Anda di halaman 1dari 17

SOAL UAS FILSAFAT

DIKUMPULKAN PALING TELAT TGL 3 MARET JAM 23.00

KIRIM KE EMAIL novita@unpas.ac.id

Nama : Eko Okta Jumari

NPM : 21080006

UAS Filsafat dan Dasar Dasar Pengembangan Ilmu Matematika

SOAL :

1. APA YANG DIMAKSUD DENGAN FILSAFAT PENDIDIKAN MATEMATIKA,


DAN APA TUJUAN DARI FILSAFAT PENDIDIKAN TERSEBUT?
Jawab:
Filsafat pendidikan matematika merupakan filsafat yang lebih menyoroti proses
pendidikan dalam bidang matematika. Menurut Wein (1973), pendidikan matematika
adalah ”suatu studi aspek-aspek tentang sifat-sifat dasar dan sejarah matematika beserta
psikologi belajar dan mengajarnya yang akan berkontribusi terhadap pemahaman guru
dalam tugasnya bersama siswa, bersama-sama studi dan analisis kurikulum
sekolah,prinsip-prinsip yang mendasari pengembangan dan praktik penggunaannya di
kelas” Dengan demikian, filsafat pendidikan matematika mempersoalkan masalah-
masalah sifat dasar matematika,, sejarah matematika, psikologi belajar matematika,
teori mengajar matematika, psikologi anak dalam kaitannya dengan belajar
matematika, pengembangan kurikulum matematika sekolah, dan pelaksanaan
kurikulum matematika di kelas. Dalam filsafat pendidikan matematika ini secarakhusus
akan dikemukakan Filsafat Konstruktivisme yang sejak tahun Sembilan puluhan
banyak diikuti.
Filsafat matematika mencakup ontologi dan epistemologi. Ontologi menyangkut
hakekat matematika, apakah hakekat yang ada dibalik matematika, sedangkan secara
epistemologi adalah berkaitan dengan bagaimana cara menjawab pertanyaan mengenai
matematika, cara memperoleh dan menangkap permasalahan dalam matemaika.
Filsafat pendidikan matematika mengacu pada masalah belajar dan mengajar. Filsafat
matematika membentuk filsafat pendidikan matematika, artinya bahwa filsafat
pendidikan matematika didukung oleh filsafat matematika (Martin, 2009: 63).

Sedangkan tujuan dari filsafat Pendidikan Matematika adalah tujuan dari filsafat
matematika adalah untuk memberikan rekaman sifat dan metodologi matematika dan
untuk memahami kedudukan matematika didalam kehidupan sehari-hari. bidang
pengetahuan yang disebut filsafat matematika adalah hasil pemikiran filsafati yang
sasarannya ialah matematika itu sendiri.

2. URAIKAN LANDASAN FILOSOFI PENDIDIKAN MATEMATIKA


Jawab:

Terdapat 5 aliran filosofi yang populer di samping aliran-aliran lain yang banyak
digunakan sebagai landasan dalam belajar dan pembelajaran matematika. Lima filosofi
dimaksud adalah absolutisme, fallibilisme, formalisme, logisisme, dan intuisionisme.
Berikut ini akan dijelaskan secara sepintas beberapa aliran filsafat dan pandangannya
tentang matematika yang dapat digunakan sebagai landasan filosofis pendidikan dan
atau pembelajaran matematika.

