Anda di halaman 1dari 30

Hadits tentang Wakaf, Hibah, Wasiat, dan Wakaf

Makalah
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Syarah Hadits Mu‟amalah

Dosen Pengampu:

Dr. KH. Makinuddin, M.Ag.

Disusun Oleh:

Ahmad Fauzan Nizar

Choiruddin Nadir

M. Miftakhul Jinan

Institut Agama Islam Bani Fattah (IAIBAFA)

Tambakberas Jombang

2015
1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama islam merupakan agama yang sempurna. Segala sesuatu yang ada
semuanya diatur dalam islam. Mulai sesuatu yang berhubungan vertical maupun
hubungan horizontal. Hubungan vertical yakni hubungan antara manusia dan
Tuhannya. Sedangkan hubungan horizontal merupakan hubungan manusia dengan
sesame manusia yang lain.
Diantara hubungan manusia dengan manusia adalah Hukum waris, hibah,
wasiat dan wakaf. Kesemuanya itu merupakan sesuatu yang penting dikarenakan
sangat jarang sekali diperhatikan oleh manusia. Sampai Nabi Muhammad SAW
pernah meramalkan bahwa ilmu yang paling cepat hilang di muka bumi adalah
ilmu faroidh (ilmu tentang hokum waris). Oleh sebab itu, ilmu waris pada saat
sudah sangat jarang diperhatikan apalagi dipelajari.

B. Deskripsi Masalah
1. Bagaimana Hadits tentang Waris?
2. Bagaimana Hadits tentang Hibah?
3. Bagaimana Hadits tentang Wasiat?
4. Bagaimana Hadits tentang Wakaf?

C. Tujuan Masalah
1. Bagaimana Hadits tentang Waris?
2. Bagaimana Hadits tentang Hibah?
3. Bagaimana Hadits tentang Wasiat?
4. Bagaimana Hadits tentang Wakaf?
2

BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadits tentang Waris
1. Teks Hadits

ٍ َّ‫حدثنا موسى بن امساعيل قال حدثنا ُوىيب قال حدثنا ابن طاوس عن ابيو عن ابْ ِن َعب‬
‫ َع ِن‬،‫اس‬

‫ َف َما بَِق َي َف ُهَو ألَْوََل َر ُج ٍل ذََك ٍر‬،‫ض ِِب َْىلِ َها‬ ِ ِ ِ


َ ‫ أَ ْْل ُقوا الْ َف َرائ‬:‫َّب ملسو هيلع هللا ىلص َق َال‬
ِّ ‫الن‬
Artinya: Diriwayatkan dari Musa ibn Ismail. Beliau berkata: Towus bercerita
kepada kami dari Ayahnya Thowus dari Ibn Abbas r.a. berkata: Nabi
saw. bersabda: Berikan bagian waris itu kepada ahlinya (orang-
orang yang berhak), kemudian jika ada sisanya maka untuk kerabat
yang terdekat yang laki-laki.1

2. Makna Lafadz
ََ ‫ ا ْلفَ َرا ِئ‬: yang dimaksud lafad ‫ض‬
a. ‫ض‬ ََ ‫ الْفَ َرا ِئ‬dalam hal ini adalah tentang bagian –
bagian pasti yang telah disebutkan dalam al qur‟an. Bagian tersebut adalah
½, ¼. 1/8, 2/3 dan 1/3.2
b. ‫ بِأَىْلِ َيا‬: adalah orang-orang yang memiliki hak waris seperti yang telah
diterangkan dalam al Qur‟an pada surat An Nisa‟ ayat 11 sampai 12. 3
َ ‫ فَ َما َبَ ِق‬: dalam riwayat ruh ibn Qosim adalah sesuatu yang masih tersisa dari
c. ًَ
si Mayit.4
d. ‫أل َ ًْلَى‬: menurut riwayat Imam al Kasymihani bermakna ‫القرب‬. Maksudnya
adalah orang yang paling dekat secara nasab terhadap orang yang
meninggalkan harta warisan.5
e. َ‫ َر ُج ٍل َذَكَ ٍر‬: diterangkan dalam kitab fiqh َ‫َر ُج ٍل‬ ْ ُ‫ ف أل َ ًْلَى َع‬. Imam Ibn Jawzi
َ ‫صبَ ِة‬
dan Mundhiri berkomentar bahwa lafah ini tidak bisa di cerna. Sedangkan

1
Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail al Bukhori, Jami’ Shohih Juz 4, (Kairo: Maktabah
Salafiyyah, 1400 H), 237.
2
Imam al Hafidh Ahmad ibn Aly ibn Hajar al ‘Asqollany, Fath al-Bary bi Sharh Shohih al
Bukhory, (Kairo: Dar al Royyan li at Turats, 1987), 13.
3
Ibid.
4
Ibid.
5
Ibid.
3

Ibn Sholah berpendapat bahwa lafad itu dalam segi bahasa sangat jauh dari
kata ideal apalagi dari segi periwayatannya. Lafad َ‫صبَ ِة‬
ْ ُ‫ الع‬merupakan kata
untuk Jama’ bukan untuk mufrod.6 Sedangkan Ibn Batthol berpendapat,
َ ‫ أل َ ًْلَى‬adalah sekelompok keluarga setelah Bagian hak
yang dimaskud َ‫َر ُج ٍل‬
waris wajib.7

3. Pemahaman
Hukum kewarisan termasuk salah satu aspek yang diatur jelas dalam Al-
Qur‟an dan Sunnah Rasul. Hal ini membuktikan bahwa, masalah kewarisan
cukup penting dalam agama Islam. Apalagi Islam pada awal pertumbuhannya
telah mampu merombak tatanan atau system kewarisan yang berlaku pada
masyarakat Arab Jahiliyah. Sedikitnya ada empat macam konsep baru yang
ditawarkan Al-Qur‟an ketika itu dan untuk seterusnya.
a. Islam mendudukkan anak bersamaan denga orang tua pewaris serentak
sebagai ahli waris.
b. Islam juga memberi kemungkinan beserta orang tua (minimal dengan
ibu) pewaris yang mati tanpa keturunan sebagai ahli waris.
c. Suami istri saling mewarisi.
d. Adanya perincian bagian tertentu bagi orang-orang tertentu dalam
keadaan tertentu8
Di dalam membicarakan hukum warisan maka ada tiga hal yang perlu
mendapat perhatian, yaitu:
a. Harta kekayaan atau harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris dan
yang akan beralih kepada ahli waris
b. Pewaris atau orang yang meninggal dunia, yang meninggalkan harta
warisan / harta kekayaan.
c. Ahli waris yang berhak menerima harta kekayaan itu. 9

6
Ibid.
7
Imam al ‘Allamah Muhammad ibn Isma’il As Shun’any, Subul al Salam Syarh Bulugh al
Marom, (Riyadh: Maktabah al Ma’arif, 2006), 271.
8
Abdul Ghofur Anshori. Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia. (Yogyakarta : Penerbit
Ekonosia, 2002), 14.
4

Orang yang berhak menerima harta warisan adalah orang yang mempunyai
hubungan kekerabatan atau perkawinan dengan pewaris yang meninggal. Di
samping adanya hubungan kekerabatan dan perkawinan itu, mereka baru
berhak menerima warisan secara hukum dan disebut dengan ahli waris. 10
Ahli waris dapat digolongkankan menjadi beberapa golongan atas dasar
tinjauan dari segi kelaminnya dan dari segi haknya atas harta warisan. Dari segi
jenis kelaminnya, ahli waris dibagi menjadi dua golongan, yaitu ahli waris laki-
laki dan ahli waris perempuan.11 Sedangkan dari segi haknya atas harta
warisan, ahli waris dibagi menjadi tiga golongan, yaitu: dzawil furudl,
‘ashabah dan dzawil arhaam.
a. Dari segi jenis kelaminnya
1) Ahli waris laki-laki, terdiri dari:12
a) Ayah.
b) Kakek (bapak dari ayah) dan seterusnya ke atas dari garis laki-laki.
c) Anak laki-laki.
d) Cucu laki-laki (anak dari anak laki-laki) dan seterusnya ke bawah dari
garis laki-laki.
e) Saudara laki-laki kandung (seibu seayah).
f) Saudara laki-laki seayah.
g) Saudara laki-laki seibu.
h) Kemenakan laki-laki kandung (anak laki-laki dari saudara laki-laki
kandung) dan seterusnya ke bawah dari garis laki-laki.
i) Kemenakan laki-laki seayah (anak laki-laki dari saudara laki-laki
seayah) dan seterusnya ke bawah dari garis laki-laki.
j) Paman kandung (saudara laki-laki kandung ayah) dan seterusnya ke
atas dari garis laki-laki.

