Anda di halaman 1dari 21

LOGISISME, FORMALISME, DAN INTUISIONISME

DALAM FILSAFAT MATEMATIKA

A. LOGISISME

Logisisme memandang bahwa matematika bersifat analitik. Beberapa


tokoh menyakini sekurang – kurangnya bagian dalam matematika dapat
direduksi dengan logika. Gagasannya yaitu bahwa konsep- konsep, objek-
objek dalam matematika dapat diperoleh dari prinsip logika. Sehingga
pandangan ini disebut logisime. Tokoh yang menganut paham logisisme
contohnya adalah, Gottlob Frege.

a. Gottlob Frege.

Suatu pernyataan bersifat analitik jika ia suatu hukum logika umum


atau definisi, atau jika ia mempunyai bukti yang bersandar pada hukum
hukum logika dan definisi definisi demikian. Frege menganut pandangan
bahwa untuk setiap pernyataan tentang bilangan –bilangan asli atau bilangan
–bilangan real ,pernyataan itu atau negasinya bersifat dapat diketahuai. Dia
juga memandang bahwa pernyataan – pernyataan dalam matematika
memiliki nilai- nilai kebenaran yang objektif. Prinsip huge dalam frege
berbunyi : untuk sebaran konsep- konsep hanya jika F,G bilangan dari F
adalah identik dengan bilangan dari G jika dan hanya jika F dan G adalah
sama banyak. Frege menunjukan bangaimana pronsip Huge disimpulkan
dari definisi – definisi dan beberapa ciri umum ekstensi- ekstensi. Dalam
teorema Frege ini melengkapi penurunan aritmatika, dan pengkuhan
logisisme untuk bilangan- bilangan asli dengan syarat bahwa defini tersebut
adalah benar. Berdasarkan asumsi ini frege berhasil menunjukan bahwa
aritmatika bersifat analitik. Logisisme bersifat non- starter , bagi Frege
bilangan- bilangan asli ada sebagai objek- objek yang independen.
Frege tidak memperluas logisisme dalam geometri. Prinsip – prinsip
geometri Euclid bersifat sintetik apriori. Frege meyakini bahwa geometri
memiliki suatu bidangan kajian non universal yang khusus ruang.

b. Bertrand Russell

Rusell memandang bahwa penjelasan Frege tentang bilangan-


bilangan asli pada substansinya sudah benar.Untuk melihat paradoks
Russsell diperoleh kita harus terlebih dahulu melihat bahwa beberapa
konsep berlaku pada himpunan – himpunan ,dan ekstensi- ekstensi dari
konsep- konsep itu adalah himpunan – himpunan yang memuat himpunan –
himpunan sebagai elemen-elemennya. Paradoks russell dapat di anggapkan
timbul ari asumsi bahwa jika kita mungkin mengumpulkan beberapa objek-
objek itu sudah ada.
Bertrand Russel berhasil memperlihatkan bahwa dua buah klaim
aliran logisisme berikut dapat diselesikan dengan logika (Sukardjono, 2000)
yaitu (1) seluruh konsep matematika secara mutlak dapat direduksi ke dalam
konsep logika, tercakup dalam konsep teori himpunan atau beberapa sistem
yang kekuatannya sama, seperti Teori Type dan (2) seluruh kebenaran
matematika dapat dibuktikan dari aksioma dan aturan-aturan inferensi
dalam logika.
c. Carnap dan Positivisme Logis
Aliran positivisme logis bertolak pada kesuksesan spektakuler sain-
sain alam dan perkembangan logika matematis. Mill memandang bahwa
kebenaran-kebenaran matematika diketahui secara empirik dengan
generalisasi pada pengalaman. Oleh karena itu matematika bersifat sintetik
dan aposteriori, Disisi lain positiv logis tertarik dengan tesis dari logisisme
bahwa kebenaran-kebenaran ari matematika bersifat analitik dan dengan
demikian apriori. Pengathuan apriori adalh pengtahuan tentang bahsa.
Michael Dummet menyebut pendekatan ini dengan istilah ‘peralihan
linguistik’ dalam filsafat. Frege meyakini bahwa bilangan- bilangan itu ada,
secara mesti, lepas dari matematikawan sedangkan Russel memandang
bahwa bilangan- bilangan tidak ada

Tidak seperti Mill, Carnap dan para positivis logis lain memandang bahwa
kebenaran- kebenaran dari matematika tidak ditentukan oleh pengalaman.
Kebenaran – kebenaran matematis bersifat apriori, berlaku tanpa
mempersoalkan pengalaman apa yang mungkin kita miliki. Para positivis
logis memandang bahwa suatu pernyataan bersifat sintetik atau memiliki
muatan faktual, hanya jika kebenaran atau kesalahannya ditentukan oleh
fakta- fakta pengalam, suatu pernyataan adalah analitik bila validitasnya
hanya tergantung pada dafinisi- definisi dari simbol- simbol yang
dikandungnya.