a. Aliran Absolutisme
Matematika merupakan pengetahuan yang sudah pasti kebenaran dan tidak dapat
diubah. Kebenaran matematika bersifat absolut (mutlak) dan merupakan satu-satunya
realitas pengetahuan yang sudah pasti. Kebenaran matematika hanya tergantung pada
logika yang terkandung dalam term-term-nya. Kebenaran matematika diturunkan dari
definisi-definisi dan tidak dapat dikonfirmasi dengan fakta empiris.
Munculnya aliran absolutisme dalam matematika dipicu oleh adanya perbedaan
setidaknya dalam dua hal berikut (Sukardjono, 2000). Pertama, pandangan umum
bahwa matematika merupakan resultan antara sistem aksiomatik dan sistem
logika. Pandangan ini menyatakan eratnya hubungan antara matematika dengan logika.
Sebagian menganggap logika tercakup dalam matematika (aliran formalisme) dan
sejalan dengan hal itu, intuisionisme berpendapat logika adalah cabang dari
matematika. Sementara yang tidak setuju menyatakan bahwa logika adalah segalanya,
sedangkan matematika adalah sebagian kecil dari logika, atau matematika adalah
cabang dari logika (aliran logisisme). Kedua, terjadinya krisis landasan metamatika,
yang melanda pondasi teori himpunan dan logika formal, membawa matematikawan
mencari landasan filsafat untuk merekonstruksi matematika agar diperoleh landasan
yang lebih kokoh. Kedua kenyataan ini memunculkan tiga arus utama filsafat
matematika yaitu aliran logisisme dipimpin oleh Russell dan Whitehead, aliran
intuisionisme dipimpin oleh Brouwer, dan aliran formalisme dipimpin oleh David
Hilbert.
b. Aliran Fallibilisme
Menurut fallibilisme, kebenaran matematika dapat menjadi subyek yang begitu
sederhana, dan dalam banyak hal dapat dikritisi. Kebenaran matematika bersifat tidak
sempurna (fallibel), tidak kokoh, dan di masa depan dapat dikoreksi serta direvisi.
Aliran Fallibilisme menyatakan bahwa isi matematika murni pada akhirnya diturunkan
dari dunia material. Menurutnya, matematika menangani hubungan kuantitaif dalam
dunia nyata, sehingga asumsi kebenaran seperangkat aksioma baru akan nampak
terbukti setelah melalui masa-masa panjang pengamatan dan pengalaman atas realitas,
bukan berdasarkan pembuktian secara deduktif- aksiomatik. Hal ini didukung oleh
kemampuan operasi matematika yang diterapkan pada dunia nyata dan
mendapatkan hasil yang bermakna, dan memperlihatkan adanya tarik menarik (affinity)
antara matematika dan dunia nyata, sehingga matematika memiliki kegunaan praktis.
c. Aliran Logisisme
Aliran logisisme dikembangkan oleh filosuf Inggris Bertrand Arthur William Russell
(1872-1970). Prinsipnya menjelaskan bahwa matematika semata-mata merupakan
deduksi-deduksi dengan prinsip-prinsip logika. Matematika dan logika merupakan
bidang yang sama, karena seluruh konsep-konsep dan teorema-teorema diturunkan dari
logika.
Tesis Logisisme adalah matematika sebagai cabang dari logika. Menurut aliran ini,
seluruh matematika dari sejak jaman kuno perlu dikonstruksi kembali ke dalam term-
term logika dan tentu saja programnya adalah mengubah seluruh matematika ke dalam
logika. Semua konsep matematika haruslah dirumuskan dalam term-term logika dan
semua teorema matematika harus dikembangkan sebagai teorema logika. Tesis ini
muncul sebagai upaya untuk meletakkan pondasi matematika ke tempat yang paling
dasar dan paling dalam. Pondasi matematika yang saat ini digunakan dibangun dengan
sistem bilangan real, didorong ke sistem bilangan asli, dan akhirnya didorong lagi ke
teori himpunan.
Bertrand Russell berhasil memperlihatkan bahwa dua buah klaim aliran logisisme
berikut dapat diselesikan dengan logika (Sukardjono, 2000) yaitu (1) seluruh konsep
matematika secara mutlak dapat direduksi ke dalam konsep logika, tercakup dalam
konsep teori himpunan atau beberapa sistem yang kekuatannya sama, dan (2) seluruh
kebenaran matematika dapat dibuktikan dari aksioma dan aturan-aturan inferensi dalam
logika.

Tujuan kedua klaim ini adalah jika seluruh matematika dapat diekspresikan
ke dalam term-term logika secara murni dan dapat dibuktikan menggunakan prinsip-
prinsip logika, maka kepastian pengetahuan matematika dapat direduksi ke dalam
logika. Tugas logisisme adalah menyediakan dasar logika untuk pengetahuan
matematika secara pasti dan meyakinkan serta mengukuhkan kembali kemutlakan
kepastian dalam matematika.

