Diampu oleh :
Prof. Dr. Mega Teguh Budiarto, M.Pd.
Prof. Dr. Tatag Yuli Eko Siswono, M.Pd.
Disusun oleh :
Tasya Florensia (23030785003)
Nur Putri Inayati Lestari (23030785004)
Halliem Pangesti Ningrum (23030785007)
B. Filsafat Formalisme
Dalam aliran formalisme, sifat alami dari matematika adalah sistem lambang
yang formal, bertalian dengan sifat–sifat struktural dari simbol–simbol dan proses
pengolahan terhadap lambang–lambang itu. Simbol–simbol dianggap mewakili
berbagai sasaran yang menjadi objek matematika. Bilangan–bilangan misalnya
dipandang sebagai sifat–sifat struktural yang paling sederhana dari benda–benda.
1
Jejak filosofi formalis matematika dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan Uskup
Berkeley. Landasan matematika formalisme dipelopori oleh ahli matematika besar
dari Jerman David Hilbert. Program formalis Hilbert bertujuan untuk menerjemahkan
matematika ke dalam sistem formal. Artinya, dalam lingkup terbatas tetapi sangat
mengarah pada sistem formal yang menunjukkan sifat matematika, dengan
menurunkan mitra resmi dari semua kebenaran matematika melalui bukti konsistensi.
Menurut Ernest (1991) aliran formalisme memiliki dua dua tesis, yaitu : 1)
Matematika dapat dinyatakan sebagai sistem formal yang tidak dapat ditafsirkan
sembarangan, kebenaran matematika disajikan melalui teorema-teorema formal. 2)
Keamanan dari sistem formal ini dapat didemonstrasikan dengan terbebasnya dari
ketidak konsistenan.
Berdasarkan landasan pemikiran itu seorang pendukung aliran formalisme
merumuskan matematika sebagai ilmu tentang sistem – sistem formal. Beberapa ahli
tidak menerima konsep aliran formalisme ini. Keberatan bermula ketika Godel
membuktikan bahwa tidak mungkin bisa membuat sistem yang lengkap dan konsisten
dalam dirinya sendiri. Pernyataan ini dikenal dengan Teorema Ketidaklengkapan
Godel (Godel’s Incompleteness Theorem). Ketidaklengkapan Teorema Kurt Godel
(Godel, 1931) menunjukkan syarat yang tidak bisa dipenuhi. Teorema pertamanya
menunjukkan bahwa bahkan tidak semua kebenaran dari aritmatika dapat diturunkan
dari aksioma Peano (atau setiap aksioma set yang rekursif lebih besar). Teorema
ketidaklengkapan kedua menunjukkan bahwa dalam kasus konsistensi pembuktian
memerlukan meta-matematika. Jadi, tidak semua kebenaran matematika dapat
direpresentasikan sebagai teorema dalam sistem formal dan sistem itu sendiri tidak
dapat dijamin kebenarannya.
Untuk mengetahui filsafat matematika dapat dimulai dengan pertanyaan
tradisional mengenai ontologi dan epistemologi, antara lain: apa itu pengetahuan
matematika, bagaimana cara memperoleh pengetahuan matematika, apakah
basis/landasan bagi pengetahuan matematika, apa yang dikaji filsafat matematika dan
bagaimana eksistensi objek-objek matematika.
1. Aspek Ontologi
Objek-objek yang dikaji dalam matematika adalah fakta abstrak, konsep,
definisi, relasi, operasi abstrak, serta prinsip abstrak. Fakta abstrak berupa konvensi
(kesepakatan) yang diungkapkan dengan simbol tertentu, misal simbol 3
menyatakan bilangan bulat positif setelah dua. Konsep adalah ide abstrak yang
dapat digunakan untuk menggolongkan atau mengklasifikasikan sekumpulan
obyek, misal segitiga merupakan konsep abstrak sebab sekumpulan benda dapat
digolongkan sebagai segitiga atau bukan. Definisi adalah ungkapan yang
membatasi suatu konsep. Operasi abstrak dalam matematika adalah suatu fungsi
yaitu relasi khusus untuk memperoleh elemen tunggal dari satu atau lebih elemen
abstrak yang diketahui Prinsip abstrak adalah hubungan antara berbagai objek
dasar matematika.. Prinsip dapat terdiri dari beberapa fakta, beberapa konsep, yang
dikaitkan oleh suatu relasi/operasi. Prinsip juga dapat berupa aksioma, teorema,
lemma, sifat dll.
