Makalah
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Syarah Hadits Mu‟amalah
Dosen Pengampu:
Disusun Oleh:
Choiruddin Nadir
M. Miftakhul Jinan
Tambakberas Jombang
2015
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama islam merupakan agama yang sempurna. Segala sesuatu yang ada
semuanya diatur dalam islam. Mulai sesuatu yang berhubungan vertical maupun
hubungan horizontal. Hubungan vertical yakni hubungan antara manusia dan
Tuhannya. Sedangkan hubungan horizontal merupakan hubungan manusia dengan
sesame manusia yang lain.
Diantara hubungan manusia dengan manusia adalah Hukum waris, hibah,
wasiat dan wakaf. Kesemuanya itu merupakan sesuatu yang penting dikarenakan
sangat jarang sekali diperhatikan oleh manusia. Sampai Nabi Muhammad SAW
pernah meramalkan bahwa ilmu yang paling cepat hilang di muka bumi adalah
ilmu faroidh (ilmu tentang hokum waris). Oleh sebab itu, ilmu waris pada saat
sudah sangat jarang diperhatikan apalagi dipelajari.
B. Deskripsi Masalah
1. Bagaimana Hadits tentang Waris?
2. Bagaimana Hadits tentang Hibah?
3. Bagaimana Hadits tentang Wasiat?
4. Bagaimana Hadits tentang Wakaf?
C. Tujuan Masalah
1. Bagaimana Hadits tentang Waris?
2. Bagaimana Hadits tentang Hibah?
3. Bagaimana Hadits tentang Wasiat?
4. Bagaimana Hadits tentang Wakaf?
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadits tentang Waris
1. Teks Hadits
ٍ َّحدثنا موسى بن امساعيل قال حدثنا ُوىيب قال حدثنا ابن طاوس عن ابيو عن ابْ ِن َعب
َع ِن،اس
2. Makna Lafadz
ََ ا ْلفَ َرا ِئ: yang dimaksud lafad ض
a. ض ََ الْفَ َرا ِئdalam hal ini adalah tentang bagian –
bagian pasti yang telah disebutkan dalam al qur‟an. Bagian tersebut adalah
½, ¼. 1/8, 2/3 dan 1/3.2
b. بِأَىْلِ َيا: adalah orang-orang yang memiliki hak waris seperti yang telah
diterangkan dalam al Qur‟an pada surat An Nisa‟ ayat 11 sampai 12. 3
َ فَ َما َبَ ِق: dalam riwayat ruh ibn Qosim adalah sesuatu yang masih tersisa dari
c. ًَ
si Mayit.4
d. أل َ ًْلَى: menurut riwayat Imam al Kasymihani bermakna القرب. Maksudnya
adalah orang yang paling dekat secara nasab terhadap orang yang
meninggalkan harta warisan.5
e. َ َر ُج ٍل َذَكَ ٍر: diterangkan dalam kitab fiqh ََر ُج ٍل ْ ُ ف أل َ ًْلَى َع. Imam Ibn Jawzi
َ صبَ ِة
dan Mundhiri berkomentar bahwa lafah ini tidak bisa di cerna. Sedangkan
1
Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail al Bukhori, Jami’ Shohih Juz 4, (Kairo: Maktabah
Salafiyyah, 1400 H), 237.
2
Imam al Hafidh Ahmad ibn Aly ibn Hajar al ‘Asqollany, Fath al-Bary bi Sharh Shohih al
Bukhory, (Kairo: Dar al Royyan li at Turats, 1987), 13.
3
Ibid.
4
Ibid.
5
Ibid.