d. Aliran Formalisme
Aliran formalisme dikembangkan oleh filosoh Jerman David Hilbert (1862-1943).
Menurut pandangannya sifat alami matematika adalah sebagai sistem lambang yang
formal. Matematika berhubungan dengan sifat-sifat struktural dari simbol-simbol dan
proses pengolahan terhadap lambang-lambang itu. Simbol-simbol dianggap mewakili
berbagai sasaran yang menjadi objek matematika. Bilangan, misalnya, dipandang
sebagai sifat-sifat struktural yang paling sederhana. Dengan simbol abstrak yang
dilepaskan dari suatu sifat tertentu dan hanya bentuknya saja, aliran ini berusaha
menyelediki berbagai sistem matematika. Menurut pandangan aliran ini matematika
merupakan ilmu tentang sistem-sistem formal.
Aliran formalisme ada dua (1) matematika murni dapat diekspresikan dalam bentuk
sistem formal yang kosong dari arti, dan di dalamnya mengandung kebenaran
matematika yang direpresentasikan dalam bentuk teorema formal, dan (2) untuk
menunjukkan bahwa sistem formal yang dibangun bebas dari segala macam kontradiksi
dan paradok, digunakan alat yang disebut meta-matematika dengan cara
mendemonstrasikan bahwa term-termnya bebas dari inkonsistensi.

Secara ringkas, tesis kaum Formalis adalah membangun matematika yang berpusat
pada penggunaan sistem lambang formal. Programnya adalah membangun
konsistensi seluruh matematika dengan menggunakan teori bukti. Tesisnya bahwa
matematika harus dikonstruksi kembali atas dasar kaidah konsistensi dengan lambang-
lambang formal.
Kaum formalis memandang matematika sebagai koleksi perkembangan abstrak, di
mana term-term matematika semata-mata hanyalah lambang-lambang dan pernyataan
adalah rumus-rumus yang melibatkan lambang-lambang tersebut. Dasar untuk
aritmatika tidak terletak pada logika tetapi pada koleksi tanda-tanda pralogis atau
lambang-lambang dalam seperangkat operasi dengan tanda-tanda ini. Oleh karena itu,
menurut aliran Formalisme, matematika kosong dari muatan konkrit dan hanya
memuat elemen-elemen lambang ideal, sehingga membangun konsistensi dari berbagai
cabang matematika menjadi sangat penting. Tanpa disertai bukti konsistensi, seluruh
penyelidikan matematika tidak berarti sama sekali. Dengan tesis kaum Formalis ini,
perkembangan matematika aksiomatis terdorong ke puncak kejayaan tertinggi.

e. Aliran Intusionisme
Aliran intuisionisme dipelopori oleh ahli matematika dari Belanda Luitzen Egbertus Jan
Brouwer (1881-1966). Intuisionis berpandangan bahwa matematika merupakan bagian
eksak dari pemikiran manusia. Ketepatan dalil-dalil matematika terletak pada akal
manusia (human intelect) dan tidak pada simbol-simbol di atas kertas. Matematika
didasarkan pada suatu intuisi dasar (basic intuition). Intuisi pada hakikatnya sebagai
suatu aktivitas berpikir yang tak tergantung pada pengalaman, bebas dari bahasa
simbol, dan bersifat objektif.
Intuisionisme merupakan aliran filsafat dalam tradisi Kant yang berpandangan bahwa
semua pengetahuan manusia diawali oleh intuisi yang menghasilkan konsep-konsep
dan diakhiri dengan ide-ide. Setidaknya untuk semua tujuan praktis, segala sesuatu,
termasuk matematika, hanya ada dalam pikiran. Brouwer menyatakan bahwa
matematika adalah kreasi pikiran manusia. Bilangan, misalnya, hanyalah entitas
mental, yang tidak akan pernah ada, kecuali dalam pikiran manusia yang
memikirkannya.
Aliran Intuisionisme tidak memandang kebenaran matematis sebagai struktur objektif
seperti pendapat aliran Formalisisme dan Logisisme. Menurut aliran ini, matematika
tidak akan dapat seluruhnya dilambangkan. Berpikir matematis tidak tergantung pada
bahasa tertentu yang digunakan untuk mengungkapkannya.
Bagi kaum Intuisionis, suatu himpunan tak boleh dipikirkan sebagai koleksi yang
telah siap jadi, akan tetapi harus dipandang sebagai hukum yang elemen-elemennya
dapat atau harus dikonstruksi selangkah demi selangkah. Konsep himpunan seperti ini
dapat membebaskan matematika dari kemungkinan terjadinya kontradiksi, seperti
munculnya kontradiksi pada pernyataan ”himpunan semua himpunan”.

3. GAMBARKAN DAN JELASKAN TRISENTRIS PENDIDIKAN DI INDONESIA


Jawab :

Salah satu gagasan Ki Hajar Dewantoro adalah Tri Sentris Pendidikan (Tiga Pusat Pendidikan),
yang menerangkan bahwa pendidikan berlangsung di tiga lingkungan yaitu, keluarga, sekolah,
dan masyarakat.

