Anda di halaman 1dari 14

Aliran-Aliran Filsafat Matematika

Disusun untuk memenuhi Ujian Tengah Semester mata kuliah Bimbingan Konseling

Dosen Pengampu:

Dr. Hj. Teti Ratnasih, M.Ag.


Nisyya Syarifatul Husna, M.Pd.

Disusun Oleh :

Azhar Tsany NIM : 1222050025


Cevi Miftah Fauzan NIM : 1222050030

PRODI PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
TAHUN
2024
A. Apa itu Aliran Filsafat Matematika
Filsafat matematika merupakan cabang filsafat yang mempelajari aspek filosofis yang
berkaitan dengan matematika, seperti hakikat kebenaran matematika, sifat konseptual dan
ontologis objek matematika, serta hubungan matematika dengan dunia fisik dan realitas
secara umum. Aliran ini menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti apakah matematika
merupakan konstruksi manusia atau keberadaan independen, apakah matematika merupakan
penemuan atau penciptaan, dan bagaimana matematika diterapkan pada ilmu-ilmu lain.

B. Aliran-Aliran Filsafat Matematika


a. Platonisme
Platonisme matematika adalah pandangan filosofis yang menyatakan bahwa objek
matematika itu benar-benar ada, bersifat abstrak, dan tidak tergantung pada pikiran manusia
atau bahasa. Ini didasarkan pada tiga tesis utama:
Keberadaan: Ini menyatakan bahwa objek matematika ada dalam realitas. Misalnya,
angka, himpunan, dan fungsi dianggap sebagai entitas yang eksis dalam suatu bentuk.
Abstraksi: Ini mengklaim bahwa objek matematika bersifat abstrak, yang berarti
mereka tidak terikat oleh batasan-batasan spasial dan temporal. Mereka adalah entitas
konseptual yang ada di luar dimensi fisik.
Kemerdekaan: Ini berarti bahwa objek matematika tidak bergantung pada pikiran
manusia atau bahasa. Mereka ada tanpa perlu dihasilkan oleh pikiran manusia atau
disebutkan dalam bahasa tertentu. Ini menunjukkan bahwa matematika memiliki keberadaan
yang mandiri dan universal.
Namun, konsep kemerdekaan seringkali menjadi subjek perdebatan, karena sulit
untuk memahami bagaimana objek matematika dapat eksis secara independen dari pikiran
manusia atau bahasa. Beberapa menginterpretasikan hal ini sebagai kondisi kontrafaktual
bahwa objek matematika akan tetap ada bahkan jika tidak ada agen cerdas atau bahasa.
Meskipun demikian, pandangan tentang kemerdekaan dalam konteks platonisme matematika
masih dalam tahap pengembangan dan diskusi filosofis.

b. Absolutisme
Pandangan absolutis terhadap pengetahuan matematika adalah bahwa ia terdiri dari
kebenaran-kebenaran tertentu yang tidak dapat disangkal. Menurut pandangan ini,
pengetahuan matematika adalah kebenaran mutlak. Banyak filsuf mempunyai pandangan
absolutis terhadap pengetahuan matematika.
Misalnya, Hempel menjelaskan bahwa validitas matematika bergantung pada
keputusan yang menentukan makna konsep matematika, dan kalimat matematika pada
dasarnya benar menurut definisinya (FeigI dan Sellars, 1949, p.225).
Pendukung kepastian matematika lainnya adalah Jayet, yang mengatakan:
“Kebenaran logis dan matematis adalah proposisi analitis atau tautologi
(pernyataan/berlebihan).” Kepastian suatu pernyataan apriori bergantung pada apakah
pernyataan tersebut merupakan tautologi. Jika sebuah kalimat bersifat analitis, maka itu
adalah tautologi. Suatu proposisi bersifat analitik jika kebenarannya mengutamakan
pentingnya konsistensi dan oleh karena itu tidak dapat dikonfirmasi atau ditolak oleh fakta-
fakta pengalaman (Ayer, 1946, hlm. 72, 77, dan 16).
Pandangan absolutis terhadap pengetahuan matematika didasarkan pada dua jenis
asumsi: asumsi ahli matematika mengenai asumsi aksioma dan definisi, dan asumsi ahli
logika mengenai asumsi aksioma, aturan inferensi, bahasa formal, dan sintaksis. Namun
semua itu masih merupakan opini lokal atau masih mengandung asumsi mikro yang
memerlukan asumsi makro untuk mendasari seluruh kebenaran matematis.
Pandangan absolutis tentang pengetahuan matematika menghadapi masalah di awal
abad ke-20 ketika banyak kontradiksi (pernyataan kontroversial) dan inkonsistensi
(kontroversi) ditemukan dalam matematika (Kline, 1980; Kneebone, 1963; Wilder, 1965).
Dalam serangkaian publikasinya, Gottiob Frege (1879, 1893) menetapkan rumusan logika
matematika yang sangat ketat, yang kemudian dianggap sebagai dasar pengetahuan
matematika.
Frege menyatakan dalam tulisannya bahwa himpunan harus dibentuk oleh perluasan
semua konsep, dan konsep/properti harus diterapkan pada himpunan. Di manakah
konsep/properti (elemen/elemen itu sendiri)? Frege memungkinkan Anda menganggap
ekstensi properti ini sebagai satu set. Namun himpunan ini sendiri merupakan sebuah elemen
jika dan hanya jika konsisten. (Furth, 1964) Namun, Russell (1902) mampu menunjukkan
bahwa sistem Frege tidak konsisten. Karena hal tersebut dapat menimbulkan paradoks yang
sangat terkenal: Dalam teori himpunan dan teori himpunan fungsi.
Temuan seperti itu jelas mempunyai implikasi negatif terhadap pandangan absolutis
terhadap pengetahuan matematika. Karena jika matematika itu pasti dan setiap teorema
menghasilkan sesuatu yang tertentu, bagaimana mungkin terdapat kontradiksi (yaitu,
kepalsuan) di antara teorema-teorema tersebut? Karena tidak ada yang salah dengan
munculnya kontradiksi seperti itu, pasti ada masalah pada akar matematikanya.
Akibat krisis ini, banyak berkembang aliran filsafat matematika yang bertujuan untuk
menjelaskan hakikat pengetahuan matematika dan mengembalikan kepastiannya. Pada masa
itu, filsafat matematika terbagi menjadi tiga aliran: logikaisme, formalisme, dan
konstruktivisme (perpaduan antara intuisionisme)

