Anda di halaman 1dari 41

KONSTRUKSI DAN IMPLEMENTASI FILSAFAT ILMU: Matematika dan

Pendidikan Matematika

Dosen Pengampu: Prof. Dr. Marsigit, M.A.

OLEH:
RAHMA SARI
23031140020

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena atas segala berkat,
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tugas akhir ini
dengan baik. Penulisan tugas akhir ini berjudul “Konstruksi dan Implementasi Filsafat
Ilmu”. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah memenuhi tugas akhir untuk
mata kuliah “Filsafat Ilmu”. Selain itu, penulisan tugas akhir ini bertujuan untuk
menambah wawasan bagi para pembaca dan penulis dalam bidang Pendidikan.
Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan penulisan tugas akhir ini penuh
dengan hambatan dan tantangan yang dihadapi, namun atas berkat berbagai dorongan dan
bantuan dari berbagai pihak, maka penulisan tugas akhir ini pun dapat terselesaikan. Oleh
karena itu, melalui kesempatan ini juga penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada
Prof. Dr. Marsigit, M.A., selaku dosen pengampu pada mata kuliah Filsafat Ilmu yang
telah memberikan tugas ini, sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan
penulis.
Penulis menyadari penulisan tugas akhir ini masih terdapat banyak kekurangan,
karena itu dengan senang hati penulis menerima kritik dan saran dari semua pihak yang
sifatnya membangun demi penyempurnaan penulisan ini. Harapan penulis semoga
penulisan tugas akhir ini bermanfaat bagi penulis maupun pembaca lainnya dalam
pandangan dan praktik pendidikan khususnya pendidikan matematika.
BAB I
FILSAFAT UMUM

Filsafat adalah pemikiran dan kajian menyeluruh terhadap suatu pemikiran,


kepercayaan, dan sikap yang sudah dijunjung tinggi kebenarannya melalui pencarian
ulang dan analisis konsep dasar untuk menciptakan kebenaran, pertimbangan, dan
kebijaksanaan yang lebih baik. Filsafat secara harfiah berarti “mencintai kebijaksanaan”.
Artinya, filsafat juga memiliki arti mencintai pencarian menuju penemuan kebijaksanaan
atau kearifan. Mencintai kearifan di sini tentunya bermakna mencintainya dengan
melakukan proses pencarian terhadap kearifan sekaligus makna mendasar produknya
sendiri. Di dalam proses pencarian tersebut, yang dicari adalah kebenaran-kebenaran
prinsip yang bersifat general. Prinsip yang bersifat umum ini harus dapat dipakai untuk
menjelaskan segala sesuatu kajian atas objek filsafat yang dicari.

A. Ontologi
Ontologi memiliki pengertian yang berbeda-beda. Definisi ontologi berdasarkan
bahasa berasal dari bahasa Yunani, yaitu On (Ontos) merupakan ada dan logos
merupakan ilmu. Sehingga ontologi merupakan ilmu yang mengenai yang ada. Ontologi
menurut istilah merupakan ilmu yang membahas hakikat yang ada, yang merupakan
ultimate reality, baik berbentuk jasmani/konkret maupun rohani abstrak (Bakhtiar 2004).
Ontologi dalam definisi Aristoteles merupakan pembahasan mengenai hal ada sebagai hal
ada (hal ada sebagai demikian) mengalami perubahan yang dalam, sehubungan dengan
objeknya (Gie 1997).
Ontologi dalam pandangan The Liang Gie merupakan bagian dari filsafat dasar
yang mengungkapkan makna dari sebuah eksistensi yang pembahasannya meliputi
persoalan-persoalan (Gie 1997):
a. Apakah artinya ada, hal ada?
b. Apakah golongan-golongan dari hal ada?
c. Apakah sifat dasar kenyataan dan hal ada?
d. Apakah cara-cara yang berbeda dalam mana entilas dari kategori-kategori logis yang
berlainan (misalnya objek-objek fisis, pengertian universal, abstraksi, dan bilangan)
dapat dikatakan ada?
Ontologi menurut Suriasumantri (1990) membahas mengenai apa yang ingin kita
ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan kata lain suatu pengkajian mengenai
teori tentang “ada”. Telaah ontologis akan menjawab pertanyaan-pertanyaan:
a. Apakah objek ilmu yang akan ditelaah?
b. Bagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut?
c. Bagaimana hubungan antara objek dan daya tangkap manusia (seperti berpikir,
merasa, dan mengindra) yang dapat menghasilkan pengetahuan?
Ontologi dalam Ensiklopedia Britannica yang diangkat dari konsepsi Aristoteles
merupakan teori atau studi tentang wujud, misalnya karakteristik dasar dari seluruh
realitas. Pembahasan tentang ontologi sebagi dasar ilmu berusaha untuk menjawab “apa”
yang menurut Aristoteles merupakan The First Philosophy dan merupakan ilmu mengenai
esensi benda (Romdon 1996).
Ontologi memiliki arti sama dengan metafisika yang merupakan studi filosofi untuk
menentukan sifat nyata yang asli (real nature) dari suatu benda untuk menentukan arti,
struktur, dan prinsip benda tersebut (filosofi ini didefinisikan oleh Aristoteles abad ke-4
SM) (Ensiklopedia Bratannica dalam Wikipedia).
B. Epistemologi
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani “Episteme” dan “logos”. “Episteme”
berarti pengetahuan (knowledge), “logos” berarti teori. Dengan demikian, epistomologi
secara etimologis berarti teori pengetahuan (Rizal 2001). Epistomologi mengkaji
mengenai apa sesungguhnya ilmu, dari mana sumber ilmu, serta bagaimana proses
terjadinya. Dengan menyederhanakan batasan tersebut. Brameld dalam Mohammad Noor
Syam (1984) mendefinisikan epistomologi sebagai “it is epistemologi that gives the
teacher the assurance that he is conveying the truth to his student”. Definisi tersebut dapat
diterjemahkan sebagai “epistomologi memberikan kepercayaan dan jaminan bagi guru
bahwa ia memberikan kebenaran kepada murid-muridnya”.
Epistemologi adalah bagian filsafat yang meneliti asal-usul, asumsi dasar, sifat-
sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu penting dalam
menentukan sebuah model filsafat. Dengan pengertian ini, epistemologi tentu saja
menentukan karakter pengetahuan, bahkan menentukan kebenaran, mengenai hal yang
dianggap patut diterima dan apa yang patut ditolak.
Terdapat empat persoalan pokok dalam epistomologi yaitu:
1) Apakah sumber-sumber pengetahuan? Dari manakah pengetahuan yang benar itu
datang?
2) Apakah watak dari pengetahuan?
3) Adakah dunia yang real di luar akal dan kalau ada dapatkah kita mengatahui? Ini
adalah problem penampilan (appearance) terhadap realitas.
4) Apakah pengetahuan kita itu benar (valid)? Bagaimana kita membedakan kebenaran
dan kekeliruan? Ini adalah persoalan menguji kebenaran (verivication).

C. Aksiologi
Beberapa definisi tentang aksiologi diungkapkan oleh Amsal Bahtiar (Bahtiar 2004)
sebagai berikut:
a. Berdasarkan bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata ”axios” dalam bahasa Yunani
artinya nilai dan ”logos” yang artinya ilmu. Dengan demikian, dapat diambil
kesimpulan bahwa aksiologi adalah ‘ilmu tentang nilai’.
b. Dengan mengutip pada Jujun. S Suriasumantri, aksiologi berarti teori nilai yang
berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
c. Mengutip dari Bramei, aksiologi terbagi dalam 3 bagian penting, antara lain:
1) Tindakan moral yang melahirkan etika.
2) Ekspresi keindahan yang melahirkan estetika.
3) Kehidupan sosial politik yang melahirkan filsafat sosial politik.
d. Dalam encyclopedia of philosophy, dijelaskan bahwa aksiologi disamakan dengan
‘value’ dan ‘valuation’. Dalam hal ini nilai dianggap sebagai nilai memberi nilai dan
dinilai. Richard Laningan sebagaimana dikutip Efendi mengatakan bahwa aksiologi
yang merupakan kategori keempat dalam dilsadar merupakan studi etika dan estetika.
Hal ini berarti bahwa aksiologi berfokus pada kajian terhadap nilai-nilai manusiawi
serta bagaimana cara mengekspresikannya.
e. Adapun Jujun S. Suriasumantri, aksiologi lebih difokuskan kepada nilai kegunaan
ilmu. Ilmu dipandang akan berpautan dengan moral. Nilai sebuah ilmu akan diwarnai
sejauh mana ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial terhadap ilmu yang dimiliki,
apakah akan dipergunakan untuk suatu kebaikan atau akan digunakannya sebagai
sebuah kejahatan. Oleh karena itu, ilmu akan mengalami kemajuan apabila ilmuwan
mempunyai peradaban.
BAB II
FILSAFAT ILMU
A. Ontologi Ilmu
Ontologi matematika mengkaji mengenai sifat dasar dari apa yang nyata secara
fundamental dan cara berbeda di mana entitas dari kategori-kategori logis yang berlainan
dapat dikatakan ada. Kajian dalam ontologi matematika adalah pada padangan realisme
empirik terhadap suatu realitas dan eksistensi dari entitas-entitas matematika. Ontologi
matematika merupakan cabang dari filsafat yang berkaitan dengan hal-hal metafisik
(Haryono, 2015). Secara ontologi kedudukan dari matematika disoroti pada poin
empirisme dan kebenaran mutlak dari matematika. (Parnabhhakti & Ulfa, 2020)
menjelaskan bahwa secara ontologi matematika bidang yang menjadi kajian adalah apa
yang ada di dalam matematika itu sendiri yang mencakup pernyataan- pernyataan
matematika. (Sinaga et al., 2021) menyebutkan ontologi matematika sebagai sebuah
cabang filsafat dengan objek kajian mengenai sesuatu yang ada termasuk pada konteks
metafisik. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa ontologi matematika juga membahas
hal-hal yang bersifat konkrit hinga pada teorema-teorema. Secara ontologis kedudukan
dari matematika disoroti pada poin empirisme dan kebenaran mutlak dari matematika.
Cakupan dari ontologi matematika yaitu:
1) Matematika sebagai alat pikiran.
2) Matematika sebagai bahasa.
3) Matematika untuk Nature Science & Social Science.
4) Matematika ruang dan waktu.
5) Peranan matematika modern.
Cakupan ontologi dalam matematika dapat disusun sebagai dasar pemikiran bahwa
kedudukan matematika secara ontologi berkaitan dengan realitas dan entitas-entitas
dalam matematika yang menjadi bahan pemikiran filsafat.
Kedudukan matematika sebagai alat pikir mempertegas bahwa matematika
mendorong lahirnya berbagai ilmu penunjang kehidupan manusia termasuk dalam
penyelesaian permasalahan hidup. Matematika sebagai landasan berpikir dapat dikatakan
sebagai dasar pemikiran-pemikiran yang membawa arah ke era modern. Berbagai
persoalan yang menunjukkan kedudukan matematika sebagai alat berpikir terlihat pada
perkembangan peradaban Mesir dan peradaban Babylon hingga pemikiran ahli
matemtika masa lampau yang menjadikan matematika sebagai instrumen dalam
melakukan suatu pekerjaan atau penyelesaian permasalahan. Berkembangnya konsep
sinus dan kosinus juga menjadi cakupan yang menunjukkan kedudukan matematika
sebagai alat pemikiran (Haryono, 2015).
Peran matematika sebagai bahasa dimaknai sebagai sebuah sarana berhitung yang
dapat menyatukan manusia. Namun berbeda dengan bahasa dalam konteks sosial dan
budaya, yang mana bahasa sebagai alat komunikasi sesuai dengan lokasi atau lingkungan
masing-masing, peran matematika sebagai bahasa lebih bersifat universal. Hal ini terlihat
pada kesamaan makna bilangan dalam matematika, teorema dan dalil yang tidak berubah
di lingkungan manapun sehingga dapat dikatakan bahwa matematika menduduki peran
sebagai bahasa internasional yang tidak mengalami perubahan makna (Haryono, 2015).
Matematika juga berperan sebagai natural science dan social science, dalam hal ini
menunjukkan kodrat matematika yang berdiri sebagai ilmu eksakta memiliki sifat yang
estetis. Haryono menyebutkan bahwa matematika merupakan salah satu puncak
kegemilangan intelektual, di mana kedudukan matematika menjadi refrensi bagi lahirnya
ilmu-ilmu pengetahuan lainnya.
Peran matematika dalam konteks ruang dan waktu serta matematika modern
menekankan pada entitas makna keberadaan ruang dan waktu meskipun tidak dapat
ditunjukkan wujudnya. Hal inilah yang mengantarkan bahwa kajian dalam ontologi
mencakup pada hal-hal metafisika namun memiliki kebenaran yang mutlak. Pada
cakupan ontologi juga diyakini bahwa alam semesta merupakan bagian dari ruang dengan
sifat yang tidak terhingga. Dalam konteks matematika hal tersebut dipandang sebagai
sesuatu yang benar berdasarkan metafisika. Peranannya dengan demikian mendorong
perkembangan ilmu lainnya baik dalam teknologi maupun ilmu sosial demi
menyelaraskan kehidupan manusia.
Ontologi Matematika merupakan segala aspek yang ada dalam ilmu matematika
yang bersifat kongkrit. Contoh dari ontologi matematika adalah segala sesuatu yang ada
dalam matematika, seperti misalnya teorema-teorema. Teorema di dalam matematika
akan dibuktikan secara logis, terstruktur, dan sistematis. Pembuktian teorema inilah yang
merupakan salah satu contoh ontologi matematika. (Parnabhhakti & Ulfa, 2020)
menjelaskan bahwa ontologi matematika merambah pada apa yang ada di dalam
matematika, keberadaan dan metafisik. Secara spesifik Gie menyatakan bahwa ontologi
matematika menyelidiki sifat dan entitas dari kategori-kategori logis yang berlainan, serta
pandangan realisme empirik.
Ontologi Pendidikan Matematika merupakan hal-hal atau aspek dalam proses
pembelajaran matematika yang bersifat ada atau kongkrit. Dalam pendidikan matematika
proses pembelajaran matematika memiliki beberapa hal yang bisa dijadikan contoh
ontologi pendidikan matematika. Contoh ontologi pendidikan matematika yaitu media
pembelajaran matematika yang digunakan untuk mengajarkan konsep matematika kepada
peserta didik.
B. Epistemologi Ilmu
(Parnabhhakti & Ulfa, 2020) menjelaskan bahwa epistemologi matematika
merupakan refleksi pikiran dari pengetahuan, asal, asal usul, sifat alami, batas, dasar dan
asumsi, prinsip validitas dan reliabilitas. Hal ini sesuai dengan kajian dari Gie bahwa
epistemologi matematika berbicara mengenai teori pengetahuan yang mengkaji tentang
matematika. Epistemologi matematika berisi mengenai kajian terhadap pengetahuan
tentang matematika.
(Gie, 1999) memaparkan bahwa epistemologi matematika merupakan cabang dari
filsafat yang berkaitan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan. (Haryono, 2015)
menjelaskan bahwa epistemologi matematika berbicara mengenai kajian terhadap
lingkup pengetahuan matematika yang meliputi matematika murni, matematika terapan
dan berbagai cabang matematika lainnya. (Suyitno & Rochmad, 2015) menjelaskan
bahwa epistemologi matematika berbicara mengenai asal matematika dan bagaimana
matematika itu ada.
Lebih lanjut, Haryono menyatakan bahwa pada hakikatnya matematika selalu
berusaha membuktikan kebenaran sejak dari jaman yang mengkaji aspek empiris dari
matematika hingga pada perkembangannya ke arah abstraksi yang lebih tinggi. Dari sudut
pandang epistemologi matematika yang bersasaran pada upaya untuk meletakkan dasar
matematika dan berusaha menjamin kebenaran matematika yang bertujuan untuk
mengatasi kerancuan dan ketidakpastian dari dasar sebelumnya. Dengan demikian terlihat
bahwa segi epistelomogi ini bersasaran untuk menekankan akan sesuatu yang pasti dari
matematika, sehingga pada aspek ini pandangan tentang standar epistemologi seperti
kajian mengenai kebenaran, kepastian, universalisme, obyektivitas, rasionalitas, dan lain
sebagainya menjadi ciri pada aspek ini. Secara epistemologis kedudukan dari matematika
disoroti pada keberadaanya yang berkaitan dengan rasionalitas. Matematika yang pada
tahap awal perkembangannya belum menemui titik terang, dapat ditarik garis yang lebih
jelas berdasarkan pandangan epistemologis. (Sinaga et al., 2021) mendefinisikan
espitemologi matematika sebagai cabang filsafat yang berkaitan dengan pengetahuan
matematika seperti sumber, hakikat, batas-batas dan kebenaran beserta ciri-ciri dari
matematika (abstraksi, ruang, waktu, besaran, dll). Secara epistemologi, matematika juga
dipandang sebagai bagian dari science. Hal ini berarti bahwa matematika yang
berkedudukan sebagai pengetahuan dapat diperoleh melalui proses belajar. Paparan
tersebut, jelas menunjukkan bahwa matematika dengan kekayaan pokok bahasannya
memiliki kedudukan sejajar dengan ilmu pengetahuan di mana pokok bahasan
matematika dapat menjadi inspirasi pada bidang kajian di luar matematika itu sendiri.
Epistemologi matematika yaitu ilmu filsafat untuk mempelajari keaslian atau
validitas dari sifat-sifat matematika. Misalnya seperti kebenaran sebuah teorema. Untuk
mengetahui benar atau tidaknya sebuah teorema, maka diperlukan adanya pembuktian.
Sehingga pembuktian teorema dalam matematika ini merupakan contoh dari epistemologi
matematika.
Epistemologi pendidikan matematika yaitu ilmu filsafat untuk mempelajari
keaslian atau validitas dari sifat-sifat pendidikan matematika, keaslian atau kebenaran
hal-hal yang termuat dalam proses belajar mengajar matematika. Contohnya seperti
pengetahuan dasar matematika yang telah dipahami siswa sebelumnya. Apakah
pengetahuan itu bersifat benar atau tidak?
Cakupan dalam epistemologi matematika yaitu:
1) Besaran pola dan bentuk dalam matematika.
2) Matematika bagian dari science.
3) Simbol dan bilangan dalam matematika.
4) Abstraksi dalam matematika.
5) Pengetahuan matematika modern.
6) Cabang ilmu matematika (aritmatika, aljabar, geometri, astronomi, kalkulus, dll).

