Anda di halaman 1dari 20

PERANAN HUKUM DALAM MENYELESIKAN KONFLIK SOSIAL

MASYARAKAT DI INDONESIA

I. LARAR BELAKANG

Secara demografis, Indonesia tidak dapat dikategorikan sebagai negara

yang homogen, tetapi sebaliknya sebagai negara yang prural dan heterogen.

Pruralisme demografis yang telah menyebabkan munculnya pluralisme budaya

atau multikulturalise yang merupakan karakter khusus dari bangsa Indonesi

sebagai akibat dari kondisi alamiah, khususnya sifatnya sebagai negara maritim

secara geogarafis yang dipisahakn oleh samudra, laut, selat, sungai, pegunaungan

dan batas-batas alam lainnya.

Istilah multikulturalisme secara umum diterima secara positif oleh

masyarakat Indonesia. Ini tentu ada kaitannya dengan realitas masyarakat

Indonesia yang majemuk. Kemajemukan masyarakat Indonesia terlihat dari

beberapa fakta berikut: tersebar dalam kepulauan yang terdiri atas 13.667 pulau

(meskipun tidak seluruhnya berpenghuni), terbagi ke dalam 358 suku bangsa dan

200 subsuku bangsa, memeluk beragam agama dan kepercayaan yang menurut

statistik: Islam 88,1%, Kristen dan Katolik 7,89%, Hindu 2,5%, Budha 1% dan

yang lain 1% (dengan catatan ada pula penduduk yang menganut keyakinan yang

tidak termasuk agama resmi pemerintah, namun di kartu tanda penduduk

menyebut diri sebagai pemeluk agama resmi pemerintah), dan riwayat kultural

percampuran berbagai macam pengaruh budaya, mulai dari kultur Nusantara asli,

Hindu, Islam, Kristen, dan juga Barat modern.

1
Kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini tengah menghadapi ancaman

serius berkaitan dengan mengerasnya konflik-konflik dalam masyarakat, baik

yang bersifat vertikal maupun horizontal. Sumber konflik tersebut bisa berasal

dari perbedaan nilai-nilai dan ideologi, maupun intervensi kepentingan luar negeri

yang bahkan dapat membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara,

dan keselamatan segenap bangsa. Konflik tersebut apabila didukung oleh

kekuatan nyata yang terorganisir tentunya akan menjadi musuh yang potensial

bagi NKRI. Contoh nyata dari konflik sosial yang sering terjadi adalah konflik

yang timbul dalam pergaulan umat beragama baik intern maupun antar umat

beragama seperti munculnya kekerasan, perusakan rumah ibadah dan kekerasan

agama lainnya yang dilakukan oleh masyarakat sipil.

Selian itu konflik-konflik yang terjadi dalam masyarakt juga disebabkan

lagi dengan berbagai bentuk diskriminasi dan marginalisasi dalam pengaturan

sosial-ekonomi , politik, dan pemanfaatan sumber daya alam, bahkan kehidupan

budaya. Berbagai perasaan ketidakadilan dan ketidakpuasan umum pun

berkecamuk dan meledak menjadi tragedi kemanusiaan.

Problem yang dihadapi Indonesia sebagai sebuah masyarakat majemuk,

terpusat pada hubungan antara pemerintah attau sistem nasional dan kelompok-

kelompok etnis. Presiden Soekarno pernah mendukung kebijakan penyatuan,

sekarang berubah menjadi pemberontakan masa pemerintahannya. Pada masa

pemerintahan Soeharto, kebijakn tentang kesatuan dan keseragaman tetap di

dukung, bahkan sebagai alat untuk memobilisasi massa agar tidak menentang

kebijakan-kebijakan pemerintah

2
Melalui berbagai produk perundang-undangan maupaun praktik hukum

yang dilakukan oleh birokrasi, aparat keamanan dan pengadilan, dapat diketahui

bagaimana kekerasan beroperasi serta memproduksi diri dalam berbagai sikap dan

perilaku sosial masyarakat di Indonesia. Pelaksanaan hukum di Indonesia telah

melembagakan kekerasan dalam berbagai bentuk pengaturan, kebijakan dan

putusan hukum yang menyebabkan terjadinya ketipangan sosial ekonomi,

diskriminasi, dan perilaku kekerasan sehari-hari.

