Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

Aliran Filsafat Menejemen Pendidikan Islam

Rekonstruksionisme Dan Idealisme

Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam

Dosen Pengampu : Dr. An An Andari, M.Pd

Disusun Oleh Kelompok 4 :

1. D
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Aliran filsafat rekonstruksionisme lahir pada tahun 1930-an karena pada


waktu itu merupakan decade krisis. Kejadian ini menimbulkan Depresi Besar (Great
Depression) yang meluas sehingga mengakibatkan lumpuhnya bangsa-bangsa
kapitalis secara perekonomian. Seiring dengan kejadian ini totalitarianisme justru
bangkit di Eropa dan Asia, sehingga gejolak sosial sangat terasa dan mencolok di
Amerika.

Pada awal dekade tiga puluhan, banyak sektor bisnis lumpuh dan para
politikus tampak tidak sanggup menghadapi bencana ekonomi yang meluas ini.
Dalam konteks sosial-ekonomi tersebut, George S. Counts mengembangkan sebuah
pendekatan yang baru terhadap pendidikan. Sehingga untuk pertama kalinya beliaulah
yang memprakarsai dan menjadi cikal bakal lahirnya aliran filsafat pendidikan
rekonstruksionisme.

Aliran rekonstruksionisme merupakan aliran yang berusaha merombak tata


susunan lama dalam pendidikan dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang
bercorak modern. Dasar pemikiran aliran rekonstruksionisme tidak terlepas dari
pemikiran-pemikiran pada aliran perenialisme dan progresifisme. Aliran
rekonstruksionisme muncul sebagai reaksi dari adanya pemahaman dalam aliran
perenialisme maupun aliran progresivisme, sehingga keduanya tidak dapat
dipisahkan, karena upaya aliran rekonstruksionisme dalam mengembangkan
pendidikan diawali oleh keprihatinan para rekonstruksionis terhadap kehidupan
manusia modern atau dengan kata lain menyebutkan adanya krisis kebudayaan
modern. Aliran rekonstruksionisme merupakan salah satu aliran yang menganggap
telah terjadi kegagalan dalam pendidikan dunia modern (progresif). Maka, aliran
rekonstruksionisme berupaya melakukan sebuah perombakan tata susunan lama dan
membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern serta membina
suatu konsensus yang paling luas dan mungkin mengenai tujuan pokok tertinggi
dalam kehidupan manusia. (Depag RI, 1984: 31).

Mereka bermaksud ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang


dipandang pantas dan adil dengan rekonstruksi-rekonstruksi yang ditawarkannya.1
Lantas, apa dan bagaimana upaya yang dapat dilakukan oleh aliran
rekonstruksionisme untuk dapat memperbaiki sistem pendidikan supaya tidak
terkungkung dalam sebuah pendidikan yang amat tradisional dan tidak dapat
menyesuaikan perkembangan zaman, akan tetapi juga tidak terjebak oleh pemahaman
tentang pendidikan yang pragmatis?

Pendidikan pada hakekatnya merupakan sebuah formula yang memiliki fungsi


untuk dapat mengubah dunia menjadi dunia yang benar-benar semakin berperadaban,
karena inti dari sebuah pendidikan adalah proses pengubahan dari yang sebelumnya
belum baik menjadi baik, dan yang sebelumnya sudah baik menjadi semakin baik
lagi. Pendidikan bukan hanya sekedar pentransferan pengetahuan oleh seorang
pendidik kepada peserta didiknya. Pendidikan adalah upaya menyusun kembali
komponen-komponen pendukung dari kognisi manusia, afeksi manusia, maupun
psikomotor manusia secara seimbang. Di dalam pendidikan ketiga komponen tersebut
tidak dapat dipisahkan, sebab jika dipisahkan, akan terjadi sebuah ketimpangan bagi
peserta didik nantinya, terutama saat terjun langsung dalam masyarakat.