2
2. Aspek Epistemologi
Pendekatan yang lebih luas yang dapat diadopsi secara epistemologi,
mendasarkan pada asumsi bahwa pengetahuan dalam matematika dinyatakan
dengan sebuah himpunan proposisi, bersama-sama dengan sebuah himpunan
prosedur untuk pembuktian proposisi, sehingga tersedia jaminan untuk melakukan
asersi. Berdasarkan hal ini, pengetahuan matematika terdiri dari seperangkat
himpunan proposisi bersama-sama dengan pembuktiannya. Karena pembuktian
matematika didasarkan pada cara berpikir, dan tidak menggunakan fakta-fakta
empiris, maka pengetahuan matematika adalah pengetahuan yang bersifat paling
pasti dari seluruh pengetahuan yang ada di dunia. Layaklah jika secara agak
anarkis matematika menyebut dirinya sebagai dewa pengetahuan yang hanya mau
mematuhi aturan yang dibuatnya sendiri.
3. Kebenaran Matematis dalam Filsafat Formalisme
Kebenaran matematika adalah kebenaran menurut definisi atau persyaratan
yang menentukan makna dari term-term kunci. Persyaratan ini memberikan ciri
khas bahwa validitas kebenaran matematika tidak memerlukan bukti empiris.
Kebenaran matematika semata-mata dapat ditunjukkan dengan menganalisis
makna yang terkandung dalam term-term di dalamnya, yang di dalam logika
disebut sebagai benar secara apriori yang mengindikasikan bahwa nilai
kebenarannya bebas secara logis dari atau apriori secara logis pada sebarang bukti
eksperimental.
Ciri khas kepastian teoritis berakibat pada pernyataan analitis yang tidak
membawa informasi faktual, tidak memiliki implikasi faktual, tidak memuat
kandungan empiris, sesuatu yang berbeda dengan pernyataan sintetis, sehingga
kebenaran pernyataan analitis dapat divalidasi tanpa referensi bukti empiris. Jadi
validitas kebenaran matematika tidak terletak pada sifat self-evident-nya dan tidak
pula pada dasar empirisnya, akan tetapi diturunkan dari persyaratan yang
menentukan makna konsep-konsep matematika. Dengan demikian, proposisi
matematika adalah benar menurut definisi, kebenaran a priori, sekali benar maka
untuk seterusnya dan selamanya benar.
Menurut kaum Formalis matematika berasal dari penggunaan pikiran
manusia secara bebas, bukan melalui praktek matematisasi dalam kehidupan
sehari-hari. Mereka memandang apakah matematika yang dihasilkannya berguna
dan dapat diterapkan bukan urusannya. Bagi kaum Formalis, matematika adalah
untuk matematika, matematika an sich. Matematika dikembangkan tanpa tujuan
untuk dapat digunakan dalam praktek dan atau dapat memberi manfaat nyata.
C. Filsafat Intuisionisme
1. Sejarah Filsafat Intuisionisme
Filsafat intuisionisme adalah pandangan dalam filsafat matematika yang
salah satu tokohnya bernama L.E.J. Brouwer (1862-1943). Intuisionisme adalah
aliran filsafat dalam tradisi Kant bahwa semua pengetahuan manusia diawali oleh
intuisi, menghasilkan konsep-konsep, dan diakhiri dengan ide-ide. Berlawanan
dengan aliran formalisme berkembanglah aliran intuisionisme yang berpendirian
3
bahwa matematika adalah sama dengan bagian yang eksak dari pemikiran manusia.
Ketepatan dalil-dalil matematika terletak dalam akal manusia (human intellect) dan
tidak pada simbol simbol di atas kertas sebagaimana diyakini oleh aliran filsafat
formalisme.
2. Pengertian Filsafat Intuisionisme
Sebagaimana namanya, intuisionisme mengandalkan intuisi dalam
memverifikasi kebenaran pernyataan matematika bukan tersurat dalam kertas,
melainkan terletak di dalam pikiran manusia. Sebagai ilustrasi intuisionisme
mengatakan bahwa bilangan “dua” tidak ada maknanya sebelum akal manusia
memikirkan dan memberi makna pada bilangan “dua”. Oleh sebab itu dasar
kebenaran dari sebuah pernyataan didasarkan pada pikiran bukan pada realitas
semata, semua matematika adalah yang dipikirkan bukan yang dituliskan. Aliran
intuisionisme berpandangan matematika sebagai suatu aktivitas pemikiran manusia
yang terbatas dari bahasa dan basisnya adalah filsafat tentang pikiran. Matematika
yang paling dasar terletak pada intuisi yang paling dalam (primitive intuition).
