Diampu oleh :
Prof. Dr. Mega Teguh Budiarto, M.Pd.
Prof. Dr. Tatag Yuli Eko Siswono, M.Pd.
Disusun oleh ;
Tasya Florensia (23030785003)
Nur Putri Inayati Lestari (23030785004)
Halliem Pangesti Ningrum (23030785007)
1
c. Percaya bahwa sekolah harus membantu individu, tidak hanya untuk
berkembang secara sosial, namun juga untuk belajar bagaimana berpartisipasi
dalam perencanaan sosial.
d. Percaya peserta didik harus diyakinkan akan validitas dan urgensi perubahan
tetapi harus mematuhi prosedur demokrasi.
2
3. Pengaruh Filsafat Rekonstruksionisme terhadap asas belajar dan kurikulum
Filsafat rekonstruksionisme mempengaruhi asas belajar. Belajar merupakan
proses memperoleh informasi yang yang bersamaan atau yang bertentangan
dengan yang ada, mentransformasinya, yaitu memanipulasinya dengan intrapolasi
dan ekstrapolasi, agar sesuai dengan tugas yang dihadapi, dan mengecek
kesesuaiannya dengan tugas. Kemudian belajar terdapat beberapa jenis, yaitu
belajar berdasarkan pengamatan (sensory type of learning), belajar berdasarkan
gerak (motor type learning), belajar berdasarkan pemecahan masalah (problem
type of learning), dan belajar berdasarkan emosi (emotional type learning). Karena
tujuan belajaar bukan hanya otaknya saja, tetapi secara keseluruhan, baik secara
sosial dan emosional, juga untuk bisa menata hidup yang lebih baik di masa yang
akan datang
Kurikulum sebagai rekonstruksi sosial mengutamakan kepentingan sosial
di atas kepentingan individu. Tujuannya adalah tanggung jawab tentang masa
depan masyarakat. Karena pendidikan selalu berkaitan tujuannya dengan masa
mendatang. Sekolah dipandang sebagai agen of social change, karena sekolah
merupakan jembatan antara masa kini dengan masa mendatang (Nasution, 1993).
Kurikulum perlu didasarkan atas masalah-masalah sosial, ekonomi, politik
sekarang agar peserta didik mampu menghadapinya kelak. Golongan reformis
bukan hanya mempersiapkan individu untuk menghadapi masalah di masa depan,
akan tetapi juga menginginkan agar individu turut aktif mengadakan perubahan
yang diinginkan.
3
Berkaitan dengan pengertian tersebut, progresivisme selalu dihubungkan
dengan istilah the liberal road to cultural, yakni liberal bersifat fleksibel (lentur dan
tidak kaku), toleran dan bersikap terbuka, sering ingin mengetahui dan menyelidiki
demi pengembangan pengalaman (Djumransjah, 2006:176). Maksudnya aliran
progresivisme sangat menghargai kemampuan-kemampuan seseorang dalam upaya
pemecahan masalah melalui pengalaman yang dimiliki oleh masing masing individu.
Dari beberapa penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa aliran progresivisme
adalah suatu aliran dalam filsafat pendidikan yang menghendaki adanya perubahan
secara cepat praktik pendidikan menuju ke arah yang positif. Dengan kata lain,
pendidikan harus mampu membawa perubahan pada diri peserta didik menjadi pribadi
yang tangguh dan mampu menghadapi berbagai persoalan serta dapat menyesuaikan
diri dengan kehidupan sosial di masyarakat. Oleh karena itu, progresivisme sangat
menghendaki adanya pemecahan masalah dalam proses pendidikan.
Secara sederhana prinsip-prinsip pendidikan dalam aliran progresivisme adalah
sebagai berikut (Mustagfiroh, 2020) ;1) Peserta didik harus memiliki kebebasan dan
berkembang secara wajar; 2) Pengalaman langsung adalah rangsangan terbaik dalam
belajar; 3) Guru harus mampu membimbing dan menjadi fasilitator yang baik; 4)
Institusi pendidikan harus menjadi laboratorium pendidikan bagi perubahan peserta
didik; 5) Kegiatan di lembaga pendidikan dan di rumah harus kooperatif.
4
2. Kurikulum pendidikan
Menurut Amir Ma’ruf (2012) kurikulum dalam pandangan progresivisme
ialah sebagai pengalaman mendidik, bersifat eksperimental, dan adanya rencana
serta susunan yang teratur. Pengalaman belajar adalah pengalaman apa saja yang
serasi dengan tujuan menurut prinsip-prinsip yang telah digariskan dalam
pendidikan, dimana setiap proses belajar yang ada membantu pertumbuhan dan
perkembangan anak didik. Artinya, kurikulum harusnya dirancang untuk
mengembangkan berbagai potensi peserta didik, serta dapat memberikan
pengalaman yang berharga bagi kehidupan anak didik.
Aliran progresivisme menghendaki kurikulum dipusatkan pada pengalaman
yang didasarkan atas kehidupan manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan
yang kompleks (Jalaluddin dan Abdullah Idi, 2012:91). Namun, dalam hal ini
progresivisme tidak menghendaki adanya mata pelajaran yang diberikan terpisah,
tetapi harus terintegrasi dalam unit. Zuhairini (1991:24) menyebutkan core
curriculum harus mengandung integrated curriculum dengan mengutamakan metode
problem solving.
