkan, tetapi
juga dalam mencari pemecahannya sering kelompok agama mencari victim dan musuh yang
menyebabkan kemiskinan itu. Terakhir,pemimpin dan masyarakat agama cenderung menekankan
pentingnya fiqh daripada akhlak, religious purification daripada religious compassion.16

Selanjutnya, dalam Keputusan Menteri Agama RI No 84 tahun 1996 ditunjukkan dengan jelas
bahwa kekerasan agama Indonesia didominasi dalam beberapa masalah laten, yaitu pendirian tempat
peribadatan, penyiaran agama, bantuan luar negeri, perkawinan beda agama, perayaan hari besar,
penodaan agama, kegiatan aliran sempalan, dan aspek social-politik yang mempengaruhi.17 Dari
beberapa gagasan ini dapat dimengerti jika muncul suatu kenyataan yang harus kita akui, walaupun
mungkin kita sendiri menolak. Pola pikir negative dalam bingkai keagamaan dapat menyebabkan
terjadinya kekerasan.18

Oleh karena itu, sentiment keagamaan selalu menjadi salah satu cara agar konflik semakin
melebar, tidak jarang umat sekalipun menggunakan jargon keagamaan untuk melejetimasi
kebenaran violence. Setiap umat merasa kebenaran kekerasan tersebut datang dari kebenaran
agama, baik yang diyakini secara individu maupun oleh para pemuka agama masing-masing.
Sepertihalnya, dalam agama Yahudi sebagaimana terjadi dalam pembunuhan Yitzak Rabin.
Pembunuhan terhadap Pedana Menteri Israel ini adalah bentuk nyata dari suatu tindakan kekerasan
yang berkedok agama. Dengan tegar pembunuh Rabin, Yigal Amir, berkata bahwa dia melakukan
pembunuhan atas perintah agama dengan bantuan Tuhan. “Ini merupakan tugas keagamaan saya
sesuai dengan anjuran halakha(hukum agama Yahudi”, demikian menurut Yigal. Hal ini karena
menyerahkan tanah yang telah dianugrahkan Tuhan – sebagaimana dilakukan Rabin - merupakan
dosa besar terhadap Yahweh(Tuhan).19

Dalam tragedy perang salib, sejarah membuktikan bahwa hal tersebut karena ada dorongan
Paus Urban II menggunakan jargon teks keagamaan, pada abad ke-11, bukan saja melancarkan
kekerasan terhadap umat Yahudi dan Islam (yang dinilai musuh), kelompok Kristen Ortodoks Timur
pun ikut terbabat. Ini semua dilancarkan atas nama Al-Masih, pencinta damai dan penganjur kasih
sayang.20 Hal tersebut sulit dihilangkan dari pemaknaan bahwa konflik yang ditimbulkan dari
sentiment keberagamaan dapat dihilangkan, jika para pemeluknya menginterpretasikan sebagai salah
satu kebenaran dalam membela agama. Tak elak jika terjadi suatu konflik agama, seseorang dapat
sebagai profokator atau apart of problem demi rasa membela terhadap agamanya.

Selain dogma keagamaan, sering konflik agama di Indonesia juga dipicu oleh diluar dirinya,
yaitu sering sekali konflik atas nama agama yang paling dominant dikarenakan factor ekonomi-politik.
Apalagi pasca reformasi dimana gerbang desentralisasi membuat seluruh daerah membuka mata,
bahwa mereka juga ingin lebih mementingkan ekonomi-politik daerahnya terlebih dulu dari pada
hasilnya di bawa ke pemerintah pusat. Yang pada akhirnya hubungan pemerintah daerah dan pusat
yang tidak harmonis, juga dapat memperkeruh jika terjadi konflik atas nama agama di masyarakat.

Dampak Perubahan Tata Politik Terhadap Konflik Keagamaan

Faktor politik ini, lebih dilihat dari seberapa jauh dampak peralihan Masa Orde Baru terhadap
Masa Reformasi, yang menimbulkan pembagian hubungan dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah. Hubungan pembagian tersebut, menaruh benih perpecahan dan konflik yang akhir-akhir ini
sering terjadi di beberapa daerah di Indonesia.

Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah


merupakan salah satu langkah maju yang dilakukan bangsa kita. Tetapi, terlepas dari berbagai
manfaat yang dibawanya, paradigma-paradigma baru yang terkandung dalam undang-undang ini
tidak jarang menimbulkan kegagapan-kegagapan bagi penyelenggara pemerintah di daerah maupun
di pemerintah pusat.

Sementara itu, bagi sebagian besar rakyat di seluruh Tanah Air, perubahan rezim pemerintah
yang semula otoriter berganti kearah yang demokratis dan terbuka, dirasakan seperti diayun dari satu
kutub ekstrem ke kutub ekstrem yang lain, sehingga rakyat pun mempunyai keragu-raguannya
sendiri dalam menyingkapi hidup berbangsa dan bernegara.