d. Neo-Logisisme

Variasi- variasi pendekatan Frege untuk matematika diupayakan


dengan penuh semangat. Pada masa sekarang ini dalam garapan Crispin
Wright, diawali dengan Frege’s Conception of numbers as objects (1983)
dan tokoh- tokoh lain seperti Bob Hale (1987) dan Neil Tennant (1997),
definisakan neo logisis sebagai orag mempertahankan dua tesis berikut ini :
(1) suatu inti yang signifikan dari kebenaran-kebenaran matematis dapat
dikethui apriori ,dengan turunan dari aturan- aturan yang bersifat
analitikatau konstitutif-makna dan (2) matematika ini berkaitan dengan
suatu real objek- objek ideal, yang dalam suatu segi bersifat objektif atau
tidak terikat oleh pikiran . Neo logisi menarik mereka yang bersimpati pada
pandangan tradisional matematika sebagai kumpulan kebenaran- kebenaran
objektif yang apriori tetapi khawatir tentang permasalahan epistemologi
baru yang dihadapi realisme dalam ontologi
B. INTUISIONISME DAN FORMALISME
1) INTUISIONISME
Secara bahasa, intuisionisme berasal dari bahasa Latin yaitu
intuitio yang berarti pemandangan. Sedangkan ahli yang lain
mengatakan bahwa intuisionisme, berasal dari perkataan Inggris
yaitu intuition yang bermakna gerak hati atau disebut hati nurani.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, intuisi diartikan
dengan bisikan hati, gerak hati atau daya batin untuk mengerti atau
mengetahui sesuatu tidak dengan berpikir atau belajar.Perbedaannya
dengan firasat atau feeling, kata intuisi lebih banyak digunakan untuk
hal-hal yang bersifat metafisika atau di luar jangkauan rasio, biasanya
dipakai untuk menyebut indera keenam. 
Dalam bahasa Inggris Intuisionisme berasal kata Intuiton yang
berarti manusia memliki gerak hati atau disebut hati nurani. Gerak hati
mampu membuat manusia melihat suatu perkara benar atau salah, jahat
atau baik. Intuisionisme juga merupakan suatu prosesmelihat dan
memahami secara spontan dan intelek. Organ fiskal yang berkaitan
dengan gerak hati atau intuisi tidak diketahui secara jelas. Namun,
setengah ahli filsafat menyebutkan jantung dan otak kanan sebagai
organ fiskal yang menggerakan intuisi.
Gerak hati yang tidak mampu dijangkau oleh akal yaitu
pengalaman emosional dan spiritual. Menurut Immanuel Kant, akal
tidak pernah mampu mencapai pengetahuan langsung tentang sesuatu
perkara. Akal hanya mampu berpikir perkara yang dilihat terus
(fenomena) tetapi hati mampu menafsir suatu perkara dengan tidak
terhalang oleh perkara apapun tanpa ada jarak antara subjek dan objek.
Menurut aliran ini, pada dasar yang paling dalam terletak intuisi
primitif, bersekutu dan bekerja sama dengan akal duniawi manusia,
yang memungkinkan manusia mengangankan suatu obyek tunggal,
kemudian satu lagi, satu lagi dan seterusnya tak berakhir. Dengan cara
ini diperoleh barisan tak berakhir, yang dikenal dengan barisan
bilangan alam. Dengan menggunakan dasar intuitif bilangan asli ini,
sebarang obyek matematika harus dibangun dengan cara konstruktif
murni, dengan menggunakan operasi dan langkah-langkah yang
banyaknya berhingga.
Bagi kaum Intuisionis, suatu himpunan tak boleh dipikirkan
sebagai koleksi yang telah siap jadi, akan tetapi harus dipandang
sebagai hukum yang elemen-elemennya dapat atau harus dikonstruksi
selangkah demi selangkah. Konsep himpunan seperti ini dapat
membebaskan matematika dari kemungkinan terjadinya kontradiksi,
seperti munculnya kontradiksi pada pernyataan ”himpunan semua
himpunan”. Kaum Intuisionis juga menolak pendapat aliran formalisme
bahwa hukum excluded midle dan hukum kontradiksi adalah ekuivalen.

1. Merevisi Logika Klasik


Filsafat-filsafat intuisionisme menuntutkan revisi-revisi
bagi matematika yang ada ketika itu, dan juga matematika masa
kini. Objek utama dari revisi-revisi tersebut adalah law of excluded
middle (LEM), yang kadang-kadang juga disebut law of excluded
third dan tertium non Fatur (TND). Misalkanøsuatu pernyataan.
Maka contoh excluded middle yang berkorespondensi dengan
pernyataan itu adalah pernyataan bahwa ø atau tidak -ø , atau
dalam simbol-simbol øv-ø. Di dalam semanti, prinsip bivalensi,
yang terkait erat dengan hukum tersebut, menyebutkan bahwa
setiap pernyataan adalah benar atau salah, dan dengan begitu hanya
terdapat dua kemungkinan untuk nilai kebenaran.

2. Tokoh-tokoh Intuisionisme

A. Luitzen Egbartus Jan Brouwer (1881-1966)

Brouwer lahir pada tanggal 27 februari 1881 di kota


Overschie, Belanda. Selama berkuliah di Univeristy of
Amsterdam, Brouwer belajar tentang matematika dan fisika.
Dalam berfilsafat, Brouwer banyak terpengaruh oleh
gurunya, Diederik Korteweg dan Gerrit Mannoury. Karya
pertama Brouwer adalah "Perubahan Pada Ruang Empat
Dimensi" dibawah bimbingan Korteweg.

