Anda di halaman 1dari 9

BAB II

PEMBAHASAN
A.    Hakikat Aliran Perenialisme
Perenialisme berasal dan kata perenial yang diartikan sebagaicontinuing througbout the
whole year atau lasting for a very long time(abadi atau kekal dan dapat berarti pula tiada
akhir. Esensi kepercayaan filsafat perenialisme adalah berpegang pada nilai-nilai atau norma-
norma yang bersifat abadi. Aliran ini mengambil analogi realita sosial budaya manusia,
seperti realita sepohon bunga yang terus menerus mekar dari musim ke musim, datang dan
pergi, berubah warna secara tetap sepanjang masa, dengan gejala yang terus ada dan sama.
Jika gejala dari musim ke musim itu dihubungkan satu dengan yang lainnya seolah-olah
merupakan benang dengan corak warna yang khas, dan terus menerus sama.
Perenialisme memandang bahwa kepercayaan-kepercayaan aksiomatis zaman kuno dan
abad pertengahan perlu dijadikan dasar penyusunan konsep filsafat dan pendidikan zaman
sekarang. Sikap ini bukanlah nostalgia (rindu akan hal-hal yang sudah lampau semata-mata)
tetapi telah berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan-kepercayaan tersebut berguna bagi
abad sekarang. Jadi sikap untuk kembali kemasa Iampau itu merupakan konsep bagi
perenialisme di mana pendidikan yang ada sekarang ini perlu kembali kemasa lampau dengan
berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan itu berguna bagi abad sekarang ini.
Filsafasat pendidikan Perenialisme adalah  mengemukakan bahwa situasi dunia saat ini
penuh dengan  kekacauan dan ketidak pastian,dan ketidak teraturan terutama dalam tatanan
kehidupan moral,intelektual,dan sosio kultural,untuk memperbaiki keadaan ini dengan
kembali kepada nilai nilai atau prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kuat
pada zaman dulu abad pertengahan (Perealisme membicarakan tentang nilai kebenaran,nilai
ini sudah ada pada setiap budaya yang ada pada masyarakat).
Ciri Utama  memandang  Perenialisme  bahwa keadaan sekarang adalah zaman yang
mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kekacauan, kebingungan dan kesimpang siuran,
berhubung dengan itu dinilai sebagai zaman yang membutuhkan usaha untuk mengaman
lapangan moral,inteltual dan lingkungan sosial kultural yang lain,ibarat kapal yang akan
berlayar zaman memerlukan pangkalan dan arah tujuan yang jelas .
Perenialisme mempunyai ciri-ciri tertentu. Adapun ciri-ciri itu adalah (Sadullah
Uyoh,2004: 23) :
1.      Perenialisme berakar pada tradisi filosofis klasik yang dikembangkan oleh plato, Aristoteles
dan Santo Thomas Aquines.
2.      Sasaran pendidikan ialah kemampuan menguasai prinsip kenyataan, kebenaran dan nilai-nilai
abadi dalam arti tak terikat oleh ruang dan waktu.
3.      Nilai bersifat tak berubah dan universal.
4.      Bersifat regresif (mundur) dengan memulihkan kekacauan saat ini melalui nilai zaman
pertengahan (renaissance).
Kondisi dunia yang terganggu oleh budaya yang tak menentu yaang berada dalam
kebingungan dan kekacauan seperti diungkapkan diatas, maka dengan ini memerlukan usaha
serius untuk menyelamatkan manusia,dari kondisi yang mencekam dengan mencari dan
menemukan orientasi dan tujuan yang jelas,dan ini adalah tugas utama filsafat
pendidikan.perenialisme dalam hal ini mengambil jalan regresif dengan mengembalikan
arahnya seperti yang menjadi prinsip dasar perilaku yang dianut pada masa kuno dan dan
abad pertengahan.
Motif Perenialisme dengan mengambil jalan regresif bukanlah hanya nostaligia atau rindu
akan nilai nilai lama untuk diingat atau dipuja,melainkan berpendapat bahwa nilaai tersebut
mempunyai kedudukan vital bagi pembaangunan kebudayaan abad ke dua puluh.prinsip
prinsip aksiomatis yang terikat oleh waktu itu terkandung dalam sejarah.