Berkaitan dengan penjelasan tersebut, Kilpatrick sebagaimana dikutip
Jalaluddin dan Abdullah Idi (2012:93) mengatakan suatu kurikulum dianggap baik
dapat didasarkan atas tiga prinsip, yaitu:
a. Meningkatkan kualitas hidup anak pada tiap jenjang.
b. Menjadikan kehidupan aktual anak ke arah perkembangan dalam suatu
kehidupan yang bulat dan menyeluruh.
c. Mengembangkan aspek kreatif kehidupan sebagai suatu uji coba atas
keberhasilan sekolah, sehingga kemampuan anak didik dapat berkembang
secara aktual dan aktif memikirkan hal-hal baru yang baik untuk diamalkan.
Dalam rangka mewujudkan ketiga prinsip tersebut, Kilpatrick
mengungkapkan ada beberapa hal yang perlu diungkapkan, di antaranya:
a. Kurikulum harus dapat meningkatkan kualitas hidup anak didik sesuai dengan
jenjang pendidikan.
b. Kurikulum yang dapat membina dan mengembangkan potensi anak didik.
c. Kurikulum yang mampu mengubah perilaku anak didik menjadi kreatif, adaptif,
dan mandiri.
d. Kurikulum berbagai macam bidang studi itu bersifat fleksibel.
3. Proses pembelajaran
Menurut aliran progresivisme pada proses pembelajaran dilaksanakan
berangkat dari asumsi bahwa anak didik bukan manusia kecil, melainkan manusia
seutuhnya yang mempunyai potensi untuk berkembang, yang berbeda
kemampuannya, aktif, kreatif, dan dinamis serta punya motivasi untuk memenuhi
kebutuhannya (Jalaluddin dan Abdullah Idi, 2012:89). Dalam konteks ini, belajar
semestinya dilaksanakan dengan memperhatikan berbagai potensi yang dimiliki oleh
anak didik. Oleh karena itu, dalam pandangan progresivisme belajar harus
dipusatkan pada diri siswa, bukan guru atau bahan pelajaran.
5
Ada beberapa hal yang patut diperhatikan dalam belajar menurut pandangan
progresivisme, di antaranya:
a. Memberi kesempatan anak didik untuk belajar perorangan.
b. Memberi kesempatan anak didik untuk belajar melalui pengalaman.
c. Memberi motivasi dan bukan perintah.
d. Mengikut sertakan anak didik di dalam setiap aspek kegiatan yang merupakan
kebutuhan pokok anak.
e. Menyadarkan pada anak didik bahwa hidup itu dinamis (Jalaluddin dan Abdullah
Idi, 2012:88).
Pembelajaran haruslah menghasilkan corak dari output (luaran) sebagai hasil
proses pendidikan. Peserta didik sebagai output dari proses pendidikan diharapkan
menghasilkan peserta didik yang unggul, kompetitif, inovatif, dan kreatif sehingga
terbentuk peserta didik/warga negara yang memiliki watak yang holistik. Maka dari
itu diperlukan seperangkat kurikulum yang berpusat pada pengalaman.
Sebagaimana dijelaskan oleh Salu dan Triyanto (2017), proses pembelajaran
dalam filsafat progresivisme sekurang-kurangnya memuat:
1. Guru dalam menyusun perencanaan pembelajaran harus memberikan dampak
meningkatnya minat belajar dan rasa ingin tahu siswa/mahasiswa. Setiap
pembelajaran dalam aliran progresivisme diupayakan untuk membuka ruang
berpikir siswa serta didorong untuk melakukan penemuan – penemuan baru
sehingga siswa dapat berkembang sesuai dengan potensi dan kreasinya.
2. Berinteraksi dengan alam, merupakan kegiatan membuat siswa/mahasiswa guna
mengenal lingkunganya
3. Kreativitas guru dalam merumuskan langkah langkah pembelajaran dengan
menggunakan pendekatan dan model yang menarik perhatian siswa/mahasiswa.
4. Siswa/mahasiswa didorong untuk berinteraksi dengan sesama siswa/mahasiswa
guna menjalin kerjasama.
5. Kurikulum menekankan studi alam terhadap perkembangan baru dalam saintifik
dan sosial.
6. Pendidikan sebagai proses yang terus menerus bukan sekedar menyiapkan
kehidupan dewasa.
6
Menurut Gutek (1974:146) pendidikan progresif mencari guru yang memang
berbeda dari guru di pendidikan tradisional dalam hal watak, pelatihan, dan teknik
pengajarannya. Karena kelas/pendidikan progresif berorientasi pada kegiatan yang
bertujuan, pendidik progresif sangat perlu mengetahui bagaimana cara mendorong
untuk dapat berpendapat, berencana, dan menyelesaikan proyek mereka. Selain itu,
guru juga perlu mengetahui bagaimana tahapan kerja kelompok karena pola dasar
pengajaran progresif berpusat pada partisipasi kelompok.
Aliran progresivisme ingin mengatakan bahwa tugas guru sebagai
pembimbing aktivitas anak didik/siswa dan berusaha memberikan kemungkinan
lingkungan terbaik untuk belajar. Sebagai Pembimbing ia tidak boleh menonjolkan
diri, ia harus bersikap demokratis dan memperhatikan hak-hak alamiah anak
didik/siswa secara keseluruhan.