Landasan matematika terletak pada intuisi matematikawan secara individual,
dengan demikian menjadikan matematika kedalam suatu yang pada hakikatnya
merupakan kegiatan subjektif.
Menurut aliran ini, matematika tidak akan dapat seluruhnya dilambangkan,
berpikir matematis tidak tergantung pada bahasa tertentu yang digunakan untuk
mengungkapkannya. Pengetahuan dari proses matematis haruslah sedemikian
sehingga proses itu dapat diperluas hingga tak terbatas.
Pandangan intuisionisme dalam filsafat matematika yang menekankan
pentingnya pengalaman intuitif dan subjektif dalam matematika. Intuisionisme
menganggap matematika merupakan sebuah konstruksi manusia yang didasarkan
pada intuisi atau pengalaman dalam mengamati objek-objek matematika. Oleh
karena itu, menurut pandangan ini, logika matematika bukanlah alat yang terpisah
dan mandiri dari pengalaman manusia, melainkan terkait erat dengan pengalaman
manusia. Konstruksi matematika ini dilakukan melalui proses pemikiran dan
pengalaman subjektif manusia. Pandangan ini menolak ide bahwa matematika
dapat direduksi menjadi manipulasi simbol simbol formal atau aturan logis yang
ketat, melainkan lebih banyak melibatkan kreativitas dan pemikiran yang tidak
terstruktur. Jika tidak ada konstruksi konkret yang dapat ditemukan untuk suatu
pernyataan matematika, maka pernyataan tersebut dianggap tidak memiliki nilai
kebenaran yang jelas.
4
jiwa (reinkarnasi), berbudi luhur, berperilaku manusiawi terhadap semua
makhluk hidup. Pula ia mengenalkan konsep "bilangan" sebagai kebenaran
dalam matematika yang mana secara filosofis tidak hanya menjernihkan pikiran
tetapi memungkinkan pemahaman objektif tentang realitas. Bagi Pythagoras,
bilangan bukan hanya sekadar alat untuk mengukur atau menghitung, tetapi
memiliki makna yang lebih dalam dalam konteks kehidupan dan alam semesta.
Pandangan Pythagoras tentang bilangan dapat disimpulkan dalam beberapa poin
utama:
1. Harmoni Alam
Pythagoras percaya bahwa bilangan adalah kunci untuk memahami harmoni
dalam alam semesta. Baginya, hubungan antara bilangan memiliki
konsekuensi spiritual dan kosmik yang mendalam.
2. Teorema Pythagoras
Salah satu kontribusi paling terkenal dari Pythagoras adalah Teorema
Pythagoras, yang menyatakan bahwa dalam segitiga siku-siku, kuadrat
panjang sisi miring sama dengan jumlah kuadrat panjang sisi-sisi yang lain.
Teorema ini menghubungkan konsep geometris dengan konsep bilangan
secara langsung.
3. Musik Sfera
Pythagoras juga memperkenalkan konsep musik sfera, yang mengaitkan
bilangan dengan harmoni musik dan gerakan benda langit. Dia percaya
bahwa gerakan benda-benda langit dapat diungkapkan melalui bilangan dan
proporsi yang harmonis.
4. Tetraktys
Konsep penting lainnya dalam pemikiran Pythagoras adalah tetraktys,
sebuah segitiga berjumlah sepuluh yang terdiri dari empat deretan bilangan
(1, 2, 3, dan 4). Tetraktys dianggap sebagai simbol yang penuh makna dan
mengandung esensi matematika dan kosmik.
5
yang nyata dan ideal.
2. Bilangan sebagai Konsep Murni
Menurut Plato, bilangan adalah konsep murni yang eksis dalam dunia ide.
Mereka bukan hanya hasil dari pengamatan empiris atau konvensi manusia,
tetapi merupakan bagian dari realitas yang ada dalam alam pikiran.