Menurut Brouwer, dasar dari Intuisionisme


adalah pikiran. Namun, pemikiran-pemikiran yang
dicetuskannya banyak dipengaruhi oleh pandangan Immanuel
Kant.Matematikaa didefinisaikan oleh Brouwer sebagai aktivitas
berfikir secara bebas, namun matematikaadalah suatu aktivitas
yang ditemukan dari intusi pada saat tertentu. Pandangan
intuisionisme adalah tidak ada realisme terhadap objek dan tidak
ada bahasa yang menghubungi sehingga boleh dikatakan tidak
ada penentu kebenaran matematika di luar aktivitas
berpikir. Proposisi hanya berlaku ketika subjek dapat dibuktikan
kebenarannya. 

Seperti Kant, Brower mencoba untuk mengadakan suatu


sintesis antara realisme dan empirisme. Dia pun menyuarakan
tema utama dari Kant bahwa manusia bukan pengamat pasif di
alam, melainkan berperan aktif dalam mengorganisasikan
pengalaman.KeKesimpulannya, Brouwer mengungkapkan
bahwa tiada kebenaran tanpa dilakukan pembuktian.

B. Arend Heyting (1898-1980)

Arend Heyting lahir pada 9 Mei 1898 di


kota Amsterdam, Belanda. Arend Heyting dalah murid Brouwer
yang berpengaruh besar terhadap perkembangan
intuisionisme filsafat matematika. Heyting membangunkan
sebuah formula logika intuisionisme yang sangat tepat. Sistem
ini dinamakan "Predikat Kalkulus Heyting". Heyting
menegaskan bahwa metafisika adalah pokok dalam
kebenaran realisme logika klasik. Bahasa matematika klasik
adalah pengertian faktor-faktor objektif sebagai syarat-syarat
kebenaran yang terbaik.
Heyting menemukan bukti dalam pandangan Brouwer
tentang kelaziman alat mental serta
pemacu bahasa dan logika. Dalam bukunya
berjudul Intuitionism tahun 1956, Heyting mengungkankan
bahwa pendapat Bouwer yaitu bahasa adalah media tidak
sempurna untuk membincangkan matematika. Sistem utamanya
adalah dirinya sendiri sebagai peraturan pemacu matematika,
tetapi tidak diyakini sistem utama pemacu matematika
menggambarkan secara kuat penguasaan pemikiran
matematika. Heyting menegaskan logika bergantung
pada matematika bukan yang lain.
Heyting mempunyai andil dalam pandangan Brouwer
mengenai kelaziman kontruksi mental dan down playing bahasa
dan logika. Dalam buku “Intuitionism” (1956: 5) dia
mengemukakan pendapat Brouwer, bahasa adalah media tidak
sempurna untuk mengkomunikasikan konstruksi nyata
matematika. System formalnya adalah dirinya sendiri sebagai
sebuah legitimasi konstruksi matematika, tetapi satu yang tidak
diyakini system formal menggambarkan secara utuh domain
pemikiran matematika. Pada suatu penemuan metode baru
memungkinkan kita untuk memperluas system formal. Heyting
menegaskan logika bergantung pada matematika bukan pada
yang lain. Oleh karena itu, Heyting tidak bermaksud
pekerjaannya pada logika untuk menyusun pertimbangan
intuisionistik.
C. Sir Michael Anthony Eardley Dummet (1925-2011)
Sir Michael Anthony Eardley Dummett lahir pada
tanggal 27 Juni 1925 di kota London, Inggris, adalah
seorang filsuf Inggris yang sangat berpengaruh dalam
filsafat bahasa, metafisika, logika, filosofi matematika, dan
sejarah filsafat analitik.
Brouwer dan Heyting mengatakan bahwa bahasa
merupakan media tidak sempurna untuk membicarakan
pembinaan mental matematika, dan logika berkaitan bentuk
yang berlaku dalam penyebaran media ini dan menjadi tumpuan
langsung pada bahasa dan logika.  Sebaliknya, pendekatan
utama Dummet adalah bahwa matematika dan logika adalah
bahasa dari awal.
Filsafat Dummett lebih mementingkan pada
logika intuisionik daripada matematika itu sendiri. Pendapatnya
sama dengan Brouwer tetapi tidak sama seperti Heyting.
Dummett tidak memiliki orientasi memilih. Dummett
mengeksplorasi matematika klasik dengan menggunakan
pemikiran yang tidak memperakui pada satu jalan peraturan
penguraian pernyataan alternatifnya. Ia mengusulkan beberapa
pertimbangan mengenai logika adalah benar yang pada akhirnya
harus tergantung pada arti pertanyaan. Ia juga mengambil
pandangan yang diperoleh secara luas, yang kemudian disebut
sebagai terminologi logika.
3. Kritik dan Kelemahan Aliran Intuisionisme
Intusionis mengklaim bahwa matematika berasal dan
berkembang di dalam pikiran manusia. Ketepatan dalil-dalil
matematika tidak terletak pada simbol-simbol di atas kertas, tetapi
terletak dalam akal pikiran manusia. Hukum-hukum matematika
tidak ditemukan melalui pengamatan terhadap alam, tetapi
Matematika ditemukan dalam pikiran manusia.
Keberatan terhadap aliran ini adalah bahwa pandangan
kaum intuisionis tidak memberikan gambaran yang jelas
bagaimana matematika sebagai pengetahuan intuitif bekerja
dalam pikiran. Konsep-konsep mental seperti cinta dan benci
berbeda-beda antara manusia yang satu dengan yang lain. Apakah
realistis bila menganggap bahwa manusia dapat berbagi
pandangan intuitif tentang matematika secara persis sama.
Apa yang diketahui secara intuitif bagi seseorang belum
tentu sama bagi orang lain. Artinya cara seseorang mendapatkan
pengetahuan yang pasti itu, tidak atau belum tentu berlaku bagi
orang lain.
Pengetahuan intuisi ini kebenarannya sulit diukur. Karena
berasal dari lapisan hati nurani seseorang yang terdalam. Benar
tidaknya sangat tergantung kepada keyakinan orang tersebut. Oleh
karenanya sulit diterangkan kepada orang lain. Orang lain
maksimum hanya bisa meniru perilakunya yang dianggap sesuai
dengan hati nuraninya sendiri. Pengetahuan ini tergolong
pengetahuan langsung. Tetapi tidak setiap orang mempunyai
pengalaman yang sama.