Teori progresivisme menempatkan peserta didik pada posisi sentral dalam
melakukan pembelajaran. karena peserta didik mempunyai kecenderungan alamiah
untuk belajar dan menemukan sesuatu tentang dunia di sekitarnya dan juga memiliki
kebutuhan-kebutuhan tertentu yang harus terpenuhi dalam kehidupannya.
Kecenderungan dan kebutuhan tersebut akan memberikan kepada peserta didik suatu
minat yang jelas dalam mempelajari berbagai persoalan.
7
Pro dan kontra pragmatisme menunjukkan bahwa pragmatisme memiliki
kekuatan dan kelemahan. Kekuatan pragmatisme yaitu:
1) Pragmatisme membawa kemajuan- kemajuan yang pesat baik dalam ilmu
pengetahuan maupun teknologi;
2) Pragmatisme mendorong berpikir liberal, bebas, dan selalu menyangsikan segala
yang ada. Pragmatisme telah mampu mendorong dan memberi semangat seseorang
untuk melakukan penelitian- penelitian demi kemajuan di bidang sosial dan
ekonomi;
3) Pragmatisme tidak mudah percaya pada “kepercayaan yang mapan”. Suatu
kepercayaan dapat diterima apabila terbukti kebenarannya lewat pembuktian yang
praktis sehingga pragmatis tidak mengakui adanya sesuatu yang sakral dan mitos.
Sedangkan Kelemahan pragmatisme yaitu:
1) Pragmatis sangat mendewakan kemampuan akal dalam upaya mencapai kebutuhan
kehidupan, sehingga sikap ini menjurus kepada sikap ateisme;
2) Pragmatis menciptakan pola pikir masyarakat yang materialis;
3) Untuk mencapai tujuan materialistisnya, manusia mengejar dengan berbagai cara
tanpa memperdulikan lagi bahwa dirinya merupakan anggota dari masyarakat
sosialnya. Dengan demikian, masyarakat pragmatisme menderita penyakit
humanisme.
8
3) Pendidikan sebagai fungsi sosial.
Menurut John Dewey (Sadulloh. 2003) lingkungan merupakan syarat bagi
pertumbuhan, dan fungsi pendidikan merupakan suatu proses membimbing dan
mengembangkan. Melalui kegiatan pendidikan masyarakat membimbing peserta
didik yang masih belum matang menurut susunan sosial tertentu. Dalam aktivitas
pendidikan selalu ada interaksi yang dapat mempengaruhi dan membimbing peserta
didik dapat mengembangkan diri sebagai pribadi yang dipengaruhi dan
mempengaruhi dalam situasi dan lingkungan sosial.
9
Dalam pandangan pragmatisme model kurikulum yang digunakan setiap
pelajaran tidak boleh terpisah-pisah antara satu dengan yang lain, tetapi merupakan
satu kesatuan yang saling terkait, dan pengalaman di sekolah selalu dipadukan
dengan pengalaman anak di luar sekolah atau di tempat lingkungan kehidupan anak.
Selain itu, masalah yang dijadikan pusat kegiatan oleh guru di kelas adalah masalah
masalah aktual yang menarik minat anak atau menjadi pusat perhatian anak.
4) Peran guru dan siswa
Kedudukan siswa dalam pendidikan pragmatisme merupakan suatu
organisasi yang memiliki kemampuan yang luar biasa dan kompleks untuk tumbuh.
Edward J. Power (1982) menyimpulkan pandangan pragmatisme bahwa “Siswa
merupakan organisme rumit yang mempunyai kemampuan luar biasa untuk tumbuh,
sedangkan guru berperan untuk memimpin dan membimbing pengalaman belajar
tanpa ikut campur terlalu jauh atas minat dan kebutuhan siswa”. Callahan dan Clark
menyimpulkan bahwa orientasi pendidikan pragmatisme adalah progresivisme.
Artinya, pendidikan pragmatisme menolak segala bentuk formalisme yang
berlebihan dan membosankan dari pendidikan sekolah yang tradisional. Anti
terhadap otoritarianisme dan absolutisme dalam berbagai bidang kehidupan.
Peran guru dalam pendidikan pragmatisme adalah mengawasi dan
membimbing pengalaman belajar siswa, tanpa mengganggu minat dan
kebutuhannya. Pragmatisme menghendaki agar siswa dalam menghadapi suatu
permasalahan, hendaknya dapat merekonstruksi lingkungan untuk memecahkan
kebutuhan yang dirasakannya.
10
Setelah perenialisme menjadi terdesak karena perkembangan politik industri
yang cukup berat timbulah usaha untuk bangkit kembali, dan perenialisme berharap
agar manusia kini dapat memahami ide dan cita filsafatnya yang menganggap filsafat
sebagai suatu asas yang komprehensif Perenialisme dalam makna filsafat sebagai satu
pandangan hidup yang berdasarkan pada sumber kebudayaan dan hasil-hasilnya.
11
Kondisi dunia modern yang sangat mengandalkan rasionalitas empiris-
positivistis yang memandang kebenaran dalam konteksnya yang serba terukur,
teramati dan teruji secara inferensial yang melihat realitas sebagai sesuatu yang
serba materi, telah pula memunculkan berbagai problem kemanusiaan, seperti
munculnya sikap ambivalensi yang mencengkam dan mendatangkan kebingungan,
kebimbangan, kecemasan, ketakutan dalam bertingkah laku, sehingga manusia
hidup dalam ketidak menentuan dan cenderung kehilangan arah dan jati dirinya.