C. Aksiologi Ilmu
Praksis falsafah pada konsep aksiologi pada hakikatnya terdapat sebuah nilai. Nilai
yang dimaksud adalah ilmu pengetahuan sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan
berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Aksiologi Ilmu, yakni setiap ilmu akan
menghasilkan manfaat yang kemudian akan diterapkan pada masyarakat. dengan
demikian proses ilmu yang benar-benar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tentu tidak
terlepas dari si ilmuwannya, seseorang ilmuwan akan dihadapkan pada kepentingan
pribadi ataukah kepentingan masyarakat akan membawa pada persoalan etika keilmuan
serta masalah bebas nilai. Untuk itulah tanggung jawab seorang ilmuwan haruslah
“dipupuk” dan berada pada tempat yang tepat, tanggung jawab akademis dan tanggung
jawab moral.
Implementasi (aksiologi) pelajaran matematika dalam aktivitas manusia, manfaat
pelajaran matematika dalam kajian aksiologi ilmu, pada umumnya sebagian besar murid
di sekolah tersugesti oleh rasa takut mempelajari pelajaran matematika, jika hal tersebut
dibiarkan maka rasa takut tersebut dapat membuat saraf-saraf tegang terutama pada otak.
Selanjutnya apapun yang dipelajari orang, tentunya semua memiliki manfaatnya, sekecil
apapun pengetahuan yang dipelajari, suatu saat akan bernilai manfaat dalam kajian
aksiologi ilmu. Demikian pula dengan mempelajari ilmu matematika.
Menurut Haris Kurniawan (2018), salah satu manfaat belajar ilmu matematika jika
diaplikasikan atau diterapkan yaitu mempelajari matematika dapat membantu untuk
berdagang, hal ini mengingat dasar belajar matematika adalah berhitung. Jika seseorang
berprofesi sebagai berdagang, maka harus pintar berhitung. Jika tidak pintar dalam
berhitung maka akan kesulitan dalam berdagang. Pedagang juga tidak akan keliru ketika
menerima dan membayar kembalian dari pembeli sehingga tidak rugi dalam berdagang.
Oleh karena itu lakukan dengan cermat jangan putus asa dalam belajar matematika agar
jawaban dalam penyelesaian dan mengerjakan soal menjadi benar dan kelak dapat melatih
orang menjadi orang yang teliti, cermat dan tidak ceroboh.
Berdasarkan manfaat mempelajari ilmu matematika tersebut jika dihubungkan
dengan kajian aksiologi ilmu, maka ilmu matematika tersebut memberi manfaat kepada
pemilik ilmu matematika tersebut dan juga kepada orang lain apabila diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari, sebaliknya jika tidak diterapkan maka ilmu matematika tersebut
tidak bermanfaat sama sekali. Hal tersebut sebagai mana pepatah arab “al ilmu
bilaa’amalin kasyajari bila tsamarin”, artinya ilmu itu jika tidak diterapkan atau
dipratekan, bagaikan pohon yang tidak berbuah, sehingga tidak bermanfaat kepada
masyarakat.
Aksiologi matematika yaitu ilmu dalam filsafat yang mempelajari tentang
kebermanfaatan matematika dalam kehidupan. Mengkaji tentang manfaat dari aspek-
aspek yang terkandung dalam matematika, apa sajakah manfaat itu dan bagaimana
efeknya dalam kehidupan. Contohnya adalah teorema pitaghoras, yang memiliki banyak
manfaat dalam segala penerapannya. Manfaat-manfaat dari ilmu matematika inilah yang
menjadi contoh dari aksiologi matematika.
Aksiologi pendidikan matematika yaitu ilmu dalam filsafat yang mempelajari
tentang kebermanfaatan pendidikan matematika dalam sebuah proses belajar mengajar
matematika. Contohnya adalah manfaat mempelajari tentang bangun ruang, dan
mempelajari hal-hal lain terkait pendidikan matematika. Sehingga para peserta didik
mampu menerapkan atau menggunakan hasil dari proses belajar matematika untuk
membantu kelangsungan hidupnya.
BAB III
MEMBANGUN FILSAFAT
A. Review Video Kuliah
Pada dasarnya hidup manusia bersifat metafisik yang artinya adalah berusaha
mencari hakekat dari segala yang ada, yang mana kehidupan akan terus berjalan dan tidak
akan selesai, entah itu menyerah atau mundur maupun terus berjuang atau maju. Hal ini
disebabkan oleh faktor ketidaksempurnaan yang melekat pada diri manusia. Sering kita
mendengar bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan secara sempurna, tetapi
hakikatnya adalah kesempurnaan manusia itu ada karena adanya ketidaksempurnaan.
Alasan mengapa manusia itu tidak sempurna agar manusia itu bisa hidup, karena kalau
manusia itu sempurna secara keseluruhan maka ia tidak bisa hidup.
Ada dua hal yang menjadi awalan atau dasar dari segala macam kegiatan manusia,
yaitu fatal dan vital. Fatal artinya adalah terpilih. Terpilih yang dimaksud adalah takdir.
Misalnya ketika saya memegang handphone, maka handphone ini adalah takdir karena
sudah terjadi. Kemudian hal yang kedua adalah vital. Vital artinya adalah memilih.
Memilih yang dimaksud adalah ikhtiar. Sehingga dari kedua hal itulah menyebabkan
munculnya metafisiknya. Metafisik memiliki empat komponen yaitu sifat di balik sifat,
sifat mendahului sifat, sifat mengikuti sifat, dan sifat mempunyai sifat. Maka berdasarkan
keempat poin tersebut yang menjadikan sebenar-benarnya manusia adalah sifat
mendahului sifat, sifat mengikuti sifat, dan sifat mempunyai sifat.
Sifat yang dimaksud dalam hal ini ada dua yaitu sifat tetap dan berubah. Untuk sifat
tetap, misalnya ketika kita memegang sebuah handphone, kita tidak bisa mengubah takdir
bahwa yang terpilih adalah handphone. Itu sudah terjadi dan seperti apapun atau mau
bagaimanapun itu sudah tercatat, sehingga itulah yang disebut suratan takdir. Tidak ada
satupun manusia yang mampu mengubah takdir, termasuk malaikat pun tidak dapat
mengubahnya karena ini merupakan kuasa yang dimiliki oleh Tuhan yang memegang
kendali atas terjadinya segala hal. Lantas bagaimana jika kedua hal atau mungkin salah
satu yang menjadi awalan dari segala macam kegiatan manusia baik itu fatal maupun vital
hilang? Jawabannya adalah tidak akan ada kehidupan.
Setelah itu, ada idealisme dan realisme yang merupakan dunia dari filsafat. Sebagai
contoh, ketika kita pergi ke sebuah toko sepatu, hal yang akan kita bahas adalah hal-hal
yang berhubungan dengan sepatu, misalnya warnanya, harganya dan ukurannya. Karena
kalau kita membahas hal lain, misalnya kita pergi ke toko sepatu tetapi yang kita bahas
adalah alat elektronik, tentu saja ini sangat tidak nyambung atau tidak berhubungan.
Inilah yang dinamakan kecerdasan dalam berfilsafat. Cerdas dalam filsafat artinya adalah
paham terhadap ruang dan waktu.
Kemudian di atas idealisme terdapat absolutisme, lalu spiritualisme, lalu kuasa
Tuhan atau causa prima. Causa prima adalah sebab dari segala sebab. Lalu di bawah
realisme terdapat absolutisme yaitu berupa benda. Pada bagian sifat tetap, fatal, dan
terpilih merupakan jalannya logika (logicims) yang artinya koherentisme, serta bersifat
analitik dan konsisten. Misal, logicismenya adalah wanita, wanita koherentismenya
adalah perempuan, perempuan analitiknya adalah ibu, dan ibu konsistenismenya adalah
melahirkan. Hal ini merupakan satu kesatuan yang bersifat rumpun. Sedangkan pada sifat
berubah, vital, dan memilih merupakan hukum alam yang artinya korespondensi antara
realita, fakta, dan persepsi yang bersifat sintetik.
Filsafat adalah ilmu yang bisa dipahami melalui kalimat yang terukur. Kebanyakan
orang tidak mampu menguasai masalah karena orang-orang tersebut tidak menguasai
dunianya, termasuk bahasanya padahal bahasa itu adalah dunia. Pada tahap awal, bagian
atas adalah definisi, asumsi, maka setelahnya terdapat aksioma dan teori. Sedangkan di
bagian bawah adalah contoh. Aksioma adalah ketentuan-ketentuan umum yang bisa
dipahami. Di bagian bawah dari contoh adalah bayangan. Perumpamaannya adalah di atas
merupakan langitnya yang memiliki aturan atau hukum yang bersifat formal, sedangkan
di bawah merupakan buminya yang bersifat material. Di atas adalah dewanya sedangkan
di bawah adalah daksanya.
Semua deretan yang ada di bagian atas disebut apriori dan di bagian bawah disebut
aposteriori. Apriori artinya memahami walaupun belum melihatnya langsung. Sedangkan
aposteriori adalah sebaliknya. Contoh apriori, misalnya ketika seorang anak
berkomunikasi dengan ayahnya terkait calon pasangannya, anak tersebut menyampaikan
bahwa calon pasangannya bernama A, umurnya sekian, pekerjaanya apa, rumah orang
tuanya, dll kemudian dia bertanya kepada ayahnya apakah ayahnya berkeinginan untuk
pergi melihatnya terlebih dahulu. Ayahnya menjawab “tidak perlu”. Ini artinya adalah
walaupun ayahnya belum berjumpa dengan orang tersebut tetapi ayahnya sudah paham.
Inilah yang disebut apriori. Akan tetapi jika ayahnya tidak mempercayai apa yang
disampaikan oleh anaknya sebelum melihatnya secara langsung, maka inilah yang disebut
aposteriori.
Aposteriori merupakan level dari anak-anak, hewan, dan benda yang didasarkan
pada pengalaman, fenomena atau peristiwa yang terjadi sehingga munculah empiritisme.
Sedangkan apriori adalah level orang dewasa maka ini merupakan rasionalisme. Dalam
konsep atau teori bagian atas, aliran Permendides berpendapat bahwa segala sesuatu itu
tetap, sedangkan bagian bawah yaitu aliran Heraclitos berpendapat bahwa segala sesuatu
berubah.
Orang-orang yang percaya bahwa Tuhan itu Esa disebut monoisme, sedangkan
yang jamak di sebut pluralisme, dan yang percaya keduanya disebut dualisme. Dalam
konteks ini, muncul seorang tokoh bernama Immanuel Kant, namun sebelum beliau
terlebih dahulu muncul Rene Descartes yang merupakan tokoh rasionalisme dan
skeptisisme. Filsafat merupakan ilmu yang menglir karena skeptisisme telah ada sejak
zaman Yunani Kuno. Namun hal ini ditentang oleh tokoh empirisisme yaitu David Hume.
Rene Descartes merupakan tokoh yang memiliki skeptisisme yang luar biasa yang mana
beliau sampai meragukan keberadaan Tuhan. Dia meragukan Tuhan tetapi tujuannya
adalah untuk mencari Tuhan. Dia berusaha mencari tahu perbedaan mimpi dan kenyataan.
Sampai pada akhirnya dia menemukan jawaban yang tidak bisa dibantah mengenai
perbedaan mimpi dan kenyataan. Yang mana ketika bermimpi maka dia tidak mungkin
bisa berpikir, justru karena dia nyata makanya dia bisa berfikir. Maka dari itu ketemulah
cogito ergo sum, ”aku tidak bermimpi karena aku sedang berfikir, aku ada karena aku
berfikir”.
Menurut Decartes, sebenar-benarnya ilmu adalah harus berdasarkan pada rasio atau
berdasarkan pada pikiran sebab jika tidak ada fikiran maka tidak ada ilmu. Namun hal ini
dibantah oleh David Hume yang berpendapat bahwa sebenar-benarnya kamu berfikir, jika
belum mengalami maka itu belum benar. Jadi kesimpulannya adalah sebenar-benarnya
ilmu harus berdasarkan pada pengalaman. Karena perdebatan itu munculah aliran tengah
yaitu Immanuel Kant perwakilan dari langit dan bumi yang menyatakan bahwa masing-
masing dari keduanya memiliki kebenaran dan kesalahan. Kebenaran yang ada terletak
pada langit itu apriori, sedangkan bumi itu sintetik. Maka sebenar-benar ilmu menurut
Immanuel Kant adalah kolaborasi antara langit dan bumi. Dari sinilah munculnya zaman
modern. Seiring perjalanan waktu, munculah seorang tokoh bernama Auguste Compte
yang memiliki pendapat bahwa agama tidak bisa membangun dunia karena agama tidak
logis. Hal ini ada dalam bukunya yang berjudul Positivisme. Dia menempatkan
spiritualisme (agama) berada di bagian paling bawah, lalu metafisik, lalu yang tertas
metode positif.
B. Review Buku CPR 1 KANT

