Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

FILSAFAT PENDIDIKAN MATEMATIKA

Dr. Nirwana, M.Pd

OLEH:

1. Selvin Ariska Nim A2C018017

PROGRAM STUDI PASCASARJANA PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS BENGKULU

2019
Philosophy of Science
A contemporary introduction
Second Edition
BAB 2

“Rekonseptualisasi Filsafat Matematika”

A. Wilayah Filsafat Matematika


Ada tiga hal yang dianggap penting tentang filsafat dan pendidikan. Setiap masalah
ini digambarkan dalam bentuk perbandingan pemikiran sudut pandang filsafat absolutis
dan fallibilis.
1. Pertama
Ada perbedaan antara pengetahuan sebagai produk akhir yang sebagian besar
diwujudkan dalam bentuk dalil-dalil dengan kegiatan memahami atau kegiatan
mencari pengetahuan. Yang terakhir berhubungan dengan asal-usul pengetahuan dan
dengan keterlibatan manusia dalam penciptaannya.
Pandangan absolutis terfokus pada yang pertama yaitu produk akhir yang
sudah selesai dan dasar-dasar kebenarannya. Pandangan filsafat absolutis tidak hanya
terfokus pada pengetahuan sebagai produk objektif, mereka sering menolak
keabsahan filsafats terkait dengan asal usul pengetahuan dan lebih suka memasukan
wilayah itu kedalam wilayah ilmu psikologi dan ilmu social. Kecuali aliran
konstruktifisme yang mengakui elemen mencoba mencari tahu dalam bentuk yang
telah ada.
Pandangan fallibilis terkait dengan hakikat matematika, dengan mencari tahu
atau memahami kesalahan dalam matematika, tidak dapat terlepas dari pemikiran
untuk menggantikan teori dan mengembangkan pengetahuan. Pada intinya pandangan
seperti ini sangat berhubungan dengan konteks penciptaan pengetahuan dan asal-usul
sejarah matematika, jika pandangan ini bisa dikatakan mampu memberikan gambaran
dan penjelasan yang baik tentang matematika secara utuh.
2. Kedua
Ada perbedaan antara matematika sebagai pengetahuan yang berdiri sendiri
dan bebas nilai dengan matematika sebagai sesuatu yang berhubungan dan menjadi
bagian yang tidak dapat dipisahkan dari jaringan ilmu pengetahuan manusia.
Absolutis matematika menyebutnya sebagai status unik dengan mengatakan
bahwa matematika adalah satu-satunya ilmu pengetahuan yang didasarkan pada
pembuktian-pembuktian yang kuat. Kondisi ini disertai dengan penolakan pandangan
internalis terkait dengan relefansi sejarah atau asal-usul atau konteks manusia,
semakin menguatkan batas bahwa matematika adalah diisplin yang terpisah dan
berdiri seendiri.
Fallibilis memasukan lebih banyak hal didalam wilayah filsafat matematika.
Karena matematika dipandang tidak absolute, maka matematika tidak dapat secara sah
dipisahkan dari ilmu pengetahuan empiris (dan oleh karena itu tidak absolut)
pengetahuan fisik dan ilmu lainnya. Karena aliran fallibilism masuk kedalam wilayah
asal usul (terciptanya) pengetahuan matematika dan juga produknya, maka
matematika dipandang sebagai bagian yang menyatu dengan sejarah dan kehidupan
manusia.
3. Ketiga
Perbedaan ini memisahkan pandangan matematika sebagai ilmu yang objektif
dan bebas nilai karena hanya terfokus pada logika internalnya sendiri, dengan
memandang matematika sebagai bagian yang menyatu dengan budaya manusia dan
oleh karena itu dipengaruhi oleh nilai-nilai manusia seperti halnya wilayah dan
pengetahuan lainnya.
Pandangan filsafat absolutis dengan fokus internalnya, memandang
matematika sebagai ilmu yang objektif dan terlepas dari moral dan nilai- nilai
manusia.
Pandangan fallibilis sebaliknya menghubungkan matematika dengan ilmu
pengetahuan lainnya berlandaskan pada sejarah dan asal-usul sosialnya. Oleh Karena
itu falliblis memandang matematika memiliki nilai- nilai lainnya seperti nilai moral
dan social yang memiliki peran penting dalam pengembangan dan penerapan
matematika.