c. Logisisme
Logisisme memandang bahwa matematika bersifat analitik. Beberapa tokoh
menyakini sekurang – kurangnya bagian dalam matematika dapat direduksi dengan logika.
Gagasannya yaitu bahwa konsep- konsep, objek- objek dalam matematika dapat diperoleh
dari prinsip logika. Sehingga pandangan ini disebut logisime. Tokoh yang menganut paham
logisisme contohnya adalah, Gottlob Frege.
a. Gottlob Frege.
Suatu pernyataan bersifat analitik jika ia suatu hukum logika umum atau definisi,
atau jika ia mempunyai bukti yang bersandar pada hukum hukum logika dan definisi definisi
demikian. Frege menganut pandangan bahwa untuk setiap pernyataan tentang bilangan –
bilangan asli atau bilangan –bilangan real ,pernyataan itu atau negasinya bersifat dapat
diketahuai. Dia juga memandang bahwa pernyataan – pernyataan dalam matematika memiliki
nilai- nilai kebenaran yang objektif. Prinsip huge dalam frege berbunyi : untuk sebaran
konsep- konsep hanya jika F,G bilangan dari F adalah identik dengan bilangan dari G jika
dan hanya jika F dan G adalah sama banyak. Frege menunjukan bangaimana pronsip Huge
disimpulkan dari definisi – definisi dan beberapa ciri umum ekstensi- ekstensi. Dalam
teorema Frege ini melengkapi penurunan aritmatika, dan pengkuhan logisisme untuk
bilangan- bilangan asli dengan syarat bahwa defini tersebut adalah benar. Berdasarkan asumsi
ini frege berhasil menunjukan bahwa aritmatika bersifat analitik. Logisisme bersifat non-
starter , bagi Frege bilangan- bilangan asli ada sebagai objek- objek yang independen.
Frege tidak memperluas logisisme dalam geometri. Prinsip – prinsip geometri
Euclid bersifat sintetik apriori. Frege meyakini bahwa geometri memiliki suatu bidangan
kajian non universal yang khusus ruang.
b. Bertrand Russell
Rusell memandang bahwa penjelasan Frege tentang bilangan- bilangan asli pada
substansinya sudah benar.Untuk melihat paradoks Russsell diperoleh kita harus terlebih
dahulu melihat bahwa beberapa konsep berlaku pada himpunan – himpunan ,dan ekstensi-
ekstensi dari konsep- konsep itu adalah himpunan – himpunan yang memuat himpunan –
himpunan sebagai elemen-elemennya. Paradoks russell dapat di anggapkan timbul ari asumsi
bahwa jika kita mungkin mengumpulkan beberapa objek-objek itu sudah ada.
Bertrand Russel berhasil memperlihatkan bahwa dua buah klaim aliran logisisme
berikut dapat diselesikan dengan logika (Sukardjono, 2000) yaitu (1) seluruh konsep
matematika secara mutlak dapat direduksi ke dalam konsep logika, tercakup dalam konsep
teori himpunan atau beberapa sistem yang kekuatannya sama, seperti Teori Type dan (2)
seluruh kebenaran matematika dapat dibuktikan dari aksioma dan aturan-aturan inferensi
dalam logika.
c. Carnap dan Positivisme Logis
Aliran positivisme logis bertolak pada kesuksesan spektakuler sain-sain alam dan
perkembangan logika matematis. Mill memandang bahwa kebenaran-kebenaran matematika
diketahui secara empirik dengan generalisasi pada pengalaman. Oleh karena itu matematika
bersifat sintetik dan aposteriori, Disisi lain positiv logis tertarik dengan tesis dari logisisme
bahwa kebenaran-kebenaran ari matematika bersifat analitik dan dengan demikian apriori.
Pengathuan apriori adalh pengtahuan tentang bahsa. Michael Dummet menyebut pendekatan
ini dengan istilah ‘peralihan linguistik’ dalam filsafat. Frege meyakini bahwa bilangan-
bilangan itu ada, secara mesti, lepas dari matematikawan sedangkan Russel memandang
bahwa bilangan- bilangan tidak ada
d. Neo-Logisisme
Variasi- variasi pendekatan Frege untuk matematika diupayakan dengan penuh
semangat. Pada masa sekarang ini dalam garapan Crispin Wright, diawali dengan Frege’s
Conception of numbers as objects (1983) dan tokoh- tokoh lain seperti Bob Hale (1987) dan
Neil Tennant (1997), definisakan neo logisis sebagai orag mempertahankan dua tesis berikut
ini : (1) suatu inti yang signifikan dari kebenaran-kebenaran matematis dapat dikethui
apriori ,dengan turunan dari aturan- aturan yang bersifat analitikatau konstitutif-makna dan
(2) matematika ini berkaitan dengan suatu real objek- objek ideal, yang dalam suatu segi
bersifat objektif atau tidak terikat oleh pikiran . Neo logisi menarik mereka yang bersimpati
pada pandangan tradisional matematika sebagai kumpulan kebenaran- kebenaran objektif
yang apriori tetapi khawatir tentang permasalahan epistemologi baru yang dihadapi realisme
dalam ontologi