1) Perbedaan antara Pengetahuan Murni dan Empiris (Of the difference between
Pure and Empirical Knowledge)
Tidak dapat kita pungkiri bahwa semua pengetahuan kita dimulai dengan
pengalaman. Hal ini karena kemampuan kognisi manusia dibangkitkan melalui objek-
objek yang mempengaruhi alat indera kita, dan sebagian dari objek tersebut menghasilkan
representasi, serta sebagian lagi membangkitkan kekuatan pemahaman kita ke dalam
aktivitas dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, sehubungan dengan berjalannya
waktu, tidak ada pengetahuan yang mendahului pengalaman, melainkan dimulai dengan
pengalaman.
Meskipun semua pengetahuan kita bermula dari pengalaman, bukan berarti semua
pengetahuan muncul dari pengalaman. Sebab, sebaliknya, sangat mungkin bahwa
pengetahuan empiris kita merupakan gabungan dari apa yang kita terima melalui kesan-
kesan, dan apa yang disuplai oleh kemampuan kognisi itu sendiri. Oleh karena itu, hal ini
menjadi sebuah pertanyaan yang memerlukan penyelidikan secara mendalam, dan tidak
dapat dijawab hanya melalui satu sudut pandang, yaitu apakah terdapat suatu pengetahuan
yang sama sekali tidak bergantung pada pengalaman? Pengetahuan semacam ini disebut
a priori, berbeda dengan pengetahuan empiris, yang sumbernya a posteriori, yaitu
pengalaman. Namun ungkapan “a priori” belum cukup pasti untuk menunjukkan
keseluruhan makna dari pertanyaan tersebut. Sebab, ketika berbicara tentang pengetahuan
yang bersumber dari pengalaman, kita biasa mengatakan bahwa ini atau itu dapat
diketahui secara a priori, karena kita tidak memperoleh pengetahuan ini langsung dari
pengalaman, melainkan dari aturan umum.
Oleh karena itu, dengan istilah “pengetahuan a priori”, kita dapat memahami bahwa
pengetahuan tidak bergantung pada pengalaman tetapi pengetahuan itu mutlak terjadi
pada semua pengalaman. Yang berlawanan dengan hal ini adalah pengetahuan empiris,
atau sesuatu yang hanya mungkin terjadi secara a posteriori, yakni melalui pengalaman.
Pengetahuan a priori bisa murni atau tidak murni. Pengetahuan murni secara a priori
adalah pengetahuan yang tidak ada unsur empirisnya yang tercampur. Misalnya,
proposisi, “Setiap perubahan mempunyai sebab,” adalah proposisi a priori, namun tidak
murni, karena perubahan adalah konsepsi yang hanya dapat diperoleh dari pengalaman.
2) Kecerdasan Manusia, Bahkan dalam Keadaan Tidak Filosofis, Memiliki Kognisi
Tertentu "a priori" (The Human Intellect, even in an Unphilosophical State, is in
Possession of Certain Cognition “a priori”)
Pengalaman mengajarkan kita bahwa suatu objek terbentuk sedemikian karena
adanya sebab akibat. Pertama-tama, jika kita mempunyai suatu proposisi yang
mengandung gagasan tentang keharusan dalam konsepsinya, maka proposisi itu tidak
diturunkan dari proposisi lain, kecuali dari proposisi yang sama-sama melibatkan gagasan
tentang keharusan, maka proposisi tersebut benar-benar a priori. Kedua, penilaian empiris
tidak pernah memperlihatkan ketegasan dan kemutlakan, melainkan hanya asumsi dan
universalitas komparatif (melalui induksi). Oleh karena itu, tidak ada pengecualian
terhadap aturan tersebut. Sebaliknya, jika suatu penilaian mengandung universalitas yang
ketat dan mutlak, yakni tidak mengakui adanya pengecualian, maka penilaian tersebut
tidak berasal dari pengalaman, melainkan sah secara mutlak secara a priori. Oleh karena
itu, universalitas empiris hanyalah perluasan validitas yang sewenang-wenang dari apa
yang dapat didasarkan pada suatu proposisi yang valid dalam banyak kasus, misalnya
“Semua benda itu berat.” Sebaliknya, ketika universalitas yang ketat menjadi ciri suatu
penilaian, maka hal itu tentu menunjukkan sumber pengetahuan khusus lainnya, yaitu
kemampuan kognisi a priori. Oleh karena itu, kebutuhan dan universalitas yang ketat
merupakan ujian yang sempurna untuk membedakan pengetahuan murni dan
pengetahuan empiris, dan saling berkaitan satu sama lain.
Kondisi kognisi pada kecerdaan manusia dalam memandang sebuah kenyataan
dengan lebih awal menunjukkan sebuah proposisi sederhana dari logika matematika yaitu
tentang kausalitas atau hukum sebab akibat. Dalam hal ini yakni “setiap perubahan pasti
ada penyebabnya”, artinya bahwa perubahan tidak akan terjadi jika tidak adanya sebab,
setiap perubahan pasti memiliki sebab. Namun, konsepsi sebab tersebut melibatkan
konsepsi tentang perlunya hubungan dengan suatu akibat, dan universalitas hukum yang
ketat. Dalam artian bahwa gagasan tentang sebab itu sendiri akan hilang jika kita
menurunkannya. Karena dari mana pengalaman kita sendiri memperoleh kepastian, jika
semua aturan yang menjadi sandarannya sendiri bersifat empiris, dan akibatnya
kebetulan?. Oleh karena itu, tidak seorang pun dapat mengakui validitas penggunaan
aturan seperti itu sebagai prinsip pertama. Dengan begitu, kita dapat menetapkan fakta
bahwa kita memang memiliki dan menjalankan kemampuan kognisi apriori murni.
Kedua, dengan menunjukkan tes yang tepat dari kognisi tersebut, yaitu, universalitas dan
kebutuhan. Yang kita butuhkan di sini adalah kriteria untuk membedakan antara
pengetahuan murni dan empiris dengan pasti. Pengalaman mengajarkan kita bahwa
sesuatu itu demikian dan itu, tetapi itu tidak mengajarkan kita bahwa itu tidak bisa
sebaliknya. Pertama, jika kita memiliki proposisi yang dianggap perlu, itu adalah
penilaian a priori, dan jika itu tidak berasal dari proposisi apa pun selain yang juga
dianggap perlu, itu benar-benar penilaian a priori. Kedua, melalui induksi, pengalaman
tidak pernah memberikan universalitas yang benar atau ketat pada penilaiannya, tetapi
hanya diasumsikan dan universalitas komparatif. Akibatnya, kita hanya dapat
menyatakan bahwa, sejauh yang telah kita amati, tidak ada pengecualian untuk norma ini
atau norma itu.
Namun, tidak hanya dalam penilaian, tetapi bahkan dalam konsepsi merupakan
manifestasi asal usul yang a priori. Sebagai contoh, jika kita sedikit demi sedikit
menghilangkan dari konsepsi kita tentang suatu tubuh, segala sesuatu yang bisa disebut
sebagai pengalaman indrawi belaka, warna, kekerasan atau kelembutan, berat, bahkan
sifat tidak dapat ditembus, maka tubuh tersebut akan lenyap, namun ruang yang
ditempatinya masih tetap ada, dan hal ini sama sekali tidak mungkin dimusnahkan dalam
pikiran. Jika kita menghilangkan dengan cara yang sama dari konsepsi empiris kita
tentang objek apa pun, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, semua sifat
yang telah diajarkan oleh pengalaman kepada kita untuk dihubungkan dengannya, kita
tetap tidak dapat memikirkan sifat-sifat yang melaluinya kita merenungkannya sebagai
substansi atau berpegang pada substansi, meskipun konsepsi kita tentang substansi lebih
ditentukan daripada konsep suatu objek. Oleh karena itu, karena adanya kebutuhan yang
memaksa konsepsi tentang substansi, kita harus mengakui bahwa substansi tersebut
mempunyai tempat dalam kemampuan kognisi kita secara a priori.
3) Filsafat Memerlukan Ilmu yang Dapat Menentukan Kemungkinan, Prinsip, dan
Perluasan Pengetahuan Manusia Secara “a priori” (Philosophy stands in need of
a Science which shall Determine the Possibility, Principles, and Extent of Human
Knowledge “a priori”)
Pengetahuan tertentu kita muncul sepenuhnya di atas lingkup semua pengalaman
yang mungkin terjadi, dan melalui konsepsi dalam seluruh pengalaman kita tidak ada
objek yang sepadan. Pemahaman dapat dicapai dalam lingkup fenomena indrawi.
Masalah-masalah yang ditetapkan oleh nalar murni yang tidak dapat dihindari adalah
Tuhan, kebebasan (kehendak), dan keabadian. Ilmu yang mempunyai tujuan khusus untuk
memecahkan masalah-masalah ini disebut metafisika, suatu ilmu yang pada awalnya
bersifat dogmatis, yaitu ilmu yang dengan penuh percaya diri melaksanakan tugas ini
tanpa penyelidikan terlebih dahulu terhadap kemampuan atau ketidakmampuan alasan
untuk melakukan hal tersebut.
Salah satu bagian dari pengetahuan murni kita, yaitu ilmu matematika yang telah
lama tertanam kuat dan dengan demikian mengarahkan kita untuk membentuk ekspektasi
yang menyanjung terhadap orang lain, meskipun hal ini mungkin sifatnya sangat berbeda.
Ilmu matematika memberi kita sebuah contoh cemerlang yaitu seberapa jauh pun kita
terlepas dari semua pengalaman, kita dapat membawa pengetahuan a priori kita. Sebagian
besar atau mungkin bagian terbesar dari urusan nalar kita terdiri dari analisis konsepsi
yang sudah kita miliki tentang objek. Dengan cara ini kita memperoleh banyak
pengetahuan, yang meskipun sebenarnya tidak lebih dari penjelasan tentang apa yang
telah dipikirkan dalam konsepsi kita.
Menurut Kant, untuk satu bagian dari pengetahuan ini, matematika telah lama
memiliki keandalan yang mapan, dan dengan demikian menimbulkan anggapan yang
menguntungkan sehubungan dengan bagian lain yang mungkin belum memiliki sifat yang
sangat berbeda. Selain itu, begitu kita berada di luar lingkaran pengalaman, kita dapat
yakin untuk tidak bertentangan dengan pengalaman. Matematika memberi kita contoh
cemerlang tentang seberapa jauh terlepas dari pengalaman, kita dapat maju dalam
pengetahuan a priori. Nalar kita terdiri dari analisis konsepsi yang sudah kita miliki
tentang objek. Dengan cara ini, menurut Kant kita memperoleh banyak kognisi, yang
meskipun sebenarnya tidak lebih dari penjelasan atau penjelasan tentang apa yang sudah
dipikirkan dalam konsepsi kita, setidaknya dalam kaitannya dengan kenyataan.
BAB IV
MENERAPKAN FILSAFAT