Misalnya Kebijakan Pemerintah Tentang Komersialisasi Hutan di

Kalimanatn, merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya konfik Etnis Dayak

dan Madura di wilayah Kalimantan Barat dan Kalimanatan Tengah.

Konflik adalah fenomena sosial yang selalu saja terjadi di dalam

kehidupan setiap kouniatas dan konflik tidak dapat dimusnakan atau dihindari

(Dahrendorf, 1958 dan Coser, 1956 dalam Turner, 1982: 139-196).

II. RUMUSAN MASALAH


1. Bagaimana perkembangan Konflik Sosial di Indonesia ?
2. Mengapa Konflik antara Kelompok Etnis dan Agama sering terjadi di

Indonesia ?
3. Apa solusi untuk masalah tersebut ?
4. Bagaimana Peran Hukum dalam Menyelesaikan Konflik Sosial

tersebut?
III. TUJUAN PENULISAN
Makalah ini bertujuan untuk;
1. Menjelaskan latarbelakang terjadinya konflik sosial di Indonesia.
2. Mengarisbawahi faktor-faktor yang mendasari terjadinya konflik-

konflik tersebut.
3. Menyertakan Solusi-solusi untuk menghadapi masalah konflik-konflik

sosial.

3
4. Mengkaji Peran Hukum dalam Penyelesaian konflik Sosial.
IV. PEMBAHASAN
A. Konflik di Dalam Masyarakat

Sebagai sebuah negara multi etnik, multi budaya, dan multi religi,

Indonesai selalu dihantui dengan kerentanan ancaman terjadinya konflik dengan

beragam latar belakang, mulai konflik berbasis identitas, etno comunal, separatis,

perebutan akses sumberdaya alam hingga konflik berskala mikro seperti tawuran

antar pemuda, sengketa antar penduduk dan sebagainya. Semuanya bisa

mengakibatkan petaka bila tidak diknola dengan baik oleh pemerintah. Apalagi

sejarah memperlihatkan masyarakat Indonesia lebih rentan dan sensitif dengan

keterancaman identitas (security of identity) dibanding dengan keterancaman dari

persoalan struktural (security of structural problem). Meski masih bisa

diperdebatkan, faktanya orang Indonesia mudah disulut dan dimobilisasi apa bila

ada simbol kesukuan, agama, dan budaya yang disinggung. Simak saja kasus

seperti ajaran Ahmadiyah, Lia Eden, yang menyulut kemarahan sebagian umat

Islam. Namun Indonesia tidak pernah melakukan revolusi dan perlawanan massif

meski kebijakan pemerintah Faktanya sejak zaman Orde Baru-hingga sekarang,

semakin memiskinkan dan meminggirkan, seperti program kenaikan BBM, yang

malah tidak menimbulkan gejolak dan perlawanan massal pada negara. Padahal

akar masalah konflik sesungguhnya justru diakibatkan oleh masalah-masalah

struktural-kekuasaan ekonomi maupun politik, yang terpendam dan laten

sepanjang masa Orde Baru. Di mana tidak hadirnya kebijakan inklusif dibidang

ekonomi, politik, dan sosial, yang berakibat terjadinya kesenjangan horisontal

antar kelompok dibidang ekonomi (kekayaan, pekerjaan, dan pendapatan) serta

4
ketidakseimbangan manfaat secara geografis. Dari sisi politik, bisa jadi semua

kelompok penting dimasyarakat tidak pernah diikutsertakan dalam kekuasaan

politik, administrasi pemerintahan, serta kekuasaan birokrasi lainnya.

Akar masalah inilah, yang mengakibatkan Indonesia, meminjam istilah

Ihsan Malik Direktur Titian Perdamain, bagaikan padang rumput ilalang yang

kering kerontang, tinggal menunggu siapa yang mau menyalakan korek api untuk

membakarnya.