d. Intuisionisme
Secara bahasa, intuisionisme berasal dari bahasa Latin yaitu intuitio yang berarti
pemandangan. Sedangkan ahli yang lain mengatakan bahwa intuisionisme, berasal dari
perkataan Inggris yaitu intuition yang bermakna gerak hati atau disebut hati nurani.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, intuisi diartikan dengan bisikan hati, gerak
hati atau daya batin untuk mengerti atau mengetahui sesuatu tidak dengan berpikir atau
belajar.Perbedaannya dengan firasat atau feeling, kata intuisi lebih banyak digunakan untuk
hal-hal yang bersifat metafisika atau di luar jangkauan rasio, biasanya dipakai untuk
menyebut indera keenam.
Dalam bahasa Inggris Intuisionisme berasal kata Intuiton yang berarti manusia
memliki gerak hati atau disebut hati nurani. Gerak hati mampu membuat manusia melihat
suatu perkara benar atau salah, jahat atau baik. Intuisionisme juga merupakan
suatu prosesmelihat dan memahami secara spontan dan intelek. Organ fiskal yang berkaitan
dengan gerak hati atau intuisi tidak diketahui secara jelas. Namun, setengah ahli filsafat
menyebutkan jantung dan otak kanan sebagai organ fiskal yang menggerakan intuisi.
Gerak hati yang tidak mampu dijangkau oleh akal yaitu
pengalaman emosional dan spiritual. Menurut Immanuel Kant, akal tidak pernah mampu
mencapai pengetahuan langsung tentang sesuatu perkara. Akal hanya mampu berpikir
perkara yang dilihat terus (fenomena) tetapi hati mampu menafsir suatu perkara dengan tidak
terhalang oleh perkara apapun tanpa ada jarak antara subjek dan objek.
Menurut aliran ini, pada dasar yang paling dalam terletak intuisi primitif, bersekutu
dan bekerja sama dengan akal duniawi manusia, yang memungkinkan manusia
mengangankan suatu obyek tunggal, kemudian satu lagi, satu lagi dan seterusnya tak
berakhir. Dengan cara ini diperoleh barisan tak berakhir, yang dikenal dengan barisan
bilangan alam. Dengan menggunakan dasar intuitif bilangan asli ini, sebarang obyek
matematika harus dibangun dengan cara konstruktif murni, dengan menggunakan operasi dan
langkah-langkah yang banyaknya berhingga.
Bagi kaum Intuisionis, suatu himpunan tak boleh dipikirkan sebagai koleksi yang
telah siap jadi, akan tetapi harus dipandang sebagai hukum yang elemen-elemennya dapat
atau harus dikonstruksi selangkah demi selangkah. Konsep himpunan seperti ini dapat
membebaskan matematika dari kemungkinan terjadinya kontradiksi, seperti munculnya
kontradiksi pada pernyataan ”himpunan semua himpunan”. Kaum Intuisionis juga menolak
pendapat aliran formalisme bahwa hukum excluded midle dan hukum kontradiksi adalah
ekuivalen.
a. Merevisi Logika Klasik
Filsafat-filsafat intuisionisme menuntutkan revisi-revisi bagi matematika yang ada
ketika itu, dan juga matematika masa kini. Objek utama dari revisi-revisi tersebut adalah law
of excluded middle (LEM), yang kadang-kadang juga disebut law of excluded third dan
tertium non Fatur (TND). Misalkanøsuatu pernyataan. Maka contoh excluded middle yang
berkorespondensi dengan pernyataan itu adalah pernyataan bahwa ø atau tidak -ø , atau
dalam simbol-simbol øv-ø. Di dalam semanti, prinsip bivalensi, yang terkait erat dengan
hukum tersebut, menyebutkan bahwa setiap pernyataan adalah benar atau salah, dan dengan
begitu hanya terdapat dua kemungkinan untuk nilai kebenaran.
b. Tokoh-tokoh Intuisionisme
1) Luitzen Egbartus Jan Brouwer (1881-1966)
Menurut Brouwer, dasar dari Intuisionisme adalah pikiran. Namun, pemikiran-
pemikiran yang dicetuskannya banyak dipengaruhi oleh pandangan Immanuel
Kant.Matematikaa didefinisaikan oleh Brouwer sebagai aktivitas berfikir secara bebas,
namun matematikaadalah suatu aktivitas yang ditemukan dari intusi pada saat
tertentu. Pandangan intuisionisme adalah tidak ada realisme terhadap objek dan tidak ada
bahasa yang menghubungi sehingga boleh dikatakan tidak ada penentu kebenaran
matematika di luar aktivitas berpikir. Proposisi hanya berlaku ketika subjek dapat dibuktikan
kebenarannya.
2) Arend Heyting (1898-1980)
Heyting menemukan bukti dalam pandangan Brouwer tentang kelaziman alat mental
serta pemacu bahasa dan logika. Dalam bukunya berjudul Intuitionism tahun 1956, Heyting
mengungkankan bahwa pendapat Bouwer yaitu bahasa adalah media tidak sempurna untuk
membincangkan matematika. Sistem utamanya adalah dirinya sendiri sebagai peraturan
pemacu matematika, tetapi tidak diyakini sistem utama pemacu matematika menggambarkan
secara kuat penguasaan pemikiran matematika. Heyting menegaskan logika bergantung
pada matematika bukan yang lain.
3) Sir Michael Anthony Eardley Dummet (1925-2011)
Brouwer dan Heyting mengatakan bahwa bahasa merupakan media tidak sempurna
untuk membicarakan pembinaan mental matematika, dan logika berkaitan bentuk yang
berlaku dalam penyebaran media ini dan menjadi tumpuan langsung pada bahasa dan
logika. Sebaliknya, pendekatan utama Dummet adalah bahwa matematika dan logika adalah
bahasa dari awal.
Filsafat Dummett lebih mementingkan pada logika intuisionik daripada matematika
itu sendiri. Pendapatnya sama dengan Brouwer tetapi tidak sama seperti Heyting. Dummett
tidak memiliki orientasi memilih. Dummett mengeksplorasi matematika klasik dengan
menggunakan pemikiran yang tidak memperakui pada satu jalan peraturan penguraian
pernyataan alternatifnya. Ia mengusulkan beberapa pertimbangan mengenai logika adalah
benar yang pada akhirnya harus tergantung pada arti pertanyaan. Ia juga mengambil
pandangan yang diperoleh secara luas, yang kemudian disebut sebagai terminologi logika.