A. Sejarah/Perkembangan Matematika

Matematika dan pendidikan matematika awalnya tidaklah seperti yang kita lihat
sekarang ini. Matematika dan pendidikan matematika berkembang dari dahulu sampai
sekarang dan perkembangannya terus berlanjut. Perkembangan ini dipengaruhi berbagai
faktor. Dan faktor yang dinilai paling berpengaruh yaitu tentang pandangan terhadap
matematika itu sendiri.
Ernest (1991) menyatakan bahwa pandangan terhadap matematika mempengaruhi
model pembelajaran dan pengajaran yang diterapkan dan juga pemilihan buku yang
digunakan selain pengaruh konteks sosial. Banyak pandangan yang berbeda terhadap
matematika. Pandangan-pandangan terhadap matematika menyebabkan perbedaan
pendapat bagaimana matematika seharusnya diajarkan. Bahkan sampai sekarang
perbedaan pandangan tersebut masih terus berlanjut.
Perbedaan pandangan yang ada, melahirkan berbagai macam model pembelajaran.
Penelitian-penelitian dilakukan untuk melihat model pembelajaran yang seperti apa yang
seharusnya digunakan dalam membelajarkan matematika. Dari hal inilah matematika dan
pendidikan matematika berkembang. Tentunya tidak terlepas dari para ilmuwan
matematika sehingga ilmu matematika berkembang hingga saat ini.
Matematika memiliki sejarah yang panjang yang dapat ditelusuri dari jaman
Mesopotamia dan Mesir kuno seperti yang diungkapkan Marsigit (2012).
Menurut Berggren, JL (Marsigit: 2012) penemuan matematika pada zaman
Mesopotamia dan Mesir Kuno, didasarkan pada banyak dokumen asli yang masih ada
ditulis oleh juru tulis. Meskipun dokumen-dokumen yang berupa artefak tidak terlalu
banyak, tetapi mereka dianggap mampu mengungkapkan matematika pada jaman
tersebut. Artefak matematika yang ditemukan menunjukkan bahwa bangsa Mesopotamia
telah memiliki banyak pengetahuan matematika yang luar biasa, meskipun matematika
mereka masih primitif dan belum disusun secara deduktif seperti sekarang. Matematika
pada zaman Mesir Kuno dapat dipelajari dari artefak yang ditemukan yang kemudian
disebut sebagai Papyrus Rhind (diedit pertama kalinya pada 1877), telah memberikan
gambaran bagaimana matematika di Mesir kuno telah berkembang pesat. Artefak-artefak
berkaitan dengan matematika yang ditemukan berkaitan dengan daerah-daerah kerajaan
seperti kerajaan Sumeria 3000 SM, Akkadia dan Babylonia rezim (2000 SM), dan
kerajaan Asyur (1000 SM), Persia (abad 6-4 SM), dan Yunani (abad ke 3 -1 SM).
Pada zaman Yunani kuno paling tidak tercatat matematikawan penting yaitu Thales
dan Pythagoras. Thales dan Pythagoras mempelopori pemikiran dalam bidang Geometri,
tetapi Pythagoras lah yang memulai melakukan atau membuat bukti-bukti matematika.
Sampai masa pemerintahan Alexander Agung dari Yunani dan sesudahnya, telah tercatat
Karya monumental dari Euclides berupa karya buku yang berjudul Element (unsur-unsur)
yang merupakan buku Geometri pertama yang disusun secara deduksi.
Risalah penting dari periode awal matematika Islam banyak yang hilang, sehingga
ada pertanyaan yang belum terjawab masih banyak tentang hubungan antara matematika
Islam awal dan matematika dari Yunani dan India. Selain itu, jumlah dokumen yang relatif
sedikit menyebabkan kita mengalami kesulitan untuk menelusuri sejauh mana peran
matematikawan Islam dalam pengembangan matematika di Eropa selanjutnya. Tetapi
yang jelas, sumbangan matematikawan Islam cukup besar bersamaan dengan kebangkitan
pemikiran modern yang muncul himpunanelah zaman kegelapan sampai sekitar abad ke
15 setelah masehi.
Penemuan alat cetak mencetak pada jaman modern, yaitu sekitar abad ke16, telah
memungkinkan para matematikawan satu dengan yang lainnya melakukan komunikasi
secara lebih intensif, sehingga mampu menerbitkan karya-karya hebat. Hingga sampailah
pada zamannya Hilbert yang berusaha untuk menciptakan matematika sebagai suatu
sistem yang tunggal, lengkap dan konsisten. Namun usaha Hilbert kemudian dapat
dipatahkan atau ditemukan kesalahannya oleh muridnya sendiri yang bernama Godel
yang menyatakan bahwa tidaklah mungkin diciptakan matematika yang tunggal, lengkap
dan konsisten. Persoalan Geometri dan Aljabar kuno, dapat ditemukan di dokumen yang
tersimpan di Berlin. Salah satu persoalan tersebut misalnyaa memperkirakan panjang
diagonal suatu persegi panjang. Mereka menggunakan hubungan antara panjang sisi-sisi
persegi panjang yang kemudian mereka menemukan bentuk segitiga siku-siku. Hubungan
antara sisi-sisi siku-siku ini kemudian dikenal dengan nama Teorema Pythagoras.
Teorema Pythagoras ini sebetulnya telah digunakan lebih dari 1000 tahun sebelum
ditemukan oleh Pythagoras.
Orang-orang Babilonia telah menemukan sistem bilangan sexagesimal yang
kemudian berguna untuk melakukan perhitungan berkaitan dengan ilmu-ilmu
perbintangan. Para astronom pada jaman Babilonia telah berusaha untuk memprediksi
suatu kejadian dengan mengaitkan dengan fenomena perbintangan, seperti gerhana bulan
dan titik kritis dalam siklus planet (konjungsi, oposisi, titik stasioner, dan visibilitas
pertama dan terakhir). Mereka menemukan teknik untuk menghitung posisi ini
(dinyatakan dalam derajat lintang dan bujur, diukur relatif terhadap jalur gerakan jelas
tahunan Matahari) dengan berturut-turut menambahkan istilah yang tepat dalam
perkembangan aritmatika. Matematika di Mesir Kuno disamping dikarenakan pengaruh
dari Masopotamia dan Babilonia, tetapi juga dipengaruhi oleh konteks Mesir yang
mempunyai aliran sungai yang lebar dan panjang yang menghidupi masyarakat Mesir
dengan peradabannya. Persoalan hubungan kemasyarakatan muncul dikarenakan
kegiatan survive bangsa Mesir menghadapi keadaan alam yang dapat menimbulkan
konflik diantara mereka, misalnya bagaimana menentukan batas wilayah, ladang atau
sawah dipinggir sungai Nil himpunanelah banjir bandang terjadi yang mengakibatkan
tanah mereka tertimbun lumpur hingga beberapa meter. Dari salah satu kasus inilah
kemudian muncul gagasan atau ide tentang luas daerah, batas-batas dan bentuk-
bentuknya. Maka pada jaman Mesir Kuno, Geometri telah tumbuh pesat sebagai
cabang Matematika.
Dalam waktu relatif singkat (mungkin hanya satu abad atau kurang), metode yang
dikembangkan oleh orang Babilonia dan Mesir Kuno telah sampai ke tangan orang-orang
Yunani. Misal, Hipparchus (2 abad SM) lebih menyukai pendekatan geometris pendahulu
Yunani, tetapi kemudian ia menggunakan metode dari Mesopotamia dan mengadopsi
gaya seksagesimal. Melalui orang-orang Yunani itu diteruskan ke para ilmuwan Arab
pada abad pertengahan dan dari situ ke Eropa, di mana itu tetap menonjol dalam
matematika astronomi selama Renaissance dan periode modern awal. Sampai hari ini
tetap ada dalam penggunaan menit dan detik untuk mengukur waktu dan sudut. Aspek
dari matematika Babilonia yang telah sampai ke Yunani telah meningkatkan kualitas
kerja matematika dengan tidak hanya percaya dengan bentuk-bentuk fisiknya saja,
melainkan diperoleh kepercayaan melalui bukti-bukti matematika. Prinsip-prinsip
Teorema Pythagoras yang sudah dikenal sejak jaman Babilonia yaitu sekitar seribu tahun
sebelum jaman Yunani, mulai dibuktikan secara matematis oleh Pythagoras pada jaman
Yunani Kuno.
Pada jaman Yunani Kuno, selama periode dari sekitar 600 SM sampai 300 SM, yang
dikenal sebagai periode klasik matematika, matematika berubah dari fungsi praktis
menjadi struktur yang koheren pengetahuan deduktif. Perubahan fokus dari pemecahan
masalah praktis ke pengetahuan tentang kebenaran matematis umum dan perkembangan
obyek teori mengubah matematika ke dalam suatu disiplin ilmu. Orang Yunani
menunjukkan kepedulian terhadap struktur logis matematika. Para pengikut Pythagoras
berusaha untuk menemukan secara pasti Panjang sisi miring suatu segitiga siku-siku.
Tetapi mereka tidak dapat menemukan angka yang tertentu dengan skala yang sama yang
berlaku untuk semua sisi-sisi segitiga tersebut.
Hal inilah yang kemudian dikenal dengan persoalan Incommensurability, yaitu
adanya skala yang tidak sama agar diperoleh bilangan yang tertentu untuk sisi miringnya.
Jika dipaksakan digunakan skala yang sama (atau commensurabel) maka pada akhirnya
mereka menemukan bahwa panjang sisi miring bukanlah bilangan bulat melainkan
bilangan irrasional.
Prestasi bangsa Yunani Kuno yang monumental adalah adanya karya Euclides
tentang Geometri Aksiomatis. Sumber utama untuk merekonstruksi pra-Euclidean buku
karya Euclides bernama Elemen (unsur-unsur), di mana sebagian besar isinya masih
relevan dan digunakan hingga saat kini. Element terdiri dari 13 jilid. Buku I berkaitan
dengan kongruensi segitiga, sifat-sifat garis paralel, dan hubungan daerah dari segitiga
dan jajaran genjang; Buku II menetapkan kehimpunanaraan yang berhubungan dengan
kotak, persegi panjang, dan segitiga; Buku III berisi sifat-sifat Lingkaran; dan Buku
IV berisi tentang poligon dalam lingkaran. Sebagian besar isi dari Buku I-III adalah
karya-karya Hippocrates, dan isi dari Buku IV dapat dikaitkan dengan Pythagoras,
sehingga dapat dipahami bahwa buku Elemen ini memiliki sejarahnya hingga berabad-
abad sebelumnya. Buku V menguraikan sebuah teori umum proporsi, yaitu sebuah teori
yang tidak memerlukan pembatasan untuk besaran sepadan. Ini teori umum berasal dari
Eudoxus. Berdasarkan teori, Buku VI menggambarkan sifat bujursangkar dan
generalisasi dari teori kongruensi pada Buku I. Buku VII-IX berisi tentang apa yang oleh
orang-orang Yunani disebut "aritmatika," teori bilangan bulat. Ini mencakup sifat-sifat
proporsi numerik, pembagi terbesar, kelipatan umum, dan bilangan prima (Buku VII);
proposisi pada progresi numerik dan persegi (Buku VIII), dan hasil khusus, seperti
faktorisasi bilangan prima yang unik ke dalam, keberadaan yang tidak terbatas jumlah
bilangan prima, dan pembentukan "sempurna" angka, yaitu angka-angka yang sama
dengan jumlah pembagi (Buku IX). Dalam beberapa bentuk, Buku VII berasal dari
Theaetetus dan Buku VIII dari Archytas. Buku X menyajikan teori garis irasional dan
berasal dari karya Theaetetus dan Eudoxus. Buku X berisi tentang bangun ruang; Buku
XII membuktikan theorems pada rasio lingkaran, rasio bola, dan volume piramida dan
kerucut.
Warisan Matematika Yunani, terutama dalam geometri, sangat besar. Dari periode
awal orang-orang Yunani merumuskan tujuan matematika tidak dalam hal prosedur
praktis tetapi sebagai disiplin teoritis berkomitmen untuk mengembangkan proposisi
umum dan demonstrasi formal. Kisaran dan keragaman temuan mereka, terutama yang
dari abad SM-3, geometri telah menjadi materi pelajaran selama berabad-abad, meskipun
tradisi yang ditransmisikan ke Abad Pertengahan dan Renaissance tidak lengkap dan
cacat.
Peningkatan pesat dari matematika di abad ke-17 didasarkan sebagian pada
pembaharuan terhadap matematika kuno dan matematika pada jaman Yunani. Mekanika
dari Galileo dan perhitungan-perhitungan yang dibuat Kepler dan Cavalieri, merupakan
inspirasi langsung bagi Archimedes. Studi tentang geometri yang dilakukan oleh
Apollonius dan Pappus dirangsang oleh pendekatan baru dalam geometri-misalnya,
analitik yang dikembangkan oleh Descartes dan teori proyektif dari Desargues Girard.
Kebangkitan matematika pada abad 17 sejalan dengan kebangkitan pemikiran para
filsuf sebagai anti tesis abad gelap dimana kebenaran didominasi oleh Gereja. Maka
Copernicus merupakan tokoh pendobrak yang menantang pandangan Gereja bahwa bumi
sebagai pusat jagat raya; dan sebagai gantinya dia mengutarakan ide bahwa bukanlah
Bumi melainkan Mataharilah yang merupakan pusat tata surya, sedangkan Bumi
mengelilinginya. Zaman kebangkitan ini kemudian dikenal sebagai zaman Modern, yang
ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh pemikir filsafat sekaligus matematikawan
seperti Immanuel Kant, Rene Descartes, David Hume, Galileo, Kepler, Cavalieri, dst.