2) FORMALISME
Berbagai filsafat yang berangkat dengan nama ‘formalisme’
mengklaim bahwa esensi dari matematika adalah manipulasi karakter-
karakter. Suatu daftar karakter-karakter dan aturan-aturan yang
dibolehkan memeras apa yang dihendaknya dikatakan tentang suatu
cabang matematika tertentu. Berdasarkan pandangan para formalis,
maka, matematika bukanlah, atau tidak seharusnya menjadi, tentang
sesuatu, atau sesuatu diluar karakter-karakter tipografis dan aturan-
aturan untuk memanipulasi karakter-karakter tipografis itu.

Formalisme memiliki silsilah lebih baik diantara para


matematikawan daripada diantara para filsuf matematika. Disepanjang
sejarah, para matematikawan telah memperkenalkan simbol-simbol
yang , pada masanya,tampak tidak memiliki interpretasi yang jelas.
Nama-nama seperti ‘bilangan negatif’, ‘bilangan irrasional’, ‘bilangan
transendental’, ‘bilangan imajiner’,dan ’ titik ideal pada intinitas’
menunjukkan suatu ambivalensi. Seorang matematikawan menyatakan
bahwa simbol-simbol untuk bilangan-bilangan kompleks, misalnya,
hendaknya dimanipulasi berdasarkan (sebagian besar) aturan-aturan
yang sama seperti untuk bilangan-bilangan real, dan itulah saja yang
tersedia baginya.

Namun demikian, para matematikawan sendiri tidak selalu


membangun posisi-posisi filosofis mereka secara dalam. Salah satu
penjelasan paling terperinci tentang versi-versi pokok dari formalisme
terdapat dalam kritik teliti yang diajukan oleh Gottlob Frege (1893: 86-
137). Berikut ini pembahasa ringkasnya.