9
Afdol. Penerapan Hukum Kewarisan Islam Secara Adil . (Surabaya : Airlangga University
Press, 2003), 96.
10
Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), 211.
11
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, (Jogjakarta : Penerbit Ekonosia, Fakultas
Ekonomi UII, 1999), 24.
12
Ibid.
5

k) Paman seayah (saudara laki-laki seayah ayah) dan setrusnya ke atas


dari garis laki-laki.
l) Saudara laki-laki sepupu kandung (anak laki-laki dari paman
kandung) dan seterusnya ke bawah dari garis laki-laki. Termasuk di
dalamnya anak anak pamanayah, anak paman kakek dan seterusnya,
dan anak-anak keturunannya dari garis lakilaki.
m) Saudara sepupu laki-laki seayah (anak laki-laki paman seayah) dan
seterusnya kebawah dari garis laki-laki. Termasuk seperti yang
disebutkan pada huruf l.
n) Suami.
o) Laki-laki yang memerdekakan budak (mu‟tiq).
2) Ahli waris perempuan, terdiri dari:13
a) Ibu
b) Nenek (ibunya ibu) dan seterusnya ke atas dari garis perempuan.
c) Nenek (ibunya ayah) dan seterusnya ke atas dari garis perempuan,
atau berturut-turut dari garis laki-laki kemudian sampai kepada nenek,
atau berturut-turut dari garis laki-laki bersambung denag berturut-turut
dari garis perempuan.
d) Anak perempuan.
e) Cucu perempuan (anak dari anak laki-laki) dan seterusnya ke bawah
dari garis laki-laki.
f) Saudara perempuan kandung
g) Saudara perempuan seayah
h) Saudara perempuan seibu
i) Istri
j) Perempuan yang memerdekakan budak (mu‟tiqah)

b. Dari segi haknya atas dasar harta warisan (KHI)


1) Ahli waris dzawil furudl

13
Ibid., 25.
6

Ahli waris dzawil furudl disebutkan dalam pasal 192 KHI. Kata dzawil
furudl berarti mempunyai bagian. Dengan kata lain mereka adalah ahli
waris yang bagiannya telah ditentukan di dalam syariat.14
Ahli waris dzawil furudl ialah ahli waris yang mempunyai bagian-bagian
tertentu sebagaimana disebutkan dalam Al-qur‟an atau Sunnah Rasul.
Sebagaimana telah disebutkan, bagian-bagian tertentu itu ialah : 2/3, ½,
1/3, ¼, 1/6, dan 1/8.15
Ahli dzawil furudl itu antara lain adalah:16
a) Anak perempuan. Kemungkinan bagian anak perempuan adalah
sebagai berikut:
(1) ½ bila ia sendirian (tidak bersama anak laik-laki)
(2) 2/3 bila anak perempuan ada dua atau lebih dan tidak bersama
anak laki-laki. Dasar bagian anak tersebut adalah QS.An-Nisa‟
(4): 11.
b) Cucu perempuan. Kemungkinan bagian cucu perempuan adalah
(1) ½ bila ia sendirian saja
(2) 2/3 bila ia ada dua orang atau lebih dan tidak bersama cucu laki-
laki, kemudian di antara mereka berbagi sama banyak. Dasar hak
kewarisan cucu perempuan di atas adalah analog atau qiyas
kepada anak perempuan.
(3) 1/6 bila bersamanya ada anak perempuan seorang saja. Dasarnya
adalah hadist Nabi. Dasar hak kewarisan cucu perempuan di atas
adalah analog atau qiyas kepada anak perempuan.
c) Ibu. Bagian ibu ada tiga kemungkinan ,yaitu:
(1) 1/6 bila ia bersama dengan anak atau cucu dari pewaris atau
bersama dengan dua orang saudara atau lebih
(2) 1/3 bila ia tidak bersama anak atau cucu, tetapi hanya bersama
ayah

14
Afdol. Penerapan Hukum Kewarisan Islam …, 99.
15
Basyir, Hukum Waris Islam …, 25.
16
Syarifudin. 2004. Hukum Kewarisan Islam …, 225.
7

(3) 1/3 dari sisa bila ibu tidak bersama anak atau cucu, tetapi bersama
dengan suami atau istri. Dasar dari hak kewarisan ibu dalam poin
(1) dan (2) adalah QS.An-Nisa‟ (4): 11, sedangkan poin (3)
adalah ijtihad ulama sahabat.
d) Ayah. Kemungkinan bagian ayah adalah :
(1) 1/6 bila ia bersama dengan anak atau cucu laki-laki.
(2) 1/6 dan kemudian mengambil sisa harta bila ia bersama dengan
anak atau cucu perempuan.
Dasar dari hak kewarisan ayah dalam poin (1) adalah QS.An-
Nisa‟ (4): 11, sedangkan poin (2) dan (3) gabungan dari QS.An-
Nisa‟(4) ayat 11 dan hadist Nabi poin a).
e) Kakek. Sebagai ahli waris dzawil furudl kemungkinan bagian kakek
sama dengan ayah, karena ia adalah pengganti ayah waktu ayah sudah
tidak ada. Bagiannya adalah sebagai berikut:
(1) 1/6 bila bersamanya ada anak atau cucu laki-laki
(2) 1/6 bagian dan mengambil sisa harta bila ia bersama anak atau
cucu perempuan.
Dasar dari hak kakek dalam segala kemungkinan tersebut adalah
analog dengan ayah di samping hadist Nabi poin d).
f) Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari ayah)
Nenek mendapat 1/6, baik ia sendirian atau lebih. Dasar dari hak
nenek 1/6 ini adalah hadist Nabi poin e) tersebut di atas. Bila nenek
lebih dari seorang, di antara mereka berbagi sama banyak. Ini adalah
pendapat jumhur Ahlu Sunnah. Menurut Ibnu Qudamah Kewarisan
nenek adalah sebagai nenek dan bukan sebagai pengganti ibu yang
bagiannya mengikuti apa yang berlaku pada ibu. Bagian nenek adalah
1/6 dalam keadaan apapun.17
Menurut Ibnu Hazm, Ulama Zhahiri menempatkan nenek sebagai
pengganti ibu dengan segala kemungkinan bagiannya. Oleh karena itu

17
Syarifudin. 2004. Hukum Kewarisan Islam …, 227.
8

nenek mendapat 1/3 bila pewaris tidak meninggalkan anak atau cucu,
dan mendapat 1/6 bila pewaris meninggalkan anak atau cucu.18
g) Saudara perempuan kandung. Mendapat bagian dalam bebera
kemungkinan, yaitu :
(1) ½ bila ia hanya seorang tidak ada bersamanya saudara laki-laki
(2) 2/3 bila ada dua orang atau lebih dan tidak ada bersamanya
saudara laki-laki kemudian di antara mereka berbagi sama
banyak.
Dasar hak saudara perempuan kandung tersebut adalah QS.An-
Nisa‟ ayat 176.
h) Saudara perempuan seayah. Kemungkinan bagiannya adalah:
(1) ½ bila ia hanya seorang diri dan tidak ada saudara laki-laki seayah
(2) 2/3 bila ada dua orang atau lebih dan tidak ada saudara laki-laki
seayah
(3) 1/6 bila ia bersama seorang saudara kandung perempuan
Menurut golongan ulama Syi‟ah dalam kasus seperti ini ia
tertutup oleh saudara kandung perempuan sebagaimana juga
ditutup saudara kandung laki-laki. Dasar hak saudara perempuan
seayah pada poin (!) dan (2) tersebut adalah QS.An-Nisa‟ ayat
176 dan pada poin (3) adalah hasil ijtihad ulama.
i) Saudara laki-laki seibu. Kemungkinannya bagiannya adalah:
(1) 1/6 bila ia hanya seorang
(2) 1/3 bila ia lebih dari seorang dan di antara mereka berbagi sama
banyak Dasar hak kewarisan saudara laki-laki seibu adalah
QS.An-Nisa‟(4): 12
j) Saudara perempuan seibu. Kemungkinan bagiannya adalah:
(1) 1/6 bila ia hanya seorang
(2) 1/3 bila ia lebih dari seorang dan di antara mereka berbagi sama
banyak.