Pada masa Orde Baru dimana kekuasaan sangat sentral dan peran negara

hegemonik dan dominatif, maka mekanisme penyelesaian konflik lebih

menonjolkan tindakan represif dan militeris. Model ini umum dikenal sebagai

kebijakan stike and carrot, memberikan kue pembangunan ekonomi namun

pemerintah juga menggunakan mekanisme gebuk apabila masyarakat tidak patuh

pada aturan atau kebijakan negara. Pola penyelesaain ini bahkan seragam hingga

keseluruh Pelosok Nusantara. Terutama akibat penyeragaman instusi lokal dan

dipaksakannya UU 5 tahun 1979 tentang pemerintahan Desa, Maka instusi adat

yang juga berfungsi untuk melakukan penyelesaian sengketa nyarus lumpuh Total.

di Sumatera Barat struktur pemerintahan nagari nyaris lumpuh dan tidak berfungsi

maksimal akibat diberlakukannya pemerintahan desa. UU ini juga secara

sistematis menghilangkan peran Kepala Desa sebagai Hakim Perdamaian Desa,

karena sulurh penyelesaian konflik ditangani langsung oleh aparat militer dari

Babinsa hingga Kodim. Bahkan peran intusi peradilan maupun instusi kepolisian

juga tidak maksimal akbiat peran sentral militer dalam kehidupan masyarakat

Indonesia sehari-hari. Karena peran dominasi militer inilah mekanisme

5
penyelesaian konfliknya menghasilkan kepatuhan sesaat pada masyarakat.

Kepatuhan karena ketakutan, namun memendam potensi konflik dikemudian hari.

Sementara menurut Gerry van Kliken dari Koninklijk Instituut voor Taal

(KITLV), Leiden, Belanda dalam konferensi internasional tentang konflik Asia

Pasifik yang diadakan oleh LIPI, MOST, UNDP dan UNESCO di Jakarta 22

Oktober 2003 menyebutkan (didasarkan atas penelitiannya) bahwa konflik yang

terjadi pada masa setelah Soeharto jatuh seperti Ambon, Sampit, Poso yang terjadi

tahun 1998 dan 2001 lebih didorong oleh eskalasi isu, baik melalui penyebaran

informasi lewat jalur yang sudah terbentuk (difusi) maupun penyebaran antar

komunitas yang sebelumnya tidak memiliki ikatan sosial (brokerage). Ikatan yang

kemudian muncul antar komunitas ini membuat konflik Poso, Ambon, Sampit

yang bermula dari pertengkaran dua pemuda mabuk menjadi konflik antar agama

yang mendapat perhatian internasional.

Potensi konfik ini terpendam selama Orde Baru, akibat dari kontrol

pemerintah yang begitu ketat, sehingga tidak memberikan ruang bagi masyarakat

di daerah konflik untuk membicarakan berbagai problem identitas diruang publik

yang sehat. Perbedaan agama maupun suku, memunculkan persoalan baru ketika

dikaitkan dengan posisi dan distribusi kekuasaan. Pemerintah Orde Baru tidak

memberikan ruang terjadinya negosiasi, namun ditutup rapat melalui state

aparatus. Dengan pola rekrutmen kepemimpian lokal yang juga diatur oleh

pemerintahan pusat. Keragaman faktor pemicu konflik di Era Orde Baru

menunjukan kompleksitas problem yang dihadapi masyarakat di banyak daerah

yang rentan konflik, di daerah di mana komposisi penduduk dan etnisitas

6
mengalami relasi pasang surut dan keberimbangan kompoisi kependudukan, maka

potensi kerusuhan konflik berlatar agama maupun suku rentan terjadi. Namun

dibeberapa daerah yang potensi sumberdaya melimpah seperi Aceh, Papua,

Kalimantan Timur, dan Riau maka potensi konflik dengan nuansa separatis sangat

menonjol. Beberapa bahkan sudah menggunakan perlawanan bersenjata seperti

Gerakan Aceh Merdeka (GAM) maupun Organisasi Papua Merdeka (OPM). Yang

banyak memberikan tekanan pada pemerintah Pusat, dan menguras energi

kekuasaan dengan meninbulka banyak korban di kedua belah pihak.

Penyelesaian konflik separatis selalu menggunakan Operasi Milter di Aceh

Bahkan di jadikan Daerah Operasi Milter yang memakan ribuan korban selama

masa operasi tersebut di berlakukan. Demikian juga di Papua, pola operasi militer

dikedepankan, sehingga peluang menyelesaikan konflik berdasarkan musyawarah

mauupun dialog nyaris tidak berjalan dengan baik. Baru pada Era reformasi

konflik separatis berhasilkan diselesaikan, melalui perjanjian Helsenki di Aceh

serta pemberlakukan UU Otonomi Khusus maupun Papua.

