Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

Disintegrasi Nasional
Disusun untuk memenuhi tugas
Pendidikan kewarganegaraan

DISUSUN OLEH :
Riska Wulandari
Sawariah

Prodi Bisnis Digital

Institut Teknologi dan Bisnis Muhammadiyah


Polewali Mandar 2022
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul “ disintegrasi Bangsa “ tepat pada waktunya.Makalah ini kami susun untuk memenuhi
tugas yang di berikan oleh dosen mata kuliah “ pendidikan Kewarganegaraan “.
Pada kesempatan ini, izinkanlah kami menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima
kasih kepada semua pihak yang dengan tulus dan ikhlas telah memberikan bantuan dan dorongan
kepada kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik
bentuk,isi,maupun teknik penyajiannya.Oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun
dari berbagai pihak kami terima dengan tangan terbuka serta sangat di harapkan.

Wonomulyo, 8 juni 2022

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dewasa ini, bangsa Indonesia banyak mengalami krisis persatuan dan kesatuan.
Banyak orang yang lebih mementingkan kepentingan pribadi dari pada kepentingan umum,
sehingga hilangnya persatuan dan kesatuan ini dapat menyebabkan timbulnya disintegrasi
bangsa. Sedangkan arti dari disintegrasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
hilangnya keutuhan atau persatuan.
Bangsa Indonesia yang kaya dengan keragaman yang dimiliki masyarakatnya
menempatkan dirinya sebagai masyarakat yang plural. Masyarakat yang plural juga
berpotensi dan sangat rentan kekerasan etnik, baik yang dikonstruksi secara kultural maupun
politik. Bila etnisitas, agama, atau elemen premordial lain muncul di pentas politik sebagai
prinsip paling dominan dalam pengaturan negara dan bangsa, apalagi berkeinginan merubah
sistem yang selama ini berlaku, bukan tidak mungkin ancaman disintegrasi bangsa dalam arti
yang sebenarnya akan terjadi di Indonesia.
Terjadinya berbagai konflik di masa transisi pasca pemekaran telah menjauhkan
atau paling tidak memperlambat tujuan pemekaran daerah. Di samping itu, dari hasil studi
yang dilakukan penulis bersama Tim dari Direktorat Otonomi Daerah BAPPENAS tahun 2004,
ditemukan bahwa belum meningkatnya pelayanan kepada masyarakat di beberapa daerah
otonom baru disamping karena persoalan konflik tadi diantaranya diakibatkan juga oleh
persoalan kelembagaan, infrastruktur, dan Sumber Daya Manusia.
Dalam aspek kelembagaan, ditemui bahwa beberapa daerah otonom baru saat
membentuk unit-unit organisasi pemerintah daerah tidak sepenuhnya mempertimbangkan
kondisi daerah dan kebutuhan masyarakat. Pembentukan daerah otonom baru sepertinya
menjadi sarana bagi-bagi jabatan. Terlihat juga adanya kelambatan pembentukan instansi
vertikal, serta kurangnya kesiapan institusi legislatif sebagai partner pemerintah daerah.

B. Rumusan Masalah
Masalah disintegrasi pemekaran daerah dan konflik lokal akhir-akhir ini menjadi
perhatian sekaligus sumber kekhawatiran yang luas, baik di kalangan masyarakat, intelektual,
maupun kalangan pemerintah. Kekhawatiran itu tidak hanya bersumber dari tuntutan
pemisahan diri sebagian rakyat, tetapi juga lantaran maraknya kerusuhan sosial di beberapa
kota besar dan kecil selama akhir-akhir ini.
Masalah yang akan diangkat pada makalah ini adalah:
1. Apakah pengertian disintegrasi itu?
2. Apa dampak dari disintegrasi ?
2
3. Bagaimana upaya untuk mencegah disintegrasi?
4. Apa sajakah Dasar hukum pemekaran wilayah?
5. Apakah penyebab konflik di Papua?
6. Bagaimana sejarah terbentuknya GAM dan upaya pencegahannya?

