DAFTAR ISI
Mohamad Rifat
Berpikir secara filsafat memiliki dua karakteristik yakni menyeluruh dan mendasar.
Menyeluruh berarti ilmu pengetahuan tidak hanya dipandang dari segi ilmu pengetahuan itu
sendiri, akan tetapi dilihat juga hubungannya dengan ilmu lain, kaitannya dengan agama dan
moral. Sementara mendasar berarti bersifat kritis terhadap ilmu pengetahuan yang ada, tidak
percaya begitu saja bahwa ilmu tersebut benar. Beberapa pertanyaan berkaitan dengan
karakteristik mendasar ini adalah: mengapa ilmu itu benar? Bagaimana proses penilaian ilmu
itu dilakukan? Apakah kriterianya sudah benar?. Jadi, berfilsafat itu berarti mencari hakikat
dari ilmu pengetahuan yang kita pelajari.
Demikian halnya dengan filsafat matematika. Filsafat matematika adalah cabang
filsafat yang menyelidiki serta menjelaskan segala sesuatu terkait matematika. Filsafat
matematika bertujuan untuk memberikan rekaman sifat dan metodologi matematika dan untuk
memahami kedudukan matematika di dalam kehidupan manusia. Dalam filsafat matematika
akan ditelusuri beberapa hal antara lain: apa hakikat matematika, apakah objek dari
matematika itu, sejak kapan matematika muncul dalam kehidupan manusia, apa manfaat
matematika dalam peradaban manusia, bagaimana pengaruh budaya dan kehidupan sosial
manusia terhadap perkembangan matematika, serta banyak pertanyaan-pertanyaan lainnya
yang menjadi tujuan yang hendak diselidiki. Matematika sebagai hasil pengamatan manusia
terhadap fenomena-fenomena yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dari fenomena inilah
muncul berbagai persoalan matematika yang pada waktu itu belum dikenal oleh manusia.
Pada zaman yunani orang-orang mulai memikirkan persoalan-persoalan tersebut dan
mendapatkan fakta bahwa matematika yang dilakukan sehari-hari itu adalah abstraksi dan
idealisasi. Dalam perkembangannya, banyak aliran-aliran yang dipercaya dan dianut oleh
pendahulu-pendahulu terkait dengan matematika. Ada Aliran logisisme, formalisme,
konstruktivisme serta paham absolutisme dan fallibist yang semuanya memberikan beragam
pandangan dalam proses pengkajian matematika yang mana hal itu mengiringi perkembangan
matematika dari waktu ke waktu. Pemikiran-pemikiran para filsuf serta ilmuwan zaman
dahulu tersebut berdampak pada kehidupan zaman sekarang, baik dalam aspek kehidupan
sosial budaya maupun dalam praktik pendidikan di sekolah. Oleh sebab itu, filsafat
matematika begitu penting untuk dipelajari.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Filsafat Matematika
Filsafat merupakan kajian menyeluruh tentang fenomena-fenomena yang terjadi dalam
kehidupan manusia, baik itu pengalaman hidup maupun cara-cara berpikir manusia itu sendiri.
Filsafat secara umum berusaha menjawab 3 pertanyaan untuk membedakan pengetahuan yang
satu dengan pengetahuan yang lain dalam kehidupan manusia yaitu apa yang dikaji oleh
pengetahuan itu (ontologi)?, bagaimana cara mendapatkan pengetahuan tersebut
(epistemologi)?, dan untuk apa pengetahuan tersebut digunakan (aksiologi)?.
Filsafat matematika adalah cabang filsafat yang mengkaji, merenungkan dan
menjelaskan segala sesuatu tentang matematik, sehingga dapat memberikan rekaman sifat,
metodologi dalam matematika serta memahami kedudukan matematika dalam kehidupan
manusia. Pendekatan epistemologinya adalah dengan mengasumsikan bahwa pengetahuan di
bidang apapun, diwakili oleh satu set proposisi bersama dengan satu prosedur untuk
memverifikasinya atau memberikan pembenaran atas pernyataan-pernyataannya. Hal inilah
yang menyebabkan pengetahuan matematika terdiri dari proposisi beserta pembuktiannya.
Sederhananya, filsafat matematika merupakan penyedia dasar kepastian pengetahuan
matematika. Kebenaran matematika merupakan asumsi yang mendasari doktrin fungsi filsafat
matematika. Pondasi tersebut terikat pada pandangan absolutis matematika. Dalam hal ini,
pembenaran menjadi pandangan utama filsafat matematika.
B. Hakikat Matematika
Istilah matematika berasal dari bahasa Inggris, mathematics yang berarti ilmu pasti.
Mathematical merupakan kata sifat, artinya berhubungan dengan ilmu pasti. Mathematically
adalah kata kerja yang artinya menurut ilmu pasti, secara mathematis, dan mathematician
adalah kata benda yang berarti orang yang ahli matematika.
Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, matematika artinya ilmu tentang
bilangan, hubungan antara bilangan, dan prosedur operasional yang digunakan dalam
penyelesaian masalah mengenai bilangan. Matematika dikatakan sebagai bahasa karena
matematika memuat simbol-simbol yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan
yang ingin disampaikan. Melalui simbol-simbol matematika, informasi-informasi
dikomunikasikan secara jelas kepada orang lain. Lambang-lambang dalam matematika
bersifat artifisial dimana baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan kepadanya.
2
Kekurangan-kekurangan yang ada pada bahasa verbal dapat dilengkapi oleh matematika.
Matematika menghilangkan sifat-sifat kabur, majemuk, dan emosional dari bahasa verbal,
misalnya untuk menunjukkan proses memanjangnya suatu benda akibat perlakuan tertentu
maka informasi ukuran panjang secara eksak dapat ditunjukkan melalui simbol-simbol
matematika. Bahasa matematika bersifat jelas, spesifik dan informatif sehingga tidak
menimbulkan konotasi yang emosional. Jadi jelaslah bahwa matematika merupakan bahasa
yang digunakan untuk berkomunikasi. Matematika juga disebut sebagai sarana berpikir
deduktif yang mana matematika berperan dalam proses pengambilan kesimpulan yang
didasarkan pada premis-premis yang kebenarannya telah ditentukan. Secara deduktif
matematika menentukan pengetahuan yang baru berdasarkan premis-premis yang mana
pengetahuan tersebut adalah konsekuensi dari pernyataan-pernyataan ilmiah yang telah
ditemukan sebelumnya.
Secara tradisional, matematika telah dipandang sebagai paradigma pengetahuan
tertentu. Euclid mendirikan sebuah struktur logis yang megah hampir 2.500 tahun lalu dalam
Elements, yang sampai akhir abad kesembilan belas diambil sebagai paradigma untuk
mendirikan kebenaran dan kepastian. Newton menggunakan bentuk Elemen di dalam
bukunya Principia, dan Spinoza dalam Etika, untuk memperkuat klaim mereka atas penjelasan
kebenaran sistematis. Dengan demikian matematika telah lama diambil sebagai sumber
pengetahuan yang paling tertentu yang dikenal bagi umat manusia.
Pertanyaan tentang apa (ontologi) merupakan pengetahuan inti dari filsafat dan
jawaban dasar filsafat untuk pertanyaan tersebut adalah bahwa pengetahuan adalah keyakinan
yang dibenarkan. Pengetahuan awalnya terdiri dari dalil yang dapat diterima (dapat
dipercaya), asalkan ada alasan yang memadai untuk menegaskannya. Pengetahuan
diklasifikasikan atas dasar alasan untuk pernyataan tersebut. Pengetahuan terbagi dalam dua
kategori, yaitu pengetahuan a priori dan pengetahuan a posteriori (empirical). Pengetahuan
apriori memuat proposisi yang didasarkan atas penalaran, tanpa dibantu dengan observasi
terhadap dunia. Penalaran di sini memuat penggunaan logika. Sebaliknya pengetahuan
aposteriori memuat proposisi yang didasarkan atas pengalaman, yaitu berdasarkan observasi
dunia. Pengetahuan apriori terdiri dari dalil yang ditegaskan berdasarkan pemikiran sendiri,
tanpa jalan lain untuk pengamatan dunia. Berikut alasan penggunaan logika deduktif dan
makna istilah, biasanya dapat ditemukan dalam definisi. Sebaliknya, empiris atau
pengetahuan posteriori terdiri dari dalil berdasarkan pengalaman atau berdasarkan
pengamatan dunia.
Pengetahuan matematika diklasifikasikan sebagai pengetahuan apriori, karena terdiri
dari dalil berdasarkan nalar semata. Termasuk alasan logika deduktif dan definisi yang
3
digunakan, dalam hubungannya dengan seperangkat asumsi aksioma atau postulat
matematika, sebagai dasar untuk menyimpulkan pengetahuan matematika. Jadi dasar
pengetahuan matematika yang merupakan alasan untuk menyatakan kebenaran dalil
matematika terdiri dari bukti deduktif. Bukti dalil matematika adalah rentetan yang terbatas
dari pernyataan akhir pada dalil, yang memenuhi bahwa setiap pernyataan yang merupakan
aksioma diambil dari seperangkat aksioma sebelumnya, atau diturunkan dengan aturan
kesimpulan dari satu atau lebih pernyataan yang terjadi sebelumnya. Dalam pembuktian
matematika, ada dua asumsi yang digunakan yaitu asumsi matematis dan asumsi logis (aturan
inferensi sebagai bagian dari bukti teori keseluruhan dan sintaks logis).