Demikian juga penyelesaian konflik identitas di Masa Orde Baru masa

awal 1990, seperti Kerusuhan dan Pembakaran gereja di Situbondo. Kerusuhan

Tasikmalaya, Kerusuhan di Banjarmasin, dan Rengas Dengklok, hingga

kerusuhan 27 Juli 1996 diselesaikan dengan cara penidakan hukum represif dan

militeris. Para pelaku konflik tidak pernah diadili secara transparan, bahkan

beberapa ditutupi hingga memunculkan misteri siapa aktor pelaku sesungguhnya

dari kerusuhan identitas di Masa Orde Baru. Namun hampir dari seluruh persoalan

konflik yang mengemuka baik pada masa orde baru mapunmasa reformasi,

7
Pemuda selalu menjadi faktor pemicu yang menyulut esklalasi konflik sedemikian

besar sehingga membahayakan sendi berbangsa dan bernegara. Pemuda yang

seharusnya menjadi motor penggerak pembangunan dan kemajuan daerah justru

berperilaku sebalikanya. Faktor kepemudaan harus dijadikan pertimbangan

pemerintah bila RUU penangan Konflik akan segera di bahas di DPR.

Fakta memperlihatakan bahwa beberapa kerusuhan sosial di Indonesia

bahkan kerusuhan separatis, identitas, maupun konflik antara masyarakat dengan

negara, kejadiannya selalu dipicu oleh bentrokan kaum muda. Data Base Pola

Kekerasan Kolektif di Indonesia (1990-2003) hasil kejian UNSFIR dengan Divisi

Konflik dan Perdamaian LP3ES dan Pusat Pemulihan Konflik UNDP di 14

Propinsi, menunjukkan bahwa konflik yang dipicu oleh pemuda, adalah penyebab

terbesar dari seluruh konflik yang ada di Indonesia

B. Faktor-Faktor Yang Mendasari Terjadinya Konflik Antara

Kelompok Etnis Dan Agama Di Indonesia


1. Budaya kekerasan

Ini adalah situasi yang mengerikan dan berbahaya, tidak saja bagai orang-

oarang yang terlibat dalam konflik, tetapi juga bagi seluruh rakyat Indonesia.

Secara khusus konflik agama mengecam equilibrium masyarakat yang sensitif

bagi Indonesia. Setiap konflik memiliki latarbelakang sejarah, sosial, ekonomi,

budaya, politik sendiri-sendiri. Hal itu merupakan akibat dari faktor stuktural dan

gegagalan para politisi dan lainya dalammengambil tindakan. Seringkali latar

belakang provolasi yang terencana oleh pihak-pihak dengan kepentingan

tersebunyi dalam mengarahkan kekacauan.

8
Masyarakat kita nampaknya sedng sakit. Setiap kesalahpamahaman kecil

sering kali melibatakan komunitas masing-masing. Masyarakat sedang dalam

pegangan budaya kekerasan diaman konflik yang bisasa terjadi sehari-hari tidak

lagi dikeloloa dengan cara yang konstrukstif, tetapi sebaliknya segera menjadi

kekersan dan bisa melibatakan seluruh komunitas. Hal itu terjadi tanpa ada tanda-

tanda bahwa pihak yang tertarik dapat dengan mudah mengambil keuntungan dari

situasi ini.

2. Latar belakang Yang Kompleks

Ada empat faktor yang membuat budaya kekerasan dapat berkembnag,

antara lain;

Pertama,modernisasi dan globalisasi telah jauh memasuki masyarakat kiata,

ebagaiaman yang harus dilakukan oleh banyak negara-negara bekas jajahan

lainnya. Modernisasi dan globalisasi mempunyai daya tekan yang luar biasa

terhadap masyarakat karena keuntungan dan ancamannya tidak terdistribusukan

secara merata. Disamping itu, proses transformasi budaya dari masyarakat

tradisional menuju masyarakat pos-tradisional mencibtakan disorientasi , dislokasi

dan disfungsionalisasi dari mekanisme masyarakat tradisonal. Individu-individu

dan seluruh komunitas mengalami proses ini sebagai ancaman ekonomi, psikologi

dan politik terhadap identitas dan bahakan keberadaan mereka. dalam situasi

seperti ini, cara lama dalam pengelolaan konflik tidak lagi efektif. Cara

tradiosional dalam menghadapi pluralisme di masyarakat tidak lagi efektif.