Sikap tersebut sesungguhnya merupakan refleksi dari belum siapnya menghadapi perubahan-
perubahan yang berjalan cepat. Karena itu, tidaklah mengejutkan bila kemudian muncul sikap tindak-
sikap tidak yang labil, melakukan tuntutan yang tidak realistis dan cenderung mementingkan tujuan
sendiri. Kesemuanya itu dapat menjadi potensi untuk melahirkan konflik. Sementara pejabat ada
yang menyatakan bahwa hal ini karena dipicu oleh penerapan UU. No.22/1999.

Sehubungan dengan perubahan tata politik dan diberlakukannya Undang-Undang No. 22


tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, terdapat bebrapa potensi konflik yang dapat
membahayakan keutuhan Negara Kesatuan RI, dengan peta Konflik sebagai berikut: 1. Konflik
internal dalam masyarakat di daerah, 2. Konflik antara masyarakat dan pemerintah daerah, 3. Konflik
masyarakat antar daerah, 4. Konflik antar pemrintah daerah, 5. Konflik antara Pemerintah Daerah
dan Pemerintah Pusat, 6. Konflik antara masyarakat di daerah dan Pemerintah Pusat, 7. Konflik
antara elit Pemerintah Pusat yang berimbas dan diikuti konflik massa pendukung di daerah.21 Hal ini
jelas bahwa perubahan peta politik yang dialami bangsa Indoneisa mengalami tantangan tersendiri,
yang mungkin memerlukan jangka waktu yang panjang agar menemukan idealitas dalam kehidupan
demokrasi keindonesian.

Dampak ini terasa hingga lapisan bawah, masyarakat yang dulu terhegomoni dengan
kekuasaan yang akhirnya tidak dapat sedikitpun bertindak, kini kran tersebut terbuka lebar bagi
rakyat, yang kemudian dimanfaatkan untuk melampiaskan segala kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah. Maka ketika ada konflik yang sebenarnya itu sepele (hanya beberapa orang saja) dapat
melebar menjadi konflik komunal, bahkan ancaman disintegrasi bangsa. Sepertihalnya konflik
keagamaan yang terjadi atau dipicu oleh segelintir orang. Biasanya kasus-kasus konflik keagamaan
disebabkan oleh suatu hubungan kedua pihak, yang kemudian pihak lain ikut terlibat (karena merasa
memiliki keagamaan yang sama). Sebagai contoh; kerusuhan sitobondo yang meletus 10 Oktober
1996, disebabkan dari masalah penghinaan agama Islam oleh santri bernama Sholeh, selain itu dia
juga menghina almarhum KHR As’ad Syamsul Arifin, tokoh yang dihormati di Situbondo dan Sholeh
dituduh menyebarkan ajaran sesat, yang kemudian konflik melibatkan massa yang lebih luas.
Kerusuhan Tasikmalaya pada 26 Desember 1996, bermula ketika anggota Polres Tasikmalaya
menganiyaya KH Mahmud Farid, anak KH Makmun – pendiri Pondok Pesantren, kemudian meluas
melibatkan massa Islam lainnya, karena memiliki rasa ingin membantu. Kerusuhan Rengasdengklok
pada 30 Januari 1997, bermula dari pertengkaran mulut antara keluarga Kim Tjoan (etnis Cina)
dengan remaja Mushala di bulan Ramadhan.22Sampai kerusuhan di Ambon pada tahun 1999, hal
tersebut karena disebabkan pertama oleh hubungan pertikaian kecil antara seorang preman bernama
Joppie (Kristiani) dengan sopir bernama Usman (Islam), perkelahian ini kemudian membawa massa
dengan nuansa agama yang lebih luas,23 dan perubahan tata politik yang menyebabkan pemerintah
dalam masa tidak setabil.