B. Ideologi Pendidikan
Paham ideologi yang berkembang di dunia mengalami berbagai pergeseran. Hal ini
dipengaruhi oleh pola pikir umat manusia yang berkembang dari zaman ke zaman. Ada
pertentangan-pertentangan ideologi yang senantiasa bertarung dan secara silih berganti
mendominasi pola pemikiran masyarakat. Pada zaman pertengahan, agama mendominasi
dan sains termarjinalkan. Namun setelah zaman renaissance hingga sekarang, sains
mendominasi dan menjadi alat ukur kebenaran, sedangkan agama lebih cenderung
dimarjinalkan. Pertarungan ideologi juga terjadi pada kehidupan sosial seperti antara
kapitalisme dan sosialisme. Kapitalisme yang dimotori oleh Amerika berpegang pada
kebebasan individu secara mutlak, sedangkan sosialisme yang dimotori oleh Rusia
berpegang pada pembatasan terhadap kebebasan individu dan semuanya diatur oleh
negara untuk kepentingan bersama. Pertarungan ini akhirnya dimenangkan oleh Amerika
sebagai pembawa bendera kapitalis yang berdampak pada berbagai sektor kehidupan
masyarakat, salah satunya pada sektor pendidikan. Sementara itu di Indonesia pernah
dikembangkan ideologi demokrasi terpimpin pada masa presiden Soekarno dan kemudian
disusul ideologi Pancasila pada masa presiden Soeharto. Demikian pula paham ideologi
pendidikan telah banyak mengalami pergeseran sebagaimana dikemukakan oleh para
ahli. Brameld (dalam O’Neil 2001) membagi ada empat macam ideologi pendidikan yang
dia sebut dengan istilah aliran filsafat pendidikan, yaitu: Perenialisme, Esensialisme,
Progresivisme, dan Rekonstruktivisme. Namun bagi O’Neil, dasar pembagian ideologi
pendidikan yang dilakukan oleh Brameld dipandang ada kejanggalan. Menurut O’Neil
(2001) pembagian ideologi pendidikan yang baru dan lebih longgar dibagi menjadi tiga
macam ideologi, yaitu: konservatisme, liberalisme, dan kritisisme.
Dari ketiga ideologi pendidikan tersebut, terdapat satu ideologi pendidikan yang
dipandang memiliki kaitan dan berdampak kuat dalam pengembangan konsep dan
implementasi pendidikan, yaitu ideologi pendidikan liberalisme.
1) Ideologi dan Ideologi Pendidikan
Ideologi berasal dari bahasa Yunani dan merupakan gabungan dari dua kata, yaitu
‘edios’ yang artinya ide, gagasan atau konsep dan ‘logos’ yang berarti ilmu. Berdasarkan
arti kata tersebut ideologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari ide-ide
manusia, atau ilmu tentang ide-ide. Secara terminologis Sargent (dalam O’Neil, 2001)
mengemukakan ideologi diartikan sebagai sistem nilai atau keyakinan yang diterima
sebagai fakta atau kebenaran oleh kelompok tertentu. Ideologi awalnya berasal dari
konsepsi Etienne Condilac (1715-1780) seorang pemikir Prancis yang melanjutkan tradisi
pemikiran John Locke (1632-1714) dari Inggris. Menurutnya, ideologi dipahami sebagai
penguraian gagasan atas penginderaan yang dianggap memunculkan gagasan ide (Salim,
2004). Secara umum Wilardjo (dalam, Salim, 2004) menyimpulkan, ideologi adalah suatu
pemahaman gagasan atau jalan pikiran yang bertumpu pada suatu filsafat dan merupakan
ciri khas suatu kelompok, mempengaruhi suatu kelompok, mempengaruhi kebudayaan
keseluruhan kompleks suatu bangsa, serta membentuk pranata politik.
Dalam kaitan dengan pendidikan, O’Neil (2001) menyatakan ideologi pendidikan
diartikan sebagai pola gagasan yang mengarahkan dan menggerakkan tindakan dalam
pendidikan yang dipandang sebagai sistem nilai (keyakinan) yang mengarahkan dan
menggerakkan suatu tindakan sosial. Dalam kajian filsafat ilmu, pendidikan memiliki tiga
unsur utama, yaitu ontologi (hakekat objek), epistemologi (proses pencarian kebenaran),
dan aksiologi (kegunaan). Melalui proses kajian demikian pendidikan menjadi sesosok
ilmu pengetahuan yang memiliki otonomi karena memiliki struktur keilmuan (a body
of knowledge). Dalam tataran praktis secara aksiologi, ilmu pendidikan diterapkan
menjadi gerakan masyarakat yang bersifat aplikatif. Ilmu pendidikan tidak lagi sekedar
merupakan ilmu (science), tetapi telah menjelma menjadi kekuatan massa yang besar
(sebagai filsafat yang diyakini bersama) yang disebut ideologi, yakni ideologi pendidikan
Oleh karena ideologi pendidikan dipandang mampu mengubah perilaku individu
dan masyarakat secara sistematis, maka berbagai faktor kepentingan mempengaruhi
penetapan pilihan ideologi pendidikan yang dikembangkan disuatu negara demi alasan
politik.
2) Ideologi-Ideologi Pendidikan
Menurut O’Neil (2001) setidaknya ada tiga ideologi yang berkembang dalam dunia
pendidikan, yaitu: konservatisme, liberalisme, dan kritisisme.
Pertama, ideologi pendidikan konservatisme berpandangan bahwa ketidak
sederajatan masyarakat merupakan sesuatu keharusan alami. Oleh karena itu panganut
faham konservatif tidak menganggap rakyat memiliki kekuatan atau kekuasaan untuk
merubah kondisi. Pendidikan adalah proses pelestarian dan penerusan pola-pola
kemapanan sosial dan tradisi-tradisi yang ada dalam masyarakat dan cenderung
mendukung ketaatan terhadap lembaga-lembaga dan proses-prosesbudaya yang sudah
teruji oleh waktu. Dalam implementasi pendidikan, paham konservatif sangat
mementingkan pendidikan moral, yakni dengan cara mendorong siswa bernalar sesuai
nilai-nilai sosial yang telah mapan di masyarakat. Guna menguatkan penanaman nilai
moralproses pembelajaran cenderung menyimak dan menghafal, serta guru harus
bersikap disiplin kepada siswa.
Kedua, ideologi pendidika Liberal berkeyakinan bahwa dalam masyarakat terjadi
banyak masalah termasuk urusan masalah pendidikan. Paham liberal beranggapan
masalah pendidikan tidak akan ada sangkut paut dengan persoalan politik dan ekonomi
masyarakat. Namun demikian, proses pendidikan tidak boleh lepas sama sekali dengan
kondisi-kondisi eksternal, dalam hal ini ekonomi dan politik. Pendidikan harus bisa
menyesuaikan diri terhadap kondisi-kondisi external tersebut.
Ketiga, ideologi pendidikan kritis berpandangan bahwa pendidikan merupakan
arena perjuangan politik. Jika bagi penganut paham pendidikan konservatif, pendidikan
diarahkan untuk menjaga status quo, sedang penganut paham pendidikan liberal
pendidikan diorientasikan untuk perubahan moderat; maka ideologi kritis ini
menghendaki pendidikan sebagai sarana perubahan struktural dan sistem secara
fundamental dalam politik, ekonomi, serta serta gender. Bagi penganut paham pendidikan
kritis, diskriminasi kelas serta gender dalam masyarakat tercermin pula dalam dunia
pendidikan. Sehingga kaum kritis memiliki kehendak berbeda dengan penganut paham
pendidikan liberal. Bagi penganut paham pendidikan liberal pendidikan harus terlepas
dari persoalan kelas dan gender dalam masyarakat, namun kaum kritis menghendaki
melekat dengannya. Perhatian utama paham kritis adalah melakukan refleksi kritis
terhadap ”the dominant ideology” ke arah transformasi sosial. Tugas utama pendidikan
adalah menciptakan ruang berfikir serta bertindak untuk selalu kritis terhadap keadaan
sistem serta struktur yang tidak adil dan menindas.
Menurut Paul Ernest (1991), ideologi Pendidikan dapat dibagi menjadi 5 kategori,
diantaranya: aliran Industrial Trainer, Technological Pragmatist, Old Humanist,
Progressive Educator dan Public Educator. Paradigma dari ideologi Pendidikan ini
secara jelas dapat dilihat melalui tabel 1 berikut:
Industrial Technological Old ProgressivePublic
Trainer Pragmatism Humanism Educator Educator
Politics Radical Conservative Conservativ Liberal Democrac
right e/ liberal y
Sciences/ Body of Science of Structure of Process of Social
Knowledge knowledge truth truth thinking activities
Moral Value Good vs Pragmatical Hierarkhy/ Humanity Justice/
bad paternalistic freedom
s
Theory of Hierarkhy/ Hierarkhy Hierarkhy Wellfare Need a
Society market reform
orientation
Theory of Empty Empty vessel Character Students Constructi
Student vessel building orientation ve
Theory of Tallent and Telent Talent Need Heremene
Ability effort developmen utics
t
Aim of Back to Certivication Transfer of Creativity Construct
Education basic knowledge their own
(arith.) live
Theory of Hardwork, Thinking and Understandi Exploration Hermeneu
Learning drill, practice ng and tics
memorize aplication
Theory of Transfer of External Expository Hermeneuti Hermeneu
Teaching knowledge motivation cs/ construct tics/
discussion
/
translation
Resurces Board and Teching aids Visual Various Portofolio/
chalk teaching resources/ social
aids environmen context
t
Evaluation External External test External test Portofolio hetereogo
test nomous
Diversity Monocultu decentralizatio Competent Multiple
re n based solution/
curriculum local culture

Pertama, aliran Industrial Trainer secara konseptual adalah berupa alur pengajaran
atau pemahaman yang menekankan pada pendidikan atau pelatihan industri. Orientasi
pelatihan ini menekankan pada matematika dan keterkaitan antara pendidikan dengan
dunia usaha dan industri. Dalam konteks pembelajaran matematika atau pendidikan dasar,
alur instruktur industri yang dimaksud adalah kegiatan pelatihan yang dilakukan untuk
siswa.
Kedua, Aliran Technological Pragmatist adalah kelompok kontemporer yang
diturunkan dari pendidik industri yang misinya mempromosikan versi modern dari
sebuah ideologi dengan tujuan utilitarian, prinsip utilitas atau kemanfaatan. Secara
konseptual, Technological Pragmatist ini dapat digambarkan sebagai sikap atau perilaku
ideologis, mazhab, atau politik yang tidak mau mengubah sistem secara radikal. Sikap ini
biasanya dipegang oleh mereka yang memegang status atau kekuasaan khusus di dalam
struktur, atau setidaknya mereka yang merasa sangat diuntungkan dari sistem yang ada.
Ketiga, aliran Old Humanist atau sering disebut sebagai "Alto-Humanist" atau
"Humani Lama". Aliran ini berpendapat bahwa sains murni hanya baik untuk dirinya
sendiri. Namun kenyataannya, matematikawan kuno memandang matematika sebagai
komoditas yang berharga dan elemen sentral dari budaya. Dalam matematika yang
membuktikan logika, ada nilai dalam struktur, abstraksi, dan penyederhanaan.
Berdasarkan nilai tersebut, maka tujuan pembelajaran matematika adalah untuk
mengajarkan matematika itu sendiri. Ideologi kelompok ini dibagi oleh relatif absolut.
Kelompok humanis kuno adalah kelompok yang menekankan perbaikan diri dengan
membangun kemanusiaan. Menurut ideologi ini, dalam pembelajaran matematika harus
dilakukan pembelajaran yang dapat membangun karakter siswa sehingga tidak hanya ahli
dalam bidang matematika, tetapi agar siswa dapat terus memiliki kepribadian yang baik
dalam kehidupannya. masa depan. Meskipun pembelajaran yang disederhanakan ini
sudah berkaitan dengan pemahaman konsep matematika, pembelajaran yang dipimpin
guru masih menggunakan metode ceramah. Menurut aliran pemikiran ini, matematika
memiliki nilai kebenarannya sendiri. Hal ini sesuai dengan analogi bahasa dalam
matematika. Matematika adalah "Ratu Pengetahuan". Matematika menekankan
ketelitian, bukti logis, struktur, abstraksi, kesederhanaan, dan keanggunan.
Keempat, Aliran Progressive Educator atau sering disebut sebagai aliran pendidikan
progresif. Dalam hal ini, pendidikan progresif didasarkan pada progresivisme, dan
pendidikan harus didasarkan pada sifat manusia sebagai makhluk sosial dan paling baik
dipelajari dalam situasi kehidupan nyata dengan orang lain. Progressive Educator
sebenarnya merupakan perpanjangan dari gagasan tentang pragmatisme pedagogis.
Ideologi ini memandang siswa sebagai makhluk sosial yang aktif. Dalam teori ini, belajar
bekerja paling baik ketika berhubungan dengan situasi kehidupan nyata siswa.
Pembelajaran juga harus berpusat pada siswa. Belajar ke arah ini sangat berbeda dengan
belajar oleh pelatih industri, pragmatis teknis, dan arus kemanusiaan kuno. Pembelajaran
pada aliran ini berpusat pada siswa (student centered), dalam arti bahwa subjek dari
kegiatan pembelajaran. Siswa tidak hanya menerima semua ilmu dari gurunya, tetapi
mencari atau membangun sendiri ilmunya.
Kelima, aliran Public Educator yaitu sekelompok atau orang-orang dengan ideologi
demokrasi. Di era sekarang ini, pendidikan bisa menjadi milik semua orang. Dengan kata
lain, pendidikan tidak memandang jenis kelamin, ras, jenis kelamin, status sosial, dan
lain-lain. Dalam perkembangan ilmu pengetahuan, pendidikan ini disebut Pendidikan
Inklusif, Kesetaraan Gender, Disabilitas dan Inklusi Sosial (GEDSI). Sebagai seorang
praktisi pendidikan inklusif, penulis menganut paradigma ini. Menurut ideologi ini,
pendidikan harus bertujuan untuk memberikan pengalaman untuk menemukan atau
memecahkan hal-hal baru dalam kehidupan pribadi dan sosial. Masyarakat pada dasarnya
adalah yang terbaik, tetapi masyarakat demokratis adalah yang terbaik, di mana setiap
pekerjaan memiliki peluang dan demokrasi tidak memiliki hierarki sosial. Ideologi ini
juga menekankan bahwa pendidikan tercapai bila anak terlibat aktif dan terintegrasi
dalam semua kegiatan sosial di lingkungannya. Orang tua tidak mengisolasi anaknya di
sekolah. Tujuan lain dari pendidik masyarakat ini adalah agar masyarakat juga berperan
sebagai pembimbing dan guru bagi anak-anak. Teori pembelajaran didiskusikan dan
siswa diberikan kebebasan sesuai dengan kemampuannya. Teori pengajarannya adalah
diskusi dan inkuiri.

