Anda di halaman 1dari 7

RESUME SEMINAR KE-ASSYAFI’IYAHAN

“Let’s Strive to Continue the Ideas of the Founder of As-syafi’iyah ”


Disusun untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah: KeAassyafi’iyahan

Dosen Pegampu: Dra,.Neneng Munajah,M.A

oleh;
Dewi Pandu Kusuma Ningrum

3120210025

PAI-B

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM AS-SYAFI’IYAH


MENGHIDUPKAN
SEMANGAT KH. ABDULLAH SYAFI’I
oleh; Bapak Aziz Rahmat

Menyikapi masa lalu, masa kini dan masa depan


Memiliki Sikap ambivalen/Ambivalensi merupakan keadaan perasaan yang terjadi secara
bersamaan yakni, antara perasaan yang bertentangan terhadap seseorang.
Rasa rindu untuk kembali kepada kejayaan masa lalu, pada saat yang sama tertanam harapan
melepaskan diri dan putus hubungan dengan tradisi.

 Bagaimana Meraih Masa Depan?

Seruan menjadi bagian dari dunia modern sepenuhnya. (hadatsiyun)


Seruan kembali kepada nilai-nilai masa lalu, Islam yang Murni (salafiyun)
Mendukung satu bentuk eklektisme (intiqa’i)

 Kritik terhadap suara yang ingin menjadi modern sepenuhnya


yaitu:
 Modernitas hanya dipahami sekedar pencerapan inspirasi dari modernitas Eropa
dengan mengambil dasar pemikiran rasional, dan basis pemikiran bagi wacananya.

 Sebagai bagian dari karakteristik sejarah kebudayaan Eropa, Modernitas Eropa tidak
mampu menganalisis realitas kebudayaan Indonesia yang terbentuk jauh di luar
dirinya.
 Tidak terdapat satu modernitas tunggal yang bersifat absolut universal, sebaliknya
terdapat modernitas yang berbeda, dari satu masa ke masa yang lain dari satu tempat
ke tempat yang lain.
 Konsep tentang modernitas haruslah berbeda dari satu dengan yang lain sesuai dengan
keragaman ruang waktu serta pengalaman historis.
 Memahami modernitas tidak harus sama seperti pemahaman para intelektual dan
peneliti Eropa. Konsep modernitas seharusnya diupayakan dalam rangka
mengembangkan sebuah metode dan visi modern tentang tradisi.
 Modernitas dipahami sebagai akar dan bagian mendasar dari Islam itu sendiri, tanpa
melihat momen-momen kolonial di dalamnya. Karena Pada momen inilah modernitas
melapangkan jalannya ke seantero dunia.
 Gagasan modernitas mestinya bukan untuk menolak tradisi/memutus masa lalu, tetapi
sebagai upaya untuk meng-upgrade sikap serta pendirian dengan mengandaikan pola
hubungan kita dengan tradisi dalam tingkat kebudayaan.
 Kritik terhadap pandangan kembali kepada tradisi Islam yang orisinal dan otentik,seperti:
 Biasanya bertitik tolak dari satu kritik atas masa kini dan masa lalu yang lebih dekat,
sambil bernaung di bawah lindungan masa lalu yang jauh kebelakang yang dianggap
orisinal dan otentik.
 Seruan tersebut merupakan reaksi atas tantangan dari luar yang ditampilkan oleh
Barat, yang dianggap mengancam keberadaan eksistensi kehidupan umat Islam secara
umum. Sehingga asas berpijak pada otentisitas dan orisinalitas tradisi hanya sebagai
bentuk pembelaan diri dan apologi.
 Tradisi tidak hanya dijadikan tumpuan masa depan tetapi juga sebagai proses
mempertegas kekinian untuk tetap hidup sambil meneguhkan identitas diri.
 masa lalu yang dianggap orisinal dan otentik itu difungsikan untuk melayani sebuah
proyek masa depan dengan kecenderung memuji-muji masa lalu, bahkan mengagung-
agungkannya (glorifikasi) seolah-olah tanpa cacat.
 Tradisi tidak lagi disediakan sebagai objek yang patut dianalisis dan dikaji secara
objektif, sebaliknya tradisi berwujud makhluk yang mengekang jati diri dan
memaksanya untuk menyerah terhadapnya baik ditingkat kesadaran maupun
ketaksadaran.
 Apa yang dimaksud dengan tradisi?
Segala yang secara asasi berkaitan dengan aspek pemikiran, himpunan ajaran dan
pengetahuan dalam peradaban islam, mulai dari ajaran doktrinal, syariat, bahasa, sastra,
seni, kalam, filsafat dan tasawuf. (sebelum masa kemunduran).
Kemunduran dipahami sebagai berikut:
Penyimpangan dari tradisi ulama salaf yang shaleh (tahun-tahun terakhir pemerintahan
Usman bin Affan)
Semasa Nabi hidup
Para Khalifah yang shaleh
Penyerangan tentara Mongol berlanjut pada jatuhnya Andalusia di tangan bangsa Eropa.