18
Ibid.
9

Dasar hak kewarisan saudara laki-laki seibu adalah QS.An-


Nisa‟(4): 12
k) Suami. Kemungkinan bagian suami adalah:
(1) ½ bila tidak ada anak atau cucu
(2) ¼ bila ada bersamanya anak atau cucu
Dasar hak kewarisan bagian suami adalah QS.An-Nisa‟(4): 12.
l) Istri. Bagian istri adalah:
(1) ¼ bila tidak ada bersamanya anak atau cucu dari pewaris
(2) 1/8 bila ia bersama dengan anak atau cucu dalam kewarisan
Dasar hak kewarisan bagian istri adalah QS.An-Nisa‟(4): 12.

2) Ahli waris ‘ashobah


Ahli waris ‘ashobah ialah ahli waris yang tidak ditentukan bagiannya,
tetapi akan menerima seluruh harta warisan jika tidak ada ahli waris
dzawil furudl sama sekali; jika ada dzawil furudl, berhak atas sisanya,
dan apabila tidak ada sisa sama sekali, tidak mendapat bagian apapun.19
Menurut Al-Mahaliy, Ulama golongan Ahlu Sunnah membagi ashabah
itu kepada tiga macam yaitu ashabah bi nafsihi, ashabah bi ghairihi dan
ashabah ma‟a ghairihi.20
a) Ashabah bi Nafsihi
Ashabah bi nafsihi adalah ahli waris yang berhak mendapat seluruh
harta atau sisa harta dengan sendirinya, tanpa dukungan ahli waris
lain. Ashabah bi nafsihi itu seluruhnya adalah laki-laki yang secara
berurutan adalah : anak, cucu dari garis laki laki, ayah, kakek, saudara
kandung, saudara seayah, anak saudara kandung, anak saudara seayah,
paman kandung, paman seayah, anak paman kandung dan anak paman
seayah.

19
Basyir, Hukum Waris Islam …, 26.
20
Syarifudin. 2004. Hukum Kewarisan Islam …, 232.
10

(1) Anak laki-laki


Anak laki-laki, baik sendirian atau lebih, berhak atas seluruh harta
bila tidak ada ahli waris yang lain atau sisa harta setelah diberikan
lebih dahulu hak ahli waris dzawil furudl yang berhak. Dengan
adanya anak laki-laki sebagai ashabah, maka ahli waris lain yang
dapat mewaris bersama anak lain-laki (sebagai dzawil furudl)
ayah, ibu atau nenek, suami atau istri. Bila anak laki-laki terdiri
dari beberapa orang mereka berbagi sama banyak.
(2) Cucu laki-laki (melalui anak laki-laki)
Cucu laki-laki mewarisi sebagai ahli waris ashabah bila anak
sudah meninggal, baik anak itu adalah ayahnya atau saudara dari
ayahnya. Kewarisan cucu laki-laki sama dengan kewarisan anak
laki-laki. Ia dapat mewaris bersama dengan ahli waris yang dapat
mewaris bersama anak laki-laki dan menutup orang yang ditutup
oleh anak laki-laki.
(3) Ayah
Ayah sebagai ahi waris ashabah bila pewaris tidak meninggalkan
anak atau cucu laki-laki. Dengan kehadiran anak atau cucu laki-
laki ayah hanya akan menerima sebagai dzawil furudl sebesar
1/6. Ahli waris yang dapat mewaris bersama ayah sebagai dzawil
furudl adalah anak perempuan, cucu perempuan, ibu, suami atau
istri.
(4) Kakek
Kakek berkedudukan sebagai ahli waris ashabah bila dalam
susunan ahli waris tidak ada anak atau cucu laki-laki dan tidak
ada pula ayah. Pada umumnya kewarisan kakek sama dengan
ayah, karena hak kewarisan kakek merupakan perluasan dari
pengertian ayah. Oleh karena itu, kedudukan kakek adalah
sebagai pengganti ayah apabila ayah sudah meninggal lebih
dahulu, baik sebagai ahli waris dzawil furudl atau ashabah. Ia
akan menutup orang-orang yang ditutup oleh ayah dan dapat
11

mewaris dengan orang-orang yang dapat mewaris bersama ayah.


Dalam keadaan tertentu kakek tidak berkedudukan sebagai ayah,
yaitu dalam hal-hal sebagai berikut:21
(a) Kakek tidak menutup hak kewarisan saudara (menurut
Jumhur ‘Ulama’), sedangkan ayah menutup kedudukan
saudara kecuali menurut paham ulama Hanafiyah.
(b) Kakek tidak dapat mengalihkan hak ibu dari sepertiga harta
kepada sepertiga harta dalam kasus gharawain.
(c) Menurut Ibnu Qudamah kakek tidak dapat menutup hak
nenek (ibu dari ayah) karena keduanya sama berhak
menerima warisan, kecuali menurut pendapat ulama Zhahiri
dan Hanbali.
(5) Saudara kandung laki-laki
Saudara kandung laki-laki menjadi ahli waris ashabah bila ia
tidak mewarisi bersama anak atau cucu laki-laki dan tidak juga
ayah. Saudara dapat mewarisi bersama kakek menurut Jumhur
‘Ulama’. Menurut ulama Hanafi dan Zhahiri, saudara tidak dapat
mewaris bersama kakek, karena kakek dalam kedudukannya
sebagai pengganti ayah menutup kedudukan saudara. 22 Bila
saudara kandung laki-laki sendirian, ia berhak atas semua harta
dan bila ia bersama dengan ahli waris lain ia memperoleh sisa
harta sesudah dibagikan terlebih dahulu hak dzawil furudl yang
ada. Jika saudara ada beberapa orang atau bersama dengan kakek
mereka berbagi sama banyak.23
(6) Saudara laki-laki seayah
Saudara laki-laki seayah berkedudukan sebagai ashabah, dengan
syarat tidak ada anak laki-laki, cucu laki-laki, ayah, saudara
kandung laki-laki. Ia dapat mewaris bersama anak atau cucu
perempuan, ibu atau nenek, suami atau istri, saudara seibu laki-
21
Ibid., 236.
22
Ibid., 237.
23
Ibid.
12

laki atau perempuan dan saudara kandung perempuan dan saudara


seayah perempuan yang bersama menjadi ashabah bi ghairihi
bersama saudara seayah laki-laki. Pada umumnya hak kewarisan
saudara seayah laki-lakisama dengan kedudukan saudara kandung
laki-laki, karena ia menempati kedudukan saudara kandung laki-
laki, kecuali dalam hal :
(a) Saudara kandung laki-laki dapat mengajak saudara kandung
perempuan menjadi ahli waris ashabah bi ghairihi,sedangkan
saudara seayah lakilaki tidak dapat berbuat demikian.
(b)Saudara kandung laki-laki dapat berserikat dengan saudara
seibu dalam kasus musyarakah sedangkan saudara seayah laki-
laki tidak dapat.
(7) Anak saudara kandung laki-laki
Anak saudara kandung laki-laki dapat menjadi ahli waris ashabah
bila tidak ada anak atau cucu laki-laki, ayah atau kakek, saudara
kandung laki-laki dan saudara kandung seayah laki-laki. Ia dapat
mewaris bersama anak atau cucu perempuan, saudara perempuan
kandung atau seayah, ibu atau nenek, suami atau istri, saudara
seibu laki-laki atau perempuan. Kewarisan anak saudara kandung
laki-laki adalah sebagaimana kewarisan saudara kandung laki-laki
dalam segala bentuknya.
(8) Anak saudara seayah laki-laki
Anak saudara seayah laki-laki dapat menjadi ahli waris ashabah
bila tidak mewarisi bersamanya anak atau cucu laki-laki, ayah
atau kakek, saudara lakilaki kandung atau seayah dan anak
saudara laki-laki kandung. Ia dapat mewaris bersama anak atau
cucu perempuan, ibu atau nenek, saudara perempuan kandung
atau seayah, suami atau istri, saudar seibu laki-laki atau
perempuan.
(9) Paman kandung
13