Dimana ketiganya memiliki peran di dalam proses pendidikan, serta saling mengisi dan
memerkuat satu dengan yang lainnya. Tanggung jawab pendidikan tidak hanya pada
pemerintah semata, namun termasuk juga keluarga dan masyarakat.

Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional


menyatakan bahwa “Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang
menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang
dan jenis pendidikan”.

a. Lingkungan Keluarga
Keluarga sebagi unit terkecil dari masyarakat terdiri dari suami istri dan anaknya, atau
ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya (UU Nomor 52 Tahun 2009 tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga). Keluarga merupakan
lingkungan yang pertama bagi perkembangan individu anak, karena sejak kecil anak
tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga. Awal pendidikan anak
sebenarnya diperoleh melalui keluarga, dalam dunia pendidikan disebut pendidikan
informal. Pembelajaran yang terjadi di dalam keluarga terjadi setiap hari pada saat
terjadi interaksi antara anak dengan keluarganya. Peran orang tua menjadi panutan bagi
anak-anaknya. Dalam keluarga, orang tua mempunyai peran yang sangat penting dalam
membentuk dan mengembangkan karakter dan kepribadian anak. Semakin baik kualitas
keluarga, maka kemungkinan besar anak akan tumbuh dan berkembang kepribadian
dan karakternya yang berkualitas pula.

b. Lingkungan Perguruan/Sekolah
Sekolah merupakan satuan pendidikan yang menyelenggarakan kegiatan belajar
mengajar secara formal atau disebut juga dengan pendidikan formal. Penyelenggaraan
pendidikan di sekolah saat ini lebih tepat mengedepankan fasilitasi kepada peserta didik
dalam arti student center bukan teacher center. Peran guru dalam memasilitasi peserta
didik dapat dilakukan dengan banyak cara, satu di antaranya adalah guru tidak lagi
memberikan informasi secara searah dalam bentuk ceramah. Guru dapat berperan
sebagai fasilitator, motivator atau tutor bagi peserta didik. Materi pembelajaran yang
diberikan oleh guru kepada peserta didik tidak semata-mata hanya terfokus pada satu
bidang studi yang terlepas saja, tetapi dapat juga dikaitkan dengan bidang studi yang
lain. Hal ini dilakukan agar peserta didik dapat mempelajari hubungan antara satu
bidang studi dengan bidang studi yang lain, karena memang kenyataannya yang dialami
di dunia nyata banyak bidang studi yang tidak berdiri sendiri. Sekolah harus melakukan
pembinaan pendidikan untuk peserta didiknya didasarkan atas tuntutan zaman.
Di zaman kekinian, guru dapat juga memasilitasi peserta didik dengan memanfaatkan
kelas maya secara gratis (seperti google calssroom, edmodo, schoology, dan yang
sejenisnya). Peran guru dalam kelas maya dapat melakukan proses pembelajaran secara
daring (online), sehingga guru dapat berperan sebagai fasilitator, kolaborator, mentor,
pelatih, pengarah dan teman belajar serta dapat memberikan pilihan dan tanggung
jawab yang besar kepada peserta didik untuk mengalami peristiwa belajar yang real.
c. Lingkungan Masyarakat
Dapat dikatakan bahwa masyarakat merupakan sekumpulan manusia yang saling
berinterkasi dalam suatu hubungan sosial. Anak dalam pergaulannya di dalam
masyarakat tentu banyak berinteraksi secara langsung maupun tidak langsung. Secara
langsung misalnya anak bermain dengan teman-temannya di luar rumah, sedangkan
secara tidak langsung misalnya anak melihat kejadian-kejadian yang dipertontonkan
oleh masyarakat. Anak akan memperoleh pembelajaran di dalam masyarakat tersebut.
Di era digital seperti sekarang ini, penggunaan teknologi seperti smartphone sudah
tidak mengenal batasan usia, tua dan muda sudah tak asing lagi meggunakan
smartphone. Kehadiran smartphone menjadikan penggunanya jarang bersosialisasi
secara langsung dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Jika dicermati lebih lanjut,
pada saat ini informasi dan tontonan yang diterima oleh anak dari masyarakat melalui
televisi maupun smartphone masih banyak kita jumpai hal-hal yang sebenarnya belum
pantas untuk diterima oleh mereka.