Realisasi Konflik Maluku dan Bagaimana Peran Pemerintah

Meskipun konflik Ambon dipicu oleh kedua-belah pihak, namun ini membuktikan lemahnya
solidaritas sosial antar umat beragama di Indonesia. Konflik tersebut sebenarnya tidak berkaitan
langsung dengan perbedaan denominasi agama masyarakat Maluku. Para pengamat menilai bahwa
tragedy di wilayah seribu pulau tersebut terjadi, diantaranya, karena lemahnya kinerja badan
intelejen Negara. Tragedy berdarah tersebut dengan mudah melebar eskalasinya, karena aparat
keamanan merasa ragu untuk bertindak tegas terhadap para perusuh, setelah pencabutan Undang-
undang Subversi.24 Pencabutan tersebut membuat aparat tidak dapat melakukan penangkapan
secara sembarangan, kecuali disertai berbagai bukti yang lengkap, sesuai denga ketentuan dalam
KUHP. Disamping itu, tragedy berdarah Maluku merupakan refleksi dari pertikaian antara elit politik,
baik para politisi dijakarta maupun para penguasa lokal di Maluku sendiri. Terlepas dari bebrbagai
factor pemicu timbulnya tragedy di Maluku tadi, konflik berdarah tersebut semula bersumber dari
ketidakadilan politik yang dilakukan rejim Orde Baru terhadap kelompok Kristen di Ambon. Mereka
menganggap bahwa rejim Orde Baru tidak mendistribusikan kekuasaan birokrasi kepeda mereka
secara proporsional, hingga keterwakilannya tidak sepadan dengan jumlah mereka yang relative
berimbang dengan populasi Muslim di wilayah Ambon.25
Seperti diberitakan bahwa di zaman Orde Baru keanggotaan dalam organisasi Islam tertentu
memberikan jaminan kepada para anggotanya di Ambon untuk bisa memenangkan berbagai
perebutan jabatan di pemerintahan. Kemumudahan yang didasarkan pada primordialisme agama ini
lambat laun membuat kelompok Kristen di Ambon termarjinalisasikan dari lingkup kekuasaan birokrasi
yang sebelumnya pernah mereka kuasai. Ketidakadilan ini menumbuhkan perasaan dendam
kelompok Kristen yang kemudian mendorong mereka untuk melakukan tindak kekerasan terhadap
orang-orang Islam. Hubungan patronase Orde Baru dengan organisasi Islam tertentu tersebut
memang menghasilkan peluang mobilitas bagi para anggotanya. Sejak menjelang dan awal tahun
1990an, rejim Orde Baru telah memberikan berbagai kemudahan kepada anggota kelompok tersebut,
hingga mereka dengan mudah dapat mendominasi posisi-posisi strategis di lembaga eksekutif,
legeslatif dan judikatif, baik di pusat pemerintahan Jakarta maupun di daerah seperti Ambon.
Monopoli kekuasaan dengan cara menutup akses bagi kelompok lain untuk memasuki struktur
kekuasaan (the structural obstruction) inilah yang menjadi konflik Ambon antara Muslim dan Kristen
semakin mengeskalasi.26 Tragedy Maluku memang sangat memprihatinkan, bukan karena besarnya
jumlah korban nyawa serta kerugian materil saja, tetapi juga karena agama ternyata telah
dimanipulasi oleh kelompok tertentu untuk merealisir kepentingan politik serta ambisi kekuasaan
mereka.27

Sekalipun konflik Maluku diawali dengan pertikaian kedua pihak dan keadaan politik
pemerintah yang tidak sehat, konflik ini kemudian difahami menjadi sebuah perseteruan antar
penganut agama. Kesan seperti itu memang tidak bisa dihindari, mengingat mereka yang terlibat
dalam konflik tadi telah memanipulir symbol agama yang menjadi identitas khas masing-masing.
Mereka bertikai atas nama agama Muslim-Kriten, membakar symbol institusi agama masjid dan
gereja, untuk menegaskan bahwa perseteruan tersebut merupakan konflik antara pengikut Islam
dengan Kristen. Kesan “perang agama” tadi menjadi semakin mengemuka, setelah mereka juga
berhasil memanipulir symbol-verbal agama jihad dan crusade. Lebih tragisnya lagi, para politisi
kemudian ikut memanfaatkan symbol-verbal tersebut untuk membangkitkan sentiment keagamaan
para pengikutnya. Sekalipun mereka mengetahui bahwa seruan jihaddan crusade tersebut dapat
memperkeruh suasana konflik, mereka tetap mengunakan teriakkan perang (battle-cry) tersebut
untuk memperkokoh hubungan emosional dengan para pendukungnya di wilayah pergolakan
Maluku.28 Suasana konflik menjadi semakin Anarkis, ketika para politisi tadi mengerahkan masa,
untuk menyatakan dukungan mereka terhadap salah satu kelompok agama yang bertikai di Maluku.29

Tragedy Maluku tersebut tidak dapat dibiarkan begitu saja, Karena mengingat akan
mengarah pada disintegrasi bangsa, maka perlunya pemerintah dalam menangani hal tersebut.
Pemerintah dalam hal ini, tidak selalu menggunakan pendekatan meliter dalam menyelesaikan konflik
Maluku namun pemerintah mencoba berupaya dengan jalan diplomasi, yaitu: Diplomasi Perdamaian
Malino.

Diplomasi Sebagai Inisiatif Pemerintah

Inisiatif pemerintah ini, tidak lepas dari kekuatan untuk saling terlibat dari berbagai kalangan
secara terbuka, terutama optimalisasi peran media massa dalam proses Malino dan figure fasilitator,
memberikan efek yang signifikan dalam publikasi dan ‘membangun image’ usaha pemerintah pusat
dalam penyelesaian konflik di daerah, dan juga memberikan kesadaran terbuka kepada public untuk
berupaya menghentikan konflik yang sedang berlangsung di daerah.

Meskipun upaya pemerintah masih tergolong pesimis terhadap perjanjian Malino, disebabkan
keadaan masyarakat yang masih dalam keadaan ‘Panas’, namun dengan didukung pemahaman dan
pengalaman fasilitator tentang gerakan BakuBae Maluku. Maka ada sembilan factor yang mendukung
rekonsiliasi di maluku, antara lain: Visi yang kuat untuk masa depan, membangun system hukum,
partisipasi kelompok sipil, penggunaan atribut/cara local, leadership, kampanye media, berfokus
kepada korban, workshop kritis, dan pengunaan fasilitator. Peran fasilitator amat penting dalam
proses BakuBae dan dia harus dipercaya oleh kedua-belah pihak yang berkonflik. Fasilitator bertindak
sebagai jembatan dan cermin untuk merefleksikan sumber konflik yang telah terjadi dan sedang
berlangsung direfleksikan untuk menata masa depan. Fasilitator kadang kala berperan sebagai
mediator dan negosiator.