Paman kandung adalah saudara kandung dari ayah. Paman


kandung dapat menjadi ahli waris ashabah bila tidak mewarisi
bersamanya anak atau cucu laki-laki, ayah atau kakek, saudara
laki-laki kandung atau seayah dan anak laki-laki dari saudara laki-
kandung atau seayah. Ia dapat mewaris bersama anak atau cucu
perempuan, ibu atau nenek, saudara perempuan kandung atau
seayah, suami atau istri, saudara seibu laki-laki atau perempuan,
suami atau istri.
Bila ahli waris hanyalah paman sendirian, maka ia dapat
mengambil semua harta dan bila ia bersama dengan ahli waris
lain yang berhak ia mengambil sisa harta sesudah dibagikan hak
ahli waris dzawil furudh. Jika ia ada beberapa orang, maka
mereka berbagi sama banyak.
(10) Paman seayah
Paman seayah adalah saudara seayah dari ayah. Ia berhak atas
warisan secara ashabah bila sudah tidak ada di antara ahli waris
itu anak atau cucu laki-laki, ayah atau kakek, saudara laki-laki
kandung atau seayah, anak lakilaki dari saudara laki-laki kandung
atau seayah dan paman kandung. Paman seayah bersama anak
atau cucu perempuan, ibu atau nenek, saudara perempuan
kandung atau seayah, suami atau istri, saudara seibu laki-laki atau
perempuan, suami atau istri.
(11) Anak paman kandung
Anak paman kandung berhak atas warisan secara ashabah bila
sudah tidak ada di antara ahli waris itu anak atau cucu laki-laki,
ayah atau kakek, saudara laki-laki kandung atau seayah, anak
laki-laki dari saudara laki-laki kandung atau seayah dan paman
kandung atau seayah. Bila ia sendiri, ia dapat mengambil semua
harta, sedangkan bila ia bersama ahli waris lainnya yang berhak,
ia mengambil sisa harta sesudah dibagikan kepada ahli waris. Bila
ia ada beberapa orang, maka mereka berbagi sama banyak.
14

(12) Anak paman seayah


Anak paman seayah berhak atas warisan secara ashabah bila
sudah tidak ada di antara ahli waris itu anak atau cucu laki-laki,
ayah atau kakek, saudara laki-laki kandung atau seayah, anak
laki-laki dari saudara laki-laki kandung atau seayah dan anak
paman kandung pewaris . Paman seayah bersama anak atau cucu
perempuan, ibu atau nenek, saudara perempuan kandung atau
seayah, suami atau istri, saudara seibu laki-laki atau perempuan,
suami atau istri. Bila ia sendiri, ia dapat mengambil semua harta
warisan tersebut dan sedangkan bila ia bersama ahli waris lainnya
yang berhak, ia mengambil sisa harta itu dan bila ia ada beberapa
orang, maka mereka berbagi sama banyak.

b) Ashabah bi Ghairihi
Yang dimaksud dengan ashabah bi ghairihi disini adalah seseorang
yang sebenarnya bukan ashabah karena ia adalah perempuan, namun
karena ada bersama saudara laki-lakinya maka ia menjadi ashabah.
Mereka sebagai ashabah berhak atas sisa harta bila hanya mereka
yang menjadi ahli waris, atau berhak atas sisa harta setelah dibagikan
kepada ahli waris furud yang berhak. Kemudian di antara mereka
berbagi dengan bandingan laki-laki mendapat sebanyak dua bagian
perempuan.24 Ahli waris perempuan baru dapat diajak menjadi
ashabah oleh saudara lakilakinya bila ia sendiri adalah ahli waris yang
berhak, jika tidak berhak maka keberadaan saudaranya itu tidak ada
artinya. Seumpama anak saudara yang perempuan bukan ahli waris
sedangkan anak saudara yang laki-laki atau saudara dari anak
perempuan itu adalah ashabah.Dalam hal ini anak saudara yang laki-

24
Ibid., 243.
15

laki itu tidak berdaya untuk menolong saudaranya yang permpuan


itu.25 Yang berhak menjadi ahli waris ashabah bi ghairihi itu adalah:26
(1) Anak perempuan bila bersama dengan anak laki-laki atau anak
laki-laki dari anak laki-laki. Bila ahli waris hanya mereka berdua,
keduanya mengambil semua harta dan bila ada ahli waris lain
yang lain mereka mendapat sisa harta.
(2) Cucu perempuan bersama dengan cucu laki-laki atau anak laki-
laki dari cucu laki-laki. Cucu perempuan itu dapat menjadi
ashabah oleh laki-laki yang sederajat dengannya atau yang berada
satu tingkat di bawahnya. Jika ahli waris hanya mereka saja, maka
mereka berhak atas seluruh harta, sedangkan jika bersama mereka
ada ahli waris furudl, mereka mengambil sisa harta sesudah
pembagian dzawil furudl.
(3) Saudara perempuan kandung bersama saudara laki-laki kandung
Saudara perempuan kandung menjadi ashabah karena keberadaan
saudara laki-laki kandung (saudara laki-lakinya) saat mewarisi
harta. Bila ahli waris hanya mereka saja, keduanya mengambil
semua harta dan bila ada ahli waris lain bersamanya, mereka
mengambil sisa harta yang tinggal.
(4) Saudara seayah perempuan bersama saudara seayah laki-laki
Saudara seayah perempuan menjadi ahli waris ashabah bila
diajak menjadi ashabah oleh saudaranya yang laki-laki. Ia
mengambil seluruh harta bila ahli waris yang berhak hanyalah
mereka berdua. Bila ada ahli waris lain yang mewarisi secara
dzawil furudl maka mereka mengambil sisa harta yang tinggal.

25
Ibid.
26
Ibid., 244.
16

c) Ashabah ma’a Ghairihi


Ashabah ma’a Ghairihi berarti ashabah karena bersama dengan orang
lain. Orang yang menjadi ashabah ma’a ghairihi itu sebenarnya bukan
ashabah, tetapi karena kebetulan bersamanya ada ahli waris lain yang
juga bukan ashabah, ia dinyatakan sebagai ashabah sedangkan orang
yang menyebabkannya menjadi ashabah itu tetap bukan ashabah.27
Ashabah ma’a Ghairihi khusus berlaku untuk saudara perempuan
kandung atau seayah pada saat bersamanya ada naka perempuan.
Anak perempuan tersebut menjadi ahli waris furudl, sedangkan
saudara perempuan menjadi ashabah. Kasus khusus ini timbul pada
waktu sesseorang minta fatwa kepada Ibnu Mas‟ud tentang ahli waris
yang terdiri dari anak perempuan, cucu perempuan dan saudara
perempuan. Ibnu Mas‟ud memutuskan berdasarkan apa yang
dilihatnya dari Nabi yang menyelesaikan kasus yang sama, bahwa
untuk anak perempuan adalah ½, untuk cucu perempuan adalah 1/6
dan sisanya untuk saudara permpuan.28

3) Ahli waris dzawil arhaam


Ahli waris dzawil arham ialah orang-orang yang dihubungkan nasabnya
dengan pewaris karena pewaris sebaga leluhur yang menurunkannya ahli
waris yang mempunyai hubungan family dengan pewaris, tetapi tidak
termasuk golongan waris dzawil furudl dan ashabah.29 Yang termasuk
ahli waris dzawil arham ialah:30
a) Cucu laki-laki atau perempuan, anak-anak dari anak perempuan
b) Kemenakan laki-laki atau perempuan, anak-anak saudara perempuan
kandung, seayah atau seibu.