1. Pandangan-pandangan Pokok dalam Formalisme


a. Formalisme Istilah
Formalisme Istilah adalah pandangan bahwa matematika
hanya tentang karakter-karakter atau simbol-simbol sitem-sistem
angka dan bentuk-bentuk linguistiki lainnya. Berdasarkan
formalisme istilah, oleh karena itu matematika memiliki bidang
kajian, dan pernyataan-pernyataan matematis bersifat benar atau
salah. Pandangan ini menawarkan jawaban-jawaban sederhana
bagi masalah-masalah metafisik dan epistomologis dalam
matematika yang (tampaknya) sukar. Bagaimana matematika
diketahui? Apakah yang disebut dengan matematis? Ia adalah
pengetahuan bagaimana karakter-karakter itu berkaitan satu
sama lain, dan bagaimana mereka hendaknya dimanipulasi
dalam praktek matematis.
Perhatikan persamaan yang mungkin paling sedehana ini.
0=0
Seorang formalis istilah mungklin memaknai bahwa persamaan
tadi menyatakan dua cetak tinta itu memiliki bentuk yang sama.
Namun ini tampak mensyaratkan eksistensi entitas-entitas yang
disebut ‘bentuk-bentuk’. Saat mendiskusikan item-item
linguistik seperti huruf-huruf, kalimat-kalimat, para filsuf
kontenpoler mengadakan perbedaan istilah types dan tokens.
‘Token’ adalah objek fisik yang terbuat dari tinta, pensil,
goresan kapur,dan sebagainya. Sebagai objek-objek fisik, token-
token itu dapat diciptakan dan dihancurkan semau kita. ‘Type’
adlah bentuk abstrak dari ‘token’. Kata ‘rentetan’ memiliki dua
kejadian (contoh) type ‘t’. Saat kita mengatakan bahwa abjad
romawi memiliki dua puluh enam huruf maka kita sedang benar
seandainya setiap token dari huruf ‘a’ misalnya, dihancurkan.
Dari perspektif ini, seorang formalisistilah mungkin menyatakan
bahwa matematika adalah tentang type-type. Oleh karena itu,
persamaan tadi merupakan sebuah contoh yang langsung dan
sederhana dari hukum identitas. Persamaan itu mengatakan
bahwa type ‘0’ adalah identik dengan dirinya sendiri.
Formalisme istilah pada tahap awal perkembangannya
dikedepankan (setidaknya untuk sementara) oleh dua
matematikawan, E. Heine dan Johannes Thomae, pada sekitar
peralihan abad ke-20. Heine (1872:173) mengemukaan, “saya
memberi nama bilangan-bilangan kepada tanda-tanda nyata
tertentu, sedemikian hingga ekstensidari bilangan-bilangan ini
tidak lagi dipertanyakan”. Thomae (1898: 1-11) menyebutkan “
sudut pandang formal membebaskan kita dari kesukaran-
kesukaran metafisik; inilah keunggulan yang diberikannya”
Frege (1893: 86-137) mengeluarkan komentar panjang dan
serangan keras terhadap pandangan-pandangan mereka.
Misalkan persamaan:
5+7=6+6
Seorang formalis istilah tidak boleh mengklaim bahwa dua
simbol itu mewakili bilangan yang sama, karena tesis
sentraldari formalisme istilah adalah bahwa kita tidak perlu
mempertimbangkan entitas-entitas ektralinguistik yang
barangkali ditunjukan oleh istilah-istilah tersebut. Apa yang
penting adalah karakter-karakter. Karakter-karakter mewakili
diri mereka sendiri. Dengan demikian, seorang formalis istilah
tidak dapat mengiterpretasikan tanta ‘=’ sebagai identitas.
Selanjutnya, untuk mewakili pihak formalisme istilah, Frage
mengusulkan supaya persamaan itu diinterpretasikan sebagai
bahwa dalam aritmatika, simbol ‘5+7’ dapat disubstitusikan
dimanapun untuk ‘6+6’ tanpa perubahan nilai kebenaran. Ini
berarti suatu kalimat yang berbentuk A=B mengatakan bahwa
simbol yang berkorespondensi dengan A bersifat dapat saling
tukar dengan simbol yang berkorespondensasi dengan B dalam
sebarang konteks matematis. Jadi, idendtitas ‘0=0’ tadi
menyatakan truisme bahwa type ‘0’ dapat disubstitusikan untuk
dirinya sendiri tanpa mengubah nilai kebenaran.
Formalisme istilah barangkali dapat diperluas ke bilangan-
bilangan bulat dan bilangan-bilangan rasional, tetapi apakah
bilangan-bilngan real itu? Kita tidak dapat mengidentifikasi
bilangan-bilangan real dengan nama-nama mereka, karena
sebagian besar bilangan real tidak memiliki nama. Seorang
formalis istilah mungkin berupaya untuk mengidentifikasi
bilangan real ∏ dengan huruf yunani ‘∏’ tetapi apa yang dapat
dikatakannya tentang bilangan-bilangan real yang tidak
bernama? Bagaimana dia memahami sesuatu pernyataan tentang
semua bilangan real? Upaya langsungnya yaitu dengan cara
mengidentifikasi ∏ dengan ekspansi desimalnya 3,14159...
namun demmikian, ekspansi tersebut adalah suatu objek
infiniter, dan bukan simbol linguistik. Formalis istilah tadi
mungkin mengedepankan suatu teori ‘limit-limit’ bagi desimal-
desimal berujung, dan mengidentifikasi ∏ dengan limit dari
simbol-simbol ‘3’,’3,1’,’3,14’,... namun demikian, jika rute ini
diikuti, sukarlah kita melihat nilai lebih dari formalisme istilah.
‘Limit’ dari simbol-simbol seperti itu tampak sanagat mirip
dengan pemahaman ∏ biasa sebagai limit dari bilangan-
bilangan rasional 3, 3,1 ,3,14 ,.. kita tampaknya kehilangan jati
diri formalisme.
Misalkan formalis istilah tadi berhasil memecahkan
persoalan diatas dan memunculkan sebuah wakil linguistik yang
layak untuk bilangan-bilangan real. Tetapipandangan ini hanya
menangkap kalkulatis matematis.