Peran pemerintah dalam perjanjian Malino tidak lepas mengunakan beberapa hal,
terutama: kampanye media, pemberitaan di media massa ini mampu menarik perhatian masyarakat
terhadap upaya rekonsiliasi yang dilakukan oleh pemerintah. Kedua, Figus fasilitator. Dua orang
fasilitator Malino, yang juga merupakan mentri koordinator dalam pemerintahan Indonesia Yaitu
Susilo Bambang Yodhoyono dan Yusuf Kalla, adalah figure fasilitaor yang memiliki kekuatan. Yang
pertama dianggap merupakan figure netral dan memliki kekuatan ekonomi. Yang kedua dianggap
cerdas dan dapat mempengaruhi tentara dan polisi. Ketiga, Mendorong Penegakan Hukum. Proses
Malino secara langsung juga mendorong berfungsinya kembali proses penegakkan hukum, yang
semula lumpuh. Polisi kembali percaya diri untuk menjaga keamanan dan peradilan mulai berfungsi
kembali.30

Diplomasi Perdamaian Malino tidak hannya sebagai bentuk resolusi, namun hal tersebut
membuat integrasi kembali antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Jika kedua sentral
pemerintahan berjalan dengan kondusif, maka masyarakat juga akan cenderung mematuhi hukum
yang berlaku di daerah tersebut. Konflik yang berkepanjangan akan membuat sadar bahwa dengan
kekuatan rakyat dan pemerintah akan mengingatkan kembali pada Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Dengan begitu kita akan memliki visi bersama bangsa untuk menata masa depan, untuk
membangun visi tersebut maka kita harus menjaga keadaan dengan penuh kedamaian. Menurut John
Galtung (1996), situasi damai adalah suatu situasi dimana segala bentuk kekerasan berada pada taraf
minimal dan factor potensial penyebab konflik telah menghilang.

Alternative Perdamaian dalam Nilai Keagamaan

Mungkin perlu ditumbuhkan kembalii semangat keagamaan, mengingat masyarakat kita


adalah masyrakat agamis. Sebagai masyarakat yang beragama apalagi penduduknya yang plural,
bangsa Indonesia harus mampu menampakkan ajaran dan nilai-nilai keagamaan yang dapat diterima
oleh semua pihak. Perdamaian dalam masyarakat agama dapat kita lihat dari potensi ajaran-ajaran
agama yang menjauhkan diri untuk melakukan violence. Potensi agama Islam dan agama Kristen
dilihat dari, bahwa kedua belah pihak sangat kuat memiliki nilai-nilai ajaran yang mengarah pada sifat
empati, untuk suatu keterbukaan dan bahkan mencintai terhadap orang lain, menghilangkan sifat
untuk memperoleh sesuatu dengan ego yang tak terkendali, hak asasi manusia, secara sepihak
mengisyaratkan pengampunan dan kerendahan hati, bertaobat secara pribadi dan menerima
tanggung jawab terhadap kesalahan sebagai alat perdamaian.

Melihat konflik Kriten-Islam Ambon yang tergolong dalam masyarakat agama. Maka ada
peluang atau potensi agama terhadap teori resolusi konflik: pertama, Ada suatu tempat yang
menampung informasi cukup luas didalam teks suci atas prilaku damai, dan terjadinya konflik
disebabkan karena kurangnya prososial dan nilai-nilai tidak suka bergaul antisocial yang akhirnya
mempengaruhi konflik. Kedua, Agama memiliki peran utama dalam kehidupan sejati dan prilaku
sosial sejuta manusia.31 Maka jika kedua belah pihak menghilangkan egonya untuk saling
menyalahkan, saya kira nilai-nilai inilah yang dapat diterapkan kelompok agama Islam dan kelompok
agama Kristen untuk mewujudkan perdamaian.

Selain potensi kedua belah pihak untuk melakukan perdamaian ada, namun yang lebih
terpenting adanya kesadaran. Kesadaran dalam konteks ini dimaksud sebagai kemampuan dan
kesedian memilih cara atau jalan perdamaian sebagai pilihan sadar dalam menghadirkan masyarakat
manusia yang lebih beradab dan manusiawi. Kesadaran ini juga harus dilingkupi dengan rasa
kemauan, kesediaan, kejujuran, ketulusan dan kemampuan para partisan konflik untuk kembali hidup
dalam ketenangan, keadilan dan kedamaian.32 Jika kesadaran tidak dimiliki oleh kelompok Islam
Indonesia dan Kelompok Kristen, maka perdamaian akan jauh dari harapan.

