Anda di halaman 1dari 33

Muhammad Arkoun

Dr. Irfan Safrudin, M.Ag

Kelahiran
Muhammad Arkoun lahir pada tanggal 12
januari 1928 di wilayah Berber di TauritMimoun Kabila Al-jazair .
SD di Taurit
Sekolah menengah di Kota Pelabuhan Oran
Doktornya di Univ Sorbonne Perancis

Kritik Epistemologi
Muhammad Arkoun
Arkoun adalah seorang Pemikir Muslim yang
berhasil mengawinkan kritisisme dengan
pandangan hermeneutik kontemporer.
Dengan wacana kontemporer tentang bahasa,
semiotika, dan hermeneutika, Arkoun telah
memberikan kontribusi pd metodologi interpretasi
dan hermeneutika al-Quran (Farid Esack, Quran,
Liberation and Pluralism : An Islamic Perspective of Interreligious
Solidarity Against Oppression, 1997:63-64)

Interaksi Pemikiran
Karya Arkoun memperlihatkan afinitasnya
dengan apa yang ketika itu menjadi
kegandrungan pemikiran akademisi Prancis
- Paul Ricoeur (1913- ) linguistik-struktural
- Michel Foucault (1926-1984)
Pascastrukturalisme
- Jacques Derrida (1930- )
Dekonstruksionisme

Kritik atas Akal Islam


Kata Kritik tak bisa dilepaskan dari
filsafat Immanuel Kant. Sehingga
Arkoun disebut Kantian atau rasionalis
tulen.
Kant : Ctitique of Fure Reason dan
Critique of Practical Reason.

lanjutan
Jean-Paul Sartre : Critique of Dialectical
Reason
Francois Furet : Penser la Revolution
Francaise (Penser : memikir ulang/menalar
kritis/mengkaji secara mendalam)
Furet : Arkoun ingin menerapkannya u/
membaca teks al-Quran dengan nalar atau
akal kritis.

Teks Al-Quran
Telah melahirkan puluhan literatur tafsir,
interpretasi, sepanjang sekian abad, sejak
kelahirannya hingga sekarang.
Tumpukan penafsiran itu diibaratkan
menyerupai lapisan-lapisan geologis pada
bumi (debu-debu yang menyelimuti fosil
pemikiran)

Tumpukan yang satu diatas


tumpukan lainnya, sehingga sangat
sulit menembus ke peristiwaperistiwa-pembentukan-pertama (alhadats al-tasisiyyu al-awwal), ke
peristiwa-pembangunan-awal dalam
keadaannya yang masih segar dan
kaya,

kecuali telah dibongkar


(deconstruction) lapisan-2 geologis
yang pejal- yang tak lain adalah
seluruh literatur tafsir yang menjadi
penghalang pemandangan. Jika
gagal menembus dan mengetahuinya
sebagaimana adanya, maka yang
diketahui hanyalah sebatas citraancitraan yang terefleksi darinya.

Pendapat Arkoun
Khazanah tafsir Islam dengan segala macam
mazhab dan alirannya, sesungguhnya alQuran hanya merupakan alat untuk
membangun teks-teks lain yg dapat
memenuhi kebutuhan dan selera suatu masa
tertentu setelah masa turunnya al-Quran itu
sendiri. Semua tafsir itu ada dengan
sendirinya, dan untuk dirinya sendiri.

Tafsir-2 tersebut merupakan


karya intelektual dan produk
budaya yang lebih terikat dengan
konteks kultural yang
melatarbelakanginya, dengan
lingkungan sosial atau teologi
yang menjadi payungnya
daripada dengan konteks alQuran itu sendiri.

Pola relasi yang terus menerus


mengayun antara teks pembentuk atau
peristiwa pembentuk dg eksploitasi
teologis dan ideologis yang begitu
beragam terhadapnya yang dilakukan
oleh berbagai generasi dari latar
belakang sosio-kultural yg berbeda,
akhirnya membuat teks-teks kedua tsb
(yaitu teks yang menjelaskan atau
menafsirkan teks pembentuk) memiliki
sejarahnya sendiri secara khusus

Ada teks pertama, lalu komentar, lalu


komentar atas komentar, begitu
seterusnya, tak ada habisnya.
Sejarah tafsir begitu kompleks, dan harus
ada penyusunan kembali atau
restrukturisasi terhadapnya dengan cara
menuliskan kembali sejarahnya secara
jernih dan kritis.

Karena seluruh tafsir itu


diproduksi oleh akal manusia,
maka harus dilakukan analisa
terhadap mekanisme dan struktur
akal tersebut dengan
menggunakan pisau metodologi
seperti yang dikehendaki Arkoun.

Tetapi perlu diketahui bahwa


akal itu bersifat Plural, sebab
setiap aliran atau mazhab
melandaskan diri pada sejumlah
aksioma dan referensi kultural
tertentu yang menyebabkan akal
bekerja dengan mekanisme
khusus dengan batas-batas yang
ketat dan pasti.

Itulah Akal Islam karena selalu


merujuk kepada pokok-pokok
(ushul) dan otoritas yang sama.
Akal-Akal Islam yang plural itu
seperti akal tasawuf, akal mutazilah,
akal para filsuf, akal penganut
mazhab hanbali, dsb.
Titik tolak akal-akal itu berbeda
dalam sejumlah aksioma dasar.