e. Formalisme
Formalisme dalam filsafat matematika adalah pandangan bahwa matematika
seharusnya dianggap sebagai sistem formal yang terdiri dari simbol-simbol dan aturan
manipulasi simbol-simbol tersebut, tanpa perlu merujuk pada makna atau interpretasi dari
simbol-simbol tersebut di dunia nyata. Berbagai filsafat yang berangkat dengan nama
‘formalisme’ mengklaim bahwa esensi dari matematika adalah manipulasi karakter-karakter.
Suatu daftar karakter-karakter dan aturan-aturan yang dibolehkan memeras apa yang
dihendaknya dikatakan tentang suatu cabang matematika tertentu. Berdasarkan pandangan
para formalis, maka, matematika bukanlah, atau tidak seharusnya menjadi, tentang sesuatu,
atau sesuatu diluar karakter-karakter tipografis dan aturan-aturan untuk memanipulasi
karakter-karakter tipografis itu.
Formalisme memiliki silsilah lebih baik diantara para matematikawan daripada
diantara para filsuf matematika. Disepanjang sejarah, para matematikawan telah
memperkenalkan simbol-simbol yang , pada masanya,tampak tidak memiliki interpretasi
yang jelas. Nama-nama seperti ‘bilangan negatif’, ‘bilangan irrasional’, ‘bilangan
transendental’, ‘bilangan imajiner’,dan ’ titik ideal pada intinitas’ menunjukkan suatu
ambivalensi. Seorang matematikawan menyatakan bahwa simbol-simbol untuk bilangan-
bilangan kompleks, misalnya, hendaknya dimanipulasi berdasarkan (sebagian besar) aturan-
aturan yang sama seperti untuk bilangan-bilangan real, dan itulah saja yang tersedia baginya.
Namun demikian, para matematikawan sendiri tidak selalu membangun
posisi-posisi filosofis mereka secara dalam. Salah satu penjelasan paling terperinci tentang
versi-versi pokok dari formalisme terdapat dalam kritik teliti yang diajukan oleh Gottlob
Frege (1893: 86-137). Berikut ini pembahasa ringkasnya.