Perenialisme memiliki dasar pemikiran yang melekat pada aliran klasik yang ditokohi
oleh plato,aristoteles,augustinus,dan aquinas,perenialisme dalaam konteks pendidikan
ditokohi oleh Robert maynard Hutchins,Mortimer J.Aadler,dan Sir Richard livingstone.
Prinsip mendasar perenialis kemudian dikembangkan pula oleh Sayyed Husein Nasr
seorang filsuf islam kontemporer yanh mengatakan bahwa manusia memiliki fitrah yang
sama yang berpangkal pada asal kejadiannya yang fitri yang memiliki konsekuensi logis pada
watak kesucian dan kebaikan.perenialisme dalam konteks Sayyed Husein Nasr terlihat
hendak mengembalikan kesadaran manusia akan hakikatnya yang fitri akan membuatnya
berwatak kesucian dan kebaikan.
Dalam perjalanan sejarahnya,perenialisme berkembang dalam dua sayap yang berbeda
yaitu golongan teologis yang ingin menegkkan supremasi ajaran  agama dan dari kelompok
yang skuler yang berpegang teguh dengan ajaran filsafat Plato Dan Aristoteles.
B.     Sejarah Perkembangan Aliran Perenialisme
Pendukung filsafat perenialis adalah Robert Maynard Hutchins dan Mortimer Adler.
Hutchins dalam Uyo Sadulloh (2008:155) mengembangkan suatu kurikulum berdasarkan
penelitian terhadap Great Books (Buku Besar Bersejarah) dan pembahasan buku-buku klasik.
Perenialis menggunakan prinsip-prinsip yang dikemukakan Plato, Aristoteles, dan Thomas
Aquino. Pandangan-pandangan Plato dan Aristoteles mewakili peradaban Yunani Kuno serta
ajaran Thomas Aquino dari abad pertengahan. Filsafat perenialisme terkenal dengan bahasa
latinnya Philosophia Perenis. Pendiri utama dari aliran filsafat ini adalah Aristoteles sendiri,
kemudian didukung dan dilanjutkan oleh St. Thomas Aquinas sebagai pemburu dan reformer
utama dalam abad ke-13.
Perenialisme memandang bahwa kepercayaan-kepercayaan aksiomatis zaman kuno dan
abad pertengahan perlu dijadikan dasar penyusunan konsep filsafat dan pendidikan zaman
sekarang. Sikap ini bukanlah nostalgia (rindu akan hal-hal yang sudah lampau semata-mata)
tetapi telah berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan-kepercayaan tersebut berguna bagi
abad sekarang. Jadi sikap untuk kembali kemasa lampau itu merupakan konsep bagi
perenialisme di mana pendidikan yang ada sekarang ini perlu kembali kemasa lampau dengan
berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan itu berguna bagi abad sekarang ini.
Asas-asas filsafat perenialisme bersumber pada filsafat, kebudayaan yang mempunyai dua
sayap, yaitu perenialisme yang theologis yang ada dalam pengayoman supermasi gereja
Katholik, khususnya menurut ajaran dan interpretasi Thomas Aquinas, dan perenialisme
sekular yakni yang berpegang kepada ide dan cita filosofis Plato dan Aristoteles.
Pendapat di atas sejalan dengan apa yang dikemukakan H.B Hamdani Ali dalam bukunya
filsafat pendidikan, bahwa Aristoteles sebagai mengembangkan philosophia perenis, yang
sejauh mana seseorang dapat menelusuri jalan pemikiran manusia itu sendiri. ST. Thomas
Aquinas telah mengadakan beberapa perubahan sesuai dengan tuntunan agama Kristen
tatkala agama itu datang. Kemudian lahir apa yang dikenal dengan nama Neo-Thomisme.
Tatkala Neo-Thomisme masih dalam bentuk awam maupun dalam paham gerejawi sampai ke
tingkat kebijaksanaan, maka ia terkenal dengan nama perenialisme. Pandangan-pandangan
Thomas Aquinas di atas berpengaruh besar dalam lingkungan gereja Katholik. Demikian pula
pandangan-pandangan aksiomatis lain seperti yang diutarakan oleh Plato dan Aristoteles.
Lain dari itu juga semuanya mendasari konsep filsafat pendidikan perenialisme.