Secara historis, akal-akal itu


saling berseteru, bersaing dan
bermusuhan, tetapi juga
mengandung unsur-unsur pokok
yang sama. Unsur- inilah yg
memberi kemungkinan untuk
berbicara mengenai adanya
Akal Islam yang tunggal.

Unsur-2 Pokok
1. Ketundukan akal-akal ini pada
wahyu yang terberi atau
diturunkan dari langit. Wahyu itu
kedudukannya lebih tinggi, sebab
dihadapan akal-akal tsb, wahyu
memiliki watak transendental
yang mengatasi manusia, sejarah
& masyarakat.

Unsur-2 Pokok
2. Penghormatan terhadap otoritas dan
keagungan serta ketaatan akal-akal Islam
kepadanya. Terdapat banyak imam
mujtahid dalam setiap aliran yang
dianggap sebagai otoritas tertinggi yang
tak boleh dibantah atau didebat, Meski tak
dipungkiri adanya perbedaan dan
perselisihan antar-imam itu sendiri.

lanjutan
3. Akal

memainkan perannya
melalui suatu cara pandang
tertentu (khas abad
pertengahan) terhadap semesta

Kritik atas akal Islam


Untu memecahkan persoalan ini, Arkoun
melakukan kritik atas Akal Islam
dengan menggunakan dua tahap dlm
metodologinya
1. Tahap historis atau klarifikasi historis.
2. Tahap Filosofis atau tahap penilaian
menyeluruh.

Menurut Arkoun, tugas sejarah adalah


melakukan kerja kritis thd seluruh data,
materi, dokumen tafsir dan penggunaan
(secara ideologis terhadap teks pertama),
harus dijelaskan seperti apa adanya melalui
metode-metode sejarah modern.
Tugas sejarah juga mengemukakan fakta yang
benar secara menyeluruh, lepas apakah yang
bersangkutan senang atau tidak.

Tugas Filsafat adalah melakukan


kritik epistemologis terhadap
seluruh data tsb dengan
memeras kesimpulankesimpulan umum dari kerja
kesejarahan serta hasil-hasil
empiris yang ditemukannya.

Episteme & Wacana


Cara manusia menagkap, yaitu memandang
dan memahami kenyataan
Karena manusia menangkap kenyataan
dengan cara tertentu, ia juga
membicarakannya dengan cara tertentu.
Cara manusia membicarakan kenyataan itu
disebutnya wacana

Logosentrisme
A. Tradisi yg mencirikan pemikiran
Barat dan berdasarkan anggapan
bahwa ada sama dg kehadiran
dan yang benar adalah yg riil atau
hadir.

Logosentrisme
A. Kenyataan bahwa manusia tidak dapat
mengungkapkan diri dan malahan tidak
dapat berpikir kecuali melalui bahasa,
tradisi kebahasaan, tradisi teks tertentu
manusia berada di dalam kungkungan
logosentris (anggitan logosentrisme dlm
kedua arti tsb)

Lanjutan logosentrisme
Dengan kata lain manusia tidak
dapat berpikir atau menulis apapun
tanpa merujuk pada tradisi
pemikiran tertentu yang
mengendap dan dilestarikan dalam
sekian banyak teks yang saling
berkaitan.

Lanjutan logosentrisme
Menurut Derrida : tdk berarti manusia
sama sekali tdk bisa maju dlm
pemikiran atau melakukan kritik thd
pemikirannya sendiri atau pemikiran
orang lain yang terdahulu. Kemajuan
dan kritik adalah mungkin, ttp hanya
dari dlm tradisi teks atau wacana
tertentu.

Dekonstruksi
Proses kritik dari dalam itu disebut Derrida :
dekonstruksi atau pembongkaran.
Proses pembongkaran yang mendapatkan perhatian
adalah hal-hal :
- yang tak dipikirkan
- Yang tak terpikir
Berbeda dg hal :
- Yang terpikir
- Yang dipikirkan

Dekonstruksi Arkoun
Arkoun berusaha menemukan kembali makna
yang menjadi tersingkir atau terlupa karena sekian
banyak proses penutupan dan pembekuan yang
dialami pemikiran Islam. (Taqdis al-Afkari aldin).
Dekonstruksi tidak sama dg destruksi
(pemusnahan) krn tdk memusnahkan atau
menghapuskan suatu wacana, melainkan hanya
menampakkan segala aspek dan unsurnya.

Dekonstruksi & Rekonstruksi


Arkoun menegaskan dekonstruksi
harus dibarengi rekonstruksi
(pembangunan kembali) suatu wacana
atau kesadaran yang meninggalkan
keterbatasan, pembekuan, dan
penyelewengan wacana sebelumnya.

Deconstruction
Mempertanyakan ulang (membongkar) adagiumadagium yang sudah mapan yang sudah
standar yang dibangun oleh pola pikir aliran,
zaman, mazhab, kelompok, untuk kemudian dicari
dan disusun teori yang lebih relevan untuk
memahami kenyataan masyarakat, realitas
keberagamaan dan realitas alam berkembang saat
ini jauh dari masa teori-teori yang sudah standar
tersebut dibangun

Cloture Logocentris

Manusia selalu terkurung


dalam tradisi, keterbatasan
kultural dan teks yang
mengitarinya.

Anda mungkin juga menyukai