3. Hubungan dengan Objek Fisik
Plato percaya bahwa objek fisik di dunia nyata hanyalah bayangan atau
salinan yang tidak sempurna dari bentuk-bentuk ideal di dunia ide.
Demikian pula, bilangan di dunia fisik adalah refleksi dari bilangan ideal
yang ada dalam dunia ide.
4. Peran dalam Geometri
Plato memberikan perhatian khusus pada geometri dan hubungannya
dengan bilangan. Dia menganggap geometri sebagai cara untuk memahami
bentuk-bentuk ideal dan hubungan proporsional di dalamnya, yang
tercermin dalam bilangan.
Sumber: https://plato2051.tripod.com/plato.htm
6
Tabel Platonis diformat ulang oleh Nicomachus dari Gerasa (60-120 M)
sebagai susunan yang lebih nyaman untuk ditulis. Tabel berikut ini berupa
bagian segitiga atas dari suatu persegi panjang. Tabel ini dikembangkan hingga
sembilan kolom angka, tetapi dapat diperluas tanpa batas waktu dalam
perkembangan geometri lanjutan. Tujuh level pertama disorot dengan warna
merah. Perlu diperhatikan bahwa, pada level ketujuh ini, ada total
1+2+3+4+5+6+7 = 28 bilangan platonis seluruhnya. Nicomachus menganggap
angka 28, bersama dengan 6, 496 dan 8128, sebagai empat angka pertama dari
apa yang disebut Bilangan Sempurna atau Perfect Numbers.
Sumber: https://plato2051.tripod.com/plato.htm
7
dalam upaya manusia untuk memahami alam semesta dan mengembangkan
ilmu pengetahuan.
Bilangan Descartes
Dalam teori bilangan , bilangan Descartes adalah bilangan ganjil yang
akan menjadi bilangan ganjil sempurna jika salah satu faktor kompositnya
adalah bilangan prima. Namanya diambil dari René Descartes yang mengamati
bahwa bilangan D = 32 ⋅72 ⋅112 ⋅132 ⋅22021 = (3⋅1001)2 ⋅ (22 ⋅ 1001−1) =
198585576189 adalah bilangan ganjil sempurna hanya jika 22021 merupakan
bilangan prima. Jika 22021 adalah bilangan prima, maka:
8
dimana kita mengabaikan fakta bahwa 22021 adalah bilangan komposit (22021
= 192 ⋅ 61).
Bilangan Descartes didefinisikan sebagai bilangan ganjil n = m ⋅ p
dengan m dan p koprima dan 2n = σ(m) ⋅ (p + 1), sehingga p dianggap sebagai
bilangan prima 'palsu'. Contoh yang diberikan adalah satu-satunya yang
diketahui saat ini. Jika m adalah bilangan ganjil hampir sempurna, yaitu, σ( m )
= 2m − 1 dan 2m − 1 dianggap sebagai bilangan prima 'palsu', maka n = m ⋅
(2m − 1) adalah bilangan Descartes, karena σ( n ) = σ(m ⋅ (2m − 1)) = σ(m) ⋅
2m = (2m − 1) ⋅ 2m = 2n . Jika 2m − 1 adalah bilangan prima, maka n adalah
bilangan ganjil sempurna.
9
dalam konteks perubahan dan gerak yang terus-menerus. Kontribusinya
terhadap pengembangan kalkulus telah memberikan kontribusi besar terhadap
perkembangan matematika dan ilmu pengetahuan secara luas.
Sumber: https://algorit.ma/blog/data-science/wilhelm-leibniz-penemu-sistem-bilangan-biner-kalkulus/
Kalkulus
Di sekitar tahun yang sama, Leibniz mulai mengembangkan teori
diferensial dan integral kalkulus dan berhasil menerbitkan makalahnya pada
tahun 1684. Beberapa kontroversi yang panas muncul ketika hal ini terjadi.
Beberapa sejarawan berkata bahwa Leibniz menyontek Sir Isaac Newton, yang
dinyatakan sebagai penemu kalkulus bahkan sebelum Leibniz mulai
mengerjakannya, dan sebaliknya. Debat ini berjalan sehingga kedua member
kerajaan memutuskan untuk memberi kredit kepada kedua rival ini: (1)
Penghargaan penemuan kalkulus pertama kepada Newton (2) Penghargaan
penerbit kalkulus pertama kepada Leibniz. Meskipun judul bapak dari kalkulus
diberi kepada Newton, kita pun sekarang memakai notasi yang ditulis oleh
Leibniz seperti dy/dx untuk diferensial dan notasi berbentuk “S” untuk integral.