c. Perkembangan-perkembangan dalam Formalisme


1) Deduktivisme
Kehadiran sistem-sistem deduktif yang ketat, terutama disumbangkan oleh Frege,
mengisyaratkan suatu filsafat menarik yang memiliki kesamaan dengan formalisme
permainan. Seorang penganut deduktivisme menerima pokokpandangan Frage bahwa aturan-
aturan inferensi harusmempertahankan kebenaran, tetapi dia berisikeras agar aksioma-
aksioma dari berbagai teori matematisdianggapkan seolah-olah telah ditetapkan secara
arbitrer. Gagasannya yaitu bahwa praktek matematika meliputi penentuan konsekuensi-
konsekuensi logis dari aksioma-aksioma, yang seolah-olah tidak diinterpretasikan. Seorang
matematikawan bebas untuk beranggapan bahwa aksioma-aksioma (dan teorema-teorema)
dalam matematika adalah tidak bermakna atau mengiterpretasi semua itu sekehendaknya.
2) Finitisme
Pada peralihan ke abad 20 perkembangan-perkembangan dalam analisis real, daripada
matematikawan seperti Augustin Louis Cauchy,Bernard Bolzano, dan Karl Weierstrass,
mengatasi permasalahaninfinitsimal dan memberikan landasan kokoh bagi kalkulus. Hilbert
(1925: 187) menuliskan bahwa analis real dan kompleks adalah “struktur matematika paling
estetik dan dibangunsecara teliti.” Meski kuantitas-kuantitas yang kecil takterhingga dan
besar tak terhingga tidak diperlukan, tetapi teori-teori baru masih bersandar pada kumpulan-
kumpulan infinit. Menurut Hilbert “analisis matematis adalah sebuah simfoni infinitas” pada
saat itu terdapat pula penjelasan infinitas yang meriah dalam teori himpunan oleh Georg
Cantor.
Meskipun terdapat perkembangan-perkembangan luar biasa, atau justru karena itu,
timbul suatu keresahan tentang krisis fondasional. matematika tampaknya dan seharusnya,
menjadi yang paling eksak dan apasti diantara semua disiplin ilmu-namun tantangan dan
keraguan bermunculan. Dengan mengingat antinom-antinomseperti Paradoks Russell,
tidaklah kepastian bahwateori himpunan bersifat konsisten. Krisis tersebut tidak reda meski
setelah Cantor menerapkan apa yang di sebutnya ‘inconsistent multitudes’ kumpulan-
kumpulan dari himpunan-himpunan yang terlalubesar untuk dikumpulkan kedalam satu
himpunan. Antinom-antinom ini menimbulkan serangan-serangan kepada legitimasi beberapa
metode matematis, menggiring beberapa matematikawan untuk menerapkan pembatasan
ketat bagi metode-metode matematis, pembatasan yang akan meruntuhkan analisis real dan
kompleks.
3) Teorema Ketidaklengkapan
Kurt Gödel (1931, 1934) mengukuhkan suatu hasil yang memukul telak-tujuan-tujuan
epistemik dari program Hilbert. Misalkan, T suatu sistem deduktif formal yang memuat
aritmatika dalam kadar tertentu. Asumsikan sintaks dari T adalah efektif dalam artian terdapat
suatu algoritma yang menentukan apakah suatu barisan karakter-karakter tertentu adalah
suatu formula yang gramatik, dan suatu algoritma yang menentukan apakah suatu barisan
formula-formula tertentu adalah suatu deduksi yang sah dalam T. Misalkan, kondisi-
kondidiini esensial bagi T untuk berperan dalam program Hilbert. Pada asumsi-asumsi
tersebut, Gödel menunjukan bahwa terdapat suatu kalimat G dalam bahasa dari T, dan (2)jika
T memiliki suatu ciri yang sedikit lebih kuat daripada konsistensi, disebut ‘ω-konsistensi’,
maka negasi dai G bukanlah teorema dari T. Artinya, jika T adalah ω-konsisten, maka ia
tidak’memutuskan’ G, bagaimanapun caranya. Hasil ini, dikenal sebagai teorema
ketidaklengkapan (pertama) Gödel, adalah salah satu prestasi intelektual besar pada abad ke-
20.
Formulasi G berbentuk suatu peryataan finit(dengan menggunakan huruf-huruf untuk
generlitas). kasarnya, G adalah formalisasi dari suatu pernyataan bahwa G tidak dapat
dibuktikan dalam T. Jadi, jika T konsisten, maka G benar tetapi tidak dapat dibuktikan. Hasil
Gödel ini meruntuhkan harapan untuk menemukan sistem formal tunggal yang menangkap
semua matematika klasik. Atau bahkan smeuaa aritmatika.jika seorang mengajukan sistem
untuk dicalonkan sebagai sistem formal seperti itu, maka kita dapat menemukan sebuah
kalimat yang tidak ‘diputuskan’ oleh sistem tersebut, meski kita melihat bahwa kalimat itu
adalah benar.
Dengan demikian, teorema ketidaklengkapan mengangkat keraguan-keraguan tentang
sebarang filsafat matematika (formalis atau lainnya) yang menuntutkan sistem deduktif
tunggal untuk seluruharitmatika sebagai satu-satunya metode formal untuk mendapatkan
setiap kebenaran aritmatika. Namun demikian, impian penemuan sistem formal tunggal untuk
semua matematika yang ideal bukanlah bagianresmi (atau esensial) dariprogram Hilbert.
Kendalanya, jika memang demikian, terletak pada hal lainnya. Ringkasnya, teorema
ketidaklengkapan kedua Gödel ini menyatakan bahwa teori yang konsisten (yang memuat
aritmatika dalam kadar tertentu) tidak dapat membuktikan konsistensinya sendiri. Hasil inilah
yang menunjukan kendala bagi Program Hilbert.
f. Empirisme
Empirisme adalah suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam
memperoleh pengetahuan dan mengecilkan peranan akal. Empirisme secara etimologis
berasal dari kata bahasa Inggris empiricism dan experience. Kata-kata ini berakar dari kata
bahasa Yunani έμπειρία (empeiria) dan dari kata experietia yang berarti “berpengalaman
dalam”, “berkenalan dengan”, “terampil untuk”. Sementara menurut A.R. Lacey berdasarkan
akar katanya empirisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa pengetahuan
secara keseluruhan atau parsial didasarkan kepada pengalaman yang menggunakan indera.
Selanjutnya secara terminologis terdapat beberapa definisi mengenai Empirisme, di
antaranya: doktrin bahwa sumber seluruh pengetahuan harus dicari dalam pengalaman,
pandangan bahwa semua ide merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa
yang dialami, pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal
(Bagus (2000:197-198), Edwards (1967:499), Lacey (2000:88)). Tokoh-tokoh yang
membangun dan mengembangkan aliran empirisme ini antara lain: Francis Bacon (1210-
1292), Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), George Berkeley (1665-
1753), David Hume (1711-1776) dan Roger Bacon (1214-1294).
Menurut aliran ini adalah tidak mungkin untuk mencari pengetahuan mutlak dan
mencakup semua segi, apalagi bila di dekat kita terdapat kekuatan yang dapat dikuasai untuk
meningkatkan pengetahuan manusia, yang meskipun bersifat lebih lambat namun lebih dapat
diandalkan. Kaum empiris cukup puas dengan mengembangkan sebuah sistem pengetahuan
yang mempunyai peluang besar untuk benar, meskipun kepastian mutlak tidak akan pernah
dapat dijamin.
Kaum empiris memegang teguh pendapat bahwa pengetahuan manusia dapat
diperoleh lewat pengalaman. Jika kita sedang berusaha untuk meyakinkan seorang empiris
bahwa sesuatu itu ada, dia akan berkata “tunjukkan hal itu kepada saya”. Dalam persoalan
mengenai fakta maka dia harus diyakinkan oleh pengalamannya sendiri. Jika kita mengatakan
kepada dia bahwa seekor harimau di kamar mandinya, pertama dia minta kita untuk
menjelaskan bagaimana kita dapat sampai kepada kesimpulan tersebut. Jika kemudian kita
mengatakan bahwa kita melihat harimau tersebut di dalam kamar mandi, baru kaum empiris
akan mau mendengar laporan mengenai pengalaman kita, namun dia hanya akan menerima
hal tersebut jika dia atau orang lain dapat memeriksa kebenaran yang kita ajukan, dengan
jalan melihat harimau itu dengan mata kepalanya sendiri (Suriasumantri: 1998:102)
Ajaran-ajaran pokok empirisme yaitu: (1) Pandangan bahwa semua ide atau gagasan
merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami: (2)
Pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal atau rasio; (3)
Semua yang kita ketahui pada akhirnya bergantung pada data inderawi; (4) Semua
pengetahuan turun secara langsung, atau di simpulkan secara tidak langsung dari data
inderawi (kecuali beberapa kebenaran definisional logika dan matematika); (5) Akal budi
sendiri tidak dapat memberikan kita pengetahuan tentang realitas tanpa acuan pada
pengalaman inderawi dan penggunaan panca indera kita. Akal budi mendapat tugas untuk
mengolah bahan bahan yang di peroleh dari pengalaman; (6) Empirisme sebagai filsafat
pengalaman, mengakui bahwa pengalaman sebagai satu-satunya sumber pengetahuan.
Salah satu tokoh empirisme yang terkenal pada abad ke 17 adalah David Hume
(1711-1776). Karya terpentingnya ialah an encuiry concercing humen understanding, terbit
tahun 1748 dan an encuiry into the principles of moral yang terbit tahun 1751 (Lacey,
2000:134). Pemikiran empirisnya terakumulasi dalam ungkapannya yang singkat yaitu I
never catch my self at any time with out a perception (saya selalu memiliki persepsi pada
setiap pengalaman saya). Dari ungkapan ini Hume menyampaikan bahwa seluruh pemikiran
dan pengalaman tersusun dari rangkaian-rangkaian kesan (impression). Pemikiran ini lebih
maju selangkah dalam merumuskan bagaimana sesuatu pengetahuan terangkai dari
pengalaman, yaitu melalui suatu institusi dalam diri manusia (impression, atau kesan yang
disistematiskan) dan kemudian menjadi pengetahuan. Di samping itu pemikiran Hume ini
merupakan usaha analisis agar empirisme dapat di rasionalkan teutama dalam pemunculan
ilmu pengetahuan yang di dasarkan pada pengamatan (observasi) dan uji coba
(eksperimentasi), kemudian menimbulkan kesan, pengertian-pengertian dan akhirnya
pengetahuan.
Usaha manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak dan pasti telah
berlangsung secara terus menerus. Namun, terdapat sebuah tradisi epistemologis yang kuat
untuk mendasarkan diri kepada pengalaman manusia yang meninggalkan cita-cita untuk
mendapatkan pengetahuan yang mutlak dan pasti tersebut, salah satunya adalah empirisme.