C. Paradigma/Teori/Model/Pendekatan/Metode/Strategi/Praksis
1. Teori Belajar Dienes
Zoltan P. Dienes adalah seorang guru matematika. Dienes dalam Aisyah (2007),
berpendapat bahwa pada dasarnya matematika dapat dianggap sebagai studi tentang
struktur, memisah-misahkan hubungan-hubungan di antara struktur-struktur dan
mengkategorikan hubungan-hubungan di antara struktur-struktur. Seperti halnya dengan
Bruner, Dienes mengemukakan bahwa tiap-tiap konsep atau prinsip dalam matematika
yang disajikan dalam bentuk yang konkret akan dapat dipahami dengan baik. Ini
mengandung arti bahwa jika benda- benda atau objek-objek dalam bentuk permainan
akan sangat berperan bila dimanipulasi dengan baik dalam pengajaran matematika.
Perkembangan konsep matematika menurut Dienes dalam Aisyah (2007), dapat
dicapai melalui pola berkelanjutan, yang setiap seri dalam rangkaian kegiatan belajar dari
kongkret ke simbolik. Tahap belajar adalah interaksi yang direncanakan antara yang satu
segmen struktur pengetahuan dan belajar aktif, yang dilakukan melalui media matematika
yang didesain secara khusus. Menurut Dienes, permainan matematika sangat penting
sebab operasi matematika dalam permainan tersebut menunjukkan aturan secara kongkret
dan lebih membimbing dan menajamkan pengertian matematika pada siswa. Dapat
dikatakan bahwa objek-objek kongkret dalam bentuk permainan mempunyai peranan
sangat penting dalam pembelajaran matematika jika dimanipulasi dengan baik. Teori
belajar Dienes pada prinsipnya sangat relevan dengan teori perkembangan kognitif Piaget
dan konsep Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan (PAKEM).
Menurut Siswono dalam Aisyah (2007), PAKEM bertujuan untuk menciptakan
suautu lingkungan belajar yang melengkapi siswa dengan ketrampilan-keterampilan,
pengetahuan dan sikap bagi kehidupan kelak. Aktif diartikan siswa maupunMberinteraksi
untuk menunjang pembelajaran. Guru harus menciptakan suasana sehingga siswa aktif
bertanya, memberikan tanggapan, mengungkapkan ide dan mendemonstrasikan gagasan
atau idenya. Guru aktif akan memantau kegiatan belajar peserta didik, memberi umpan
balik, mengajukan pertanyaan menantang dan mempertanyakan gagasan anak didik.
Dengan memberikan kesempatan siswa aktif akan mendorong kreativits peserta didik
dalam belajar maupun memecahkan masalah. Kreatif diartikan guru memberikan variasi
dalam kegiatan belajar mengajar dan membuat alat bantu baljar, bahkan mencipta teknik-
teknik mengajar tertentu sesuai dengan tingkat kemampuan siswa dan tujuan belajarnya.
Siswa akan kreatif, bila diberi kesempatan merancang/membuat sesuatu, menuliskan ide
atau gagasan. Kegiatan tersebut akan memuaskan rasa keingintahuan dan imajinasi
mereka. Apabila suasana belajar yang aktif dan kreatif terjadi, maka akan mendorong
siswa untuk menyenangi dan memotivasi mereka untuk terus belajar. Menyenangkan
diartikan sebagai suasana belajar mengajar yang ”hidup”, semarak, terkondisi untuk trus
berlanjut, ekspresif, dan mendorong pemusatan perhatian siswa terhadap belajar. Agar
menyenangkan dipelukan afirmasi (penguatan/ penegasan), memberi pengakuan dan
merayakan kerja kerasnya dengan tepuk tangan, poster umum, catatan pribadi atau saling
menghargai. Kegiatan belajar yang aktif, kreatif dan menyenangkan harus tetap bersandar
pada tujuan atau kompetensi yang akan dicapai. Efektif yang diartikan sebagai
ketercapaian suatu tujuan (kompetensi) merupakan pijakan utama suatu rancangan
pembelajaran. Menurut Aisyah (2007), secara garis besar PAKEM menggambarkan
kondisi sebagai berikut:
a. Siswa terlibat dalam berbagai kegiatan (aktifitas) yang mengembangan keterampilan,
kemampuan dan pemahamannya dengan menekankan pada belajar dengan berbuat
(learning by doing).
b. Guru menggunakan berbagai stimulus/motivasi dan alat peraga, termasuk
lingkungan sebagai sumber belajar agar pengajaran lebih menarik, menyenangkan
dan relevan bagi siswa.
c. Guru mengatur kelas untuk memajang buku-buku dan materi-materi yang menarik
dan membuat ”pojok bacaan”.
d. Guru menggunakan cara belajar yang lebih kooperatif dan interaktif, termasuk
belajar kelompok.
e. Guru mendorong siswa untuk menemukan caranya sendiri dalam menyelesaikan
suatu masalah, mengungkapkan gagasannya, dan melibatkan peserta didik dalam
menciptakan lingkungan sekolahnya sendiri.

Menurut Aisyah (2007), dalam pelaksanaan PAKEM perlu diperhatikan beberapa


hal, yaitu:
a. Memahami sifat anak
b. Mengenal peserta didik secara individu/perorangan
c. Memanfaatkan perilaku anak dalam pengorganisasian belajar
d. Mengembangkan kemampuan bepikir kritis, kreatif dam kemampuan memecahkan
masalah
e. Mengembangkan ruang kelas sebagai lingkungan belajar yang menarik
f. Memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar
g. Memberikan umpan balik yang bertanggung jawab untuk meningkan kegiatan belajar
mengajar
h. Membedakan antara aktif fisik dn aktif mental.
Dienes dalam Subarinah (2006) bependapat bahwa konsep-konsep matematika
akan mudah dan berhasil untuk dipelajari apabila melalui tahapan tertentu yang dibedakan
dalam 6 tahapan, yaitu:
1) Permainan Bebas (Free Play)
Tahap ini merupakan tahap yang paling awal dari pengembangan konsep. Pada tahap
ini siswa belajar matematika melalui permainan bebas dengan menggunakan
permainan benda kongkrit tanpa arahan guru dan yang penting benda-benda yang
dipakai untuk main-main sudah tersedia. Permainan bebas merupakan tahap belajar
konsep yang aktifitasnya tidak berstruktur dan tidak diarahkan. Anak didik diberi
kebebasan untuk mengatur benda. Selama permainan pengetahuan anak muncul.
Dalam tahap ini anak mulai membentuk struktur mental dan struktur sikap dalam
mempersiapkan diri untuk memahami konsep yang sedang dipelajari. Contohnya :
siswa diberi Menara Hanoi, Block Magic, dan sebagainya
2) Permainan yang Menggunakan Aturan (Games)
Pada tahap ini siswa juga masih bermain benda kongkret tetapi sudah diarahkan untuk
mengamati pola dan keteraturan suatu konsep sehingga siswa sudah mulai
diperkenalkan dengan struktur matematika untuk membantu siswa menumbuhkan
sikap berpikir logis dan matematis. Dengan kata lain, dalam permainan yang disertai
aturan siswa sudah mulai meneliti pola-pola dan keteraturan yang terdapat dalam
konsep tertentu. Keteraturan ini mungkin terdapat dalam konsep tertentu tapi tidak
terdapat dalam konsep yang lainnya. Anak yang telah memahami aturan-aturan tadi.
Jelaslah, dengan melalui permainan siswa diajak untuk mulai mengenal dan
memikirkan bagaimana struktur matematika itu. Makin banyak bentuk-bentuk
berlainan yang diberikan dalam konsep tertentu, akan semakin jelas konsep yang
dipahami siswa, karena akan memperoleh hal-hal yang bersifat logis dan matematis
dalam konsep yang dipelajari itu. Menurut Dienes untuk membuat konsep abstrak,
anak didik memerlukan suatu kegiatan untuk mengumpulkan bermacam-macam
pengalaman, dan kegiatan untuk yang tidak relevan dengan pengalaman itu.
3) Permainan Kesamaan Sifat (Searching for communalities)
Pada tahap ini siswa melakukan kegiatan belajar untuk menemukan kesamaan sifat
melalui permainan yang dirancang oleh guru. Siswa diajak untuk melakukan
pengamatan terhadap pola, keteraturan dan sifat-sifat sama yang dimiliki oleh model-
model yang diamati dan dari mencari kesamaan sifat tersebut siswa mulai diarahkan
dalam kegiatan menemukan sifat-sifat kesamaan dalam permainan yang sedang
diikuti. Untuk melatih dalam mencari kesamaan sifat-sifat ini, guru perlu
mengarahkan mereka dengan menstranslasikan kesamaan struktur dari bentuk
permainan lain. Translasi ini tentu tidak boleh mengubah sifat-sifat abstrak yang ada
dalam permainan semula.
4) Permainan Representasi (Representation)
Pada tahap ini siswa belajar membuat pernyataan atau representasi. Representasi
adalah tahap pengambilan sifat dari beberapa situasi yang sejenis. Para siswa
menentukan representasi dari konsep-konsep tertentu. Setelah mereka berhasil
menyimpulkan kesamaan sifat yang terdapat dalam situasi-situasi yang dihadapinya
itu. Representasi yang diperoleh ini bersifat abstrak dan dapat berupa penyajian verbal
(kata-kata) yang diucapkan maupun ditulis ataupun dalam bentuk gambar atau
diagram, sehingga dengan demikian telah mengarah pada pengertian struktur
matematika yang sifatnya abstrak yang terdapat dalam konsep yang sedang dipelajari
5) Permainan dengan Simbolisasi (Symbolization)
Pada tahap ini siswa mulai menciptakan symbol matematika. Simbolisasi termasuk
tahap belajar konsep yang membutuhkan kemampuan merumuskan representasi dari
setiap konsep-konsep dengan menggunakan simbol matematika atau melalui
perumusan verbal.
6) Permainan dengan Formalisasi (Formalization)
Formalisasi merupakan tahap belajar konsep yang terakhir. Dalam tahap ini siswa-
siswa dituntut untuk mengurutkan sifat-sifat konsep dan kemudian merumuskan sifat-
sifat baru konsep tersebut, sebagai contoh siswa yang telah mengenal dasar-dasar
dalam struktur matematika seperti aksioma, harus mampu merumuskan teorema
dalam arti membuktikan teorema tersebut. Tahap ini diluar jangkauan siswa SD.
Teori Belajar Dienes sebagian besar diterapkan dalam bentuk permainan interaktif
yang dikemas dalam pembelajaran, sehingga anak didik menjadi aktif dan senang dalam
belajar. Secara umum ada tiga macam bentuk permainan interaktif ini, yaitu permainan
bilangan, permainan operasi hitung, dan permainan geometri (tangram).
2. Teori Belajar Gagne
Robert M. Gagne pada tahun 1960-an menggunakan matematika sebagai sarana
untuk menyajikan dan mengaplikasi teori-teorinya tentang belajar. Menurut Gagne dalam
Aisyah (2007), objek belajar matematika terdiri dari objek langsung dan objek tak
langsung. Objek langsung adalah transfer belajar, kemampuan menyelidiki, kemampuan
memecahkan masalah, disiplin pribadi dan apresiasi pada struktur matematika.
Sedangkan objek langsung belajar matematika adalah fakta, keterampilan, konsep dan
prinsip.
1) Fakta (fact) adalah perjanjian-perjanjian dalam matematika seperti simbol-simbol
matematika, kaitan simbol “3” dengan kata “tiga” merupakan contoh fakta
2) Keterampilan (skills) adalah kemampuan memberikan jawaban yang benar dan cepat.
3) Konsep (concept) adalah ide abstrak yang memungkinkan kita mengelompokkan
objek ke dalam contoh dan bukan contoh.
4) Prinsip (principle) merupakan objek yang paling kompleks. Prinsip adalah sederetan
konsep beserta dengan hubungan diantara konsep-konsep tersebut.
Menurut Gagne pembelajaran harus dikondisikan untuk memunculkan respons
yang diharapkan. Gagne beranggapan bahwa tingkah laku manusia yang sangat bervariasi
dan berbeda dihasilkan dari belajar. Kita dapat mengklasifikasikan tingkah laku
sedemikian rupa sehingga dapat diambil implikasinya yang bermanfaat dalam proses
belajar. Gagne mengemukakan bahwa keterampilan-keterampilan yang dapat diamati
sebagai hasil-hasil belajar disebut kemampuan-kemampuan atau disebut juga kapabilitas.
Kapabilitas merupakan kemampuan yang dimiliki manusia karena ia belajar. Kapabilitas
dapat diibaratkan sebagai tingkah laku akhir dan ditempatkan pada puncak membentuk
suatu piramida.
Gagne mengemukakan 5 macam hasil belajar atau kapabilitas tiga bersifat kognitif,
satu bersifat afektif dan satu bersifat psikomotor. Gagne membagi hasil belajar menjadi
lima kategori kapabilitas yaitu informasi verbal, keterampilan intelektual, strategi
kognitif, sikap dan ketrampilan motorik.
1) Informasi Verbal, adalah kemampuan untuk mengkomunikasikan secara lisan
pengetahuannya tentang fakta-fakta. Informasi verbal diperoleh secara lisan,
membaca buku dan sebagainya.
2) Keterampilan Intelektual, merupakan kemampuan untuk dapat memperbedakan,
menguasai konsep, aturan, dan memecahkan masalah. Kemampuan-kemampuan
tersebut diperoleh melalui belajar. Kapabilitas keterampilan intelektual menurut
Gagne dikelompokkan dalam 8 tipe belajar yaitu;
a. Belajar isyarat, adalah belajar yang tidak diniati atau tanpa kesengajaan, timbul
sebagai akibat suatu rangsangan (stimulus) sehingga menimbulkan suatu respon
emosional pada individu yang bersangkutan)
b. Belajar stimulus respon, adalah belajar untuk merespon suatu isyarat, berbeda
dengan pada belajar isyarat pada tipe belajar ini belajar yang dilakukan diniati
atau sengaja dan dilakukan secara fisik. Belajar stimulus respon menghendaki
suatu stimulus yang datangnya dari luar sehingga menimbulkan terangsangnya
otot-otot kemudian diiringi respon yang dikehendaki sehingga terjadi hubungan
langsung yang terpadu antara stimulus dan respon
c. Belajar rangkaian gerak, merupakan perbuatan jasmaniah terurut dari dua
kegiatan atau lebih stimulus respon. Setiap stimulus respon dalam suatu rangkaian
berhubungan erat dengan stimulus respon yang lainnya yang masih dalam
rangkaian yang sama.
d. Belajar rangkaian verbal, adalah perbuatan lisan terurut dari dua kegiatan atau
lebih stimulus respon. Setiap stimulus respon dalam satu rangkaian berkaitan
dengan stimulus respon lainnya yang masih dalam rangkaian yang sama
e. Belajar memperbedakan, adalah belajar membedakan hubungan stimulus respon
sehingga bisa memahami bermacam-macam objek fisik dan konsep, dalam
merespon lingkungannya, anak membutuhkan keterampilan-keterampilan
sederhana sehingga dapat membedakan suatu objek dengan objek lainnya, dan
membedakan satu simbol dengan simbol lainnya. Terdapat dua macam belajar
memperbedakan yaitu memperbedakan tunggal dan memperbedakan jamak.
f. Belajar pembentukan konsep, adalah belajar mengenal sifat bersama dari benda-
benda konkret, atau peristiwa untuk mengelompokkan menjadi satu
g. Belajar pembentukan aturan. Aturan terbentuk berdasarkan konsep-konsep yang
sudah dipelajari. Aturan merupakan pernyataan verbal, dalam matematika
misalnya adalah: teorema, dalil, atau sifat-sifatnya.
h. Belajar pemecahan masalah, adalah tipe belajar yang lebih tinggi derajatnya dan
lebih kompleks daripada tipe belajar aturan (rule learning). Pada tiap tipe belajar
memecahkan masalah, aturan yang telah dipelajari terdahulu untuk membuat
formulasi penyelesaian masalah.
3) Strategi kognitif, adalah kemampuan untuk mengkoordinasikan serta
mengembangkan proses berpikir dengan cara merekam, membuat analisis dan
sintesis. Kapabilitas ini terorganisasikan secara internal sehingga memungkinkan
perhatian, belajar, mengingat, dan berpikir anak terarah.
4) Sikap, adalah kecenderungan untuk merespon secara tepat terhadap stimulus atas
dasar penilaian terhadap stimulus tersebut. Respon yang diberikan oleh seseorang
terhadap suatu objek mungkin positif mungkin pula negatif, hal ini tergantung kepada
penilaian terhadap objek yang dimaksud, apakah sebagai objek yang penting atau
tidak.
5) Ketrampilan Motorik, dapat dilihat dari segi kecepatan, ketepatan, dan kelancaran
gerakan otot- otot, serta anggota badan yang diperlihatkan orang tersebut.