Kita semua kini dalam satu payung, baik kelompok Islam dan kelompok Kriten keduanya
menjungjung tinggi atas nama "Tuhan". Sebagaimana ajaran perdamaian yang diajarkan Islam 'slm'
memiliki makna; tunduk patuh, damai. Hadist Nabi Muhammad saw. Menganjurkan kepada umat
Islam untuk memberikan salam jika bertemu dengan sesamanya, dengan mengucapkan 'Assalamu
'alaikum Warahmat Allah Wa barakatuhu'. Ucapan diatas berarti, "Semoga Damai selalu atas kalian;
Rahmat dan berkah Allah pun selalu terlimpah kepada kalian". Shalat di dalam Islam selalu diakhiri
dengan 'Salam'. Artinya adalah dimanapun orang muslim berada, hendaklah ia selalu membawa
kedamaian,33 meskipun dengan non-muslim. Begitu juga ajaran Shalom, yang menjelaskan bahwa
agama Kriten adalah agama kasih-sayang. Shalom memiliki tiga makna, yaitu: pertama shalom dapat
mengarah sebagai bagian dari urusan jiwa dan materi, permakaian kata shalom sering digunakan
dalam hal tersebut. kedua shalom digunakan untuk hubungan antar manusia, dan hal ini dapat
diambil dari makna bahasa Inggris yang artinya perdamaian. Dan ketiga biasanya
makna shalom sebagai pengertian sebuah prilaku, namun sebagian memandang bahwa makna ini
paling sedikit digunakan.34

Maka Kelompok Islam dan Kelompok Kriten, sebaiknya berhenti untuk saling menyalahkan,
jika telah jelas datang perdamaian. Apabila kedua kelompok pada akhirnya menyesali, maka tidak
layak jika suatu saat menghadapi konflik mengedepankan jalan kekerasan. Kita selalu dalam
menyelesaikan masalah, diakhiri dengan penyesalan, bukan hannya di Ambon, tapi di Poso dan
Sampit, ini semua kita meyesali, karena menggunakan penyelesaian masalah dengan satu komando
yaitu "Kekerasan".

Perdamaian dalam hal ini, menciptakan suasana yang menyenangkan, aman, tenang dan
damai (sekalipun konsep Salam dan Shalom berbeda, namun esensinya sama yaitu perdamaian, dan
perlu dilakukan adanya dialog atau diskusi yang kondusif bukan penggunaan kekerasan), dengan
kekuatan semua pihak, seperti yang difasilitator media (TV One), untuk didiskusikan oleh kedubelah
pihak. Dan perlu diingat bahwa perdamaian bukanlah sebuah keadaan yang tidak ada lagi perbedaan,
tetapi justru yang menghargai perbedaan. Perdamaian, tidak harus semuanya menjadi sama, tetapi
saling menghormati.35

Perdamaian dalam konteks konflik keagamaan, adalah pertama, kita harus tetap yakin kita
semua percaya pada Tuhan Yang Maha Esa dan memegang teguh kebersamaan, berbangsa dan
bernegara. Kedua, baik kelompok Islam dan kelompok Kristen, keduanya harus saling menghormati
dan menghargai. Rasa hormat dan menghargai ini, bukan karena kepentingan tertentu, tetapi dengan
tulus, jujur dan kondusif. Ini bisa terjadi bila masing-masing mampu menguatkan dirinya agar tidak
mudah dipengaruhi oleh apapun dan siapa pun juga (apalagi pihak asing), yang akan memakai
agama atau memperalat umat beragama untuk melakukan hal-hal yang meremehkan rasa hormat
terhadap perbedaan (bukankah perbedaan itu Sunnatullah). Bisa juga karena baik kelompok Islam
dan kelompok Kristen mampu membebaskan diri dari pikiran dan sikap absolutise-doktriner dan
menerima serta terbuka terhadap sikap dan pikiran-pikiran pluralis.
Konsekunsinya adalah, masing-masing kelompok harus terbuka untuk melakukan autokritik,
sekaligus terbuka untuk dikritik dan melakukan hubungan-hubungan dialogis dan konstruktif. Maka
konflik model ini dapat dikatogorikan konflik positif, yaitu: dengan adanya konflik dijadikan suatu
yang mengarah pada semakin menguatkannya kelompok36 (dalam hal ini umat Muslim dan umat
Kristiani, akan lebih intropeksi dan semakin kuat, bukan saling menyalahkan).

Hal inilah yang harus kita lakukan, kalau tidak konflik horizontal ini akan terus terjadi dan
tidak menemukan perdamaian. Ada beberapa kendala yang kemudian perdamaian mengalami
kesulitan:37

1. Masing-masing pihak baik kelompok Islam maupun Kelompok Kristen, mempertahankan


kepentingannya.

2. Kelompok Islam dan Kelompok Kristen, tidak ada keterbukaan dan niat untuk bekerjasama
(apalagi mau melupakan dan saling memaafkan), padahal dijelaskan dalam Al-
Quran: "Maafkanlah, dan mohon apun kepada Allah Swt, serta bermusyawarahlah dalam
urusan tersebut"(al-Maidah).

3. Stereotype prasangka begitu kuat. Pandanga Sum-zero ini akan sulit hilang dan menjadi
suatu pandangan yang buruk dalam menilai kelompok lainnya.

4. Trauma, kedua kelompok (Islam-Kristen) mengalami psikis yang kuat setelah mendapatkan
kekerasan yang begitu dahsyat dan dilakukan oleh saudarannya sendiri (sesame bangsa
Indonesia).