Pengabdian berpikir logis dalam hal ini telah pula memunculkan ketidakmampuan
manusia melihat pengetahuan yang sebenarnya. Hal ini mengingat corak kehidupan
yang serba rasional bertujuan dengan landasan empiris-positivistis yang melihat
realitas dan fakta-fakta yang terverifikasi dan terukur secara ketat, telah pula
menjadikan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai orientasi kehidupan
(Muhmidayeli, 2005: 173-174).
Dengan memperhatikan pengertian di atas dan latar belakang timbulnya
perenialisme tersebut dapat kita pahami bahwa pada dasarnya aliran ini berasal dari
pemikiran orang-orang eropa yang berusaha untuk mencari jawaban akibat
banyaknya ketimpangan, kekacauan, kebingungan, serta berbagai problematika
lainnya. Mereka menganggap bahwa ide umum yang terkandung dalam pemikiran
filosof zaman Yunani Kuno dan abad pertengahan itu adalah memiliki nilai yang
ideal dan masih relevan untuk menjawab persoalan masa kini (Assegaf, 2011: 194).
Menurut Raghib al-Isfahani terdiri dari dua unsur, yakni tubuh dan jiwa. Bila
tubuh dapat dikenal dengan indra mata, maka jiwa hanya dapat dikenal dengan akal.
Jiwa itu sendiri sangat menentukan bagi tubuh. Selain dapat menciptakan
kehidupan, ia juga dapat menggerakkan tubuh untuk bekerja, merasa, berilmu dan
berpikir (Amril M., 2002: 142).
Dengan demikian bahwa aliran perenialisme ini menginginkan bahwa zaman
terdahulu (lampau) tetap dipertahankan dan diabadikan. Sebab zaman modern
banyak membawa kerusakan kepada manusia. Mereka juga beranggapan bahwa
zaman modern ini suatu zaman yang sakit. Karena zaman modern ini menjadikan
krisis diberbagai bidang. Baik itu tingkah laku manusia, kebiasaan-kebiasan yang
tidak sesuai dengan budaya mereka yang terdahulu. Oleh karena itu aliran
berinisiatif agar kembali kepada budaya yang lama dan ideal. Karna budaya yang
lama dan ideal itu sesuai dengan prinsip hidup mereka.
b. Dasar Filosofis Perenialisme
Sebagaimana pada perkembangan pemikiran filsafat umumnya, dasar
pemikiran filsafat perenialisme ini pun terlihat dari keyakinan ontologis mereka
tentang manusia dan alam. Aliran ini memandang bahwa hakikat manusia sebagai
makhluk rasional yang akan selalu sama bagi setiap manusia dimana pun dan
sampai kapan pun dalam pengembangan historisitasnya.
12
Watak insan ialah luwes, lentur (flexible). Boleh dilentur, dibentuk dan
diubah. Ia mampu untuk menguasai ilmu pengetahuan, menghayati dan sehat
dengan adat-adat, nilai, tradisi atau aliran baru. Atau meninggalkan adat, nilai dan
aliran lama, dengan cara interaksi sosial baik dengan lingkungan yang bersifat alam
atau kebudayaan. Proses membentuk identitas, sifat dan watak atau mengubah dan
memupuk serta mengajukan ciri-cirinya yang unik dinamakan sosialisasi, atau
proses” pemasyarakatan.” Mudah atau susahnya proses ini bergantung pada usia
dan cara yang digunakan untuk sampai kepada tujuan (al-Syaibani, 1979: 156).
Menurut psikologi Plato, manusia pada hakikatnya memiliki tiga potensi
dasar, yaitu nafsu, kemauan dan pikiran. Ketiga potensi ini merupakan asas bagi
bangunan kepribadian dan watak manusia. Ketiga potensi ini akan tumbuh dan
berkembang melalui pendidikan, sehingga ketiganya berjalan secara berimbang
dan harmonis. Manusia yang memiliki potensi rasio yang besar akan manusia kelas
pemimpin, kelas sosial yang tinggi. Manusia yang besar potensi kemauannya, akan
menjadi manusia-manusia prajurit, kelas menengah. Sedangkan manusia yang
besar potensi nafsunya akan menjadi manusia-manusia pekerja, kelas rakyat jelata.
Pendidikan dalam hal ini hendaklah berorientasi pada potensi psikologis dan
masyarakat, sehingga dapat mewujudkan pemenuhan kelas-kelas sosial dalam
masyarakat tersebut (Muhmidayeli, 2005: 176).
Adapun jalan yang ditempuh adalah dengan cara regresif, yakni kembali
kepada prinsip umum yang ideal yang dijadikan dasar tingkah pada zaman kuno
dan abad pertengahan. Prinsip umum yang ideal itu berhubungan dengan nilai ilmu
pengetahuan, realita, dan moral yang mempunyai peranan penting dan pemegang
kunci bagi keberhasilan pembangunan kebudayaan pada abad ruang angkasa ini.
Prinsip yang bersifat aksiomatis ini tidak terikat waktu dan tetap berlaku dalam
perjalanan sejarah (Djumransjah, 2006: 187).
Hal yang sama juga diungkap Aristoteles yang mengatakan, bahwa
kebahagiaan hidup sebagai tujuan pendidikan itu sendiri dapat terealisasi jika
ketiga komponen potensi dasarnya terdidik dan berkembang secara seimbang.
