Pendidikan Matematika
OLEH:
RAHMA SARI
23031140020
Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena atas segala berkat,
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tugas akhir ini
dengan baik. Penulisan tugas akhir ini berjudul “Konstruksi dan Implementasi Filsafat
Ilmu”. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah memenuhi tugas akhir untuk
mata kuliah “Filsafat Ilmu”. Selain itu, penulisan tugas akhir ini bertujuan untuk
menambah wawasan bagi para pembaca dan penulis dalam bidang Pendidikan.
Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan penulisan tugas akhir ini penuh
dengan hambatan dan tantangan yang dihadapi, namun atas berkat berbagai dorongan dan
bantuan dari berbagai pihak, maka penulisan tugas akhir ini pun dapat terselesaikan. Oleh
karena itu, melalui kesempatan ini juga penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada
Prof. Dr. Marsigit, M.A., selaku dosen pengampu pada mata kuliah Filsafat Ilmu yang
telah memberikan tugas ini, sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan
penulis.
Penulis menyadari penulisan tugas akhir ini masih terdapat banyak kekurangan,
karena itu dengan senang hati penulis menerima kritik dan saran dari semua pihak yang
sifatnya membangun demi penyempurnaan penulisan ini. Harapan penulis semoga
penulisan tugas akhir ini bermanfaat bagi penulis maupun pembaca lainnya dalam
pandangan dan praktik pendidikan khususnya pendidikan matematika.
BAB I
FILSAFAT UMUM
A. Ontologi
Ontologi memiliki pengertian yang berbeda-beda. Definisi ontologi berdasarkan
bahasa berasal dari bahasa Yunani, yaitu On (Ontos) merupakan ada dan logos
merupakan ilmu. Sehingga ontologi merupakan ilmu yang mengenai yang ada. Ontologi
menurut istilah merupakan ilmu yang membahas hakikat yang ada, yang merupakan
ultimate reality, baik berbentuk jasmani/konkret maupun rohani abstrak (Bakhtiar 2004).
Ontologi dalam definisi Aristoteles merupakan pembahasan mengenai hal ada sebagai hal
ada (hal ada sebagai demikian) mengalami perubahan yang dalam, sehubungan dengan
objeknya (Gie 1997).
Ontologi dalam pandangan The Liang Gie merupakan bagian dari filsafat dasar
yang mengungkapkan makna dari sebuah eksistensi yang pembahasannya meliputi
persoalan-persoalan (Gie 1997):
a. Apakah artinya ada, hal ada?
b. Apakah golongan-golongan dari hal ada?
c. Apakah sifat dasar kenyataan dan hal ada?
d. Apakah cara-cara yang berbeda dalam mana entilas dari kategori-kategori logis yang
berlainan (misalnya objek-objek fisis, pengertian universal, abstraksi, dan bilangan)
dapat dikatakan ada?
Ontologi menurut Suriasumantri (1990) membahas mengenai apa yang ingin kita
ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan kata lain suatu pengkajian mengenai
teori tentang “ada”. Telaah ontologis akan menjawab pertanyaan-pertanyaan:
a. Apakah objek ilmu yang akan ditelaah?
b. Bagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut?
c. Bagaimana hubungan antara objek dan daya tangkap manusia (seperti berpikir,
merasa, dan mengindra) yang dapat menghasilkan pengetahuan?
Ontologi dalam Ensiklopedia Britannica yang diangkat dari konsepsi Aristoteles
merupakan teori atau studi tentang wujud, misalnya karakteristik dasar dari seluruh
realitas. Pembahasan tentang ontologi sebagi dasar ilmu berusaha untuk menjawab “apa”
yang menurut Aristoteles merupakan The First Philosophy dan merupakan ilmu mengenai
esensi benda (Romdon 1996).
Ontologi memiliki arti sama dengan metafisika yang merupakan studi filosofi untuk
menentukan sifat nyata yang asli (real nature) dari suatu benda untuk menentukan arti,
struktur, dan prinsip benda tersebut (filosofi ini didefinisikan oleh Aristoteles abad ke-4
SM) (Ensiklopedia Bratannica dalam Wikipedia).
B. Epistemologi
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani “Episteme” dan “logos”. “Episteme”
berarti pengetahuan (knowledge), “logos” berarti teori. Dengan demikian, epistomologi
secara etimologis berarti teori pengetahuan (Rizal 2001). Epistomologi mengkaji
mengenai apa sesungguhnya ilmu, dari mana sumber ilmu, serta bagaimana proses
terjadinya. Dengan menyederhanakan batasan tersebut. Brameld dalam Mohammad Noor
Syam (1984) mendefinisikan epistomologi sebagai “it is epistemologi that gives the
teacher the assurance that he is conveying the truth to his student”. Definisi tersebut dapat
diterjemahkan sebagai “epistomologi memberikan kepercayaan dan jaminan bagi guru
bahwa ia memberikan kebenaran kepada murid-muridnya”.
Epistemologi adalah bagian filsafat yang meneliti asal-usul, asumsi dasar, sifat-
sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu penting dalam
menentukan sebuah model filsafat. Dengan pengertian ini, epistemologi tentu saja
menentukan karakter pengetahuan, bahkan menentukan kebenaran, mengenai hal yang
dianggap patut diterima dan apa yang patut ditolak.
Terdapat empat persoalan pokok dalam epistomologi yaitu:
1) Apakah sumber-sumber pengetahuan? Dari manakah pengetahuan yang benar itu
datang?
2) Apakah watak dari pengetahuan?
3) Adakah dunia yang real di luar akal dan kalau ada dapatkah kita mengatahui? Ini
adalah problem penampilan (appearance) terhadap realitas.
4) Apakah pengetahuan kita itu benar (valid)? Bagaimana kita membedakan kebenaran
dan kekeliruan? Ini adalah persoalan menguji kebenaran (verivication).
C. Aksiologi
Beberapa definisi tentang aksiologi diungkapkan oleh Amsal Bahtiar (Bahtiar 2004)
sebagai berikut:
a. Berdasarkan bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata ”axios” dalam bahasa Yunani
artinya nilai dan ”logos” yang artinya ilmu. Dengan demikian, dapat diambil
kesimpulan bahwa aksiologi adalah ‘ilmu tentang nilai’.
b. Dengan mengutip pada Jujun. S Suriasumantri, aksiologi berarti teori nilai yang
berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
c. Mengutip dari Bramei, aksiologi terbagi dalam 3 bagian penting, antara lain:
1) Tindakan moral yang melahirkan etika.
2) Ekspresi keindahan yang melahirkan estetika.
3) Kehidupan sosial politik yang melahirkan filsafat sosial politik.
d. Dalam encyclopedia of philosophy, dijelaskan bahwa aksiologi disamakan dengan
‘value’ dan ‘valuation’. Dalam hal ini nilai dianggap sebagai nilai memberi nilai dan
dinilai. Richard Laningan sebagaimana dikutip Efendi mengatakan bahwa aksiologi
yang merupakan kategori keempat dalam dilsadar merupakan studi etika dan estetika.
Hal ini berarti bahwa aksiologi berfokus pada kajian terhadap nilai-nilai manusiawi
serta bagaimana cara mengekspresikannya.
e. Adapun Jujun S. Suriasumantri, aksiologi lebih difokuskan kepada nilai kegunaan
ilmu. Ilmu dipandang akan berpautan dengan moral. Nilai sebuah ilmu akan diwarnai
sejauh mana ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial terhadap ilmu yang dimiliki,
apakah akan dipergunakan untuk suatu kebaikan atau akan digunakannya sebagai
sebuah kejahatan. Oleh karena itu, ilmu akan mengalami kemajuan apabila ilmuwan
mempunyai peradaban.
BAB II
FILSAFAT ILMU
A. Ontologi Ilmu
Ontologi matematika mengkaji mengenai sifat dasar dari apa yang nyata secara
fundamental dan cara berbeda di mana entitas dari kategori-kategori logis yang berlainan
dapat dikatakan ada. Kajian dalam ontologi matematika adalah pada padangan realisme
empirik terhadap suatu realitas dan eksistensi dari entitas-entitas matematika. Ontologi
matematika merupakan cabang dari filsafat yang berkaitan dengan hal-hal metafisik
(Haryono, 2015). Secara ontologi kedudukan dari matematika disoroti pada poin
empirisme dan kebenaran mutlak dari matematika. (Parnabhhakti & Ulfa, 2020)
menjelaskan bahwa secara ontologi matematika bidang yang menjadi kajian adalah apa
yang ada di dalam matematika itu sendiri yang mencakup pernyataan- pernyataan
matematika. (Sinaga et al., 2021) menyebutkan ontologi matematika sebagai sebuah
cabang filsafat dengan objek kajian mengenai sesuatu yang ada termasuk pada konteks
metafisik. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa ontologi matematika juga membahas
hal-hal yang bersifat konkrit hinga pada teorema-teorema. Secara ontologis kedudukan
dari matematika disoroti pada poin empirisme dan kebenaran mutlak dari matematika.
Cakupan dari ontologi matematika yaitu:
1) Matematika sebagai alat pikiran.
2) Matematika sebagai bahasa.
3) Matematika untuk Nature Science & Social Science.
4) Matematika ruang dan waktu.
5) Peranan matematika modern.
Cakupan ontologi dalam matematika dapat disusun sebagai dasar pemikiran bahwa
kedudukan matematika secara ontologi berkaitan dengan realitas dan entitas-entitas
dalam matematika yang menjadi bahan pemikiran filsafat.