3
Ibn Sholah berpendapat bahwa lafad itu dalam segi bahasa sangat jauh dari
kata ideal apalagi dari segi periwayatannya. Lafad َصبَ ِة
ْ ُ العmerupakan kata
untuk Jama’ bukan untuk mufrod.6 Sedangkan Ibn Batthol berpendapat,
َ أل َ ًْلَىadalah sekelompok keluarga setelah Bagian hak
yang dimaskud ََر ُج ٍل
waris wajib.7
3. Pemahaman
Hukum kewarisan termasuk salah satu aspek yang diatur jelas dalam Al-
Qur‟an dan Sunnah Rasul. Hal ini membuktikan bahwa, masalah kewarisan
cukup penting dalam agama Islam. Apalagi Islam pada awal pertumbuhannya
telah mampu merombak tatanan atau system kewarisan yang berlaku pada
masyarakat Arab Jahiliyah. Sedikitnya ada empat macam konsep baru yang
ditawarkan Al-Qur‟an ketika itu dan untuk seterusnya.
a. Islam mendudukkan anak bersamaan denga orang tua pewaris serentak
sebagai ahli waris.
b. Islam juga memberi kemungkinan beserta orang tua (minimal dengan
ibu) pewaris yang mati tanpa keturunan sebagai ahli waris.
c. Suami istri saling mewarisi.
d. Adanya perincian bagian tertentu bagi orang-orang tertentu dalam
keadaan tertentu8
Di dalam membicarakan hukum warisan maka ada tiga hal yang perlu
mendapat perhatian, yaitu:
a. Harta kekayaan atau harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris dan
yang akan beralih kepada ahli waris
b. Pewaris atau orang yang meninggal dunia, yang meninggalkan harta
warisan / harta kekayaan.
c. Ahli waris yang berhak menerima harta kekayaan itu. 9
6
Ibid.
7
Imam al ‘Allamah Muhammad ibn Isma’il As Shun’any, Subul al Salam Syarh Bulugh al
Marom, (Riyadh: Maktabah al Ma’arif, 2006), 271.
8
Abdul Ghofur Anshori. Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia. (Yogyakarta : Penerbit
Ekonosia, 2002), 14.
4
Orang yang berhak menerima harta warisan adalah orang yang mempunyai
hubungan kekerabatan atau perkawinan dengan pewaris yang meninggal. Di
samping adanya hubungan kekerabatan dan perkawinan itu, mereka baru
berhak menerima warisan secara hukum dan disebut dengan ahli waris. 10
Ahli waris dapat digolongkankan menjadi beberapa golongan atas dasar
tinjauan dari segi kelaminnya dan dari segi haknya atas harta warisan. Dari segi
jenis kelaminnya, ahli waris dibagi menjadi dua golongan, yaitu ahli waris laki-
laki dan ahli waris perempuan.11 Sedangkan dari segi haknya atas harta
warisan, ahli waris dibagi menjadi tiga golongan, yaitu: dzawil furudl,
‘ashabah dan dzawil arhaam.
a. Dari segi jenis kelaminnya
1) Ahli waris laki-laki, terdiri dari:12
a) Ayah.
b) Kakek (bapak dari ayah) dan seterusnya ke atas dari garis laki-laki.
c) Anak laki-laki.
d) Cucu laki-laki (anak dari anak laki-laki) dan seterusnya ke bawah dari
garis laki-laki.
e) Saudara laki-laki kandung (seibu seayah).
f) Saudara laki-laki seayah.
g) Saudara laki-laki seibu.
h) Kemenakan laki-laki kandung (anak laki-laki dari saudara laki-laki
kandung) dan seterusnya ke bawah dari garis laki-laki.
i) Kemenakan laki-laki seayah (anak laki-laki dari saudara laki-laki
seayah) dan seterusnya ke bawah dari garis laki-laki.
j) Paman kandung (saudara laki-laki kandung ayah) dan seterusnya ke
atas dari garis laki-laki.
9
Afdol. Penerapan Hukum Kewarisan Islam Secara Adil . (Surabaya : Airlangga University
Press, 2003), 96.
10
Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), 211.
11
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, (Jogjakarta : Penerbit Ekonosia, Fakultas
Ekonomi UII, 1999), 24.
12
Ibid.
5
13
Ibid., 25.
6
Ahli waris dzawil furudl disebutkan dalam pasal 192 KHI. Kata dzawil
furudl berarti mempunyai bagian. Dengan kata lain mereka adalah ahli
waris yang bagiannya telah ditentukan di dalam syariat.14
Ahli waris dzawil furudl ialah ahli waris yang mempunyai bagian-bagian
tertentu sebagaimana disebutkan dalam Al-qur‟an atau Sunnah Rasul.