Sebagai akibatnya berkembnaglah kecendrungan primordialistis yang mengarah

9
pada sikap eksklusif dan pandangan agresif terhadap mereka yang berasal dari

komunitas luar. Modernisasi dihadapi sebagai sebuah situasi ketiadakamanan dan

ketidakadlan.

Kedua, adalah akumulasi kebencian didalam masyarakat. Sering kali provokasi

dituduh sebagai pengacau dalam masyarakat. Apa yang membuat masyarakat

mudah sekali diprovokasi? Tidak dapat disangkali bahwa kecendrungan eksklusif

sednag meningkat, baik dalam komunitas agama maupuan dalam komunitas suku.

Oarang-orang yang berasla dari agama lain dianggap tidak bertuhan dan anak-

anaa disuruh menghindari kontak dengan budaya kafir. Saling tidka percaya,

prejudis berakumulasi dan hubungan antarkomunal menjadi semakain panas.

Ketiga, masyarakat kita secara umum lebih banyak dalam genggaman budaya

kekerasan. Stuktur atau sususunan n persatuan nasional belkangan ini kelhatan

pecah. Solah-olah persatuan nasional kita telah mengalmi stagnasi dalam

kapabilitasnya untuk menmbangun solidaritas di atas tingkat Primodial, sejenis

menyempitan pusat perhatan terhadap kelompok seerang dengan cara yang

eksklusif, dimana kapabilitas untuk meraskan sebagai kita orang Indonesa

berubah menjadi perspekifkita melawan mereka, di mana mereka dapat

berarti pemerintah, militer, Cina, orang-orang dari agama atau suku lain, atau

bahkan kampung-kampung tetangga.

3. Sebuah Sejarah yang sulit

Konflik antar agama dan ketegangan etnis di sebakan oleh adanya

prasangka dan kecurigaan antara kelompok yang berbeda. Hal ini secara khusus

10
terlihat berkaitan dengan kasus hubungan Islam dan Kristen. Peristiwa sejarah

Perang Salib dan Penjajahan, Invansi Arab dan 300 tahun ancaman Turki. Umat

Islam mencurigai niat orang Kristen karena Kristen datang bersamaan dengan

penjajah. Sebaliknya,

Situasi umum di Indonesia, menyebabkan peningkatan kencendrungan

ekslusif baik dalam komunitas agama maupun etnis. Saling tidak percaya dan

prasangka berakumulasi danhubungan antar komunal menjadi semakin panas.

Dengan demikian, ras ssentif aam membentuk bahaya yang terus menerus

terhadap keharmonisan beragama dan pelaksanaan toleransi.

C. Peran Hukum dalam Penyelsesaian Konflik Sosial

Berbicara mengenai peran hukum dalm mennyelesaiakan konflik sosial,

akan merunjuk pada hubungan Fungsi Hukum dalam Masyarakat, Konflik dan

Perubahan Sosial, serta Penegak Hukum di Indonesia.

1. Fungsi Hukum dalam Masyarakat


a. Hukum sebagai Kaedah Sosial

Dalam masyarakat hanya diatur oleh hukum. Selain oleh hukum,

kehidupan manusia dalam masyarakat selain dipedomani moral manusia

itu sendiri diatur pula oleh agama , kaedah susila, kaedah kesopanan, adat-

kebiasaan dan kaedah-kaedah sosial lainnya. antara hukum dan kaedah-

kaedah sosial lainnya in, terdapat jalinan hubungan yang erat yang satu

memperkuat yang lainnya. Adakalanya hukum tidak sesuai atau serasi

dengan kaedah-kaedah sosial lainnya itu.

11
Akan tetapi dalam satu hal, hukum berbeda dari kaedah sosial yang

lainnya, yakni bahwa penataan ketetntuan-ketetntuannya dapat dipaksakan

dengan suatu cara yang teratur. Artinya, pemaksaan guna menjamin

penataan ketentuan-ketentuan hukum itu sendiri tun duk pada aturan-

aturan tertentu, baik mengenai bentuk, cara maupun alat pelaksanannya.

b. Hukum sebagai Pengendali Sosial

Bertujuuan untuk; (1) yang tujuannya bersifat eksploitatif, oleh karena

dimotivasikan kepentingan diri, baik secara langsung maupun tidak

langsung (2) yang tujuannya bersifat regulative, oleh karen adilandaskan

pada kebiasaan atau adat-istiadat (3) yang tujuannya bersifat kreatif atau

konstruktif, oleh karena diarahkan pada perubahan social dan bermanfaat.