Kedudukan matematika sebagai alat pikir mempertegas bahwa matematika
mendorong lahirnya berbagai ilmu penunjang kehidupan manusia termasuk dalam
penyelesaian permasalahan hidup. Matematika sebagai landasan berpikir dapat dikatakan
sebagai dasar pemikiran-pemikiran yang membawa arah ke era modern. Berbagai
persoalan yang menunjukkan kedudukan matematika sebagai alat berpikir terlihat pada
perkembangan peradaban Mesir dan peradaban Babylon hingga pemikiran ahli
matemtika masa lampau yang menjadikan matematika sebagai instrumen dalam
melakukan suatu pekerjaan atau penyelesaian permasalahan. Berkembangnya konsep
sinus dan kosinus juga menjadi cakupan yang menunjukkan kedudukan matematika
sebagai alat pemikiran (Haryono, 2015).
Peran matematika sebagai bahasa dimaknai sebagai sebuah sarana berhitung yang
dapat menyatukan manusia. Namun berbeda dengan bahasa dalam konteks sosial dan
budaya, yang mana bahasa sebagai alat komunikasi sesuai dengan lokasi atau lingkungan
masing-masing, peran matematika sebagai bahasa lebih bersifat universal. Hal ini terlihat
pada kesamaan makna bilangan dalam matematika, teorema dan dalil yang tidak berubah
di lingkungan manapun sehingga dapat dikatakan bahwa matematika menduduki peran
sebagai bahasa internasional yang tidak mengalami perubahan makna (Haryono, 2015).
Matematika juga berperan sebagai natural science dan social science, dalam hal ini
menunjukkan kodrat matematika yang berdiri sebagai ilmu eksakta memiliki sifat yang
estetis. Haryono menyebutkan bahwa matematika merupakan salah satu puncak
kegemilangan intelektual, di mana kedudukan matematika menjadi refrensi bagi lahirnya
ilmu-ilmu pengetahuan lainnya.
Peran matematika dalam konteks ruang dan waktu serta matematika modern
menekankan pada entitas makna keberadaan ruang dan waktu meskipun tidak dapat
ditunjukkan wujudnya. Hal inilah yang mengantarkan bahwa kajian dalam ontologi
mencakup pada hal-hal metafisika namun memiliki kebenaran yang mutlak. Pada
cakupan ontologi juga diyakini bahwa alam semesta merupakan bagian dari ruang dengan
sifat yang tidak terhingga. Dalam konteks matematika hal tersebut dipandang sebagai
sesuatu yang benar berdasarkan metafisika. Peranannya dengan demikian mendorong
perkembangan ilmu lainnya baik dalam teknologi maupun ilmu sosial demi
menyelaraskan kehidupan manusia.
Ontologi Matematika merupakan segala aspek yang ada dalam ilmu matematika
yang bersifat kongkrit. Contoh dari ontologi matematika adalah segala sesuatu yang ada
dalam matematika, seperti misalnya teorema-teorema. Teorema di dalam matematika
akan dibuktikan secara logis, terstruktur, dan sistematis. Pembuktian teorema inilah yang
merupakan salah satu contoh ontologi matematika. (Parnabhhakti & Ulfa, 2020)
menjelaskan bahwa ontologi matematika merambah pada apa yang ada di dalam
matematika, keberadaan dan metafisik. Secara spesifik Gie menyatakan bahwa ontologi
matematika menyelidiki sifat dan entitas dari kategori-kategori logis yang berlainan, serta
pandangan realisme empirik.
Ontologi Pendidikan Matematika merupakan hal-hal atau aspek dalam proses
pembelajaran matematika yang bersifat ada atau kongkrit. Dalam pendidikan matematika
proses pembelajaran matematika memiliki beberapa hal yang bisa dijadikan contoh
ontologi pendidikan matematika. Contoh ontologi pendidikan matematika yaitu media
pembelajaran matematika yang digunakan untuk mengajarkan konsep matematika kepada
peserta didik.
B. Epistemologi Ilmu
(Parnabhhakti & Ulfa, 2020) menjelaskan bahwa epistemologi matematika
merupakan refleksi pikiran dari pengetahuan, asal, asal usul, sifat alami, batas, dasar dan
asumsi, prinsip validitas dan reliabilitas. Hal ini sesuai dengan kajian dari Gie bahwa
epistemologi matematika berbicara mengenai teori pengetahuan yang mengkaji tentang
matematika. Epistemologi matematika berisi mengenai kajian terhadap pengetahuan
tentang matematika.
(Gie, 1999) memaparkan bahwa epistemologi matematika merupakan cabang dari
filsafat yang berkaitan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan. (Haryono, 2015)
menjelaskan bahwa epistemologi matematika berbicara mengenai kajian terhadap
lingkup pengetahuan matematika yang meliputi matematika murni, matematika terapan
dan berbagai cabang matematika lainnya. (Suyitno & Rochmad, 2015) menjelaskan
bahwa epistemologi matematika berbicara mengenai asal matematika dan bagaimana
matematika itu ada.
Lebih lanjut, Haryono menyatakan bahwa pada hakikatnya matematika selalu
berusaha membuktikan kebenaran sejak dari jaman yang mengkaji aspek empiris dari
matematika hingga pada perkembangannya ke arah abstraksi yang lebih tinggi. Dari sudut
pandang epistemologi matematika yang bersasaran pada upaya untuk meletakkan dasar
matematika dan berusaha menjamin kebenaran matematika yang bertujuan untuk
mengatasi kerancuan dan ketidakpastian dari dasar sebelumnya. Dengan demikian terlihat
bahwa segi epistelomogi ini bersasaran untuk menekankan akan sesuatu yang pasti dari
matematika, sehingga pada aspek ini pandangan tentang standar epistemologi seperti
kajian mengenai kebenaran, kepastian, universalisme, obyektivitas, rasionalitas, dan lain
sebagainya menjadi ciri pada aspek ini. Secara epistemologis kedudukan dari matematika
disoroti pada keberadaanya yang berkaitan dengan rasionalitas. Matematika yang pada
tahap awal perkembangannya belum menemui titik terang, dapat ditarik garis yang lebih
jelas berdasarkan pandangan epistemologis. (Sinaga et al., 2021) mendefinisikan
espitemologi matematika sebagai cabang filsafat yang berkaitan dengan pengetahuan
matematika seperti sumber, hakikat, batas-batas dan kebenaran beserta ciri-ciri dari
matematika (abstraksi, ruang, waktu, besaran, dll). Secara epistemologi, matematika juga
dipandang sebagai bagian dari science. Hal ini berarti bahwa matematika yang
berkedudukan sebagai pengetahuan dapat diperoleh melalui proses belajar. Paparan
tersebut, jelas menunjukkan bahwa matematika dengan kekayaan pokok bahasannya
memiliki kedudukan sejajar dengan ilmu pengetahuan di mana pokok bahasan
matematika dapat menjadi inspirasi pada bidang kajian di luar matematika itu sendiri.
Epistemologi matematika yaitu ilmu filsafat untuk mempelajari keaslian atau
validitas dari sifat-sifat matematika. Misalnya seperti kebenaran sebuah teorema. Untuk
mengetahui benar atau tidaknya sebuah teorema, maka diperlukan adanya pembuktian.
Sehingga pembuktian teorema dalam matematika ini merupakan contoh dari epistemologi
matematika.
Epistemologi pendidikan matematika yaitu ilmu filsafat untuk mempelajari
keaslian atau validitas dari sifat-sifat pendidikan matematika, keaslian atau kebenaran
hal-hal yang termuat dalam proses belajar mengajar matematika. Contohnya seperti
pengetahuan dasar matematika yang telah dipahami siswa sebelumnya. Apakah
pengetahuan itu bersifat benar atau tidak?
Cakupan dalam epistemologi matematika yaitu:
1) Besaran pola dan bentuk dalam matematika.
2) Matematika bagian dari science.
3) Simbol dan bilangan dalam matematika.
4) Abstraksi dalam matematika.
5) Pengetahuan matematika modern.
6) Cabang ilmu matematika (aritmatika, aljabar, geometri, astronomi, kalkulus, dll).
C. Aksiologi Ilmu
Praksis falsafah pada konsep aksiologi pada hakikatnya terdapat sebuah nilai. Nilai
yang dimaksud adalah ilmu pengetahuan sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan
berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Aksiologi Ilmu, yakni setiap ilmu akan
menghasilkan manfaat yang kemudian akan diterapkan pada masyarakat. dengan
demikian proses ilmu yang benar-benar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tentu tidak
terlepas dari si ilmuwannya, seseorang ilmuwan akan dihadapkan pada kepentingan
pribadi ataukah kepentingan masyarakat akan membawa pada persoalan etika keilmuan
serta masalah bebas nilai. Untuk itulah tanggung jawab seorang ilmuwan haruslah
“dipupuk” dan berada pada tempat yang tepat, tanggung jawab akademis dan tanggung
jawab moral.
Implementasi (aksiologi) pelajaran matematika dalam aktivitas manusia, manfaat
pelajaran matematika dalam kajian aksiologi ilmu, pada umumnya sebagian besar murid
di sekolah tersugesti oleh rasa takut mempelajari pelajaran matematika, jika hal tersebut
dibiarkan maka rasa takut tersebut dapat membuat saraf-saraf tegang terutama pada otak.
Selanjutnya apapun yang dipelajari orang, tentunya semua memiliki manfaatnya, sekecil
apapun pengetahuan yang dipelajari, suatu saat akan bernilai manfaat dalam kajian
aksiologi ilmu. Demikian pula dengan mempelajari ilmu matematika.
