Anda di halaman 1dari 9

Nama : Frieda Nur Hapsari

NIM : 0301520006
Mata Kuliah : Paradigma dan Teori Sosial Pendidikan

TUGAS !!!

Jelaskan pemahaman dari pendapat Brameld berikut dalam konteks PIPS sebagai disiplin
akademik. Gunakan referensi-referensi yang relevan untuk menganalisis dan mensintesis dari
pernyataan tersebut!

Jawab :

Secara sederhana filsafat dapat diartikan sebagai berpikir menurut tata tertib dengan
bebas dan dengan sedalam-dalamnya, sehingga sampai ke dasar suatu persoalan. Yakni
berpikir yang mempunyai ciri-ciri khusus, seperti analitis, pemahaman, deskriptif, evaluatif,
intepretatif dan spekulatif. Menurut M. Amin Abdullah, filsafat bisa diartikan: (1) sebagai
aliran atau hasil pemikiran, yang berwujud sistem pemikiran yang konsisten dan dalam taraf
tertentu sebagai sistem tertutup (closed system), dan (2) sebagai metode berpikir, yang dapat
dicirikan: a) mencari ide dasar yang bersifat fundamental (fundamental ideas), b) membentuk
cara berpikir kritis (critical thought), dan c) menjunjung tinggi kekebasan serta keterbukaan
intelektual (intelectual freedom) (Abdullah dan Muslih, 2010).
Filsafat pendidikan merupakan aktivitas pemikiran yang teratur (sistematis) yang
menggunakan filsafat sebagai alat untuk mengatur dan menyusun pelaksanaan pendidikan,
dan menjelaskan nilai-nilai serta tujuan-tujuan yang mengarahkan berlangsungnya
pelaksanaan pendidikan secara tepat. Filsafat pendidikan dapat diartikan sebagai filsafat yang
bergerak dalam lapangan pendidikan dan filsafat pendidikan juga dipandang sebagai aplikasi
ide-ide filsafat terhadap masalah-masalah pendidikan. Karena itu, konstruksi filsafat
pendidikan pada dasarnya tidak bisa lepas dari kajian filsafat pada umumnya. Kajian ini
sesungguhnya merupakan kajian filsafat yang diaplikasikan dalam pendidikan. Adanya
berbagai aliran dalam pemikiran filsafat, maka implikasinya dalam kajian filsafat pendidikan
juga melahirkan tipologi-tipologi aliran filsafat pendidikan. Aliran-aliran dalam pemikiran
filsafat pendidikan pada mulanya muncul di Amerika Serikat yang terdiri dari dua kelompok,
yaitu kelompok tradisional yang terdiri dua aliran, yaitu perenialisme dan esensialisme), dan
kelompok kontemporer yang terdiri tiga aliran, yaitu progresivisme, rekonstruksionisme dan
eksistesialisme.
1. Aliran Perenialisme
Filsafat Perenialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad
kedua puluh. Dalam Ensiklopedi filsafat Indonesia, Perenialisme, atau sering pula disebut
Tradisionalisme, adalah kecenderungan (tren) akademis yang muncul di Barat awal abad
20 M dan kian mendapatkan momentum di abad ini (Kaderi, 2017). Dia lahir sebagi reaksi
terhadap filsafat pendidikan progressivisme yang menekankan pada jiwa perubahan,
relativitas, dan liberal. Dan akhir dari semua itu menurut mereka telah mencipatakan
berbagai krisis pada dunia modern, seperti kekacauan, ketidakpastian, dan ketidak
teraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual, dan sosio-kultural. Perenialisme
mengajarkan bahwa tidak ada jalan untuk mengamankan semua ketidakberesan tersebut,
kecuali kembali kepada kepercayaan-kepercayaan aksiomatis zaman kuno dan abad
pertengahan. jalan yang ditempuh oleh kaum perenialis adalah dengan jalan mundur
kebelakang, yaitu dengan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum
yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, serta telah menjadi dasar tingkah laku
dan perbuatan pada zaman kuno dan abad pertengahan.
Aliran perenialisme sangat dipengaruhi oleh tokoh-tokohnya: Plato, Aristoteles, dan
Thomas Aquinas. Asas yang dianut perenialisme bersumber pada filsafat kebudayaan yang
berkiblat dua, yaitu: a. perenialisme yang theologis bernaung di bawah supremasi geraja