Sebagaimana telah disebutkan, bagian-bagian tertentu itu ialah : 2/3, ½,
1/3, ¼, 1/6, dan 1/8.15
Ahli dzawil furudl itu antara lain adalah:16
a) Anak perempuan. Kemungkinan bagian anak perempuan adalah
sebagai berikut:
(1) ½ bila ia sendirian (tidak bersama anak laik-laki)
(2) 2/3 bila anak perempuan ada dua atau lebih dan tidak bersama
anak laki-laki. Dasar bagian anak tersebut adalah QS.An-Nisa‟
(4): 11.
b) Cucu perempuan. Kemungkinan bagian cucu perempuan adalah
(1) ½ bila ia sendirian saja
(2) 2/3 bila ia ada dua orang atau lebih dan tidak bersama cucu laki-
laki, kemudian di antara mereka berbagi sama banyak. Dasar hak
kewarisan cucu perempuan di atas adalah analog atau qiyas
kepada anak perempuan.
(3) 1/6 bila bersamanya ada anak perempuan seorang saja. Dasarnya
adalah hadist Nabi. Dasar hak kewarisan cucu perempuan di atas
adalah analog atau qiyas kepada anak perempuan.
c) Ibu. Bagian ibu ada tiga kemungkinan ,yaitu:
(1) 1/6 bila ia bersama dengan anak atau cucu dari pewaris atau
bersama dengan dua orang saudara atau lebih
(2) 1/3 bila ia tidak bersama anak atau cucu, tetapi hanya bersama
ayah
14
Afdol. Penerapan Hukum Kewarisan Islam …, 99.
15
Basyir, Hukum Waris Islam …, 25.
16
Syarifudin. 2004. Hukum Kewarisan Islam …, 225.
7
(3) 1/3 dari sisa bila ibu tidak bersama anak atau cucu, tetapi bersama
dengan suami atau istri. Dasar dari hak kewarisan ibu dalam poin
(1) dan (2) adalah QS.An-Nisa‟ (4): 11, sedangkan poin (3)
adalah ijtihad ulama sahabat.
d) Ayah. Kemungkinan bagian ayah adalah :
(1) 1/6 bila ia bersama dengan anak atau cucu laki-laki.
(2) 1/6 dan kemudian mengambil sisa harta bila ia bersama dengan
anak atau cucu perempuan.
Dasar dari hak kewarisan ayah dalam poin (1) adalah QS.An-
Nisa‟ (4): 11, sedangkan poin (2) dan (3) gabungan dari QS.An-
Nisa‟(4) ayat 11 dan hadist Nabi poin a).
e) Kakek. Sebagai ahli waris dzawil furudl kemungkinan bagian kakek
sama dengan ayah, karena ia adalah pengganti ayah waktu ayah sudah
tidak ada. Bagiannya adalah sebagai berikut:
(1) 1/6 bila bersamanya ada anak atau cucu laki-laki
(2) 1/6 bagian dan mengambil sisa harta bila ia bersama anak atau
cucu perempuan.
Dasar dari hak kakek dalam segala kemungkinan tersebut adalah
analog dengan ayah di samping hadist Nabi poin d).
f) Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari ayah)
Nenek mendapat 1/6, baik ia sendirian atau lebih. Dasar dari hak
nenek 1/6 ini adalah hadist Nabi poin e) tersebut di atas. Bila nenek
lebih dari seorang, di antara mereka berbagi sama banyak. Ini adalah
pendapat jumhur Ahlu Sunnah. Menurut Ibnu Qudamah Kewarisan
nenek adalah sebagai nenek dan bukan sebagai pengganti ibu yang
bagiannya mengikuti apa yang berlaku pada ibu. Bagian nenek adalah
1/6 dalam keadaan apapun.17
Menurut Ibnu Hazm, Ulama Zhahiri menempatkan nenek sebagai
pengganti ibu dengan segala kemungkinan bagiannya. Oleh karena itu
17
Syarifudin. 2004. Hukum Kewarisan Islam …, 227.