Menurut Haris Kurniawan (2018), salah satu manfaat belajar ilmu matematika jika
diaplikasikan atau diterapkan yaitu mempelajari matematika dapat membantu untuk
berdagang, hal ini mengingat dasar belajar matematika adalah berhitung. Jika seseorang
berprofesi sebagai berdagang, maka harus pintar berhitung. Jika tidak pintar dalam
berhitung maka akan kesulitan dalam berdagang. Pedagang juga tidak akan keliru ketika
menerima dan membayar kembalian dari pembeli sehingga tidak rugi dalam berdagang.
Oleh karena itu lakukan dengan cermat jangan putus asa dalam belajar matematika agar
jawaban dalam penyelesaian dan mengerjakan soal menjadi benar dan kelak dapat melatih
orang menjadi orang yang teliti, cermat dan tidak ceroboh.
Berdasarkan manfaat mempelajari ilmu matematika tersebut jika dihubungkan
dengan kajian aksiologi ilmu, maka ilmu matematika tersebut memberi manfaat kepada
pemilik ilmu matematika tersebut dan juga kepada orang lain apabila diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari, sebaliknya jika tidak diterapkan maka ilmu matematika tersebut
tidak bermanfaat sama sekali. Hal tersebut sebagai mana pepatah arab “al ilmu
bilaa’amalin kasyajari bila tsamarin”, artinya ilmu itu jika tidak diterapkan atau
dipratekan, bagaikan pohon yang tidak berbuah, sehingga tidak bermanfaat kepada
masyarakat.
Aksiologi matematika yaitu ilmu dalam filsafat yang mempelajari tentang
kebermanfaatan matematika dalam kehidupan. Mengkaji tentang manfaat dari aspek-
aspek yang terkandung dalam matematika, apa sajakah manfaat itu dan bagaimana
efeknya dalam kehidupan. Contohnya adalah teorema pitaghoras, yang memiliki banyak
manfaat dalam segala penerapannya. Manfaat-manfaat dari ilmu matematika inilah yang
menjadi contoh dari aksiologi matematika.
Aksiologi pendidikan matematika yaitu ilmu dalam filsafat yang mempelajari
tentang kebermanfaatan pendidikan matematika dalam sebuah proses belajar mengajar
matematika. Contohnya adalah manfaat mempelajari tentang bangun ruang, dan
mempelajari hal-hal lain terkait pendidikan matematika. Sehingga para peserta didik
mampu menerapkan atau menggunakan hasil dari proses belajar matematika untuk
membantu kelangsungan hidupnya.
BAB III
MEMBANGUN FILSAFAT
A. Review Video Kuliah
Pada dasarnya hidup manusia bersifat metafisik yang artinya adalah berusaha
mencari hakekat dari segala yang ada, yang mana kehidupan akan terus berjalan dan tidak
akan selesai, entah itu menyerah atau mundur maupun terus berjuang atau maju. Hal ini
disebabkan oleh faktor ketidaksempurnaan yang melekat pada diri manusia. Sering kita
mendengar bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan secara sempurna, tetapi
hakikatnya adalah kesempurnaan manusia itu ada karena adanya ketidaksempurnaan.
Alasan mengapa manusia itu tidak sempurna agar manusia itu bisa hidup, karena kalau
manusia itu sempurna secara keseluruhan maka ia tidak bisa hidup.
Ada dua hal yang menjadi awalan atau dasar dari segala macam kegiatan manusia,
yaitu fatal dan vital. Fatal artinya adalah terpilih. Terpilih yang dimaksud adalah takdir.
Misalnya ketika saya memegang handphone, maka handphone ini adalah takdir karena
sudah terjadi. Kemudian hal yang kedua adalah vital. Vital artinya adalah memilih.
Memilih yang dimaksud adalah ikhtiar. Sehingga dari kedua hal itulah menyebabkan
munculnya metafisiknya. Metafisik memiliki empat komponen yaitu sifat di balik sifat,
sifat mendahului sifat, sifat mengikuti sifat, dan sifat mempunyai sifat. Maka berdasarkan
keempat poin tersebut yang menjadikan sebenar-benarnya manusia adalah sifat
mendahului sifat, sifat mengikuti sifat, dan sifat mempunyai sifat.
Sifat yang dimaksud dalam hal ini ada dua yaitu sifat tetap dan berubah. Untuk sifat
tetap, misalnya ketika kita memegang sebuah handphone, kita tidak bisa mengubah takdir
bahwa yang terpilih adalah handphone. Itu sudah terjadi dan seperti apapun atau mau
bagaimanapun itu sudah tercatat, sehingga itulah yang disebut suratan takdir. Tidak ada
satupun manusia yang mampu mengubah takdir, termasuk malaikat pun tidak dapat
mengubahnya karena ini merupakan kuasa yang dimiliki oleh Tuhan yang memegang
kendali atas terjadinya segala hal. Lantas bagaimana jika kedua hal atau mungkin salah
satu yang menjadi awalan dari segala macam kegiatan manusia baik itu fatal maupun vital
hilang? Jawabannya adalah tidak akan ada kehidupan.
Setelah itu, ada idealisme dan realisme yang merupakan dunia dari filsafat. Sebagai
contoh, ketika kita pergi ke sebuah toko sepatu, hal yang akan kita bahas adalah hal-hal
yang berhubungan dengan sepatu, misalnya warnanya, harganya dan ukurannya. Karena
kalau kita membahas hal lain, misalnya kita pergi ke toko sepatu tetapi yang kita bahas
adalah alat elektronik, tentu saja ini sangat tidak nyambung atau tidak berhubungan.
Inilah yang dinamakan kecerdasan dalam berfilsafat. Cerdas dalam filsafat artinya adalah
paham terhadap ruang dan waktu.
Kemudian di atas idealisme terdapat absolutisme, lalu spiritualisme, lalu kuasa
Tuhan atau causa prima. Causa prima adalah sebab dari segala sebab. Lalu di bawah
realisme terdapat absolutisme yaitu berupa benda. Pada bagian sifat tetap, fatal, dan
terpilih merupakan jalannya logika (logicims) yang artinya koherentisme, serta bersifat
analitik dan konsisten. Misal, logicismenya adalah wanita, wanita koherentismenya
adalah perempuan, perempuan analitiknya adalah ibu, dan ibu konsistenismenya adalah
melahirkan. Hal ini merupakan satu kesatuan yang bersifat rumpun. Sedangkan pada sifat
berubah, vital, dan memilih merupakan hukum alam yang artinya korespondensi antara
realita, fakta, dan persepsi yang bersifat sintetik.
Filsafat adalah ilmu yang bisa dipahami melalui kalimat yang terukur. Kebanyakan
orang tidak mampu menguasai masalah karena orang-orang tersebut tidak menguasai
dunianya, termasuk bahasanya padahal bahasa itu adalah dunia. Pada tahap awal, bagian
atas adalah definisi, asumsi, maka setelahnya terdapat aksioma dan teori. Sedangkan di
bagian bawah adalah contoh. Aksioma adalah ketentuan-ketentuan umum yang bisa
dipahami. Di bagian bawah dari contoh adalah bayangan. Perumpamaannya adalah di atas
merupakan langitnya yang memiliki aturan atau hukum yang bersifat formal, sedangkan
di bawah merupakan buminya yang bersifat material. Di atas adalah dewanya sedangkan
di bawah adalah daksanya.
Semua deretan yang ada di bagian atas disebut apriori dan di bagian bawah disebut
aposteriori. Apriori artinya memahami walaupun belum melihatnya langsung. Sedangkan
aposteriori adalah sebaliknya. Contoh apriori, misalnya ketika seorang anak
berkomunikasi dengan ayahnya terkait calon pasangannya, anak tersebut menyampaikan
bahwa calon pasangannya bernama A, umurnya sekian, pekerjaanya apa, rumah orang
tuanya, dll kemudian dia bertanya kepada ayahnya apakah ayahnya berkeinginan untuk
pergi melihatnya terlebih dahulu. Ayahnya menjawab “tidak perlu”. Ini artinya adalah
walaupun ayahnya belum berjumpa dengan orang tersebut tetapi ayahnya sudah paham.
Inilah yang disebut apriori. Akan tetapi jika ayahnya tidak mempercayai apa yang
disampaikan oleh anaknya sebelum melihatnya secara langsung, maka inilah yang disebut
aposteriori.
Aposteriori merupakan level dari anak-anak, hewan, dan benda yang didasarkan
pada pengalaman, fenomena atau peristiwa yang terjadi sehingga munculah empiritisme.
Sedangkan apriori adalah level orang dewasa maka ini merupakan rasionalisme. Dalam
konsep atau teori bagian atas, aliran Permendides berpendapat bahwa segala sesuatu itu
tetap, sedangkan bagian bawah yaitu aliran Heraclitos berpendapat bahwa segala sesuatu
berubah.
Orang-orang yang percaya bahwa Tuhan itu Esa disebut monoisme, sedangkan
yang jamak di sebut pluralisme, dan yang percaya keduanya disebut dualisme. Dalam
konteks ini, muncul seorang tokoh bernama Immanuel Kant, namun sebelum beliau
terlebih dahulu muncul Rene Descartes yang merupakan tokoh rasionalisme dan
skeptisisme. Filsafat merupakan ilmu yang menglir karena skeptisisme telah ada sejak
zaman Yunani Kuno. Namun hal ini ditentang oleh tokoh empirisisme yaitu David Hume.