Neo-Scholastisisme atau Neo-Thomisme ini berusaha untuk menyesuaikan ajaran-ajaran
Thomas Aquinas dengan tuntutan abad ke dua puluh. Misalnya mengenai perkembangan ilmu
pengetahuan cukup dimengerti dan disadari adanya. Namun semua yang bersendikan empirik
dan eksprimentasi hanya dipandang sebagai pengetahuan yang fenomenal, maka metafisika
mempunyai kedudukan yang lebih penting. Mengenai manusia di kemukakan bahwa hakikat
pengertiannya adalah di tekankan pada sifat spiritualnya. Simbol dari sifat ini terletak pada
peranan akal yang karenanya, manusia dapat mengerti dan memaham'i kebenaran-kebenaran
yang fenomenal maupun yang bersendikan religi.
C.    Beberapa Filsuf Aliran Perenialisme
Pandangan para tokoh mengenai perenialisme yaitu :
1.       Plato
Plato (427-347 SM), hidup pada zaman kebudayaan yang sarat dengan ketidakpastian,
yaitu filsafat sofisme. Ukuran kebenaran dan ukuran moral merupakan sofisme adalah
manusia secara pribadi, sehingga pada zaman itu tidak ada kepastian dalam moral, tidak ada
kepastian dalam kebenaran, tergantung pada masing-masing individu. Plato berpandangan
bahwa realitas yang hakiki itu tetap tidak berubah. Realitas atau kenyataan-kenyataan itu
tidak ada pada diri manusia sejak dari asalnya, yang berasal dari realitas yang hakiki.
Menurut Plato, “dunia ideal”, bersumber dari ide mutlak, yaitu Tuhan. Kebenaran,
pengetahuan, dan nilai sudah ada sebelum manusia lahir yang semuanya bersumber dari ide
yang mutlak tadi. Manusia tidak mengusahakan dalam arti menciptakan kebenaran,
pengetahuan, dan nilai moral, melainkan bagaimana manusia menemukan semuanya itu.
Dengan menggunakan akal dan rasio, semuanya itu dapat ditemukan kembali oleh manusia.
2.       Aritoteles
Aritoteles (384-322 SM), adalah murid Plato, namun dalam pemikirannya ia mereaksi
terhadap filsafat gurunya, yaitu idealisme. Hasil pemikirannya disebut filsafat realism
(realism klasik). Cara berfikir Arithoteles berbeda dengan gurunya, Plato, yang menekankan
berfikir rasional spekulatif. Arithoteles mengambil cara berfikir rasional empiris realitas. Ia
mengajarkan cara berfikir atas prinsip realitas, yang lebih dekat dengan alam kehidupan
manusia sehari-hari.
Arithoteles hidup pada abad keempat sebelum Masehi, namun ia dinyatakan sebagai
pemikir abad pertengahan. Karya-karya Arithoteles merupakan dasar berfikir abad
pertengahan yang melahirkan renaissance. Sikap positifnya terhadap inkuiry menyebabkan ia
mendapat sebutan sebagai Bapak Sains Modern. Kebajikan akan menghasilkan kabahagiaan
dan kebajikan, bukanlah pernyataan pemikiran atau perenuangan pasif, melainkan merupakan
sikap kemauan yang baik dari manusia.
Menurut Arithoteles dalam Uyo Sadulloh (2008:153) manusia adalah makhluk materi
dan rohani sekaligus. Sebagai materi, ia menyadari bahwa manusia dalam hidupnya berada
dalam kondisi alam materi dan sosial. Sebagai makhluk rohani manusia sadar akan menuju
pada proses yang lebih tinggi yang menuju kepada manusia ideal, manusia sempurna.
Manusia sebagai hewan rasional memiliki kesadaran intelektual dan spiritual, ia hidup dalam
alam materi sehingga akan menuju pada derajat yang lebih tinggi, yaitu kehidupan yang
abadi, alam supernatural.
3.       Thomas Aquina
Thomas Aquina mencoba mempertemukan suatu  pertentangan yang muncul pada
waktu itu, yaitu antara ajaran Kristen dengan filsafat (sebetulnya dengan filsafat Aritoteles,
sebab pada waktu itu yang dijadikan dasar pemikiran logis adalah filsafat neoplatonisme dari
Plotinus yang dikembangkan oleh St. Agustinus. Menurut Aquina, tidak terdapat
pertentangan antara filsafat (khususnya filsafat Aristoteles) dengan ajaran agama (Kristen).
Keduanya dapat berjalan dalam lapangannya masing-masing. Thomas Aquina secara terus
menerus dan tanpa ragu-ragu mendasarkan filsafatnya kepada filsafat Aristoteles.