27
Ibid., 247.
28
Ibid.
29
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, (Yogyakarta : Penerbit
Ekonosia, 2002), 27.
30
Basyir, Hukum Waris Islam …, 27.
17

c) Kemenakan perempuan, anak-anak perempuan saudara laki-laki


kandung atau seayah
d) Saudara sepupu perempuan, anak-anak perempuan paman (saudara
laki-laki ayah)
e) Paman seibu (saudara laki-laki ayah seibu)
f) Paman, saudara laki-laki ibu
g) Bibi, saudara perempuan ayah
h) Bibi, saudara perempuan ibu
i) Kakek, ayah ibu
j) Nenek buyut, ibu kakek
k) Kemenakan seibu, anak-anak saudara laki-laki seibu Tentang hak
waris dzawil arham ini para ulama tidak sependapat, ada yang
memasukkan mereka sebagai ahli waris dan ada yang tidak
memasukkan. Di antara sahabat Nabi yangtidak memasukkan dzawil
arham sebagai ahli waris adalah Zaid bin Tsabit, yang diikuti pula
oleh para tabi‟in seperti Sa‟id bin Musayah dan Sa‟id bin Jubair.
Ulama‟ Dhahiriyah, Imam Malik dan Imam dan Imam Syafi‟I
menganut pendapat ini.31 Kebanyakan sahabat nabi memasukkan
dzawil-arham sebagai ahli waris, seperti „Umar, „Ali, Ibnu Mas‟ud,
Ibnu Abbas dan lain-lain, yang diikuti pula oleh para tabi‟in seperti
„Alqamah, Syurah, Ibnu sirin, dan lain-lain. Iman Abu Hanifah,
Ahmad bin Hambal dan kebanyakan ulama menyokong pendapat ini.
Ulama‟ mutakhir madzhab Maliki dan Syafi‟i menganut pendapat ini
juga.32 Perbedaan pendapat tersebut terjadi oleh karena mengenai hak
waris dzawil-arham ini tidak terdapat keterangan yang jelas dalam Al-
qur‟an maupun hadits-hadits Nabi. Pendapat pertama berpegang pada
prinsip “apabila tidak ada dalil maka tidak ada hukum”. Sedang
pendapat kedua berpegang pada dalil Al-Qur‟an yang meskipun tidak
jelas, dapat difahamkan adanya isyarat yang bersifat umum, yang

31
Ibid., 28.
32
Afdol. Penerapan Hukum Kewarisan Islam …, 98.
18

menyatakan bahwa sanak kerabat (ulul-arham) sebagian lebih utama


dari sebagian yang lain menurut ketentuan Kitab Allah Surat Al-
Anfal: 75. Kecuali ayat tersebut ada lagi hadits Nabi riwayat Ahmad,
Abu Daud dan Ibnu Majah yang mengajarkan bahwa paman (saudara
laki-laki ibu) adalah waris bagi orang yang tidak mempunyai waris
lainnya. Umar bin khattab pernah membagikan warisan kepada paman
(saudara laki-laki ibu) seperti pernah diajarkan dalam hadits Nabi
itu.33

B. Hadits tentang Hibah


1. Teks Hadits

‫مسعت الن ُّْع َما َن بْ ِن بَ ِش ٍري‬


ُ ‫ْي عن َع ِامر قال‬
َْ‫ص‬
ِ
َ ‫َحدَّثَنَا َحام ُد ب َن ُع َم ُر قال حدثنا اَبُو َعَواَن َة َع ْن ُح‬
ِ ُ ُ‫ت الن ُّْع َما َن بْ َن بَ ِش ٍري َو ُىَو َعلَى الْ ِمنْ ََِب يَق‬ َِ ‫ قَ َال‬،‫عن ع ِام ٍر‬
ْ َ‫ فَ َقال‬،ً‫ أ َْع َط ِاِن أَِِب َعطيَّة‬:‫ول‬
ُ‫ت َع ْم َرة‬ ُ ‫مس ْع‬: َ َْ
ِ َ ‫هللا ملسو هيلع هللا ىلص فَأَتَى رس‬
ِ ‫ول‬
ُ ‫ إِِ ِّن أ َْعطَْي‬:‫ فَ َق َال‬،‫ول هللا ملسو هيلع هللا ىلص‬
‫ت ابِِْن‬ َُ َ ‫ضى َح ََّّت تُ ْش ِه َد َر ُس‬
َ ‫ الَ أَ ْر‬،َ‫احة‬ ُ ْ‫بِن‬
َ ‫ت َرَو‬
‫ت َسائَِر َولَ ِد َك ِمثْ َل ى َذا‬ ِ َ ‫ فَأَمرتِِْن أَ ْن أُ ْش ِهد َك َي رس‬،ً‫ت رواحةَ ع ِطيَّة‬
َ ‫ أ َْعطَْي‬:‫ول هللا قَ َال‬ َُ َ َ ََ
ِ ِ
َ َ ََ ْ‫م ْن َع ْم َرةَ بِن‬
ِ ِ ِ
ُ‫ فَ َردَّ َعطيَّتَو‬،‫ فَ َر َج َع‬:‫ْي أَْوالَد ُك ْم قَ َال‬ َ ‫ الَ قَ َال َفاتَّقُوا‬:‫قَ َال‬
َ ْ َ‫هللا َو ْاعدلُوا ب‬
Artinya: Hamid ibn Umar bercerita kepada kami. Beliau berkata: Abu Awanah
bercerita kepada kami dari Hushoyn dari Amir. Beliau berkata: Saya
telah mendengar An Nu'man bin Basyir ketika di atas mimbar
berkata: Dahulu ayahku memberi sesuatu kepadaku tiba tiba ibuku
(Amrah binti Rawahah) berkata Aku tidak rela sehingga kau
persaksikan pemberian itu kepada Rasulullah saw Maka pergilah
ayah bersama aku kepada Rasulullah saw. dan berkata: Aku telah
memberi kepada putraku dari Amrah binti Rawahah sesuatu lalu ia
menyuruh aku supaya mempersaksikan pemberian itu kepadamu ya

33
Basyir, Hukum Waris Islam …, 28.
19

Rasulullah. Nabi saw. tanya: Apakah anda juga memberi kepada lain-
lain anakmu seperti itu? Jawabnya: Tidak. Maka sabda Nabi saw.:
Bertaqwalah kalian kepada Allah dan berlaku adillah kalian di antara
anak-anakmu. Kemudian ia menarik kembali pemberiannya. 34

2. Pemahaman
Hadits diatas menerangkan tentang kewajiban memberi hibah kepada anak
secara adil. Hal ini dikemukakan oleh Imam Bukhori, Imam Ahmad, Ishaq, ats
Tsawri, dan sebagian Ulama‟ Madzhab Malikiyyah.
Pendapat yang masyhur jika hibah tidak adil diberikan kepada anak, maka
hibah itu akan batal. Tetapi ulama berbeda pendapat tentang hibah yang tidak
adil ini. Diantaranya riwayat Imam Ahmad berpendapat, hibah itu sah tetapi
wajib untuk mengembalikan barang hibah tersebut. Pada riwayat yang lain,
boleh lebih, dalam arti tidak adil, bila memang ada sebab.
Menurut Jumhur ‘Ulama’, berlaku adil terhadap hibah kepada anak
merupakan kesunnahan. Jika ada kelebihan diatara yang lainnya, maka hal itu
sah tetapi berhukum makruh.35
Ulama berbeda pendapat tentang sifat sama terhadap anak. Imam
Muhammad ibn Hasan, Imam Ahmad, Ishaq dan sebagian Ulama‟ Madzab
Syafi‟iyyah berpendapat bahwa yang disebut dngan sama adalah adil. Lelaki
diberikan bagiannya 2 kali lipat dari pada perempuan seperti halnya dalam
masalah waris.36
Sebagian yang lain menolak hal demikian. Tidak ada perbedaan antara
bagian laki-laki dan perempuan. Ini pendapat yang ashoh. Pendapat ini
menggunakan dalil hadits yang diriwayatkan oleh Said ibn Manshur dengan
sanad hasan dari Ibn Abbas. Nabi Bersabda

‫ فلو كنت مفضال احدا لفضلت النساء‬،‫سووا بْي اوالدكم ىف العطية‬

34
Al Bukhori, Jami’ Shohih Juz 2, 233.
35
Imam al Hafidh Ahmad ibn Aly ibn Hajar al ‘Asqollany, Iba>n ah al-Ahka>m Sharh Bulu>g { al
Maro>m, (Beirut: Dar al Fikr, t.thn), 204.
36
Ibid.
20

Sedangkan pendapat yang lain, jika ada hiba yang batal maka
diperbolehkan rujuk. Karena permasalahan hibah adalah permasalahan
37
Khilafiyyah.