b. Formalisme permainan
Satu versi pokok lain dari formalisme mempersamakan
praktek matematika dengan suatu permainan yang dimainkan
dengan karakter-karakter linguistik. Seperti halnya, dalam
permainan catur, seorang bisa menggunakan bidak untuk
menguasai satu persegi sejarak satu langkah didepan dengan arah
diagonal, demikian pula dalam aritmatika seorang bisa menuliskan
‘x=10’ jika seorang telah sebelumnya memahami ‘x=8+2’.
Sebutlah ini formalitas permainan.
Versi-versi radikal dari pandangan ini menyatakan secara
langsung bahwa simbol-simbol dalam matematika tidak
bermakna.formula-formula dan kalimat-kalimat matematis tidak
mengungkapkan pernyataan-pernyataan yang benar atau salah
tentang sebarang bidang kajian. Pandangan disini yaitu bahwa
karakter-karakter matematis tidakmemiliki makna leih daripada
buah-buah permainan catur. ‘Muatan’ dari matematika terperas
habis oleh aturan-aturan untuk beroperasi dengan bahasanya. Versi-
versi yang lebih moderat dari formalisme permainan menakui
bahwa bahasa-bahasa matematika munkin memiliki suatu jenis
makna tertentu, tetapi jikapun demikian, makna ini tidak relavan
denan praktek matematika. Sepanjang bahwa yang diperhatikan
adalah matematikawan dalam kerjanya, maka simbol-simbol dari
bahasa matematis barangkali juga tidak bermakna.
Pada konteks formalisme permainan, frasa-frasa seperti
‘bahasa’ dan ‘simbol’adalah menyesatkan. Pada hampir sebarang
konteks lainnya, tujuan bahasa tetutama adalah untuk
berkomunikasi. Kita menggunakan bahasa untuk berbicara tentang
hal-hal , biasanya hal-hal selain dari bahasa itu sendiri. Pada
penggunaan lazimnya, suatu simbol melambangkan sesuatu. Kata
‘Amir’ mewakili seorang yaitu Amir. Jadi, seorang akan berfikir
bahwa angka ‘2’ mewakili bilangan ‘2’. Inilah yang diingkari atau
diaragukan, oleh seorang formalis permainan. Angka itu tidak
mewakili sesuatupun. Untuk matemtika, apa yang menjadi
persoalan adalah angka itu, dan peran angka itu dalam permainan
matematika.
Frage mengklaim bahwa salah satu dari tujuan logikanya
adalah untuk mengkodifikasikan inferensi yang benar. Untuk
menentukan signifikansi epistemik dari suatu derivasi, tidak boleh
terdapat kesenjangan dalam penalaran; semua premis harus dibuat
eksplisit. Untuk tujuan ini, Frage mengembangkan suatu sistem
formal, atau lebih tepatnya, diaa mengemukakansuatu sistem
deduktif yang dapat dipahami secara formal: “penulisan konsep
saya... dirancang untuk... dioperasikan seperti kalkulusdengan
memakai langklah-langkah baku yang sedikit jumlahnya,
sedemikian hingga tidak satupun langkah dibolehkan bila tidak
seuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkandan berlaku
umum?” (Frege 1884:91). Frege menyadari bahwa sifatini dapat
,mengumpankan suatu versi formalisme.
Frage menyebutkan bahwa makna yang kita letakan kepada
kalimat-kalimatlah yang menjadikan kalimat-kalimat itu menarik,
dan bahwa makna ini menginsyaratkan strategi-strategi untuk
derivasi-derivasi. Seorang formalis permainan barangkali sepakat
dengannya, tetapi akan menambah bahwa makna dari ungkapan-
ungkapan matematis bersifat asing dan tidak berhubungan dengan
matematika itu sendiri. Kemanapun matematika berangkat,
persoalannya bahwa aturan-aturan permainannya diikuti. Makna
hanya bersifat heuristik, sekedar suatu alat bantu psikologis.
Matematika tidak perlu memiliki bidang kajian sama sekali.
Formalisme permainan sangat mirip dengan suatu filsafat
sains yang disebut instrumentalisme, yang dirancang untuk
meredam kekhawatiran-khawatiran tentang entitas-entitas teoretis
yang tidak teramati, misalnya elektron-elektron. Berdasarkan
instrumentalisme, sains teoretis hanyalah instrumen rumit untuk
membuta prediksi-prediksi tentang dunia fisik yang teramati.
Seorang ilmuan sains tidak harus menyakini keberadaan entitas-
entitas teoretis. Dengan demikian, seorang instrumentalis
terhindarkan dari masalah epistemologis untuk menjelaskan
pengetahuan kita tentang entitas-entitas teoretis, tetapi dia dibebani
dengan masalah untuk menjelaskan manegapa instrumen itu
bekerja sedemikian baik, atau mengapa ia bekerja. Serupa
demikian, seorang formalis permainan terhindarkan dari masalah
untuk menyebutkan tentang apakah matematika itu, dan barangkali
dia memiliki pemecahan yang tegas tentang bagaimana matematika
diketahui, tetapi, disisi lain, persoalan tentang mengapa matematika
bermanfaat tampaknya tidak dapat dengan mudah dijawabnya.
Namun demikian,seorang formalis mungkin menjawab dengan
keras bahwa, berdasarkan sudut pandangnya, aplikasi-aplikasi
bukan bagian dari, dan tidak berkaitan dengan, matematika.