g. Rasionalisme
Dalam sejarah pemikiran filsafat, datangnya abad 17 ditengarai sebagai datangnya
abad ‘kelahiran kembali nalar (ratio, reason) manusia’, yang dalam istilah asingnya dikenal
dengan istilah the age of renaissance. Dikatakan demikian karena pada dan sejak masa itulah
muncul paham filsafat yang disebut ‘rasionalisme’. Rasionalisme – yang tak bisa dilepaskan
dari asosiasinya dengan paradigma Galillean – adalah suatu paham yang menyatakan dengan
penuh keyakinan bahwa alam gagasan dan kemampuan manusia mengembangkan potensi
pikirannya dan bukan tradisi dan kepercayaan yang diikuti secara membuta – itulah yang
harus dipercaya sebagai sumber pengetahuan manusia tentang dunia berikut isinya.
Walaupun paham ini sebenarnya sudah pernah juga diutarakan oleh beberapa ahli
filsafat pada jaman Yunani kuno, seperti Pythagoras misalnya, namun rasionalisme yang
lebih mutakhir umumnya diasosiasikan dengan nama-nama ahli pikir yang hidup pada abad
17. Mereka ini antara lain (dalam, Bagus: 2000: 929) René Descartes (1596-1650) dari
Perancis, Baruch
Spinoza (1632- 1677) dari Belanda, dan Gottfried Wilhelm Leibniz (16461716) dari
Jerman. Ketiganya sama-sama berparadigma bahwa pengetahuan yang sejati tentang alam
semesta ini hanya dapat diperoleh (pertama-tama!) lewat penalaran yang dituntun oleh logika.
Dengan paham rasionalismenya itu, ketiganya sama-sama pula bereaksi terhadap tradisi
pemikiran para penguasa yang selalu mendasarkan kebenaran pengetahuan pada otoritas para
pemuka berikut tradisi-tradisi ajaran gereja yang selama ini mereka anut tanpa reserve macam
apapun. Sedangkan pada abad ke-18 nama-nama seperti Voltaire, Diderot dan D’Alembert
adalah para pengusungnya.
Secara etimologis rasionalisme berasal dari kata bahasa Inggris rationalism. Kata ini
berakar dari kata bahasa Latin ratio yang berarti “akal”. A.R. Lacey menambahkan bahwa
berdasarkan akar katanya rasionalisme adalah sebuah pandangan yang berpegangan bahwa
akal merupakan sumber bagi pengetahuan dan pembenaran. Sementara itu, secara
terminologis aliran ini dipandang sebagai aliran yang berpegang pada prinsip bahwa akal
harus diberi peranan utama dalam penjelasan. Ia menekankan akal budi (rasio) sebagai
sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas, dan bebas (terlepas) dari
pengamatan inderawi. Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akal yang memenuhi
syarat semua pengetahuan ilmiah. Pengalaman hanya dipakai untuk mempertegas
pengetahuan yang diperoleh akal. Akal tidak memerlukan pengalaman. Akal dapat
menurunkan kebenaran dari dirinya sendiri, yaitu atas dasar asas-asas pertama yang pasti
(Bagus (2000:929), Edwards (1967:69), Hadiwijoyono (1980:18), Lacey (2000:286))
Rasionalisme tidak mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman hanya
dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Karenanya, aliran ini yakin bahwa
kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide, dan bukannya di dalam barang sesuatu. Jika
kebenaran bermakna sebagai mempunyai ide yang sesuai dengan atau yang menunjuk kepada
kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh
dengan akal saja.
Kaum rasionalisme mulai dengan sebuah pernyataan yang sudah pasti. Aksioma dasar
yang dipakai membangun sistem pemikirannya diturunkan dari ide yang menurut
anggapannya adalah jelas, tegas dan pasti dalam pikiran manusia. Pikiran manusia
mempunyai kemampuan untuk mengetahui ide tersebut, namun manusia tidak
menciptakannya, maupun tidak mempelajari lewat pengalaman. Ide tersebut kiranya sudah
ada “di sana” sebagai bagian dari kenyataan dasar dan pikiran manusia. Dalam pengertian ini
pikiran menalar. Kaum rasionalis berdalil bahwa karena pikiran dapat memahami prinsip,
maka prinsip itu harus ada, artinya prinsip harus benar dan nyata. Jika prinsip itu tidak ada,
orang tidak mungkin akan dapat menggambarkannya. Prinsip dianggap sebagai sesuatu yang
apriori, dan karenanya prinsip tidak dikembangkan dari pengalaman, bahkan sebaliknya
pengalaman hanya dapat dimengerti bila ditinjau dari prinsip tersebut (Suriasumantri;
1998:99)
Salah satu tokoh rasionalisme adalah René Descartes. René Descartes mengajukan
argumentasi yang kukuh untuk pendekatan rasional terhadap pengetahuan. Kristalisasi dari
kepastian Descartes diekspresikan dengan diktumnya yang cukup terkenal, “cogito, ergo
sum”, aku berpikir maka aku ada, (Descartes; 1953:26). Beberapa catatan ditambahkan oleh
Gallagher dan Hadi (1994:33-34) tentang maksud dari cogito, ergo sum ini. Pertama, isi dari
cogito yakni apa yang dinyatakan kepadanya adalah melulu dirinya yang berpikir. Yang
termaktub di dalamnya adalah cogito, ergo sum cogitans. Saya berpikir, maka saya adalah
pengada yang berpikir, yaitu eksistensi dari akal, sebuah substansi dasar. Kedua, cogito
bukanlah sesuatu yang dicapai melalui proses penyimpulan, dan ergo bukanlah ergo
silogisme. Yang dimaksud Descartes adalah bahwa eksistensi personal saya yang penuh
diberikan kepada saya di dalam kegiatan meragukan. Lebih jauh, menurut Descartes, apa
yang jernih dan terpilah-pilah itu tidak mungkin berasal dari luar diri kita.
Descartes memberi contoh lilin yang apabila dipanaskan mencair dan berubah
bentuknya. Apa yang membuat pemahaman kita bahwa apa yang nampak sebelum dan
sesudah mencair adalah lilin yang sama? Mengapa setelah penampakan berubah kita tetap
mengatakan bahwa itu lilin? Jawaban Descartes adalah karena akal kita yang mampu
menangkap ide secara jernih dan gamblang tanpa terpengaruh oleh gejala-gejala yang
ditampilkan lilin. Oleh karena penampakan dari luar tidak dapat dipercaya maka seseorang
mesti mencari kebenaran-kebenaran dalam dirinya sendiri yang bersifat pasti. Ide-ide yang
bersifat pasti dipertentangkan dengan ide-ide yang berasal dari luar yang bersifat
menyesatkan.