2. Aliran Formalisme
Dalam aliran formalisme, sifat alami dari matematika adalah sistem lambang yang
formal, bertalian dengan sifat–sifat struktural dari simbol–simbol dan proses pengolahan
terhadap lambang–lambang itu. Simbol–simbol dianggap mewakili berbagai sasaran yang
menjadi obyek matematika. Bilangan–bilangan misalnya dipandang sebagai sifat–sifat
struktural yang paling sederhana dari benda–benda. Jejak filosofi formalis matematika dapat
ditemukan dalam tulisan-tulisan Uskup Berkeley. Landasan matematika formalisme
5
dipelopori oleh ahli matematika besar dari Jerman David Hilbert. Program formalis Hilbert
bertujuan untuk menerjemahkan matematika ke dalam sistem formal. Artinya, dalam lingkup
terbatas tetapi sangat mengarah pada sistem formal yang menunjukkan sifat matematika,
dengan menurunkan mitra resmi dari semua kebenaran matematika melalui bukti konsistensi.
Menurut Ernest (1991) aliran formalisme memiliki dua dua tesis, yaitu :
Matematika dapat dinyatakan sebagai sistem formal yang tidak dapat ditafsirkan
sebarangan, kebenaran matematika disajikan melalui teorema-teorema formal.
Keamanan dari sistem formal ini dapat didemostrasikan dengan terbebasnya dari ketidak
konsistenan. Berdasarkan landasan pemikiran itu seorang pendukung aliran formalisme
merumuskan matematika sebagai ilmu tentang sistem – sistem formal.
Beberapa ahli tidak menerima konsep aliran formalisme ini. Keberatan bermula ketika
Godel membuktikan bahwa tidak mungkin bisa membuat sistem yang lengkap dan konsisten
dalam dirinya sendiri. Pernyataan ini dikenal dengan Teorema Ketidaklengkapan Godel
(Godel’s Incompleteness Theorem). Ketidaklengkapan Teorema Kurt Godel (Godel, 1931)
menunjukkan syarat yang tidak bisa dipenuhi. Teorema pertamanya menunjukkan bahwa
bahkan tidak semua kebenaran dari aritmatika dapat diturunkan dari aksioma Peano (atau
setiap aksioma set yang rekursif lebih besar). Teorema ketidaklengkapan kedua menunjukkan
bahwa dalam kasus konsistensi pembuktian memerlukan meta-matematika. Jadi, tidak semua
kebenaran matematika dapat direpresentasikan sebagai teorema dalam sistem formal dan
sistem itu sendiri tidak dapat dijamin kebenarannya.
3. Konstruktivisme
Dalam aliran konstruktivisme, salah satu programnya adalah merekonstruksi
pengetahuan matematika dan memperbaiki praktik matematis untuk menjaganya dari
kehilangan makna, dan dari kontradiksi. Konstruktivisme pada filsafat matematika dapat
ditelusuri kembali oleh Kant dan Kronecker (Korner,1960). Untuk tujuan ini, konstruktivis
menolak pendapat non konstruktif seperti pembuktian Cantor terhadap bilangan real tak
terhingga dan hukum logika. Para Konstruktivis yang terkenal adalah intuisionis L.E.J
browner (1913) dan A. Heyting (1931, 1956). Baru-baru ini ahli matematika E. Bishop (1967)
telah melakukan program konstruktivis dengan merekonstruksi sebagian besar analisis secara
konstruktif. Berbagai bentuk konstruktivisme masih berkembang saat ini, seperti dalam karya
intuisionis filosofis M.Dummet (1963-1977). Konstruktivisme mencakup berbagai pandangan
yang berbeda, dari ultra intuisionis (A.Yessenin-Volpin), melalui apa yang disebut intuisionis
filosofis sempurna (L.E.J. Brouwer), intuisionis menengah (A. Heyting dan H. Weyl),
6
intuisionis logika modern (A. Troelstra) dan sampai pada konstruktivis Liberal yakni dari P.
Lorenzen, E. Bishop, G. Kreisel dan P. Martin-Lof.
Ahli matematika beranggapan bahwa matematika klasik tidak cukup kuat, dan perlu
dibangun kembali melalui metode konstruktif dan penalaran. Kontruktivis mengklaim bahwa
kebenaran matematika dan keberadaan objek matematika harus ditetapkan melalui metode
konstruktif. Ini berarti bahwa konstruksi matematika dibutuhkan untuk mendirikan kebenaran
atau keberadaan, dibandingkan dengan mengandalkan bukti yang kontradiksi. Bagi para
kontruktivis, pengetahuan harus dibangun melalui bukti-bukti konstruktif, berdasarkan logika
kontruktivis terbatas, dan makna istilah/objek matematis memuat prosedur formal
sebagaimana mereka dikonstruk. Meskipun beberapa kontruktivis mempertahankan bahwa
matematika adalah studi tentang proses konstruktif yang dilakukan dengan menggunakan
pensil dan kertas, pandangan kuat intusionis, dipimpin oleh Brouwer, matematika menempati
tempat utama dalam pikiran dan matematika tertulis menempati tempat kedua. Salah satu
konsekuensi, Brouwer menganggap semua aksiomatisasi logika intuisi tidak lengkap,
sehingga dianggap tidak pernah memiliki bentuk akhir.