Harmonisasi fungsionalitas tiga potensi dasar manusia dalam aktivitasnya
merupakan kunci bagi pengembangan kualitas humanitas manusia dalam
kehidupannya. Oleh karena itu, pengisian pendidikan dalam ketiga aspek ini
merupakan suatu keniscayaan. Pendidik bertugas memberikan bantuan kepada
subjek-subjek didiknya untuk mewujudkan potensi-potensi yang ada padanya agar
menjadi aktif, nyata dan aktual, melalui latihan berpikir secara baik dan benar.
Pendeknya pembinaan dan latihan berpikir merupakan teori dasar dalam
pembelajarannya, sehingga dengan demikian mental disiplin merupakan
karakteristik pokok dalam teori belajar aliran perenialisme ini (Muhmidayeli,
2005: 177).
13
Aliran ini berkeyakinan, bahwa kendatipun dalam lingkungan dan tempat
yang berbeda-beda, hakikat manusia tetap menunjukkan kesamaannya. Oleh
karena itu, pola dan corak pendidikan yang sama dapat diterapkan kepada siapapun
dan dimanapun ia berada. Menurutya, setiap manusia memiliki fungsi kemanusiaan
yang sama, karena memang terlahir dari hakikat yang sama sebagai makhluk
rasional. Aliran ini berpendapat, bahwa rasionalitas adalah hukum pertama yang
tetap benar di segala waktu dan tempat. Dengan prinsip rasionalitas ini pula akan
memunculkan adanya prinsip kesadaran dan kebebasan. Aliran ini berkeyakinan
bahwa dimanapun manusia tetap menunjukkan kesamaannya. Oleh karena itu pola
pendidikan apapun yang diterapkan, kita sebagai manusia tetap akan menerima
pendidikan itu. Karena kita terlahir sebagai makhluk rasional yang membedakan
dengan makhluk lainnya. Tentunya dengan rasional yang dimiliki manusia akan
menggiring manusia itu untuk dapat menggunakan rasio nya itu dengan baik dan
terarah. Begitu juga rasional merupakan hukum yang pertama yang dimiliki
manusia dan dapat dimanfaatkan dengan baik dan terarah.
c. Pemikiran Perenialisme tentang Pendidikan
Filsafat perenialisme dalam pendidikan lahir pada abad ke-20. Perenialisme
lahir dari suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Perenialisme menentang
pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru.
Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan,
ketidakpastian, terutama dalam kehidupan moral, intelektual, dan sosio-kultural.
Solusi yang ditawarkan kaum perenialis adalah dengan jalan mundur ke belakang
dengan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah
menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat pada zaman kuno dan abad
pertengahan.
Peradaban-kuno (Yunani Purba) dan abad pertengahan dianggap sebagai
dasar budaya bangsa-bangsa di dunia dari masa ke masa dan dari abad ke abad.
Oleh karena itu, perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau
proses mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan ideal
yang dimaksud, education as cultural regression. Perenialisme tidak melihat jalan
yang meyakinkan selain kembali kepada prinsip-prinsip yang telah sedemikian
membentuk sikap kebiasaan, bahkan kepribadian manusia selain kebudayaan
dahulu dan kebudayaan abad pertengahan. Perenialisme tidak memiliki
kepercayaan diri bahwa zaman ini tidak akan berubah menjadi baik jika tidak
kembali pada nilai-nilai budaya lama yang dianggapnya ideal dan sudah mapan
(Ahmadi, 2014: 100-101).
Perenialisme percaya bahwa seseorang harus mengajarkan hal-hal yang
dianggap menjadi kemanfaatan abadi bagi semua orang di mana-mana. Mereka
percaya bahwa topic yang paling penting adalah mengembangkan seseorang.
Karena detail fakta berubah terus-menerus, ini tidak dapat menjadi yang paling
penting. Oleh karena itu, seseorang harus mengajarkan prinsip-prinsip bukan fakta.
Karena orang adalah manusia, kita harus mengajarkan pertama tentang manusia,
bukan mesin atau teknik. Jika semuanya demikian, seorang harus mengajarkan
topik liberal, bukan topic-topik vokasiona (Ahmadi, 2014: 100-101).
14
Tentang pendidikan kaum Perenialisme memandang education as cultural
regression : pendidikan sebagai jalan kembali, atau proses mengembalikan
keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan masa lampau yang dianggap
sebagai kebudayaan ideal. Tugas pendidikan adalah memberikan pengetahuan
tentang nilai-nilai kebenaran yang pasti, absolut, dan abadi yang terdapat dalam
kebudayaan masa lampau yang dipandang sebagai kebudayaan ideal
tersebut.Sejalan dengan hal di atas, penganut Perenialisme percaya bahwa prinsip-
prinsip pendidikan juga bersifat universal dan abadi.
Robert M. Hutchins mengemukakan “Pendidikan mengimplikasikan
pengajaran. Pengajaran mengimplikasikan pengetahuan. Pengetahuan adalah
kebenaran. Kebenaran di manapun dan kapanpun adalah sama. Karena itu
kapanpun dan di manapun pendidikan adalah sama”. Selain itu pendidikan
dipandang sebagai suatu persiapan untuk hidup, bukan hidup itu sendiri.
Dalam hal pendidikan, perenialisme memandang bahwa tujuan utama
pendidikan adalah untuk membantu siswa dalam memperoleh dan merealisasikan
kebenaran abadi. Aliran ini menilai bahwa kebenaran itu bersifat universal dan
konstan. Maka jalan untuk mencapainya adalah melatih intelek dan disiplin mental.