Menilik dari pentingnya peran pendidikan, maka seharusnya pendidikan


mampu dijadikan sebagai perombak sistem kehidupan masyarakat untuk dapat
menjadi manusia yang semakin berkemajuan. Akan tetapi, pada kenyataannya
pendidikan pada abad-abad terakhir ini tidak lagi dapat dijadikan sebagai perombak
bagi kehidupan manusia untuk menjadi lebih baik. Yang ada justru fenomena
sebaliknya, manusia yang dalam proses belajarnya lebih banyak ditekankan pada
kemampuan kognisi, justru diperbudak oleh pendidikan itu yang akhirnya hanya
ditujukan untuk memperoleh pekerjaan yang berujung pada uang, bukan perolehan
pengetahuan dan pemahaman, sehingga terjebak dalam pemaknaan hidup yang
pragmatis. Pendidikan telah diselenggarakan dengan cara dan pemikiran yang salah.
Pendidikan yang ada selama ini bukannya menunjukkan sebuah perkembangan yang
1
Jalaluddin & Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan (Manusia, Filsafat, dan Pendidikan), (Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2010), hlm. 118.
baik, akan tetapi justru sebaliknya menjadi bertambah buruk. Dunia bahkan
mengalami sesuatu yang disebut dengan situasi krisis yang sekarat.2

Virus kapitalisasi sungguh telah menjangkiti setiap jiwa manusia. Dari situlah,
maka timbullah berbagai krisis, baik krisis yang terjadi di negara sendiri, yaitu
Indonesia, hingga krisis dunia yang semakin tidak terkendalikan. Dalam dunia
pendidikan, yang tengah menjadi sebuah permasalahan paling rumit saat ini adalah
pemahaman dari makna pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang memiliki makna
perubahan manusia menjadi lebih baik telah beralih wujud menjadi sebuah sistem
yang senantiasa menyuguhkan materi-materi dengan berbagai kompetensi yang
dituntut untuk dituntaskan pembelajarannya, tanpa adanya sebuah pemaknaan khusus
akan manfaat dan hikmah dari setiap ilmu yang diajarkan. Dengan pemaknaan
pendidikan yang demikian, maka output-output yang ada hanya akan menjadi
seseorang yang diibaratkan sebuah robot yang dikendalikan oleh mesin-mesin, yang
siap diperbudak oleh tuannya yaitu berupa hawa nafsu. Hal tersebut mengakibatkan
manusia kini menjadi kehilangan jiwa sosial mereka. Maka, diambil dari pemikiran
aliran rekonstruksionisme dalam pendidikan ini adalah sebagai upaya untuk
merombak sistem pendidikan, terutama sistem pendidikan nasional, dengan tujuan
agar para peserta didik dalam menuntut ilmu kelak akan menjadi kaum intelektual
yang dapat mengembangkan peradaban dunia menjadi dunia yang semakin
berkemajuan dan juga beradab, sehingga dunia akan dapat bangkit dari keterpurukan
akibat krisis yang berkepanjangan, terutama krisis moral yang menjadi faktor utama
dari krisis-krisis yang lainnya.

Bidang ilmu filsafat sendiri memiliki banyak aliran-aliran pemikiran, yaitu


aliran filsafat esensialisme, perenialisme, rekonstruksionisme, idealisme, emperisme,
rasionalisme, pragmatisme, fenomenologi, politik, manusia dan etika / nilai. Dalam
makalah ini akan dibahas aliran pemikiran rekonstruksionisme dan idealisme.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan filsafat penddidikan rekonstruksionisme dan
idealisme?