c. Perkembangan-perkembangan dalam Formalisme


a. Deduktivisme
Kehadiran sistem-sistem deduktif yang ketat, terutama
disumbangkan oleh Frege, mengisyaratkan suatu filsafat menarik
yang memiliki kesamaan dengan formalisme permainan. Seorang
penganut deduktivisme menerima pokokpandangan Frage bahwa
aturan-aturan inferensi harusmempertahankan kebenaran, tetapi
dia berisikeras agar aksioma-aksioma dari berbagai teori
matematisdianggapkan seolah-olah telah ditetapkan secara
arbitrer. Gagasannya yaitu bahwa praktek matematika meliputi
penentuan konsekuensi-konsekuensi logis dari aksioma-aksioma,
yang seolah-olah tidak diinterpretasikan. Seorang matematikawan
bebas untuk beranggapan bahwa aksioma-aksioma (dan teorema-
teorema) dalam matematika adalah tidak bermakna atau
mengiterpretasi semua itu sekehendaknya.
Untuk menjelaskan pandangan ini secara lebih teliti,
seseorang boleh memperbedakan istilah-istilah logis seperti
‘dan’,’jika’...’maka’,terdapat’,dan ‘untuk semua’, dari
peristilahan yang bersifat non-logis, atau khusus matematis,
seperti ‘bilangan’, ‘titik’, ‘himpunan’, dan ‘garis’. Peristilahan
logis dipahami dengan makna lazimnya, sedangkan peristilahan
non-logis dibiarkan tidak diinterpretasikan, atau dianggapkan
seolah-olah tidak diinterpretasikan. Misalkan Ф adalah suatu
teorema dalam, misalnya aritmatika. Berdasarkan deduktivisme,
‘muatan’ dari Ф adalah bahwa Фdisimpulkan dari aksioma-
aksioma aritmatika. Deduktivisme kadang-kadang disebut ‘if-
then-ism’.
Hubungan antara formalisme permainan dan deduktivisme
dipicuoleh perkembangan sistem-sistem logis yang dapat
‘dioperasikan seperti suatu kalkulus’, sebagaimana disebutkan
oleh Frage. Deduktivisme sesuai dengan slogan bahwa logika
bersifat netral-topik. Dari sudut pandang model-teoretik yang
modern, jika suatu inferensi dari sehimpunan premis I’ ke
konklusi Ф valid, maka Ф benar pada sebarang interpretasi yang
membuat semua premis I’benar. Gagasan dibalik deduktivisme
adalah mengabaikan interpretasi dan taat kepada inferensi-
inferensi.
Deduktivisme adalah suatu filsafat yang sejalan dengan
perkembangan-perkembangan dalam fondasi-fondasi
matematika,terutama geometri, pada abad ke-19 dan awal abad
ke-20. Peristiwa-peristiwa pentingnya anatara lain kemunculan
dan kesuksesan geometri analitik, dengan geometri proyektif
sebagai suatu responnya upaya untuk mengakomodasi elemen-
elemen ideal dan imajiner, seperti titik-titik pada infinitas
pengembangan geometri n-dimensi, dan asimilasi geometri non-
Euclid kepada matematika utama, berdampingan, tanpa
menggantikan, geometri Euclid. Tema-tema ini telah membantu
meruntuhkan tesis Kant bahwa matematika terikat pada intuisi-
intuisi ruang dan waktu. Komunitas matematika semakin tertarik
kepada matematika, dan akhirnya kepada pemahaman deduksi
yang bersifat independen dri muatan. Perkembangan-
perkembangan dalam matematika dan logika ketika itu
tampaknya secara alamiah telah begitu mendekatkan kita kepada
tesis filosofis bahwa ‘interpretasi’ aksioma-aksioma bukanlah
suatu masalah.
b. Finitisme
Pada peralihan ke abad 20 perkembangan-perkembangan
dalam analisis real, daripada matematikawan seperti Augustin
Louis Cauchy,Bernard Bolzano, dan Karl Weierstrass, mengatasi
permasalahaninfinitsimal dan memberikan landasan kokoh bagi
kalkulus. Hilbert (1925: 187) menuliskan bahwa analis real dan
kompleks adalah “struktur matematika paling estetik dan
dibangunsecara teliti.” Meski kuantitas-kuantitas yang kecil
takterhingga dan besar tak terhingga tidak diperlukan, tetapi teori-
teori baru masih bersandar pada kumpulan-kumpulan infinit.
Menurut Hilbert “analisis matematis adalah sebuah simfoni
infinitas” pada saat itu terdapat pula penjelasan infinitas yang
meriah dalam teori himpunan oleh Georg Cantor.
Meskipun terdapat perkembangan-perkembangan luar
biasa, atau justru karena itu, timbul suatu keresahan tentang krisis
fondasional. matematika tampaknya dan seharusnya, menjadi
yang paling eksak dan apasti diantara semua disiplin ilmu-namun
tantangan dan keraguan bermunculan. Dengan mengingat
antinom-antinomseperti Paradoks Russell, tidaklah kepastian
bahwateori himpunan bersifat konsisten. Krisis tersebut tidak reda
meski setelah Cantor menerapkan apa yang di sebutnya
‘inconsistent multitudes’ kumpulan-kumpulan dari himpunan-
himpunan yang terlalubesar untuk dikumpulkan kedalam satu
himpunan. Antinom-antinom ini menimbulkan serangan-serangan
kepada legitimasi beberapa metode matematis, menggiring
beberapa matematikawan untuk menerapkan pembatasan ketat
bagi metode-metode matematis, pembatasan yang akan
meruntuhkan analisis real dan kompleks.

Tanggapan Hilbert terhadap perkembangan-perkembangan


itu menggabunghkan aspek-aspek dari deduktivisme, formalisme
istilah, dan formalisme permainan. Apapun keuntungan-
keuntungan filosofisnya, ‘the Hilbert programme’ menimbulkan
era susbur meta-matematika yang bertahan sampai sekarang. Bagi
Hilbert, program tersebut memiliki tujuan epistemik yang
eksplisit: “tujuan dari teori saya adalah untuk mengukuhkan
kepastian dari metode-metode matematis” (Hilbert 1925: 184).
Program ini dibangun padda garapan aksiomatisasi cabang-
cabang matematika, yang telah dilakukan sebelumnya, berikut
upaya-upaya monumental daripada logisis seperti Frage dalam
pembangunan sistem-sistem logika yang ketat. Gagasan dibalik
program ini yaitu memformulasikan secara teliti dan ketat tiap
cabang matematika, berikut logikanya kemudianmengkaji
koherensi dari sistem-sistem formalnya.