Kriteria Filsafat Matematika yang Ditawarkan


Kriteria filsafat matematika seharusnya menguraikan:
 pengetahuan matematika: hakikat, nilai kebenaran dan asal usul.
 objek matematika: hakikat dan keaslian.
 penerapan matematika: keefektifannya terhadap sains, teknologi dan wilayah lain.
 praktek matematika: aktifitas ahli matematika baik di waktu sekarang atau di waktu
lampau.
B. Pengujian lebih jauh tentang aliran-aliran filsafat
1. Aliran absolutis
Dalam bab sebelumnya kami memandang pengikut aliran logis, formalis dan
intusionis adalah pengikut aliran absolutis. Kami telah memberikan contoh kegagalan
pemikiran aliran ini dan kami juga telah membuktikan ketaktepatan aliran absolutis
untuk filsafat matematika. Berdasarkan pada kriteria diatas, kami dapat memberikan
kritik lebih jauh terkait dengan ketidaksesuaian aliran ini sebagai filsafat matematika.
2. Aliran Absolutis Progresif
Meskipun berbagai macam absolutisme telah dikelompokan dan menjadi
objek kritik bersama, ada bentuk-bentuk absolutisme yang berbeda dalam
matematika. Menyamakannya dengan filsafat sains, Confrey (1981) memisahkan
absolute formal dengan absolute progresif dalam filsafat matematika.
Absolutis progresif yang lebih memandang (dari sudut padang aliran
absolutis) matematika sebagai akibat dari upaya manusia untuk mencari kebenaran
dari pada hasilnya. Filsafat absolut progresif:
a. Menerima penciptaan dan perubahan teori-teori aksiomatis (yang
kebenarannya hampir dianggap mutlak).
b. mengakui bahwa keberadaan matematika formal karena intuisi matematika
diperlukan sebagai dasar dari penciptaan teori
c. mengakui aktifitas manusia dan akibatnya dalam
penciptaan pengetahuan dan teori-teori baru.