Rene Descartes merupakan tokoh yang memiliki skeptisisme yang luar biasa yang mana
beliau sampai meragukan keberadaan Tuhan. Dia meragukan Tuhan tetapi tujuannya
adalah untuk mencari Tuhan. Dia berusaha mencari tahu perbedaan mimpi dan kenyataan.
Sampai pada akhirnya dia menemukan jawaban yang tidak bisa dibantah mengenai
perbedaan mimpi dan kenyataan. Yang mana ketika bermimpi maka dia tidak mungkin
bisa berpikir, justru karena dia nyata makanya dia bisa berfikir. Maka dari itu ketemulah
cogito ergo sum, ”aku tidak bermimpi karena aku sedang berfikir, aku ada karena aku
berfikir”.
Menurut Decartes, sebenar-benarnya ilmu adalah harus berdasarkan pada rasio atau
berdasarkan pada pikiran sebab jika tidak ada fikiran maka tidak ada ilmu. Namun hal ini
dibantah oleh David Hume yang berpendapat bahwa sebenar-benarnya kamu berfikir, jika
belum mengalami maka itu belum benar. Jadi kesimpulannya adalah sebenar-benarnya
ilmu harus berdasarkan pada pengalaman. Karena perdebatan itu munculah aliran tengah
yaitu Immanuel Kant perwakilan dari langit dan bumi yang menyatakan bahwa masing-
masing dari keduanya memiliki kebenaran dan kesalahan. Kebenaran yang ada terletak
pada langit itu apriori, sedangkan bumi itu sintetik. Maka sebenar-benar ilmu menurut
Immanuel Kant adalah kolaborasi antara langit dan bumi. Dari sinilah munculnya zaman
modern. Seiring perjalanan waktu, munculah seorang tokoh bernama Auguste Compte
yang memiliki pendapat bahwa agama tidak bisa membangun dunia karena agama tidak
logis. Hal ini ada dalam bukunya yang berjudul Positivisme. Dia menempatkan
spiritualisme (agama) berada di bagian paling bawah, lalu metafisik, lalu yang tertas
metode positif.
B. Review Buku CPR 1 KANT
1) Perbedaan antara Pengetahuan Murni dan Empiris (Of the difference between
Pure and Empirical Knowledge)
Tidak dapat kita pungkiri bahwa semua pengetahuan kita dimulai dengan
pengalaman. Hal ini karena kemampuan kognisi manusia dibangkitkan melalui objek-
objek yang mempengaruhi alat indera kita, dan sebagian dari objek tersebut menghasilkan
representasi, serta sebagian lagi membangkitkan kekuatan pemahaman kita ke dalam
aktivitas dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, sehubungan dengan berjalannya
waktu, tidak ada pengetahuan yang mendahului pengalaman, melainkan dimulai dengan
pengalaman.
Meskipun semua pengetahuan kita bermula dari pengalaman, bukan berarti semua
pengetahuan muncul dari pengalaman. Sebab, sebaliknya, sangat mungkin bahwa
pengetahuan empiris kita merupakan gabungan dari apa yang kita terima melalui kesan-
kesan, dan apa yang disuplai oleh kemampuan kognisi itu sendiri. Oleh karena itu, hal ini
menjadi sebuah pertanyaan yang memerlukan penyelidikan secara mendalam, dan tidak
dapat dijawab hanya melalui satu sudut pandang, yaitu apakah terdapat suatu pengetahuan
yang sama sekali tidak bergantung pada pengalaman? Pengetahuan semacam ini disebut
a priori, berbeda dengan pengetahuan empiris, yang sumbernya a posteriori, yaitu
pengalaman. Namun ungkapan “a priori” belum cukup pasti untuk menunjukkan
keseluruhan makna dari pertanyaan tersebut. Sebab, ketika berbicara tentang pengetahuan
yang bersumber dari pengalaman, kita biasa mengatakan bahwa ini atau itu dapat
diketahui secara a priori, karena kita tidak memperoleh pengetahuan ini langsung dari
pengalaman, melainkan dari aturan umum.
Oleh karena itu, dengan istilah “pengetahuan a priori”, kita dapat memahami bahwa
pengetahuan tidak bergantung pada pengalaman tetapi pengetahuan itu mutlak terjadi
pada semua pengalaman. Yang berlawanan dengan hal ini adalah pengetahuan empiris,
atau sesuatu yang hanya mungkin terjadi secara a posteriori, yakni melalui pengalaman.
Pengetahuan a priori bisa murni atau tidak murni. Pengetahuan murni secara a priori
adalah pengetahuan yang tidak ada unsur empirisnya yang tercampur. Misalnya,
proposisi, “Setiap perubahan mempunyai sebab,” adalah proposisi a priori, namun tidak
murni, karena perubahan adalah konsepsi yang hanya dapat diperoleh dari pengalaman.
2) Kecerdasan Manusia, Bahkan dalam Keadaan Tidak Filosofis, Memiliki Kognisi
Tertentu "a priori" (The Human Intellect, even in an Unphilosophical State, is in
Possession of Certain Cognition “a priori”)
Pengalaman mengajarkan kita bahwa suatu objek terbentuk sedemikian karena
adanya sebab akibat. Pertama-tama, jika kita mempunyai suatu proposisi yang
mengandung gagasan tentang keharusan dalam konsepsinya, maka proposisi itu tidak
diturunkan dari proposisi lain, kecuali dari proposisi yang sama-sama melibatkan gagasan
tentang keharusan, maka proposisi tersebut benar-benar a priori. Kedua, penilaian empiris
tidak pernah memperlihatkan ketegasan dan kemutlakan, melainkan hanya asumsi dan
universalitas komparatif (melalui induksi). Oleh karena itu, tidak ada pengecualian
terhadap aturan tersebut. Sebaliknya, jika suatu penilaian mengandung universalitas yang
ketat dan mutlak, yakni tidak mengakui adanya pengecualian, maka penilaian tersebut
tidak berasal dari pengalaman, melainkan sah secara mutlak secara a priori. Oleh karena
itu, universalitas empiris hanyalah perluasan validitas yang sewenang-wenang dari apa
yang dapat didasarkan pada suatu proposisi yang valid dalam banyak kasus, misalnya
“Semua benda itu berat.” Sebaliknya, ketika universalitas yang ketat menjadi ciri suatu
penilaian, maka hal itu tentu menunjukkan sumber pengetahuan khusus lainnya, yaitu
kemampuan kognisi a priori. Oleh karena itu, kebutuhan dan universalitas yang ketat
merupakan ujian yang sempurna untuk membedakan pengetahuan murni dan
pengetahuan empiris, dan saling berkaitan satu sama lain.
Kondisi kognisi pada kecerdaan manusia dalam memandang sebuah kenyataan
dengan lebih awal menunjukkan sebuah proposisi sederhana dari logika matematika yaitu
tentang kausalitas atau hukum sebab akibat. Dalam hal ini yakni “setiap perubahan pasti
ada penyebabnya”, artinya bahwa perubahan tidak akan terjadi jika tidak adanya sebab,
setiap perubahan pasti memiliki sebab. Namun, konsepsi sebab tersebut melibatkan
konsepsi tentang perlunya hubungan dengan suatu akibat, dan universalitas hukum yang
ketat. Dalam artian bahwa gagasan tentang sebab itu sendiri akan hilang jika kita
menurunkannya. Karena dari mana pengalaman kita sendiri memperoleh kepastian, jika
semua aturan yang menjadi sandarannya sendiri bersifat empiris, dan akibatnya
kebetulan?. Oleh karena itu, tidak seorang pun dapat mengakui validitas penggunaan
aturan seperti itu sebagai prinsip pertama. Dengan begitu, kita dapat menetapkan fakta
bahwa kita memang memiliki dan menjalankan kemampuan kognisi apriori murni.
Kedua, dengan menunjukkan tes yang tepat dari kognisi tersebut, yaitu, universalitas dan
kebutuhan. Yang kita butuhkan di sini adalah kriteria untuk membedakan antara
pengetahuan murni dan empiris dengan pasti. Pengalaman mengajarkan kita bahwa
sesuatu itu demikian dan itu, tetapi itu tidak mengajarkan kita bahwa itu tidak bisa
sebaliknya. Pertama, jika kita memiliki proposisi yang dianggap perlu, itu adalah
penilaian a priori, dan jika itu tidak berasal dari proposisi apa pun selain yang juga
dianggap perlu, itu benar-benar penilaian a priori. Kedua, melalui induksi, pengalaman
tidak pernah memberikan universalitas yang benar atau ketat pada penilaiannya, tetapi
hanya diasumsikan dan universalitas komparatif. Akibatnya, kita hanya dapat
menyatakan bahwa, sejauh yang telah kita amati, tidak ada pengecualian untuk norma ini
atau norma itu.
Namun, tidak hanya dalam penilaian, tetapi bahkan dalam konsepsi merupakan
manifestasi asal usul yang a priori. Sebagai contoh, jika kita sedikit demi sedikit
menghilangkan dari konsepsi kita tentang suatu tubuh, segala sesuatu yang bisa disebut
sebagai pengalaman indrawi belaka, warna, kekerasan atau kelembutan, berat, bahkan
sifat tidak dapat ditembus, maka tubuh tersebut akan lenyap, namun ruang yang
ditempatinya masih tetap ada, dan hal ini sama sekali tidak mungkin dimusnahkan dalam
pikiran. Jika kita menghilangkan dengan cara yang sama dari konsepsi empiris kita
tentang objek apa pun, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, semua sifat
yang telah diajarkan oleh pengalaman kepada kita untuk dihubungkan dengannya, kita
tetap tidak dapat memikirkan sifat-sifat yang melaluinya kita merenungkannya sebagai
substansi atau berpegang pada substansi, meskipun konsepsi kita tentang substansi lebih
ditentukan daripada konsep suatu objek. Oleh karena itu, karena adanya kebutuhan yang
memaksa konsepsi tentang substansi, kita harus mengakui bahwa substansi tersebut
mempunyai tempat dalam kemampuan kognisi kita secara a priori.