C. Tujuan penulisan
1. Mengetahui apa itu disintegrasi.
2. Mengetahui dampak dari Integrasi dan konflik lokal.
3. Mengetahui cara mencegah diintegrasi.
4. Mengetahui bagaimana hukum tentang pemekaran daerah?
5. Mengetahui penyebab terjadinya konflik papua.
6. Mengetahui awal terbentuknya GAM sampai upaya yang dilakukan pemerintah dan
pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk menyelesaikan masalah separatis di Aceh.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Disintegrasi Bangsa


Disintegrasi secara harfiah difahami sebagai perpecahan suatu bangsa menjadi bagian-
bagian yang saling terpisah (Webster’s New Encyclopedic Dictionary 1994). Pengertian ini
mengacu pada kata kerja disintegrate, “to lose unity or intergrity by or as if by breaking into
parts”.
Disintegrasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu keadaan tidak bersatu
padu atau keadaan terpecah belah; hilangnya keutuhan atau persatuan; perpecahan.

B. Dampak Disintegrasi Bangsa.


Indonesia sebagai negara kepulauan (Archipelagic State) yang memiliki keanekaragaman
baik dilihat dari segi ras, agama, bahasa, suku bangsa dan adat istiadat, serta kondisi faktual
ini disatu sisi merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang membedakannya dengan bangsa-
bangsa lain yang tetap harus dipelihara. Keanekaragaman tersebut juga mengandung potensi
konflik yang jika tidak dikelola dengan baik dapat mengancam keutuhan, persatuan dan
kesatuan bangsa, seperti gerakan separatisme yang ingin memisahkan diri dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akibat dari ketidakpuasan dan perbedaan kepentingan
yang dapat mengakibatkan terjadinya disintegrasi bangsa.
Potensi disintegrasi bangsa di Indonesia sangatlah besar hal ini dapat dilihat dari
banyaknya permasalahan yang kompleks yang terjadi dan apabila tidak dicari solusi
pemecahannya akan berdampak pada meningkatnya konflik menjadi upaya memisahkan diri
dari NKRI.
Kondisi ini dipengaruhi pula dengan menurunnya rasa nasionalisme yang ada didalam
masyarakat dan dapat berkembang menjadi konflik yang berkepanjangan yang akhirnya
mengarah kepada disintegrasi bangsa, apabila tidak cepat dilakukan tindakan-tindakan yang
bijaksana untuk mencegah dan menanggulanginya sampai pada akar permasalahannya
secara tuntas maka akan menjadi problem yang berkepanjangan.
Nasionalisme yang melambangkan jati diri bangsa Indonesisa yang selama ini demikian
kukuh, kini mulai memperlihatkan keruntuhan. Asas persamaan digerogoti oleh ketidakadilan
pengalokasian kekayaan yang tak berimbang antara pusat dan daerah selama ini.
Menurut Aristoteles, persoalan asas kesejahteraan yang terlalu diumbar, merupakan salah
satu sebab ancaman disintegrasi bangsa, di samping instabilitas yang diakibatkan oleh para
pelaku politik yang tidak lagi bersikap netral. Meskipun barangkali filosof politik klasik
Aristoteles dianggap usang, namun bila dlihat dalam konteks masa kini, orientasinya tetap
bisa dijadikan sebagai acuan.

