PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Isu keadilan dalam pembangunan kewilayahan selalu menjadi
perbincangan hangat, terutama terkait dengan masalah kesenjangan wilayah
(regional imbalances). Hingga saat ini, isu kesenjangan wilayah di Indonesia
terpusat kepada kesenjangan antara desa dan kota, kawasan timur dan kawasan
barat, serta antara Jawa dan luar Jawa. Banyak pakar yang percaya bahwa
kesenjangan wilayah merupakan harga wajar yang harus dibayar dalam proses
pembangunan. Hal ini karena terdapat keterkaitan antara wilayah satu dengan
wilayah yang lain sebagai sebuah sistem. Dengan demikian, ada suatu proses
interaksi dan interdependensi antar subsistem.
Konflik Papua merupakan salah satu contoh akibat dari ketimpangan
pembangunan ekonomi di Indonesia. Gagalnya model pembangunan melalui
otonomi khusus menjadi bukti carut-marutnya penetapan konsensus yang
dilakukan oleh pemerintah terhadap Papua. Bahkan, permasalahan ini turut
memberikan dampak negatif yang masif terhadap integritas nasional.
Konflik Papua adalah konflik di Papua dan Papua Barat di Indonesia.
Ketimpangan yang terjadi antara Papua dengan Indonesia sejak bergabung pada
tahun 1963 telah melahirkan organisasi separatis, yaitu Organisasi Papua Merdeka
(OPM). Konflik ini semakin memanas ketika pembagian hasil yang tidak adil
bagi masyarakat Papua terhadap eksploitasi wilayahnya yang kaya akan sumber
daya alam. OPM merupakan organisasi bentukan Papua yang bertujuan
memerdekakan diri dari Indonesia, sebagai bentuk dari penolakan atas
ketidakadilan. Bahkan bendera Bintang Kejora telah diciptakan sebagai lambang
negara Papua yang otonom.
2
PEMBAHASAN
Pengertian Disintegrasi Bangsa
1
Saratri Wilonoyudho, “Kesenjangan dalam Pembangunan Kewilayahan,”. Forum
Geografi. 23, no 2 (2009): 168.
7
2
”Papua,” Infocus Credit Suisse, diakses pada Oktober 14, 2012 (8.59 am),
http://infocus.credit-suisse.com?index.cfm?fuseaction-aoidanalytics/en/Papua
3
Ibid
4
Ibid.
8
KESIMPULAN
Permasalahan konflik dan ketimpangan di Papua adalah suatu bukti carut
marutnya kerangka pembangunan di Indonesia. Konflik dalam hal ini sebagai
akibat dari ketimpangan itu sendiri. Meskipun pembangunan yang dilaksanakan
sejauh ini cukup mampu mendorong laju pertumbuhan ekonomi, tetapi dalam
banyak kasus relatif tidak bisa mengurangi ketimpangan (disparity) itu sendiri.
Secara umum ketimpangan yang terjadi meliputi ketimpangan pendapatan yang
menimbulkan jurang perbedaan antara orang kaya dan miskin, ketimpangan
spasial yang menyebabkan adanya wilayah maju (developed region) dan wilayah
tertinggal (underdeveloped region) serta ketimpangan sektoral dan non unggulan.
Konflik Papua tidak bisa dipertahankan dan harus diselesaikan secara
serius. Kasus Papua menjadi lampu kuning bagi pemerintah. Perlu resolusi yang
matang dari pemerintah agar ketimpangan di Papua tidak lagi terjadi. Hal ini
karena ketimpangan yang terjadi di Papua akan terus memicu konflik yang parah,
sehingga dapat merusak integritas nasional. Terlihat bagaimana gerakan OPM
semakin militan memisahkan diri dari Indonesia, akibat dari tindakan represif
aparatur negara.
Otonomi khusus Papua yang diberikan oleh pemerintah pusat lebih
sebagai solusi politik ketimbang solusi kesejahteraan. Itu sebabnya, Otsus yang
10
demikian lebih terlihat sebagi proses politik untuk menekan aspirasi merdeka.
Pada awalnya Otonomi khusus dianggap sebagai berkah besar untuk rakyat
Papua. Masyarakat memiliki ekspektasi yang sangat besar bahwa kebijakan
tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan, namun kemudian berubah menjadi
bencana bagi rakyat dikarenakan salah pengelolaan.
11
DAFTAR PUSTAKA