Dalam pembelajaran menurut Gagne, peranan guru hendaknya lebih banyak


membimbing peserta didik. Guru dominan sekali peranannya dalam membimbing peserta
didik. Di dalam mengajar memberikan serentetan kegiatan dengan urutan sebagai berikut:
1) Membangkitkan dan memelihara perhatian.
2) Merangsang siswa untuk mengingat kembali konsep, aturan dan keterampilan yang
relevan sebagai prasyarat.
3) Menyajikan situasi atau pelajaran baru
4) Memberikan bimbingan belajar
5) Memberikan Feedback atau balikan
6) Menilai hasil belajar
7) Mengupayakan transfer belajar
8) Memantapkan apa yang dipelajari dengan memberikan latihan-latihan untuk
menerapkan apa yang telah dipelajari

3. Teori Belajar Van Hiele


Van Hiele adalah seorang pengajar matematika Belanda yang telah melakukan
penelitian tentang perkembangan kognitif siswa dalam memahami geometri. Van Hiele
menyatakan bahwa terdapat 5 tahap pemahaman geometri yaitu: tahap pengenalan,
analisis, pengurutan, deduksi, dan keakuratan. Dalam tahap pengenalan, siswa baru
berada pada tahap mengenal jenis dan bentuk bangun datar dan/ atau bangun ruang.
Dalam hal ini, bangun datar dan/atau bangun ruang, disingkat dengan bangun dalam
geometri. Pada tahap pengenalan ini, siswa belum dapat mengenal atau mengetahui sifat-
sifat bangun dalam geometri dan baru pada tahap analisislah, siswa dapat mengerti sifat-
sifat tersebut. Tahap pengurutan merupakan tahap yang lebih tinggi dibandingkan dengan
tahap pengenalan maupun tahap analisis, karena dalam tahap ini, siswa sudah mampu
mengetahui hubungan yang terkait antara suatu bangun geometri dengan bangun geometri
lainnya dan siswa juga sudah memahami pengurutan bangun-bangun geometri. Dalam
tahap deduksi, siswa mempunyai kemampuan untuk berpikir deduktif, artinya siswa dapat
menarik kesimpulan dari hal-hal khusus. Selain dapat berpikir deduktif, siswa juga dapat
mengerti peranan unsur-unsur yang tidak didefinisikan, di samping unsur-unsur yang
didefinisikan, aksioma atau problem, dan teorema, serta siswa belum dapat memahami
kegunaan dari suatu sistem deduktif. Tahap yang terakhir dan yang tertinggi adalah tahap
keakuratan, dimana dalam tahap ini siswa sudah memahami betapa pentingnya ketepatan
dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Siswa pada tahap ini sudah
memahami mengapa sesuatu itu dijadikan postulat atau dalil sehingga dapat dikatakan
bahwa pada tahap ini memerlukan tahap berpikir yang kompleks dan rumit (Aisyah,
2007).
Selain mengemukakan tentang tahapan pemahaman dalam geometri, Van Hiele juga
menyatakan bahwa terdapat tiga unsur utama dalam pengajaran geometri, yaitu: waktu,
materi pengajaran, dan metode pengajaran. Apabila ketiga unsur itu dikelola dengan baik,
maka peningkatan kemampuan berpikir anak lebih tinggi. Hal ini juga dapat berarti untuk
mendapatkan hasil yang diinginkan yaitu siswa memahami geometri dengan pengertian,
kegiatan belajar siswa harus disesuaikan dengan tingkat perkembangannya atau
disesuaikan dengan taraf berpikirnya sehingga siswa dapat memperkaya pengalaman dan
berpikirnya, dan juga sebagai persiapan untuk meningkatkan tahap berpikirnya kepada
tahap yang lebih tinggi dari tahap sebelumnya.
Selain dua hal diatas, Van Hiele juga menyatakan bahwa dalam pembelajaran
geometri, terdapat 5 fase, yaitu
1) Fase informasi, guru dan siswa menggunakan tanya-jawab dan kegiatan tentang
objek-objek yang dipelajari pada tahap berpikir siswa. Guru mengajukan pertanyaan
kepada siswa sambil melakukan observasi dan kegiatan ini bertujuan untuk
mempelajari pengalaman awal siswa tentang topik yang dibahas, guru mempelajari
petunjuk yang muncul dalam rangka menentukan pembelajaran selanjutnya yang
akan diambil.
2) Fase orientasi, siswa mempelajari geometri melalui alat peraga yang sudah
dipersiapkan oleh guru sampai siswa memahami ciri-ciri sifat komponen dan
hubungan antar komponen dalam bangun geometri.
3) Fase eksplisitasi/penjelasan, guru membantu siswa supaya siswa dapat
menggunakan bahasa yang tepat dan akurat. Penjelasan dari guru ini akan
berlangsung sampai system hubungan pada tahap berpikir mulai tampak nyata.
4) Fase orientasi bebas, siswa menghadapi tugas-tugas yang lebih kompleks berupa
tugas yang memerlukan banyak langkah, tugas yang dilengkapi dengan banyak cara,
dan tugas yang open-ended. Melalui orientasi di antara para siswa dalam bidang
investigasi, banyak hubungan antar objek menjadi jelas.
5) Fase integrasi, siswa meninjau kembali dan meringkas apa yang telah dipelajari dan
guru dapat membantu siswa dalam membuat sintesis ini dengan melengkapi survey
secara global terhadap apa yang telah dipelajari sehingga siswa mencapai tahap
berpikir yang baru.

4. Teori Belajar Brownell


William Brownell (1935) mengemukakan teori belajar matematika SD dalam
bentuk Meaning Theory sebagai alternative dari Drill Theory yang sudah dikembangkan
sebelumnya. Teori drill dalam pembelajaran matematika dikembangkan oleh Edward L.
Thorndike (1874 – 1949). Menurut teori drill ikatan antara stimulus dan respon akan bias
dicapai oleh siswa melalui latihan berulang-ulang atau latihan menghafal. Intisari
pengajaran matematika menurut teori drill ini adalah sebagai berikut :
1) Matematika dianalisis sebagai kumpulan fakta/unsure yang berdiri sendiri dan tidak
saling berkaitan.
2) Siswa diwajibkan menguasai banyak unsure matematika tanpa perlu memperhatikan
pengertiannya.
3) Siswa mempelajari unsur dalam bentuk seperti yang akan digunakan nanti dalam
kesempatan lain.
4) Siswa akan mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien melalui
pengulangan atau drill.
Sedangkan, dalam teori bermakna, makna dari materi yang dipelajari oleh siswa
merupakan isu utama dalam pembelajaran matematika. Teori ini juga mengaku
pentingnya drill tetapi harus dilakukan apabila konsep, prinsip, atau proses yang dipelajari
telah lebih dahulu dipahami oleh siswa. Hal ini dikarenakan bahwa penguasaan seseorang
terhadap matematika tidak cukup hanya dilihat dari kemampuan mekanik siswa dalam
berhitung saja, tetapi juga dalam aspek praktis dan kemampuan berpikir kuantitatif.
Brownell juga menambahkan bahwa dalam belajar matematika, siswa sebaiknya
memahami pentingnya matematika dalam kehidupan sehari-hari (Subarinah, 2006).

NO MODEL/STRATEGI/ SINTAK LINK/REFEREN


METODE/PENDEKAT SI
AN
1. Problem Solving Menurut: John Dewey dalam https://modelpembe
W Gulo (2002) lajaran1.wordpress.
1. Merumuskan masalah com/2016/02/21/m
2. Menelaah masalah odel-pembelajaran-
3. Merumuskan hipotesis problem-solving/
4. Mengumpulkan dan
mengelompokkan data
sebagai bahan
pembuktian hipotesis
5. Pembuktian hipotesis
6. Menentukan pilihan
penyelesaian

2. Saintifik Menurut: Prihadi (2014) Pendekatan


1. Mengamati Saintifik dalam
2. Menanya Pembelajaran Abad
3. Mengumpulkan data XXI (Seminar
4. Mengasosiasi Lembaga
5. Mengomunikasikan Pengembangan
Pembelajaran dan
Penjaminan Mutu,
Universitas
Pendidikan
Ganesha)
3. Discovery Learning Menurut: Daryanto (2014) https://lmsspada.ke
1. Stimulation mdikbud.go.id/plug
(Stimulasi/Pemberian infile.php/551890/
Rangsangan) mod_resource/cont
2. Problem Statement ent/3/P5.%20Modu
(Pernyataan/Identifikasi l%205.%20Pembel
Masalah) ajaran%20DL%20
3. Data Collection %20PBL.pdf
(Pengumpulan Data)
4. Data Processing
(Pengolahan Data)
5. Verification (Pembuktian)
6. Generalization (Menarik
Kesimpulan/Generalisasi)
4. PjBL Menurut: Rais (2010)
1. Membuka pelajaran https://repository.u
dengan suatu pertanyaan ksw.edu/bitstream/
menantang (start with the 123456789/20531/
big question) 2/T1_292014066_
2. Merencanakan proyek BAB%20II.pdf
(design a plan for the
project)
3. Menyusun jadwal
aktivitas (creat a
schedule)
4. Mengawasi jalannya
proyek (monitor the
stundent and the progress
of the project)
5. Penilaian terhadap
produk yang dihasilkan
(assess the outcome)
6. Evaluasi (evaluate the
experience)
Menurut: Aria Yulianto,
dkk (2017)
1. Menentukan pertanyaa
dasar
2. Membuat desain proyek
3. Menyusun penjadwalan
4. Memonitor kemajuan
proyek
5. Penilaian hasil
6. Evaluasi pengalaman

Menurut: Mulyasa (2014)


1. Menyiapkan pertanyaan
atau penugasan proyek
2. Mendesain perencanaan
proyek
3. Menyusun jadwal
sebagai langkah nyata
dari sebuah proyek
4. Memonitor kegiatan dan
perkembangan proyek
5. PBL Menurut: Fathurrahman Jurnal Pendidikan
(2015) Dasar PerKhasa
1. Mengorientasikan peserta Volume 4, Nomor
didik terhadap masalah 1, April 2018
2. Mengorganisasikan dengan judul
peserta didik untuk belajar “Penerapan PBL
3. Membimbing (Problem Based
penyelidikan individu Learning)
maupun kelompok Berbantuan Media
4. Mengembangkan dan Papan Catur Untuk
menyajikan hasil karya Meningkatkan
5. Menganalisis dan Hasil Belajar
mengevaluasi proses Matematika Kelas
pemecahan masalah 4 SD”