4
Paling tidak untuk melihat sebab-sebab munculnya disintegrasi bangsa.
Maka menyikapi berbagai kasus dan tuntutan yang mengemuka dari berbagai daerah sudah
barang tentu diperlukan konsekuensi politik dan legitimasi bukan janji-janji sebagaimana yang
dikhawatirkan oleh banyak kalangan.
Legitimasi diperlukan tidak saja untuk menjaga stabilitas tetapi juga menjamin adanyan
perubahan nyata dan konkret yang dapat dirahasiakan langsung oleh warga terhadap tuntutan
dan keinginan mereka. Namun, bagaimanapun juga kita tetap mesti berupaya agar tuntutan
terhadap pemisahan dari kesatuan RI dapat diurungkan.
Dalam hal ini diperlukan kejernihan pikiran, kelapangan dada dan kerendahan hati untuk
merenungkan kembali makna kesatuan dan persatuan, sekaligus menyikapi secara arif dan
bijak terhadap berbagai kasus dari tuntutan berbagai daerah, Aceh khususnya.
Permasalahan konflik yang terjadi saat ini antar partai, daerah, suku, agama dan lain-
lainnya ditenggarai sebagai akibat dari ketidak puasan atas kebijaksanaan pemerintah pusat,
dimana segala sumber dan tatanan hukum dinegara ini berpusat. Dari segala bentuk
permasalahan baik politik, agama, sosial, ekonomi maupun kemanusiaan, sebenarnya
memiliki kesamaan yakni dimulai dari ketidakadilan yang diterima oleh masyarakat Indonesia
pada umumnya sehingga menimbulkan ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat, terutama
bila kita meninjau kembali kekeliruan pemerintah masa lalu dalam menerapkan dan
mempraktekkan kebijaksanaannya.
Konflik yang berkepanjangan dibeberapa daerah saat ini sesungguhnya berawal dari
kekeliruan dalam bidang politik, agama, ekonomi, sosial budaya, hukum dan hankam. Kondisi
tersebut lalu diramu dan dibumbui kekecewaan dan sakit hati beberapa tokoh daerah, tokoh
masyarakat, tokoh partai dan tokoh agama yang merasa disepelekan dan tidak didengar
aspirasi politiknya. Akumulasi dari kekecewaan tersebut menimbulkan gerakan radikal dan
gerakan separatisme yang sulit dipadamkan.
Dalam kecenderungan seperti itu, maka kewaspadaan dan kesiapsiagaan nasional
dalam menghadapi ancaman disintegrasi bangsa harus ditempatkan pada posisi yang tepat
sesuai dengan kepentingan nasional bangsa Indonesia. Oleh karena itu untuk mencegah
ancaman disintegrasi bangsa harus diciptakan keadaan stabilitas keamanan yang mantap dan
dinamis dalam rangka mendukung integrasi bangsa serta menegakkan peraturan hukum
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Indonesia akan disintegrasi atau tidak pasti akan menimbulkan pro dan kontra yang
disebabkan dari sudut pandang mana yang digunakan. Reformasi sudah berjalan kurang lebih
10 tahun, apa yan telah didapat, bahkan rakyat kecil sudah mulai menilai bahwa kehidupan di
masa Orde Baru lebih baik bila dibandingkan dengan saat ini.
Pandapat rakyat tersebut terjadi karena hanya dilihat dari sudut pandang harga
kebutuhan pokok sehari-hari dan itu tidak salah karena hanya satu hal tersebut yang ada
dibenak mereka. Kemudian ada kelompok masyarakat yang selalu menuntut kebebasan, dan
5
oleh kelompok yang lain dikatakan sudah keblabasan.

C. Upaya Mencegah Disintegrasi Bangsa


Ancaman disintegrasi bangsa dibeberapa bagian wilayah sudah berkembang sedemikian
kuat. Bahkan mendapatkan dukungan kuat sebagian masyarakat, segelintir elite politik lokal
maupun elite politik nasional dengan menggunakan beberapa issue global Issue tersebut
meliputi issu demokratisasi, HAM, lingkungan hidup dan lemahnya penegakan hukum serta
sistem keamanan wilayah perbatasan. Oleh sebab itu, pengaruh lingkungan global dan
regional mampu menggeser dan merubah tata nilai dan tata laku sosial budaya masyarakat
Indonesia yang pada akhirnya dapat membawa pengaruh besar terhadap berbagai aspek
kehidupan termasuk pertahanan keamanan.
Dalam kaitan dengan politik pembangunan hukum maka Pancasila yang dimaksudkan
sebagai dasar pencapaian tujuan negara tersebut, melahirkan kaidah-kaidah penuntun, antara
lain:
Pertama, hukum Indonesia harus bertujuan dan menjamin integrasi bangsa baik secara
teritorial maupun ideologis. Hukum-hukum di Indonesia tidak boleh memuat isi yang
berpotensi menyebabkan terjadinya disintegrasi wilayah maupun idiologi.
Kedua, hukum harus bersamaan membangun demokrasi dan nomokrasi. Hukum di
Indonesia tidak dapat dibuat berdasar menang-menangan jumlah pendukung semata tetapi
juga harus mengalir dari filosofi Pancasila dan prosedur yang benar.
Ketiga, membangun keadilan sosial. Tidak dibenarkan munculnya hukum-hukum yang
mendorong atau membiarkan terjadinya jurang sosial-ekonomi karena eksploitasi oleh yang
kuat terhadap yang lemah tanpa perlindungan negara. Hukum harus mampu menjaga agar
yang lemah tidak dibiarkan menghadapi sendiri pihak yang kuat yang sudah pasti akan selalu
dimenangkan oleh yang kuat. Keempat, membangun toleransi beragama dan
berkeadaban.Hukum tidak boleh mengistimewakan atau mendiskrimasi kelompok tertentu
berdasar besar atau kecilnya pemelukan agama.Indonesia bukan negara agama (yang
mendasarkan pada satu agama tertentu) dan bukan negara sekuler (yang tak perduli atau
hampa spirit keagamaan). Hukum negara tidak dapat mewajibkan berlakunya hukum agama,
tetapi negara harus memfasilitasi, melindungi, dan menjamin keamanannya jika warganya
akan melaksanakan ajaran agama karena keyakinan dan kesadarannya sendiri
Kemudian timbul kembali pertanyaan apa itu reformasi? Yang jelas bangsa Indonesia
semua menginginkan kehidupan yang lebih baik melalui reformasi setelah hidup di era Orde
Baru. Dengan demikian bangsa ini sudah mendekati disintegrasi kalau tidak memiliki
pegangan. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh bangsa dan negara ini dalam upaya
untuk bangkit kembali, yaitu :
1. Pancasila dan UUD1945 harus digemakan lagi sampai ke rakyat yang paling bawah,
dalam rangka pemahaman dan penghayatan.
6
2. GBHN yang pernah ada yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam membangun
bangsa dan negara perlu dihidupkan kembali.
3. Para tokoh dan elit bangsa harus dapat memberi contoh dan menjadi cintoh rakyat,
jangan selalu berkelahi dan saling caci maki hanya untuk kepentingan kelompok atau
partai politiknya.
4. Budaya bangsa yang adi luhung hendaknya diangkat untuk diingat dan dilaksanakan oleh
bangsa ini yaitu budaya saling hormat menghormati.
5. TNI dan POLRI harus segera dibangun dengan tahapan yang jelas yang ditentukan oleh
DPR. Jangan ada lagi curiga atau mencurigai antar unsur bangsa ini karena keselamatan
bangsa dan negara sudah terancam.