3) Filsafat Memerlukan Ilmu yang Dapat Menentukan Kemungkinan, Prinsip, dan
Perluasan Pengetahuan Manusia Secara “a priori” (Philosophy stands in need of
a Science which shall Determine the Possibility, Principles, and Extent of Human
Knowledge “a priori”)
Pengetahuan tertentu kita muncul sepenuhnya di atas lingkup semua pengalaman
yang mungkin terjadi, dan melalui konsepsi dalam seluruh pengalaman kita tidak ada
objek yang sepadan. Pemahaman dapat dicapai dalam lingkup fenomena indrawi.
Masalah-masalah yang ditetapkan oleh nalar murni yang tidak dapat dihindari adalah
Tuhan, kebebasan (kehendak), dan keabadian. Ilmu yang mempunyai tujuan khusus untuk
memecahkan masalah-masalah ini disebut metafisika, suatu ilmu yang pada awalnya
bersifat dogmatis, yaitu ilmu yang dengan penuh percaya diri melaksanakan tugas ini
tanpa penyelidikan terlebih dahulu terhadap kemampuan atau ketidakmampuan alasan
untuk melakukan hal tersebut.
Salah satu bagian dari pengetahuan murni kita, yaitu ilmu matematika yang telah
lama tertanam kuat dan dengan demikian mengarahkan kita untuk membentuk ekspektasi
yang menyanjung terhadap orang lain, meskipun hal ini mungkin sifatnya sangat berbeda.
Ilmu matematika memberi kita sebuah contoh cemerlang yaitu seberapa jauh pun kita
terlepas dari semua pengalaman, kita dapat membawa pengetahuan a priori kita. Sebagian
besar atau mungkin bagian terbesar dari urusan nalar kita terdiri dari analisis konsepsi
yang sudah kita miliki tentang objek. Dengan cara ini kita memperoleh banyak
pengetahuan, yang meskipun sebenarnya tidak lebih dari penjelasan tentang apa yang
telah dipikirkan dalam konsepsi kita.
Menurut Kant, untuk satu bagian dari pengetahuan ini, matematika telah lama
memiliki keandalan yang mapan, dan dengan demikian menimbulkan anggapan yang
menguntungkan sehubungan dengan bagian lain yang mungkin belum memiliki sifat yang
sangat berbeda. Selain itu, begitu kita berada di luar lingkaran pengalaman, kita dapat
yakin untuk tidak bertentangan dengan pengalaman. Matematika memberi kita contoh
cemerlang tentang seberapa jauh terlepas dari pengalaman, kita dapat maju dalam
pengetahuan a priori. Nalar kita terdiri dari analisis konsepsi yang sudah kita miliki
tentang objek. Dengan cara ini, menurut Kant kita memperoleh banyak kognisi, yang
meskipun sebenarnya tidak lebih dari penjelasan atau penjelasan tentang apa yang sudah
dipikirkan dalam konsepsi kita, setidaknya dalam kaitannya dengan kenyataan.
BAB IV
MENERAPKAN FILSAFAT
A. Sejarah/Perkembangan Matematika
Matematika dan pendidikan matematika awalnya tidaklah seperti yang kita lihat
sekarang ini. Matematika dan pendidikan matematika berkembang dari dahulu sampai
sekarang dan perkembangannya terus berlanjut. Perkembangan ini dipengaruhi berbagai
faktor. Dan faktor yang dinilai paling berpengaruh yaitu tentang pandangan terhadap
matematika itu sendiri.
Ernest (1991) menyatakan bahwa pandangan terhadap matematika mempengaruhi
model pembelajaran dan pengajaran yang diterapkan dan juga pemilihan buku yang
digunakan selain pengaruh konteks sosial. Banyak pandangan yang berbeda terhadap
matematika. Pandangan-pandangan terhadap matematika menyebabkan perbedaan
pendapat bagaimana matematika seharusnya diajarkan. Bahkan sampai sekarang
perbedaan pandangan tersebut masih terus berlanjut.
Perbedaan pandangan yang ada, melahirkan berbagai macam model pembelajaran.
Penelitian-penelitian dilakukan untuk melihat model pembelajaran yang seperti apa yang
seharusnya digunakan dalam membelajarkan matematika. Dari hal inilah matematika dan
pendidikan matematika berkembang. Tentunya tidak terlepas dari para ilmuwan
matematika sehingga ilmu matematika berkembang hingga saat ini.
Matematika memiliki sejarah yang panjang yang dapat ditelusuri dari jaman
Mesopotamia dan Mesir kuno seperti yang diungkapkan Marsigit (2012).
Menurut Berggren, JL (Marsigit: 2012) penemuan matematika pada zaman
Mesopotamia dan Mesir Kuno, didasarkan pada banyak dokumen asli yang masih ada
ditulis oleh juru tulis. Meskipun dokumen-dokumen yang berupa artefak tidak terlalu
banyak, tetapi mereka dianggap mampu mengungkapkan matematika pada jaman
tersebut. Artefak matematika yang ditemukan menunjukkan bahwa bangsa Mesopotamia
telah memiliki banyak pengetahuan matematika yang luar biasa, meskipun matematika
mereka masih primitif dan belum disusun secara deduktif seperti sekarang. Matematika
pada zaman Mesir Kuno dapat dipelajari dari artefak yang ditemukan yang kemudian
disebut sebagai Papyrus Rhind (diedit pertama kalinya pada 1877), telah memberikan
gambaran bagaimana matematika di Mesir kuno telah berkembang pesat. Artefak-artefak
berkaitan dengan matematika yang ditemukan berkaitan dengan daerah-daerah kerajaan
seperti kerajaan Sumeria 3000 SM, Akkadia dan Babylonia rezim (2000 SM), dan
kerajaan Asyur (1000 SM), Persia (abad 6-4 SM), dan Yunani (abad ke 3 -1 SM).
Pada zaman Yunani kuno paling tidak tercatat matematikawan penting yaitu Thales
dan Pythagoras. Thales dan Pythagoras mempelopori pemikiran dalam bidang Geometri,
tetapi Pythagoras lah yang memulai melakukan atau membuat bukti-bukti matematika.
Sampai masa pemerintahan Alexander Agung dari Yunani dan sesudahnya, telah tercatat
Karya monumental dari Euclides berupa karya buku yang berjudul Element (unsur-unsur)
yang merupakan buku Geometri pertama yang disusun secara deduksi.
Risalah penting dari periode awal matematika Islam banyak yang hilang, sehingga
ada pertanyaan yang belum terjawab masih banyak tentang hubungan antara matematika
Islam awal dan matematika dari Yunani dan India. Selain itu, jumlah dokumen yang relatif
sedikit menyebabkan kita mengalami kesulitan untuk menelusuri sejauh mana peran
matematikawan Islam dalam pengembangan matematika di Eropa selanjutnya. Tetapi
yang jelas, sumbangan matematikawan Islam cukup besar bersamaan dengan kebangkitan
pemikiran modern yang muncul himpunanelah zaman kegelapan sampai sekitar abad ke
15 setelah masehi.
Penemuan alat cetak mencetak pada jaman modern, yaitu sekitar abad ke16, telah
memungkinkan para matematikawan satu dengan yang lainnya melakukan komunikasi
secara lebih intensif, sehingga mampu menerbitkan karya-karya hebat. Hingga sampailah
pada zamannya Hilbert yang berusaha untuk menciptakan matematika sebagai suatu
sistem yang tunggal, lengkap dan konsisten. Namun usaha Hilbert kemudian dapat
dipatahkan atau ditemukan kesalahannya oleh muridnya sendiri yang bernama Godel
yang menyatakan bahwa tidaklah mungkin diciptakan matematika yang tunggal, lengkap
dan konsisten. Persoalan Geometri dan Aljabar kuno, dapat ditemukan di dokumen yang
tersimpan di Berlin. Salah satu persoalan tersebut misalnyaa memperkirakan panjang
diagonal suatu persegi panjang. Mereka menggunakan hubungan antara panjang sisi-sisi
persegi panjang yang kemudian mereka menemukan bentuk segitiga siku-siku. Hubungan
antara sisi-sisi siku-siku ini kemudian dikenal dengan nama Teorema Pythagoras.
Teorema Pythagoras ini sebetulnya telah digunakan lebih dari 1000 tahun sebelum
ditemukan oleh Pythagoras.
Orang-orang Babilonia telah menemukan sistem bilangan sexagesimal yang
kemudian berguna untuk melakukan perhitungan berkaitan dengan ilmu-ilmu
perbintangan. Para astronom pada jaman Babilonia telah berusaha untuk memprediksi
suatu kejadian dengan mengaitkan dengan fenomena perbintangan, seperti gerhana bulan
dan titik kritis dalam siklus planet (konjungsi, oposisi, titik stasioner, dan visibilitas
pertama dan terakhir). Mereka menemukan teknik untuk menghitung posisi ini
(dinyatakan dalam derajat lintang dan bujur, diukur relatif terhadap jalur gerakan jelas
tahunan Matahari) dengan berturut-turut menambahkan istilah yang tepat dalam
perkembangan aritmatika. Matematika di Mesir Kuno disamping dikarenakan pengaruh
dari Masopotamia dan Babilonia, tetapi juga dipengaruhi oleh konteks Mesir yang
mempunyai aliran sungai yang lebar dan panjang yang menghidupi masyarakat Mesir
dengan peradabannya. Persoalan hubungan kemasyarakatan muncul dikarenakan
kegiatan survive bangsa Mesir menghadapi keadaan alam yang dapat menimbulkan
konflik diantara mereka, misalnya bagaimana menentukan batas wilayah, ladang atau
sawah dipinggir sungai Nil himpunanelah banjir bandang terjadi yang mengakibatkan
tanah mereka tertimbun lumpur hingga beberapa meter. Dari salah satu kasus inilah
kemudian muncul gagasan atau ide tentang luas daerah, batas-batas dan bentuk-
bentuknya. Maka pada jaman Mesir Kuno, Geometri telah tumbuh pesat sebagai
cabang Matematika.