Tujuan pendidikan tersebut terurai dalam format kurikulum yang berpusat pada
materi (content based, subject centered) dan mengutamakan disiplin ilmu sastra,
matematika, bahasa, humaniora, sejarah dan lain-lain (Assegaf, 2011: 194-195).
Kelompok perenialisme misalnya, menyebutkan pendidikan itu pada
dasarnya meningkatkan kualitas manusia sebagai manusia dalam kerangka nilai-
nilai kebenaran yang universal, tidak terikat oleh ruang dan waktu. Dengan
demikian sistem pendidikan apapun dan di dalam masyarakat manapun mesti
mengacu pada nilai-nilai kebenaran universal. Sedemikian rupa anak didik dalam
pendidikan dibantu untuk menemukan dan menjalin nilai-nilai universal ini dalam
kehidupan mereka (Knellr, 1972: 43).
Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses
pengembalian keadaan sekarang. Perenialisme memberikan sumbangan yang
berpengaruh, baik berupa teori maupun praktik bagi kebudayaan dan pendidikan
zaman sekarang. Maka, dapat dikatakan bahwa perenialisme memandang
pendidikan sebagai jalan kembali, yaitu sebagai suatu proses mengembalikan
kebudayaan sekarang (zaman modern atau modernistik) ini terutama pendidikan
zaman sekarang ini perlu dikembalikan kebudayaan pada masa lampau (Gandhi
HW, 2013: 165).
Perenialisme merupakan aliran filsafat yang didasarkan pada kesatuan, bukan
mencerai-beraikan; menemukan persamaan-persamaan, bukan membanding-
bandingkan; serta memahami isi, bukan melihat luar atas berbagai aliran dan
pemikiran. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa perenialisme merupakan filsafat
yang susunannya mempunyai kesatuan. Susunan tersebut merupakan hasil pikiran
yang memberikan kemungkinan bagi seseorang untuk bersikap tegas dan lurus.
Oleh karena itulah, perenialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan arah
tujuan yang jelas merupakan tugas yang utama dari filsafat, khususnya filsafat
pendidikan (Gandhi HW, 2013: 165).
15
Perenialisme sebagai sebuah aliran dalam filsafat pendidikan yang mendasari
dirinya pada keyakinan bahwa pengetahuan sejatinya yang didapat melalui ruang
dan waktu mestilalah membentuk dasar-dasar pendidikan seseorang. Oleh karena
itu tugas pendidikan itu adalah mengajar, termasuk mengajar pengetahuan yang
mana pengetahuan itu termasuk kebenaran. Kebenaran itu sendiri dimana-mana
sama, sedemikian rupa menjadikan pendidikan itu dimana pun mestilah sama,
sedangkan anak didik sebagai individu dipandang oleh kelompok ini adalah
sebagai makhluk rasional dan spiritual. Secara implisit tentunya juga anak didik
adalah makhluk moral dan etik (Amril M., 2005: 26-27).
Pendidikan menurut aliran ini bukanlah semacam imitasi kehidupan, tetapi
tidak lain adalah suatu upaya mempersiapkan kehidupan. Sekolah menurut
kelompok ini tidak akan pernah dapat menjadi situasi kehidupan yang ril. Anak
dalam hal ini menyusun rancangan dimana ia belajar dengan prestasi-prestasi
warisan budaya masa lalu. Tugasnya kemudian adalah bagaimana merealisasikan
nilainilai yang diwariskan kepadanya dan jiika memunginkan meningkatkan dan
menambah prestasi-prestasi itu melalui usaha sendiri (Muhmidayeli, 2005: 180).
Prinsip mendasar pendidikan bagi aliran perenial ini adalah membantu
subjek-subjek didik menemukan dan menginternalisasikan kebenaran abadi,
karena memang kebenarannya sifat universal dan tetap. Kebenaran-kebenaran
seperti ini hanya dapat diperoleh subjek-subjek didik melalui latihan intelektual
yang dapat menjadikan pikirannya teratur dan tersistematisasi sedemikian rupa.
Hal ini semakin penting terutama jika dikaitkan dengan persoalan pengembangan
spiritual manusia (Muhmidayeli, 2005: 180).
Aliran ini meyakini bahwa pendidikan adalah transfer ilmu pengetahuan
tentang kebenaran abadi. Pengetahuan adalah suatu kebenaran sedangkan
kebenaran selamanya memiliki kesamaan. Oleh karena itu pula maka
penyelenggaraan pendidikan pun di mana-mana mestilah sama. Pendidikan
mestilah mencari pola agar subjek-subjek didik dapat menyesuaikan diri bukan
pada dunia saja, tapi hendaklah pada hakikat-hakikat kebenaran. Penyesuaian diri
pada kebenaran merupakan tujuan belajar itu sendiri. Oleh karena itu, para
Perenialisme memandang, bahwa tuntutan tertinggi dalam belajar adalah latihan
dan disiplin mental. Para Perenialis percaya, bahwa pemikiran subek-subjek didik
akan menjadi nyata melalui pelatihan-pelatihan intelektual.