Katolik atau agama, dengan orientasi pada ajaran dan tafsir Thomas Aquinas, dan b.
perenialisme scular atau sekuler berpegang pada ide dan cita filosofis Plato dan
Aristoteles. Pokok pikiran Plato tentang ilmu pengetahuan dan nilai-nilai adalah
manifestasi dari pada hukum universal yang abadi dan sempurna, yakni ideal, sehingga
ketertiban sosial hanya akan mungkin bila ide itu menjadi ukuran, asas normatif dalam tata
pemerintahan. Maka tujuan utama pendidikan adalah membina pemimpin yang sadar dan
mepraktekkan asas-asas normatif itu dalam semua aspek kehidupan.
Filsafat perenialisme memandang bahwa sasaran pendidikan menghendaki adanya
pewarisan nilai dari generasi terdahulu ke generasi berikutnya melalui penyampaian
berbagai informasi atau mentransmisikan pengetahuan kepada peserta didik. Tujuan
pewarisan nilai, budaya serta untuk memperkuat integrasi bangsa sangat menonjol dan hal
itu sebagai ciri dari kurikulum perenialis. Pandangan filsafat perenialis menekankan pada
transfer of culture (Schubert dalam Abbas, dkk, 2013). Pembelajaran yang dianggap
sebagai implementasi kurikulum yang melibatkan guru dan peserta didik dalam proses
interaksi dalam konteks sosial-budaya masyarakat terutama yang menyangkut masalah
komunikasi antara pihak-pihak terkait dalam proses pembelajaran.
Aliran filsafat ini mengembangkan intelektualisme yang didasarkan pada studi yang
dinamakan liberal arts (Sardjito). Artinya pengembangan intelektualisme didasarkan dan
ditujukan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai luhur bangsa, berbicara
tentang keagungan dan kejayaan bangsa. Filsafat perenialisme memandang bahwa sasaran
yang harus dicapai oleh pendidikan adalah kepemilikan atas prinsip-prinsip tentang
kenyataan, kebenaran dan nilai yang abadi, serta tidak terikat oleh ruang dan waktu.
Selanjutnya dalam pendidikan, kaum Perenialis berpandangan bahwa dalam dunia
yang tidak menentu dan penuh kekacauan bahkan membahayakan, seperti yang kita
rasakan saat ini, tidak ada jalan lain yang lebih menyakinkan selain kembali kepada
prinsip-prinsip yang telah sedemikian rupa membentuk sikap kebiasaan, bahkan
kepribadian manusia, yaitu kebudayaan dulu atau kebudayaan abad pertengahan. Dengan
kata lain Perenialisme memberikan solusi pemecahannya dengan jalan “kembali kepada
kebudayaan masa lampau”, yaitu kebudayaan yang dianggap ideal yang telah teruji dan
tangguh. Karena perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses
pemgembalian keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan ideal dimaksud, atau
“educational as cultural regression” (Syam dalam Kaderi, 2017).
Di sisi lain sebagai alasan mengapa Perenialisme memilih prinsip sebagaimana
tersebut di atas, karena realita zaman modern seperti sekarang, telah memberi alasan
objektif, untuk melakukan pilihan tersebut, sebagaimana dikemukakan oleh Brameld
berikut: “ ... Perennialist reacts against the failures and tragedies of our age by
regressing or returning to be axiomatic beliefs about reality, knowledge, and value that
the finds foundational to a much earlier age (Brameld, dalam Kaderi 2017)”. Maksudnya
“ ... kaum Perenialisme mereaksi dan melawan kegagalan-kegagalan dan tragedi-tregedi
dalam abad modern ini dengan mundur kembali kepada kepercayaan-kepercayaan yang
aksiomatis, yang telah teruji tangguh, baik dalam teori realita, teori ilmu pengetahuan,
maupun teori nilai, yang telah memberi dasar fundamental bagi abad-abad sebelumnya”.
Karena itu Perenialisme memberikan sumbangan yang berpengaruh baik teori maupun
praktek bagi kebudayaan dan pendidikan zaman sekarang. Maka apabila suatu peradaban
berada di persimpangan arah; dan bila suatu generasi memerlukan pengamanan nilai-nilai
moral dan intelek sebagaimana juga diperlukan pengamanan bidang sosial, ekonomi, maka
