Anda di halaman 1dari 34

Accelerat ing t he world's research.

Tugas Individu (3) Filsafat


Integrasi Batee

Related papers Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

DAFTAR ISI
Mohamad Rifat

FILSAFAT PENDIDIKAN MAT EMAT IKA


Komarudin Muhamad Zaelani

BBM4 Dra. Erna Suwangsih, M.Pd


angghii aanggh
BAB I
PENDAHULUAN

Berpikir secara filsafat memiliki dua karakteristik yakni menyeluruh dan mendasar.
Menyeluruh berarti ilmu pengetahuan tidak hanya dipandang dari segi ilmu pengetahuan itu
sendiri, akan tetapi dilihat juga hubungannya dengan ilmu lain, kaitannya dengan agama dan
moral. Sementara mendasar berarti bersifat kritis terhadap ilmu pengetahuan yang ada, tidak
percaya begitu saja bahwa ilmu tersebut benar. Beberapa pertanyaan berkaitan dengan
karakteristik mendasar ini adalah: mengapa ilmu itu benar? Bagaimana proses penilaian ilmu
itu dilakukan? Apakah kriterianya sudah benar?. Jadi, berfilsafat itu berarti mencari hakikat
dari ilmu pengetahuan yang kita pelajari.
Demikian halnya dengan filsafat matematika. Filsafat matematika adalah cabang
filsafat yang menyelidiki serta menjelaskan segala sesuatu terkait matematika. Filsafat
matematika bertujuan untuk memberikan rekaman sifat dan metodologi matematika dan untuk
memahami kedudukan matematika di dalam kehidupan manusia. Dalam filsafat matematika
akan ditelusuri beberapa hal antara lain: apa hakikat matematika, apakah objek dari
matematika itu, sejak kapan matematika muncul dalam kehidupan manusia, apa manfaat
matematika dalam peradaban manusia, bagaimana pengaruh budaya dan kehidupan sosial
manusia terhadap perkembangan matematika, serta banyak pertanyaan-pertanyaan lainnya
yang menjadi tujuan yang hendak diselidiki. Matematika sebagai hasil pengamatan manusia
terhadap fenomena-fenomena yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dari fenomena inilah
muncul berbagai persoalan matematika yang pada waktu itu belum dikenal oleh manusia.
Pada zaman yunani orang-orang mulai memikirkan persoalan-persoalan tersebut dan
mendapatkan fakta bahwa matematika yang dilakukan sehari-hari itu adalah abstraksi dan
idealisasi. Dalam perkembangannya, banyak aliran-aliran yang dipercaya dan dianut oleh
pendahulu-pendahulu terkait dengan matematika. Ada Aliran logisisme, formalisme,
konstruktivisme serta paham absolutisme dan fallibist yang semuanya memberikan beragam
pandangan dalam proses pengkajian matematika yang mana hal itu mengiringi perkembangan
matematika dari waktu ke waktu. Pemikiran-pemikiran para filsuf serta ilmuwan zaman
dahulu tersebut berdampak pada kehidupan zaman sekarang, baik dalam aspek kehidupan
sosial budaya maupun dalam praktik pendidikan di sekolah. Oleh sebab itu, filsafat
matematika begitu penting untuk dipelajari.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Filsafat Matematika
Filsafat merupakan kajian menyeluruh tentang fenomena-fenomena yang terjadi dalam
kehidupan manusia, baik itu pengalaman hidup maupun cara-cara berpikir manusia itu sendiri.
Filsafat secara umum berusaha menjawab 3 pertanyaan untuk membedakan pengetahuan yang
satu dengan pengetahuan yang lain dalam kehidupan manusia yaitu apa yang dikaji oleh
pengetahuan itu (ontologi)?, bagaimana cara mendapatkan pengetahuan tersebut
(epistemologi)?, dan untuk apa pengetahuan tersebut digunakan (aksiologi)?.
Filsafat matematika adalah cabang filsafat yang mengkaji, merenungkan dan
menjelaskan segala sesuatu tentang matematik, sehingga dapat memberikan rekaman sifat,
metodologi dalam matematika serta memahami kedudukan matematika dalam kehidupan
manusia. Pendekatan epistemologinya adalah dengan mengasumsikan bahwa pengetahuan di
bidang apapun, diwakili oleh satu set proposisi bersama dengan satu prosedur untuk
memverifikasinya atau memberikan pembenaran atas pernyataan-pernyataannya. Hal inilah
yang menyebabkan pengetahuan matematika terdiri dari proposisi beserta pembuktiannya.
Sederhananya, filsafat matematika merupakan penyedia dasar kepastian pengetahuan
matematika. Kebenaran matematika merupakan asumsi yang mendasari doktrin fungsi filsafat
matematika. Pondasi tersebut terikat pada pandangan absolutis matematika. Dalam hal ini,
pembenaran menjadi pandangan utama filsafat matematika.

B. Hakikat Matematika
Istilah matematika berasal dari bahasa Inggris, mathematics yang berarti ilmu pasti.
Mathematical merupakan kata sifat, artinya berhubungan dengan ilmu pasti. Mathematically
adalah kata kerja yang artinya menurut ilmu pasti, secara mathematis, dan mathematician
adalah kata benda yang berarti orang yang ahli matematika.
Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, matematika artinya ilmu tentang
bilangan, hubungan antara bilangan, dan prosedur operasional yang digunakan dalam
penyelesaian masalah mengenai bilangan. Matematika dikatakan sebagai bahasa karena
matematika memuat simbol-simbol yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan
yang ingin disampaikan. Melalui simbol-simbol matematika, informasi-informasi
dikomunikasikan secara jelas kepada orang lain. Lambang-lambang dalam matematika
bersifat artifisial dimana baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan kepadanya.
2
Kekurangan-kekurangan yang ada pada bahasa verbal dapat dilengkapi oleh matematika.
Matematika menghilangkan sifat-sifat kabur, majemuk, dan emosional dari bahasa verbal,
misalnya untuk menunjukkan proses memanjangnya suatu benda akibat perlakuan tertentu
maka informasi ukuran panjang secara eksak dapat ditunjukkan melalui simbol-simbol
matematika. Bahasa matematika bersifat jelas, spesifik dan informatif sehingga tidak
menimbulkan konotasi yang emosional. Jadi jelaslah bahwa matematika merupakan bahasa
yang digunakan untuk berkomunikasi. Matematika juga disebut sebagai sarana berpikir
deduktif yang mana matematika berperan dalam proses pengambilan kesimpulan yang
didasarkan pada premis-premis yang kebenarannya telah ditentukan. Secara deduktif
matematika menentukan pengetahuan yang baru berdasarkan premis-premis yang mana
pengetahuan tersebut adalah konsekuensi dari pernyataan-pernyataan ilmiah yang telah
ditemukan sebelumnya.
Secara tradisional, matematika telah dipandang sebagai paradigma pengetahuan
tertentu. Euclid mendirikan sebuah struktur logis yang megah hampir 2.500 tahun lalu dalam
Elements, yang sampai akhir abad kesembilan belas diambil sebagai paradigma untuk
mendirikan kebenaran dan kepastian. Newton menggunakan bentuk Elemen di dalam
bukunya Principia, dan Spinoza dalam Etika, untuk memperkuat klaim mereka atas penjelasan
kebenaran sistematis. Dengan demikian matematika telah lama diambil sebagai sumber
pengetahuan yang paling tertentu yang dikenal bagi umat manusia.
Pertanyaan tentang apa (ontologi) merupakan pengetahuan inti dari filsafat dan
jawaban dasar filsafat untuk pertanyaan tersebut adalah bahwa pengetahuan adalah keyakinan
yang dibenarkan. Pengetahuan awalnya terdiri dari dalil yang dapat diterima (dapat
dipercaya), asalkan ada alasan yang memadai untuk menegaskannya. Pengetahuan
diklasifikasikan atas dasar alasan untuk pernyataan tersebut. Pengetahuan terbagi dalam dua
kategori, yaitu pengetahuan a priori dan pengetahuan a posteriori (empirical). Pengetahuan
apriori memuat proposisi yang didasarkan atas penalaran, tanpa dibantu dengan observasi
terhadap dunia. Penalaran di sini memuat penggunaan logika. Sebaliknya pengetahuan
aposteriori memuat proposisi yang didasarkan atas pengalaman, yaitu berdasarkan observasi
dunia. Pengetahuan apriori terdiri dari dalil yang ditegaskan berdasarkan pemikiran sendiri,
tanpa jalan lain untuk pengamatan dunia. Berikut alasan penggunaan logika deduktif dan
makna istilah, biasanya dapat ditemukan dalam definisi. Sebaliknya, empiris atau
pengetahuan posteriori terdiri dari dalil berdasarkan pengalaman atau berdasarkan
pengamatan dunia.
Pengetahuan matematika diklasifikasikan sebagai pengetahuan apriori, karena terdiri
dari dalil berdasarkan nalar semata. Termasuk alasan logika deduktif dan definisi yang
3
digunakan, dalam hubungannya dengan seperangkat asumsi aksioma atau postulat
matematika, sebagai dasar untuk menyimpulkan pengetahuan matematika. Jadi dasar
pengetahuan matematika yang merupakan alasan untuk menyatakan kebenaran dalil
matematika terdiri dari bukti deduktif. Bukti dalil matematika adalah rentetan yang terbatas
dari pernyataan akhir pada dalil, yang memenuhi bahwa setiap pernyataan yang merupakan
aksioma diambil dari seperangkat aksioma sebelumnya, atau diturunkan dengan aturan
kesimpulan dari satu atau lebih pernyataan yang terjadi sebelumnya. Dalam pembuktian
matematika, ada dua asumsi yang digunakan yaitu asumsi matematis dan asumsi logis (aturan
inferensi sebagai bagian dari bukti teori keseluruhan dan sintaks logis).