4. COBA ANDA JELASKAN PERGESERAN PENDIDIKAN DI INDONESIA


Jawab :
Model pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan abad ke‐21 tersebut hanya akan
dapat terwujud jika terjadinya pergeseran pola pikir dan pola tindak dalam
berbagai konteks penyelenggaraan proses pendidikan dan pengajaran. Berikut ini
adalah sejumlah pergeseran paradigma yang diyakini perlu dilakukan oleh segenap
pemangku kepentingan dalam rangka meningkatkan kualitas dan relevansi
pendidikan memasuki dunia moderen tersebut, yang hanya bisa terjadi jika
teknologi informasi dan komunikasi dipergunakan secara optimum (UNESCO, 1998;
Reigeluth et.al., 2008; Kolderie et.al., 2009; Sigri, 2010).

a) Perubahan Paradigma Belajar Mengajar


Meliputi pergeseran paradigma dalam menyelenggarakan kegiatan pendidikan dan
pembelajaran di dalam kelas atau lingkungan sekitar institusi pendidikan tempat
peserta didik menimba ilmu.
Ada beberapa pergeseran paradigma dalam belajar mengajar yang akan dijelaskan
sebgai berikut:
1. Dari teacherd‐centered bergeser menuju student‐centered learning
Jika dahulu biasanya yang terjadi adalah guru berbicara dan siswa mendengar,
menyimak, dan menulis maka saat ini guru harus lebih banyak mendengarkan
siswanya saling berinteraksi, berargumen, berdebat, dan berkolaborasi. Fungsi
guru dari pengajar berubah dengan sendirinya menjadi fasilitator bagi siswa‐
siswanya.
2. Dari one‐way bergeser menuju interactive teaching
Jika dahulu mekanisme pembelajaran yang terjadi adalah satu arah dari guru
ke siswa, maka saat ini harus terdapat interaksi yang cukup antara guru dan
siswa dalam berbagai bentuk komunikasinya. Guru berusaha membuat kelas
semenarik mungkin melalui berbagai pendekatan interaksi yang dipersiapkan
dan dikelola.
3. Dari isolated bergeser menuju networked environment
Jika dahulu siswa hanya dapat bertanya pada guru dan berguru pada buku yang
ada di dalam kelas semata, maka sekarang ini yang bersangkutan dapat
menimba ilmu dari siapa saja dan dari mana saja yang dapat dihubungi serta
diperoleh via internet.
4. Dari passive bergeser menuju active inquiry-based learning
Jika dahulu siswa diminta untuk pasif saja mendengarkan dan menyimak baik‐
baik apa yang disampaikan gurunya agar mengerti, maka sekarang disarankan
agar siswa harus lebih aktif dengan cara memberikan berbagai pertanyaan
yang ingin diketahui jawabannya.
5. Dari aritificial bergeser menuju real‐world context
Jika dahulu contoh‐contoh yang diberikan guru kepada siswanya kebanyakan
bersifat artifisial, maka saat ini sang guru harus dapat memberikan contoh-
contoh yang sesuai dengan konteks kehidupan sehari‐hari dan relevan dengan
bahan yang diajarkan.
6. Dari personal bergeser menuju team‐based learning
Jika dahulu proses pembelajaran lebih bersifat personal atau berbasiskan
masing‐masing individu, maka yang harus dikembangkan saat ini adalah
model pembelajaran yang mengedepankan kerjasama antar individu.
7. Dari broad bergeser menuju selected provision for optimasing relevance
Jika dahulu ilmu atau materi yang diajarkan lebih bersifat umum (semua materi
yang dianggap perlu diberikan), maka saat ini harus dipilih benar‐benar ilmu
atau materi yang benar‐benar relevan untuk ditekuni dan diperdalam secara
sungguh‐sungguh (hanya materi yang relevan bagi kehidupan sang siswa yang
diberikan).
8. Dari single‐sense stimulation bergeser menuju multisensory stimulation
Jika dahulu siswa hanya menggunakan sebagian panca inderanya dalam
menangkap materi yang diajarkan guru (mata dan telinga), maka saat ini
seluruh panca indera dan komponen jasmani‐rohani harus terlibat aktif dalam
proses pembelajaran (kognitif, afektif, dan psikomotorik).