5. Adanya keinginan salah satu pihak mendominasi atau menguasai pihak lain.

6. Motif Balas Dendam, hal ini yang sangat membahayakan, karena akan muncul yang namanya
kekerasan turunan, sampai kapanpun kita akan dilanda konflik.

7. Motif Politik, Ekonomi, serta berbagai varian sebab lainnya.

Setidaknya perdamaian yang kita dambakan, tidak lain lebih tergantung pada kita semua, jika
kita atas nama bangsa Indonesia, yang menjungjung tinggi perbedaan, akankah kita justru tidak
menghargai dan menghormati bangsa kita, dengan dimunculkannya konflik-konflik yang terus
berkepanjangan, tanpa mau menyadarinya, dan bahkan kita disebut masyarakat agamis yang
bernorma dan dalam payung "Bhinneka Tunggal Eka" (Berbeda-beda Namun Tetap Satu Jua),
akankah hilang begitu saja.
Kesimpulan

Dengan melihat bangsa Indonesia adalah Negara yang multietnik dan multireligius serta sifat
konflik yang tidak mungkin dapat dihindari dalam masyarakat (sunnatullah), sehingga dengan adanya
perbedaan akan menimbulkan konflik antar agama yang suatu saat akan tampak kepermukaan. Oleh
karena itu, perlunya pemahaman pemerintah baik daerah maupun pusat, agar selalu menjaga
stabilitas keadilan politik, ekonomi dan social, sekaligus mampu sebagai fasilitator dalam setiap
konflik baik bernuasa etnik mapun keagamaan, bukan membiarkan atau apart of problem.

Selain itu, pemahaman keagamaan yang terus dijaga untuk dapat saling menghargai,
toleransi antar umat beragama, memberikan pemahaman keagamaan yang inklusif, dan
menghilangkan rasa prejudice antar pemeluk agama, dan peran pemerintah, ulama, pendeta, pastor,
dan ketua organisasi keagamaan sebagai fasilitator atau mediator dalam memberikan pemahaman
resolusi konflik.

Pemahaman terakhir, pemerintah sebagai ujung tombak dalam mengatur tatanan social
bangsa harus menegakkan kembali Undang-undang Dasar 1945 pasal 29 dengan mengatur
kebebasan beragama dan berpedoman pada Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tapi tetap satu
jua). Maka dengan itu, kehidupan yang multietnik dan multirelijius dapat menciptakan kehidupan
yang harmonis, adil, dan makmur.

Maklumat/Isi Perjanjian Malino

1. Menghentikan semua bentuk konflik dan perselisihan.

2. Hukum harus ditegakkan secara adil dan tegas oleh pemerintah, TNI, Polri serta seluruh aparat hukum dengan dukungan seluruh

masyarakat. Karena itu aparat penegak harus bersikap profesional dan netral dalam menjalankan tugas.

3. Seluruh rakyat Maluku adalah bagian dari NKRI, karena itu tidak menyetujui dan mengutuk segala bentuk gerakan separatisme

seperti Republik Maluku Selatan (RMS).

4. Sebagai bagian dari NKRI, maka rakyat Maluku berhak untuk berada, bekerja dan berusaha di seluruh wilayah RI dan begitu pula

sebaliknya, rakyat RI dapat berada, bekerja dan berusaha di wilayah Propinsi Maluku secara sah dan adil.
5. Segala bentuk organisasi, satuan kelompok atau laskar yang bersenjata tanpa izin di Maluku dilarang dan harus menyerahkan

senjata atau dilucuti dan diambil tindakan sesuai hukum yang berlaku dan meninggalkan wilayah Maluku.

6. Untuk melaksanakan seluruh ketentuan hukum, maka perlu dibentuk timinvestigasi independen nasional untuk mengusut tuntas

peristiwa 19 Januari 1999, Front Kedaulatan Maluku (FKM), RMS, Laskar Jihad dan lain-lain sebagainya.

7. Organisasi kemasyarakatan yang bertujuan meningkatkan pendidikan, kesehatan dan sosial dapat beroperasi sepanjang memenuhi

ketentuan hukum dan undang-undang.

8. Pengungsi akan dikembalikan ke tempat semula sebelum konflik dan segala

hak-hak perdata dikembalikan.

9. Pemerintah akan membantu masyarakat untuk merehabilitasi sarana ekonomi dan sarana umum seperti fasilitas pendidikan,

kesehatan dan agama, serta perumahan rakyat agar masa depan seluruh rakyat Maluku dapat maju kembali dan keluar

dari kesulitan. Sejalan dengan itu, segala bentuk pembatasan ruang gerak penduduk dibuka sehingga kehidupan ekonomi

dan sosial berjalan dengan baik.

10. Dalam upaya menjaga ketertiban dan keamanan seluruh wilayah dan masyarakat diharapkan adanya kekompakan dan ketegasan

untuk TNI dan Polri. Sejalan dengan itu, Asrama Tantuwi segera dibangun kembali dan segala fasilitas TNI dikembalikan

kepada fungsinya.