C. Pandangan Absolutis dalam Pengetahuan Matematika


Pandangan absolutis dalam pengetahuan matematika adalah bahwa pengetahuan
matematika merupakan kebenaran mutlak, pengetahuan yang unik dan unchallengeable (tidak
dapat ditantang). Penganut absolutisme memandang bahwa pengetahuan matematika
didasarkan atas dua jenis asumsi; matematika ini berkaitan dengan asumsi dari aksioma dan
definisi, dan logika yang berkaitan dengan asumsi aksioma, aturan menarik kesimpulan dan
bahasa formal serta sintak. Ada lokal (micro) dan ada global (macro) asumsi, seperti deduksi
logika cukup untuk menetapkan kebenaran matematika. Pandangan absolutis menemui
masalah pada permulaan permulaan abad 20, ketika sejumlah antinomis dan kontradiksi yang
diturunkan dalam matematika. Kontradiksi lainnya yang muncul adalah teori himpunan dan
teori fungsi. Penemuan ini berakibat terkuburnya pandangan absolutis tentang matematika.
Para ahli banyak berbeda pendapat tentang filsafat matematika. Pemikiran tentang
matematika diwarnai dengan perdebatan sengit antara ahli matematika yang satu dengan ahli
matematika lainnya. Karena adanya perdebatan ini seoalah-olah para ahli terkotak-kotak
menurut kelompoknya masing-masing berdasarkan sudut pandang pandang dan ide yang
dikeluarkannya. Ada 3 aliran besar mempengaruhi perkembangan matematika, termasuk
perkembangan pendidikan matematika, yakni:
1. Aliran Logisisme
Logisisme memandang bahwa matematika sebagai bagian dari logika. Penganutnya
antara lain G. Leibniz, G. Frege (1893), B. Russell (1919), A.N. Whitehead dan R.
Carnap(1931). Logisme dipelopori oleh filsuf Inggris bernama Bertrand Arthur William
Russell. Pernyataan penting yang dikemukakannya adalah bahwa semua konsep matematika
secara mutlak dapat disederhanakan pada konsep logika dan semua kebenaran matematika
dapat dibuktikan dari aksioma dan aturan melalui penarikan kesimpulan secara logika semata.
Dengan demikian logika dan matematika merupakan bidang yang sama karena seluruh konsep
4
dan dalil matematika dapat diturunkan dari logika. Betran merumuskan dua tuntutan
logisisme secara jelas dan eksplisit yaitu:
1. Semua konsep matematika pada akhirnya dapat dikurangi pada konsep logika, asal saja
ini diambil untuk memasukkan konsep dari kumpulan teori atau beberapa kekuatan yang
serupa, seperti jenis teori Russel
2. Semua kebenaran matematika dapat dibuktikan dari aksioma-aksioma dan aturan-aturan
yang terkait dengan logika itu sendiri.
Jika semua matematika dapat diekspresikan dalam teorema logika murni dan dibuktikan dari
prinsip-prinsip logika sendiri maka kepastian dari ilmu matematika dapat dikurangi untuk dan
dari logika itu. Logika disadari untuk menyediakan sebuah dasar yang pasti atas kebenaran,
sebagian dari ambisi yang berlebihan mencoba untuk menyampaikan logika, seperti hukum
Frege yang kelima. Dengan demikian jika membantu, program logika akan menyediakan
dasar logika yang pasti untuk pengetahuan matematika, melahirkan kembali kepastian yang
mutlak dalam matematika
Menurut Ernest (1991), ada beberapa keberatan terhadap logisisme antara lain:
a. Bahwa pernyataan matematika sebagai implikasi pernyataan sebelumnya, dengan
demikian kebenaran-kebenaran aksioma sebelumnya memerlukan eksplorasi tanpa
menyatakan benar atau salah. Hal ini mengarah pada kekeliruan karena tidak semua
kebenaran matematika dapat dinyatakan sebagai pernyataan implikasi.
b. Teorema Ketidaksempurnaan Godel menyatakan bahwa bukti deduktif tidak cukup untuk
mendemonstrasikan semua kebenaran matematika. Oleh karena itu reduksi yang sukses
mengenai aksioma matematika melalui logika belum cukup untuk menurunkan semua
kebenaran matematika.
c. Kepastian dan keajegan logika bergantung kepada asumsi-asumsi yang tidak teruji dan
tidak dijustifikasi. Program logisis mengurangi kepastian pengetahuan matematika dan
merupakan kegagalan prinsip dari logisisme. Logika tidak menyediakan suatu dasar
tertentu untuk pengetahuan matematika.

2. Aliran Formalisme
Dalam aliran formalisme, sifat alami dari matematika adalah sistem lambang yang
formal, bertalian dengan sifat–sifat struktural dari simbol–simbol dan proses pengolahan
terhadap lambang–lambang itu. Simbol–simbol dianggap mewakili berbagai sasaran yang
menjadi obyek matematika. Bilangan–bilangan misalnya dipandang sebagai sifat–sifat
struktural yang paling sederhana dari benda–benda. Jejak filosofi formalis matematika dapat
ditemukan dalam tulisan-tulisan Uskup Berkeley. Landasan matematika formalisme
5
dipelopori oleh ahli matematika besar dari Jerman David Hilbert. Program formalis Hilbert
bertujuan untuk menerjemahkan matematika ke dalam sistem formal. Artinya, dalam lingkup
terbatas tetapi sangat mengarah pada sistem formal yang menunjukkan sifat matematika,
dengan menurunkan mitra resmi dari semua kebenaran matematika melalui bukti konsistensi.
Menurut Ernest (1991) aliran formalisme memiliki dua dua tesis, yaitu :
Matematika dapat dinyatakan sebagai sistem formal yang tidak dapat ditafsirkan
sebarangan, kebenaran matematika disajikan melalui teorema-teorema formal.
Keamanan dari sistem formal ini dapat didemostrasikan dengan terbebasnya dari ketidak
konsistenan. Berdasarkan landasan pemikiran itu seorang pendukung aliran formalisme
merumuskan matematika sebagai ilmu tentang sistem – sistem formal.

Beberapa ahli tidak menerima konsep aliran formalisme ini. Keberatan bermula ketika
Godel membuktikan bahwa tidak mungkin bisa membuat sistem yang lengkap dan konsisten
dalam dirinya sendiri. Pernyataan ini dikenal dengan Teorema Ketidaklengkapan Godel
(Godel’s Incompleteness Theorem). Ketidaklengkapan Teorema Kurt Godel (Godel, 1931)
menunjukkan syarat yang tidak bisa dipenuhi. Teorema pertamanya menunjukkan bahwa
bahkan tidak semua kebenaran dari aritmatika dapat diturunkan dari aksioma Peano (atau
setiap aksioma set yang rekursif lebih besar). Teorema ketidaklengkapan kedua menunjukkan
bahwa dalam kasus konsistensi pembuktian memerlukan meta-matematika. Jadi, tidak semua
kebenaran matematika dapat direpresentasikan sebagai teorema dalam sistem formal dan
sistem itu sendiri tidak dapat dijamin kebenarannya.

3. Konstruktivisme
Dalam aliran konstruktivisme, salah satu programnya adalah merekonstruksi
pengetahuan matematika dan memperbaiki praktik matematis untuk menjaganya dari
kehilangan makna, dan dari kontradiksi. Konstruktivisme pada filsafat matematika dapat
ditelusuri kembali oleh Kant dan Kronecker (Korner,1960). Untuk tujuan ini, konstruktivis
menolak pendapat non konstruktif seperti pembuktian Cantor terhadap bilangan real tak
terhingga dan hukum logika. Para Konstruktivis yang terkenal adalah intuisionis L.E.J
browner (1913) dan A. Heyting (1931, 1956). Baru-baru ini ahli matematika E. Bishop (1967)
telah melakukan program konstruktivis dengan merekonstruksi sebagian besar analisis secara
konstruktif. Berbagai bentuk konstruktivisme masih berkembang saat ini, seperti dalam karya
intuisionis filosofis M.Dummet (1963-1977). Konstruktivisme mencakup berbagai pandangan
yang berbeda, dari ultra intuisionis (A.Yessenin-Volpin), melalui apa yang disebut intuisionis
filosofis sempurna (L.E.J. Brouwer), intuisionis menengah (A. Heyting dan H. Weyl),

6
intuisionis logika modern (A. Troelstra) dan sampai pada konstruktivis Liberal yakni dari P.
Lorenzen, E. Bishop, G. Kreisel dan P. Martin-Lof.
Ahli matematika beranggapan bahwa matematika klasik tidak cukup kuat, dan perlu
dibangun kembali melalui metode konstruktif dan penalaran. Kontruktivis mengklaim bahwa
kebenaran matematika dan keberadaan objek matematika harus ditetapkan melalui metode
konstruktif. Ini berarti bahwa konstruksi matematika dibutuhkan untuk mendirikan kebenaran
atau keberadaan, dibandingkan dengan mengandalkan bukti yang kontradiksi. Bagi para
kontruktivis, pengetahuan harus dibangun melalui bukti-bukti konstruktif, berdasarkan logika
kontruktivis terbatas, dan makna istilah/objek matematis memuat prosedur formal
sebagaimana mereka dikonstruk. Meskipun beberapa kontruktivis mempertahankan bahwa
matematika adalah studi tentang proses konstruktif yang dilakukan dengan menggunakan
pensil dan kertas, pandangan kuat intusionis, dipimpin oleh Brouwer, matematika menempati
tempat utama dalam pikiran dan matematika tertulis menempati tempat kedua. Salah satu
konsekuensi, Brouwer menganggap semua aksiomatisasi logika intuisi tidak lengkap,
sehingga dianggap tidak pernah memiliki bentuk akhir.
Intuisionisme menggambarkan filosofi konstruktivis paling lengkap dalam
matematika. Dua klaim dipisahkan dari intuisionisme sebagaimana diistilahkan oleh
Dummett: tesis positif dan negatif. Tesis positif menyatakan bahwa cara intuisionik untuk
mengkonstruksi gagasan matematis dan operasi logis adalah koheren dan masuk akal,
matematika intuisionik membentuk teori yang jelas, sementara tesis negatif menyatakan
bahwa cara klasik untuk mengkonstruksi gagasan matematis dan operasi logis adalah tidak
koheren dan tidak masuk akal, matematika klasik memiliki bentuk yang menyimpang dan
banyak yang tidak jelas.
Namun, para konstruktivis belum menunjukkan bahwa ada masalah yang tak
terhindarkan untuk menghadapi matematika klasik meskipun tidak koheren dan tidak valid.
Memang matematika klasik murni dan terapan telah hilang sejak program konstruktivis
diusulkan. Masalah lain dari pandangan konstruktivisme adalah beberapa hal tidak konsisten
dengan matematika klasikal, misalnya, rangkaian bilangan real seperti yang didefenisikan
oleh intuisionis dapat dihitung. Ini bertentangan dengan hasil klasik bukan karena ada
kontradiksi yang sudah menjadi sifat, tetapi karena defenisi bilangan real berbeda. Gagasan
konstruktivisme memiliki arti yang berbeda dari gagasan klasik. Dari perspektif epistemologi
baik tesis positif dan negatif dari intuisionime memiliki kekurangan. Intuisionis memberikan
landasan tertentu untuk kebenaran matematika dengan menurunkannya dari aksioma intuisi
tertentu menggunakan metode pembuktian intuitif. Pandangan ini mendasarkan pengetahuan
matematika secara eksklusif pada keyakinan subjektif. Namun, kepercayaan absolut tidak
7
dapat didasarkan pada keyakinan subjektif saja. Juga ada jaminan bahwa intuisi intuisionis
yang berbeda tentang kebenaran dasar akan serupa, akan tetapi ini tentu saja tidak ada.