Menurut Bertens dalam Uyo Sadulloh (2008:154) Pandangan tentang realitas, ia
mengemukakan, bahwa segala sesuatu yang ada, adanya itu karena diciptekan oleh Tuhan,
dan tergantung kepada-Nya. Ia mempertahankan bahwa Tuhan, bebas dalam menciptakan
dunia. Dunia tidak mengalir dari Tuhan bagaikan air yang mengalir dari sumbernya, seperti
halnya yang dipikirkan oleh filosof neoplatonisme dalam ajaran mereka tentang teori
“emanasi”. Thomas aquina menekankan dua hal dalam pemikiran tentang realitannya, yaitu :
1) dunia tidak diadakan dari semacam bahan dasar, dan 2) penciptaan tidak terbatas pada satu
saat saja.
Dalam masalah pengetahuan, Thomas Aquina mengemukaan bahwa pengetahuan itu
diperoleh sebagai persentuhan dunia luar dan oleh akal budi, menjadi pengetahuan. Selain
pengetahuan manusia yang bersumber dari wahyu, manusia dapat memperoleh pengetahuan
dengan melalui pengalaman dan rasionya (di sinilai ia mempertemukan pandangan filsafat
idealism, realism, dan ajaran gerejanya). Filsafat Thomas Aquina disebut tomisme.Kadang-
kadang orang tidak membedakan antara perenialisme dengan neotonisme. Perenialisme
adalah sama dengan neotonisme dalam pendidikan.
D.    Hakikat Pendidikan Menurut Aliran Perenialisme
Pendidikan menurut Aliran Perenialisme dipandang sebagaiEducation As Cultural
Regression : Pendidikan sebagai jalan kembali, atau proses mengembalikan keadaan
manusia sekarang seperti dalam kebudayaan masa lampau yang dianggap sebagai kebudayaan ideal.
Tugas pendidikan adalah memberikan pengetahuan tentang nilai-nilai kebenaran yang pasti,
absolut, dan abadi yang terdapat dalam kebudayaan masa lampau yang dipandang sebagai kebudayaan
ideal tersebut. Perenialisme percaya bahwa prinsip-prinsip pendidikan juga bersifat universal
dan abadi.
Robert M. Hutchins dalam Jalaluddin Abdullah (2007:116) mengemukakan “Pendidikan
mengimplikasikan pengajaran. Pengajaran mengimplikasikan pengetahuan. Pengetahuan dalah
kebenaran. Kebenaran di mana pun dan kapan pun adalah sama. Karena itu kapan pun dan di mana
pun pendidikan adalah sama”. Selain itu pendidikan  dipandang sebagai suatu persiapan untuk
hidup, bukan hidup itu sendiri.
1.       Tujuan Umum Pendidikan
Menurut Jalaluddin Abdullah, tugas utama pendidikan adalah mempersiapkan anak
didik ke arah kematangan. Matang dalam artian hidup akalnya. Jadi akal inilah yang perlu
mndapat tuntunan, sekolah rendah memberikan pendidikan dan pengetahuan serba dasar.
Dengan pengetahuan tradisional seperti membaca, menulis, dan berhitung, peserta didik
memperoleh dasar penting bagi pengetahuan yang lain.
Menurut Thomas Aquinas dalam Jalaluddin Abdullah (2007:117) tujuan pendidikan
ialah sebagai usaha mewujudkan kapasitas yang ada dalam individu agar menjadi aktualitas,
aktif, dan nyata. Menurut Robert Hatchkins dalam Jalaluddin Abdullah (2007:118) tujuan
pendidikan adalah mengembangkan akal budi sepaya peserta didik dapat hidup penuh
kebijaksanaan demi kebaikan hidup itu sendiri.
Berdasarkan pendapat tujuan pendidikan yang dikemukakan para ahli diatas maka dapat
disimpulkan tujuan pendidikan adalah untuk mewujudkan peserta didik untuk hidup bahagia
demi kebahagiaannya sendiri. Dengan mengembangkan akalnya maka akan dapat
mempertinggi kemampuan berpikirnya. Pendidikan membantu anak menyingkapi dan
menanamkan kebenaran-kebenaran hakiki, oleh karena itu kebenaran-kebenaran itu universal
dan konstan, maka kebenaran-kebenaran tersebut hendaknya menjadi tujuan-tujuan
pendidikan yang murni. Kebenaran-kebenaran hakiki dapat dicapai dengan sebaik-baiknya
melalui :
a.       Latihan intelektual secara cermat untuk melatih pikiran.
b.      Latihan karakter sebagai suatu cara mengembangkan manusia spiritual.