D. PEMEKARAN WILAYAH
a. Dasar Hukum Pemekaran Wilayah
UUD 1945 tidak mengatur perihal pembentukan daerah atau pemekaran suatu
wilayah secara khusus, namun disebutkan dalam Pasal 18B ayat (1) bahwa, “Negara
mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus
atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.”14 Selanjutnya, pada ayat (2)
pasal yang sama tercantum kalimat sebagai berikut.
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-
undang.”
Namun demikian, pembentukan daerah hanya dapat dilakukan apabila telah
memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Bagi provinsi, syarat
administratif yang wajib dipenuhi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan
bupati/walikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi bersangkutan, persetujuan
DPRD provinsi induk dan gubernur, serta rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri.
Sedangkan untuk kabupaten/kota, syarat administratif yang juga harus dipenuhi meliputi
adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan bupati/walikota bersangkutan,
persetujuan DPRD provinsi dan gubernur, serta rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri.
Selanjutnya, syarat teknis dari pembentukan daerah baru harus meliputi faktor yang
menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor-faktor di bawah ini.
a) Kemampuan ekonomi.
b) Potensi daerah.
c) Sosial budaya.
d) Sosial politik.
e) Kependudukan.
f) Luas daerah.
7
g) Pertahanan.
h) Keamanan.
i) Faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.
Terakhir, syarat fisik yang dimasud harus meliputi paling sedikit lima kabupaten/kota
untuk pembentukan provinsi dan paling sedikit lima kecamatan untuk pembentukan
kabupaten, dan empat kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana,
dan prasarana pemerintahan.

b. Pemekaran Wilayah di Indonesia


Ide pemekaran wilayah merupakan hal yang termasuk baru dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara Indonesia. Untuk pertama kalinya dalam sejarah setengah abad
lebih usia negara ini, tahun 2000 lahir sebuah provinsi baru bernama Banten. Dahulu,
wilayah Banten adalah bagian dari Provinsi Jawa Barat. Melalui Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten (UU Nomor 23 Tahun 2000),
pemerintah mengesahkan adanya provinsi
baru itu pada 17 Oktober 2000. Selanjutnya, diikuti pula munculnya Provinsi Bangka
Belitung dari Sumatera Selatan sebagai provinsi induknya, Provinsi Gorontalo (dari
Sulawesi Utara), dan Kepulauan Riau (dari Riau) melalui undang-undang yang dibentuk
pada tahun yang sama. Kemudian, pada tahun-tahun berikutnya, pemekaran provinsi
terjadi di Maluku dan Papua.