Pengendalian sosial dapat berupa; (1) badan-badan institusional, mislnya

hukum adalah pengendalian sosial yang memiliki kekuatan (2)

nonistitusional .

2. Konflik dan Perubahan Hukum

Timbulnya konflik adalah berangkat dari kondisi kemajemukan struktur

masyarakat dan konflik merupakan fenomen a yang sering terjadi sepanjang

proses kehidupan manusia. Dari sudut manapun kita melihat konflik, bahwa

konflik tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial.

Didalam kenyatan hidup manusia di man apun dan kapanpuan selalu ada

saj abentrokan sikap-sikap, pendaat-pendapat, perilaku-perilaku,tujuan-tujuan,

12
dan kebutuhankebutuhan yang selalu bertentangan sehinga proses yang demikian

itulah mengaah kepada perubhan hukum.

Ralf Dahrendrof (1976:162) dalam Sunarto mengatakan bahwa setiap

masyarakat tunduk pada proses perubahan dan perubahan ada di mana-mana,

disensus dan konflik terdapat dimana-mana, setiap unsur masyarakt menyumbang

pada disintergrasi dan perubahan masyarakat, setiap perubahan masyarakat

didasrkan didasrkan pada paksaan beberapa oarang anggota terhadap anggota

lainnya.

Konflik yang membawa perubahan bagi masyarakat di Indonesia bisa saja

kita lihat penjajahan Belanda, zaman penjajahan Jepang, zaman kemerdekaan

(masa orde lama, orde baru, Reformasi)

Berangkat dari pemikiran bangkitnya kekuasaan bourgeoisie, secara

cermat sasarannya adalah perjuangan mereka untuk merombak sistem-sistem

hukum yang berlawanan dengan keentingannya. W. Kusuma menyatakan bahwa

perubahan hukum adalah termasuk produk konflik antara kelas-kelas sosial yang

amana menghendaikai suatu pranta-pranta pengadialan sosial yang mana

menhendaki demi tercapainya tujuan-tujuan mereka untuk memaksakan dan

mempertahankan sistem hubungan sosial secara khusus.

3. Penegak Hukum

Berbicara penegakan hukum berati berbicara juag antara laian tentang

lawyer atau jurist yang menempati pada posisi trategis dalam penegakan

supermasi hukum. Memaknai hukum sebagai perangkat perturan yang mengatur

13
masyarakat, barulah berati apabila senyatanya didukung oleh sistem sanski yang

tegas dan jelas keadilannya.

Konsep hukum atas penegakan supermasi hukum yang diolah oleh negara

ternyata belumlah menjadi sesuatu yang sempurna dalam implikasinya walaupun

siakui bahwa secara garis besarnya sudah memenuhi kerangka ideal menurut

ukuran sipembuatnya

Bercermian dari kenyataan tersebut, bhwa masyarakat Indonesia bukanlah

masyarakat yang sadar hukum. Sehingga terbukti, berapa banyak dan seringnya

terjadi nuasa kekerasna yang secara langsung dengan dengan mobilitas massa dan

atau kekerasna secara komunal telah mengadili dan mengahakimi sendiri pelaku

tindak kriminal terutama yang bersentuhan langsung dengan masyarakat sehingga

pembakaran, pengeroyokan, penjarahan, serta pembunuhan yang di lakukan

massa adalah sisi lain cara masyarakat mengimplimentasikan arti dari sebuah

keadilan atau cara yang tepat dalam mereka berhukum, karen ainstitusi negara

tidak lagi dianggap sebagai tempat dalam memproses dan menemukan keadilan.