2.       Hakikat Guru
Tugas utama dalam pendidikan adalah guru-guru, di mana tugas pendidikanlah yang
memberikan pendidikan dan pengajaran (pengetahuan) kepada anak didik. Faktor
keberhasilan anak dalam akalnya sangat tergantung kepada guru, dalam arti orang yang telah
mendidik dan mengajarkan.
Menurut Zuhairini Arikunto dalam Jalaluddin Abdullah (2007:118) peran guru adalah
mengajar dan memberikan bantuan kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi-
potensi yang ada padanya.
Guru mempunyai peranan dominan dalam penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar
di kelas. Guru hendaknya orang yang menguasai suatu cabang ilmu, seorang guru yang ahli
(a master teacher) bertugas membimbing diskusi yang akan memudahkan siswa
menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang tepat, dan wataknya tanpa cela. Guru dipandang
sebagai orang yang memiliki otoritas dalam suatu bidang pengetahuan dan keahliannya tifdak
diragukan.
3.       Hakikat Murid
Murid dalam aliran perenialisme merupakan makhluk yang dibimbing oleh prinsip-
prinsip pertama, kebenaran-kebenaran abadi, pikiran mengangkat dunia biologis. Hakikat
pendidikan upaya proses transformasi pengetahuan dan nilai kepada subyek didik, mencakup
totalitas aspek kemanusiaan, kesadaran, sikap dan tindakan kritis terhadap seluruh fenomena
yang terjadi di sekitarnya.
Pendidikan bertujuan mencapai pertumbuhan kepribadian manusia yang menyeluruh
secara seimbang melalui latihan jiwa, intelek, diri manusia yang rasional; perasaan dan
indera. Karena itu pendidikan harus mencakup pertumbuhan manusia dalam segala
aspeknya : spiritual, intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah, bahasa, baik secara individual
maupun secara kolektif, dan mendorong semua aspek ini ke arah kebaikan dan mencapai
kesempurnaan.
4.       Proses Belajar Mengajar
Tuntutan tertinggi dalam belajar menurut Perenialisme, adalah latihan dan disiplin
mental. Maka, teori dan praktik pendidikan haruslah mengarah kepada tuntunan tersebut.
Teori dasar dalam belajar menurut Perenialisme terutama:
a.        Mental dicipline sebagai teori dasar
Menurut Perenialisme sependapat latihan dan pembinaan berpikir adalah salah satu
kewajiban tertinggi dalam belajar, atau keutamaan dalam proses belajar. Karena program
pada umumnya dipusatkan kepada pembinaan kemampuan berpikir.
b.       Rasionalitas dan Asas Kemerdekaan
Asas berpikir dan kemerdekaan harus menjadi tujuan utama pendidikan, otoritas berpikir
harus disempurnakan sesempurna mungkin. Dan makna kemerdekaan pendidikan hendaknya
membantu manusia untuk dirinya sendiri yang membedakannya dari makhluk yang lain.
Fungsi belajar harus diabdikan bagi tujuan itu, yaitu aktualisasi diri manusia sebagai makhluk
rasional yang bersifat merdeka.
c.        Leraning to Reason (belajar untuk berpikir)
Bagaimana tugas berat ini dapat dilaksanakan, yakni belajar supaya mampu berpikir.
Perenialisme tetap percaya dengan asas pembentukan kebiasaan dalam permulaan pendidikan
anak. Kecakapan membaca, menulis, dan berhitung merupakan landasan dasar. Dan
berdasarkan pentahapan itu, maka learning to reason menjadi tujuan pokok pendidikan
sekolah menengah dan pendidikan tinggi.
d.       Belajar sebagai persiapan hidup
Belajar untuk mampu berpikir bukanlah semata – mata tujuan kebajikan moral dan
kebajikan intelektual dalam rangka aktualitas sebagai filosofis. Belajar untuk berpikir berarti
pula guna memenuhi fungsi practical philosophy baik etika, sosial politik, ilmu dan seni.