Cara mudah untuk mengajar subjek-subjek didik adalah dengan cara
menumbuhkan keinginan untuk belajar. Realisasi diri sangat tergantung pada
disiplin diri, sedangkan disiplin diri itu sendiri dapat diraih melalui disiplin
eksternal. Berdasarkan pemikiran ini, maka Perenialis sampai suatu kesimpulan,
bahwa belajar adalah upaya keras untuk memperoleh sesuatu ilmu pengetahuan
melalui disiplin tinggi dalam latihan pengembangan prinsip-prinsip rasional
(Muhmidayeli, 2005: 180-181).
16
Keinginan untuk menjadi diri sendiri itu ada pada setiap manusia. Maka
setiap anak yang berada dalam ikatan pendidikan dengan pendidikannya, adalah
mereka yang pada dasarnya ingin menjadi “diri sendiri”. Anak ingin menjadi
individu yang bebas, dan untuk itu ia mempertahankan dirinya dengan
sekelilingnya. Semangat kehidupan itu ada, namun merasa tak mampu bahkan pada
saat dilahirkan sama sekali tidak berdaya (Sadulloh: 2010: 142-143).
Jadi epistemologi dari perenialisme, harus memiliki pengetahuan tentang
pengertian dari kebenaran yang sesuai dengan realita hakiki, yang dibuktikan
dengan kebenaran yang ada pada diri sendiri dengan menggunakan tenaga pada
logika melalui hukum berpikir metode deduksi, yang merupakan metode filsafat
yang menghasilkan kebenaran hakiki (Syam, 1998: 297). Menurut perenialisme
penguasaan pengetahuan mengenai prinsip-prinsip pertama adalah modal bagi
seseorang untuk mengembangkan pikiran dan kecerdasan. Dengan pengetahuan,
bahan penerangan yang cukup, orang akan mampu mengenal faktor-faktor dengan
pertautannya masing-masing memahami problema yang perlu diselesaikan dan
berusaha untuk mengadakan penyelesaian masalahnya.
Makna hakiki dari belajar, menurut aliran ini, adalah belajar untuk berfikir.
Aliran ini meyakini bahwa dengan cara latihan berpikir, subjek didik akan memiliki
senjata ampuh dalam menghadapi berbagai rintangan yang akan menurunkan
martabat kemanusiaannya, seperti kebodohan, kebingungan, dan keragu-raguan.
Tugas seorang subjek didik menurut aliran ini adalah mempelajari berbagai karya
dalam berbagai literatur filsafat, sejarah, dan sains, sehingga dengan demikian ia
berkenalan dengan berbagai prestasi di masa lalu menuju pembentukan pemikiran
yang akan mengisi kehidupannya dalam membangun prestasi-prestasinya pula.
17
Strategi pembelajaran terdapat beberapa jenis (Nasution, 2017), yaitu sebagai
berikut:
a. Strategi pembelajaran ekspositori
Ekspositori berasal dari konsep eksposisi, yang berarti memberikan
penjelasan. Dalam konteks pembelajaran eksposisi merupakan strategi yang
dilakukan pendidik untuk menyatakan atau menjelaskan fakta-fakta, gagasan-
gagasan, dan informasi-informasi penting lain kepada para peserta didik. Tujuan
dari strategi pembelajaran ekspositori adalah memberikan pengetahuan dan
keterampilan kepada peserta didik. Dalam strategi pembelajaran ekspositori
pendidik merupakan sumber data yang penting dan sekaligus komponen penting
dalam proses pembelajaran.
b. Strategi pembelajaran inkuiri
Strategi pembelajaran inkuiri merupakan rangkaian kegiatan
pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis
untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang
dipertanyakan. Strategi pembelajaran inkuiri menekankan pada pengembangan
tiga sasaran pembelajaran, yaitu kognitif, afektif dan psikomotor secara
seimbang, sehingga pelaksanaan pembelajaran menjadi lebih bermakna.
c. Strategi pembelajaran berbasis masalah
Strategi pembelajaran berbasis masalah merupakan rangkaian aktivitas
pembelajaran yang difokuskan kepada proses penyelesaian masalah secara
ilmiah. Masalah dapat diambil dari buku teks atau dari sumber-sumber lain
misalnya dari peristiwa yang terjadi di lingkungan sekitar, dari peristiwa dalam
keluarga atau dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakat. Strategi
pembelajaran berbasis masalah dalam rangkaian aktivitas pembelajaran peserta
didik tidak hanya sekadar mendengarkan, mencatat, kemudian menghafal materi
pelajaran, tetapi juga peserta didik aktif berpikir, berkomunikasi. Peserta diidk
difokuskan untuk menyelesaikan masalah serta , pemecahan masalah dilakukan
dengan menggunakan pendekatan berpikir secara ilmiah. Berpikir dengan
menggunakan metode ilmiah adalah proses berpikir deduktif dan induktif.
d. Strategi Pembelajaran Kooperatif
Strategi pembelajaran kooperatif merupakan salah satu strategi
pembelajaran yang dalam implementasinya mengarahkan para peserta didik
untuk bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil dan kelompok kelompok
yang berhasil mencapai tujuan pembelajaran akan diberikan penghargaan. Tujuan
pembelajaran dari pengembangan pembelajaran kooperatif, yaitu prestasi
akademis, penerimaan keragaman, dan pengembangan keterampilan sosial.
e. Strategi Pembelajaran Afektif
Strategi pembelajaran afektif adalah rangkaian kegiatan pembelajaran
yang menekankan pada pembentukan sikap yang positif pada diri peserta didik.