C. Hadits Tentang Wasiat


1. Teks Hadits
ٍ َّ‫حدثنا عبد هللا بن يوسف قال اخَبان مالك عن ابن شهاب عن عامر بن َس ْع ِد بْ ِن أَِِب َوق‬
‫اص‬

‫ إِِ ِّن‬:‫ت‬ ِ ِ ِ ُ ‫ َكا َن رس‬:‫ قَ َال‬،‫عن ابيو هنع هللا يضر‬


ُ ْ‫ فَ قُل‬،‫ م ْن َو َج ٍع ا ْشَت َّد ِِب‬،‫ودِِن َع َام َح َّجة الَْو َد ِاع‬
ُ ‫ول هللا ملسو هيلع هللا ىلص يَ ُع‬ َُ
ٍ ِ
ُ ْ‫ الَ فَ قُل‬:‫ص َّد ُق بِثُلَُث ْي َم ِاِل قَ َال‬
:‫ت‬ ِ
َ َ‫ أَفَأَت‬،ٌ‫ َو َال يَ ِرثُِِن إالَّ ابَْنة‬،‫قَ ْد بَلَ َغ ِِب م َن الَْو َج ِع َوأَ َان ذُو َمال‬
‫ك أَ ْغنَِي َاء َخْي ٌر ِم ْن أَ ْن‬
َ ‫ك أَ ْن تَ َذ َر َوَرثََت‬
ِ
َ َّ‫ إن‬،‫ث َكبِ ٌري أَْو َكث ٌري‬ ُ ُ‫ الثُّل‬:‫ الَ ُُثَّ قَ َال‬:‫لش ْط ِر فَ َق َال‬
ُ ُ‫ َوالثُّل‬،‫ث‬ َّ ‫ِِب‬

‫ت ِِبَا َح ََّّت َما ََْت َع ُل‬ ِ ِ ِ ِ ِ


َ ‫ك لَ ْن تُنْف َق نَ َف َقةً تَ ْب َتغي ِبَا َو ْج َو هللا إِالَّ أُج ْر‬
َ َّ‫ َوإِن‬،‫َّاس‬
َ ‫تَ َذ َرُى ْم َعالَةً يََت َكفَّفُو َن الن‬
ِ َ ‫ َي رس‬:‫ِِف ِِف امرأَتِك فَ قُلْت‬
ً‫ف فَ َت ْع َم َل َع َمال‬ َ َّ‫ إِن‬:‫َص َح ِاِب قَ َال‬
َ َّ‫ك لَ ْن َُُتل‬ ُ َّ‫ول هللا أ َُخل‬
ْ ‫ف بَ ْع َد أ‬ َُ َ ُ َ َْ
ِ ِ ‫اْلا إِالَّ ا ْزدد‬
ِ
،‫رخ ُرو َن‬
َ ‫ك‬َ ِ‫ض َّر ب‬ َ ‫ف َح ََّّت يَْن َتف َع ِب‬
َ ُ‫ك أ َْق َو ٌام َوي‬ َ َّ‫ ُُثَّ َل َعل‬،‫ت ِبو َد َر َج ًة َوِرْف َع ًة‬
َ َّ‫ك أَ ْن َُُتل‬ َ َْ ً ‫ص‬ َ
ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ‫ض أل‬
ُ‫ يَ ْرثي َلو‬،‫س َس ْع ُد ابْ ُن َخْوَل َة‬ ْ ِ ‫اللَّ ُه َّم أ َْم‬
ُ ‫ لك َن اْلَبائ‬،‫َص َحاِب ى ْج َرَت ُه ْم َو َال َت ُرَّد ُى ْم َعَلى أ َْع َقاِب ْم‬
َ‫ات ِِبَ َّكة‬ ِ ُ ‫رس‬
َ ‫ول هللا ملسو هيلع هللا ىلص أَ ْن َم‬ َُ
Artinya :Abdullah Ibn Yusuf bercerita kepada kami. Beliau diberi Khabar oleh
Malik dari Ibn Shihab dari Amir ibn sa’d ibn Abi Waqqash dari
Ayahhnya ra. berkata: Ketika hajjatul wadaa saya menderita sakit
keras, maka Nabi saw. datang menjenguk, maka aku berkata: Wahai
Rasulullah, penyakitku telah sedemikian dan aku berharta dan tidak
ada ahli warisku kecuali seorang putriku, apakah boleh aku
sedekahkan dua pertiga kekayaanku? Jawab Nabi saw.: Tidak. Kalau

37
Ibid.
21

begitu separuh? Jawab Nabi saw.: Tidak. Aku berkata: Sepertiga?


Jawab Nabi saw.: Sepertiga itu sudah besar dan banyak,
sesungguhnya jika kau meninggalkan ahli warismu kaya itu lebih baik
daripada meninggalkan mereka miskin sehingga minta-minta kepada
orang. Dan semua nafkah (belanja) yang kau nafkahkan karena Allah
pasti diberi pahala sehingga apa yang kamu berikan makan untuk
isteri-mu. Lalu aku tanya: Ya Rasulullah, apakah aku akan ditinggal
oleh sahabatku. Jawab Nabi saw.: Anda tidak akan tertinggal, maka
bila anda berbuat amal kebaikan melainkan akan bertambah derajat
tingkatmu, dan mungkin anda akan ditinggal sehingga banyak kaum
yang bermanfaat (beruntung) denganmu di samping yang lain merasa
rugi karenamu. Ya Allah, lanjutkan hijrah sahabatku dan jangan
Engkau kembalikan mereka ke belakang. Tetapi orang yang sial ialah
Sa'ad bin Khaulah yang selalu disesalkan oleh Nabi saw. karena ia
mati di Mekkah.

2. Pemahaman
Kata washiyyah merupakan bentuk mahdar dari washâ yang berarti
mewasiatkan. Kata washiyyah yang sejatinya menunjukkan kepada perbuatan,
namun kata ini sering merujuk kepada benda yang diwasiatkan (mûshâ bih).
Sedangkan secara istilah, washiyyah adalah akad perpindahan hak milik, baik
berupa harta maupun manfaat yang realisasinya dilakukan setelah meninggal
dunia dengan tujuan dan cara yang baik.38
Secara historis, wasiat merupakan pengalihan harta yang biasa
dipraktikkan oleh bangsa-bangsa sebelum Islam. Hukum Romawi memberikan
kebebasan kepada seorang pemilik harta untuk mewasiatkan hartanya kepada
orang lain tanpa batas secara kuantitatif, bahkan dengan tidak menyisakan
sama sekali untuk anak-anaknya. Bangsa Arab sebelum Islam merasa bangga
dan berlomba-lomba memberikan wasiat kepada orang lain dan mengabaikan