9. Dari single bergeser menuju multimedia tools
Jika dahulu ilmu guru hanya mengandalkan papan tulis untuk mengajar, maka
saat ini diharapkan guru dapat menggunakan beranekaragam peralatan dan
teknologi pendidikan yang tersedia baik yang bersifat konvensional maupun
moderen.
b) Perubahan Paradigma Penyelenggaraan Institusi Pendidikan
Agar pergeseran paradigma dalam proses belajar mengajar dapat berlangsung
dengan baik, perlu pula adanya pergeseran paradigma dari para pemangku
kepentingan yang mengelola institusi pendidikan terkait – mulai dari sekolah
hingga kampus.
1) dari isolated bergeser menuju cooperating institution
Institusi pendidikan yang dahulu selayaknya “menara gading” yang
tertutup dengan dunia luar saat ini harus membuka diri untuk bekerjasama
dengan berbagai mitra untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.
2) dari single‐unit bergeser menuju inter‐unit curricula
Sistem kurikulum yang dahulu harus selalu mengacu pada pohon dan
cabang ilmu tertentu saat ini harus mampu beradaptasi dengan
kebutuhan industri melalui integrasi beberapa pohon dan cabang ilmu
dalam konteks pembelajaran multi displin.
3) dari single‐mode bergeser menuju multiple‐mode institution
Sekolah atau kampus yang dahulu biasanya hanya dimonopoli
pemanfaatannya oleh civitas akademika dalam menjalankan kegiatan
belajar mengajar dan penelitian, saat ini harus menjadi institusi multi
moda yang dapat dipergunakan pula oleh komunitas untuk berbagai
keperluan pendidikan mereka.
4) dari compartmentalisation bergeser menuju holism mode
Model manajemen pendidikan yang kerap mengkotak‐kotakan sejumlah
unit kegiatan menjadi divisi‐divisi tertentu yang tidak saling teritegrasi
saat ini harus disesuaikan dengan kebutuhan lingkungan yang sangat
beragam dan dinamis sehingga dapat memenuhi kebutuhan pelanggan
secara cepat, tepat, dan berkualitas.
5) dari content‐based bergeser menuju competencies‐based system
Sistem yang pada awalnya dahulu lebih berorientasi pada penguasaan
siswa terhadap seperangkat pengetahuan yang telah didefinisikan
sebelumnya harus digantikan dengan sistem yang berorientasi pada
penguasaan kompetensi siswa, baik dari sisi kognitif, afektif, maupun
psikomotorik.
6) dari curricula‐oriented degree bergeser menuju knowledge certificates
Pola pikir peserta didik yang hanya berorientasi untuk mendapatkan gelar
semata harus mengalami perubahan dalam bentuk keinginan untuk
mendapatkan pengakuan penguasaan pengetahuan dan kompetensi secara
profesional.
7) dari autocratic bergeser menuju shared leadership
Kebanyakan model manajemen institusi pendidikan yang sangat
sentralistik perlu berubah menjadi berbentuk disentralisasi unit‐unit
secara mandiri dengan berpegang pada aturan main “good governance”
yang disepakati bersama.
8) dari term‐oriented learning bergeser menuju learning on demand
Dinamika perubahan dan kebutuhan global yang terjadi memaksa
institusi untuk merubah model pembelajarannya dari yang bersifat kaku
dan terstruktur menjadi yang lebih dinamis dan mengacu pada
kebutuhan pasar , terutama dalam mengelola sistem periode
pembelajarannya.
9) dari top‐hierarchy bergeser menuju integrated task groups organisation
Beban tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan yang biasanya
berpusat pada manajemen puncak perlu diubah menjadi organisasi kaya
fungsi yang saling terintegrasi satu dan lainnya.
10) dari static bergeser menuju dynamic innovative institution
Organisasi pendidikan konvensional yang lebih mengutamakan
kemapanan dan “status quo” harus berani mengubah dirinya menjadi
sebuah institusi yang kerap keluar dengan program‐program baru dan
inovatif bagi kemajuan masyarakat pembelajar.