Himpunan ajaran dan pengetahuan tersebut menemukan kerangka rujukan historis dan
epistemologisnya pada masa tadwin (perode kompilasi dan kodifikasi ilmu-ilmu agama
pada abad ke-2 dan ke-3 H). Bersamaan dengan tumbuhnya renaisance di Eropa.
Tradisi merupakan produk tertentu yang berasal dari masa lalu dan dipisahkan oleh masa
kini oleh jarak waktu tertentu, namun hadir dan menyertai kekinian kita
Tradisi kemudian menjadi problem keterbelahan subjektif dan objek; (beban ideologis
dalam keasadaran, dan kenyataan objektif yang kian jauh dari kemajuan peradaban
modern yang diimpikan).

 Bentuk pengetahuan tentang tradisi;


1. Pemahaman literal dan tradisonal atas tradisi; bentuk pemahaman yang merujuk
pada pandangan-pandangan ulama dan sarjana terdahulu. Baik yang diungkapkan
dalam bentuk pandangan pribadi maupun pandangan yang mengutip ulama
sebelumnya. (hilangnya semanat kritis dan minimnya pandangan historis).
2. Pendekatan orientalis; berkaitan dengan korelasi antara fenomena orientalisme
dan imperialisme.
 Citra diri Islam yang ambigu,salah satu diantaranya;
1. Eropa mengenal dan mengetahui Islam beriringan dengan kekagumanya
terhadap keunggulan metode positivisme yang dibuktikan dengan kemajuan
ilmu-ilmu alam pada abad 17 dan 18.
2. Islam diposisikan sebagai objek yang diukur berdasarkan standar-standar
saintisme, mengedepankan rasio dan empirisme. Konskuensinya Islam
dibaca berdasarkan perkembangan teori itu. Dalam posisi inilah Islam masuk
ke dalam wacana kolonialisme.
3. Pergumulan antara kelompok rasionalis dan spiritualis di Timur adalah
kelanjutan dari konflik daratan Eropa antara pendukung warisan pencerahan
dan romantisme.
 Langkah-langkah metodologis dan tingkatan pembacaan; Membangun pemahaman
obyektif atas tradisi (fashlu-l-maqru’ ani-l-qori)
 Berpatokan pada tradisi seharusnya bertitik tolak dari ketergantungan pada tradisi.
Tapi ketergantungan tersebut bukan ditujukan untuk menjadikan tradisi masa lalu
itu beku dan statis. Yakni, sekedar mengingat (tadzakkur/recollection)apa yang
ada dalam tradisi dan mendaur ulang), bukan dengan menyelidiki dan meneliti.
 Sejatinya tradisi justru dijadikan sandaran atau tali penghubung untuk melakukan
kritik dan melangkahinya (tajawuz, passing over).
 Metode yang tepat dalam mengkaji tradisi: pentingnya menciptakan satu
keterputusan epistemologis. (bukan meninggalkan tradisi, namun cara
pendekatannya dalam melihat tradisi bisa berbeda). Keterputusan epistemologis;
menciptakan satu instrumen yang memungkinkan memisahkan diri subyek dengan
obyeknya, demikian pula obyek dari subyeknya. Lalu dari sana mencari
kemungkinan membangun relasi kembali di antara keduanya dalam satu fondasi
yang baru, sbb:
Obyektifitas pada dua level:
memisahkan obyek kajian dari sang subyek
memisahkan sang subyek dan obyek kajian

 Kritik ideologi;
Mengungkap fungsi ideologis (sosial-politik) yang diemban satu pemikiran tertentu.
Membuat satu objek kajian relevan atau kontekstual dengan dirinya dan terkait rapat
dengan berbagai faktor yang melingkupinya.