Intusionisme adalah pondasionis dan absolutis yang berusaha mencari pondasi (dasar)
yang kuat untuk pengetahuan matematika melalui pembuktian-pembuktian intusionistik dan
“ur- intuition” (Kalmar, 1967).
Intusionisme dan filsafat absolutis progresif secara umum memenuhi kriteria
dibandingkan dengan filsafat absolut formal, meskipun secara keseluruhan tetap memberikan
penentangan karena aliran ini memberikan ruang, meskipun terbatas, untuk para ahli
matematika yang beraktivitas (Kriteria 4).
3. Platonisme
Platonisme adalah pandangan bahwa objek matematika memiliki eksistensi
objektif yang nyata dalam beberapa wilayah ideal. Penganut aliran Platonis
berpendapat bahwa objek dan struktur matematika memiliki eksistensi nyata yang
terpisah dari kemanusiaan dan oleh karena itu matematika adalah proses untuk
menemukan hubungan yang ada dibaliknya.
Platonisme dengan jelas memberikan pemecahan terhadap persoalan
objektifitas matematika. Platonisme mencakup baik kebenarannya dan eksistensi
objeknya sebagaimana juga kemandirian matematika yang memiliki hukum dan
logika sendiri. Yang lebih menarik disini adalah adanya fakta bahwa filsafat yang
tampaknya tidak masuk akal ini berhasil menciptakan ahli matematika seperti Cantor
dan Godel.
Disamping hal yang menarik seperti itu, platonisme memiliki dua kelemahan
penting. Pertama, aliran ini tidak mampu menawarkan penjelasan yang tepat terkait
dengan bagaimana ahli matematika memperoleh akses kedalam pengetahuan yang ada
dalam wilayah platonic. Kedua, aliran ini tidak mampu memberikan deskripsi yang
tepat untuk matematika baik secara internal atau eksternal. Karena aliran ini tidak
dapat memenuhi persyaratan diatas, platonisme ditolak sebagai filsafat matematika.
4. Konvensionalisme
Pandangan pengikut aliran konvensionalis menyebutkan bahwa pengetahuan
matematika dan kebenaran didasarkan pada konvensi (kesepakatan) linguistik. Atau
lebih jauh kebenaran logika dan matematika memiliki sifat analitis, benar karena ada
hubungan nilai dari makna istilah yang digunakan. Bentuk konvensionalisme ini
sedikit banyak sama dengan “ifthenisme” yang dijelaskan di Bab 1 sebagai posisi
mempertahankan diri aliran pondasionis yang sudah kalah. Pandangan ini tetap saja
absolutis dan tetap dapat dikenakan penolakan yang sama.
Filasafat matematika konvensionalis telah dikritik oleh penulis sebelumnya dengan
dua alasan. Pertama, dikatakan disini bahwa aliran ini tidak banyak memberikan
informasi. Terlepas dari penjelasan tentang sifat social matematika, konvensionalisme
hanya memberikan sedikit informasi. Kedua, penolakan dari Quine. Penolakan Quine
tidak memiliki alasan kuat karena penolakan itu tidak dapat dikenakan pada bahasa
asli dan dikenakan pada peran pembatas pada konvensi umum. Sebaliknya dia benar
dengan mengatakan bahwa kita tidak akan menemukan semua kebenaran matematika
dan logika yang dikemukakan secara literal seperti aturan dan konvensi linguistik.
Meskipun Quine mengkritik konvensionalisme terkait dengan logika, dia memandang
aliran ini memiliki potensi menjadi filsafat matematika yang sedikit berbeda.
5. Empirisme
Pandangan empiris tentang pengetahuan matematika (“empirisme naif” untuk
membedakannya dengan “empirisme kuasi”nya Lakatos) menyebutkan bahwa
kebenaran matematika adalah generalisasi empirik (pengamatan). Kami membedakan
dua tesis empiris: (i) konsep matematika memiliki asal usul empirik dan (ii)
kebenaran matematika memiliki dasar kebenaran empirik maka diambil dari dunia
nyata. Tesis pertama tidak dapat disangkal dan telah diterima oleh sebagian besar
filsuf matematika (sehingga banyak konsep tidak terbentuk secara langsung dari
pengamatan tetapi terdefinisi karena adanya konsep lain yang menyebabkan
terbentuknya konsep dari pengamatan melalui serangkaian definisi). Tesis yang kedua
ditolak oleh semua pihak kecuali penganut aliran empiris karena arahnya yang
mengarah ke ketidakjelasan. Penolakan pertama beralasan bahwa sebagian besar ilmu
matematika diterima dengan dasar alasan teoritis dan bukan empiris. Oleh karena itu
saya tahu bahwa 999.999 + 1 = 1.000.000 tidak melalui pengamatan kebenarannya di
dunia tetapi melalui pengetahuan teoritis saya tentang angka dan penjumlahan.
Empirisme terbuka untuk sejumlah kritik. Pertama, ketika pengalaman kita
berlawanan dengan kebenaran matematika dasar, kita tidak akan menyangkalnya
(Davis dan Hersh, 1980). Kita justru akan berasumsi bahwa mungkin ada kesalahan
dalam penalaran kita karena ada kesepakatan bersama tentang matematika sehingga
kita tidak dapat menolak kebenaran matematika (Wittgenstein, 1978). Oleh karena itu,
“1 + 1 = 3” sangat jelas salah, bukan karena jika seekor kelinci ditambahkan ke
kelinci lainnya tidak dapat berjumlah tiga kelinci tetapi dengan definisi “1 + 1”
artinya “pengganti dari 1” dan “2” adalah pengganti dari “1”.Kedua, matematika
sangat abstrak dan begitu banyak konsepnya tidak memiliki keaslian dalam
pengamatan di dunia nyata. Justru konsep tersebut didasarkan pada konsep yang
sudah terbentuk sebelumnya. Kebenaran- kebenaran tentang konsep seperti itu yang
membentuk bangunan matematika tidak dapat dikatakan berasal dari kesimpulan dari
observasi dunia luar. Ketiga, empirisme bisa dikritik karena terfokus secara eksklusif
(khusus) pada masalah-masalah pondasionis dan gagal menguraikan kecukupan
tentang pengetahuan matematika. Dengan dasar kritik ini kami menolak pandangan
empirik sebagai filsafat matematika yang tepat.
Empirisme Kuasi