Sumber: https://algorit.ma/blog/data-science/wilhelm-leibniz-penemu-sistem-bilangan-biner-kalkulus/
10
Matriks
Selain kalkulus, Leibniz telah membangkitkan kembali metode mengatur
persamaaan linier menjadi sebuah array yang sekarang disebut “Matrix”.
Metode ini sebelumnya sudah dirintis oleh matematikawan yang berasal dari
Cina bertahun-tahun yang lalu tetapi sudah lama tidak digunakan.
11
g. Bilangan menurut Bertrand Russell
Bertrand Russell, seorang filsuf, logikawan, dan matematikawan Inggris
abad ke-20, memiliki pandangan yang sangat penting tentang bilangan, terutama
dalam konteks logika dan fondasi matematika. Berikut adalah beberapa poin
tentang pandangan Russell tentang bilangan:
1. Teori Tipe
Salah satu kontribusi utama Russell dalam matematika adalah
pengembangan teori tipe, yang merupakan pendekatan untuk mengatasi
paradoks yang muncul dalam teori himpunan dan logika. Dalam teori ini,
Russell membatasi pembentukan himpunan yang mengandung dirinya
sendiri, yang mengarah pada pengelompokan objek-objek matematika ke
dalam tipe-tipe hierarkis.
2. Pemikiran Logika
Russell memandang bilangan dalam konteks logika matematika, di mana
mereka adalah objek formal yang dapat dimanipulasi menggunakan
aturan-aturan tertentu. Baginya, bilangan adalah konsep abstrak yang
mendasari operasi-operasi logis dalam matematika, seperti penjumlahan,
pengurangan, perkalian, dan pembagian.
3. Fondasi Matematika
Russell sangat tertarik pada fondasi matematika dan upaya untuk menyusun
matematika pada dasar yang kokoh dan konsisten. Dia berkontribusi pada
pengembangan logika matematika, termasuk prinsip-prinsip dasar dalam
teori himpunan dan teori tipe, yang membantu memperkuat fondasi
matematika.
4. Analisis Filosofis
Russell juga mempertimbangkan makna filosofis dari bilangan, terutama
dalam konteks pemahaman tentang realitas dan pengalaman manusia. Dia
menganggap matematika sebagai bahasa yang sangat penting dalam
memahami alam semesta dan menyusun pengetahuan manusia tentang
dunia.
12
deduktif seperti sekarang. Matematika pada zaman Mesir Kuno dapat dipelajari dari
artefak yang ditemukan yang kemudian disebut sebagai Papyrus Rhind, telah
memberikan gambaran bagaimana matematika di Mesir kuno telah berkembang pesat.
Matematika merupakan hasil ciptaan dari olah logika, sebuah bahasa dari
hubungan abstrak berdasarkan pola-pola yang dilihat oleh otak, yang dibangun untuk
menggunakan pola-pola tersebut untuk menciptakan keteraturan buatan yang berguna
dari kekacauan. Pendapat tersebut didukung oleh Leopold Kronecker yang
menyatakan “Tuhan hanya menciptakan bilangan-bilangan alami (natural numbers),
dan yang lainnya merupakan ciptaan manusia”. Filsafat Brouwer menyatakan
matematika merupakan ciptaan bebas dari pikiran manusia dan objek ada jika dan
hanya jika dapat dibangun oleh mental (Bridges, D. 1997).
Matematika terbentuk dari pengalaman manusia dalam dunia nyata secara
empiris, kemudian diproses di dalam dunia rasio, diolah secara analisis dengan
penalaran dalam struktur kognitif sehingga terbentuk konsep-konsep matematika.