11. Untuk menjaga hubungan dan harmonisasi antar seluruh masyarakat, pemelukagama Islam dan Kristen, maka segala upaya dan

usaha dakwah dan penyiaran agama harus sesuai dengan undang-undang dan ketentuan lain tanpa pemaksaan.

12. Mendukung rehabilitasi, khususnya Universitas Pattimura dengan prinsip untuk kemajuan bersama, karena itu rekrutmen

dijalankan secara terbuka dengan prinsip keadilan dengan tetap memenuhi syarat kualitas yang ditentukan.

Dua Komisi

Dalam draft ini juga direkomendasikan pembentukan dua komisi. Yakni Komisi Keamanan dan Penegakan Hukum, serta Komisi

Sosial Ekonomi. Kedua komisi ini dimaksudkan untuk menindaklanjuti segala hal dari Perjanjian Malino. Pelaksanaan agenda dan

rencana komisi-komisi tersebut akan dilakukan oleh Tim Pemantau Nasional dan kelompok kerja yang akan dibentuk setelah

Perjanjian Malino disepakati dan ditandatangani.

http://www.detik.com/peristiwa/2002/02/12/20020212-104633.shtml
DAFTAR PUSTAKA

“Dia Pakai Preman,” Surya (Jumat, 22 Januari 2000)

“Gus Dur: Aksi Monas Jatuhkan Saya,” Surya (Rabu, 12 Januari, 2000), 1.

“Kasum Akui Intelejen Lemah,” Surya (Sabtu, 22 Januari, 200)

“Mega: Satu Generasi Maluku Bisa Habis,” Surya (Kamis, 27 Januari, 200)

“Sultan Ternate Provokator Maluku Utara?,” Surya (Senin, 24 Jamuari, 2000)

Artikel Lepas, Piagam Jakarta dan Hubungan antar Umat BerAgama,Email Procteceted, oleh: Mbah
Dukun S

Asegaf, Arifin, Agama dan Kekerasan, Yogyakarta: Interfidei, 2003

Assegaf, Arifin, Agama dan Kekerasan, Yogyakarta, Interfidei Newsletter, Edisi Khusus 2003

Basri, H , Faisal. Perkembangan dan Prospek Politik Pasca Pemilu, Analisi, no 4, tahun 28 (1999)

Budiman, A., The Lonely Road of the Intellectual: Scholars in Indonesia, (terjm) Fatimah Husein,
Melbourne: Mials, 1999

Djam’annuri, Sejarah Konflik dan Perdamaian Agama-agama, Deskripsi Mata-Kuliah, Yogyakarta:2008

Elizabeth, Zulfa, Misbah, Multi Etnis Indonesia dan Potensi konflik di Dalamnya, dalam Mediasi dan
Rseolusi Konflik di Indoenesia, Semarang: Walisongo Media Center, 2007

Fortuna, Dewi (ed), Konflik Kekerasan Internal., Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005

Hamim, Thoha (dkk)., Resolusi Konflik Islam Indonesia, Yogyakarta: LKiS Aksara, 2007

Hamim, Thoha dkk., Resolusi Konflik Islam Indonesia., Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, 2007

Husain, Fatimah, Hubungan Muslim-Kristen dan Pemerintah Orde Baru Indonesia: Perspektif
Sejarah, Yogyakarta: Aditya Media, 2000

Jamil, Mukhsin, M., Mediasi&Resolusi Konflik, Semarang: Walisongo Mediation Center, 2007
Kompas, 26, April, 2006

Musahadi HAM, (ed)., Mediasi dan Resolusi Konflik di Indonesia,Semarang: Walisongo Mediation
Center, 2007

Poitras, Jean, Mediation and Reconciliation of Interests in Public Dispute, Canadian, Carswell:1968

Simmel, Georg, Beberapa Teori Sosiologi, (Terjm) Soejono Seokamto., Jakarta, Rajawali:1986

Surata, Agus Atasi Konflik Etnis, Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2001

Syafa'atun&Limantina (ed), Pluralisme, Konflik dan Perdamaian, Yogyakarta, Pustaka Pelajar:2002

Thoha Hamim, Konflik Dalam Perspektif Komunitas Beragama Di Indonesia, Yogyakarta: LKiS, 2007

1 Jean Poitras, Mediation and Reconciliation of Interests in Public Dispute, Canadian,


Carswell:1968, hlm 1

2 Djam’annuri, Sejarah Konflik dan Perdamaian Agama-agama, Deskripsi Mata-Kuliah,


Yogyakarta:2008, hlm 2

3 Georg Simmel, Beberapa Teori Sosiologi, (Terjm) Soejono Seokamto., Jakarta,


Rajawali:1986, hlm

4 Arifin Assegaf, Agama dan Kekerasan, Yogyakarta, Interfidei Newsletter, Edisi Khusus 2003,
hlm 12

5 Thoha Hamim (dkk)., Resolusi Konflik Islam Indonesia, Yogyakarta: LKiS Aksara, 2007, hlm
V

6 Di tahun 1998, kira-kira 88% dari 222 juta penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam,
5% Protestan, 3% Katholik, 2% Hindu, 1% Buddha, dan 1% kepercayaan lainnya. Lihat; Agama
di Indonesia, Wikipedia

7 A Budiman, The Lonely Road of the Intellectual: Scholars in Indonesia, (terjm) Fatimah
Husein, Melbourne: Mials, 1999, hlm. 9

8 Fatimah Husain, Hubungan Muslim-Kristen dan Pemerintah Orde Baru Indonesia: Perspektif
Sejarah, Yogyakarta: Aditya Media, 2000, hlm. 71

9Kalimat ketuhanan, dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya diganti dengan
"Ketuhanan Yang Maha Esa".