D. Kekeliruan pada Paham Absolutisme ( Kemutlakan )


Ketiga aliran dalam matematika baik logisisme, formalisme, dan intuisionisme telah
berupaya untuk menyediakan suatu pondasi kuat untuk kebenaran matematis, menurunkannya
dengan pembuktian matematika dari sesuatu yang terbatas tetapi pada bidang yang pasti pada
suatu kebenaran. Hasilnya ketiga kelompok tersebut gagal untuk menetapkan kepastian yang
mutlak tentang kebenaran matematika. Karena logika deduktif hanya menyalurkan kebenaran,
tidak memasukkan kebenaran dan kesimpulan dari pembuktian yang logis merupakan yang
terbaik sebagai kepastian premis terlemah. Ketiga kelompok tersebut juga gagal untuk
memberikan landasan yang sepenuhnya untuk kebenaran matematis. Untuk teorema
ketidaklengkapan Godel yang pertama menunjukkan bukti tidak cukup untuk menunjukkan
semua kebenaran. Dengan begitu ada kebenaran matematika yang tidak dimiliki oleh sistem
kelompok ini. Kenyataannya tiga kelompok berpikir dalam filsafat matematika yang telah
gagal membangun kepastian dari pengetahuan matematika tidak menyudahi persoalan umum.
Masih mungkin ditemukannya dasar-dasar lain untuk menyatakan kebenaran matematika.
Kebenaran mutlak dalam matematika menyisakan suatu matematika yang mempunyai suatu
dampak yang sangat kuat pada cara pengajaran (Davis, 1967: Cooney, 1988: Ernest, 1988 b,
1989c). Sebuah studi menyimpulkan bahwa konsistensi yang diamati antara konsep
matematika guru dan cara mereka menyajikan suatu isi menunjukkan bahwa pandangan,
kepercayaan dan kesukaan guru tentang matematika mempengaruhi praktek pengajaran
mereka (Thompos, 1984, halam 125). Isu tersebut adalah inti bagi filsafat pendidikan
matematika dan memiliki hasil praktis yang penting untuk pengajaran dan pembelajaran
matematika.

E. Kritik Fallibist terhadap Absolutisme


Ada beberapa kritik dari penganut paham Fallibilist tentang kelemhaman dari paham
Absolutisme. Yang pertama menyangkut logika yang mendasar pada pembuktian matematis.
Penetapan kebenaran matematika, yaitu deduksi teorema dari seperangkat aksioma,
membutuhkan asumsi lebih lanjut, yaitu aksioma dan aturan inferensi logika sendiri. Ini
merupakan asumsi yang tidak sepele dan tidak dapat dihapuskan, dan argumen di atas (sifat
tak dapat dijabarkan dari asumsi seperti lingkaran tak berujung) berlaku sama pada logika.
Dengan demikian kebenaran matematika tergantung pada logika mendasar sama seperti
asumsi matematis. Tidak mungkin hanya menambahkan semua asumsi logika pada
8
sekumpulan asumpsi matematis, mengikuti strategi hypothetico-deduktif 'jika-maka'. Logika
memberikan aturan-aturan kesimpulan yang benar dimana teorema matematika tersebut
berasal. Memasukkan semua asumsi logis dan matematis ke dalam bagian 'hipotesis' tidak
meninggalkan dasar pada bagian ‘deduktif’ dari metode tersebut. Deduksi menyangkut
'kesimpulan yang benar’, dan ini pada gilirannya didasarkan pada gagasan tentang kebenaran
(kebenaran nilai). Tapi apa kemudian fondasi dari kebenaran logis? Ini tidak dapat bersandar
pada bukti, pada lingkaran tak berujung, sehingga harus diasumsikan. Tetapi setiap asumsi
tanpa dasar yang kuat, apakah itu diperoleh melalui intuisi, konvensi, berarti atau apa pun
adalah, adalah sebuah kesalahan. Singkatnya, kebenaran dan bukti matematis bersandar pada
deduksi dan logika. Tetapi logika sendiri kekurangan fondasi yang pasti. Hal ini terlalu
bersandar pada asumsi yang tidak tereduksi. Sehingga ketergantungan pada deduksi logis
meningkatkan sekumpulan asumsi pada sandaran kebenaran matematis, dan ini tidak bisa
dinetralisir oleh strategi 'jika-maka’.
Matematika terdiri dari teori-teori (misalnya teori grup, teori kategori) yang dipelajari
dalam sistem matematika, berdasarkan serangkaian asumsi (aksioma). Untuk menetapkan
bahwa sistem matematika aman (konsisten), untuk setiap sistem kita diperlukan untuk
memperluas serangkaian asumsi dari sistem (teorema ketidak lengkapan Godel kedua,1931).
Oleh karena itu kita mengasumsikan konsistensi dari sistem yang lebih kuat untuk
mendemonstrasikan kelemahan. Oleh karena itu kita tidak dapat mengetahui bahwa sistem
matematika paling mudah adalah aman, dan kemungkinan kesalahan dan inkonsistensi harus
selalu tetap. Kepercayaan pada keamanan matematika harus didasarkan atas dasar empiris
(tidak ada kontradiksi yang ditemukan pada sistem matematika) atau pada kepercayaannya,
tidak juga memberikan dasar tertentu yang absolutisme butuhkan.
Masing-masing asumsi berikut adalah beberapa kondisi yang diperlukan untuk
kepastian dalam matematika. Masing-masing yang diperdebatkan adalah asumsi absolut yang
tidak beralasan.

Asumsi A
Bukti yang dipublikasikan matematikawan sebagai jaminan untuk menegaskan teorema, pada
prinsipnya, dapat diterjemahkan ke dalam bukti-bukti formal yang teratur. Pembuktian
informal yang dipublikasikan matematikawan umumnya tidak sempurna, dan tidak berarti
seluruhnya dapat diandalkan (Dawis, 1972). Menerjemahkannya ke dalam bukti-bukti formal
yang teratur sepenuhnya bukanlah yang utama, pekerjaan non mekanis. Hal ini membutuhkan
kecerdasan manusia untuk menghubungkan gap dan untuk memperbaiki kesalahan. Karena
pembenaran secara total dari matematika tidak akan mungkin dilakukan, apa nilai yang
9
menyatakan bahwa bukti-bukti informal dapat diterjemahkan ke dalam bukti-bukti formal
'pada prinsipnya'. Ini adalah janji yang tidak terpenuhi, bukan alasan untuk kepastian.
Pembenaran secara total adalah cita-cita yang tidak tercapai dan bukan realita praktis. Oleh
karena itu kepastian tidak dapat diklaim sebagai bukti matematika, sekalipun kritik
sebelumnya tidak diabaikan.

Asumsi B
Bukti formal yang kaku dapat diperiksa kebenarannya.
Sekarang ada bukti informal tidak dapat diperiksa manusia, seperti Appel-Haken (1978) bukti
teorema empat warna (Tymoczko, 1979). Terjemahan ke dalam bukti-bukti formal yang kaku
akan menjadi lebih lama. Jika ini tidak mungkin disurvei oleh seorang matematikawan, atas
dasar apa mereka dianggap sebagai kebenaran mutlak? Jika bukti tersebut diperiksa oleh
komputer apa yang menjadi jaminan bahwa perangkat lunak dan hardware yang dirancang
benar-benar sempurna, dan bahwa perangkat lunak tersebut berjalan sempurna? Mengingat
kompleksitas perangkat keras dan perangkat lunak tampaknya tidak masuk akal dapat
diperiksa oleh satu orang. Lebih lanjut, pemeriksaan tersebut melibatkan unsur empiris
(yakni, apakah berjalan sesuai dengan desain?). Jika pemeriksaan bukti-bukti formal tidak
dapat dilakukan, atau memiliki unsur empiris, maka klaim kepastian absolut harus dilepaskan
(Tymoczko, 1979).

Asumsi C
Teori-teori Matematika dapat diterjemahkan secara valid ke dalam serangkaian aksioma
formal. Formalisasi teori matematika intuitif dalam seratus tahun terakhir (misalnya, logika
matematika, teori bilangan, teori himpunan, analisis) telah menyebabkan masalah yang
mendalam dan tak terduga, sebagai konsep-konsep dan bukti berada di bawah pengawasan
semakin ketat, saat mencoba untuk menjelaskan dan merekonstruksinya. Formalisasi yang
memuaskan dari matematika tidak dapat diasumsikan tanpa masalah. Sampai formalisasi ini
dilakukan tidak mungkin untuk menyatakan dengan pasti bahwa hal itu dapat dilakukan
secara sah. Tapi sampai matematika diformalisasikan, ketelitiannya, sebagai kondisi yang
diperlukan untuk kepastian, diluar angan-angan.

Asumsi D
Konsistensi dari representasi (dalam asumsi C) dapat diperiksa.

10
Seperti yang kita ketahui dari Teorema Ketidaklengkapan Godel, ini bertambah secara
signifikan terhadap asumsi pokok yang mendukung pengetahuan matematika. Jadi tidak ada
jaminan kebenaran mutlak.

F. Pandangan Fallibilist
Dalam pandangan Fallibilist, kebenaran matematika dapat keliru dan dapat
diperbaiki/dibenarkan. Tesis fallibilist memiliki dua bentuk setara, satu positif dan satu
negatif. Bentuk negatif menyangkut penolakan paham absolutisme: pengetahuan matematika
bukan kebenaran mutlak, dan tidak memiliki validitas mutlak. Bentuk positif adalah bahwa
pengetahuan matematika dapat diperbaiki dan selalu terbuka untuk revisi (perbaikan).

G Matematika dan Nilai


1. Pandangan Matematika Netral dan Bebas Nilai
Filosofi absolutis berkomitmen dengan keyakinan mutlak pada obyektifitas dan
netralitas pada matematika serta memuat nilai. Sebab, sebagaimana telah kita lihat, dalam
matematika ada nilai-nilai implisit. Abstrak dinilai lebih konkret, formal lebih informal,
tujuan lebih subjektif, pembenaran atas penemuan, rasionalitas atas intuisi, alasan di atas
emosi, umum lebih khusus, teori di praktek, kerja otak atas pekerjaan tangan, dan
sebagainya. Ini merupakan banyak nilai-nilai yang jelas dari matematika, serta dimiliki oleh
banyak budaya ilmiah Inggris dan Barat. Menurut pengikut paham Absolutisme, nilai-nilai ini
menyangkut matematika dan budaya mereka, dan bukan wilayah tujuan matematika itu
sendiri. Diklaim bahwa nilai-nilai absolutis dimasukkan ke matematika, baik secara sadar atau
tidak sadar, melalui definisi lapangan. Dengan kata lain, semua perspektif absolutisme akan
diakui sebagai pengetahuan matematika yang dapat dipercaya yang harus memenuhi nilai-
nilai. Dalil matematika dan buktinya, produk-produk dari wacana matematika formal sebagai
matematika yang sah, penemuan matematika, praktek matematikawan dan produk lainnya dan
proses wacana matematika informal dan tidak profesional. Setelah aturan pembatasan disiplin
ditetapkan dengan cara ini, maka dapat mengklaim bahwa matematika adalah netral dan bebas
nilai. Untuk tempat nilai-nilai ada aturan yang menentukan hal yang diterima.
Nilai matematikawan telah dikembangkan sebagai bagian dari disiplin dengan logika
yang kuat dan estetika. Jadi Tidak akan masuk akal untuk menyatakan bahwa nilai-nilai ini
melakukan apa pun kecuali secara eksplisit melayani kepentingan sosial kelompok. Namun
demikian, apakah sengaja atau tidak, kenyataannya bahwa nilai-nilai ini tidak melayani
kepentingan kelompok istimewa. Keuntungan laki-laki atas perempuan, kulit putih atas kulit
hitam, dan kelas menengah atas kelas bawah, dalam hal keberhasilan akademis dan prestasi
11
dalam matematika sekolah. Hal ini mendorong kepentingan yang lebih istimewa dalam
masyarakat, karena fungsi sosial khusus matematika sebagai 'kritis filter' dalam hal akses ke
profesi yang dibayar paling baik (Menjual, 1973, 1976). Dengan demikian nilai-nilai rahasia
matematika dan matematika sekolah melayani dominasi budaya masyarakat dengan satu
sektor. Tanggapan absolut untuk mengisi ini adalah bahwa matematika adalah objektif dan
netral serta bebas nilai. Setiap nilai yang tersirat dalam matematika tidak mewakili pilihan
atau preferensi tetapi penting untuk sifat dari perusahaan.