E. KONFLIK PAPUA
Sudah lama Tanah Papua menjadi tanah konflik. Selain konflik horizontal antar warga
sipil, konflik vertikal yang terjadi antara pemerintah Indonesia dan orang asli Papua
telahmengorbankan banyak orang. Konflik ini hingga kini belum diatasi secara tuntas. Masih
adanya konflik ini secara jelas diperlihatkan oleh adanya tuntutan Merdeka dan Referendum,
serta terjadinya pengibaran bendera bintang kejora, dan berlangsungnya aksi pengembalian
Undang-undang No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Konflik
yang belum diselesaikan ini sangat mempengaruhi kadar relasi diantara orang asli Papua,
orang Papua dengan penduduk lainnya, antara orang asli Papua dan Pemerintah RI. Di satu
pihak, orang Papua dicurigai sebagai anggota atau pendukung gerakan separatis. Adanya
stigma separatis membenarkan hal ini. Di pihak lain, orang Papua juga tidak mempercayai
Pemerintah. Dalam suasana kecurigaan dan ketidakpercayaan satu sama lain ini,
dialogkonstruktif tidak pernah akan terjadi antara Pemerintah dan orang Papua. Apabila
berbagai masalah yang melatar belakangi konflik ini tidak dicarikan solusinya, maka Papua
tetap menjadi tanah konflik. Korban akan terus berjatuhan. Hal ini pada gilirannya akan
menghambat proses pembangunan yang dilaksanakan di Tanah Papua. Dari tengah situasi

8
konflik inilah, para pemimpinan agama Kristen, Katolik, Islam, Hindu dan Budha Provinsi
Papua melancarkan kampanye perdamaian. Kampanye ini dilakukan dengan dengan moto:
Papua Tanah Damai (PTD).
Dalam perkembangan selanjutnya, para pimpinan agama menjadikan Papua Tanah
Damai sebagai suatu visi bersama dari masa depan tanah Papua yang perlu diperjuangkan
secara bersama oleh setiap orang yang hidup di tanah Papua. Sekalipun diakui oleh banyak
orang bahwa damai merupakan hasrat terdalam dari setiap orang, termasuk semua orang
yang hidup di tanah Papua, kenyataan memperlihatkan bahwa banyak orang belum merasa
penting untuk melibatkan diri dalam upaya menciptakan perdamaian di tanah Papua. Orang
asli Papua, baik yang tinggal di kota maupun di kampung-kampung, belum terlibat secara
penuh dalam kampanye perdamaian ini. Pada hal mereka sebagai pemilik negeri ini sudah
semestinya memimpin-atau minimal terlibat dalam-berbagaiupaya untuk mewujudkan
perdamaian di tanah leluhurnya. Kini orang Papua bangkit dan bertekad untuk berpartisipasi
secara aktif dalam upayamenciptakan perdamaian di Papua. Mereka ingin memperbaharui
tanah leluhurnya menjadi tanah damai, dimana setiap orang yang hidup diatasnya menikmat
suatu kehidupan yang penuh kedamaian
F. Penyebab konflik papua
Penyebab konflik kekerasan sosial di Papua. Konflik kekerasan di Papua pada umumnya
disebabkan adanya kondisi sosial yang timpang antara masyarakat asli Papua dengan
masyarakat migran yang datang dari luar Papua, sebagai akibat dari adanya kekeliruan
kebijakan pembangunan di Papua yang berlangsung lama, sebagai berikut:
a. Terjadinya Eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA).
Eksploitasi SDA telah menampilkan suatu ketidakadilan, berdasar fakta-fakta
masyarakat Papua, pemegang hak adat atas SDA tidak dilibatkan dalam proses
pengambilan keputusan, padahal semua konsekuensi negatif pasti dipikul oleh mereka
bukan oleh pengambil keputusan. SDA merupakan sumber penghidupan utama bagi
mereka dengan batas-batas pemilikan, pengakuan, dan penghargaan yang jelas dan tegas
di antara para pemegang hak adat. Akibatnya, masyarakat menjadi penonton dan terasing
di tanahnya sendiri. Masyarakat Papua sebagai komunitas lokal tidak dapat berpartisipasi
dalam pembangunan ekonomi, karena memang tidak dipersiapkan, dilatih, dan diberi
kesempatan.