Intuisionisme menggambarkan filosofi konstruktivis paling lengkap dalam
matematika. Dua klaim dipisahkan dari intuisionisme sebagaimana diistilahkan oleh
Dummett: tesis positif dan negatif. Tesis positif menyatakan bahwa cara intuisionik untuk
mengkonstruksi gagasan matematis dan operasi logis adalah koheren dan masuk akal,
matematika intuisionik membentuk teori yang jelas, sementara tesis negatif menyatakan
bahwa cara klasik untuk mengkonstruksi gagasan matematis dan operasi logis adalah tidak
koheren dan tidak masuk akal, matematika klasik memiliki bentuk yang menyimpang dan
banyak yang tidak jelas.
Namun, para konstruktivis belum menunjukkan bahwa ada masalah yang tak
terhindarkan untuk menghadapi matematika klasik meskipun tidak koheren dan tidak valid.
Memang matematika klasik murni dan terapan telah hilang sejak program konstruktivis
diusulkan. Masalah lain dari pandangan konstruktivisme adalah beberapa hal tidak konsisten
dengan matematika klasikal, misalnya, rangkaian bilangan real seperti yang didefenisikan
oleh intuisionis dapat dihitung. Ini bertentangan dengan hasil klasik bukan karena ada
kontradiksi yang sudah menjadi sifat, tetapi karena defenisi bilangan real berbeda. Gagasan
konstruktivisme memiliki arti yang berbeda dari gagasan klasik. Dari perspektif epistemologi
baik tesis positif dan negatif dari intuisionime memiliki kekurangan. Intuisionis memberikan
landasan tertentu untuk kebenaran matematika dengan menurunkannya dari aksioma intuisi
tertentu menggunakan metode pembuktian intuitif. Pandangan ini mendasarkan pengetahuan
matematika secara eksklusif pada keyakinan subjektif. Namun, kepercayaan absolut tidak
7
dapat didasarkan pada keyakinan subjektif saja. Juga ada jaminan bahwa intuisi intuisionis
yang berbeda tentang kebenaran dasar akan serupa, akan tetapi ini tentu saja tidak ada.
Asumsi A
Bukti yang dipublikasikan matematikawan sebagai jaminan untuk menegaskan teorema, pada
prinsipnya, dapat diterjemahkan ke dalam bukti-bukti formal yang teratur. Pembuktian
informal yang dipublikasikan matematikawan umumnya tidak sempurna, dan tidak berarti
seluruhnya dapat diandalkan (Dawis, 1972). Menerjemahkannya ke dalam bukti-bukti formal
yang teratur sepenuhnya bukanlah yang utama, pekerjaan non mekanis. Hal ini membutuhkan
kecerdasan manusia untuk menghubungkan gap dan untuk memperbaiki kesalahan. Karena
pembenaran secara total dari matematika tidak akan mungkin dilakukan, apa nilai yang
9
menyatakan bahwa bukti-bukti informal dapat diterjemahkan ke dalam bukti-bukti formal
'pada prinsipnya'. Ini adalah janji yang tidak terpenuhi, bukan alasan untuk kepastian.
Pembenaran secara total adalah cita-cita yang tidak tercapai dan bukan realita praktis. Oleh
karena itu kepastian tidak dapat diklaim sebagai bukti matematika, sekalipun kritik
sebelumnya tidak diabaikan.
Asumsi B
Bukti formal yang kaku dapat diperiksa kebenarannya.
Sekarang ada bukti informal tidak dapat diperiksa manusia, seperti Appel-Haken (1978) bukti
teorema empat warna (Tymoczko, 1979). Terjemahan ke dalam bukti-bukti formal yang kaku
akan menjadi lebih lama. Jika ini tidak mungkin disurvei oleh seorang matematikawan, atas
dasar apa mereka dianggap sebagai kebenaran mutlak? Jika bukti tersebut diperiksa oleh
komputer apa yang menjadi jaminan bahwa perangkat lunak dan hardware yang dirancang
benar-benar sempurna, dan bahwa perangkat lunak tersebut berjalan sempurna? Mengingat
kompleksitas perangkat keras dan perangkat lunak tampaknya tidak masuk akal dapat
diperiksa oleh satu orang. Lebih lanjut, pemeriksaan tersebut melibatkan unsur empiris
(yakni, apakah berjalan sesuai dengan desain?). Jika pemeriksaan bukti-bukti formal tidak
dapat dilakukan, atau memiliki unsur empiris, maka klaim kepastian absolut harus dilepaskan
(Tymoczko, 1979).