Empirisme kuasi adalah nama yang diberikan kepada filsafat matematika yang dikembangkan
oleh Imre Lakatos (1976, 1978). Aliran ini memandang matematika sebagai apa yang ahli
matematika lakukan dan dengan semua kekurangan yang melekat pada aktifitas atau ciptaan
manusia. Empirisme kuasi menampilkan “arah baru dalam filsafat matematika”.
Berikut ini adalah sketsa awal dari pemikiran empirisme kuasi. Matematika adalah
sebuah dialog diantara orang-orang yang mencoba menyelesaikan persoalan matematika.
Ahli matematika tidak bisa lepas dari kesalahan dan produk mereka termasuk konsep dan
pembuktian tidak dapat dianggap produk akhir atau sempurna tetapi masih membutuhkan
negosiasi kembali sebagai standar perubahan yang harus dilakukan dengan teliti atau sebagai
tantangan baru atau makna yang muncul. Sebagai aktifitas manusia, matematika tidak dapat
dipandang sebagai sesuatu yang terpisah dari sejarah dan aplikasinya kedalam sains dan ilmu
lainnya. Empirisme kuasi menampilkan “kembangkitan kembali empirisme dalam filsafat
matematika terkini” (Lakatos, 1967).
Lima tesis dari empirisme kuasi dapat diidentifikasi sebagai berikut:
Pengetahuan matematika dapat keliru Matematika Bersifat Hipotetis-deduktif Sejarah
adalah pusat Penegasan Pentingnya Matematika Informal Dimasukkannya Teori Penciptaan
Pengetahuan. Ada pola sederhana untuk penemuan matematika atau pertumbuhan teori
matematika informal. Pola tersebut terdiri dari tahap-tahap berikut:
1. Dugaaan awal.
2. Pembuktian (eksperimen atau argument, perubahan dari dugaan awal menjadi sub-
dugaan atau lemma).
3. Kontra contoh “global” (kontra contoh untuk dugaan sederhana)
4. Bukti pengujian kembali: “lemma yang salah” untuk kontra contoh global adalah
kontra contoh “local”.
Empat tahap ini adalah inti dari analisa bukti. Tetapi ada beberapa tahap standar
berikutnya yang sering muncul:
5. Bukti pengujian teori lainnya
6. Pengecekkan hasil yang diterima saat itu dari dugaan aslinya dan yang sekarang
dibuktikan kesalahannya.
7. Kontra Contoh menjadi contoh baru – wilayah baru dari penemuan terbuka.