8
nenek mendapat 1/3 bila pewaris tidak meninggalkan anak atau cucu,
dan mendapat 1/6 bila pewaris meninggalkan anak atau cucu.18
g) Saudara perempuan kandung. Mendapat bagian dalam bebera
kemungkinan, yaitu :
(1) ½ bila ia hanya seorang tidak ada bersamanya saudara laki-laki
(2) 2/3 bila ada dua orang atau lebih dan tidak ada bersamanya
saudara laki-laki kemudian di antara mereka berbagi sama
banyak.
Dasar hak saudara perempuan kandung tersebut adalah QS.An-
Nisa‟ ayat 176.
h) Saudara perempuan seayah. Kemungkinan bagiannya adalah:
(1) ½ bila ia hanya seorang diri dan tidak ada saudara laki-laki seayah
(2) 2/3 bila ada dua orang atau lebih dan tidak ada saudara laki-laki
seayah
(3) 1/6 bila ia bersama seorang saudara kandung perempuan
Menurut golongan ulama Syi‟ah dalam kasus seperti ini ia
tertutup oleh saudara kandung perempuan sebagaimana juga
ditutup saudara kandung laki-laki. Dasar hak saudara perempuan
seayah pada poin (!) dan (2) tersebut adalah QS.An-Nisa‟ ayat
176 dan pada poin (3) adalah hasil ijtihad ulama.
i) Saudara laki-laki seibu. Kemungkinannya bagiannya adalah:
(1) 1/6 bila ia hanya seorang
(2) 1/3 bila ia lebih dari seorang dan di antara mereka berbagi sama
banyak Dasar hak kewarisan saudara laki-laki seibu adalah
QS.An-Nisa‟(4): 12
j) Saudara perempuan seibu. Kemungkinan bagiannya adalah:
(1) 1/6 bila ia hanya seorang
(2) 1/3 bila ia lebih dari seorang dan di antara mereka berbagi sama
banyak.
18
Ibid.
9
19
Basyir, Hukum Waris Islam …, 26.
20
Syarifudin. 2004. Hukum Kewarisan Islam …, 232.
10
b) Ashabah bi Ghairihi
Yang dimaksud dengan ashabah bi ghairihi disini adalah seseorang
yang sebenarnya bukan ashabah karena ia adalah perempuan, namun
karena ada bersama saudara laki-lakinya maka ia menjadi ashabah.
Mereka sebagai ashabah berhak atas sisa harta bila hanya mereka
yang menjadi ahli waris, atau berhak atas sisa harta setelah dibagikan
kepada ahli waris furud yang berhak. Kemudian di antara mereka
berbagi dengan bandingan laki-laki mendapat sebanyak dua bagian
perempuan.24 Ahli waris perempuan baru dapat diajak menjadi
ashabah oleh saudara lakilakinya bila ia sendiri adalah ahli waris yang
berhak, jika tidak berhak maka keberadaan saudaranya itu tidak ada
artinya. Seumpama anak saudara yang perempuan bukan ahli waris
sedangkan anak saudara yang laki-laki atau saudara dari anak
perempuan itu adalah ashabah.Dalam hal ini anak saudara yang laki-
24
Ibid., 243.
15
25
Ibid.
26
Ibid., 244.
16
27
Ibid., 247.
28
Ibid.
29
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, (Yogyakarta : Penerbit
Ekonosia, 2002), 27.
30
Basyir, Hukum Waris Islam …, 27.
17
31
Ibid., 28.
32
Afdol. Penerapan Hukum Kewarisan Islam …, 98.
18
33
Basyir, Hukum Waris Islam …, 28.
19
Rasulullah. Nabi saw. tanya: Apakah anda juga memberi kepada lain-
lain anakmu seperti itu? Jawabnya: Tidak. Maka sabda Nabi saw.:
Bertaqwalah kalian kepada Allah dan berlaku adillah kalian di antara
anak-anakmu. Kemudian ia menarik kembali pemberiannya. 34
2. Pemahaman
Hadits diatas menerangkan tentang kewajiban memberi hibah kepada anak
secara adil. Hal ini dikemukakan oleh Imam Bukhori, Imam Ahmad, Ishaq, ats
Tsawri, dan sebagian Ulama‟ Madzhab Malikiyyah.