jalan terbaik untuk itu ialah kembali kepada pola kebudayaan lama, kembali kepada
ketenangan, kestabilan prinsip-prinsip kebudayaan abad pertengahan.
Salah satu ciri Perenialisme dia memandang keadaan sekarang (zaman modern) ini,
adalah sebagai zaman yang sedang terganggu oleh berbagai krisis, baik kekacauan,
kebingungan, kesimpangsiuran, dan lainlain diberbagai bidang kehidupan manusia. Untuk
mengatasi semua kerisis tersebut menurut filsafat Perenialisme dapat di tempuh melalui
cara-cara berikut: Petama, dengan kembali kepada kebudayaan masa lampau yang
dianggap cukup ideal dan telah teruji ketangguhannya. Dalam konteks Indonesia, maka
menurut penulis substansi dari kebudayaan tersebut, salah satunya adalah yang telah
diajarkan oleh nenek moyang kita kepada seluruh warga Nusantara, yang kemudian oleh
para pendiri bangsa Indonesia, nilai-nilai tersebut digali kembali, dan dirumuskan dalam
sidang BPUPKI, diberi nama Pancasila, dan setelah Indonesia merdeka dijadikan sebagai
Dasar Negara Republik Indonesia (Kaderi, 2017).
Ke dua, dalam filsafat Perenialisme juga terdapat aliran yang bersifat religious atau
agama oriented, salah satu ajarannya adalah terletak pada adanya sifat theocenricism,
suatu supernatural God pada abad pertengahan. Di mana tujuan pendidikan pada abad
pertengahan tersebut terutama untuk kehidupan akhirat. Manusia harus mengembangkan
kebajikan supernatural dengan pengetahuan tentang Tuhan, berhasrat ke Tuhanan dan
mencintai Tuhan (Syam, 1986). Thomas Aquinas mengatakan bahwa Tuhanlah yang
menciptakan segala sesuatu di dunia ini. Kemudian, untuk menghadapi berbagai krisis
atau dampak negatif dari globalisasi seperti saat ini, Perenialisme relegious memberikan
jalan keluar dengan cara kembali kepada ajaran-ajaran agama (Katolik) yang dianut pada
abad pertengahan ketika itu (Kaderi, 2017). Dengan meyakini dan mengamalkan agama
dengan sebaik-baiknya, baik secara pribadi dan pada level masyarakat dan bangsa, niscaya
bangsa Indonesia termasuk para peserta didik mampu diarahkan untuk tujuan-tujuan yang
bermanfaat bagi kehidupan.
Perenialisme, berharap agar manusia kini dapat memahami ide dan cita filsafatnya
yang menganggap filsafatnya sebagai suatu asas yang komprehensif, sebagai satu
pandangan hidup yang berdasarkan pada sumber kebudayaan dan hasil-hasilnya; serta
prinsip-prinsip filsafatnya yang self evedent, kekal, dan tak terikat tempat berlakunya
(universal), sehingga prinsip-prinsip itu di samping transendental, juga realible untuk
semua.
2. Aliran Esensialisme
Esensialisme merupakan filsafat pendidikan tradisional yang memandang nilai-nilai
pendidikan hendaknya bertumpu pada nilai-nilai yang jelas dan tahan lama, sehingga
memiliki kestabilan dan arah yang jelas. Esensialisme didasari atas pandangan humanisme
yang merupakan reaksi terhadap hidup yang mengarah pada keduniawian, serba ilmiah
dan materialistik, sekuler dan gersang dari nilai-nilai kemanusiaan. Selain itu juga
dipengaruhi oleh pandangan-pandangan dari paham penganut aliran idealisme dan
realisme (Barnadib, dalam Muttaqin, 2016).
Aliran esensialisme menekankan pada tujuan pewarisan nilai-nilai kultural historis
kepada peserta didik melalui pendidikan yang akumulatif dan terbukti dapat bertahan lama
serta bernilai untuk diketahui oleh semua orang. Pengetahuan ini dilaksanakan dengam
memberikan skill, sikap dan nilai-nilai yang tepat, yang merupakan bagian esensi dari
unsur-unsur pendidikan. Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada
nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-
nilai yang terpilih yang memiliki tata yang jelas.
Pengaruh pemikiran filsafat ini terhadap pengembangan kurikulum pendidikan IPS