5. BERDASARKAN MAKALAH KELOMPOK ANDA. DIMINTA KEMBALI


MENGURAIKAN :
A. JUDUL MAKALAH
Jawab:
PENTINGNYA PENDIDIKAN KARAKTER DALAM DUNIA
PENDIDIKAN

B. PROBLEM STATEMENT
Jawab :
a) makna pendidikan karakter
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penamaan nilai-nilai karakter
yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan
tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan

b) Tujuan pendidikan karakter


Tujuan Pendidikan Pendidikan Karakter Bangsa diantaranya adalah
sebagai berikut :

1. Mengembangkan potensi afektif peserta didik sebagai manusia dan


Warga Negara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa
2. Mengembangkan Kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji
dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya dan
karakter bangsa
3. Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik
sebagai generasi penerus bangsa
4. Mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang
mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan dan
5. Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan
belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta
dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan.

c) landasan pendidikan karakter,


1. Landasan ontologi
Landasan ontologi dari pendidikan karakter yaitu (a), Tujuan
pendidikan karakter; tujuan pendidikan karakter secara substansial
merujuk kepada upaya untuk membuat suatu perubahan
pembangunan karakter yang lebih baik.
2. Landasan epistemologi
Landasan epistemologi pendidikan karakter merupakan
fenomenologi dengan segala persyaratan dan perangkatnya yang
disebut sebagai komponen Pendidikan karakter berupa :

1) Moral Knowing; merupakan aspek pembentuk karakter


seseorang, nilai moral berupa respect terhadap kehidupan
sekitarnya, bertanggung jawab, jujur, adil, toleran, disiplin, diri
dan memiliki integritas serta pemahaman tentang prinsip-prinsip
dasar dari moral seperti respect terhadap nilai-nilai yang dimiliki
setiap orang.
2) Moral Feeling; Moral feeling bisa dikategorikan ke dalam aspek
emosi dari karakter, dapat berkembang karena pengaruh
lingkungan sekolah dan keluarga.
3) Moral Action; Tindakan moral terdiri atas kompetensi, yaitu
keterampilan seseorang dalam melakukan sesuatu, yang
ditunjukkan dengan secara konsisten serta memberikan kontribusi
kinerja yang tinggi dalam suatu tugas, keinginan dan kebiasaan
(habit).
3. Landasan aksiologi
Landasan aksiologi pendidikan karakter merupakan kedewasaan
peserta didik dan perubahan perilaku sebagai acuan yang normatif
d) Strategi pelaksanaan pendidikan karakter
Strategi Pendidikan Karakter yang akan dibahas adalah Strategi
Pendidikan Karakter melalui Multiple Talent Approach (Multiple
Intelligence). Strategi Pendidikan Karakter ini memiliki tujuan yaitu
untuk mengembangkan seluruh potensi anak didik yang manifestasi
pengembangan potensi akan membangun Self Concept yang menunjang
kesehatan mental. Konsep ini menyediakan kesempatan bagi anak didik
untuk mengembangkan bakat emasnya sesuai dengan kebutuhan dan
minat yang dimilikinya.Ada banyak cara untuk menjadi cerdas, dan cara
ini biasanya ditandai dengan prestasi akademik yang diperoleh di
sekolahnya dan anak didik tersebut mengikuti tes intelegensia. Cara
tersebut misalnya melalui kata-kata, angka, musik, gambar, kegiatan
fisik atau kemampuan motorik atau lewat cara sosial-emosional.

Strategi pelaksanaan pendidikan karakter yang diterapkan di sekolah


dapat dilakukan melalui empat cara, yaitu: (1) pembelajaran (teaching),
(2) keteladanan (modeling), (3) penguatan (reinforcing), dan (4)
pembiasaan (habituating).

Efektivitas pendidikan karakter sangat ditentukan oleh adanya


pembelajaran (teaching), keteladanan (modeling), penguatan
(reinforcing), dan pembiasaan (habituating) yang dilakukan secara
serentak dan berkelanjutan. Pendekatan yang strategis terhadap
pelaksanaan ini melibatkan tiga komponen yang saling terkait satu sama
lain, yaitu: (1) sekolah (kampus), (2) keluarga, dan(3) masyarakat.

e) model implementasi di sekolah


Implementasi pendidikan karakter setidaknya melalui beberapa
alternatif model, 4 model (Ahmad Husein dkk, 2010: 30-34)
diantaranya:

1) Model sebagai Mata Pelajaran Tersendiri (monolitik)


Dalam model pendekatan ini, pendidikan karakter dianggap sebagai
mata pelajaran tersendiri. Oleh karena itu, pendidikan karakter
memiliki kedudukan yang sama dan diperlakukan sama seperti
pelajaran atau bidang studi lain.
2) Model Terintegrasi dalam Semua Bidang Studi
Pendekatan yang kedua dalam menyampaikan pendidikan karakter
adalah disampaikan secara terintegrasi dalam setiap bidang pelajaran,
dan oleh karena itu menjadi tanggunmg jawab semua guru
(Washington, et.all, 2008).