Pendapat yang masyhur jika hibah tidak adil diberikan kepada anak, maka
hibah itu akan batal. Tetapi ulama berbeda pendapat tentang hibah yang tidak
adil ini. Diantaranya riwayat Imam Ahmad berpendapat, hibah itu sah tetapi
wajib untuk mengembalikan barang hibah tersebut. Pada riwayat yang lain,
boleh lebih, dalam arti tidak adil, bila memang ada sebab.
Menurut Jumhur ‘Ulama’, berlaku adil terhadap hibah kepada anak
merupakan kesunnahan. Jika ada kelebihan diatara yang lainnya, maka hal itu
sah tetapi berhukum makruh.35
Ulama berbeda pendapat tentang sifat sama terhadap anak. Imam
Muhammad ibn Hasan, Imam Ahmad, Ishaq dan sebagian Ulama‟ Madzab
Syafi‟iyyah berpendapat bahwa yang disebut dngan sama adalah adil. Lelaki
diberikan bagiannya 2 kali lipat dari pada perempuan seperti halnya dalam
masalah waris.36
Sebagian yang lain menolak hal demikian. Tidak ada perbedaan antara
bagian laki-laki dan perempuan. Ini pendapat yang ashoh. Pendapat ini
menggunakan dalil hadits yang diriwayatkan oleh Said ibn Manshur dengan
sanad hasan dari Ibn Abbas. Nabi Bersabda
34
Al Bukhori, Jami’ Shohih Juz 2, 233.
35
Imam al Hafidh Ahmad ibn Aly ibn Hajar al ‘Asqollany, Iba>n ah al-Ahka>m Sharh Bulu>g { al
Maro>m, (Beirut: Dar al Fikr, t.thn), 204.
36
Ibid.
20
Sedangkan pendapat yang lain, jika ada hiba yang batal maka
diperbolehkan rujuk. Karena permasalahan hibah adalah permasalahan
37
Khilafiyyah.
37
Ibid.
21
2. Pemahaman
Kata washiyyah merupakan bentuk mahdar dari washâ yang berarti
mewasiatkan. Kata washiyyah yang sejatinya menunjukkan kepada perbuatan,
namun kata ini sering merujuk kepada benda yang diwasiatkan (mûshâ bih).
Sedangkan secara istilah, washiyyah adalah akad perpindahan hak milik, baik
berupa harta maupun manfaat yang realisasinya dilakukan setelah meninggal
dunia dengan tujuan dan cara yang baik.38
Secara historis, wasiat merupakan pengalihan harta yang biasa
dipraktikkan oleh bangsa-bangsa sebelum Islam. Hukum Romawi memberikan
kebebasan kepada seorang pemilik harta untuk mewasiatkan hartanya kepada
orang lain tanpa batas secara kuantitatif, bahkan dengan tidak menyisakan
sama sekali untuk anak-anaknya. Bangsa Arab sebelum Islam merasa bangga
dan berlomba-lomba memberikan wasiat kepada orang lain dan mengabaikan
38
Wuza>rah al-Awqa>f wa al-Shu’u>n al-Isla>miyyah, al-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah, Juz 42 (Kuwait:
Wuza>rah al-Awqa>f wa al-Shu’u>n al-Isla>miyyah, 2004), 221.
22
39
Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh, Juz 8 (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1985), 7.
40
QS. Al Baqoroh (02): 180
23
41
Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer , (Jakarta: Kencana,
2004), 403.
42
Saefudin Zuhri, 81 Keputusan Hukum Rasulullah , (Jakarta: Pustaka Azzam, 2000), 181.
43
M. Ali Hasan. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam. (Jakarta : PT.Raja Grafindo
Persada, 2002), 99.
44
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab , terj. Masykur, dkk. (Jakarta: Lentera,
2001), 514.
24
حدثنا قتيبة بن سعيد قال حدثنا دمحم بن عبد هللا االنصارى قال حدثنا ابن عون قال انبأىن انفع
ِ
َّ ِ َفأََتى الن،ضا ِ َِبْي َب َر
َُّب ملسو هيلع هللا ىلص يَ ْسَتأْم ُره ً اب أ َْر
َ َص
ِ
َ َن ُع َم َر بْ َن ا ْْلَطَّاب أ
َّ أ،عن ابْ ِن ُع َم َررضي هللا عنهما
45
Ibid.