Dalam waktu relatif singkat (mungkin hanya satu abad atau kurang), metode yang
dikembangkan oleh orang Babilonia dan Mesir Kuno telah sampai ke tangan orang-orang
Yunani. Misal, Hipparchus (2 abad SM) lebih menyukai pendekatan geometris pendahulu
Yunani, tetapi kemudian ia menggunakan metode dari Mesopotamia dan mengadopsi
gaya seksagesimal. Melalui orang-orang Yunani itu diteruskan ke para ilmuwan Arab
pada abad pertengahan dan dari situ ke Eropa, di mana itu tetap menonjol dalam
matematika astronomi selama Renaissance dan periode modern awal. Sampai hari ini
tetap ada dalam penggunaan menit dan detik untuk mengukur waktu dan sudut. Aspek
dari matematika Babilonia yang telah sampai ke Yunani telah meningkatkan kualitas
kerja matematika dengan tidak hanya percaya dengan bentuk-bentuk fisiknya saja,
melainkan diperoleh kepercayaan melalui bukti-bukti matematika. Prinsip-prinsip
Teorema Pythagoras yang sudah dikenal sejak jaman Babilonia yaitu sekitar seribu tahun
sebelum jaman Yunani, mulai dibuktikan secara matematis oleh Pythagoras pada jaman
Yunani Kuno.
Pada jaman Yunani Kuno, selama periode dari sekitar 600 SM sampai 300 SM, yang
dikenal sebagai periode klasik matematika, matematika berubah dari fungsi praktis
menjadi struktur yang koheren pengetahuan deduktif. Perubahan fokus dari pemecahan
masalah praktis ke pengetahuan tentang kebenaran matematis umum dan perkembangan
obyek teori mengubah matematika ke dalam suatu disiplin ilmu. Orang Yunani
menunjukkan kepedulian terhadap struktur logis matematika. Para pengikut Pythagoras
berusaha untuk menemukan secara pasti Panjang sisi miring suatu segitiga siku-siku.
Tetapi mereka tidak dapat menemukan angka yang tertentu dengan skala yang sama yang
berlaku untuk semua sisi-sisi segitiga tersebut.
Hal inilah yang kemudian dikenal dengan persoalan Incommensurability, yaitu
adanya skala yang tidak sama agar diperoleh bilangan yang tertentu untuk sisi miringnya.
Jika dipaksakan digunakan skala yang sama (atau commensurabel) maka pada akhirnya
mereka menemukan bahwa panjang sisi miring bukanlah bilangan bulat melainkan
bilangan irrasional.
Prestasi bangsa Yunani Kuno yang monumental adalah adanya karya Euclides
tentang Geometri Aksiomatis. Sumber utama untuk merekonstruksi pra-Euclidean buku
karya Euclides bernama Elemen (unsur-unsur), di mana sebagian besar isinya masih
relevan dan digunakan hingga saat kini. Element terdiri dari 13 jilid. Buku I berkaitan
dengan kongruensi segitiga, sifat-sifat garis paralel, dan hubungan daerah dari segitiga
dan jajaran genjang; Buku II menetapkan kehimpunanaraan yang berhubungan dengan
kotak, persegi panjang, dan segitiga; Buku III berisi sifat-sifat Lingkaran; dan Buku
IV berisi tentang poligon dalam lingkaran. Sebagian besar isi dari Buku I-III adalah
karya-karya Hippocrates, dan isi dari Buku IV dapat dikaitkan dengan Pythagoras,
sehingga dapat dipahami bahwa buku Elemen ini memiliki sejarahnya hingga berabad-
abad sebelumnya. Buku V menguraikan sebuah teori umum proporsi, yaitu sebuah teori
yang tidak memerlukan pembatasan untuk besaran sepadan. Ini teori umum berasal dari
Eudoxus. Berdasarkan teori, Buku VI menggambarkan sifat bujursangkar dan
generalisasi dari teori kongruensi pada Buku I. Buku VII-IX berisi tentang apa yang oleh
orang-orang Yunani disebut "aritmatika," teori bilangan bulat. Ini mencakup sifat-sifat
proporsi numerik, pembagi terbesar, kelipatan umum, dan bilangan prima (Buku VII);
proposisi pada progresi numerik dan persegi (Buku VIII), dan hasil khusus, seperti
faktorisasi bilangan prima yang unik ke dalam, keberadaan yang tidak terbatas jumlah
bilangan prima, dan pembentukan "sempurna" angka, yaitu angka-angka yang sama
dengan jumlah pembagi (Buku IX). Dalam beberapa bentuk, Buku VII berasal dari
Theaetetus dan Buku VIII dari Archytas. Buku X menyajikan teori garis irasional dan
berasal dari karya Theaetetus dan Eudoxus. Buku X berisi tentang bangun ruang; Buku
XII membuktikan theorems pada rasio lingkaran, rasio bola, dan volume piramida dan
kerucut.
Warisan Matematika Yunani, terutama dalam geometri, sangat besar. Dari periode
awal orang-orang Yunani merumuskan tujuan matematika tidak dalam hal prosedur
praktis tetapi sebagai disiplin teoritis berkomitmen untuk mengembangkan proposisi
umum dan demonstrasi formal. Kisaran dan keragaman temuan mereka, terutama yang
dari abad SM-3, geometri telah menjadi materi pelajaran selama berabad-abad, meskipun
tradisi yang ditransmisikan ke Abad Pertengahan dan Renaissance tidak lengkap dan
cacat.
Peningkatan pesat dari matematika di abad ke-17 didasarkan sebagian pada
pembaharuan terhadap matematika kuno dan matematika pada jaman Yunani. Mekanika
dari Galileo dan perhitungan-perhitungan yang dibuat Kepler dan Cavalieri, merupakan
inspirasi langsung bagi Archimedes. Studi tentang geometri yang dilakukan oleh
Apollonius dan Pappus dirangsang oleh pendekatan baru dalam geometri-misalnya,
analitik yang dikembangkan oleh Descartes dan teori proyektif dari Desargues Girard.
Kebangkitan matematika pada abad 17 sejalan dengan kebangkitan pemikiran para
filsuf sebagai anti tesis abad gelap dimana kebenaran didominasi oleh Gereja. Maka
Copernicus merupakan tokoh pendobrak yang menantang pandangan Gereja bahwa bumi
sebagai pusat jagat raya; dan sebagai gantinya dia mengutarakan ide bahwa bukanlah
Bumi melainkan Mataharilah yang merupakan pusat tata surya, sedangkan Bumi
mengelilinginya. Zaman kebangkitan ini kemudian dikenal sebagai zaman Modern, yang
ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh pemikir filsafat sekaligus matematikawan
seperti Immanuel Kant, Rene Descartes, David Hume, Galileo, Kepler, Cavalieri, dst.
B. Ideologi Pendidikan
Paham ideologi yang berkembang di dunia mengalami berbagai pergeseran. Hal ini
dipengaruhi oleh pola pikir umat manusia yang berkembang dari zaman ke zaman. Ada
pertentangan-pertentangan ideologi yang senantiasa bertarung dan secara silih berganti
mendominasi pola pemikiran masyarakat. Pada zaman pertengahan, agama mendominasi
dan sains termarjinalkan. Namun setelah zaman renaissance hingga sekarang, sains
mendominasi dan menjadi alat ukur kebenaran, sedangkan agama lebih cenderung
dimarjinalkan. Pertarungan ideologi juga terjadi pada kehidupan sosial seperti antara
kapitalisme dan sosialisme. Kapitalisme yang dimotori oleh Amerika berpegang pada
kebebasan individu secara mutlak, sedangkan sosialisme yang dimotori oleh Rusia
berpegang pada pembatasan terhadap kebebasan individu dan semuanya diatur oleh
negara untuk kepentingan bersama. Pertarungan ini akhirnya dimenangkan oleh Amerika
sebagai pembawa bendera kapitalis yang berdampak pada berbagai sektor kehidupan
masyarakat, salah satunya pada sektor pendidikan. Sementara itu di Indonesia pernah
dikembangkan ideologi demokrasi terpimpin pada masa presiden Soekarno dan kemudian
disusul ideologi Pancasila pada masa presiden Soeharto. Demikian pula paham ideologi
pendidikan telah banyak mengalami pergeseran sebagaimana dikemukakan oleh para
ahli. Brameld (dalam O’Neil 2001) membagi ada empat macam ideologi pendidikan yang
dia sebut dengan istilah aliran filsafat pendidikan, yaitu: Perenialisme, Esensialisme,
Progresivisme, dan Rekonstruktivisme. Namun bagi O’Neil, dasar pembagian ideologi
pendidikan yang dilakukan oleh Brameld dipandang ada kejanggalan. Menurut O’Neil
(2001) pembagian ideologi pendidikan yang baru dan lebih longgar dibagi menjadi tiga
macam ideologi, yaitu: konservatisme, liberalisme, dan kritisisme.