10 Artikel Lepas, Piagam Jakarta dan Hubungan antar Umat BerAgama, Email Procteceted,
oleh: Mbah Dukun S
11 Tercatat bahwa pada periode 1965-1968, jumlah orang yang berpindah ke agama Kristen
adalah sekitar 3 juta orang, sekitar 2,5 juta di antara mereka berasal dari kaum
abangan. Pedoman(Jakarta, 21 Januari 1969).

12 Misbah Zulfa Elizabeth., Multi Etnis Indonesia dan Potensi konflik di Dalamnya, dalam
Mediasi dan Rseolusi Konflik di Indoenesia, Semarang: Walisongo Media Center, 2007, hlm.6-7

13 Agus Surata, Atasi Konflik Etnis, Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2001, hlm, 52-55

14 Ciri-ciri Kekerasan: 1. kekerasan adalah upaya paksa yang terdeterminasi pada sasaran
akhir dalam melawan kehendak orang lain. 2. berciri indiferen, beraksi tanpa pengendalian atau sikap
berlebihan dan tidak peduli terhadap hak orang lain. 3. tampak pada aksi dan aktivitas ekstrem yang
sekonyong-konyong, tak diharapkan, dari suatu kodrat yang kejam, membahayakan, atau merugikan.
4. mengedepatkan ketakutan sebagai manifestasi kekerasan dengan sugesti yang hendak ditanamkan
oleh pelaku kejahatan. Lihat: John Galtung dalam Violance, peace, and peace research (1969: 167-
100).

15 Kompas, 26, April, 2006

16 Musahadi HAM, (ed)., Mediasi dan Resolusi Konflik di Indonesia, Semarang: Walisongo
Mediation Center, 2007, hlm. 21-26

17 Lampiran Kepmenag. RI No 84 tahun 1996 tentang petunjuk pelaksanaan


penanggulangan kerawanan dibidang kerukunan keagamaan.

18 Thoha Hamim (dkk), Op.Cit., hlm 55

19 M.Mukhsin Jamil, Mediasi&Resolusi Konflik, Semarang: Walisongo Mediation Center, 2007,


hlm 47

20 Arifin Asegaf, Agama dan Kekerasan, Yogyakarta: Interfidei, 2003, hlm 17

21 Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara., Paradoksal Konflik dan Otonomi Daerah, Jakarta:
M2 Print, 2002, hlm 1-40

22 Thoha Hamim, dkk., Resolusi Konflik Islam Indonesia.,Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara,
2007, hlm 192-196

23 Ibid, hlm 215-216

24 “Kasum Akui Intelejen Lemah,” Surya (Sabtu, 22 Januari, 200), hlm 1

25 “Dia Pakai Preman,” Surya (Jumat, 22 Januari 2000), hlm, 1-15; “Sultan Ternate
Provokator Maluku Utara?,” Surya (Senin, 24 Jamuari, 2000), 1-15

26 Thoha Hamim, Konflik Dalam Perspektif Komunitas Beragama Di Indonesia, Yogyakarta:


LKiS, 2007, hlm 19

27 Laporan menyebutkan bahwa 1655 orang tewas, 1219 luka berat, 2315 lari ke hutan,
6497 rumah terbakar, 45 gereja terbakar, 51 masjid terbakar dan 27,342 dari total jumlah penduduk
833.618 orang mengungsi. “Mega: Satu Generasi Maluku Bisa Habis,” Surya (Kamis, 27 Januari, 200),
1-15
28 “Gus Dur: Aksi Monas Jatuhkan Saya,” Surya (Rabu, 12 Januari, 2000), 1.

29 Faisal H. Basri, Perkembangan dan Prospek Politik Pasca Pemilu, Analisi, no 4, tahun 28
(1999), 383-390

30 Dewi Fortuna, (ed), Konflik Kekerasan Internal., Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005,
hlm 317-321

31 Marc Gopin, Between Eden and Armageddon, Oxford University Press:2000, hlm 13

32 Hamdan&Bayu, Meretas Jalan Perdamaian Membangun Kemanusian, Yogyakarta, Pustaka


Pelajar:2002, hlm 60

33 Syafa'atun&Limantina (ed), Pluralisme, Konflik dan Perdamaian, Yogyakarta, Pustaka


Pelajar:2002, hlm 29

34 Perry B. Yoder, Shalom: The Bible's word for salvation, justice, and peace, Newton-
Kansas:Faith and Life Press, 1987, hlm 11

35 Ibid, hlm 11-12

36 Dean and Jeffrey, Teori Konflik Sosial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar:2004, hlm 15

37 Hamdan, Op.Cit, hlm 62

Anda mungkin juga menyukai