2. Pandangan matematika syarat nilai dan terikat budaya


Pandangan konstruktivisme sosial matematika sebagai produk dari aktivitas manusia
terorganisir, sepanjang waktu. Berbagai bidang pengetahuan ciptaan manusia, interkoneksi
oleh asal mereka bersama dan sejarah. Akibatnya, matematika seperti sisa budaya
pengetahuan terikat, dan dijiwai dengan nilai-nilai pembuat dan konteks budaya mereka.

Catatan sejarah pembentukan matematika


Catatan sejarah pembuatan matematika, bukan hanya jalur yang ditinggalkan oleh
matematika untuk mendekati kebenaran lebih dekat. Ini masalah catatan yang diajukan, dan
konsep, proposisi, bukti-bukti dan teori dibuat, dinegosiasikan dan dirumuskan oleh individu
dan kelompok untuk melayani tujuan dan kepentingan mereka. Konsekuensi dari pandangan
ini, karena filsafat absolut telah mendominasi lapangan, bahwa sejarah matematika harus
ditulis ulang dengan cara yang non-teleologis non-Eurocentric. Pandangan absolutis
matematika sebagai kebenaran yang diperlukan secara implisit mengasumsikan bahwa
penemuan hampir ditakdirkan dan bahwa matematika modern merupakan hasil tak terelakkan.
Koreksi ini perlu, untuk matematika modern tidak lebih dalam hasil yang tak terelakkan dari
sejarah daripada manusia modern adalah hasil yang tak terelakkan dari evolusi.

Semua bidang pengetahuan manusia saling berhubungan


Konstruktivisme sosial dimulai dari premis bahwa semua pengetahuan yang dihasilkan
oleh aktivitas intelektual manusia, memberikan kesatuan genetik yang mendasari untuk semua
bidang pengetahuan manusia. Konstruktivisme sosial terletak pada pembenaran pengetahuan
atas dasar bersama, yaitu perjanjian manusia. Jadi baik dari segi asal-usulnya dan dasar
pembenaran, pengetahuan manusia memiliki kesatuan mendasar, dan semua bidang
pengetahuan manusia yang saling berhubungan. Akibatnya, menurut konstruktivisme sosial,
pengetahuan matematika dihubungkan terkait dengan bidang pengetahuan lain, dan melalui

12
bagian akarnya, juga syarat nilainya, diakui menjadi bidang pengetahuan lainnya, karena
dihubungkan dengan mereka.

Matematika terikat budaya dan sarat nilai


Karena matematika terkait dengan semua pengetahuan manusia, hal itu merupakan
budaya-terikat dan dijiwai dengan nilai-nilai pembuat dan konteks budaya mereka. Akibatnya
meliputi kehidupan sosial dan budaya (Davis dan Hersh, 1988). Shirley (1986) mengusulkan
pembagian matematika menjadi matematika formal dan informal, terapan dan murni.
Menggabungkan perbedaan ini mendorongnya untuk membagi empat kategori aktivitas
matematika, masing-masing termasuk sejumlah praktek-praktek yang berbeda, sebagai
berikut:
a) Matematika formal-murni, termasuk matematika penelitian universitas, dan banyak dari
matematika diajarkan di sekolah.
b) Matematika formal-diterapkan, berpengaruh baik ke keluar lembaga pendidikan, dan
seterusnya, seperti bekerja dengan statistik di industri.
c) Matematika informal-murni terlibat dalam lembaga-lembaga sosial di luar matematika,
yang mungkin disebut 'budaya' matematika murni.
d) Matematika informal-diterapkan, yang terdiri dari berbagai macam matematika tertanam
dalam kehidupan sehari-hari, kerajinan, adat atau bekerja.

Sebagai bagian dari budaya suatu masyarakat, matematika memberikan kontribusi


pada keseluruhan tujuan. Untuk membantu orang memahami kehidupan dan dunia,
menyediakan alat untuk berurusan dengan berbagai pengalaman manusia. Bagian dari budaya
matematika melayani tujuan tujuan secara keseluruhan. Tapi budaya matematika di setiap
bagian berbeda dan dapat diberikan peran yang berbeda pula untuk bermain, sebagai
kontribusi terhadap tujuan ini. Dengan demikian budaya matematika berimplikasi pada
agama, artistik, praktis, teknologi, penelitian untuk kepentingan sendiri, dan seterusnya.
Apapun itu, budaya matematika masing-masing mungkin melayani keperluan sendiri secara
baik dan efisien, karena telah berkembang untuk memenuhi kebutuhan tertentu dan selamat.
Akibatnya, masing-masing budaya matematika sama-sama berharga, karena semua budaya
sama-sama valid.
Sebuah kesalahan untuk berpendapat bahwa akademik Barat matematika lebih
berharga atau efisien daripada matematika dari budaya lain. Untuk klaim nilai atau efisiensi
matematika mengasumsikan sistem nilai. Setiap kebudayaan memiliki nilai-nilai yang
merupakan bagian dari pandangannya tentang dunia, tujuan keseluruhan, dan memberikan
13
tujuan kepada para anggotanya. Setiap kebudayaan, seperti setiap individu, memiliki hak
integritas. Dengan demikian, sistem nilai-nilai budaya dari masing-masing, sama-sama valid.
Dalam hal kemutlakan, tidak ada dasar untuk menyatakan bahwa sistem nilai dari satu budaya
atau masyarakat lebih unggul daripada yang lainnya. Hal ini tidak bisa menegaskan, oleh
karena, bahwa matematika Barat lebih unggul daripada yang bentuk lain karena kekuasaan
yang lebih besar atas alam. Ini kesalahan dengan mengasumsikan bahwa nilai-nilai budaya
Barat dan matematika bersifat universal. Pengakuan sifat terikat budaya matematika pasti
mengarah ke pengakuan sifat sarat nilai.

H. Gender dan Pendidikan Matematika


Masalah yang muncul terkait gender dan pendidikan matematika adalah kesenjangan
antara laki-laki dan perempuan pada tingkat partisipasi dalam matematika. Selama dua dekade
bukti telah terkumpul bahwa perempuan kurang beruntung dari laki-laki dalam pendidikan
matematika (Fox et al., 1977) . Di Inggris, Hilary Shuard mendokumentasikan ketimpangan
ini pada awal tahun 1980-an (Cockcroft, 1982). Ada dua hal yang menjadi acuan masalah ini
yaitu: Rendahnya prestasi perempuan dalam ujian eksternal, Perempuan kurang berpartisipasi
dalam matematika.
Sejak matematika menjadi 'pintu gerbang' untuk berbagai bidang studi lebih lanjut,
dan 'kritis filter' dalam pekerjaan, matematika sangat penting (Menjual, 1973, 1976). Ini
adalah sumber ketimpangan, yang menutup peluang pendidikan dan karir perempuan, dan
menghalangi masyarakat tentang manfaat bakat mereka. Lebih dari itu, ada dua dimensi lebih
lanjut: seksisme kelembagaan di bidang pendidikan dan seksisme dalam masyarakat menjadi
akar masalah (Cockcroft, 1982; Walden dan Walkerdine, 1982; Whyld, 1983; Burton, 1986;
Open University, 1986; Walkerdine, 1989; Walkerdine et al, 1989).

1. Seksisme kelembagaan dalam pendidikan, Ini diwujudkan dalam hal:


• isi budaya dari kurikulum (matematika sebagai domain laki-laki);
• bentuk-bentuk penilaian yang digunakan (kompetitif);
• teks bias gender dan lembar kerja (stereotip);
• metode mengajar yang digunakan (individualistis bukan lisan dan kooperatif);
• organisasi sekolah dan seleksi;
• ketidakcukupan panutan perempuan yang positif antara matematika guru
• dan sadar seksisme di kalangan guru.

14
2. Seksisme dalam masyarakat
Ini diwujudkan dalam beberapa bentuk yang kuat termasuk :
• keyakinan yang jelas seksis dan perilaku
• dominasi budaya ( legitimasi dan mereproduksi peran gender stereotip dan bidang
pengetahuan , termasuk matematika gender bias ) ; dan
• seksisme kelembagaan struktural (yang menyangkal kesempatan perempuan yang
sama, sehingga mereproduksi ketidaksetaraan gender dalam masyarakat).

Beberapa faktor-faktor yang saling terkait dan berkontribusi terhadap masalah gender
dalam matematika dapat ditunjukkan sebagai siklus reproduktif berikut. Hal ini menunjukkan
kurangnya kesempatan peremuan dalam belajar matematika. Pandangan negatif mengarah ke
perempuan terhadap kemampuan matematika mereka sendiri, dan memperkuat persepsi
mereka tentang matematika sebagai subjek laki-laki. Konsekuensinya adalah rendahnya
pencapaian perempuan dan partisipasinya dalam matematika.

Gambar: Siklus reproduktive kesempatan kaum perempuan dalam belajar matematika

Para pragmatis teknologi memberi solusi terhadap hambatan perempuan untuk


menjadi tenaga kerja di bagian teknologi melalui pelatihan yang bersahabat dengan
perempuan. Mereka mengakui bahwa langkah-langkah tertentu harus diambil untuk
mengatasi bias gender dalam pendidikan matematika dan teknologi. Para pendidik maju
melihat masalah dalam diri perempuan dalam hal prestasi dan kurang percaya diri. Menurut
15
pandangan ini, ada hambatan pribadi untuk perempuan mencapai potensi mereka, yang dapat
diperburuk melalui pengajaran dan materi sensitif atau seksis. Solusi pendidik maju mengatasi
masalah ini adalah dengan (1) memastikan materi kurikulum tidak bias jender dan
memberikan panutan perempuan baik dalam matematika; dan (2) membantu perempuan untuk
mengembangkan konsep diri matematika yang positif dan sikap, melalui perhatian individu
dan pengalaman sukses dalam matematika. Pendekatan ini individualistik yakni menemukan
masalah dalam individudan berusaha untuk memperbaiki kondisi mereka merupakan respon
yang terdalam dan sejauh ini dianggap paling prinsipiil.