Dari ketiga ideologi pendidikan tersebut, terdapat satu ideologi pendidikan yang
dipandang memiliki kaitan dan berdampak kuat dalam pengembangan konsep dan
implementasi pendidikan, yaitu ideologi pendidikan liberalisme.
1) Ideologi dan Ideologi Pendidikan
Ideologi berasal dari bahasa Yunani dan merupakan gabungan dari dua kata, yaitu
‘edios’ yang artinya ide, gagasan atau konsep dan ‘logos’ yang berarti ilmu. Berdasarkan
arti kata tersebut ideologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari ide-ide
manusia, atau ilmu tentang ide-ide. Secara terminologis Sargent (dalam O’Neil, 2001)
mengemukakan ideologi diartikan sebagai sistem nilai atau keyakinan yang diterima
sebagai fakta atau kebenaran oleh kelompok tertentu. Ideologi awalnya berasal dari
konsepsi Etienne Condilac (1715-1780) seorang pemikir Prancis yang melanjutkan tradisi
pemikiran John Locke (1632-1714) dari Inggris. Menurutnya, ideologi dipahami sebagai
penguraian gagasan atas penginderaan yang dianggap memunculkan gagasan ide (Salim,
2004). Secara umum Wilardjo (dalam, Salim, 2004) menyimpulkan, ideologi adalah suatu
pemahaman gagasan atau jalan pikiran yang bertumpu pada suatu filsafat dan merupakan
ciri khas suatu kelompok, mempengaruhi suatu kelompok, mempengaruhi kebudayaan
keseluruhan kompleks suatu bangsa, serta membentuk pranata politik.
Dalam kaitan dengan pendidikan, O’Neil (2001) menyatakan ideologi pendidikan
diartikan sebagai pola gagasan yang mengarahkan dan menggerakkan tindakan dalam
pendidikan yang dipandang sebagai sistem nilai (keyakinan) yang mengarahkan dan
menggerakkan suatu tindakan sosial. Dalam kajian filsafat ilmu, pendidikan memiliki tiga
unsur utama, yaitu ontologi (hakekat objek), epistemologi (proses pencarian kebenaran),
dan aksiologi (kegunaan). Melalui proses kajian demikian pendidikan menjadi sesosok
ilmu pengetahuan yang memiliki otonomi karena memiliki struktur keilmuan (a body
of knowledge). Dalam tataran praktis secara aksiologi, ilmu pendidikan diterapkan
menjadi gerakan masyarakat yang bersifat aplikatif. Ilmu pendidikan tidak lagi sekedar
merupakan ilmu (science), tetapi telah menjelma menjadi kekuatan massa yang besar
(sebagai filsafat yang diyakini bersama) yang disebut ideologi, yakni ideologi pendidikan
Oleh karena ideologi pendidikan dipandang mampu mengubah perilaku individu
dan masyarakat secara sistematis, maka berbagai faktor kepentingan mempengaruhi
penetapan pilihan ideologi pendidikan yang dikembangkan disuatu negara demi alasan
politik.
2) Ideologi-Ideologi Pendidikan
Menurut O’Neil (2001) setidaknya ada tiga ideologi yang berkembang dalam dunia
pendidikan, yaitu: konservatisme, liberalisme, dan kritisisme.
Pertama, ideologi pendidikan konservatisme berpandangan bahwa ketidak
sederajatan masyarakat merupakan sesuatu keharusan alami. Oleh karena itu panganut
faham konservatif tidak menganggap rakyat memiliki kekuatan atau kekuasaan untuk
merubah kondisi. Pendidikan adalah proses pelestarian dan penerusan pola-pola
kemapanan sosial dan tradisi-tradisi yang ada dalam masyarakat dan cenderung
mendukung ketaatan terhadap lembaga-lembaga dan proses-prosesbudaya yang sudah
teruji oleh waktu. Dalam implementasi pendidikan, paham konservatif sangat
mementingkan pendidikan moral, yakni dengan cara mendorong siswa bernalar sesuai
nilai-nilai sosial yang telah mapan di masyarakat. Guna menguatkan penanaman nilai
moralproses pembelajaran cenderung menyimak dan menghafal, serta guru harus
bersikap disiplin kepada siswa.
Kedua, ideologi pendidika Liberal berkeyakinan bahwa dalam masyarakat terjadi
banyak masalah termasuk urusan masalah pendidikan. Paham liberal beranggapan
masalah pendidikan tidak akan ada sangkut paut dengan persoalan politik dan ekonomi
masyarakat. Namun demikian, proses pendidikan tidak boleh lepas sama sekali dengan
kondisi-kondisi eksternal, dalam hal ini ekonomi dan politik. Pendidikan harus bisa
menyesuaikan diri terhadap kondisi-kondisi external tersebut.
Ketiga, ideologi pendidikan kritis berpandangan bahwa pendidikan merupakan
arena perjuangan politik. Jika bagi penganut paham pendidikan konservatif, pendidikan
diarahkan untuk menjaga status quo, sedang penganut paham pendidikan liberal
pendidikan diorientasikan untuk perubahan moderat; maka ideologi kritis ini
menghendaki pendidikan sebagai sarana perubahan struktural dan sistem secara
fundamental dalam politik, ekonomi, serta serta gender. Bagi penganut paham pendidikan
kritis, diskriminasi kelas serta gender dalam masyarakat tercermin pula dalam dunia
pendidikan. Sehingga kaum kritis memiliki kehendak berbeda dengan penganut paham
pendidikan liberal. Bagi penganut paham pendidikan liberal pendidikan harus terlepas
dari persoalan kelas dan gender dalam masyarakat, namun kaum kritis menghendaki
melekat dengannya. Perhatian utama paham kritis adalah melakukan refleksi kritis
terhadap ”the dominant ideology” ke arah transformasi sosial. Tugas utama pendidikan
adalah menciptakan ruang berfikir serta bertindak untuk selalu kritis terhadap keadaan
sistem serta struktur yang tidak adil dan menindas.
Menurut Paul Ernest (1991), ideologi Pendidikan dapat dibagi menjadi 5 kategori,
diantaranya: aliran Industrial Trainer, Technological Pragmatist, Old Humanist,
Progressive Educator dan Public Educator. Paradigma dari ideologi Pendidikan ini
secara jelas dapat dilihat melalui tabel 1 berikut:
Industrial Technological Old ProgressivePublic
Trainer Pragmatism Humanism Educator Educator
Politics Radical Conservative Conservativ Liberal Democrac
right e/ liberal y
Sciences/ Body of Science of Structure of Process of Social
Knowledge knowledge truth truth thinking activities
Moral Value Good vs Pragmatical Hierarkhy/ Humanity Justice/
bad paternalistic freedom
s
Theory of Hierarkhy/ Hierarkhy Hierarkhy Wellfare Need a
Society market reform
orientation
Theory of Empty Empty vessel Character Students Constructi
Student vessel building orientation ve
Theory of Tallent and Telent Talent Need Heremene
Ability effort developmen utics
t
Aim of Back to Certivication Transfer of Creativity Construct
Education basic knowledge their own
(arith.) live
Theory of Hardwork, Thinking and Understandi Exploration Hermeneu
Learning drill, practice ng and tics
memorize aplication
Theory of Transfer of External Expository Hermeneuti Hermeneu
Teaching knowledge motivation cs/ construct tics/
discussion
/
translation
Resurces Board and Teching aids Visual Various Portofolio/
chalk teaching resources/ social
aids environmen context
t
Evaluation External External test External test Portofolio hetereogo
test nomous
Diversity Monocultu decentralizatio Competent Multiple
re n based solution/
curriculum local culture
Pertama, aliran Industrial Trainer secara konseptual adalah berupa alur pengajaran
atau pemahaman yang menekankan pada pendidikan atau pelatihan industri. Orientasi
pelatihan ini menekankan pada matematika dan keterkaitan antara pendidikan dengan
dunia usaha dan industri. Dalam konteks pembelajaran matematika atau pendidikan dasar,
alur instruktur industri yang dimaksud adalah kegiatan pelatihan yang dilakukan untuk
siswa.
Kedua, Aliran Technological Pragmatist adalah kelompok kontemporer yang
diturunkan dari pendidik industri yang misinya mempromosikan versi modern dari
sebuah ideologi dengan tujuan utilitarian, prinsip utilitas atau kemanfaatan. Secara
konseptual, Technological Pragmatist ini dapat digambarkan sebagai sikap atau perilaku
ideologis, mazhab, atau politik yang tidak mau mengubah sistem secara radikal. Sikap ini
biasanya dipegang oleh mereka yang memegang status atau kekuasaan khusus di dalam
struktur, atau setidaknya mereka yang merasa sangat diuntungkan dari sistem yang ada.
Ketiga, aliran Old Humanist atau sering disebut sebagai "Alto-Humanist" atau
"Humani Lama". Aliran ini berpendapat bahwa sains murni hanya baik untuk dirinya
sendiri. Namun kenyataannya, matematikawan kuno memandang matematika sebagai
komoditas yang berharga dan elemen sentral dari budaya. Dalam matematika yang
membuktikan logika, ada nilai dalam struktur, abstraksi, dan penyederhanaan.
Berdasarkan nilai tersebut, maka tujuan pembelajaran matematika adalah untuk
mengajarkan matematika itu sendiri. Ideologi kelompok ini dibagi oleh relatif absolut.