3) Model di Luar Pembelajaran (Non formal)


Penanaman nilai-nilai pendidikan karakter dapat juga ditanamkan di
luar kegiatan pembelajaran formal. Pendekatan ini lebih
mengutamakan pengolahan dan penanaman nilai melalui suatu
kegiatan untuk dibahas dan kemudian dibahas nilai-nilai hidupnya.

4) Model Gabungan
Model gabungan adalah menghubungkan antara model terintegrasi
dan model di luar pelajaran secara bersama. Model ini dapat
dilaksanakan dalam kerja sama dengan tim baik oleh guru maupun
dalam kerja sama dengan pihak luar sekolah.

f) saluran Pendidikan Karakter di Sekolah


Nilai-nilai Pendidikan Karakter di Sekolah.
Untuk membangun pendidikan karakter yang kuat, harus
memperhatikan delapan karakter utama pendidikan karakter di sekolah
yakni:

1. Courage: Keberanian / Keteguhan Hati: Memiliki keinginan untuk


berbuat yang benar meskipun yang lain tidak. Memiliki keberanian
untuk mengikuti kesadaran / kebenaran dibandingkan mengikuti
kebanyakan orang lain. Memilih hal-hal yang baik bila memang
lebih bermanfaat.
2. Good Judgement: Pertimbangan yang Baik: Memilih tujuan hidup
yang baik dan membuat prioritas yang sesuai, berfikir sampai pada
konsekuensi dari setiap aksi, dan memutuskan berdasar pada
kebijaksanaan dan pendirian yang baik.
3. Integrity: Integritas: Memiliki kekuatan dalam (inner strength)
untuk jujur, dapat dipercaya, dan berkata benar dalam segala hal.
Bersikap adil dan terhormat.
4. Kindness: Kebaikan hati: Perhatian, sopan, membantu, dan
memahami orang lain; memperlihatkan perhatian, rasa kasihan,
berkawan, dan dermawan, dan memperlakukan orang lain seperti
halnya anda ingin diperlakukan.
5. Perseverance: Ketekunan:Tekun mengejar tujuan hidup meskipun
dihalangi kesulitan, perlawanan, atau keputusasaan.
Memperlihatkan kesabaran dan keinginan untuk mencoba lagi
meskipun ada keterlambatan, kesalahan, atau kegagalan.
6. Respect: Penghargaan: Memperlihatkan penghargaan pada
wewenang, pada orang lain, pada diri sendiri, untuk barang hak
milik, dan untuk Negara. Dan memahami bahwa semua orang
memiliki nilai sebagai manusia.
7. Responsibility: Tanggung Jawab: Bebas dalam menjalankan
kewajiban dan tugas, menunjukkan dapat diandalkan dan konsisten
dalam perkataan dan perbuatan, dapat dipercaya dalam setiap
kegiatan, dan komitmen untuk aktif terlibat di lingkungan.
8. Self-Discipline: Disiplin Diri: Memperlihatkan kerja keras dan
komitmen pada tujuan, mengatur diri untuk perbaikan diri dan juga
menghindari perilaku tidak baik, dapat mengendalikan kata-kata,
aksi, reaksi, dan juga keinginan. Menghindari seks di luar nikah,
narkoba, alkohol, rokok, zat dan perilaku berbahaya lainnya.
Melakukan yang terbaik dalam segala hal.

C. MODEL KERANGKA BERPIKIR


Jawab:
Pendidikan karakter, itulah yang saat ini sedang digalakkan oleh pemerintah
indonesia, tersebut tidak lepas dari semakin semrawutnya moral para
pemimpin dan calon pemimpin bangsa ini, pendidikan karakter tidak lepas
dari esensi karakter itu sendiri berikut ini adalah pendapat seorang tokoh
tentang karakter.
Lickona (1992:37) memahami karakter dalam tiga hal yang saling terkait,
yaitu moral knowing, moral feeling, dan moral action. Berdasarkan ketiga
aspek tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa seseorang yang berkarakter
baik adalah yang mengetahui hal yang baik (moral knowing), memiliki
keinginan terhadap hal baik (moral feeling), dan melakukan hal baik (moral
action). Ketiga komponen tersebut akan mengarahkan seseorang memiliki
kebiasaan berpikir, kebiasaan hati, dan kebiasaan bertindak, baik yang
ditujukan kepada Tuhan YME, diri sendiri, sesama, lingkungan, dan bangsa

Anda mungkin juga menyukai