adalah bahwa pendidikan IPS (khususnya pada jenjang SD) disajikan secara terpisah
sesuai dengan keilmuan itu sendiri. Menurut penganut aliran esensialisme bahwa tujuan
untuk mendidik menjadi warga negara yang baik akan tercapai dengan sendirinya apabila
intelektualisme peserta didik dapat dikembangkan dengan baik. Dalam hal ini,
intelektualisme yang dimaksud adalah kemampuan seseorang memecahkan berbagai
persoalan yang ada melalui atau secara keilmuan (O’Neill dalam Abbas, dkk, 2013).
Aliran filsafat esensialis memandang bahwa sasaran utama sekolah adalah
memperkenalkan peserta didik pada karakter dasar alam semesta yang sudah mapan
dengan cara mewariskan mereka budaya yang telah berkembang sepanjang zaman. Dalam
pengembangan kurikulum pendidikan, esensialisme dipandang sebagai salah satu filsafat
yang menekankan pada penguasaan disiplin ilmu secara monodisipliner yang harus
dikuasai oleh peserta didik melalui proses kegiatan pembelajaran di kelas (Sardjijo).
Dengan merujuk pada filsafat ini, proses pembelajaran di kelas ditekankan pada peran
guru yang dominan dan menempatkan peserta didik sebagai peserta yang menerima
warisan nilai yang ditransmisikan atau diekspositorikan oleh guru. Melalui peranan guru,
pandangan esensialis menempatkan academic excellence and cultivation of intellect lebih
penting daripada kemampuan untuk mengembangkan proses inquiri guna memproduksi
pengetahuan baru.
3. Aliran Progresivisme
Menurut bahasa istilah progresivisme berasal dari kata progresif yang artinya
bergerak maju. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata progresif
diartikan sebagai ke arah kemajuan; berhaluan ke arah perbaikan sekarang; dan bertingkat-
tingkat naik. Dengan demikian, secara singkat progresif dapat dimaknai sebagai suatu
gerakan perubahan menuju perbaikan. Sering pula istilah progresivisme dikaitkan dengan
kata progres, yaitu kemajuan. Artinya progesivisme merupakan salah satu aliran yang
menghendaki suatu kemajuan, yang mana kemajuan ini akan membawa sebuah perubahan.
Pendapat lain menyebutkan bahwa progresivisme sebuah aliran yang mengingikan
kemajuan-kemajuan secara cepat (Muhmidayeli dalam Fadlillah, 2017).
Aliran progresivisme adalah aliran filsafat pendidikan yang sangat berpengaruh
pada abad ke-20 hingga saat ini. Pengaruh itu terasa di seluruh dunia, terlebih-lebih di
Amerika Serikat. Usaha pembaharuan di lapangan pendidikan pada umumnya
terdorong oleh aliran progresivisme ini. Aliran ini dihubungkan dengan pandangan
hidup liberal (The liberal road to culture) (Brameld, dalam Abbas, dkk, 2013). Yaitu
pandangan hidup yang mempunyai sifat-sifat berikut: fleksibel (tidak kaku, tidak
menolak perubahan, tidak terikat oleh suatu doktrin tertentu), curious (ingin
mengetahui, ingin menyelidiki), toleran dan open-minded (berhati terbuka).
Aliran progresivisme mengakui dan berusaha mengembangkan asas
progesivisme dalam sebuah realita kehidupan, agar manusia bisa survive menghadapi
semua tantangan hidup. Progresivisme juga disebut instrumentalisme dan
eksperimentalisme. Dinamakan instrumentalisme, karena aliran ini beranggapan
bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk kesejahteraan
dan untuk mengembangkan kepribadiaan manusia. Dinamakan eksperimentalisme,
karena aliran ini menyadari dan mempraktekkan asas eksperimen untuk menguji
kebenaran suatu teori. Dan dinamakan environmentalisme, karena aliran ini
menganggap lingkungan hidup itu memengaruhi pembinaan kepribadiaan.
Aliran progresivisme memandang bahwa masalah pendidikan adalah masalah
hidup dan kehidupan manusia. Proses pendidikan berada dan berkembang bersama
proses perkembangan hidup dan kehidupan manusia, bahkan keduanya pada
hakikatnya adalah proses yang satu. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Rupert C.