Kelompok humanis kuno adalah kelompok yang menekankan perbaikan diri dengan
membangun kemanusiaan. Menurut ideologi ini, dalam pembelajaran matematika harus
dilakukan pembelajaran yang dapat membangun karakter siswa sehingga tidak hanya ahli
dalam bidang matematika, tetapi agar siswa dapat terus memiliki kepribadian yang baik
dalam kehidupannya. masa depan. Meskipun pembelajaran yang disederhanakan ini
sudah berkaitan dengan pemahaman konsep matematika, pembelajaran yang dipimpin
guru masih menggunakan metode ceramah. Menurut aliran pemikiran ini, matematika
memiliki nilai kebenarannya sendiri. Hal ini sesuai dengan analogi bahasa dalam
matematika. Matematika adalah "Ratu Pengetahuan". Matematika menekankan
ketelitian, bukti logis, struktur, abstraksi, kesederhanaan, dan keanggunan.
Keempat, Aliran Progressive Educator atau sering disebut sebagai aliran pendidikan
progresif. Dalam hal ini, pendidikan progresif didasarkan pada progresivisme, dan
pendidikan harus didasarkan pada sifat manusia sebagai makhluk sosial dan paling baik
dipelajari dalam situasi kehidupan nyata dengan orang lain. Progressive Educator
sebenarnya merupakan perpanjangan dari gagasan tentang pragmatisme pedagogis.
Ideologi ini memandang siswa sebagai makhluk sosial yang aktif. Dalam teori ini, belajar
bekerja paling baik ketika berhubungan dengan situasi kehidupan nyata siswa.
Pembelajaran juga harus berpusat pada siswa. Belajar ke arah ini sangat berbeda dengan
belajar oleh pelatih industri, pragmatis teknis, dan arus kemanusiaan kuno. Pembelajaran
pada aliran ini berpusat pada siswa (student centered), dalam arti bahwa subjek dari
kegiatan pembelajaran. Siswa tidak hanya menerima semua ilmu dari gurunya, tetapi
mencari atau membangun sendiri ilmunya.
Kelima, aliran Public Educator yaitu sekelompok atau orang-orang dengan ideologi
demokrasi. Di era sekarang ini, pendidikan bisa menjadi milik semua orang. Dengan kata
lain, pendidikan tidak memandang jenis kelamin, ras, jenis kelamin, status sosial, dan
lain-lain. Dalam perkembangan ilmu pengetahuan, pendidikan ini disebut Pendidikan
Inklusif, Kesetaraan Gender, Disabilitas dan Inklusi Sosial (GEDSI). Sebagai seorang
praktisi pendidikan inklusif, penulis menganut paradigma ini. Menurut ideologi ini,
pendidikan harus bertujuan untuk memberikan pengalaman untuk menemukan atau
memecahkan hal-hal baru dalam kehidupan pribadi dan sosial. Masyarakat pada dasarnya
adalah yang terbaik, tetapi masyarakat demokratis adalah yang terbaik, di mana setiap
pekerjaan memiliki peluang dan demokrasi tidak memiliki hierarki sosial. Ideologi ini
juga menekankan bahwa pendidikan tercapai bila anak terlibat aktif dan terintegrasi
dalam semua kegiatan sosial di lingkungannya. Orang tua tidak mengisolasi anaknya di
sekolah. Tujuan lain dari pendidik masyarakat ini adalah agar masyarakat juga berperan
sebagai pembimbing dan guru bagi anak-anak. Teori pembelajaran didiskusikan dan
siswa diberikan kebebasan sesuai dengan kemampuannya. Teori pengajarannya adalah
diskusi dan inkuiri.
C. Paradigma/Teori/Model/Pendekatan/Metode/Strategi/Praksis
1. Teori Belajar Dienes
Zoltan P. Dienes adalah seorang guru matematika. Dienes dalam Aisyah (2007),
berpendapat bahwa pada dasarnya matematika dapat dianggap sebagai studi tentang
struktur, memisah-misahkan hubungan-hubungan di antara struktur-struktur dan
mengkategorikan hubungan-hubungan di antara struktur-struktur. Seperti halnya dengan
Bruner, Dienes mengemukakan bahwa tiap-tiap konsep atau prinsip dalam matematika
yang disajikan dalam bentuk yang konkret akan dapat dipahami dengan baik. Ini
mengandung arti bahwa jika benda- benda atau objek-objek dalam bentuk permainan
akan sangat berperan bila dimanipulasi dengan baik dalam pengajaran matematika.
Perkembangan konsep matematika menurut Dienes dalam Aisyah (2007), dapat
dicapai melalui pola berkelanjutan, yang setiap seri dalam rangkaian kegiatan belajar dari
kongkret ke simbolik. Tahap belajar adalah interaksi yang direncanakan antara yang satu
segmen struktur pengetahuan dan belajar aktif, yang dilakukan melalui media matematika
yang didesain secara khusus. Menurut Dienes, permainan matematika sangat penting
sebab operasi matematika dalam permainan tersebut menunjukkan aturan secara kongkret
dan lebih membimbing dan menajamkan pengertian matematika pada siswa. Dapat
dikatakan bahwa objek-objek kongkret dalam bentuk permainan mempunyai peranan
sangat penting dalam pembelajaran matematika jika dimanipulasi dengan baik. Teori
belajar Dienes pada prinsipnya sangat relevan dengan teori perkembangan kognitif Piaget
dan konsep Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan (PAKEM).
Menurut Siswono dalam Aisyah (2007), PAKEM bertujuan untuk menciptakan
suautu lingkungan belajar yang melengkapi siswa dengan ketrampilan-keterampilan,
pengetahuan dan sikap bagi kehidupan kelak. Aktif diartikan siswa maupunMberinteraksi
untuk menunjang pembelajaran. Guru harus menciptakan suasana sehingga siswa aktif
bertanya, memberikan tanggapan, mengungkapkan ide dan mendemonstrasikan gagasan
atau idenya. Guru aktif akan memantau kegiatan belajar peserta didik, memberi umpan
balik, mengajukan pertanyaan menantang dan mempertanyakan gagasan anak didik.
Dengan memberikan kesempatan siswa aktif akan mendorong kreativits peserta didik
dalam belajar maupun memecahkan masalah. Kreatif diartikan guru memberikan variasi
dalam kegiatan belajar mengajar dan membuat alat bantu baljar, bahkan mencipta teknik-
teknik mengajar tertentu sesuai dengan tingkat kemampuan siswa dan tujuan belajarnya.
Siswa akan kreatif, bila diberi kesempatan merancang/membuat sesuatu, menuliskan ide
atau gagasan. Kegiatan tersebut akan memuaskan rasa keingintahuan dan imajinasi
mereka. Apabila suasana belajar yang aktif dan kreatif terjadi, maka akan mendorong
siswa untuk menyenangi dan memotivasi mereka untuk terus belajar. Menyenangkan
diartikan sebagai suasana belajar mengajar yang ”hidup”, semarak, terkondisi untuk trus
berlanjut, ekspresif, dan mendorong pemusatan perhatian siswa terhadap belajar. Agar
menyenangkan dipelukan afirmasi (penguatan/ penegasan), memberi pengakuan dan
merayakan kerja kerasnya dengan tepuk tangan, poster umum, catatan pribadi atau saling
menghargai. Kegiatan belajar yang aktif, kreatif dan menyenangkan harus tetap bersandar
pada tujuan atau kompetensi yang akan dicapai. Efektif yang diartikan sebagai
ketercapaian suatu tujuan (kompetensi) merupakan pijakan utama suatu rancangan
pembelajaran. Menurut Aisyah (2007), secara garis besar PAKEM menggambarkan
kondisi sebagai berikut:
a. Siswa terlibat dalam berbagai kegiatan (aktifitas) yang mengembangan keterampilan,
kemampuan dan pemahamannya dengan menekankan pada belajar dengan berbuat
(learning by doing).
b. Guru menggunakan berbagai stimulus/motivasi dan alat peraga, termasuk
lingkungan sebagai sumber belajar agar pengajaran lebih menarik, menyenangkan
dan relevan bagi siswa.
c. Guru mengatur kelas untuk memajang buku-buku dan materi-materi yang menarik
dan membuat ”pojok bacaan”.
d. Guru menggunakan cara belajar yang lebih kooperatif dan interaktif, termasuk
belajar kelompok.
e. Guru mendorong siswa untuk menemukan caranya sendiri dalam menyelesaikan
suatu masalah, mengungkapkan gagasannya, dan melibatkan peserta didik dalam
menciptakan lingkungan sekolahnya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Agus N Cahyo. (2013). Panduan Aplikasi Teori-Teori Belajar Mengajar Teraktual Dan
Terpopuler. Jogjakarta: Divapres.
Ernest, Paul. 1991. The Philosophy of Mathematics Education. London: The. Falmer
Press.
Haryono, D. (2015). Filsafat Matematika: Suatu Tinjauan Epsitemologi dan Filosofis (A.
Hadis (ed.)). Alfabeta.
Parnabhhakti, L., & Ulfa, M. (2020). Perkembangan Matematika Dalam Filsafat. Jurnal
Ilmiah Matematika Realistik, 1(1), 11–14.
Romdon. (1996). Ajaran Ontologi Aliran Kebatinan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sinaga, W., Parhusip, B. H., Tarigan, R., & Sitepu, S. (2021). Perkembangan Matematika
Dalam Filsafat Dan Aliran Formalisme Yang Terkandung Dalam Filsafat
Matematika. Sepren: Journal of Mathematics Education and Apllied, 2(2), 17–22.
https://doi.org/10.36655/sepren.v2i2.508