Asumsi C
Teori-teori Matematika dapat diterjemahkan secara valid ke dalam serangkaian aksioma
formal. Formalisasi teori matematika intuitif dalam seratus tahun terakhir (misalnya, logika
matematika, teori bilangan, teori himpunan, analisis) telah menyebabkan masalah yang
mendalam dan tak terduga, sebagai konsep-konsep dan bukti berada di bawah pengawasan
semakin ketat, saat mencoba untuk menjelaskan dan merekonstruksinya. Formalisasi yang
memuaskan dari matematika tidak dapat diasumsikan tanpa masalah. Sampai formalisasi ini
dilakukan tidak mungkin untuk menyatakan dengan pasti bahwa hal itu dapat dilakukan
secara sah. Tapi sampai matematika diformalisasikan, ketelitiannya, sebagai kondisi yang
diperlukan untuk kepastian, diluar angan-angan.
Asumsi D
Konsistensi dari representasi (dalam asumsi C) dapat diperiksa.
10
Seperti yang kita ketahui dari Teorema Ketidaklengkapan Godel, ini bertambah secara
signifikan terhadap asumsi pokok yang mendukung pengetahuan matematika. Jadi tidak ada
jaminan kebenaran mutlak.
F. Pandangan Fallibilist
Dalam pandangan Fallibilist, kebenaran matematika dapat keliru dan dapat
diperbaiki/dibenarkan. Tesis fallibilist memiliki dua bentuk setara, satu positif dan satu
negatif. Bentuk negatif menyangkut penolakan paham absolutisme: pengetahuan matematika
bukan kebenaran mutlak, dan tidak memiliki validitas mutlak. Bentuk positif adalah bahwa
pengetahuan matematika dapat diperbaiki dan selalu terbuka untuk revisi (perbaikan).
12
bagian akarnya, juga syarat nilainya, diakui menjadi bidang pengetahuan lainnya, karena
dihubungkan dengan mereka.
14
2. Seksisme dalam masyarakat
Ini diwujudkan dalam beberapa bentuk yang kuat termasuk :
• keyakinan yang jelas seksis dan perilaku
• dominasi budaya ( legitimasi dan mereproduksi peran gender stereotip dan bidang
pengetahuan , termasuk matematika gender bias ) ; dan
• seksisme kelembagaan struktural (yang menyangkal kesempatan perempuan yang
sama, sehingga mereproduksi ketidaksetaraan gender dalam masyarakat).
Beberapa faktor-faktor yang saling terkait dan berkontribusi terhadap masalah gender
dalam matematika dapat ditunjukkan sebagai siklus reproduktif berikut. Hal ini menunjukkan
kurangnya kesempatan peremuan dalam belajar matematika. Pandangan negatif mengarah ke
perempuan terhadap kemampuan matematika mereka sendiri, dan memperkuat persepsi
mereka tentang matematika sebagai subjek laki-laki. Konsekuensinya adalah rendahnya
pencapaian perempuan dan partisipasinya dalam matematika.
Ideologi
bagian ini membedakan berbagai ideologi yang tergabung dalam kedua pandangan
epistemologi dan etis.karena konsep ideologi itu penting, sehingga sangatlah tepat untuk
menjelaskan artinya terlebih dahulu.williams (1977) menelusuri salah satu penggunaan pada
napoleon Bonaparte, dimana ini menandakan pemikiran revolusioner, yang dianggap sebagai
suatu ide yang tidak diinginkan dan mengancam cara berpikir yang baik dan masuk akal.hal
16
ini menyebabkan penggunaan indeologi rendah yaitu sebagai teori fanatik atau teori
masyarakat yang tidak praktis. Meskipun Mark pertama kali menggunakan istilah kesadaran
palsu, dimana para pemikir membayangkan motif yang palsu atau nyata (Meighan, 1986
halaman 174), Ia kemudian menggunakannya dalam arti yang dimaksudkan di sini .dalam
pengertian ideologi yang lebih sosiologi ini, ideologi merupakan suatu filsafat yang kaya
nilai, atau berpandangan luas(secara mendunia), suatu sistem gagasan dan keyakinan yang
saling mengunci satu sama lain.
