Yakni pelaku tindak pidana tersebut tergolong orang mukalaf yang dapat dimintai
pertanggung jawaban dan patut dikenakan sanksi hukum atas tindakan yang dilakukannya.
Oleh karen itu, apabila seorang anak yang belum dewasa ataupun orang gila melakukan
pembunuhan, maka pelaku pembunuhan tersebut tidak dikenakan sanksi hukum kisas.
Unsur moral ini dapat terpenuhi apabila pelaku tindak pidana telah mencapai usia
dewasa (balig), berakal sehat, mengetahui bahwa ia melakukan tindakan yang dilarang, dan
melakukannya atas kehendaknya sendiri. Hukum pidana Islam tidak mengenal adanya istilah
“berlaku surut”. Artinya, sanksi hukum terhadap suatu tindak pidana tidak berlaku sebelum
ada ketentuan hukumnya dan diketahui oleh pelaku tindak pidana yang bersangkutan, karena
tidak ada taklif sebelum ada ketentuan hukum.
Di samping itu, terdapat perbedaan pendapat para ulama mengenai tempat berlakunya
hukum pidana Islam. Abu Hanifah (699-767; pendiri mazhab Hanafi) misalnya, berpendapat
bahwa hukum pidana Islam berlaku terhadap segala tindak pidana yan dilakukan di Darul
Islam, baik pelakunya penduduk muslim maupun non muslim di bawah perlindungan
penguasa muslim (kafir zimmi). Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal
berpendapat bahwa hukum pidana Islam berlaku bagi setiap orang yang tinggal di Darul
Islam, baik untuk selamanya maupun untuk sementara waktu, apakah ia muslim atau
nonmuslim.