Lodge: “life is education and education is life” (Lodge dalam Mutaqqin, 2016), yang
berarti bahwa seluruh proses hidup dan kehidupan itu adalah proses pendidikan.
Segala pengalaman sepanjang hidup seseorang memberikan pengaruh pendidikan
baginya.
Filsafat pendidikan progressivisme memandang tujuan utama sekolah adalah
untuk meningkatkan kecerdasan praktis dan membuat siswa lebih efektif dalam
memecahkan berbagai masalah yang disajikan dalam konteks pengalaman siswa pada
umumnya. Pengembangan pembelajaran harus memperhatikan kebutuhan individual
yang dipengaruhi oleh latar belakang sosial budaya dan mendorong mereka untuk
berpartisipasi aktif sebagai warganegara dewasa, terlibat dalam pengambilan
keputusan, dan memiliki kemampuan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-
hari.

4. Aliran Rekonstruksi Sosial


Aliran filsafat yang terakhir yaitu filsafat rekonstruksi sosial. Rekonstruksionisme
seringkali diartikan sebagai rekonstruksi sosial merupakan perkembangan dari filsafat
pendidikan progresivisme. Rekonstruksionisme menganggap progresivisme belum
cukup jauh berusaha memperbaiki masyarakat. Progresivisme hanya memperhatikan
masyarakat pada saat itu saja, padahal yang diperlukan pada abad kemajuan teknologi
yang pesat ini adalah rekonstruksi masyarakat dan penciptaan tatanan dunia baru secara
menyeluruh. Imam Barnadib mengartikan rekonstruksionisme sebagai filsafat
pendidikan yang menghendaki agar anak didik dapat dibangkitkan kemampuannya
untuk secara rekonstruktif menyesuaikan diri dengan tuntutan dan perkembangan
masyarakat sebagai akibat adanya pengaruh dari ilmu pengetahuan dan teknologi
(Barnadib dalam Mutaqqin, 2016). Rekonstruksi dipelopori oleh George S. Count dan
Harold Rugg pada tahun 1930, ingin membangun masyarakat baru, masyarakat pantas
dan adil.
Aliran ini berpendapat bahwa sekolah harus mendominasi/mengarahkan perubahan
atau rekonstruksi pada tatanan sosial saat ini. Theodore Barameld (1904-1987).
Mendasarkan filsafatnya pada dua premis dasar pada pasca era Perang Dunia II : (1) kita
tinggal dalam suatu periode krisis hebat, yang paling nyata pada fakta bahwa manusia
saat ini telah mampu menghancurkan peradapan dalam semalam, dan (2) umat manusia
juga memiliki potensi intelektual, teknologi dan moral untuk menciptakan suatu
peradaban dunia “kesejahteraan, kesehatan dan kapasitas rumah“ (Brameld 1969).
Secara filosofis, filsafat rekonstruktivisme terdiri dari dua buah pemikiran, yaitu (1)
Masyarakat memerlukan rekonstruktsi/perubahan, (2) perubahan sosial tersebut
melibatkan baik perubahan pendidikan dan penggunaan pendidikan dalam merubah
masyarakat. Menurut Hamalik (2007) premis utama dari filsafat ini adalah untuk
menjadikan sekolah sebagai agen perubahan (change agents) dalam rekonstruksi sosial.
Secara filosofis, seorang rekonstruksionis yakin bahwa teori pada puncaknya tidak