h. Nominalisme
Nominalisme dalam filsafat matematika adalah pandangan yang menolak eksistensi
objek matematika sebagai entitas independen yang memiliki realitas ontologis. Sebaliknya,
nominalisme berpendapat bahwa konsep-konsep matematika seperti angka, himpunan, dan
struktur matematika lainnya hanyalah konstruksi atau simbol-simbol mental yang digunakan
manusia untuk menggambarkan dan memodelkan fenomena yang ada di dunia nyata.
Paham ini menyangkal bahwa entitas matematika seperti angka atau himpunan
memiliki keberadaan nyata sama sekali di luar pemikiran manusia. Mereka hanya dianggap
sebagai simbol-simbol yang praktis untuk keperluan komunikasi dan penalaran. Dalam
pandangan ini, terdapat pengakuan terhadap kegunaan konsep-konsep matematika dalam
pemikiran dan aplikasi praktis, namun tidak dianggap sebagai entitas yang eksis secara
independen. Konsep-konsep ini lebih dilihat sebagai alat bantu mental untuk memahami
dunia. Perspektif ini mengarah pada gagasan bahwa objek matematika hanya ada sebagai
hasil konstruksi dari aktivitas berpikir manusia. Ini sering terkait dengan pemikiran bahwa
matematika lebih merupakan permainan bahasa dan simbol-simbol daripada representasi
realitas yang independen.

i. Konstruitivisme
Konstruktivisme dalam konteks filsafat matematika mengacu pada pendekatan
epistemologis di mana kebenaran matematika dipandang sebagai hasil dari konstruksi mental
manusia, bukan sebagai entitas yang ada di luar pemikiran manusia secara independen.
Berikut adalah beberapa poin penjelasan mengenai aliran filsafat matematika
konstruktivisme:
Menurut konstruktivisme, kebenaran matematika tidak hanya ditemukan, tetapi lebih
sebagai hasil dari proses konstruksi berpikir manusia. Ini berarti bahwa matematika tidak
sepenuhnya objektif atau eksis di alam semesta secara independen.
Konstruktivisme menekankan peran subjektifitas dalam proses matematika. Artinya,
pemahaman matematika seseorang bergantung pada konstruksi mentalnya sendiri,
pengalaman, dan pemikirannya. Aliran ini cenderung menolak ide kebenaran matematika
yang bersifat absolut dan tidak berubah sepanjang waktu. Mereka lebih menganggap
kebenaran matematika sebagai sesuatu yang terus berkembang seiring dengan konstruksi dan
pemikiran manusia. Dalam konstruktivisme, prosedur atau metode konstruktif menjadi fokus
utama. Cara kita membangun bukti matematika, algoritma, dan konsep-konsep lainnya
menjadi lebih penting daripada hanya mendefinisikan sesuatu sebagai benar atau salah.
Konstruktivisme sering kali mengkritik pandangan realisme matematika tradisional yang
menyatakan bahwa kebenaran matematika adalah sesuatu yang ada secara independen di
alam semesta dan dapat ditemukan tanpa melibatkan proses konstruksi manusia.

C. Cabang Ilmu Matematika


 Platonisme
Teori Himpunan: Matematika himpunan, yang dipelopori oleh Georg Cantor,
merupakan cabang matematika yang mempelajari konsep himpunan, relasi antar himpunan,
dan operasi-operasi pada himpunan. Dalam pandangan platonisme, himpunan-himpunan ini
dianggap sebagai entitas matematika yang memiliki keberadaan yang independen.
Teori Bilangan: Cabang matematika yang mempelajari sifat-sifat bilangan, operasi
aritmetika, dan struktur bilangan lainnya. Dalam platonisme, bilangan-bilangan ini dianggap
sebagai objek matematika yang abadi dan universal, tidak bergantung pada interpretasi
manusia.
Geometri: Bidang matematika yang mempelajari sifat-sifat ruang dan bentuk. Dalam
konteks platonisme, objek geometri seperti lingkaran, segitiga, dan bentuk-bentuk lainnya
dianggap sebagai entitas matematika yang memiliki keberadaan yang tetap dan independen.
Teori Graf: Cabang matematika yang mempelajari struktur graf atau jaringan. Dalam
pandangan platonisme, graf-graf ini dianggap sebagai objek matematika yang eksis secara
abadi dan universal, terlepas dari pemikiran manusia.

 Absolutisme
Aljabar Abstrak: Cabang ini mempelajari struktur aljabar secara abstrak, seperti grup,
cincin, dan medan. Absolutisme matematika mendukung pandangan bahwa entitas
matematika ini memiliki eksistensi yang konkret dan independen di luar pemikiran manusia.
Analisis Matematika: Dalam analisis matematika, terdapat penelitian mendalam
terhadap fungsi, turunan, integral, dan konsep-konsep matematika lainnya yang berkaitan
dengan perhitungan dan perubahan. Absolutisme matematika mendukung kepercayaan pada
eksistensi objektif dari konsep-konsep ini.
Geometri
Teori Himpunan
Logika Matematika

 Logisisme
Teori bilangan: Dalam logisisme, teori bilangan dan struktur-struktur matematika
lainnya dijabarkan secara formal dengan menggunakan prinsip-prinsip logika.
Teori model: Ini adalah bidang yang mempelajari struktur-struktur matematika yang
memenuhi suatu teori atau aksioma tertentu. Logisisme membantu dalam analisis formal
terhadap teori model untuk memahami sifat-sifat matematika yang terkandung di dalamnya.
Teori bahasa matematika: Logisisme juga mencakup studi tentang bahasa formal yang
digunakan dalam matematika dan bagaimana bahasa tersebut dapat diekspresikan dengan
cara yang logis dan konsisten.
Teori Himpunan
Logika Matematika