Matematika dimulai dari unsur yang tidak didefinisikan, kemudian unsur yang
didefinisikan ke aksioma/postulat dan akhirnya pada teorema. Konsep matematika
disusun secara hierarkis, terstruktur, logis, dan sistematis mulai dari konsep yang
paling sederhana sampai pada konsep yang paling kompleks. Whitehead menyatakan
bahwa matematika adalah pengembangan semua jenis pengetahuan yang bersifat
formal dan penalarannya bersifat deduktif. Matematika adalah ilmu yang
kebenarannya mutlak, tidak dapat direvisi karena didasarkan pada deduksi murni yang
merupakan kesatuan sistem dalam pembuktian matematika. Sistem deduksi itu
menjelaskan bahwa dalam pembuktikan matematika, suatu proposisi dinyatakan
bernilai benar apabila aksioma atau postulat yang mendasarinya juga benar. Aksioma,
adalah pernyataan yang berfungsi sebagai premis atau titik awal untuk alasan dan
argumen lebih lanjut. Aksioma dalam matematika bukan berarti proposisi yang
terbukti dengan sendirinya. Melainkan, suatu titik awal dari sistem logika.
13
pada pikiran sadar kita. Menurut Brouwer matematika bersifat abstrak, apriori,
bentuk intuisi manusia. Ia berpikir matematika didasarkan pada intuisi apriori
waktu. Ketepatan dalil-dalil matematika terletak pada akal manusia dan tidak
pada simbol-simbol. Matematika didasarkan pada suatu basic intuition mengenai
kemungkinan membangun sebuah barisan bilangan tak hingga. Intuisi hakikatnya
adalah sebagai suatu aktivitas berpikir yang tak bergantung pada pengalaman,
bebas dari bahasa simbolisme, serta bersifat objektif.
G. Aksioma Matematika
Pada video yang telah tersaji, dapat diambil kesimpulan bahwa matematika
dibangun melalui aksioma-aksioma. Dari aksioma-aksioma kita bisa mendapatkan
bentuk-bentuk matematika. Bila aksioma-aksioma itu diubah, maka kita akan
mendapatkan bentuk matematika yang baru. Dalam video tersebut, terdapat contoh
sebuah permainan catur. Permainan catur tercipta dari sebuah bidang persegi yang
terdiri dari 64 kotak dan dimainkan oleh 2 orang dengan aturan permainan tertentu.
Sehingga jika aturan-aturan tersebut diubah, maka tidak bisa disebut lagi dengan
permainan catur. Contoh lain pada matematika adalah geometri euclid. Geometri
euclid adalah geometri tertua dengan aksioma/postulatnya yang kita yakini
kebenarannya sampai awal tahun 1900an kemudian muncul tiga matematikawan yang
menyusun aksioma sendiri yang berbeda dengan euclid sehingga muncul geometri
baru atau dapat disebut dengan geometri non euclid. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa jika aksioma diubah maka sistem juga akan berubah.
14
DAFTAR PUSTAKA
Agustianti, Rifka., dkk. 2022. Filsafat Pendidikan Matematika. Sumatera Barat: PT. Global
Eksekutif Teknologi.
Blubro. (2024). Descartes Number. Online di
https://en.wikipedia.org/wiki/Descartes_number, diakses pada 15 April 2024.
Bridges, D., 1997, Constructive Mathematics, Stanford Encyclopedia of Philosophy,
http://plato.standford.edu/cgi-bin/encyclopedia/archinfo.cgi?entry=constructive
mathematics.
Gie, T. L. (1999). Filsafat Matematika (Pengantar Perkenalan). Yayasan Studi Ilmu dan
Teknologi.
Haryono, D. (2015). Filsafat Matematika: Suatu Tinjauan Epistemologi dan Filosofis (A.
Hadis (ed.)). Alfabeta.
Hulukati, Evi., dan Pomalato, Sarson W. Dj. 2023. Sejarah dan Filsafat Pendidikan
Matematika. Gorontalo: Ideas Publishing.
Klement, Kevin C. (1995). Internet Encyclopedia of Philosophy - Russell Paradox. Online
di https://iep.utm.edu/par-russ/, diakses pada 25 Maret 2024.
Kwan, Wahyu. (2021). Gottfried Wilhelm Leibniz. Online di
https://algorit.ma/blog/data-science/wilhelm-leibniz-penemu-sistem-bilangan-biner-ka
lkulus/, diakses pada 15 April 2024.
Platonic Numbers and The Octave as Described in The Timaeus. Online di
https://plato2051.tripod.com/plato.htm, diakses pada 15 April 2024.
Prabowo, Agung. 2009. Aliran-Aliran Filsafat dalam Matematika. Jurnal Ilmiah
Matematika dan Pendidikan Matematika. Vol. 1(2): hal. 25-45.
15