e.        Learning through teaching
Dalam pandangan Perenialisme, tugas guru bukanlah perantara antara dunia dengan jiwa
anak, melainkan guru juga sebagai murid yang mengalami proses belajar sementara
mengajar. Guru mengembangkan potensi – potensiself discovery, dan ia melakukan otoritas
moral atas murid – muridny, karena ia seorang profesional yang memiliki kualifikasi
dan superior  dibandingkan dengan murid – muridnya. Guru harus mempunyai aktualitas
yang lebih
5.       Kurikulum
Kurikulum menurut kaum perenialis harus menekankan pertumbuhan intelektual siswa
pada seni dan sains. Untuk menjadi “terpelajar secara cultural” para siswa harus berhadapan
dengan bidang seni dan sains yang merupakan karya terbaik yang diciptakan oleh manusia.
Dua dari pendukung filsafat perenialis adalah Robert Maynard Hutchins, dan Mortimer
Adler. Sebagai rector the University of Chicago, Hutchin dalam Uyo Sadulloh
(2008:155)  menegembangkan suatu kurikulum mahasiswa S1 berdasarkan penelitan
terhadap Buku besar bersejarah (Great Book) dan pembahasan buku-buku klasik. Kegiatan
ini dilakukan dalam seminar-seminar kecil. Kurikulum perenialis Hutchins didasarkan pada
tiga asumsi mengenai pendidikan :
a.       Pendidikan harus mengangkat pencarian kebenaran manusia yang berlangsung terus
menerus. Kebenaran apapun akan selalu benar dimanapun juga. Kebenaran bersifat universal
dan tak terikat waktu.
b.      Karena kerja pikiran adalah bersifat intelektual dan memfokuskan pada gagasan – gagasan,
pendidikan juga harus memfokuskan pada gagasan- gagasan . pengolahan rasionalitas
manusia adalah fungsi penting pendidikan
c.       Pendidikan harus menstimulus para mahasiswa untuk berfikir secara mendalam mengenai
gagasan – gagasan signifikan. Para guru harus menggunakan pemikiran yang benar dan kritis
seperti metoda pokok mereka, dan mereka harus mensyaratkan hal yang sama pada siswa.
Pandangan – pandangan kurikulum menurut aliran perenialisme yang mempengaruhi
praktik pendidikan.
a.      Pendidikan Dasar dan Menengah
  Pendidikan sebagai persiapan
Perbedaan Progresivisme dengan Perenialisme terutama pada sikapnya tentang
“education as preparation”. Dewey dan tokoh – tokoh Progresivisme yang lain menolak
pandangan bahwa sekolah (pendidikan) adalah persiapan untuk kehidupan. Tetapi
Perenialisme berpendapat bahwa pendidikan adalah persiapan bagi kehidupan di dalam
masyarakat. Dasar pandangan ini berpangkal pada ontologi, bahwa anak ada dalam fase
potensialitas menuju aktualitas, menuju kematangan.
   Kurikulum Sekolah Menengah
Prinsip kurikulum pendidikan dasar, bahwa pendidikan sebagai persiapan, berlaku
pula bagi pendidikan mencegah. Perenialisme membedakan kurikulum pendidikan menengah
antara program, “general education” dan pendidikan kejuruan, yang terbuka bagi anak 12-20
tahun.
b.      Pendidikan Tinggi dan Adult Education
  Kurikulum Universitas
Program “general education” dipersiapkan untuk pendidikan tinggi dan adult
education. Pendidikan tinggi sebagai lanjutan pendidikan menengah dengan program general
education yang telah selesai disiapkan, bagi umur 21 tahun sebab dianggap telah cukup
mempunyai kemampuan melaksanakan program pendidikan tinggi. Pendidikan tinggi pada
prinsipnya diarahkan untuk mencapai tujuan kebajikan intelektual yang disebut “The
intellectual love of good”.
  Kurikulum Pendidikan Orang Dewasa
Tujuan pendidikan orang dewasa ialah meningkatkan pengetahuan yang telah
dimilikinya dalam pendidikan lama sebelum itu, menetralisir pengaruh – pengaruh jelek yang
ada. Nilai utama pendidikan orang dewasa secara filosofis ialah mengembangkan sikap
bijaksana, guna merenorganisasi pendidikan anak – anaknya, dan membina kebudayaannya.
Malahan Hutchins mengatakan, pendidikan orang dewasa adalah jalan menyelamatkan
kehidupan bangsa – bangsa.

Anda mungkin juga menyukai