Pandangan pendidik masyarakat


Dari pandangan pendidik masyarakat, perempuan dipandang kurang partisipasi dalam
matematika karena wacana budaya yang mengakar kuat yang mengidentifikasi matematika
dengan kejantanan dan kekuasaan, dan konsekuensi dari definisi ini adalah perempuan keluar
dari matematika (Walkerdine et al, 1989). Jadi masalah tersebut menjadi epistemologis, dan
tidak dapat dipisahkan sosio politik. Untuk dominasi budaya pengetahuan rasional dan ilmiah
oleh nilai-nilai kejantanan, berfungsi hirarki yang sah dan mempertahankan dominasi status
laki-laki, kekuasaan dan kekayaan, dan politik di masyarakat.
Solusi pendidik masyarakat adalah pendidikan anti seksis, yang menetapkan (1)
mengungkapkan dan memberantas seksisme kelembagaan eksplisit di guru, teks, pandangan
pengetahuan, dan akhirnya dalam definisi budaya jenis kelamin, (2) untuk memberikan semua
dengan memberdayakan pendidikan matematika.

I. Tujuan dan Ideologi Pendidikan Matematika


1. Sikap Epistemologi dan Etika
Filosofi matematika yang berbeda memberikan hasil yang berbeda dalam hal praktik
pendidikan.namun hubungannya tidak langsung, sehingga penyelidikan atas filosofi yang
mendukung pengajaran matematika dan kurikulum matematika membuat kita harus
mempertimbangkan nilai-nilai, ideologi dan kelompok-kelompok sosial yang menaatinya.

Ideologi
bagian ini membedakan berbagai ideologi yang tergabung dalam kedua pandangan
epistemologi dan etis.karena konsep ideologi itu penting, sehingga sangatlah tepat untuk
menjelaskan artinya terlebih dahulu.williams (1977) menelusuri salah satu penggunaan pada
napoleon Bonaparte, dimana ini menandakan pemikiran revolusioner, yang dianggap sebagai
suatu ide yang tidak diinginkan dan mengancam cara berpikir yang baik dan masuk akal.hal

16
ini menyebabkan penggunaan indeologi rendah yaitu sebagai teori fanatik atau teori
masyarakat yang tidak praktis. Meskipun Mark pertama kali menggunakan istilah kesadaran
palsu, dimana para pemikir membayangkan motif yang palsu atau nyata (Meighan, 1986
halaman 174), Ia kemudian menggunakannya dalam arti yang dimaksudkan di sini .dalam
pengertian ideologi yang lebih sosiologi ini, ideologi merupakan suatu filsafat yang kaya
nilai, atau berpandangan luas(secara mendunia), suatu sistem gagasan dan keyakinan yang
saling mengunci satu sama lain.
Dengan demikian ideologi yang dipahami disini menjadi persaingan sistem
kepercayaan, penggabungan nilai sikap secara epistemologi dan moral, tanpa merendahkan
makna ideologi itu sendiri. Pengertian-pengertian tersebut tidak boleh dihadapkan dengan isi
ilmu pengetahuan dan matematika, tetapi untuk mendukung dan menyerap pengetahuan ini
dan untuk mengilhami pemikiran kelompok yang sesuai dengan ny (Gidden, 1983; Althusser,
1971). Ideologi sering dilihat para penganutnya sebagai ‘cara yang sebenar-benarnya dari
semua hal’ (Meighan, 1986),
Karena hal tersebut sering substratum yang tak terlihat untuk hubungan antara kekuasaan dan
dominasi dalam masyarakat (Giddens, 1983; Althusser, 1971). Namun perlakuan terhadap
ideologi yang diberikan di sini menekankan pada aspek epistemologi, etika, pendidikan,
kepentingan sosial kekuasaan dan dominasi akan dibahas untuk selanjutnya.
Tujuan dari bab ini adalah untuk menghubungkan filsafat umun dan pribadi dari
matematika dan pendidikan.Sebagai tambahan atas filsafat yang secara eksplisit kita juga
akan membahas sistem kepercayaan individu dan kelompok. Keyakinan seperti ini tidak
begitu mudah terlepas dari konteksnya sebagai filsafat publik, dan menjadi bagian dari
keseluruhan hubungan (nexus) ideologis. Kepercayaan ini terdiri dari komponen yang saling
terjalin, termasuk epistemologi pribadi, rangkaian nilai-nilai dan teori-teori pribadi lainnya.
Oleh karenanya, dibutuhkan lebih dari epistemologi untuk menghubungkan filsafat publik
dengan ideologi pribadi.
Sebagai dasar untuk membedakan ideologi kita mengadopsi teori Perry (1970, 1981) .
Teori Ini adalah teori psikologi tentang perkembangan sikap epistemologi individu dan etis
dan juga merupakan teori struktural yang memberikan/ menyiapkan suatu kerangka kerja
yang sesuai dengan berbagai macam filosofi yang berbeda dan rangkaian nilai.

Theory Perry
Teori perry menentukan urutan tahap perkembangan, serta memungkinkan fiksasi , dan
mengalami kemunduran dari level tersebut. Untuk sederhananya, kami hanya
mempertimbangkan tiga tahap yaitu Dualisme, Multiplisitas, dan Relativisme . Teori ini tidak
17
berakhir di Relativisme, tetapi terus melalui beberapa tahapan Komitmen. Namun tahapan ini
tidak mewakili restrukturisasi radikal keyakinan, tidak seperti entrenchment dan integrasi
relativisme kedalam seluruh kepribadian. Hal yang mendasari skema perry adalah asumsi
bahwa perkembangan intelektual dan etika mulai tertanam dalam serangkaian keyakinan yang
tidak dipertanyakan, berlangsung melalui beberapa tingkat detasemen kritis, dan kemudian
kembali tertanam dengan sendirinya dalam suatu komitmen terhadap seperangkat prinsip
intelektual dan etika. Jadi tiga tahap dibahas disini cukup untuk membedakan ideologi yang
secara struktural berbeda.

Dualisme
Dualisme Sederhana adalah penataan bercabang dari dunia antara yang baik dan
buruk, benar dan salah, kita dan pandangan lainnya.pandangan Dualistik ditandai dengan
dikotomi sederhana dan ketergantungan yang kuat pada keabsolutan dan otoritas sebagai
sumber kebenaran, nilai, dan kontrol. Sehingga dalam hal keyakinan epistemologi , dualisme
menyiratkan pandangan absolutis terhadap pengetahuan yang dibagi menjadi dua yaitu
kebenaran dan klepalsuan, bergantung pada otoritas sebagai wasit. Pengetahuan tidak dinilai
secara rasional, tetapi dinilai dengan mengacu pada otoritas. Dalam hal keyakinan etika,
Dualisme berarti bahwa semua tindakan hanya dinilai atas benar atau salah.
Semua masalah ini diselesaikan denga ketaatan[penyelarasan diri dengan Otoritas]:
ketaatan, kesesuaian terhadap hak dan apa yang mereka inginkan. Keinginan/kemauan
kekuasaan (will popwer) dan pekerjaan akan menghasilkan kongruensi aksi dan penghargaan.
Keserbaragaman tidak diperhitungkan . diri didefinisikan terutama oleh keanggotaan dalam
hak dan tradisional.(Perry, 1970, akhir-chart)

Keserbaragaman
Sebuah pluralitas 'jawaban', menunjukkan pandangan atau evaluasi, dengan mengacu
topik atau masalah yang sama. Pluralitas ini dianggap sebagai kumpulan yang mempunyai
ciri-ciri tersendiri tanpa struktur internal maupun hubungan eksternal , dalam artian orang
memiliki hak untuk memiliki pendapatnya sendiri, dengan implikasi bahwa tidak ada
penilaian dapat dibuat terhadapa pendapat-pendapat tersebut.(Perry, 1970, akhir chart).

Pandangan Multiplistic mengakui pluralitas 'jawaban', pendekatan atau perspektif, baik yang
bersifat epistemologis dan etis, tetapi tidak memiliki dasar rasional pilihan antara Alternatif-
alternatif.

18
Relativisme
Sudut pandang pluralitas, interpretasi, kerangka acuan, sistem nilai dan kontinjensi di
mana sifat struktural dari konteks dan bentuk memungkinkan adanya berbagai macam
analisis, perbandingan dan evaluasi dalam multiplisitas.
(Perry, 1970, akhir-chart)
Secara Epistemologis, Relativisme mengharuskan pengetahuan, jawaban dan pilihan
dilihat sebagaisuatu yang tergantung pada fitur konteks, dan dievaluasi atau dibenarkan dalam
sistem atau prinsip-prinsip yang diatur. Dari sudut pandang etika , tindajkan dianggap
diinginkan atau tidak diinginkan berdasarkan kesesuaian dengan konteks dan sistem nilai-nilai
dan prinsip-prinsip.
Sejumlah peneliti pendidikan telah menemukan Skema Perr adalah kerangka yang
berguna untuk menggambarkan perkembangan intelektual dan etika dan juga keyakinan
pribadi.termasuik juga aplikasinya untuk tingkat pemikiran sistem teori siswa y menjadi
berguna kerangka untuk menggambarkan perkembangan intelektual dan etis dan keyakinan
pribadi. Ini termasuk aplikasi ke tingkat pemikiran teori sistem siswa (Salner, 1986),
mahasiswa dan siswa jurusan matematika ((Buerk, 1982; Stonewater et . al, 1988) dan guru
matematika terkait keyakinan-sistem yang terkait (Copes, 1982, 1988; Oprea dan Stonewater,
1987; Cooney dan Jones, 1988; Cooney, 1988; Ernest, 1989a perguruan tinggi dan sekolah
tinggi mahasiswa matematika Dengan demikian teori Perry secara luas digunakan untuk
menggambarkan filosofi pribadi, khususnyadalam matematika.