4. Tahap-tahap penyelesaian Konflik

Adapun bentuk penyelesaian konflik yang lazim dipakai, yakni konsiliasi,

mediasi, arbitrasi, koersi (paksaan), detente. Urutan ini berdasarkan kebiasaan

orang mencari penyelesaian suatu masalah, yakni cara yang tidak formal lebih

dahulu, kemudian cara yang formal, jika cara pertama tidak membawa hasil.

a. Konsiliasi. Konsiliasi berasal dari kata Latin conciliatio atau

perdamaian yaitu suatu cara untuk mempertemukan pihak-pihak yang

14
berselisih guna mencapai persetujuan bersama untuk berdamai. Dalam

proses pihak-pihak yang berkepentingan dapat meminta bantuan pihak

ke tiga. Namun dalam hal ini pihak ketiga tidak bertugas secara

menyeluruh dan tuntas. Ia hanya memberikan pertimbangan-

pertimbangan yang dianggapnya baik kepada kedua pihak yang

berselisih untuk menghentikan sengketanya. Contoh yang lazim

terjadi misalnya pendamaian antara serikat buruh dan majikan. Yang

hadir dalam pertemuan konsiliasi ialah wakil dari serikat buruh, wakil

dari majikan/perusahaan serta ketiga yaitu juru damai dari pemerintah,

dalam hal ini Departemen Tenaga. Kerja. Langkah-langkah untuk

berdamai diberikan oleh pihak ketiga, tetapi yang harus mengambil

keputusan untuk berdamai adalah pihak serikat buruh dan pihak

majikan sendiri.
b. Mediasi. Mediasi berasal dari kata Latin mediatio, yaitu suatu cara

menyelesaikan pertikaian dengan menggunakan seorang pengantara

(mediator). Dalam hal ini fungsi seorang mediator hampir sama

dengan seorang konsiliator. Seorang mediator juga tidak mempunyai

wewenang untuk memberikan keputusan yang mengikat;

keputusannya hanya bersifat konsultatif. Pihak-pihak yang

bersengketa sendirilah yang harus mengambil keputusan untuk

menghentikan perselisihan.
c. Arbitrasi. Arbitrasi berasal dari kata Latin arbitrium, artinya melalui

pengadilan, dengan seorang hakim (arbiter) sebagai pengambil

keputusan. Arbitrasi berbeda dengan konsiliasi dan mediasi. Seorang

15
arbiter memberi keputusan yang mengikat kedua pihak yang

bersengketa, artinya keputusan seorang hakim harus ditaati. Apabila

salah satu pihak tidak menerima keputusan itu, ia dapat naik banding

kepada pengadilan yang lebih tinggi sampai instansi pengadilan

nasional yang tertinggi. Dalam hal persengketaan antara dua negara

dapat ditunjuk negara ketiga sebagai arbiter, atau instansi internasional

lain seperti PBB. Orang-orang yang bersengketa tidak selalu perlu

mencari keputusan secara formal melalui pengadilan. Dalam masalah

biasa dan pada lingkup yang sempit pihak-pihak yang bersengketa

mencari seseorang atau suatu instansi swasta sebagai arbiter. Cara

yang tidak formal itu sering diambil dalam perlombaan dan

pertandingan. Dalam. hal ini yang bertindak sebagai arbiter adalah

wasit.
d. Koersi. Koersi ialah suatu cara menyelesaikan pertikaian dengan

menggunakan paksaan fisik atau pun psikologis. Bila paksaan

psikologis tidak berhasil, dipakailah paksaan fisik. Pihak yang biasa

menggunakan paksaan adalah pihak yang kuat, pihak yang merasa

yakin menang, bahkan sanggup menghancurkan pihak musuh. Pihak

inilah yang menentukan syarat-syarat untuk menyerah dan berdamai

yang harus diterima pihak yang lemah. Misalnya, dalam perang dunia

II Amerika memaksa Jepang untuk menghentikan perang dan

menerima syarat-syarat damai.


e. Detente. Detente berasal dari kata Perancis yang berarti

mengendorkan. Pengertian yang diambil dari dunia diplomasi ini

16
berarti mengurangi hubungan tegang antara dua pihak yang bertikai.

Cara ini hanya merupakan persiapan untuk mengadakan pendekatan

dalam rangka pembicaraan tentang langkah-langkah mencapai

perdamaian. Jadi hal ini belum ada penyelesaian definitif, belum ada

pihak yang dinyatakan kalah atau menang. Dalam praktek, detente

sering dipakai sebagai peluang untuk memperkuat diri masing-

masing; perang fisik diganti dengan perang saraf. Lama masa

istirahat itu. tidak tertentu; jika masing-masing pihak merasa diri

lebih kuat, biasanya.