38
Wuza>rah al-Awqa>f wa al-Shu’u>n al-Isla>miyyah, al-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah, Juz 42 (Kuwait:
Wuza>rah al-Awqa>f wa al-Shu’u>n al-Isla>miyyah, 2004), 221.
22

wasiat kepada para kerabatnya.39 Kondisi ini jelas merupakan kezaliman


kepada anak-anak mereka dan kerabatnya yang lebih berhak untuk menerima
harta milik orang tua atau kerabatnya daripada orang lain.
Ketika Islam datang, wasiat merupakan media untuk pengalihan harta
dengan memberikan titik tekan terhadap wasiat kepada kedua orang tua dan
para kerabatnya, sebagaimana dikemukakan dalam firman Allah:
ِ ‫ُكتِب علَي ُكم إِذَا حضر أَح َد ُكم ٱلموت إِن تَ رَك خي ار ٱلو ِصيَّةُ لِلولِدي ِن وٱألَق ربِْي بِٱلمعر‬
‫وف َحقِّا‬ُ َ َ َ َ ََ َ ًَ َ ُ َ ُ َ ََ َ َ َ
‫ْي‬ ِ
َ ‫َعلَى ٱل ُمتَّق‬
Artinya: Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,
berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma´ruf, (ini
adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.40

Dengan ayat ini, seorang pemilik harta diperintahkan untuk lebih


mengutamakan wasiat kepada orang tua dan kerabatnya daripada orang lain
dalam mendistribusikan harta miliknya. Dia boleh memberikan wasiat kepada
orang lain apabila orang tua dan kerabatnya telah diberi wasiat terlebih dahulu.
Pengalihan harta antar generasi melalui wasiat ini merupakan keniscayaan bagi
pemilik harta sebelum ada waris.
Hadits tersebut melarang secara tegas wasiat lebih dari sepertiga harta.
Wasiat hanya berlaku dalam batas sepertiga dari harta warisan. Sehingga
wasiat lebih dari sepertiga harta warisan dianggap lebih baik. Dengan
demikian memberi suatu penjelasan bahwa penting mempertimbangkan
kebutuhan ahli waris sebelum seseorang memutuskan untuk berwasiat.
Adanya larangan berwasiat lebih dari sepertiga harta seperti yang
dikemukakan di atas, bertujuan untuk mencegah praktek wasiat yang bisa
merugikan ahli waris yang ditinggalkan. Bagi setiap orang yang akan
mewasiatkan sebagian hartanya, sebaiknya mendahulukan kepentingan ahli

39
Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh, Juz 8 (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1985), 7.
40
QS. Al Baqoroh (02): 180
23

warisnya. Oleh karena meninggalkan ahli waris dalam keadaan yang


berkecukupan adalah lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan
miskin. Untuk memperbanyak amal kebajikan dan meringankan dosa,
seseorang yang dalam keadaan maradh al- mawt tanpa berpikir panjang bisa
mewasiatkan sebagian bahkan seluruh hartanya, tanpa memikirkan kepentingan
ahli waris yang ditinggalkan.41
Dalam batasan tersebut mengandung keterangan tentang keharusan
berlaku adil di dalam wasiat melalui larangan tidak diperbolehkannya
mencegah ahli waris untuk mendapatkan hak warisnya. 42
Orang yang menerima wasiat itu adakalanya dari kalangan ahli waris dan
adakalanya bukan dari kalangan ahli waris. Apabila orang yang menerima
wasiat bukan dari ahli waris , maka pelaksanaannya tidak perlu menunggu izin
dari ahli waris, asalkan yang diwasiatkan itu tidak boleh melebihi dari sepertiga
dari harta warisan itu. Jika melebihi dari sepertiga , perlu mendapat persetujuan
dari ahli waris. Sekiranya tidak disetujui, maka yang batal adalah hanya yang
lebih dari sepertiga itu saja , dan yang sepertiga tetap berlaku dan dilaksanakan.
Apabila wasiat itu diberikan kepada ahli waris , maka wasiat itu belum bisa
dilaksanakan sebelum ada persetujuan dari ahli waris lainnya, walaupun
jumlahnya kurang dari sepertiga.43
Wasiat tidak boleh dilaksanakan sebelum hutang-hutang orang yang
berwasiat dilunasi atau dibebaskan dari beban hutang. Jadi jumlah sepertiga
harta warisan yang dikeluarkan untuk wasiat itu tidak termasuk hutang.
Madzhab Syafi'iyah mengatakan jumlah sepertiga itu dihitung pada saat
meninggalnya orang yang berwasiat.44
Apabila pewasiat mempunyai kewajiban zakat, kafarat, haji atau
kewajiban-kewajiban lain yang menyangkut harta, maka kewajiban tersebut

41
Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer , (Jakarta: Kencana,
2004), 403.
42
Saefudin Zuhri, 81 Keputusan Hukum Rasulullah , (Jakarta: Pustaka Azzam, 2000), 181.
43
M. Ali Hasan. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam. (Jakarta : PT.Raja Grafindo
Persada, 2002), 99.
44
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab , terj. Masykur, dkk. (Jakarta: Lentera,
2001), 514.
24

dikeluarkan dari harta peninggalannya, bukan dari sepertiganya, baik berwasiat


tentang kewajiban tersebut atau tidak, sebab kewajiban tersebut adalah hak
Allah yang harus dilaksanakan. Tapi jika berwasiat tentang kewajiban tersebut
dan menunjuk dananya dari sepertiga harta warisan, maka kewajiban tersebut
dilaksanakan sesuai dengan perkataan yang diwasiatkannya.45

D. Hadits tentang Wakaf


1. Teks Hadits

‫حدثنا قتيبة بن سعيد قال حدثنا دمحم بن عبد هللا االنصارى قال حدثنا ابن عون قال انبأىن انفع‬
ِ
َّ ِ‫ َفأََتى الن‬،‫ضا ِ َِبْي َب َر‬
ُ‫َّب ملسو هيلع هللا ىلص يَ ْسَتأْم ُره‬ ً ‫اب أ َْر‬
َ ‫َص‬
ِ
َ ‫َن ُع َم َر بْ َن ا ْْلَطَّاب أ‬
َّ ‫ أ‬،‫عن ابْ ِن ُع َم َررضي هللا عنهما‬

‫ َف َما ََت ُم ُر‬،ُ‫س ِعْن ِدي ِمْنو‬ ُّ


َ ‫ب َما ًال َقط أَنْ َف‬
ِ ِ ‫ول‬
ِ ً ‫هللا إِِِن أَصبت أَر‬
ْ ‫ضا َِبْي َب َر ملْ أُص‬ ْ ُ َْ ّ َ ‫ ََي َر ُس‬:‫ َف َق َال‬،‫فِ َيها‬
ِ َ ‫ َف تصد‬:‫ إِ ْن ِشْئت حبَّست أَصلَها وَتص َّد ْقت ِِبا َق َال‬:‫بِ ِو َق َال‬
‫ب َو َال‬
ُ ‫وى‬ ُ ‫َّق ِبَا ُع َم ُر أَنَّوُ َال يَُب‬
َ ُ‫اع َو َال ي‬ ََ َ َ َ َ َْ َ ْ َ َ
ِ ‫السبِ ِيل والضَّْي‬ ِ ِ ِ ِ ِ ‫َّق ِِبا ِِف الْ ُف َقر ِاء وِِف الْ ُقرَب وِِف‬
‫ َال‬،‫ف‬ َ َّ ‫الرَقاب َوِف َسب ِيل هللا َوابْ ِن‬
ّ َ َْ َ َ َ َ ‫صد‬ َ ‫ َوَت‬،‫ث‬
ُ ‫يُ َور‬

‫ت بِ ِو‬ ‫ َغْي َر ُمَت َم ِّوٍل َق َال َّا‬،‫وف َويُ ْطعِ َم‬


ُ ْ‫ َف َح َّدث‬:)‫(الر ِوي‬
ِ ‫جناح علَى من ولِيها أَ ْن َي ُكل ِمْنها ِِبلْمعر‬
ُْ َ َ َ َ َ َ َ ْ َ َ َ َُ
‫ َغْي َر ُمَتأَثٍِّل َما ًال‬:‫ َف َق َال‬،‫ين‬ِِ
َ ‫ابْن سري‬
Artinya: Qutaybah ibn said bercerita kepada kita. Beliau berkata: Muhammad
Ibn Abdullah al Anshori. Beliau berkata: Ibnn ‘Aun bercerita kepada
kami. Beliau berkata: Nafi’ bercerita kepada kami dari Ibn Umar r.a.
berkata: Umar bin al Khatthab r.a. mendapat bagian kebun di
Khaibar, maka ia datang kepada Nabi saw. bertanya: Ya Rasulullah,
aku mendapat bagian tanah kebun di Khaibar yang sangat berharga
bagiku, maka kini apakah anjuranmu kepadaku? Jawab Nabi saw.:
Jika anda suka wakafkan tanahnya sedang hasilnya untuk sedekah.
Maka ditetapkan wakaf yang tidak boleh dijual atau diwarisi atau