c. Teorema Ketidaklengkapan
Kurt Gödel (1931, 1934) mengukuhkan suatu hasil yang
memukul telak-tujuan-tujuan epistemik dari program Hilbert.
Misalkan, T suatu sistem deduktif formal yang memuat
aritmatika dalam kadar tertentu. Asumsikan sintaks dari T adalah
efektif dalam artian terdapat suatu algoritma yang menentukan
apakah suatu barisan karakter-karakter tertentu adalah suatu
formula yang gramatik, dan suatu algoritma yang menentukan
apakah suatu barisan formula-formula tertentu adalah suatu
deduksi yang sah dalam T. Misalkan, kondisi-kondidiini esensial
bagi T untuk berperan dalam program Hilbert. Pada asumsi-
asumsi tersebut, Gödel menunjukan bahwa terdapat suatu kalimat
G dalam bahasa dari T, dan (2)jika T memiliki suatu ciri yang
sedikit lebih kuat daripada konsistensi, disebut ‘ω-konsistensi’,
maka negasi dai G bukanlah teorema dari T. Artinya, jika T
adalah ω-konsisten, maka ia tidak’memutuskan’ G,
bagaimanapun caranya. Hasil ini, dikenal sebagai teorema
ketidaklengkapan (pertama) Gödel, adalah salah satu prestasi
intelektual besar pada abad ke-20.
Formulasi G berbentuk suatu peryataan finit(dengan
menggunakan huruf-huruf untuk generlitas). kasarnya, G adalah
formalisasi dari suatu pernyataan bahwa G tidak dapat dibuktikan
dalam T. Jadi, jika T konsisten, maka G benar tetapi tidak dapat
dibuktikan. Hasil Gödel ini meruntuhkan harapan untuk
menemukan sistem formal tunggal yang menangkap semua
matematika klasik. Atau bahkan smeuaa aritmatika.jika seorang
mengajukan sistem untuk dicalonkan sebagai sistem formal
seperti itu, maka kita dapat menemukan sebuah kalimat yang
tidak ‘diputuskan’ oleh sistem tersebut, meski kita melihat bahwa
kalimat itu adalah benar.
Dengan demikian, teorema ketidaklengkapan mengangkat
keraguan-keraguan tentang sebarang filsafat matematika (formalis
atau lainnya) yang menuntutkan sistem deduktif tunggal untuk
seluruharitmatika sebagai satu-satunya metode formal untuk
mendapatkan setiap kebenaran aritmatika. Namun demikian,
impian penemuan sistem formal tunggal untuk semua matematika
yang ideal bukanlah bagianresmi (atau esensial) dariprogram
Hilbert. Kendalanya, jika memang demikian, terletak pada hal
lainnya. Ringkasnya, teorema ketidaklengkapan kedua Gödel ini
menyatakan bahwa teori yang konsisten (yang memuat aritmatika
dalam kadar tertentu) tidak dapat membuktikan konsistensinya
sendiri. Hasil inilah yang menunjukan kendala bagi Program
Hilbert.

d. Haskell Curry
Filsafat Curry dimulai dengan pengamatannya bahwa, saat
sebuah cabang matematika berkembang, cabang itu semakin ketat
metodologinya, dan hasil akhirnya berupa kodifikasinya dalam
suatu sistem deduktif formal. Curry memandang proses
formalisasi ini sebagai esensi dari matematika. Dia berargumen
bahwa semua filsafat matematika lain bersifat ‘kabur’ dan,
terlebih filsafat-filsafat itu ‘bergantung pada asumsi-asumsi
metafisik’. Matematika menurut Curry, seharusnya bebas dari
sebarang asumsi-asumsi seperti itu, dan dia berargumen bahwa
fokus pada sistem-sistem formal memberikan kebebasan tersebut.
Jadi, dia menyuarakan klaim Thomae bahwa formalisme tidak
memiliki asumsi-asumsi metafisik yang asing.
Tesis utama dari formalisme Curry adalah bahwa
pernyataan-pernyataan dari suatu teori matematis yang matang
ditafsirkan tidak sebagai hasil-hasil dari langkah-langkah dalam
suatu sistem dedktif formal tertentu (seperti dikatakan Hilbert
atau seorang formalis permainan), tetapi lebih sebagai
pernyataan-pernyataan tentang suatu sistem formal. Pernyataan
diakhir suatu laporan penelitian hendaknya diinterpretasikan
sebagai suatu berbentuk Ф adalah suatu teorema dalam sistem
formal T. Oleh karena itu, bagi Curry matematika adalah sains
objektif, ddania memiliki bidang kajian. Dia menuliskan bahwa
‘konsep sentral dalam matematika adalah konsep suatu sistem
formal’ dan ‘matematika adalah sains sistem-sistem formal’
(Curry 1954). Jadi, Currylebih dekat dengan formalisme istilah
daripada dengan formalisme permainan. Slogan ya tepat baginya
yaitu bahwa matematika adalah meta-matematika. Namun
demikian, tidak seperti Hilbert, dia tidak membatasi meta-
matematika pada aritmatika finit.

Anda mungkin juga menyukai