2
Teguh Wongso Gandhi H. W., Filsafat Pendidikan (Mazhab-mazhab Filsafat Pendidikan),
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 191.
2. Bagaimanakah pandangan filosofis mengenai filsafat Pendidikan aliran
rekonstruksionisme dan idealism?
3. Bagaimana prinsip-prinsip dalam filsafat rekonstruksionisme dan idealisme?
4. Bagaimana signifikansi filsafat Pendidikan aliran rekonstruksionisme dan
idealisme dalam aplikasi Pendidikan menurut perspektif filsafat Pendidikan islam?
C. Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan pengertian tentang filsafat Pendidikan aliran rekonstruksionisme dan
idealisme.
2. Memaparkan pandangan filosofis filsafat Pendidikan aliran rekonstruksionisme
dan idealisme.
3. Mengetahui prinsip-prinsipdalam filsafat Pendidikan aliran rekonstruksionisme
dan idealisme.
4. Mengetahui signifikansi filsafat Pendidikan aliran rekonstruksionisme dan
idealisme dalam aplikasi Pendidikan perspektif filsafat Pendidikan islam.
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Filsafat Rekonstruksionisme


Rekonstruksionisme berasal dari kata reconstruct, yaitu gabungan dari kata re-
yang artinya kembali dan construct yang artinya membangun atau menyusun. Maka,
secara etimologis reconstruct diartikan menyusun kembali. Sedangkan, dalam konteks
filsafat pendidikan, aliran rekonstruksionisme adalah aliran yang berusaha merombak
tata susunan lama dalam pendidikan dan membangun tata susunan hidup kebudayaan
yang bercorak modern.3 Aliran ini dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg
pada tahun 1930.
Pada prinsipnya, aliran rekonstruksionisme banyak yang sepaham dengan
aliran perenialisme, yang dikhususkan kepada keprihatinan para rekonstruksionis
terhadap kehidupan manusia modern atau dengan kata lain menyebutkan adanya krisis
kebudayaan modern. Kedua aliran tersebut berpandangan bahwa kehidupan manusia
modern telah banyak mengalami kebobrokan, kerusakan, kebingungan, dan tidak
menentunya prinsip manusia, sehingga manusia modern sudah banyak kehilangan jati
diri mereka. Bedanya kedua aliran ini, jika aliran perenialisme berpandangan bahwa
kebobrokan kehidupan manusia modern dapat diatasi dengan cara kembali ke dalam
kehidupan yang masih menjunjung tinggi kebudayaan dan peradaban masa lampau,
karena kaum perenialis berpandangan bahwa pola perkembangan kebudayaan
sepanjang zaman adalah sebagai pengulangan dari apa yang ada dalam masa
sebelumnya, sehingga perenialisme sering disebut juga dengan istilah tradisionalisme.
Sementara, aliran rekonstruksionisme berusaha membina konsensus yang paling luas
dan mungkin tentang tujuan utama dan tertinggi dalam kehidupan manusia.

3
Teguh Wongso Gandhi H. W., Filsafat Pendidikan (Mazhab-mazhab Filsafat Pendidikan),
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 189.
Dari jalan pikiran dan upaya yang berusaha ditempuh oleh aliran
rekonstruksionisme, maka dapat dilihat juga bahwa aliran ini tidak terlepas dari
prinsip pemikiran aliran progresifisme yang mengarah kepada tuntutan kehidupan
modern. Hal tersebut sesuai dengan pandangan Count bahwa apa yang diperlukan
pada masyarakat yang memiliki perkembangan teknologi yang cepat adalah
rekonstruksi masyarakat dan pembentukan serta perubahan tata dunia baru.

2. Pandangan Filosofis Mengenai Aliran Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme


a. Pandangan Ontologi
Dengan ontologi, dapat diterangkan tentang bagaimana hakikat dari segala
sesuatu. Aliran rekonstruksionisme memandang bahwa realita itu bersifat
universal, yang mana realita itu ada di mana-mana dan sama di setiap tempat
(Noor Syam, 1983: 306). Untuk mengerti suatu realita beranjak dari suatu yang
konkrit dan menuju ke arah yang khusus menampakkan diri dalam perwujudan
sebagaimana yang kita lihat di hadapan kita dan ditangkap oleh panca indera
manusia seperti hewan dan tumbuhan atau benda lain disekeliling kita, dan realita
yang kita ketahui dan kita hadapi tidak terlepas dari suatu sistem, selain substansi
yang dipunyai dan tiap-tiap benda tersebut, dan dapat dipilih melalui akal pikiran.
Kemudian, tiap realita sebagai substansi selalu cenderung bergerak dan
berkembang dari potensialitas menuju aktualitas (teknologi). Dengan demikian
gerakan tersebut mencakup tujuan dan terarah guna mencapai tujuan masing-
masing dengan caranya sendiri dan diakui bahwa tiap realita memiliki perspektif
sendiri.