Dapat dilihat disini bahwa inti filsafat matematika Lakatos adalah sebuah teori asal
usul pengetahuan matematika. yaitu teori praktek matematika dan teori sejarah matematika.
Lakatos tidak menawarkan teori psikologi penciptaan atau penemuan matematika karena dia
tidak menyentuh asal-usul aksioma, definisi dan dugaan dalam pikiran orang perorang. Fokus
dia adalah pada proses yang merubah penciptaan individu menjadi pengetahuan matematikan
public yang diterima luas, terkait hal tersebut, filsafatnya sama dengan filsafat sains
falsifikasionis-nya Karl Popper, pandangan yang Lakatos sudah ketahui. Oleh karena itu
kami akan memberikan perhatian pada evaluasi filsafat empiris-kuasi-nya Lakatos.

Kriteria Cukup dan Empirisme Kuasi


Empirisme kuasi menawarkan penjelasan sebagian tentang pengetahuan matematika
serta asal usul dan dasar kebenarannya. Dalam hal ini Lakatos menawarkan penjelasan yang
lebih luas dibandingkan dengan filsafat matematika lainnya yang telah kita bahas, jauh
melebihi wilayah mereka. Lakatos menjelaskan pengetahuan matematika sebagai hipotetis-
deduktif dan empirik-kuasi dan memiliki kesamaan dengan filsafat sains- nya Popper (1979).
Dia menjelaskan kesalahan dalam pengetahuan matematika dan memberikan teori tentang
asal-usul pengetahuan matematika. Penjelasan ini mencakup praktek matematika dan
sejarahnya juga.
Karena teori Lakatos untuk asal usul matematika memiliki banyak kesamaan dengan
sains, keberhasilan penerapan matematika dapat disamakan dengan sains dan teknologi.
Memberikan penjelasan tentang matematika terapan akan menjadi kekuatan terutama untuk
menghadapi pengabaian yang ditunjukan oleh filsafat matematika lainnya (Korbner 1960).
Yang terakhir, kekuatan penting dari filsafat matematika Lakatos adalah bahwa filsafat ini
tidak preskriptif (menekankan penerapan metode atau aturan) tetapi deskriptif (memberikan
penjelasan) dan cenderung memberikan gambaran tentang matematika seperti apa adanya dan
bukan seperti apa yang harus dipraktekan dengan menggunakan matematika.
Terkait dengan kriteria sebelumnya, empirisme kuasi memenuhi kriteria pengetahuan
matematika (i), aplikasi (iii) dan praktek (iv). Empirisme kuasi dapat dikritik berdasarkan
pada beberapa alasan.
Pertama, tidak ada penjelasan tentang kepastian kebenaran matematika. Kedua, Lakatos
tidak menguraikan hakikat dari objek-objek matematika atau asal-usul objek-objek tersebut.
Ketiga,Lakatos tidak memberikan penjelasan tentang hakikat atau keberhasilan aplikasi
matematika atau keefektifannya dalam sains, teknologi dan di wilayah lain. Keempat,
Lakatos tidak begitu mengembangkan untuk membawa sejarah matematika kedalam inti dari
filsafat matematikanya. Kelima, Lakatos tidak dapat memberikan dasar kebenaran untuk
memasukan tesis sejarah empiris kedalam pendekatan filsafat analitis dengan menggunakan
pijakan yang sama dengan metodologi logis Keenam, filsafat matematika empiris-kuasi
Lakatos memberikan alasan yang diperlukan tetapi tidak cukup banyak untuk
mengembangkan pengetahuan matematis. Ketujuh, tidak ada eksposisi sistematis dari
empirisme kuasi yang dijelaskan secara detail ntuk membantah penolakan terhadap dia.
Publikasi Lakatos tentang filsafat matematika berisi studi kasus historis dan tulisan polemik.
Secara keseluruhan dapat dilihat disini bahwa kelemahan utama dari empirisme kuasi adalah
penghilangan. Kritik diatas yang diambil dari sudut pandang yang bersimpati tidak
menyingkap kelemahan mendasarnya. Kritik diatas hanya menunjukan perlunya program
penelitian katakanlah untuk mengembangkan empirisme kuasi secara sistematis dan mengisi
celahnya

Anda mungkin juga menyukai