f. Strategi Pembelajaran Kontekstual
18
Contextual Teaching and Learning (CTL) atau Strategi Pembelajaran
Kontekstual adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses
keterlibatan peserta didik untuk menemukan materi yang dipelajari dan
menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong peserta
didik untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.
g. Strategi Pembelajaran Aktif
Strategi pembelajaran aktif merupakan kegiatan kolaboratif yang terdapat
beberapa jenis, yaitu Card Sort, The Power Of Two, Team Quiz, Jigsaw, Every
One is a Teacher Here, snowballing, Information Search, Peer Lessons, Index
Card Match, dan The Learning Cell.
h. Strategi pembelajaran Quantum
Strategi pembelajaran quantum merupakan sebuah program percepatan
pembelajaran yang ditawarkan learning forum, yaitu sebuah perusahaan
pendidikan internasional yang menekankan perkembangan keterampilan
akademis dan keterampilan pribadi.
Pada video pertama tentang mengubah persen menjadi pecahan biasa, guru
menggunakan strategi pembelajaran ekspositori. Dimana guru sebagai sumber
informasi yang memberi penjelasan terkait materi mengubah persen menjadi pecahan
biasa. Guru menjelaskan fakta-fakta, gagasan-gagasan, dan informasi-informasi
penting lain kepada para peserta didik. Tujuan dari strategi pembelajaran ekspositori
adalah memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada peserta didik. Guru
menggunakan metode ceramah, dimana peserta didik berlatih mendengarkan dan
menyimak, mengkaji apa yang diceramahkan, pemahaman konsep, prinsip, fakta dan
proses mencatat bahan pelajaran.
Pengembangan strategi pembelajaran ekspositori seringkali didasarkan pada
beberapa prinsip filosofis. Beberapa filosofi yang umumnya diyakini dalam
pengembangan strategi pembelajaran ekspositori meliputi:
a. Rasionalisme: Filosofi ini menekankan pentingnya pemikiran rasional dan
penggunaan logika dalam proses pembelajaran. Dalam strategi pembelajaran
ekspositori, pengetahuan disampaikan secara sistematis dan terstruktur agar siswa
dapat memahami konsep secara logis.
b. Empirisme: Filosofi ini menekankan pentingnya pengalaman langsung dan
observasi dalam memperoleh pengetahuan. Dalam konteks pembelajaran
ekspositori, metode ini bisa diterapkan dengan menyediakan contoh konkret, studi
kasus, atau demonstrasi untuk membantu siswa memahami konsep secara praktis.
c. Konstruktivisme: Filosofi ini menekankan bahwa pengetahuan tidak hanya
diterima begitu saja, tetapi juga dibangun oleh individu melalui pengalaman dan
interpretasi pribadi. Dalam strategi pembelajaran ekspositori, guru mungkin
menyajikan materi dengan cara yang memungkinkan siswa untuk mengonstruksi
pemahaman mereka sendiri, misalnya dengan menyediakan kesempatan untuk
berdiskusi, bertanya, atau membuat rangkuman.
19
d. Pragmatisme: Filosofi ini menekankan pentingnya menggunakan pengetahuan
untuk mencapai tujuan praktis. Dalam konteks pembelajaran ekspositori, fokusnya
adalah pada penerapan konsep dan prinsip dalam situasi nyata, sehingga siswa
dapat melihat relevansi materi yang dipelajari dengan kehidupan sehari-hari atau
karier mereka.
e. Humanisme: Filosofi ini menempatkan perhatian pada kebutuhan dan potensi
individu. Dalam strategi pembelajaran ekspositori, pendekatan ini mungkin
menekankan pentingnya keterlibatan siswa secara aktif dalam proses
pembelajaran, memberikan dukungan dan umpan balik yang membangun, serta
menghargai keragaman dan keunikan setiap siswa.
Pemahaman tentang filosofi-filosofi ini dapat membantu pengajar mengembangkan
strategi pembelajaran ekspositori yang efektif sesuai dengan kebutuhan dan
karakteristik siswa mereka.
20
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Rulam. 2014. Pengantar Pendidikan Asas & Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruz
Media.
Al-Syaibani, Omar Mohammad alToumy. 1979. Falsafah Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan
Bintang.
Anbiya, B. F., Nurdin, S. E., & Rizal, S. A. (2020). Filsafat Progresivisme dan Implikasinya
terhadap Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai General Education di Indonesia. Civic-
Culture: Jurnal Ilmu Pendidikan PKN Dan Sosial Budaya, 4(1), 301-3.
Assegaf, Abd. Rahman. 2011. Filsafat Pendidikan Islam, Cet. II. Jakarta: RajaGrafindo Persada
Knellr, George F., 1972. Introduction to The Philosophy of Education. New York: Jhon Wiley
& Sons, Inc. M., Amril. 2002. Etika Islam Telaah Pemikiran Moral Raghib alIsfahani.
Pekanbaru: LSFK2P.
Nasution, S. (1993). Pengembangan Kurikulum. Bandung: Citra Aditia Bakti. hal. 24 4 Ibid,
hal. 25
21
Sarah, S. (2018). Pandangan Filsafat Pragmatis John Dewey dan Implikasinya dalam
Pendidikan Fisika. In Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Fisika FITK UNSIQ (Vol. 1,
No. 1, pp. 67-77).
Syam, Mohammad Noor. 1998. Filsafat Kependidikan dan Filsafat Kependidikan Pancasila.
Surabaya: Usaha Nasional.
22