b. Pandangan Epistemologi
Kajian aliran epistemologi ini lebih merujuk pada pendapat
aliran pragmatisme (progressive) dan perennialisme. Berpijak dari pola pemikiran
tersebut bahwa untuk memahami realita alam nyata memerlukan suatu azas tahu
dalam arti bahwa tidak mungkin memahami realita ini tanpa melalui proses
pengalaman dan hubungan dengan realita terlebih dahulu melalui penemuan suatu
pintu gerbang ilmu pengetahuan. Karenanya, baik indera maupun rasio sama-sama
berfungsi
membentuk pengetahuan, dan akal dibawa oleh panca indera menjadi pengetahuan
dalam yang sesungguhnya.
Aliran ini juga berpendapat bahwa dasar dari suatu kebenaran dapat
dibuktikan dengan self evidence, yakni bukti yang ada pada diri sendiri, realita dan
eksistensinya. Pemahamannya bahwa pengetahuan
yang benar buktinya ada di dalam pengetahuan ilmu itu sendiri. Sebagai ilustrasi,
adanya Tuhan tidak perlu dibuktikan dengan bukti-bukti lain atas eksistensi Tuhan
(self evidence). Kajian tentang kebenaran tersebut memerlukan suatu pemikiran
dan metode guna menuntun agar sampai kepada pemikiran yang hakiki.
Penalaran-penalaran memiliki hukum-hukum tersendiri agar
dijadikan pegangan ke arah penemuan definisi atau pengertian yang logis.
Ajaran yang dijadikan pedoman berasal dari Aristoteles yang membicarakan
dua hal pokok, yakni pikiran (ratio) dan bukti(evidence), dengan jalan
pemikirannya adalah silogisme. Silogisme menunjukkan hubungan logis antara
premis mayor, premis minor dan kesimpulan (conclusion), dengan memakai cara
pengambilan kesimpulan deduktif dan induktif.

c. Pandangan Aksiologi
Dalam proses interaksi sesama manusia, diperlukan nilai-nilai. Begitu juga
halnya dalam hubungan manusia dengan sesamanya dan alam semesta tidak
mungkin melakukan sikap netral, akan tetapi manusia sadar ataupun tidak sadar
telah melakukan proses penilaian yang merupakan kecenderungan manusia.
Tetapi, secara umum ruang lingkup (scope) tentang pengertian “nilai” tidak
terbatas.
Barnadib (1992: 69) mengungkapkan bahwa aliran rekonstruksionisme
memandang masalah nilai berdasarkan azas-azas supernatural yakni menerima
nilai natural yang universal, yang
abadi berdasarkan prinsip nilai teologis. Hakikat manusia adalah emanasi
(pancaran) yang potensial yang berasal dari dan dipimpin oleh Tuhan dan atas
dasar inilah tinjauan tentang kebenaran dan keburukan dapat diketahuinya.
Kemudian, manusia sebagai subjek telah memiliki potensi-
potensi kebaikan dan keburukan sesuai dengan kodratnya. Kebaikan itu akan tetap
tinggi nilainya bila tidak dikuasai oleh hawa nafsu belaka, karena itu akal
mempunyai peran untuk memberi penentuan.4
4
Jalaluddin dan Abdullah Idi,Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan Pendidikan (Jakarta:Gaya
Media Pratama, 1997), hlm. 98
3. Prinsip-Prinsip dalam Filsafat Pendidikan Aliran Rekonstruksionisme

Anda mungkin juga menyukai