contoh: Kasus pengalihan hak atas tanah untuk keperluan transmigrasi telah mengurangi
bahkan menghilangkan sumber-sumber ekonomi keluarga. Masyarakat kehilangan
binatang buruan sebagai sumber protein, kayu untuk bangunan, kayu api, rusaknya
ekosistem lokal sebagai sumber protein yang mendukung kehidupan masyarakat lokal,
hilangnya sagu sebagai sumber karbohidrat bagi masyarakat. Eksploitasi tambang juga
memberi dampak negatif yang besar buat penduduk lokal. Sebagai contoh: kasus Freeport,

9
limbah tailing, telah mencemari sumber-sumber ekonomi seperti Moluska, sumber protein
masyarakat Kamoro-Sempan di Omawita.

b. Dominasi Migran di Berbagai Bidang-Bidang Kehidupan Perlakuan yang kurang


tepat terhadap masyarakat Papua juga terjadi dalam bidang pemerintahan, dan
proses-proses politik.

Sadar atau tidak, selama pemerintahan Orde Baru, orang Papua kurang diberikan
peran dalam bidang pemerintahan. Posisi-posisi utama selalu diberikan kepada orang luar
dengan dalih orang Papua belum mampu. Walaupun untuk sebagian peran, dalih itu
mungkin ada benarnya, tetapi pada umumnya untuk mencekal orang Papua. Seleksi ketat
yang dikenakan terhadap orang Papua dilatarbelakangi oleh kecurigaan dan tuduhan
terhadap semua orang Papua sebagai OPM. Dominasi masyarakat pendatang bukan
hanya pada sektor pemerintahan saja, tetapi juga pada sektor swasta. Pada kegiatan di
sektor industri manufaktur yang memanfaatkan eksploitasi sumber daya alam (SDA).

c. Penyeragaman Identitas Budaya dan Pemerintahan Lokal Secara singkat,


pengembangan SDM justru tidak berpijak pada pengetahuan dan kearifan lokal.

Menyadari ancaman terhadap eksistensi orang Papua, tokoh seperti Arnold Ap


berusaha untuk menggali dan mengembangkan unsur-unsur budaya lokal. Tetapi,
kelihatannya penguasa melalui aparat militer melihatnya secara sempit dan dipahami
sebagai ancaman. Arnold Ap dibunuh dengan cara yang melukai hati orang Papua
khususnya dan kemanusiaan pada umumnya. Dominasi dan penindasan tersebut,
menjadikan identitas dan nasionalisme Papua makin mantap menopang tuntutan Papua
Merdeka. d. Tindakan Represif oleh Militer Penindasan militer di tanah Papua meliputi
beberapa bentuk, antara lain intimidasi, teror, penyiksaan, dan pembunuhan. Intimidasi,
teror dan penyiksaan dilakukan berkenaan dengan pengambilalihan hak-hak adat
masyarakat Papua atas SDA secara paksa untuk berbagai keperluan, seperti HPH,
transmigrasi, pertambangan, dan industri manufaktur maupun jasa wisata. Ketika
penduduk asli berusaha mempertahankan hak-haknya atas SDA mereka diintimidasi dan
diteror.

G. GAM DI ACEH
GAM lahir karena kegagalan gerakan Darul Islam pada masa sebelumnya. Darul Islam
muncul sebagai reaksi atas ketidak berpihakan Jakarta terhadap gagasan formalisasi Islam di
Indonesia. Darul Islam adalah sebuah gerakan perlawanan dengan ideologi Islam yang
terbuka. Bagi Darul islam, dasar dari perlawanan adalah Islam, sehingga tidak ada sentimen