Menurut: Trianto (dalam Implementasi


Isrok’atun dan Rosmala, Model Problem
2018) Based Learning
1. Orientasi siswa pada (PBL) Sebagai
masalah Sarana
2. Mengorganisasi siswa Mengembangkan
untuk belajar Pembelajaran
Matematika SD
3. Membimbing
penyelidikan individual
maupun kelompok
4. Mengembangkan dan
menyajikan hasil karya
5. Menganalisis dan
mengevaluasi proses
pemecahan masalah

Menurut Huda (dalam


Shoimin, 2017)
1. Menyajikan suatu masalah
2. Mendiskusikan masalah
3. Menyelesaikan masalah di
luar bimbingan guru
4. Berbagi informasi
5. Menyajikan solusi
6. Merefleksi
6. Inquiry Menurut: Riyanto (2009) http://repository.rad
1. Merumuskan masalah enfatah.ac.id/16959
2. Mengamati atau /2/3.%20SKRIPSI
melakukan observasi %20BAB%20II.pd
3. Menganalisis dan f
menyajikan hasil dalam
tulisan, gambar laporan,
bagan, table, atau karya
lainnya
4. Mengomunikasikan atau
menyajikan hasil karya
pada pembaca, teman
sekelas, guru, atau
audiensi yang lain.
Menurut: Sanjaya (2010) Implementasi
1. Orientasi Strategi
2. Merumuskan masalah Pembelajaran
3. Merumuskan hipotesis Inkuiri Untuk
4. Mengumpulkan data Meningkatkan
5. Menguji hipotesis Motivasi dan Hasil
6. Merumuskan kesimpulan Belajar IPA Siswa
Kelas 5 SD Negeri
Kutowinangun 11
Kota Salatiga
7. Behaviorism Menurut Abidin, langkah- Abidin, A. M.
langkah dalam Behaviorism (2022). Penerapan
adalah sebagai berikut: Teori Belajar
1. Mengamati stimulus yang Behaviorisme
diberikan kepada anak, dalam
seperti latihan atau tugas. Pembelajaran
2. Menganalisis respon siswa (Studi Pada Anak).
terhadap stimulus tersebut. An Nisa’, 15(1), 1-
3. Memberikan penguatan, 8.
baik berupa penguatan https://jurnal.iain-
positif maupun negatif. bone.ac.id/index.ph
4. Melakukan revisi kegiatan p/annisa/article/do
pembelajaran berdasarkan wnload/3315/1363
hasil analisis dan
pengalaman sebelumnya.
8. Meaningful Metode Meaningful Rahman, L. (t.thn.).
learning Learning Menurut Ausubel : Model
1. Memilih sebuah bacaan Pembelajaran
dari buku pelajaran. Meaningful
2. Identifikasi konsep- Learning. Program
konsep yang relevan Studi Pendidikan
dalam bacaan tersebut. Fisika, Fakultas
3. Susun konsep-konsep Keguruan Dan
mulai dari yang paling Ilmu Pendidikan,
umum hingga yang lebih Universitas
spesifik atau contohnya. Siliwangi, 1-5.
4. Tuliskan konsep-konsep
tersebut di atas selembar
kertas, dengan konsep
yang paling umum
ditempatkan di atas dan
yang lebih spesifik di
bawahnya.
5. Sambungkan konsep-
konsep ini dengan kata-
kata penghubung untuk
membuat sebuah peta
konsep yang lebih
terstruktur.
BAB V
PEMBELAJARAN KONSTRUKTIF

Di dalam teori konstruktivisme, pembelajaran bukanlah sebuah proses mentransfer


ilmu, tapi perlu dibangun atau constructed sendiri oleh peserta didiknya. Dengan begitu,
pusat pembelajaran harus bisa dilakukan secara mandiri oleh para peserta didik. Guru
ataupun pendidik yang ada di dalam teori konstruktivisme hanya berperan sebagai
fasilitator saja. Hal inilah yang menyebabkan teori belajar ini melahirkan banyak sekali
pendekatan, model, dan juga metode pembelajaran yang berbasis student-centered atau
berpusat pada peserta didik.
1. Teori Konstruktivisme
Teori konstruktivisme merupakan teori yang sudah tidak asing lagi bagi dunia
pendidikan, sebelum mengetahui lebih jauh tentang teori konstruktivisme alangkah lebih
baiknya di ketahui dulu konetruktivisme itu sendiri. Konstruktivisme berarti bersifat
membangun. Dalam konteks filsafat pendidikan, konstruktivisme adalah suatu upaya
membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern (Agus, 2013). Berdasarkan
penjelasan tersebut di atas, bahwa konstruktivisme merupakan sebuah teori yang sifatnya
membangun, membangun dari segi kemampuan, pemahaman, dalam proses
pembelajaran. Sebab dengan memiliki sifat membangun maka dapat diharapkan keaktifan
dari pada siswa akan meningkat kecerdasannya.
Merasa kurang lengkap untuk mengetahui dari pada teori konstruktivisme sebelum
mengetahui pendapat-pendapat dari pada pakar ahli, diantaranya yaitu : Hill, mengatakan,
sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari
apa yang di pelajari (Dale, 2012). Menurut hill konstruktivisme merupakan bagaimana
menghasilkan sesuatu dari apa yang dipelajarinya, dengan kata lain bahwa bagaimana
memadukan sebuah pembelajaran dengan melakukan atau mempraktikkan dalam
kehidupannya supaya berguna untuk kemaslahatan.
Shymansky mengatakan konstuktivisme adalah aktivitas yang aktif, di mana
peserta didik membina sendiri pengetahuannya, mencari arti dari apa yang mereka
pelajari, dan merupakan proses menyelesaikan konsep dan ide-ide baru dengan kerangka
berfikir yang telah ada dimilikinya. Berdasarkan pendapatnya di atas, maka dapat di
pahami bahwa konsturktivisme merupakan bagaimana mengaktifkan siswa dengan cara
memberikan ruang yang seluas-luasnya untuk memahami apa yang mereka telah pelajari
dengan cara menerpakan konsep-konsep yang di ketahuinya kemudian mempaktikkannya
ke dalam kehidupan sehari-harinya. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat
dibuat sebuah kesimpulan yaitu konstruktivisme merupakan sebuah teori yang
memberikan keluasan berfikir kepada siswa dan memberikan siswa di tuntut untuk
bagaimana mempraktikkan teori yang sudah di ketahuinya dalam kehidupannya.
2. Asumsi-Asumsi Konstruktivisme
Kosntruksivisme menyoroti interaksi orang-orang dan situasi-situasi dalam
penguasaan dan penyempurnaan keterampilan-keterampilan dan pengetahuan.
Konstuktivisme memiliki asumsi yang sama dengan teori kognitif sosial yang
mengarahkan bahwa orang, prilaku, dan lingkungan berinteraksi secara timbal balik.
Adapun asumsi-asumsi dari konstruktivisme adalah:
Pertama, manusia merupakan siswa aktif yang mengembangkan pengetahuan bagi
diri mereka sendiri (Dale, 2012). Di mana siswa diberikan keluasan untuk
mengembangkan ilmu yang sudah didapatkan tersebut, baik dengan melakukan latihan,
melakukan eksperimen maupun berdiskusi sesama siswa. Dengan hal seperti itu maka
ilmu-ilmunya tersebut akan berkembang dan bertambah.
Kedua. Guru sebaiknya tidak mengajar dalam artian menyampaikan pelajaran
dengan cara tradisional kepada sejumlah siswa. Guru seharusnya membangun situasi-
situasi sedemikian rupa sehingga siswa dapat terlibat secara aktif dengan materi pelajaran
melalui pengolahan materi-materi dan interaksi sosial. Maksudnya seorang pendidik atau
guru dituntut untuk lebih aktif dan menarik dalam menjelaskan, selain itu juga guru harus
bisa menggunakan media dalam proses pembelajaran. Jangan hanya menggunakan
metode-metode yang sudah lama atau jaman dulu, seperti ceramah, mencatat sampai
habis, akan tetapi guru harus mengajar dengan cara bagaimana supaya siswa harus di buat
aktif dan masuk dalam pembelajaran tersebut.
Adapun aktivitas-aktivitas pembelajaran meliputi mengamati fenomena- fenomena,
mengumpulkan data-data, merumuskan dan menguji hipotesis-hipotesis, dan bekerja
sama dengan orang lain. Kegiatan lainnya adalah mengajak siswa mengunjungi lokasi-
lokasi di luar ruangan kelas. Guru-guru dari berbagai disiplin ilmu diperlukan untuk
merencanakan kurikulum bersama-sama. Siswa perlu diarahkan untuk dapat mengatur
diri sendiri dan berperan aktif dalam pembelajaran mereka dengan menentukan tujuan-
tujuan, memantau dan mengevaluasi kemajuan mereka, dan bertindak melampaui
standar-standar yang disyaratkan bagi mereka dengan menelusuri hal-hal yang menjadi
minat mereka. melalui aktifitas kognitif dari abstraksi dan mengikuti sebuah rangkaian
yang dapat diprediksikan secara umum.
Ketiga, konstruktivisme dialektikal. berpendapat bahwa pengetahuan tidak hanya
dapat diperoleh melalui sekolah akan tetapi bisa juga di dapatkan melalui saling
berinteraksi sesama teman, guru, tetangga dan bahkan lingkungan sekitar kita. Selain itu
juga interpretasinya tidak terikat dengan dunia luar. Bahkan pengetahuan atau
pemahaman timbul akibat saling berlawanan mental dari interaksi antara lingkungan
sekitar dengan seseorang.
Dari ketiga pandang tersebut memiliki kelebihan masing-masing, seperti
konstruktivisme eksogeneus yaitu untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan seorang
siswa terhadap ilmu tertentu secara akurat dan terperinci. Kemudian konstruktivisme
endogenus yaitu untuk mengetahui sejauh mana penguasaan materi secara terstruktur
mulai dari yang paling bawah sampai dengan yang paling tinggi. Sedangkan
konstruktivisme dialektikal digunakan ketika guru atau pendidik ingin merencanakan
itervensi-intervensi untuk mendorong pemikiran siswa dan untuk mengarahkan penelitian
untuk menemukan efektifitas dari pengaruh-pengaruh sosial seperti paparan terhadap
model-model dan kerja sama dengan teman sebaya.

DAFTAR PUSTAKA

Agus N Cahyo. (2013). Panduan Aplikasi Teori-Teori Belajar Mengajar Teraktual Dan
Terpopuler. Jogjakarta: Divapres.

Bakhtiar, A. (2012). Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Dale H. Schunk. (2012). Learning Theories An Education Perspective, Di Terjemahkan


Oleh Eva Hamdiah, Rahmat Fajar, Dengan Judul Teori-Teori Pembelajaran
Perspektif Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ernest, Paul. 1991. The Philosophy of Mathematics Education. London: The. Falmer
Press.

Gie, T. L. (1997). Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberti.

Gie, T. L. (1999). Filsafat Matematika (Pengantar Perkenalan). Yogyakarta: Yayasan


Studi Ilmu dan Teknologi.

Haris Kurniawan (2018). Pembelajaran Matematika dengan STEM, (science,


Technology, Engineering, Mhathematic). Jakarta: Deepublish.

Haryono, D. (2015). Filsafat Matematika: Suatu Tinjauan Epsitemologi dan Filosofis (A.
Hadis (ed.)). Alfabeta.

Marsigit. (2012) SEJARAH DAN FILSAFAT MATEMATIKA-Staff.Uny.Ac.Id


https://staffnew.uny.ac.id/upload/131268114/pengabdian/sejarah-dan-filsafat-
matematikabahan-workshop-guru-smk-rsbi2012.pdf

Mustansyir, R. (2001). Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


O’Neil, William F. 2001. “Ideologi-Ideologi Pendidikan” (terjemahan Omi Intan
Naomi). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Parnabhhakti, L., & Ulfa, M. (2020). Perkembangan Matematika Dalam Filsafat. Jurnal
Ilmiah Matematika Realistik, 1(1), 11–14.

Romdon. (1996). Ajaran Ontologi Aliran Kebatinan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Salim, Agus. 2004. Indonesia Belajarlah: Membangun Pendidikan Indonesia. Semarang:


Gerbang Madani.

Sinaga, W., Parhusip, B. H., Tarigan, R., & Sitepu, S. (2021). Perkembangan Matematika
Dalam Filsafat Dan Aliran Formalisme Yang Terkandung Dalam Filsafat
Matematika. Sepren: Journal of Mathematics Education and Apllied, 2(2), 17–22.
https://doi.org/10.36655/sepren.v2i2.508

Suriasumantri, J. S. (1990). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka


Sinar Harapan.

Suyitno, H., & Rochmad, R. (2015). Pengembangan Perangkat Pembelajaran Filsafat


Matematika melalui Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD dengan Strategi Berbasis
Kompetensi dan Konservasi. Kreano, Jurnal Matematika Kreatif-Inovatif, 6(2), 199.
https://doi.org/10.15294/kreano.v6i2.4981

Syam, M. N. (1984). Filsafat Pendidikan dan Filsafat Pendidikan Pancasila. Surabaya:


Usaha Nasional.

Video Perkuliahan https://youtu.be/8t3lalvQbiQ


https://etheses.uinsgd.ac.id/32966/1/BUKU%20DARAS%20FISAFAT%20UMUM-
Lengkap.pdf
https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2479/11/BOOK_Wahyudi-
Kriswandani_Pengembangan%20pembelajaran%20matematika%20SD_Unit%202.pdf
https://uncp.ac.id/content/uploads/files/buku-rektor/Binder-Filsafat-Ilmu.pdf

Anda mungkin juga menyukai