 Intuisionisme
Teori Bilangan Intuisionis: Intuisionisme memiliki pandangan yang khas terhadap
konsep bilangan dan teori bilangan. Menurut intuisionisme, bilangan-bilangan matematika
bukanlah entitas yang ada secara independen, melainkan konstruksi mental yang muncul dari
pengalaman intuisi subjektif. Oleh karena itu, intuisionisme memperkenalkan pendekatan
yang berbeda dalam hal pembuktian keberadaan bilangan matematika tertentu.
Teori Himpunan Intuisionis: Intuisionisme juga memiliki pandangan yang khas
terhadap teori himpunan. Menurut intuisionisme, himpunan-himpunan matematika hanya
dapat dibangun melalui proses konstruksi yang dapat diamati secara langsung atau melalui
intuisi. Hal ini berbeda dengan pendekatan dalam teori himpunan pada matematika klasik
yang memperbolehkan konsep himpunan yang mungkin tidak dapat diperoleh secara
langsung melalui proses konstruksi.
Pembuktian Intuisionis: Intuisionisme menekankan pentingnya konstruksi konstruktif
dalam pembuktian matematika. Ini berarti bahwa sebuah teorema hanya dianggap benar jika
ada konstruksi yang efektif yang menghasilkan objek matematika yang dinyatakan dalam
teorema tersebut. Pendekatan ini bertentangan dengan logika klasik yang mengizinkan
pembuktian dengan cara reductio ad absurdum atau hukum eksklusi ketiga.

 Formalisme
Teori Himpunan, Teori Graf, Teori Model, Teori Bilangan, Teori Bahasa Matematika.

 Empirisme
Statistika dan Probabilitas: Cabang ini mempelajari pengumpulan, analisis,
interpretasi, dan presentasi data empiris. Teori probabilitas digunakan untuk mengukur dan
menggambarkan ketidakpastian dalam fenomena alam atau kejadian acak berdasarkan data
empiris yang dikumpulkan.
Metode Numerik: Ilmu ini berkaitan dengan pengembangan dan penerapan algoritma
numerik untuk menyelesaikan masalah matematika yang melibatkan perhitungan dan
representasi data numerik. Metode numerik didasarkan pada pengamatan dan eksperimen
numerik untuk mendapatkan solusi yang mendekati nilai sebenarnya.
Analisis Data: Cabang ini melibatkan teknik-teknik untuk mengolah, menganalisis,
dan menafsirkan data empiris. Analisis data dapat meliputi penggunaan statistika deskriptif,
inferensial, regresi, dan teknik-teknik lainnya untuk memahami pola-pola dan hubungan
dalam data empiris.
Ilmu Komputer: Dalam konteks empirisme, ilmu komputer digunakan untuk
mendukung pengolahan dan analisis data empiris yang besar dan kompleks. Pengembangan
algoritma, analisis data besar (big data), kecerdasan buatan (AI), dan pemodelan
komputasional merupakan bidang-bidang yang terkait dengan ilmu komputer dalam aliran
empirisme matematika.
 Rasionalisme
Matematika Rasionalis: Matematika Rasionalis adalah cabang matematika yang
berfokus pada pemahaman dan penggunaan akal budi, pemikiran rasional, dan deduksi logis
untuk memahami struktur dan hubungan matematika. Dalam aliran filsafat matematika
rasionalisme, matematika dipandang sebagai bagian dari pengetahuan yang didasarkan pada
pemikiran rasional dan bukan sekadar pengalaman empiris atau pengamatan dunia fisik.
 Nominalisme
Teori Kategori: Teori kategori adalah cabang matematika yang menyelidiki hubungan
antara struktur matematika berbeda melalui pemetaan dan komposisi. Dalam nominalisme,
teori kategori dapat dipelajari sebagai kerangka kerja formal untuk memahami struktur dan
relasi matematika tanpa harus menganggapnya sebagai entitas yang ada secara independen.
Logika: Dalam nominalisme, logika sering dilihat sebagai alat yang sangat penting
dalam memahami dan merumuskan konsep-konsep matematika sebagai simbol-simbol atau
aturan-aturan formal. Logika juga digunakan untuk mendiskusikan konsistensi dan validitas
dari pemikiran-pemikiran matematika.
 Kontstruktivisme
Geometri Konstruktif: Dalam geometri, konstruktivisme dapat mengarah pada
pendekatan yang lebih vokal terhadap konstruksi objek geometris dengan alat-alat yang
diperbolehkan secara konkret, seperti penggaris dan jangka sorong. Ini berbeda dengan
pendekatan aksiomatik yang mungkin lebih abstrak dalam penjelasan tentang hubungan dan
properti geometris.
Teori Bilangan Konstruktif: Dalam konteks teori bilangan, konstruktivisme dapat
menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana kita memahami konsep bilangan, operasi
aritmetika, dan struktur bilangan lainnya dari sudut pandang yang lebih konkrit dan
prosedural.
Teori Himpunan Konstruktif: Dalam konstruktivisme, pendekatan terhadap teori
himpunan bisa berbeda dari pendekatan klasik. Misalnya, teorema keberadaan himpunan
tertentu mungkin memerlukan pembuktian konstruktif yang menunjukkan langkah-langkah
konkret untuk membangun himpunan tersebut, bukan hanya eksistensinya secara abstrak.
Analisis Konstruktif: Dalam analisis matematika, konstruktivisme dapat
mempengaruhi cara kita memahami konsep-konsep seperti bilangan riil, fungsi kontinu, dan
limit. Pendekatan konstruktif mungkin menekankan pembuktian yang konkrit dan
membangun objek matematika secara bertahap.

DAFTAR PUSTAKA

Azmi, S. (2023). Filsafat Intuisionisme dalam Pembelajaran Matematika . Journal of


Education, 1674-1786.
Prabowo, A. (2009). ALIRAN ALIRAN FILSAFAT DALAM MATEMATIKA. 25-45.
Sinaga, P. T. (2021). Perkembangan Matematika Dalam Filsafat dan Aliran. Journal of
Mathematics Education and Applied, 17-22.

Anda mungkin juga menyukai