45
Ibid.
25

diberikan, lalu hasilnya disedekahkan kepada fakir miskin dari


kerabat, untuk memerdekakan budak mukatab, dan orang rantau dan
tamu, tidak dosa bagi yang merawatnya untuk makan dari padanya
secara yang layak atau memberi makan asalkan tidak untuk
menghimpun kekayaan. (Bukhari, Muslim). Yang meriwayatkan
berkata: Ketika aku terangkan hadits ini pada lbn Sirin, dia berkata:
Bukan mutamawwil, tetapi muta atstsil malan (artinya menghimpun
harta kekayaan).46

2. Makna Lafadz47

َ َ‫ أَنْف‬: yang bagus bagiku. Menurut pendapat Ad Dawudi bagus


a. ُ‫س َ ِعنْ ِدي َِمنْو‬
karena diambil dari sesuatu yang bagus.
b. ‫صدَّقْتَ َبِ َيا‬
َ َ ‫ ت‬: sedekahkanlah kemanfaatannya. Pada riwayat yang lain, Imam
Bukhori menggunakan redaksi ُ‫صلَو‬
ْ َ ‫صدَّقْتَ َبَِث َ َم ِر هِ ًََ َ َحبِّس َا‬
َ َ ‫ت‬. Diriwayat yang lain
‫صلَوًََُ سَ ِبّ ْلَث َ ْم َرتَو‬
ْ َ ‫َح ِبّسَا‬

3. Pemahaman
Dalam Islam, orang yang pertama kali mewakafkan hartanya adalah
Sayyidina Umar Ra. meskipun dilarang nabi, tetapi pada akhirnya yang
diwakafkan adalah kemanfaatannya. Meskipun demikian, tetapi hal tersebut
masih dihukumi wakaf oleh Kanjeng Nabi Muhammad Saw.48
Riwayat Bukhari itu memberikan pengertian bahwa kalimat “pokoknya
tidak dijual dan tidak dihibahkan” itu dari sabda Rasulullah saw. Dan
sesungguhnya inilah keadaan wakaf yang sebenarnya. Sabda Rasulullah itu
menolak atau membantah pendapat Abu Hanifah yang membolehkan menjual
harta wakaf. Kata Abu Yusuf “Sesungguhnya seandainya hadis| ini sampai

46
Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail al Bukhori, Jami’ Shohih Juz 2, (Kairo: Maktabah
Salafiyyah, 1400 H), 285.
47
Imam Muhammad ibn’Ali ibn Muhammad Ash Shaukani, Nayl al Awtho>r, (Lebanon: Bayt
al Ifka>r ad Dawliyyah, 2004), 1134.
48
Imam al Hafidh Ahmad ibn Aly ibn Hajar al ‘Asqollany, Iba>n ah al-Ahka>m Sharh Bulu>g { al
Maro>m, (Beirut: Dar al Fikr, t.thn), 200.
26

kepada Abu Hanifah niscaya beliau berpendapat berdasarkan hadis| tersebut


dan pasti menarik kembali yang membolehkan jual beli harta wakaf.”49

49
Muhammad Faiz Almath, Hadits-Hadits Wakaf, (T.t: T.p, T.Thn), 56
27

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Warisan
empat macam konsep baru yang ditawarkan Al-Qur‟an ketika itu dan untuk
seterusnya.
a. Islam mendudukkan anak bersamaan denga orang tua pewaris serentak sebagai
ahli waris.
b. Islam juga memberi kemungkinan beserta orang tua (minimal dengan ibu)
pewaris yang mati tanpa keturunan sebagai ahli waris.
c. Suami istri saling mewarisi.
d. Adanya perincian bagian tertentu bagi orang-orang tertentu dalam keadaan
tertentu
Di dalam membicarakan hukum warisan maka ada tiga hal yang perlu mendapat
perhatian, yaitu:
a. Harta kekayaan atau harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris dan yang
akan beralih kepada ahli waris
b. Pewaris atau orang yang meninggal dunia, yang meninggalkan harta warisan /
harta kekayaan.
c. Ahli waris yang berhak menerima harta kekayaan itu.
Orang yang berhak menerima harta warisan adalah orang yang mempunyai
hubungan kekerabatan atau perkawinan dengan pewaris yang meninggal. Di
samping adanya hubungan kekerabatan dan perkawinan itu, mereka baru berhak
menerima warisan secara hukum dan disebut dengan ahli waris.

2. Hibah
Hadits diatas menerangkan tentang kewajiban memberi hibah kepada anak secara
adil. Pendapat yang masyhur jika hibah tidak adil diberikan kepada anak, maka
hibah itu akan batal.
28

3. Wasiat
Wasiat hanya berlaku dalam batas sepertiga dari harta warisan. Sehingga wasiat
lebih dari sepertiga harta warisan dianggap lebih baik. Dengan demikian memberi
suatu penjelasan bahwa penting mempertimbangkan kebutuhan ahli waris
sebelum seseorang memutuskan untuk berwasiat.
Alasan kenapa tidak diperbolehkan lebih dari sepertiga adalah dikhawatirkan akan
merugikan pihak ahli waris. Sebagian Ulama berpendapat jika lebih dari sepertiga,
maka harus mendapat restu dari ahli waris atau kelebihan dari sepertiga itu batal
dan yang sepertiga itu sah.

4. Wakaf
Orang yang wakaf dalam islam pertama kali ialah Sayyidina Umar ra. beliau
ketika akan mewakafkan tanah dan kebunnya di daerah khaibar dilarang oleh
kanjeng nabi karena lebih baik yang diwakafkan adalah manfaatnya kebun
tersebut
29

DAFTAR PUSTAKA

Afdol. 2003. Penerapan Hukum Kewarisan Islam Secara Adil. Surabaya :


Airlangga University Press.-
Almath, Muhammad Faiz. T.Thn. Hadits-Hadits Wakaf. T.t: T.p.
Anshori, Abdul Ghofur. 2002. Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia. Yogyakarta
: Penerbit Ekonosia.
‘Asqollany (al), Imam al Hafidh Ahmad ibn Aly ibn Hajar. 1987. Fath al-Bary bi
Sharh Shohih al Bukhory. Kairo: Dar al Royyan li at Turats.
________________________________________________. T.Thn. Iba>nah al-
Ahka>m Sharh Bulu>g{ al Maro>m. Beirut: Dar al Fikr.
Bukhori (al), Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail.1400 H. Jami’ Shohih. Kairo:
Maktabah Salafiyyah.
Basyir, Ahmad Azhar. 1999. Hukum Waris Islam, Jogjakarta : Penerbit Ekonosia,
Fakultas Ekonomi UII.
Hasan, M. Ali. 2002. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam. Jakarta : PT.Raja
Grafindo Persada.
Shaukani (al), Imam Muhammad ibn’Ali ibn Muhammad. 2004. Nayl al Awtho>r.
Lebanon: Bayt al Ifka>r ad Dawliyyah.
Shun’any (al), Imam al ‘Allamah Muhammad ibn Isma’il. 2006. Subul al Salam
Syarh Bulugh al Marom, Riyadh: Maktabah al Ma’arif.
Syarifudin, Amir. 2004. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Prenada Media.
Wuza>rah al-Awqa>f wa al-Shu’u>n al-Isla>miyyah. 2004. al-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah.
Kuwait: Wuza>rah al-Awqa>f wa al-Shu’u>n al-Isla>miyyah.
Zuhailî (al), Wahbah. 1985. al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh. Damaskus: Dâr al-
Fikr.

Anda mungkin juga menyukai