 Menyambungkan pembaca dengan objek bacaan (washlu-l-qori bi-l maqru)/problem


kontinyuitas (istimroriyah)

Mengembalikan lagi tradisi ke diri kita dalam bentuk yang lebih baru.
Pandangan langsung segera sebegai pionir atau pembuka jalan ke depan
Menghayati segenap persoalan dan pergumulannya, berupaya menghidupkan segenap
visi dan idealismenya
Subyek membaca dirinya namun tetap menjaga agar tidak dirusak hakikat dan
wujudnya secara lengkap dan mandiri, dengan sadar dan penuh tanggung jawab
Subyek pembaca mampu mengungkap apa yang diidiamkan oleh teks-teks yang
dibaca.
 Pemahaman tentang Al-Washlu:
 Kesatuan pemikiran; kesatuan problematika (satu sistem relasi yang dijalin
dalam konteks pemikiran tertentu, tidak mungkin diselesaikan secara terpisah,
solusinya diperoleh secara general yang mencakup semuanya).

 Ranah historis; sejauh mana hubungan pemikiran dengan realitas sosio historis.
Seorang pemikir/filosof bisa dengan mudah dikaitkan dengan ranah satu
epistemologis tertentu, sementara kandungan ideologis dari pemikiran itu tidak
akan mungkin kembali, kecuali kepada pemikiran bersangkutan itu sendiri.

 Memisahkan sang subyek dan obyek kajian. (Subyek yang menjadi target.

 Subyek sudah diliputi dengan kuat oleh tradisinya, sehingga kehilangan


kemerdekaan dan pembebasan.
 Lewat tradisi ini subyek menimba inspirasi dan idealisme ke masa depan
(diterima tanpa sikap kritis, tidak ada penyelidikan dan penelitian)
 Berbeda jika tradisi yang senantiasa bergerak dinamis, selalu dirujuk dan
ditinjau dengan kritis
 membebaskan diri dari bentuk pemahaman yang dibangun dari asumsi-asumsi
apriori dan dari keinginan dan hasrat (tendensi pribadi) masa kini tentang
tradisi.
 Menundukan teks ke dalam proses analitik yang tajam dan teliti (teks menjadi
obyek yang bisa dikaji secara ilmiah).

 Menghidupkan Semangat KH. Abdullah Syafi’i

Dalam buku KH. Abdullah Syafi’I di mata para tokoh, ulama dan cendikiwan Muslim,
diperoleh beberapa pandangan tentang KH. Abdullah Syafi’i sbb:

“KH. Abdullah Syafi’i ulama yang merakyat, keras tetapi tidak radikal”
(HM. Jusuf Kalla, mantan Wapres RI)

“KH. Abdullah Syafi’i profil Kyai yang terbuka dan reseptif dengan gagasan baru”
(Prof. DR. Dawam Raharjo, Cendekiawan Muslim)

“KH. Abdullah Syafi’i tokoh orisinil dan selalu mengembangkan energi positif.
(Adi Sasono, mantan menteri Koperasi RI)

“…Ia bukan hanya seorang ulama, tetapi juga sebagai pengabdi pada dunia pendidikan
Islam. la mengelola dan mengembangkan madrasah/pesantren dari tahun ke tahun
dengan tujuan untuk mencerdaskan kehidupan anak bangsa…”
(DR. (HC). Hj. Tuty Alawiyah, AS.