V. PENUTUP
1. Kesimpulan

Dalam beberapa tahun terakhir konflik sosial marak terjadi di

Indonesia. Konflik Sosial tersebut berupa konflik antaragama maupun

Etnis. Perlu diketahui, bahwa pada stu sisi, etnisitas adalah sala stu energi

yang menentukn langkah-langkah, pertumbuhan, pembangunan dan

perusakan. Hubungan dan kerja sama antar etnis telah mencibtakan

pembangauan dunia, misalnya Indonesia mendeklarasikan Sumpah

Pemuda (28 Oktober 1928). Perbedaan ras ini membangun sebuah keadaan

yang memproses suatu adasar atau platform nasional yang disepakati oleh

pendudukanya. Dalam hal ini membuktikan kekuatan suatu negara terletak

pada ras yang berbeda yang menyatukan diri mereka melalui kerangka-

kerangka kerja sama dan saling ketergantunagn.

17
Namun dilain sisi, perbedaan etnis telah memprovokasi terjadinya

konflik yang menggangu stabilitas negara dan dunia. Sutu kelompok etnis

menghancurkan kelompok etnis lainnya.

Bahaya laten yang harus dihindari oleh masyarakat kita dna dunia

adalah etno-sentrisme yang tidak hanya menolak ikatan etnis, tetapi

memenjarakan hubungan dekat (akrab) mereka. sutu kelompok etnis

merasa diri mereka lebih hebat, superior, lebih berhak, mempunyai status

yang lebih tinggi dari etnis lainnya. Perasaan ini membawa manusia

kelembah iindividualis, kosong dari perasaan sosial dan sombong.

Berbicara mengenai peran hukum dalm mennyelesaiakan konflik

sosial, akan merunjuk pada hubungan Fungsi Hukum dalam Masyarakat,

Konflik dan Perubahan Sosial, serta Penegak Hukum di Indonesia.

Model dan mekanisme penyelesaikan konflk sosial di Indonesia, selalu

di topang oleh 2 (dua) sisi penyelesian, pertama model penyelesian yang

formal dan prosedural yang diperanakan oleh pemerintah dengan aparat

hukumnya, kedua model penyelesian yang bersifat kultural yang

diperankan seutuhnya oleh masyarakat lokal dengan menggunkan

mekanisme adat yang telah berlaku secara turun temurun.

2. Saran
Adapun solusi-solusi yang disarankan adalah :
1) Membangun kembali rule of law (supermasi hukum). Sekarang

masyarakat melaksanaan hukum dengan tangan mereka sendiri

18
karena mereka tidak percaya niat bahakan kemampuan untuk

melaksanakan hukum.
a) Perundang-undangan. Peraturan serta institusi yang kita miliki

sekarang ini sebagian besar merupaka warisan kolonial

Belanda, ada banyak hal yang tidak sesuai lagi dengan kondisi

di Indonesia. Perlunya untuk membuat Undang-undang baru.


b) Aparat Penegak Hukumnya. Untuk penegakan supermasi

hukum, yang sangat mendasara adalah perbaiakn struktur

aparatur hukumnya, sementara peraturan perundangan bisa

dilakukan sambil jalan yaitu perbaiakn moralitas dan komitmen

sebagai sorang penegak hukum sehingga bertanggung jawab

secara moral.
c) Kultur hukum masyarakatnya. Indonesia merupakan negara

yang prural oleh sebab itu pembanguanan hukum di Indonesi

aharus menurut konsepsi yang sesuai dengan jati diri bangsa

Indonesia yang seutuhnya.


2) Toleransi dan Kejujuran
a) Sindiran-sindiran negatif terhadap agama lain seharusnya tidak

dilakuakan
b) Anak-anak harus didorong untuk saling menyapa satu sama

lain dalam perbedaan agaa, suku dan ras.


c) Pendidikan. Memasukan bimbingan terhadap komitmen untuk

menolak prinsip kekerasan dalam rangka mencapai tujuan-

tujuan yang mulia.

19
DAFTAR PUSTAKA

Affandi, Hakimul Ikwan. 2004. Akar Konflik sepanjang Zaman. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Habib, Achmad. 2004. Konfflik Antaretnik Di Perdesaan. Yogyakarta: IkiS

Yogyakarta.

INIS. 2003. Konflik Komunal Di Indonesia Saat Ini. Jakarta: INIS.

Utsman, Sabian. 2009. Dasar-Dasar Sosiologi Hukum. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

20

Anda mungkin juga menyukai