J. Hirarki dalam Matematika, Belajar, Kemampuan Dan Masyarakat


1. Hirarki dalam Matematika
Untuk semua teori matematika formal, dengan sekumpulan aksioma tetap, maka ada
struktur hirarkis, pilihan aksioma, bersamaan dengan spesifikasi aturan interferensi dan latar
belakang bahasa formal, menentukan teori matematika hirarkis. Namun, matematika dibentuk
oleh banyak teori yang berbeda, kebanyakan memiliki formulasi aksiomatik yang berbeda.
Aksiomatik menetapkan teori misalnya, memiliki sejumlah aksiomatisasi yang cukup berbeda
seperti teori Zermelo-Fraenkel dan Teori Godel-Bernays-von-Neuman (Kneebone, 1963). Di
luar itu, banyak ahli matematika selanjutnya mengubah teori himpunan aksiomatik yang
mereka pelajari dengan menambahkan aksioma lanjut (Jech, 1971; Maddy, 1984). Akibatnya,
tidak ada keseluruhan struktur bagi matematika formal, karena ini terbentuk dari banyak
sekali teori yang berbeda dan pembentukan teori, semuanya dengan struktur dan hirarkinya
sendiri. Selanjutnya, sebenarnya setiap satu dari teori aksioma ini tidaklah lengkap, menurut
Godel (1931). Maka ada kebenaran teori yang tidak memiliki tempat dalam hirarki deduktif.
19
Seperti yang kita tahu dalam bab sebelumnya, usaha yang dilakukan oleh beberapa ahli
matematika hebat dari abad ini untuk menciptakan pengetahuan matematika dalam system
fondasi tunggal dimana logicist, formalist atau intuitionist, semuanya gagal. Sehingga hasil
dari meta-matematika mendorong kita untuk memahami bahwa matematika dibentuk oleh
teori keserberagaman yang berbeda, dimana hal ini tidak bisa diturunkan pada sistem tunggal,
dan tidak ada dari teori ini yang cukup untuk menangkap semua kebenaran bahkan dalam
domain aplikasi yang terbatas. Lebih lanjut, belajar matematika paling baik diatur dengan cara
ini, bahwa kemampuan matematika disusun dengan cara seperti ini dan masyarakat memiliki
struktur hirarkis yang pasti, terutama dalam pembelajaran.
Keunikan hiearki matematika tergantung pada persetujuan seperti pada fondasi
matematika, Bourbaki mengasumsikan serangkaian fondasi teoritis. Kita telah melihat
bahwa Foundationist mengklaim bahwa matematika berada dalam kegagalan fondasi yang
unik. Paling tidak dua alternatif pada fondasi teoritis dalam matematika ada. Pertama,
telah diklaim bahwa Teori Kategori bisa memberikan dasar alternatif matematika, dalam
tempat teori himpunan (Lawvere, 1966). Klaim ini belum sepenuhnya dibenarkan, namun
meski demikian ini merupakan tantangan bagi keunikan fondasi teoritik himpunan. Ada
cabang teori kategori (teori Topos) yang kedua-duanya logika intuisi dan klasik dapat
diturunkan (Bell, 1981). Karena teori himpunan dapat ditunjukkan dalam logika klasik urutan
pertama, maka bisa diturunkan untuk teori kategori. Kedua, logika intuisionis memberikan
fondasi bagi matematika. Meskipun tidak semua matematika bisa ditunjukkan dalam
kaitannya dengan basis ini, sebagian besar dari program telah direalisasikan untuk analisis,
oleh Bishop (1967) dan yang lainnya. Oleh karena itu logika intuisionist mengakomodir
matematika combinatioral, tidak seperti fondasi teoriti himpunan dari matematika klasik.
Sehingga dalam basis dua argumen ini, klaim bahwa keberadaan struktur unik pada
matematika disangkal.

2. Matematika Hasil Dari Pengajuan Dan Pemecahan Masalah Manusia.


Konstruktivisme sosial mengidentifikasi matematika sebagai satu kemasyarakatan,
yang diakibatkan dari permasalahan manusia dan pemecahannya. Matematika sesuatu
kemungkinan yang unik pada pusat yang memberikan permasalahan, yang dapat tersisa atau
tidak dapat terpecahkan dan merupakan hal menarik institusi dari ribuan tahun. Sejumlah ahli
filsafat telah mengidentifikasi masalah dan pemecahan masalah berada pada pusat ilmiah.
Laudan (1997) dengan tegas mengajukan satu model pemecahan masalah dengan kemajuan
ilmiah. Dia membantah bahwa yang meyediakan ini, terjadi dalam konteks (atau budaya)
yang mengijinkan bahasan/diskusi yang kritis, pemecahan masalah adalah karakteristik yang
20
penting dengan rasionalitas ilmiah dan metodologi. Pada filsafat dari matematika, Hallet
(1979) mengajukan masalah, dimana hal tersebut harus, memainkan satu peran kunci pada
evaluasi dari teori matematis. Dia mengadopsi Kriteria Hilbert’, bahwa teori dan program
penelitian dalam matematika harus dinilai dengan luas kemana arah mereka membantu solusi
dari permasalahan tersebut. Kedua pendekatan ini mengakui adanya kepentingan dari masalah
dalam kemajuan ilmiah, tetapi mereka berdua memiliki andil pada satu fokus pembenaran
apabila dibandingkan dengan ciptaan dari teori. Ini adalah ‘konteks dari pembenaran’,
dibandingkan oleh Popper (1959) dengan ‘konteks dari penemuan’, yang dia abaikan.
Sejak zaman Euclid, atau sebelumnya, penekanan dalam presentasi matematika
menggunakan logika deduktif dan berperan dalam pembenaran pengetahuan matematika. Ini
adalah salah satu prestasi besar dari matematika. Namun penekanannya
pada teorema dan bukti, dan secara umum tentang pembenaran, telah membantu untuk
menopang pandangan absolut tradisional dari matematika. Pengenalan awal dari suatu
masalah dan pemecahan masalah dalam matematika mengingatkan kita akan sejarah dari ilmu
matematika, salah satunya yang menekankan konteks kalimat dari penemuan atau penciptaan.
Dari masa yunani kuno, telah dikenal pendekatan sistematis yang dapat memudahkan
penemuan dalam matematika. Dengan demikian, antara lain, Pappus menulis satu risalah yang
mencirikan di antara analitik dan sintetik sebagai metode pemecahan masalah. Yang pertama
melibatkan memisahkan komponen logis atau semantik dari premis atau kesimpulan,
sedangkan yang terakhir melibatkan membawa elemen baru ke dalam bermain dan mencoba
untuk menggabungkan mereka. Perbedaan ini telah terjadi sepanjang sejarah, dalam beberapa
kali telah digunakan oleh psikolog untuk membedakan berbagai tingkat proses kognitif
(Bloom, 1956).
Sejak zaman Renaisans, sejumlah metodologi penting dari ilmu pengetahuan telah
berusaha untuk mengatur ciptaan dalam jalan yang merupakan pertanda dari heuristik
matematis. Bacon (1960) mengajukan suatu metode atau cara menginduksi untuk
memunculkan hipotesis, yang kemudian menjadi sasaran pengujian. Agar memudahkan asal
usul dengan hipotesis induktif, dia mengajukan konstruksi dengan tabel sistematis dari hasil
atau fakta, diorganisir untuk memperlihatkan persamaan dan perbedaan. Usulan tersebut
diterbitkan pada tahun 1620, antisipasi heuristik dari penelitian modern pada pemecahan
masalah matematis, seperti Kantowski, yang ditetapkan sebagai ‘ proses Heuristik
berhubungan untuk merencanakan, mencari-cari pola, membuat tabel atau matriks ’ (Bell dkk,
1983 halaman 208).
Pada tahun 1628 Descrates (1931) mengusulkan prosedur lanjut, yang secara eksplisit
makin menuju ke arah penemuan matematika. Termasuk di dalamnya adalah penyederhanaan
21
pertanyaan, pencacahan berurutan, pemunculan contoh-contoh untuk memfasilitasi
generalisasi induktif, penggunaan diagram untuk membantu pemahaman, simbolisasi
hubungan, representasi hubungan dengan persamaan aljabar, dan penyederhanaan persamaan.
Prosedur ini menginspirasi banyak prosedur yang diterbitkan 350 tahun kemudian sebagai alat
bantu untuk mengajarkan pemecahan masalah. seperti Mason dkk (1982) dan Button (1984).
Pada tahun 1830 Whewell mengusulkan model penemuan dengan tiga tahap: (1)
klarifikasi, (2) colligation (induksi), dan (3) verifikasi, yang masing-masing memiliki
sejumlah komponen dan metode. Teori Whewell ini lebih banyak berkaitan dengan ilmu
pengetahuan empirik, namun sangat bisa digunakan dalam matematika. Whewell sendiri
adalah pengikut Kant yang percaya bahwa kebenaran yang diperlukan terjadi di dalam
matematika dan ilmu pengetahuan. Polya (1945), menginisiasi model pemecahan masalah
untuk matematika, yakni (1) memahami masalah, (2) merancang rencana dan
melaksanakannya, dan (3) melihat ke belakang (maksudnya mengevaluasi).
Sejarah proses penemuan dalam matematika tercatat sangat panjang dan sebanding
dengan penemuan manusia itu sendiri. Poincaré dan Hadamard memberikan komentar bahwa
peran intuisi dan kesadaran dalam penemuan penemuan matematika. Bagi mereka,
matematikawan besar memiliki ruang-ruang matematis khusus yang memungkinkan mereka
untuk menembus tabir misterius sekitarnya, menembus 'realitas matematika', dan mencapai
kebenaran yang utuh. Pandangan ini berdasarkan penemuan matematis yang mendukung
penganut faham elit, pandangan penganut kemutlakan dari matematika, pencipta ilmu dari
ciptaan manusianya.
Pandangan tersebut dikonfirmasi oleh nilai-nilai yang melekat pada matematika.
Kegiatan dan wacana matematika berlangsung pada tiga tingkat wacana formal, informal dan
sosial matematika. Dalam masyarakat Barat, dan khususnya, dalam budaya profesional
matematika, ini dinilai dalam urutan. Tingkat wacana matematika formal disediakan untuk
presentasi membenarkan matematika, yang menempati derajat tinggi. Wacana matematika
informal berlangsung pada tingkat yang lebih rendah, dan tentunya diberi nilai yang lebih
rendah. Tetapi aktivitas matematika dan kreatifitas matematika secara alami terjadi pada
tingkat informal, dan ini berarti bahwa ia memiliki status yang lebih rendah (Hersh, 1988).
Istilah penganut konstruktivisme sosial disematkan pada orang yang menganggap
bahwa dalam matematika terjadi hubungan antara subjektivitas dan obyektivitas pengetahuan.
Hal ini berarti bagi penganut konstruktivisme sosial konteks penemuan (kreasi) dan
pembuktian tidak bisa sepenuhnya dipisahkan. Pembuktian dalam matematika merupakan
produk kreativitas manusia yang berwujud konsep, dugaan, dan teori.

22
Konstruktivisme sosial mengidentifikasi semua pelajar matematika sebagai pencipta
matematika, namun hanya mereka yang mendapatkan persetujuan kritis masyarakat
matematika yang dapat menghasilkan pengetahuan bonafid yaitu baru (Ernest menyebutnya
matematika yang yang disahkan). Aktivitas matematika dari siapapun yang produktif serta
melibatkan pengajuan dan pemecahan masalah, secara kualitatif tidak berbeda dari aktivitas
profesional matematika lain. Matematika non-produktif tidak menawarkan hal yang sama,
karena pada dasarnya reproduksi teori adalah lawan dari kreativitas , dan Ernest menyebutnya
dengan 'matematika beku'.

K. Masalah dan Investigasi dalam Pendidikan


Sebagian besar dari matematika adalah bermula dari masalah manusia dan pemecahannya,
maka pembahasan bab terakhir ini akan terkait dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip sebagai
berikut:
Matematika sekolah harus bersumber dari masalah pengajuan dan pemecahan masalah
manusia.
Permintaan dan penyelidikan harus menempati posisi penting dalam kurikulum
matematika sekolah.
Fakta bahwa matematika adalah fallible (dapat dislahkan, tidak absolut) dan merupakan
konstruksi manusia yang subjektif, hendaknya menjadi salah satu pertimbangan dalam
menyusun kurikulum.
Pedagogi yang digunakan harus diawali dengan proses dan penyelidikan terfokus.
Salah satu hasil dari prinsip-prinsip ini bahwa istilah matematika untuk semua bergeser
menjadi matematika oleh semua. (volmik, 1990)

1. Masalah dan Investigasi: Beberapa Perbedaan


Pembelajaran matematika dengan pemecahan masalah dan investigasi telah dikenal
luas dalam dunia pendidikan matematika Inggris sejak Cockcroft (1982). Di belahan dunia
lain, pemecahan masalah dapat ditelusuri lebih jauh ke masa lalu, setidaknya untuk Brownell
(1942) dan Polya (1945), dan mungkin tokoh-tokoh sebelumnya. Pada tahun 1980, dalam
tinjauan selektif penelitian dalam pemecahan masalah matematika, Lester (1980) mengutip
106 referensi penelitian, mewakili hanya sebagian kecil dari apa yang telah diterbitkan pada
saat itu.Dalam pendidikan matematika Inggris, pemecahan masalah dan investigasi mungkin
pertama kali muncul di tempat kejadian pada tahun 1960-an, dalam Asosiasi Guru
Matematika (1966) dan Asosiasi Guru di Sekolah Tinggi dan Departemen Pendidikan (1967).