 Berdasarkan konsep-konsep, persepsi dan kegiatan penalaran tentang alam, manusia,


masyarakat dan sejarah dalam pemikiran KH. Abdullah Syafi’i, baik eksplisit maupun
implisit, dapat diperoleh beberapa pandangan tentang beliau sbb:

 Meneladani perjuangan KH Abdullah Syafi’i sebagai ulama yang ahli ibadah,


zuhud, mengerti ilmu-ilmu akhirat, pengetahuannya diabdikan untuk Allah, peka,
jeli dan paham benar akan kemaslahatan umat. (faqihun fi mashalihi-l- khalqi)
 Seorang ulama besar yang lahir dari tradisi pesantren, memiliki tradisinya sendiri
dalam menyikapi setiap masalah, dan mempunyai mekanismenya sendiri dalam
memperbarui segenap pikiran dan gagasan lama. (tidak meninggalkan tradisi,
tidak terpesona oleh pemikiran Barat, dan tidak terjebak pada pemikiran kaum
salafi fundamentalis)

 Menimba nilai-nilai modernitas dan berkiprah di dalamnya tanpa tercerabut dari


akar tradisinya.
 Mengutamakan terpenuhinya maqashid syari’ah (kemaslahatan)
edasarkan konsep-konsep, persepsi dan kegiatan penalaran tentang alam,
manusia, masyarakat dan sejarah dalam pemikiran KH. Abdullah Syafi’i, baik
eksplisit maupun implisit, dapat diperoleh beberapa pandangan tentang beliau
sbb:
 Meneladani perjuangan KH Abdullah Syafi’i sebagai ulama yang ahli ibadah,
zuhud, mengerti ilmu-ilmu akhirat, pengetahuannya diabdikan untuk Allah, peka,
jeli dan paham benar akan kemaslahatan umat. (faqihun fi mashalihi-l- khalqi)
 Seorang ulama besar yang lahir dari tradisi pesantren, memiliki tradisinya sendiri
dalam menyikapi setiap masalah, dan mempunyai mekanismenya sendiri dalam
memperbarui segenap pikiran dan gagasan lama. (tidak meninggalkan tradisi,
tidak terpesona oleh pemikiran Barat, dan tidak terjebak pada pemikiran kaum
salafi fundamentalis)
 Menimba nilai-nilai modernitas dan berkiprah di dalamnya tanpa tercerabut dari
akar tradisinya.
 Mengutamakan terpenuhinya maqashid syari’ah (kemaslahatan)

 Manhaj (metodologi) tradisi kepesantrenan; ulama-ulama nusantara

Bermazhab secara qauli dan manhaji dalam beristinbath tentang Islam dari dali-
dalilnya yang disesuaikan dengan teritori wilayah, kondisi alam dan cara
pengamalannya penduduk kita (pertimbangan geografis)
Al-muhafazhah ala-l-qadimi-sh-shalih wa-l-akhdzu bi-l-jadidi-l-ashlah
Maqashid Syari’ah (maksud dan tujuan diturunkannya syariat untuk kehidupan
manusia); Mengutamakan kemaslahatan umum (maslahah ammah)
Imam Ghazali dalam almustashfa min ilmil ushul merumuskan konsep maqashid
syariah ke dalam bahasa aluhulul khomsah (lima prinsip utama tujuan agama): 1.
Hifzhu din (memelihara keyakinan), 2. Hifzhu-n-nafs (memelihara jiwa) 3. Hifzhu-l-
aqli (memelihara akal pikiran) 4. Hifzhu-l-mali (memelihara harta) 5. Hifzhu-n-nasl
(memelihara keturunan)

Penghargaan terhadap leluhur- (ngluri leluhur);


Pentingnya mata rantai keilmuan sebagai penghargaan terhadap para leluhur
Menjalankan contoh teladan leluhur dan melestarikannya (man sanna fil islami
sunnatan hasanatan falahu ajruha, wa ajru man amila biha (siapa yang menunjukkan
satu amalan baru dalam Islam berupa amal kebaikan, maka pahalanya akan
dilimpahkan kepada yang mengamalkannya dan juga kepada orang-orang yang
mengikutinya.

Ontologi  “yu’minuna bil-l-goyb”  dimensi Lahir-bathin, Epistemologi Jiwa –


Aqal (fakta indrawi – peristiwa spiritual). Bukan model pendekatan August Comte
dari serba mitos ke rasional modern. (mencari pendasaran rasional tentang mitos-
mitos)

Moderasi beragama (al-baqoroh 143) wakazalika ja’alnakum ummatan wasatha

Anda mungkin juga menyukai