10
terhadap bangsa-bangsa lain, bahkan ideologi Islam adalah sebagai perekat dari perbedaan
yang ada. Gagasan ini juga berkembang dalam gerakan Darul Islam di Aceh.
Akan tetapi, paska berhentinya perlawanan Darul Islam Aceh, keinginan Aceh untuk
melakukan Islamisasi di Indonesia menjadi lebih sempit hanya kepada Aceh. Perubahan ini
terjadi disebabkan karena kegagalan Darul Islam diseluruh Indonesia, sehingga memaksa
orang Aceh lebih realistis untuk mewujudkan cita-cita. Yang menjadi menarik adalah, GAM
yang melanjutkan tradisi perlawanan Aceh, ternyata tidak melanjutkan ideologi Islam yang
terlebih dahulu digunakan oleh Darul Islam. Sebagaimana yang disebutkan bahwa GAM lebih
memilih nasionalisme Aceh sebagai isu populisnya, yang mempengaruhi muculnya GAM
berikutnya adalah faktor ekonomi, yang berwujud ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi
antara pusat dengan daerah. Pemerintahan sentralistik Orde Baru menimbulkan kekecewaan
berat terutama di kalangan elite Aceh. Pada era Soeharto, Aceh menerima 1% dari anggaran
pendapatan nasional, padahal Aceh memiliki kontribusi 14% dari GDP Nasional. Terlalu
banyak pemotongan yang dilakukan pusat yang menggarap hasil produksi dari Aceh.
Sebagian besar hasil kekayaan Aceh dilahap oleh penentu kebijakan di Jakarta.
Meningkatnya tingkat produksi minyak bumi yang dihasilkan Aceh pada 1970-an dan 1980-an
dengan nilai 1,3 miliar US Dolar tidak memperbaiki kehidupan sosial ekonomi masyarakat
Aceh.
Kemunculan GAM pada masa awalnya langsung mendapat respon oleh pemerintah
Orde Baru dengan melakukan operasi militer yang represif, sehingga membuat GAM kurang
bisa berkembang. Walau demikian, GAM juga melakukan pelebaran jaringan yang membuat
mereka kuat, baik pada tingkat internasional maupun menyatu dengan masyarakat dan GAM
bisa terus bertahan.Pada masa Orde Baru GAM memankan dua wajah; satu wajah
perlawanan (dengan pola-pola kekerasan yang dilakukan), dan strategi ekonomi-politik yang
dimainkan (dengan mengambil uang pada proyek-proyek pembangunan.

1. Upaya yang dilakukan dalam pencegahan dan penanggulangan separatisme


ditempuh melalui program-program sebagai berikut.
 Pengembangan ketahan nasional
 Penyelidikan pengamanan dan penggalangan keamanan Negara.
 Penjagaan keutuhan NKRI
 Pemantapan keamanan Negeri
 Peningkatan komitmen dan kesatuan Nasional
 Peningkatan kualitas dan pelayanan informasi public
Dalam rangka menyelesaikan masalah separatisme di Aceh secara damai,
bermartabat dan menyeluruh, Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) dalam kurun waktu terakhir ini secara intensif melakukan perundingan
informal di Helsinski yang difasilitasi oleh Crisis Management Inisiative. Berbagai issue

11
penting yang telah disepakati oleh kedua belah pihak dalam perundingan damai
tersebut diharapkan akan menjadi landasan yang kokoh dalam penyelesaian masalah
separatisme di Aceh. Lalu Pemerintah Republik Indonesia bertekad menyelesaikan
secara damai, komprehensif, dan bermartabat dalam bingkai NKRI. Dengan
berpedoman pada Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah RI
dengan GAM yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, sebagai
langkah nyata, Pemerintah RI dengan negara Uni Eropa dan negara ASEAN akan
menandatangani MoU tentang keikutsertaan Aceh Monitoring Mission (AMM) sehingga
diharapkan upaya damai dapat diwujudkan secepatnya. Kedua MoU tersebut menjadi
prinsip dasar bagi para pihak dan digunakan sebagai pedoman untuk
diimplementasikan dengan dimonitor oleh AMM.

12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Kondisi NKRI secara nyata harus diakui oleh setiap warganegara bila ditinjau dari kondisi
geografi, demografi, dan kondisi sosial yang ada akan terlihat bahwa pluralitas, suku, agama,
ras dan antar golongan dijadikan pangkal penyebab konflik atau kekerasan massal, tidak bisa
diterima begitu saja. Pendapat ini bisa benar untuk sebuah kasus tapi belum tentu benar untuk
kasus yang lain. Namun ada kondisi-kondisi struktural dan kultural tertentu dalam masyarakat
yang beraneka ragam yang terkadang terjadi akibat dari suatu proses sejarah atau
peninggalan penjajah masa lalu, sehingga memerlukan penanganan khusus dengan
pendekatan yang arif namun tegas walaupun aspek hukum, keadilan dan sosial budaya
merupakan faktor berpengaruh dan perlu pemikiran sendiri.
Kepemimpinan (leadership) dari tingkat elit politik nasional hingga kepemimpinan daerah,
sangat menentukan dalam rangka meredam konflik yang terjadi saat ini. Sedangkan
peredaman konflik memerlukan tingkat profesionalisme dari seluruh aparat hukum dan
instansi terkait secara terpadu dan tidak berpihak pada sebelah pihak.
Sekilas permasalahan tersebuat nampak biasa saja, namun apabila hal ini terus terjadi dan
tidak ada usaha dari pemerintah untuk menyelesaikan persoalan tersebut, bukan tidak
mungkin disintegrasi yang selama ini di khawatirkan akan terwujud. Pemerintah harus dapat
merumuskan kebijakan yang tegas dan tepat dalam aspek kehidupan dan pembangunan
bangsa, yang mencerminkan keadilan bagi semua pihak, semua wilayah.