23
Salah satu kesulitan dalam membahas pembelajaran pemecahan masalah dan
pembelajaran investigasi adalah bahwa konsep-konsep ini tidak jelas dan dipahami secara
berbeda oleh penulis yang berbeda. Namun, ada kesepakatan bahwa dua hal tersebut
berhubungan dengan matematika inkuiri (penemuan). Karenanya, pembahasan selanjutnya
melangkah pada matematika berbasis inkuiri, mulai dari fokus, proses, sampai sisi
pedagogisnya.

a). Objek Dari Penyelidikan


Objek penyelidikan adalah masalah dan titik awal investigasi. Salah satu definisi
masalah adalah suatu situasi di mana seorang individu atau kelompok dituntut untuk
melakukan tugas, dimana tugas tersebut tidak memiliki cara yang mudah untuk menentukan
solusi. Perlu ditambahkan bahwa definisi ini mengasumsikan adanya keinginan dari individu
atau kelompok untuk melakukan tugas tersebut. (Lester, 1980,halaman 287). Definisi ini
menunjukkan masalah sebagai suatu tugas tidak biasa yang membutuhkan kreativitas untuk
diselesaikan. Penyelesaian masalah ini akan memunculkan relativitas dari masing-masing
orang. Maksudnya adalah tiap-tiap orang akan memunculkan ide-ide berbeda dalam usahanya
memecahkan masalah tersebut. Ini akan berefek pula pada penyusunan kurikulum
matematika, dimana penyusunan kurikulum pasti akan membawa siswa menuju satu definisi,
algoritma, atau bahasa sederhananya rumus tertentu. Penyusunan kurikulum juga akan terkait
dengan posisi siswa dalam belajar. Penyusunan kurikulum matematika akan terkait dengan
posisi siswa sebagai individu dan kelompok. Siswa bukanlah suatu wadah kosong yang bias
langsung diisi dengan aturan kurikulum tertentu. Siswa memiliki keunikan masing-masing
sebagai individu, dan juga keunikan yang diakibatkan dari adat dan kebiasaan masyarakat di
sekitarnya. Secara lebih spesifik, bahwa tujuan pendidikan matematika bagi seorang guru dan
siswa-siswanya adalah kompleks, sehingga sangat naif jika dilakukan simplifikasi
(penggampangan) dalam menyusun kurikulum.
Sementara konsep investigasi dipermaslahkan karena dua sebab. Meskipun
'investigasi' adalah kata benda, namun sebenarnya kata investigasi memiliki makna yang berujung
pada penemuan (inkuiri). Sebuah kamus mendefinisikan investigasi sebagai proses
investigasi, pencarian, penemuan, pengujian sistematik, penelitian yang hati-hati. Dalam
pendidikan matematika terjadi pergeseran makna, investigasi adalah sebuah penyelidikan
matematika dengan pijakan awalnya adalah pertanyaan matematika atau situasi tertentu.
Pengertian ini menjadikan guru sebagai pusat pembelajaran yang bertugas merekayasa

24
investigasi, yang tentunya bertolak belakang dengan pandangan siswa sebagai pusat pembelajaran, yang
memandang investigasi sebagai aktivitas peserta didik.
Masalah pertama adalah bahwa ketika penyelidikan dapat dimulai dengan situasi
matematika atau pertanyaan, fokus kegiatan bergeser sebagai pertanyaan baru yang diajukan, dan situasi
baru yang dihasilkan dan tereksplorasi. Di mana obyek penyelidikan bergeser dan didefinisikan
ulang oleh penanya. Ini berarti bahwa nilai terbatas untuk mengidentifikasi penyelidikan dengan
situasi pembangkit aslinya.
Masalah kedua adalah ketika investigasi (penyelidikan) dimaknai sebagai kegiatan
yang dimulai dengan munculnya situasi matematika atau pertanyaan tertentu, lalu bergeser
pada pengajuan permasalahan baru, pemunculan situasi baru, dan eksplorasi situasi tersebut.
Di sinilah obyek penyelidikan bergeser, berubah, dan didefinisikan ulang oleh peserta
didik (inquirer). Sifat eksplorasi yang nampak liberal ini akan menyulitkan pendefenisian
investigasi sebagai aktivitas yang terkait dengan situasi pembangkitaslinya (dalam bahasa lain,
dengan titik awal investigasi itu sendiri).

b). Proses Penyelidikan


Kontras dengan objek penelitian adalah proses penyelidikan itu sendiri, meskipun ini
tidak dapat dipisahkan secara keseluruhanya. Sebagaimana telah kita lihat dalam kasus
penyelidikan. Jika masalah diidentifikasi dengan sebuah pertanyaan, proses pemecahan
masalah matematika adalah kegiatan mencari jalan untuk mendapatkan jawabannya. Namun
proses ini merupakan jawaban yang unik, karena jawaban dapat memiliki beberapa solusi
untuk masalah. Semakin kompleks solusi yang didapat, berarti tingkat permasalahan yang
diajukan semakin tinggi. Dalam bahasa lain, pengertian pemecahan masalah adalah
menemukan jalur menuju solusi, atau meminjam bahasa ilmu geografi adalah menemukan rute
menuju tujuan yang diinginkan (metafora geografis).
Sejak zaman Nilsson (1971) telah muncul dasar bagi beberapa penelitian tentang
pemecahan masalah dalam matematika, yang memanfaatkan gagasan tentang ruang solusi
(solution space) atau ruang dari keadaan (state-space) sebagai representasi dari masalah.
Metafora geografis yang telah disebutkan di atas diwujudkan dalam bentuk ilustrasi yang
berbentuk diagram himpunan semua ruang yang dapat diperoleh dari keadaan awal. Keadaan
awal suatu masalah sendiri adalah himpunan semua ekspresi yang telah diperoleh dari pernyataan
awal masalah sampai saat tertentu (Lester, 1980,halaman 293). Kekuatan dari gagasan
metafora geografis ini adalah semua proses dapat semua langkah dalam proses dapat disajikan
(dalam sebuah diagram) dan jalur alternatif yang disebut proses tadi akan menjadi bagian
yang tak terpisahkan dengan langkah-langkah yang disajikan. Kelemahannya adalah semua

25
kemungkinan yang muncul dari kondisi awal, bahkan kondisi-kondisi yang belum muncul,
belum terpikir, atau bahkan yang tidak mungkin muncul tetap dipandang sebagai sesuatu yang
belum muncul (as pre-existing) dan membutuhkan penemuan agar bisa muncul. Perlu dipahami
bahwa gagasan investigasi dalam pengertian metafora geografis ini cenderung cocok untuk
penganut absolutis dari pada platonis (dalam koridor cara pandang terhadap matematika).
Metafora geografis juga diterapkan pada proses penyelidikan matematika. Penekanannya
adalah pada eksplorasi bagian matematika ke segala arah. Proses perjalanannya (bukan
tujuannya) (Pirie, 1987, halaman 2). Di sini penekanannya adalah pada eksplorasi wilayah
yang tidak diketahui, dari pada perjalanan menuju ke tujuan tertentu. Jadi ketika proses
pemecahan masalah matematika digambarkan sebagai konvergen, investigasi matematika
adalah hal yang berbeda.
Bellet al. (1983) mengusulkan suatu model dari proses penyidikan, dengan empat
langkah yaitu merumuskan masalah, pemecahan masalah, verifikasi, integrasi. Menurutnya,
Di sini kata ‘investigasi digunakan dalam upaya untuk menghimpun segala macam cara
memperoleh pengetahuan (Bell dkk., 1983, halaman 207). Mereka berpendapat bahwa
penyelidikan matematika adalah bentuk khusus, dengan komponen karakteristiknya sendiri
yakni abstraksi, representasi, pemodelan, generalisasi, pembuktian, dan simbolisasi.
Pendekatan ini memiliki ciri berupa penentuan sejumlah proses mental yang terlibat dalam
investigasi matematika (dan pemecahan masalah). Sementara penulis lain, seperti Polya (1945)
berpendapat bahwa investigasi mencakup banyak komponen dari model sebagai proses pemecahan
masalah. Perbedaan utama antara Polya dan Bell adalah masuknya perumusan atau pengajuan
masalah ( problem posing), yang mendahului pemecahan masalah. Namun, walau model yang
diusulkan oleh dua tokoh tadi memiliki dasar empiris, tidak ada alasan dan justifikasi rasional
yang dapat dijadikan acuan untuk memilih salah satu model.

c). Pedagogi Berbasis Penyelidikan


Pemecahan masalah dan penyelidikan adalah sebagai pendekatan pedagogis untuk
matematika. Cockcroft (1982) mendukung pendekatan ini dengan judul 'gaya mengajar',
meskipun terminologi yang digunakan tidak membuat perbedaan antara model pembelajaran.
Salah satu cara kontras pendekatan Berbasis Penyelidikan adalah untuk membedakan peran
guru dan peserta didik, seperti yang ditunjukkan pada tabel berikut:

26
Tabel 1: Suatu Perbandingan Metode Penyelidikan Untuk Mengajar Matematika

Metode Hal yang dilakukan guru Hal yang dilakukan siswa


Penemuan - Mengajukan permasalahan, atau Mengikuti petunjuk yang
terbimbing memilih situasi dengan tujuan yang diberikan guru
sudah dibayangkan.
- Membimbing siswa menuju solusi
atau tujuan tadi.
Pemecahan - Mengajukan permasalahan Mencari jalan sendiri untuk
masalah - Meninggalkan metode pencarian memecahkan masalah
solusi terbuka untuk dicari sendiri
oleh siswa.
Pendekatan Memilih situasi awal untuk - Mendefenisikan masalah
investigasi mengarahkan siswa dengan situasi yang ada
- Melakukan pemecahan dengan
cara mereka sendiri.