25
2. Makna Lafadz47
3. Pemahaman
Dalam Islam, orang yang pertama kali mewakafkan hartanya adalah
Sayyidina Umar Ra. meskipun dilarang nabi, tetapi pada akhirnya yang
diwakafkan adalah kemanfaatannya. Meskipun demikian, tetapi hal tersebut
masih dihukumi wakaf oleh Kanjeng Nabi Muhammad Saw.48
Riwayat Bukhari itu memberikan pengertian bahwa kalimat “pokoknya
tidak dijual dan tidak dihibahkan” itu dari sabda Rasulullah saw. Dan
sesungguhnya inilah keadaan wakaf yang sebenarnya. Sabda Rasulullah itu
menolak atau membantah pendapat Abu Hanifah yang membolehkan menjual
harta wakaf. Kata Abu Yusuf “Sesungguhnya seandainya hadis| ini sampai
46
Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail al Bukhori, Jami’ Shohih Juz 2, (Kairo: Maktabah
Salafiyyah, 1400 H), 285.
47
Imam Muhammad ibn’Ali ibn Muhammad Ash Shaukani, Nayl al Awtho>r, (Lebanon: Bayt
al Ifka>r ad Dawliyyah, 2004), 1134.
48
Imam al Hafidh Ahmad ibn Aly ibn Hajar al ‘Asqollany, Iba>n ah al-Ahka>m Sharh Bulu>g { al
Maro>m, (Beirut: Dar al Fikr, t.thn), 200.
26
49
Muhammad Faiz Almath, Hadits-Hadits Wakaf, (T.t: T.p, T.Thn), 56
27
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Warisan
empat macam konsep baru yang ditawarkan Al-Qur‟an ketika itu dan untuk
seterusnya.
a. Islam mendudukkan anak bersamaan denga orang tua pewaris serentak sebagai
ahli waris.
b. Islam juga memberi kemungkinan beserta orang tua (minimal dengan ibu)
pewaris yang mati tanpa keturunan sebagai ahli waris.
c. Suami istri saling mewarisi.
d. Adanya perincian bagian tertentu bagi orang-orang tertentu dalam keadaan
tertentu
Di dalam membicarakan hukum warisan maka ada tiga hal yang perlu mendapat
perhatian, yaitu:
a. Harta kekayaan atau harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris dan yang
akan beralih kepada ahli waris
b. Pewaris atau orang yang meninggal dunia, yang meninggalkan harta warisan /
harta kekayaan.
c. Ahli waris yang berhak menerima harta kekayaan itu.
Orang yang berhak menerima harta warisan adalah orang yang mempunyai
hubungan kekerabatan atau perkawinan dengan pewaris yang meninggal. Di
samping adanya hubungan kekerabatan dan perkawinan itu, mereka baru berhak
menerima warisan secara hukum dan disebut dengan ahli waris.
2. Hibah
Hadits diatas menerangkan tentang kewajiban memberi hibah kepada anak secara
adil. Pendapat yang masyhur jika hibah tidak adil diberikan kepada anak, maka
hibah itu akan batal.
28
3. Wasiat
Wasiat hanya berlaku dalam batas sepertiga dari harta warisan. Sehingga wasiat
lebih dari sepertiga harta warisan dianggap lebih baik. Dengan demikian memberi
suatu penjelasan bahwa penting mempertimbangkan kebutuhan ahli waris
sebelum seseorang memutuskan untuk berwasiat.
Alasan kenapa tidak diperbolehkan lebih dari sepertiga adalah dikhawatirkan akan
merugikan pihak ahli waris. Sebagian Ulama berpendapat jika lebih dari sepertiga,
maka harus mendapat restu dari ahli waris atau kelebihan dari sepertiga itu batal
dan yang sepertiga itu sah.
4. Wakaf
Orang yang wakaf dalam islam pertama kali ialah Sayyidina Umar ra. beliau
ketika akan mewakafkan tanah dan kebunnya di daerah khaibar dilarang oleh
kanjeng nabi karena lebih baik yang diwakafkan adalah manfaatnya kebun
tersebut
29
DAFTAR PUSTAKA