Dengan demikian ideologi yang dipahami disini menjadi persaingan sistem
kepercayaan, penggabungan nilai sikap secara epistemologi dan moral, tanpa merendahkan
makna ideologi itu sendiri. Pengertian-pengertian tersebut tidak boleh dihadapkan dengan isi
ilmu pengetahuan dan matematika, tetapi untuk mendukung dan menyerap pengetahuan ini
dan untuk mengilhami pemikiran kelompok yang sesuai dengan ny (Gidden, 1983; Althusser,
1971). Ideologi sering dilihat para penganutnya sebagai ‘cara yang sebenar-benarnya dari
semua hal’ (Meighan, 1986),
Karena hal tersebut sering substratum yang tak terlihat untuk hubungan antara kekuasaan dan
dominasi dalam masyarakat (Giddens, 1983; Althusser, 1971). Namun perlakuan terhadap
ideologi yang diberikan di sini menekankan pada aspek epistemologi, etika, pendidikan,
kepentingan sosial kekuasaan dan dominasi akan dibahas untuk selanjutnya.
Tujuan dari bab ini adalah untuk menghubungkan filsafat umun dan pribadi dari
matematika dan pendidikan.Sebagai tambahan atas filsafat yang secara eksplisit kita juga
akan membahas sistem kepercayaan individu dan kelompok. Keyakinan seperti ini tidak
begitu mudah terlepas dari konteksnya sebagai filsafat publik, dan menjadi bagian dari
keseluruhan hubungan (nexus) ideologis. Kepercayaan ini terdiri dari komponen yang saling
terjalin, termasuk epistemologi pribadi, rangkaian nilai-nilai dan teori-teori pribadi lainnya.
Oleh karenanya, dibutuhkan lebih dari epistemologi untuk menghubungkan filsafat publik
dengan ideologi pribadi.
Sebagai dasar untuk membedakan ideologi kita mengadopsi teori Perry (1970, 1981) .
Teori Ini adalah teori psikologi tentang perkembangan sikap epistemologi individu dan etis
dan juga merupakan teori struktural yang memberikan/ menyiapkan suatu kerangka kerja
yang sesuai dengan berbagai macam filosofi yang berbeda dan rangkaian nilai.
Theory Perry
Teori perry menentukan urutan tahap perkembangan, serta memungkinkan fiksasi , dan
mengalami kemunduran dari level tersebut. Untuk sederhananya, kami hanya
mempertimbangkan tiga tahap yaitu Dualisme, Multiplisitas, dan Relativisme . Teori ini tidak
17
berakhir di Relativisme, tetapi terus melalui beberapa tahapan Komitmen. Namun tahapan ini
tidak mewakili restrukturisasi radikal keyakinan, tidak seperti entrenchment dan integrasi
relativisme kedalam seluruh kepribadian. Hal yang mendasari skema perry adalah asumsi
bahwa perkembangan intelektual dan etika mulai tertanam dalam serangkaian keyakinan yang
tidak dipertanyakan, berlangsung melalui beberapa tingkat detasemen kritis, dan kemudian
kembali tertanam dengan sendirinya dalam suatu komitmen terhadap seperangkat prinsip
intelektual dan etika. Jadi tiga tahap dibahas disini cukup untuk membedakan ideologi yang
secara struktural berbeda.
Dualisme
Dualisme Sederhana adalah penataan bercabang dari dunia antara yang baik dan
buruk, benar dan salah, kita dan pandangan lainnya.pandangan Dualistik ditandai dengan
dikotomi sederhana dan ketergantungan yang kuat pada keabsolutan dan otoritas sebagai
sumber kebenaran, nilai, dan kontrol. Sehingga dalam hal keyakinan epistemologi , dualisme
menyiratkan pandangan absolutis terhadap pengetahuan yang dibagi menjadi dua yaitu
kebenaran dan klepalsuan, bergantung pada otoritas sebagai wasit. Pengetahuan tidak dinilai
secara rasional, tetapi dinilai dengan mengacu pada otoritas. Dalam hal keyakinan etika,
Dualisme berarti bahwa semua tindakan hanya dinilai atas benar atau salah.
Semua masalah ini diselesaikan denga ketaatan[penyelarasan diri dengan Otoritas]:
ketaatan, kesesuaian terhadap hak dan apa yang mereka inginkan. Keinginan/kemauan
kekuasaan (will popwer) dan pekerjaan akan menghasilkan kongruensi aksi dan penghargaan.
Keserbaragaman tidak diperhitungkan . diri didefinisikan terutama oleh keanggotaan dalam
hak dan tradisional.(Perry, 1970, akhir-chart)
Keserbaragaman
Sebuah pluralitas 'jawaban', menunjukkan pandangan atau evaluasi, dengan mengacu
topik atau masalah yang sama. Pluralitas ini dianggap sebagai kumpulan yang mempunyai
ciri-ciri tersendiri tanpa struktur internal maupun hubungan eksternal , dalam artian orang
memiliki hak untuk memiliki pendapatnya sendiri, dengan implikasi bahwa tidak ada
penilaian dapat dibuat terhadapa pendapat-pendapat tersebut.(Perry, 1970, akhir chart).
Pandangan Multiplistic mengakui pluralitas 'jawaban', pendekatan atau perspektif, baik yang
bersifat epistemologis dan etis, tetapi tidak memiliki dasar rasional pilihan antara Alternatif-
alternatif.