Tabel di atas menggambarkan pergeseran pembelajaran dari penemuan terbimbing,


pemecahan masalah, dan pendekatan investigasi tidak hanya terkait dengan proses
matematika. Pergeseran juga terjadi dalam ranah kontrol guru dalam hal jawaban, metode
yang dipakai peserta didik, sampai pada konten materi pelajaran. Peserta didik lebih bisa
menentukan solusi mana menerapkan metode dan solusi yang akan mereka pakai, bahkan bisa
memilih konten pelajaran yang ingin mereka pelajari. Pergeseran ke pendekatan yang lebih
berorientasi penyelidikan melibatkan peningkatan otonomi pelajar dan aturan pembelajaran
yang bebas ditentukan sendiri. Jika iklim kelas dengan aturan yang bebas dan ditentukan
sendiri seperti ini biasa dijaga konsistensinya, siswa akan dapat dibimbing sampai pada taha
kemandirian untuk menentukan interaksi, aturan dalam kelas, dan akses ke berbagai bahan
pembelajaran.
Pemecahan masalah dan investigasi matematika sebagai pendekatan pengajaran
memerlukan pertimbangan konteks sosial kelas, dan membutuhkan satu hubungan yang kuat
antara guru dan siswa. Pemecahan masalah memungkinkan pelajar untuk berkreasi dalam
pembelajaran dan dalam situasi yang baru, guru masih mempertahankan kendali atas konten
dan instruksi. Jika pendekatan investigasi diterapkan sampai tahap memungkinkan siswa
untuk mengajukan masalah dan pertanyaan untuk selanjutnya diselidiki dengan cara yang
relatif bebas, akan terjadi pembelajaran berbasis pemberdayaan (empowering) dan pelibatan
27
siswa (emansipatoris). Namun, hal lain yang perlu diperhatikan adalah komunikasi dalam
pengalaman kelas dengan berbasis pada pandangan bahwa matematika itu progresif dan
fallible. Ini akan berakibat pada keunikan dan relatifitas dari masing-masing jawaban dan
metode yang diajukan siswa, bukan berpusat pada manusia yang aktif sebagai pembuat
pengetahuan.

2. Persepsi yang Berbeda terhadap Masalah dan Investigasi


Beberapa perbedaan yang sudah disebutkan dalam subbab sebelumnya menyebabkan
perbedaan- perbedaan yang muncul dalam memahami Masalah dan Investigasi serta
penggunaannya dalam pembelajaran matematika. Berikut perbedaan-perbedaan tersebut.
a. Penolakan terhadap Pendekatan Pemecahan Masalah dan Investigasi
Reaksi negatif terkuat untuk masalah dan investigasi muncul dari akibat pandangan
bahwa pendekatan ini tidak pantas digunakan untuk matematika sekolah. Hal ini didasarkan
pada persepsi bahwa matematika sekolah adalah konten yang berorientasi, dan bahwa fungsi
utamanya adalah untuk menanamkan keterampilan matematika dasar. Pendekatan ini
dipandang sebagai sesuatu yang sembrono, menyia-nyiakan waktu, dan sebuah kerja keras
yang mubazir. Ini adalah respon dari kelompok yang memandang pendidikan sebagai lahan
penyuplai kebutuhan industri. Kelompok ini secara sempit melihat isi matematika dengan
epistemologi dualistiknya. Bagi mereka, pembelajaran adalah model transmisi otoriter, dan
setiap usaha meningkatkan otonomi siswa dalam pembelajaran sangat ditentang.

b. Penggabungan Pendekatan Pemecahan Masalah dan Investigasi Sebagai Konten


Kelompok kedua menganggap pendekatan ini perlu untuk dimasukkan sebagai konten
dari kurikulum matematika. Kelompok ini memandang bahwa pendekatan ini dapat
memperkaya konten matematika. Namun aliran absolut yang mereka anut membuat mereka
mengabaikan penyelidikan sebagai salah satu unsur penting dalam pendekatan ini. Burghes
(1984), yang mewakili perspektif ini, merumuskan investigasi dalam (1) penyelidikan eureka
(teka-teki), (2) investigasi eskalator ('proses'atau masalah kombinatorial), (3) keputusan
terhadap masalah dan (4) masalahnyata. Secara keseluruhan pendekatan pemecahan masalah
dan investigasi diidentifikasi sebagai objek penyelidikan, dan diperlakukan sebagai tambahan
isi kurikulum, ini terjadi jika pemodelan matematika tidak dipahami sebagai suatu proses.

c. Pemecahan Masalah dan Investigasi sebagai Pedagogi


Kelompok ketiga melihat pemecahan masalah dan investigasi sebagai pendekatan
pedagogis dengan kurikulum keseluruhan, dan bukan hanya sebuah tambahan. Pandangan ini prihatin
28
dengan peran manusia dalam perkembangan ilmu pengetahuan, dan karenanya mendukung
proses pemecahan masalah dan investigasi masuk dalam kurikulum matematika.
Penggabungan penuh proses ini ke dalam kurikulum, termasuk problem posing, mengarah ke
pedagogi pemecahan masalah dan pedagogi investigatif.
Perspektif kelompok ini terfokus pada bagaimana memberikan fasilitas bagi
pengembangan kreativitas individual peserta didik, dan pemecahan masalah dan investigasi
dianggap mampu mewujudkannya. Jadi pemecahan masalah dan investigasi dipahami dari
segi proses yang dialami siswa dan juga segi pendekatan pedagogis yang diadopsi di dalam
kelas. Lingkungan belajar, situasi belajar, dan hal-hal lain terkait pembelajaran disusun
dengan hati-hati terstruktur dan didesain agar memungkinkan terjadi eksplorasi matematika di
dalamnya, serta memungkinkan siswa untuk merumuskan dan mengejar penyelidikan mereka
sendiri. Peran guru dipahami sebagai manajer lingkungan dan sumber belajar, serta sebagai
fasilitator pembelajaran. Materi dibatasi situasi matematika murni, dengan topik tematik yang
'aman' dari isu-isu politik. Penekanannya pada individu siswa dan minat siswa, bukan pada
konteks sosial struktural tempat mereka akan hidup, akan belajar, dan akan mencari nafkah.
Inilah yang membedakan kelompok ketiga dengan kelompok industrialis. Kelompok ini
tidak memandang pembelajaran matematika sebagai sebuah pembekalan keahlian-keahlian yang
mereka butuhkan ketika nanti mereka bekerja, namun lebih memandang pembelajaran
matematika sebagai pembelajaran yang memperhatikan minat siswa.

3. Hubungan antara Epistemologi dan Pedagogi


Konsep pemecahan masalah dan investigasi tentu akan berasimilasi dengan perspektif
penafsir, dan dipahami dengan caranya masing-masing. Performa guru dalam memakai
pendekatan tergantung pada bagaimana guru memandang matematika. Bukti empiris
menunjukkan bahwa guru dapat memberi penafsiran secara sempit pada pendekatan
pemecahan masalah dan investigasi. Lerman (1989), misalnya, menjelaskan bagaimana
pendekatan investigasional dalam matematika sekolah ditumbangkan oleh pandangan bahwa
hanya ada hasil tunggal yang benar dan unik, (yang tentu saja diakibatkan oleh filosofi
matematika absolut yang masih dianut).Kendala berikutnya adalah implementasi. Kendala ini
melibatkan hubungan antara teori-teori pengajaran dan pembelajaran, yang mendasari praktek
pembelajaran di kelas. Pada skala besar, ini adalah perbedaan antara rencana dan kurikulum
yang diajarkan. Pada skala kecil, kendala ini berupa perbedaan antar teori-teori yang dianut
oleh masing-masing guru dalam melaksanakan pembelajaran. Beberapa studi telah mengungkapkan
guru yang menganut pemecahan masalah sebagai pendekatan pengajaran matematika pada

29
prakteknya hanyalah semacam espositori dengan ditambah penambahan masalah (Cooney,1983; 1985,
Thompson, 1984; Brown, 1986).
Penyebabnya adalah karena konteks sosial guru yang bersangkutan ikut andil dalam proses
pembelajaran yang berlangsung. Misalnya, adalah sulit bagi guru untuk merubah pakem
pembelajaran yang sudah ada dalam suatu sekolah tertentu. Ernest menyebutkan bahwa dalam
sekolah yang sama, guru-guru yang diteliti cenderung menggunakan praktek kelas yang sama,
dan tidak mempertimbangkan bagaimana pandangan sang guru terhadap matematika.
Singkatnya, keyakinan sang guru terhadap ideologi matematika tertentu masih kalah
pengaruhnya dengan kondisi sosial tempat guru mengajar. Gambar berikut menunjukkan
hubungan yang terlibat dalam keputusan praktik kelas yang diambil.

Gambar 2. The relationship between espoused and enacted beliefsof the mathematics teacher

Gambar tersebut menunjukkan bahwa salah satu komponen ideologi guru, yakni
pandangan filosofisnya terhadap matematika mendasari dua komponen sekunder, yakni teori
mengajar dan belajar matematika. Dua komponen sekunder ini akan menjadi dasar
diambilnya suatu model belajar, termasuk penggunaan sumber daya pembelajaran yang
dipilih, termasuk teks matematika. Penting diketahui bahwa teks yang dipakai guru ketika
melakukan pembelajaran menunjukkan alur pandangan epistemologinya, bagaimana melihat
teks sebagai penentu penting sifat dari kurikulum yang diimplementasikan. Panah ke bawah
pada gambar menunjukkan arah pengaruh utama. Isi dari komponen kepercayaan yang lebih
tinggi tercermin dalam sifat komponen yang lebih rendah.
30
L. Kelebihan Pembelajaran Berbasis Pemecahan Masalah
Pembelajaran berbasis pemecahan masalah, merupakan pendekatan pengajaran
emansipatoris, dan ketika berhasil dilaksanakan, akan mampu memberdayakan peserta didik
secara epistemologis (dalam arti peserta didik mengetahui darimana suatu konsep diperoleh).
Hal ini dapat mendorong siswa aktif untuk mengetahui dan menciptakan pengetahuan sendiri,
sekaligus melegitimasi pengetahuan itu sebagai matematika, setidaknya dalam konteks
sekolah.

31
BAB III
PENUTUP

Berdasarkan uraian sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa filsafat matematika


adalah cabang filsafat yang mengkaji, merenungkan dan menjelaskan segala sesuatu tentang
matematik, sehingga dapat memberikan rekaman sifat, metodologi dalam matematika serta
memahami kedudukan matematika dalam kehidupan manusia. Banyaknya aliran-aliran yang
mempengaruhi perkembangan matematika menunjukkan bahwa matematika sejak dulu
diminati serta dipandang sangat perlu dalam kehidupan manusia. Perkembangan matematika
dari waktu ke waktu dipengaruhi oleh kehidupan sosial budaya manusia dan berdampak besar
dalam usaha memampukan manusia memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dalam
kehidupan sehari-hari. Demikian halnya juga dengan praktik pendidikan, sangat dipengaruhi
oleh pemikiran-pemikiran yang sudah ada sejak dahulu, misalnya pembelajaran dengan
pemecahan masalah dan penyelidian yang tengah dikembangkan saat ini telah dimulai oleh
pakar-pakar matematika sejak dulu. Dari semua itu dapat disimpulkan bahwa filsafat
matematika memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan matematika dan
kehidupan manusia hingga zaman sekarang.

32
DAFTAR PUSTAKA

Ernest, Paul. 2004. The Philosophy of Mathematics Education. Francis: Taylor and Group.
Ernest, Paul. 2004. The Philosophy of Mathematics Education. Francis: Taylor and Group.
(Terjemahan)

33

Anda mungkin juga menyukai