B. Saran
Untuk mendukung terciptanya keberhasilan suatu kebijakan dan strategi pertahanan serta
upaya-upaya apa yang akan ditempuh, maka disarankan beberapa langkah sebagai berikut :
a) Pemerintah perlu mengadakan kajian secara akademik dan terus menerus agar didapatkan
suatu rumusan bahwa nasionalisme yang berbasis multi kultural dapat dijadikan ajaran
untuk mengelola setiap perbedaan agar muncul pengakuan secara sadar/tanpa paksaan
dari setiap warga negara atas kemejemukan dengan segala perbedaannya.
b) Setiap pemimpin dari tingkat desa sampai dengan tingkat tertinggi, dalam membuat aturan
atau kebijakan haruslah dapat memenuhi keterwakilan semua elemen masyarakat sebagai
warga negara.
c) Setiap warga negara agar memiliki kepatuhan terhadap semua aturan dan tatanan yang
berlaku, kalau perlu diambil sumpah seperti halnya setiap prajurit yang akan menjadi
anggota TNI dan tata cara penyumpahan diatur dengan Undang-undang.
d) Sebaiknya diadakan suatu konsensus nasional yang berisi pernyataan bahwa setiap warga
negara Indonesia cinta damai, persatuan dan kesatuan dan rela berkorban untuk
13
mementingkan kepentingan nasional diatas kepentingan pribadi atau golongan.
e) Menghimbau para musisi agar mau menciptakan suatu karya musik atau lagu-lagu yang
mengobarkan rasa cinta tanah air dan bangga menjadi Bangsa Indonesia. Berdasarkan
pengalaman sejarah telah membuktikan betapa dahsyatnya sebuah lagu mempunyai
pengaruh terhadap para pejuang kemerdekaan dimasa lalu.
f) Pendidikan jangka panjang harus memperkenalkan tentang perbedaan umat manusia dan
kemajemukan budaya bangsa Indonesia dari tingkat sekolah yang terendah sampai yang
tertinggi secara bertahap, bertingkat dan berlanjut.
g) Perlu dihimbau semua insan jurnalistik/pers dengan memperkenalkan rasa nasionalisme
diatas segalanya bagi keutuhan NKRI,
sehingga dapat memposisikan diri dalam keikutsertaan meredam konflik dan bukannya
memperbesar melalui berita-berita yang berdampak kebencian dan prasangka buruk bagi
setiap warga negara.
h) Menumbuhkan rasa nasionalisme yang mulai luntur, jika perlu mungkin dibuat semacam
deklarasi Nasional oleh pemerintah dengan tekad memelihara keutuhan persatuan dan
kesatuan NKRI. Suatu deklarasi yang tepat akan dapat menjadi pemicu tumbuhnya rasa
nasionalisme.
i) Menanamkan nilai-nilai Pancasila, jiwa nasionalisme sebangsa dan setanah air dalam
NKRI, harus dicari lagi terobosan lain yang dimana tugas dan fungsinya minimal sama
dengan BP-7 yang telah dibubarkan namun tidak bersifat doktriner karena berdasarkan
hasil penelitian didaerah, masyarakat masih menghendaki adanya semacam penataran
atau yang sejenis tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.

14
DAFTAR PUSTAKA

http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/2097591-contoh-makalah-upaya-mencegah-
disintegrasi/#ixzz1lfuwthMz

http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=22&mnorutisi=5
http://sosbud.kompasiana.com/2010/08/05/indonesia-dan-ancaman-disintegrasi/

15

Anda mungkin juga menyukai