18
Relativisme
Sudut pandang pluralitas, interpretasi, kerangka acuan, sistem nilai dan kontinjensi di
mana sifat struktural dari konteks dan bentuk memungkinkan adanya berbagai macam
analisis, perbandingan dan evaluasi dalam multiplisitas.
(Perry, 1970, akhir-chart)
Secara Epistemologis, Relativisme mengharuskan pengetahuan, jawaban dan pilihan
dilihat sebagaisuatu yang tergantung pada fitur konteks, dan dievaluasi atau dibenarkan dalam
sistem atau prinsip-prinsip yang diatur. Dari sudut pandang etika , tindajkan dianggap
diinginkan atau tidak diinginkan berdasarkan kesesuaian dengan konteks dan sistem nilai-nilai
dan prinsip-prinsip.
Sejumlah peneliti pendidikan telah menemukan Skema Perr adalah kerangka yang
berguna untuk menggambarkan perkembangan intelektual dan etika dan juga keyakinan
pribadi.termasuik juga aplikasinya untuk tingkat pemikiran sistem teori siswa y menjadi
berguna kerangka untuk menggambarkan perkembangan intelektual dan etis dan keyakinan
pribadi. Ini termasuk aplikasi ke tingkat pemikiran teori sistem siswa (Salner, 1986),
mahasiswa dan siswa jurusan matematika ((Buerk, 1982; Stonewater et . al, 1988) dan guru
matematika terkait keyakinan-sistem yang terkait (Copes, 1982, 1988; Oprea dan Stonewater,
1987; Cooney dan Jones, 1988; Cooney, 1988; Ernest, 1989a perguruan tinggi dan sekolah
tinggi mahasiswa matematika Dengan demikian teori Perry secara luas digunakan untuk
menggambarkan filosofi pribadi, khususnyadalam matematika.
22
Konstruktivisme sosial mengidentifikasi semua pelajar matematika sebagai pencipta
matematika, namun hanya mereka yang mendapatkan persetujuan kritis masyarakat
matematika yang dapat menghasilkan pengetahuan bonafid yaitu baru (Ernest menyebutnya
matematika yang yang disahkan). Aktivitas matematika dari siapapun yang produktif serta
melibatkan pengajuan dan pemecahan masalah, secara kualitatif tidak berbeda dari aktivitas
profesional matematika lain. Matematika non-produktif tidak menawarkan hal yang sama,
karena pada dasarnya reproduksi teori adalah lawan dari kreativitas , dan Ernest menyebutnya
dengan 'matematika beku'.
23
Salah satu kesulitan dalam membahas pembelajaran pemecahan masalah dan
pembelajaran investigasi adalah bahwa konsep-konsep ini tidak jelas dan dipahami secara
berbeda oleh penulis yang berbeda. Namun, ada kesepakatan bahwa dua hal tersebut
berhubungan dengan matematika inkuiri (penemuan). Karenanya, pembahasan selanjutnya
melangkah pada matematika berbasis inkuiri, mulai dari fokus, proses, sampai sisi
pedagogisnya.
24
investigasi, yang tentunya bertolak belakang dengan pandangan siswa sebagai pusat pembelajaran, yang
memandang investigasi sebagai aktivitas peserta didik.
Masalah pertama adalah bahwa ketika penyelidikan dapat dimulai dengan situasi
matematika atau pertanyaan, fokus kegiatan bergeser sebagai pertanyaan baru yang diajukan, dan situasi
baru yang dihasilkan dan tereksplorasi. Di mana obyek penyelidikan bergeser dan didefinisikan
ulang oleh penanya. Ini berarti bahwa nilai terbatas untuk mengidentifikasi penyelidikan dengan
situasi pembangkit aslinya.
Masalah kedua adalah ketika investigasi (penyelidikan) dimaknai sebagai kegiatan
yang dimulai dengan munculnya situasi matematika atau pertanyaan tertentu, lalu bergeser
pada pengajuan permasalahan baru, pemunculan situasi baru, dan eksplorasi situasi tersebut.
Di sinilah obyek penyelidikan bergeser, berubah, dan didefinisikan ulang oleh peserta
didik (inquirer). Sifat eksplorasi yang nampak liberal ini akan menyulitkan pendefenisian
investigasi sebagai aktivitas yang terkait dengan situasi pembangkitaslinya (dalam bahasa lain,
dengan titik awal investigasi itu sendiri).
25
kemungkinan yang muncul dari kondisi awal, bahkan kondisi-kondisi yang belum muncul,
belum terpikir, atau bahkan yang tidak mungkin muncul tetap dipandang sebagai sesuatu yang
belum muncul (as pre-existing) dan membutuhkan penemuan agar bisa muncul. Perlu dipahami
bahwa gagasan investigasi dalam pengertian metafora geografis ini cenderung cocok untuk
penganut absolutis dari pada platonis (dalam koridor cara pandang terhadap matematika).