terpisahkan dari latar belakang sosial dalam suatu era kesejarahan tertentu. Dengan
demikian, pikiran adalah sebuah produk dari kehidupan di sebuah masyarakat tertentu
dan dalam waktu tertentu pula. Oleh karena itu, tanpa mengabaikan nilai-nilai masa lalu,
aliran ini menghendaki agar setiap individu dan kelompok masyarakat mampu
mengembangkan pengetahuan, teori atau pandangan tertentu yang paling relevan dengan
kepentingan mereka melalui pemberdayaan peserta didik dalam proses pembelajaran
guna memproduksi pengetahuan baru.
Sekolah harus menjadi agen utama untuk merencanakan dan mengarahkan perubahan
sosial. Rekontruksi social yang diupayakan Barammeld didasarkan atas suatu asumsi
bahwa kita telah beralih dari masyarakat agraris pedesaan ke masyarakat urban yang
berteknologi tinggi, namun masih terdapat suatu kelambatan budaya yang serius, yaitu
dalam kemampuan manusia menyesuaikan diri terhadap masyarakat teknologi. Hal
tersebut sesuai dengan pandangan Counts yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa
apa yang diperlukan pada masyarakat yang memiliki perkembangan teknologi yang cepat
adalah rekontruksi masyarakat dan pembentukan serta perubahan tata dunia baru.
Rekonstruksionisme menghendaki tujuan pendidikan untuk meningkatkan kesadaran
siswa mengenai problematika sosial, politik dan ekonomi yang dihadapi oleh manusia
secara global, dan untuk membina serta membekali mereka dengan kemampuan-
kemampuan dasar agar bisa menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut. Kurikulum dan
metode pendidikan bermuatan materi sosial, politik dan ekonomi yang sedang dihadapi
oleh masyarakat. Termasuk juga masalah-masalah pribadi yang dihadapi oleh siswanya.
Kurikulumnya menggunakan disiplin ilmu-ilmu sosial dan metode ilmiah. Meskipun
paham ini mirip dengan progresivisme, akan tetapi lebih maju lagi, karena secara konkrit
ini lebih mendekati tujuan yang diidamkan oleh progresivisme. Karena itu sekolah
diharapkan menjadi pelopor usaha pembaharuan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Ersis Warmasyah, dkk. 2013. Mewacanakan Pendidikan IPS. Bandung: Wahana
Jaya Abadi

Abdullah, Amin, dan Mohammad Muslih. 2010. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Penerbit Belukar

Fadlillah, M. 2017. Aliran Progresivisme dalam Pendidikan di Indonesia. Jurnal Dimensi


Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 5 No. 1 Januari 2017

Hamalik, Oemar. 2007. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung : PT Remaja


Rosdakarya.

Kaderi, M.Alwi. 2017. Perenialisme di Era Globalisasi. Jurnal Tarbiyah (Jurnal Ilmiah dan
Kependidikan) Vol. 6 No.1 ISSN 2088-6991

Muttaqin, Ali. 2016. Implikasi Aliran Filsafat Pendidikan dalam Pengembangan Kurikulum
Pendidikan Islam. Jurnal Dinamika Vol. 1 No. 1 Desember 2016

Sardjijo. Hakikat, Landasan, dan Kurikulum Pendidikan IPS SD. Modul

Anda mungkin juga menyukai