Metafora geografis juga diterapkan pada proses penyelidikan matematika. Penekanannya
adalah pada eksplorasi bagian matematika ke segala arah. Proses perjalanannya (bukan
tujuannya) (Pirie, 1987, halaman 2). Di sini penekanannya adalah pada eksplorasi wilayah
yang tidak diketahui, dari pada perjalanan menuju ke tujuan tertentu. Jadi ketika proses
pemecahan masalah matematika digambarkan sebagai konvergen, investigasi matematika
adalah hal yang berbeda.
Bellet al. (1983) mengusulkan suatu model dari proses penyidikan, dengan empat
langkah yaitu merumuskan masalah, pemecahan masalah, verifikasi, integrasi. Menurutnya,
Di sini kata ‘investigasi digunakan dalam upaya untuk menghimpun segala macam cara
memperoleh pengetahuan (Bell dkk., 1983, halaman 207). Mereka berpendapat bahwa
penyelidikan matematika adalah bentuk khusus, dengan komponen karakteristiknya sendiri
yakni abstraksi, representasi, pemodelan, generalisasi, pembuktian, dan simbolisasi.
Pendekatan ini memiliki ciri berupa penentuan sejumlah proses mental yang terlibat dalam
investigasi matematika (dan pemecahan masalah). Sementara penulis lain, seperti Polya (1945)
berpendapat bahwa investigasi mencakup banyak komponen dari model sebagai proses pemecahan
masalah. Perbedaan utama antara Polya dan Bell adalah masuknya perumusan atau pengajuan
masalah ( problem posing), yang mendahului pemecahan masalah. Namun, walau model yang
diusulkan oleh dua tokoh tadi memiliki dasar empiris, tidak ada alasan dan justifikasi rasional
yang dapat dijadikan acuan untuk memilih salah satu model.
26
Tabel 1: Suatu Perbandingan Metode Penyelidikan Untuk Mengajar Matematika
29
prakteknya hanyalah semacam espositori dengan ditambah penambahan masalah (Cooney,1983; 1985,
Thompson, 1984; Brown, 1986).
Penyebabnya adalah karena konteks sosial guru yang bersangkutan ikut andil dalam proses
pembelajaran yang berlangsung. Misalnya, adalah sulit bagi guru untuk merubah pakem
pembelajaran yang sudah ada dalam suatu sekolah tertentu. Ernest menyebutkan bahwa dalam
sekolah yang sama, guru-guru yang diteliti cenderung menggunakan praktek kelas yang sama,
dan tidak mempertimbangkan bagaimana pandangan sang guru terhadap matematika.
Singkatnya, keyakinan sang guru terhadap ideologi matematika tertentu masih kalah
pengaruhnya dengan kondisi sosial tempat guru mengajar. Gambar berikut menunjukkan
hubungan yang terlibat dalam keputusan praktik kelas yang diambil.
Gambar 2. The relationship between espoused and enacted beliefsof the mathematics teacher
Gambar tersebut menunjukkan bahwa salah satu komponen ideologi guru, yakni
pandangan filosofisnya terhadap matematika mendasari dua komponen sekunder, yakni teori
mengajar dan belajar matematika. Dua komponen sekunder ini akan menjadi dasar
diambilnya suatu model belajar, termasuk penggunaan sumber daya pembelajaran yang
dipilih, termasuk teks matematika. Penting diketahui bahwa teks yang dipakai guru ketika
melakukan pembelajaran menunjukkan alur pandangan epistemologinya, bagaimana melihat
teks sebagai penentu penting sifat dari kurikulum yang diimplementasikan. Panah ke bawah
pada gambar menunjukkan arah pengaruh utama. Isi dari komponen kepercayaan yang lebih
tinggi tercermin dalam sifat komponen yang lebih rendah.
30
L. Kelebihan Pembelajaran Berbasis Pemecahan Masalah
Pembelajaran berbasis pemecahan masalah, merupakan pendekatan pengajaran
emansipatoris, dan ketika berhasil dilaksanakan, akan mampu memberdayakan peserta didik
secara epistemologis (dalam arti peserta didik mengetahui darimana suatu konsep diperoleh).
Hal ini dapat mendorong siswa aktif untuk mengetahui dan menciptakan pengetahuan sendiri,
sekaligus melegitimasi pengetahuan itu sebagai matematika, setidaknya dalam konteks
sekolah.
31
BAB III
PENUTUP
32
DAFTAR PUSTAKA
Ernest, Paul. 2004. The Philosophy of Mathematics Education. Francis: Taylor and Group.
Ernest, Paul. 2004. The Philosophy of Mathematics Education. Francis: Taylor and Group.
(Terjemahan)
33